inkontinensia urine

56
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain: masalah medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit disekitar kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa perasaan malu, megisolasi diri dari pergaulannya, dan mengurung diri di rumah. Pemakaian pemper atau perlengkapan lain guna menjaga supaya tidak selalu basah oleh urine, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia. Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih mengalami beberapa tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Inkontinensia dapat merusak citra tubuh. Pakaian yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau yang menyertainya dapat menambah rasa malu. Akibatnya, pasien yang mengalami masalah ini sering menghindari aktivitas sosial (Perry & Potter, 2005). Lansia mungkin mengalami masalah khusus dengan inkontinensia akibat keterbatasan fisik dan lingkungan tempat tinggalnya. Lansia yang mobilitasnya terbatas mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan mereka untuk mencapai toilet pada waktunya. Kursi yang dirancang pendek dan tempat tidur yang ditinggikan 1

Upload: evi-nur-holidah

Post on 08-Dec-2015

68 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol kandung kemih (bladder), yang mengakibatkan beser ..

TRANSCRIPT

Page 1: Inkontinensia Urine

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya

urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain: masalah medik,

sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit disekitar

kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa perasaan malu, megisolasi diri dari

pergaulannya, dan mengurung diri di rumah. Pemakaian pemper atau perlengkapan lain guna

menjaga supaya tidak selalu basah oleh urine, memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap

individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia.

Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih mengalami beberapa

tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Inkontinensia dapat merusak citra tubuh. Pakaian

yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau yang menyertainya dapat menambah rasa malu.

Akibatnya, pasien yang mengalami masalah ini sering menghindari aktivitas sosial (Perry &

Potter, 2005). Lansia mungkin mengalami masalah khusus dengan inkontinensia akibat

keterbatasan fisik dan lingkungan tempat tinggalnya. Lansia yang mobilitasnya terbatas

mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan

mereka untuk mencapai toilet pada waktunya. Kursi yang dirancang pendek dan tempat tidur

yang ditinggikan di atas lantai dapat menjadi halangan bagi lansia yang harus bangun untuk

mencapai toilet. Lansia yang mengalami kesulitan untuk membuka kancing atau

memanipulasi ritsleting menghadapi masalah yang lain. Lansia sering mengalami kekurangan

energi untuk berjalan yang sangat jauh pada satu waktu. Toilet mungkin terlalu jauh bagi

klien yang mengalami inkontinensia urge.

Prevalensi kelainan ini cukup tinggi, yakni pada wanita lebih kurang 10-40% dan 4-

8% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya

lebih rendah daripada wanita, yaitu lebih kurang separuhnya. Survey yang dilakukan di

berbagai negara Asia didapatkan bahwa rerata prevalensi pada beberapa bangsa Asia adalah

12,2% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dikatakan oleh berbagai penulis bahwa

sebenarnya prevalensi yang dilaporkan itu baru merupakan 80% dari prevalensi

sesungguhnya karema sebagian dari mereka tidak terdeteksi; hal ini karena pasien

menganggap penyakit yang dialaminya ini merupakan hal yang wajar atau mereka enggan

1

Page 2: Inkontinensia Urine

menceritakan keadaannya kepada dokter karena takur mendapatkan pemeriksaan yang

bertele-tele dan berlebihan. Pada manusia lanjut usia (manula) prevalensinya lebih tinggi

daripada usia reproduksi.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang

merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko

terjadi dekubitus (luka pada daerah anggota tubuh yang tertekan), dan dapat menimbulkan

rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan

mempersulit rehabilitas pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000). Inkontinensia yang

berkelanjutan memungkinkan terjadinya kerusakan pada kulit. Sifat urine yang asam

mengiritasi kulit. Klien yang tidak dapat melakukan mobilisasi dan sering mengalami

inkontinensia, terutama berisiko terkena luka dekubitus (Perry Potter, 2005).

Perawat, termasuk salah satu tenaga medis yang profesional dalam menangani pasien

dengan berbagai permasalahan dalam kesehatan. Pasien dengan inkontinensia urine dapat

diberikan asuhan keperawatan salah satu penatalaksanaannya yaitu terapi medikasi maupun

non medikasi. Terapi medikasi dapat dilakukan apabila adanya kolaborasi dengan tim medis

lainnya. Namun, terapi non medikasi dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri. Salah satu

terapi non medikasi yaitu diberikan latihan perilaku dan latihan otot panggul (pelvic floor

muscle). Menurut Purnomo (2003), latihan otot panggul/senam kegel dapat memperkuat otot-

otot di sekitar organ reproduksi dan memperbaiki tonus tersebut (Bobak, 2004). Senam Kegel

membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Latihan otot

panggul/senam Kegel adalah terapi non operatif paling populer untuk mengatasi

inkontinensia urine. perawat harus dapat menguasai tehnik dalam latihan otot panggul ini,

maka dapat diajarkan pada pasien maupun keluarga pasien sehingga mudah dilakukan pasien

ketika berada dirumah.

B. TUJUAN

a. Mengetahui dan memahami kajian teori terkait inkontinensia urine.

b. Memahami dan mengaplikasikan dalam melaksanakan asuhan keperawatan urine.

c. Mengetahui dan memahami aspek legal etik dalam penanganan pasien inkontinensia

urine.

C. MANFAAT

a. Manfaat Teoritis

2

Page 3: Inkontinensia Urine

Bagi dunia keperawatan khususnya keperawatan sistem perkemihan, konsep teori

terkait inkontinensiabisa digunakan untuk membuktikan teori/ mendukung teori dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan.

b. Manfaat Praktis

Bagi Institusi Pendidikan adalah sebagai masukan dalam proses belajar mengajar, dan

apabila diperlukan dalam mata kuliah khusus terutama mengenai pentingnya

pemenuhan kebutuhan sosial yang harus dimiliki sebagai modal untuk menjadi

perawat profesional.

3

Page 4: Inkontinensia Urine

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 DEFINISI

Inkontinensia urine ialah kehilangan kontrol berkemih.Inkontinensia dapat bersifat

sementara atau menetap. Klien tidak dapat lagi mengontrol sfingter uretra eksterna.

Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-sedikit. Lima tipe

inkontinensia ialah inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks (overflow), inkontinensia

stres, inkontinensia urge, dan inkontinensia total. (Perry &Potter, 2005)

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang

keluar dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari. (Arif Muttaqin & Kumala

Sari, 2009)

Inkontinensia urine (UI, urinary incontinence) mengenai sekitar 50% orang tua yang

tinggal di rumah jompo dan 30% orang tua yang tinggal di rumah. Gangguan tersebut dapat

menimbulkan ruam perineal, ulkus dekubitus, UTI, dan sepsis.Secara prikologis, gangguan

tersebut dapat menyebabkan hilangnya rasa menghargai diri sendiri, terbatasnya aktivitas,

depresi, dan institusionalisasi. (Tammy & Scott, 2010)

Inkontinensia urine-keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan-disebabkan oleh

abnormalitas kandung kemih atau gangguan neurologik. Inkontinensia, sebuah tanda urologi

yang umum, dapat terjadi sementara atau permanen dan dapat berkisar dari keluarnya urine

dalam jumlah yang banyak sampai tetesan yang sedikit-sedikit. (Jennifer P. & Audrey S.,

2010)

2.2 ETIOLOGI

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi

organ kemih, antara lain:

a) Melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali.

b) Kebiasaan mengejan yang salah, misal batuk kronis.

c) Adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga

walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin

berkemih.

d) Gangguan di saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.

e) Efek obat-obatan.

4

Page 5: Inkontinensia Urine

f) Produksi urine meningkat atau adanya gangguan kemampuan keinginan ke toilet.

g) Gangguan metabolik, seperti diabetes melitus.

h) Asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan

yang bersifat diuretik seperti kafein.

i) Gagal jantung kongestif.

j) Masalah psikologis.

TIPE CONTOH

Inkontinensia stress Sfingter tidak kompeten

Relaksasi otot pelvis

Tekanan intraabdominal meningkat

(obesitas, kehamilan, gerak badan, dll).

Inkontinensia urgensi Sklerosis multiple

ISK

Stroke

Obat tertentu (hipnotik, tranquilizer,

sedatif, dan diuretik) .

Inkontinensia overflow Overdistensi kandung kemih (retensi

urine)

Impaksi fekal (obstipasi)

Hiperplasia prostat benigna.

Inkontinensia reflex Trauma medulla spinalis.

Inkontinensia psikologis Perubahan status mental.

Gambar 2-1.Faktor risiko inkontinensia urine (Mary dkk, 2008)

2.3 KLASIFIKASI

Empat tipe inkontinensia (Basuki P. Purnomo, 2003) ialah:

1. Inkontinensia fungsional (true)

Inkontinensia fungsional terjadi akibat imobilitas atau kerusakan kognitif dengan

saluran kemih bawah tetap utuh.Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena adanya

hambatan tertentu, pasien tidak mampu untuk menjangkau toilet pada saat keinginan

miksi timbul sehingga kencingnya keluar tanpa dapat ditahan.

5

Page 6: Inkontinensia Urine

2. Inkontinensia Paradoksa/Aliran Berlebih (overflow)

Inkontinensia paradoksa (overflow) adalah keluarnya urien tanpa dapat dikontrol pada

keadaan volume urine di buli-buli melebihi kapasitasnya.

3. Inkontinensia Stres

Inkontinensia stress adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan

intraabdominal.

Pembagian inkontinensia stres

Klasifikasi yang dikemukakan oleh Blavias dan Olsson (1988), berdasarkan pada

penurunan letak leher buli-buli dan uretra setelah pasien diminta melakukan manuver

Valsava. Penilaian ini dilakukan berdasarkan pengamatan klinis berupa keluarnya

(kebocoran) urine dan dengan bantuan video-urodinamik.

Tipe 0: pasien mengeluh tentang inkontinensia stres tetapi pada pemeriksaan

tidak ditemukan adanya kebocoran urine. Pada video-urodinamika setelah

manuver valsava, leher buli-buli dan uretra menjadi terbuka.

Tipe I: jika terdapat penurunan < 2 cm dan kadang-kadang disertai dengan

sistokel yang masih kecil.

Tipe II: jika penurunan > 2 cm dan seringkali disertai dengan adana sistokel;

dalam hal ini sistokel mungkin berada didalam vagina (tipe IIa) atau diluar vagina

(tipe IIb).

Tipe III: leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya kontraksi

detrusor maupun manuver valsava, sehingga urine selalu keluar karena faktor

gravitasi atau penambahan tekanan intravesika (gerakan) yang minimal. Tipe ini

disebabkan defisiensi sfingter intrinsik (ISD).

4. Inkontinensia Urgensi (urge)

Inkontinensia urgensi adalah keinginan kuat yang tiba-tiba ingin berkemih disertai

keluarnya urine.

5. Inkontinensia Kontinua (continous incontinence)

Inkontinensia kontinua adalah urine yang selalu keluar setiap saat dan dalam berbagai

posisi.

6

Page 7: Inkontinensia Urine

Gambar 2-2. Skema klasifikasi inkontinensia urine

2.4 MANIFESTASI KLINIS

a) Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar

mandi karena telah mulai berkemih

b) Desakan, frekuensi, dan nokturia

c) Inkontinensia stress, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa,

bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.

d) Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat dan merasa

menunda atau mengejan

e) Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat

f) Hygiene buruk atau tanda tanda infeksi

g) Kandung kemih terletak di atas simfisis pubis.

2.5 PATOFISIOLOGI

a) Inkontinensia stres (stress incontinence).

Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu

mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat (buli-

7

Inkontinensia urine

Inkotinensia urine urge

(UUI)

Inkotinensia urine

stres (SUI)

Kelainan pada buli-buli

1. Overaktivitas detrusor

Hiper-refleksia detrusor

Instabilitas detrusor

idioptik

2. Menurunnya komplians buli-

buli

Kelainan pada uretra

1. Hipermobilitas uretra

2. Defisiensi sfingter

intrinsik

Page 8: Inkontinensia Urine

buli) terisi.Peningkatan intraabdominal dapat dipacu oleh bersin, ketawa, batuk,

mengangkat beban, melompat, atau membungkuk. Inkontinensia stress banyak

dijumpai pada wanita, dan merupakan jenis inkontinensia urine yang paling banyak

prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%. Pada pria kelainan uretra yang

menyebabkan inkontinensia biasanya adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca

prostatektomi, sedangkan pada wanita penyebab kerusakan uretra dibedakan dalam

dua keadaan, hipermobilitas uretra dan defisiensi intrinsik uretra.Kerusakan sfingter

uretra eksterna pasca prostatektomi radikal lebih sering terjadi daripada pasca TURP.

Tidak jarang pasien mengalami kerusakan total sfingter eksterna sehingga mengeluh

inkontinensia totalis.

Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul

yang berfungsi sebagai penyanggah uretra dan buli-buli.Kelemahan otot ini

menyebabkan terjadinya penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli uretra pada

saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen.Herniasi dan angulasi itu terlihat

sebagai terbukanya leher buli-buli uretra sehingga mengakibatkan bocornya urine dari

buli-buli meskipun tidak ada peningkatan intravesika.Kelemahan otot dasar panggul

dapat pula menyebabkan terjadinya prolapsus uteri, sistolek, atau enterokel.Penyebab

kelemahan ini adalah trauma persalinan, histerektomi (pengangkatan rahim),

perubahan hormonal (menopause), atau kelainan neurologi.Akibat defisiensi estrogen

pada masa menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria.

Defisiensi sfingetr intrinsik (ISD) dapat disebabkan karena suatu trauma,

penyakit dari operasi, radiasi, atau kelainan neurologi.Ciri-ciri dari jenis ISD adalah

leher buli-buli dan uretra posterior tetap terbuka pada keadaan istirahat meskipun

tidak ada kontraksi otot detrusor sehingga uretra proksimal tidak lagi berfungsi

sebagai sfingter.penyebab UI yang sering dijumpai pada wanita tua. Inkontinensia

tersebut disebabkan oleh mekanisme sfingter yang tidak kompeten.Bocornya urin

terjadi bila tekanan intraabdomen meningkat akibat mengedan, batuk, tertawa, dan

bersin.Penyebab tersering gangguan mekanisme sfingter adalah posisi uretra yang

abnormal akibat prolaps pelvik.Denervasi otot sfingter kongenital, traumatik (cedera

medula spinalis), atrogenik (radiasi), atau obat-obatan (penyakit alfa) dapat juga

menyebabkan inkontinensia stres.

b) Inkontinensia mendesak (urge incontinence)

Pasien inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing segera

setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah

8

Page 9: Inkontinensia Urine

mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi.Frekuensi

miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan perasaan urgensi. Inkontinensia urge

meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita. Penyebab inkontinensia urine

urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, diantaranya adalah overaktivitas

detrusor dan menurunnya komplians buli-buli. Overaktivitas detrusor dapat

disebabkan oleh kelainan neurologi, kelainan non neurologis, atau kelainan lain yang

belum diketahui. Jika disebabkan oleh kelainan neurologis, disebut sebagai hiper-

refleksi detrusor, sedangkan jika penyebabnya adalah kelainan non neurologis disebut

instabilitas detrusor.Istilah overaktivitas detrusor dipakai jika tidak dapat diketahui

penyebabnya.

Hiper-refleksia detrusor disebabkan oleh kelainan neurologis, di antaranya

adalah stroke, penyakit parkinson, cedera korda spinalis, sklerosis multiple, spina

bifida, atau mielitis transversal. Instabilitas detrusor seringkali disebabkan oleh

obstruksi infravesika, pasca bedah intravesika, batu buli-buli, tumor buli-buli, dan

sistitis.Penurunan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan tekanannya pada saat

pengisian urine (komplians) dapat disebabkan karena kandungan kolagen pada

matriks detrusor bertambah atau adanya kelainan neurologis.Penambahan kandungan

kolagen terdapat pada sistitis tuberkulosa, sistitis pasca radiasi, pemakaian kateter

menetap dalam jangka waktu lama, atau obstruksi infravesika karena hyperplasia

prostat.

Cedera spinal pada regio thorako-lumbal, pasca histerektomi radikal, reseksi

abdomino-perineal, dan mielodisplasia disebut-sebut dapat mencederai pesarafan

yang merawat buli-buli. Tidak jarang inkontinensia urge menyertai sindroma

overaktivitas buli-buli. Sindroma ini ditandai dengan ferkuensi, urgensi, dan kadang-

kadang inkotinensia urge.

c) Inkontinensia fungsional (functional incontinence)

Inkontinensia fungsional terjadi akibat imobilitas atau kerusakan kognitif

dengan saluran kemih bawah tetap utuh.Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena

adanya hambatan tertentu, pasien tidak mampu untuk menjangkau toilet pada saat

keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar tanpa dapat ditahan.Hambatan itu

dapat berupa gangguan fisis, gangguan kognitif, maupun pasien yang mengkonsumsi

obat-obatan tertentu. Gangguan fisis yang dapat menimbulkan inkontinensia

fungsional antara lain: gangguan mobilitas akibat arthritis, paraplegia inferior, atau

gangguan kognitif akibat suatu delirium maupun demensia.

9

Page 10: Inkontinensia Urine

Terjadi pada pasien dengan otot destrusor dan mekanisme sfingter yang

normal. Keadaan tersebut paling sering disebabkan oleh kurangnya akses seseorang

ke kamar mandi untuk berkemih akibat imobilitas, tidak mampu mengatakan ingin

berkemih (demensia atau delirium), atau minum diuretik poten yang bekerja cepat.

Pada pasien tua seringkali mengeluh inkontinensia urine sementara (transient), yang

dipacu oleh beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS, yakni Delirium,

Infection (infeksi saluran kemih), Atrophic vaginitis/urethritis, Pharmaceutical,

Psychological, Excess urine output, Restricted mobility, dan Stool inpaction.

d) Inkontinensia aliran berlebih (overflow incontinence)

Inkontinensia ini merupakan keluarnya urien tanpa dapat dikontrol pada

keadaan volume urine di buli-buli melebihi kapasitasnya.Destrusor mengalami

kelembapan sehingga terjadi atonia atau arefleksia.Keadaan ini ditandai dengan

overdistensi buli-buli (retensi urine), tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi

mengosongkan isinya, tampak urine selalu menetes dari meatus uretra. Kelembapan

otot detrusor ini dapat disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati diabetikum,

cedera spinal, defisiensi B12, efek samping pemakaian obat, atau pasca bedah pada

daerah pelvik.

Lebih sering terjadi pada pria daripada wanita sebagai akibat obstruksi saluran

keluar kandung kemih yang disebabkan oleh hipertrofi prostat, impaksi fekal, atau

striktur uretra.Alternatifnya, inkontinensia aliran berlebih dapat terjadi sebagai akibat

kandung kemih atonik yang tidak lagi berkontraksi cukup kuat untuk

mengosongkannya.Keadaan tersebut disebabkan oleh kerusakan saraf kandung kemih

(misal, neuropati diabetik, radiasi, atau tumor) atau obat yang mengganggu kontraksi

destrusor (misal, antikolinergik, penyekat kanal kalsium).Pasien biasanya mengeluh

pengosongan kandung kemih yang tidak lampias atau menetes.

e) Inkontinensia Kontinua (continous incontinence)

Urine yang selalu keluar setiap saat dan dalam berbagai posisi.Keadaan ini

paling sering disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang menyebabakan urine tidak

melewati sfingter uretra.Pada fistula vesikovagina terdapat lubang yang

menghubungkan buli-buli dan vagina.Jika lubangnya cukup besar, buli-buli tidak

pernah terisi dengan urine, karena urine yang berasal dari kedua ureter tidak sempat

tertampung di buli-buli dan keluar melalui fistula ke vagina.Fistula vesikovagina

seringkali disebabkan oleh operasi ginekologi, trauma obstetri, atau pasca radiasi di

daerah pelvik. Fistula sistem urinaria yang lain adalah fistula ureterovagina yaitu

10

Page 11: Inkontinensia Urine

terdapat hubungan langsung antara ureter dengan vagina. Keadaan ini juga

disebabkan karena cedera ureter pasca operasi daerah pelvis.

Penyebab lain inkontinensia urine kontinua adalah muara ureter ektopik pada

anak perempuan. Pada kelainan bawaan ini, salah satu ureter bermuara pada uretra di

sebelah distal dari sfingter uretra eksternum. Urine yang disalurkan melalui ureter

ektopik langsung keluar tanpa melalui hambatan sfingter uretra eksterna sehingga

selalu bocor. Gejala khas muara ureter ektopik sama dengan fistula ureterovagina,

yaitu urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih bisa melakukan miksi seperti

orang normal.

2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a) Urinalisis, digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan glukosa dalam

urine.

b) Uroflowmetry, digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan

obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien

berkemih.

c) Cysometry, digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih dengan

mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi

kandung kemih terhadap rangsangan panas.

d) Urografi Ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk

mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.

e) Voiding Cystourethrography, digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung

kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur uretra, dan tahap

gangguan uretra prostatic stenosis (pada pria).

f) Uretrografi Retrograde, digunakan hamper secara eksklusif pada pria, membantu

diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.

g) Elektromiograf Sfingter Eksternal, mengukur aktivitas listrik sfingter urinarius

eksternal.

h) Pemeriksaan Vagina, dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi,

yang menandakan kekurangan estrogen.

i) Katerisasi Residu Pascakemih, digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan

kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien

berkemih.

11

Page 12: Inkontinensia Urine

2.7 PENATALAKSANAAN (Termasuk Obat-Obatan)

Inkontinensia urine merupakan gejala atau manifestasi klinis dari suatu kelainan yang

ada di buli-buli, uretra, atau organ lain. Untuk itu terapi ditujukan pada penyakit yang

menyebabkan timbulnya inkontinensia urine, diasmping dilakukan usaha-usaha untuk

mengatasi problematik sosial akibat inkontinensia. Pada inkontinensia yang disebabkan

oleh fistula ureterovagina, fistula vesikovagina yang cukup lebar, dan ureter ektopik,

pilihan terapi adalah berupa operasi. Begitu juga pada inkontinensia paradoksa yang

disebabkan adanya obstruksi infravesika, terapi paling tepat adalah desobstruksi. Pada

inkontinensia urine stres atau urge, pilihan terapi tergantung dari derajat keparahan

inkontinensia. Terapi yang dipilih berupa:

(1) Latihan/rehabilitasi

Bantuan ahli rehabilitasi medik sangat diperlukan untuk keberhasilan program

latihan ini. Pelvic floor exercise atau Kegel exercise bertujuan untuk meningkatkan

resistensi uretra dengan cara memperkuat otot-otot dasar panggul dan otot periuretra.

Pasien dilatih belajar cara melakukan atau mengenal kontraksi otot dasar panggul

dengan cara mencoba menghentikan aliran urine (melakukan kontraksi otot-otot

pelvis) kemudian mengeluarkan kembali urine melalui relaksasi otot sfingter. Setelah

itu pasien diinstruksikan untuk melakukan kontraksi otot dasar panggul (seolah-olah

menahan urine) selama 10 detik sebanyak 10-20 kali kontraksi dan dilakukan dalam

3 kali setiap hari.

Dikatakan bahwa latihan ini menyebabkan terjadinya hipertrofi otot-otot dasar

panggul. Hal ini dapat meningkatkan tekanan mekanik pada uretra sehingga

memperbaiki fungsi sfingter uretra.Hipertrofi otot dasar panggul dapat meningkatkan

kemampuannya dalam menyanggah organ-organ pelvis sehingga mampu mencegah

desensus buli-buli uretra. Tidak jarang latihan ini dikombinasikan dengan stimulasi

elektrik dan biofeedback. Latihan ini dapat dipakai sebagai prevensi terjadinya

inkontinensia urine pada wanita-wanita muda sebelum melahirkan.

Pada terapi behavioural pasien diberi pengetahuan tentang fisiologi sistem

urinaria sebelah bawah dan kemudian mengikuti jadwal miksi seperti yang telah

ditentukan. Dalam hal ini, pasien dilatih untuk mengenal timbulnya sensasi urgensi,

kemudian mencoba menghambatnya, dan selanjutnya menunda saat miksi. Jika sudah

terbiasa dengan cara ini, interval diantara miksi menjadi lebih lama dan didapatkan

volume miksi yang lebih banyak.

12

Page 13: Inkontinensia Urine

Selain terapi diatas, pasien dengan inkontinensia dapat menggunakan terapi

perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu kemih, penyegeraan

berkemih, dan latihan otot panggul (latihan Kegel). Pendekatan yang dipilih

disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari.Latihan kebiasaan dan latihan

berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia urgensi.Latihan

otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh

yang mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku umumnya tidak dipilih

untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik

tambahan, seperti umpan balik biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai

tambahan pada terapi perilaku.

Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau

kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap

2 sampai 4 jam. Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak

sengaja berkemih.Latihan kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan

fungsi kognitif yang utuh. Latihan ini mengajarkan pasien untuk menahan desakan

berkemih, secara bertahap meningkatkan kapasitas kandung kemih dan interval

antara berkemih. Ketika kapasitas meningkat, urgensi dan frekuensi akan berkurang.

Tabel 2-3. Beberapa jenis terapi inkontinensia urine

JENIS INKONTINENSIA

LATIHAN MEDIKAMENTOSA TINDAKAN INVASIF

UUI - Behavioural- Biofeedback- Bladder drill

(pengosongan kandung kemih).

- Bladder training (latihan kandung kemih).

Augmentasi buli-buliNeuromodulasiRhizolisis

SUI Pelvic floor exercise Agonis adrenergik-αAntidepresan trisiklikHormonal

KolpususpensiTVTInjeksi kolagen

Paradoksa - DesobstruksiTotal - Sfingter

artifisial

13

Page 14: Inkontinensia Urine

(2) Medikamentosa

Obat yang diberikan disesuaikan dengan etiologi inkontinensia urine.

Tabel 2-4. Beberapa jenis obat-obatan yang digunakan untuk inkontinensia urine

OBAT KERJAEstrogen

Primarin Quinestradiol Estriol

Mengurangi atropi vanigitis uretra dan memulihkan uretra yang supel.

AntikolinergikPro-Banthene

Mengurangi spastisitas mengandung kemih, relaksasi otot.

Oksibutinin Bentyl

Kolinergik Urecholin Prostigmin

Memperbaiki kandung kemih yang flaksid dengan menstimulasi kontraksi kandung kemih.

Penyekat alfa-adrenergikPrazosin DibenzylinePhenylopropanolamine

Mengurangi spastisitas leher kandung kemih.

Simpatomimetik Ephedrine Phenylephrine

Meningkatkan tonus leher kandung kemih dan uretra.

Penyekat saluran kalsium Mengurangi kontraksi otot detrusor.

Indikasi, Kontraindikasi, dan Efek Samping Obat-obatan inkontinensiaa. Primarin (estrogen terkonjugasi)

o Pengertian: yaitu obat sulih hormon estrogen (hormone replacement therapy)

untuk mengatasi gejala-gejala akibat tak berproduksinya estrogen, seperti rasa

panas di wajah (hot flashes), rasa kering dan gatal pada vagina (itchy and dry

vagina). Kata Premarin adalah akronim dari ‘Pregnant Mare Urine’ atau air seni

dari kuda betina yang hamil. ipercaya sebagai terapi yang aman untuk gangguan

post-menopause. Juga pemakaian Premarin ini terbukti dapat mengurangi

terjadinya osteoporosis (pengeroposan tulang). Premarin juga terbukti bermanfaat

untuk kanker prostat pada pria, untuk pengobatan pada kekurangan produksi

estrogen seperti hypogonadisme, pengebirian (castration), kegagalan indung telur

(ovarian failure).

14

Page 15: Inkontinensia Urine

o Sifat: Ester sulfat dari substansi estrogenik. Kurang poten dibanding estradiol.

Oral, IV, atau preparat vaginal efektif.

o Efek samping: Riset yang sudah dimulai semenjak tahun 1975 menunjukkan

bahwa pemakaian Premarin meningkatkan jumlah kasus kanker pada

endometrium (dinding rahim). Penelitian ini juga menemukan peningkatan kasus

stroke, serangan jantung, pembekuan darah dan kanker payudara.

o Dosis: 1 x 0,625/hari

b. Prostigmin

o Kontraindikasi: hipersensitif, pasien peka bromida, peritonitis, atau penyakit

tumbatan mekanik saluran cerna atau saluran kemih.

c. Ephedrine

o Pengertian: alkaloid yang dipengaruhi dari tumbuhan Efedra. Farmakodinamik

efedrin sama seperti amfetamin (tetapi efek sentralnya lebih lemah) atau mirip

epinefrin. Dibandingkan dengan epinefrin, efedrin dapat diberikan per oral, masa

kerjanya jauh lebih lama, efek sentralnya kuat, dan untuk terapi diperlukan dosis

yang jauh lebih besar dari dosis epinefrin. Efedrin bekerja merangsang reseptor α,

β1, dan β2. Efek perifer, bekerja langsung dan tidak langsung (melalui

pembebasan NE endogen) pada efektor sel. Seperti epinefrin, efedrin

menimbulkan bronkodilatasi, tetapi efeknya lebih lemah dan berlangsung lama.

Hal ini digunakan untuk terapi asma bronkial. Penetesan lokal pada

matamenimbulkan midriasis. Pada uterus dapat mengurangi aktivitas uterus, dan

efek ini dapat dimanfaatkan untuk dismenore.

o Indikasi: dekongestan (diberikan per oral atau intranasal. Penggunaan yang terus-

menerus menimbulkan toleran), pencegah enuresis (karena efeknya meningkatkan

tonus sfingter vesika urinaria), midriatik (untuk pemeriksaan mata), dan

pengobatan bronkospasme (asma bronkial).

o Efek samping: sama seperti pada amfetamin, tetapi efek samping pada SSP lebih

ringan.

15

Page 16: Inkontinensia Urine

Tabel 2-5. Penyebab inkontinensia urien transien (DIAPPERS)

PENYEBAB KETERANGAN

Keadaan Delirium/konfusi Singkirkan penyakit akut penyebab, infeksi,

dan obat-obatan.

Infeksi (UTI) Bakteriuria asimtomatik tidak menyebabkan

UTI.

Uretritis/Vaginitis Atrofik Erosi vagina, telangiektasia, petekie, dan

friability; dapat menjadi kontribusi bagi

penyebab lain UI.

Farmasetikal (Pharmaceutical)

Psikologis Jarang; menyebabkan UI hanya jika berat

(misal, depresi berat).

Keluarnya urine yang berlebih

(Excessive)

Asupan cairan yang banyak, obat-obat

diuretik (termasuk teofilin, minuman

berkafein, dan alkohol) dan gangguan

metabolik (misal, hiperglikemia,

hiperkalsemia); UI nokturnal dapat

disebabkan oleh mobilisasi edema perifer

saat pasien terlentang.

Mobilitas terbatas (Restricted) Sering disebabkan oleh keadaan-keadaan

yang dapat dikoreksi seperti artritis, nyeri,

atau perasaan takut jatuh.

Impaksi tinja (Stool) Dapat menyebabkan inkontinensia urine dan

fekal.

16

Page 17: Inkontinensia Urine

Tabel 2-6. Obat-obatan yang menyebabkan/mengeksaserbasi inkontinensia urine

OBAT (CONTOH) EFEK POTENSIAL PADA UI

Diuretik poten (furosemid, bumetanid). Poliuria, frekuensi, urgensi.

Antikolinergik (disiklomin, disopiramid,

antihistamin).

Retensi urine, inkontinensia aliran berlebih,

delirium, impaksi fekal.

Antipsikotik (tioridazin, haloperidol) Kerja antikolinergik, sedasi, rigiditas,

imobilitas.

Antidepresan (amitriptilin, desipramin) Kerja antikolinergik, sedasi.

Antiparkinson(triheksifenidil,benztropin) Kerja antikolinergik, sedasi.

Sedatif-hipnotik (diazepam, flurazepam) Sedasi, delirium, imobilitas.

Narkotik (opiat) Retensi urine, impaksi fekal, sedasi, delirium.

Antagonis α-adrenergik (prazosin,

terazosin)

Relaksasi uretra dapat mencetuskan

inkontinensia stres pada wanita.

Agonis α-adrenergik (dekongestan

hidung)

Retensi urine pada pria.

Penyakit kanal kalsium Retensi urine.

Inhibitor enzim pengonversi angiotensin Batuk yang menyertai dapat mencetuskan

inkontinensia stres pada wanita dan beberapa

pria yang telah menjalani prostatektomi.

Alkohol Poliuria, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium,

imobilitas.

Vinkristin Retensi urine.

(3) Operasi (Pembedahan)

Pada inkontinensia yang disebabkan oleh fistula atau kelainan bawaan ektopik

ureter tindakan yang paling tepat adalah pembedahan, berupa penutupan fistula atau

neoimplantasi ureter ke buli-buli. Inkontinensia urge dan inkontinensia stres tindakan

pembedahan dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang maksimal.

Pada inkontinensia urge untuk mengurangi overaktivitas buli-buli dapat dilakukan

rhizolisis, sedangkan penurunan komplians buli-buli dilakukan argumentasi buli-buli.

Hipermobilitas uretra dikoreksi dengan melakukan suspensi leher buli-buli dengan

berbagai teknik, antara lain: Marshall-Marchetti-Kranzt (MKK), Burch, Stamey,

17

Page 18: Inkontinensia Urine

tension-free vaginal tape (TVT), atau teknik yang lain. Pada keadaan defisiensi

sfingter uretra intrinsik (ISD) dapat dilakukan pemasangan pubovaginal sling, injeksi

kolagen periuretra, atau sfingter artifisial.

Inkontinensia stres pada wanita:

a. Kausa

Kelahiran anak, obesitas, kelumpuhan nervus pudendal, trauma-diastasis simfiseal,

iatrogenik, dan usia.

b. Penilaian

Tes Bonney, CMG video, sistogram rantai lateral, sistouretroskopi.

c. Terapi

1. Konservatif

a. Penurunan berat badan

b. Olahraga dasar panggul

c. Obat-obatan: agonis adrenergic alfa seperti eskornade, fenil propanolamina dan

mazindol.

2. Operasi

a. Prinsip:

1. Meninggikan dan menunjang leher vesika dalam zona tekanan abdominal.

2. Memungkinkan kompresi posterior uretra proksimal terhadap simfisis pubis.

3. Mengoreksi prolapsus genital yang berkaitan.

b. Prosedur operasi spesifik:

1. Kolporafi anterior. Memungkinkan koreksi prolapsus genital yang bersamaan

terjadinya atau histerektomi vaginal bila diperlukan.

a) Insisi vaginal vertikal untuk memaparkan leher vesika dan basis vesika.

b) Peletakan jahitan fasial (Kelly) parauretral diikat digaris tengah.

c) Eksisi mukosa vaginal berlebih.

2. Koreksi Marshall-Marchetti-Kranzt. Sebagai prosedur primer bila tidak terjadi

prolapsus genital atau sebagai prosedur sekunder.

a) Pendekatan retropubik anterior.

b) Pemaparan leher vesika dan uretra.

c) Peletakan 3 jahitan (biasanya catgut No.2 atau asam poliglikolik) antara

fasia parauretral/leher vesika serta simfisis dan linea pektineal di tiap sisi.

3. Koreksi suspensorik (sling)-Millin. Sesuai sebagai koreksi sekunder

18

Page 19: Inkontinensia Urine

a) Pendekatan retropubik anterior.

b) Pemaparan leher vesika dan uretra.

c) Uretra dilingkari dengan pita nilon, pita fasia selebar 2 cm dari tepi inferior

selubung rektus dijahitkan ke pita itu serta dilewatkan dibelakang uretra.

d) Pita nilon itu dilepaskan dari fasia dan strip fasial dijahitkan ke ligamen

Gimbernati di sisi berlawanan dengan tegangan sehingga uretra dan leher

vesika terangkat.

4. Prosedur Stamey. Sesuai untuk pasien dengan risiko medis buruk

a) Endoskop dalam vesika.

b) Insisi vaginal di garis tengah.

c) Insisi suprapubik bilateral serta peletakan benang nilon dari suprapubik ke

insisi vaginal dengan jarum Stamey.

d) Lengan Dacron sepanjang 1 cm dan lebar 5 mm diletakkan diatas jerat nilon

tadi pada insisi vaginal dan dikembalikan ke insisi suprapubik

menggunakan insersi kedua dari jarum.

e) Ulangi prosedur itu di sisi kontralateral untuk menyisakan lengan Dacron

berbenang itu dikedua sisi leher vesika.

f) Benang nilon dikaitkan ke lubang rektus sehingga mengangkat leher vesika.

Hasil operasi

Semua prosedur primer harus berhasil dalam 85-90% kasus.

Inkontinensia Desakan (urge) Pada Pria/Wanita

Kausa Vesika Neuropatik/Disfungsi Uretral

1. Supraspinal

a) Kelumpuhan serebral

b) CVD

c) Trauma

d) Penyakit Parkinson

e) Multiple sclerosis.

2. Spinal

a) Spina bifida

b) Trauma

c) Kompresi medula spinal

d) Multipel sclerosis.

19

Page 20: Inkontinensia Urine

3. Perifer

a) Trauma

b) Pasca operasi pelvic

c) Pasca radioterapi pelvic

d) Multipel sclerosis

e) Diabetes mellitus.

Terapi Ketidakstabilan Detrusor Primer

1. Konservatif

a) Latihan buang air kecil (bladder drill)

b) Psikoterapi

c) Hipnosis.

2. Obat-obatan

a. Antikolinergik – Oksibutinin dan Propantelina.

b. Campuran – imipramina (antikolinergik dan agonis alfa).

c. Lainnya – DDAVP (analog vasopresin).

3. Distensi vesika berkepanjangan

4. Operasi

a. Indikasi

(i) Kegagalan tindakan lain

(ii) Simtom sangat menyusahkan penderita

(iii) Bukti tak adanya disfungsi sfinkter.

b. Operasi

(i) Transeksi vesika

(ii) Neuroktomi sacral selektif

(iii) Suntikan fenol ke nervi sacral

(iv) Pengembangan vesika dengan seko-sistoplasti

(v) Diversi urin.

Inkontinensia Pria

1. Kausa Inkontinensia Pasca-Prostatektomi

a. Pemilihan pasien yang buruk

(i) CVD (kecelakaan serebrovaskular) baru

(ii) Penyakit Parkinson

(iii) Baru saja eksisi abdominopelvik rectum

20

Page 21: Inkontinensia Urine

(iv) Polakisuria desakan nokturia dengan ketakstabilan detrusor primer.

b. Kerusakan sfinkter eksternal pra-operatif

c. Overflow

(i) Reseksi inadekuat

(ii) Striktura uretral

(iii) Stenosis leher vesika.

d. Infeksi rekuren.

e. Ca Prostat yang menginfiltrasi sfinkter eksternal.

2. Jalur Penatalaksanaan

a. Penilaian ulang klinik.

b. MSU (urin aliran tengah).

c. Sistouretroskopi.

d. Sistometrogram video.

3. Kerusakan Sfinkterik Eksternal

Didefinisikan sebagai ketidakmampuan menghentikan aliran urin secara volunter

dengan atau tanpa ketakstabilan detrusor.

4. Terapi Kerusakan Sfinkter

a. Konservatif

(i) Bantalan/celana Kanga; alat inkontinensia eksternal---klem Cunningham

(ii) Stimulasi faradic kepada otot perineal pasak rectal elektronik

(iii) Obat-obatan: a) agonis adrenergic alfa, misal eskornade dan fenil

propanolamina; b) imipramina (bersifat agonis dan antikolinergik).

b. Operasi

Indikasi: tidak membaik dengan sendirinya dan gagalnya cara konservatif pada

pasien yang pada dasarnya sehat

(i) Rekonstruksi leher vesika

a. Prosedur Young-Dees-Leadbetter-tubulari-sasi trigonum dengan

reimplantasi ureter

b. Prosedur Tanagho-tubularisasi permukaan anterior vesika dan

reanastomosis ke uretra.

(ii) Memberi tekanan kepada uretra bulbar

a. Prosedur Kaufman III – aplikasi bantalan gel silicon pada bulbus dengan

meletakkan tali di sekitar krura.

b. Sfinkter Scott-Bradley-Tim

21

Page 22: Inkontinensia Urine

Bebat leher vesika atau bulbus dengan bulbus dan katub inflasi dan

deflasi pada skrotum di kedua sisi dan reservoir berisi cairan

diimplantasikan antara rektus abdominis dan peritoneum.

c. Prostat Jonas

Klip silicon melingkar diletakkan seputar uretra penis.

Hasil operasi

Secara keseluruhan angka keberhasilan mengecewakan dari 15-70%: hasil terbaik didapat

dengan prosthesis Scott-Bradley-Tim tapi mahal dan sulitnya membatasi pemakaiannya.

Komplikasi operasi

a. Kegagalan

b. Infeksi

c. Penolakan alat implantasi

d. Nekrosis tekanan di uretra

e. Malfungsi di katub.

Terapi kerusakan sfingter

a. Konservatif

1. Bantalan/celana Kanga; alat inkontinesia eksternal- Klem Cunningham.

2. Stimulasi faradik kepada otot perineal, pasal rektal elektronik.

3. Obat-obatan: (i) agonis adrenergik alfa, misal eskornadedan fenil propanolamina;

(ii) imipramina (bersifat agonis dan antikolinergik).

b. Operasi

Indikasi: tidak membaik dengan sendirinya dan gagalnya cara konservatif pada pasien

yang pada adasarnya sehat.

(i) Rekonstruksi leher vesika

a) Prosedur Young-Dees-Leadbetter-Tubularisasi trigonum dengan

reimplantasi ureter.

b) Prosedur Tanagho-tubularisasi permukaan anterior vesika dan

reanastomosis ke uretra.

(ii) Memberi tekanan kepada uretra bulbar

a) Prosedur Kaufman III- aplikasi bantalan gel pada bulbus dengan

meletakkan tali di sekitar krura.

b) Sfinkter Scott-Bradley-Tim

22

Page 23: Inkontinensia Urine

Bebat leher vesika atau bulbus dengan bulbus dan katub inflasi dan deflasi

pada skrotum di kedua sisi dan reservoir berisi cairan diimplantasikan

antara rektus abdominis dan peritonium.

c) Prostesis Jonas

Klip silikon melingkar diletakkan seputar uretra penis.

Hasil operasi:

Secara keseluruhan angka keberhasilan mengecewakan dari 15-70%. Hasil terbaik didapat

dengan prostesis Scott-Bradley-Tim tapi mahal dan sulitnya membatasi pemakaiannya.

Komplikasi operasi:

Kegagalan, infeksi, penolakan alat implantasi, nekrosis tekanan di uretra, malfungsi di katub.

23

Page 24: Inkontinensia Urine

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

a. Anamnesa

1. Identitas klien

Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65

tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga

beresiko mengalaminya.

2.  Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang.

Pasien mengatakan terdapat gangguan dalam berkemih.Klien juga mengatakan bahwa kencing

dilakukan sebanyak 8 kali dalam sehari.Klien merasakan ingin berkemih terus menerus namun

sedikitnya air kencing yang keluar.Klien mengatakan ingin berkemih ketika minum dan saat

tertawa.Klien minum 5 gelas dalam sehari.Klien mengatakan mengkonsumsi insulin untuk

menstabilkan diabetes mellitusnya.Klien mengatakan terkadang nyeri saat berkemih dan

merasakan gatal dan perih pada area simpisis pubis.

b. Riwayat kesehatan klien:

Klien mengatakan tidak pernah mengalami masalah pada sistem perkemihan sebelumnya.

Namun klien mengatakan pernah di rawat di rumah sakit karena penyakit diabetes mellitus dan

saat itu merasa ingin berkemih terus menerus sehingga dipasang kateter. Terkadang nyeri saat

berkemih.

c. Riwayat kesehatan keluarga:

Klien mengatakan terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat diabetes mellitus dan

hipertensi. Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit ginjal pada keluarganya.

b. Pengkajian (pola Gordon):

Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pasien adalah seorang wanita yang berumur 65 tahun, dalam melakukan aktivitas

sehari-hari seperti kebutuhan perawatan diri, pasien dibantu oleh keluarganya.

Seperti saat akan melakukan aktivitas ke kamar mandi.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

24

Page 25: Inkontinensia Urine

Sebelum sakit pasien makan dengan porsi normal yaitu makan 3x sehari dan

minum 5 gelas sehari, setelah sakit pola makan pasien masih normal, dan porsi

minum sedikit.

c. Pola elimisasi

Sebelum sakit pasien sering BAK dengan volume urin 1400-1500cc/hari, setelah

sakit, pasien sering melakukan aktivitas BAK dengan freukensi urin yang sedikit

dan desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena

telah mulai berkemih. Sedangkan pada eliminasi alvi, pasien BAB 2x sehari,

dengan konsistensi padat, berwarna kuning dengan berbau yang khas.

d. Pola aktivitas dan latihan

Sebelum sakit pasien melakukan aktivitas sehari-harinya dengan baik, olahraga

ringan dan aktivitas yang lain di pagi hari. Setelah sakit pasien mudah

mengeluarkan sejumlah kecil urine ketika melakukan aktivitas, seperti melompat,

atau membungkuk. Terkadang urine juga keluar saat pasien tertawa dan bersih

serta saat pasien batuk.

e. Pola istirahat dan tidur

Sebelum sakit pasien tidur 7-9 jam perhari, jarang tidur pada siang hari. Setelah

sakit pasien kesulitan tidur karena seringnya desakan ingin berkemih. Bahkan

pasien sering mengompol.

f. Pola sensori dan kognitif

Sebelum sakit perkembangan persepsi dan kognitif pasien bagus. Meski dengan

usia 65 tahun, pasien masih mampu menilai orang dan benda. Setelah sakit pasien

merasa lemah untuk melakukan aktivitas lain. Sehingga aktivitas toileting sering

terganggu. \

g. Pola persepsi dan konsep diri

Sebelum sakit pasien mengerti bahwa dirinya adalah seorang wanita yang

memiliki tanggung jawab kepada suaminya, setelah sakit pasien merasa malu dan

tidak berguna karena setiap kebutuhan perawatan diri harus dibantu oleh

suaminya.

h. Pola hubungan dan peran

Sebelum sakit hubungan pasien dengan keluarga baik, pasien berperan sebagai

seorang istri yang bertanggungjawab atas suaminya. Setelah sakit pasien

cenderung ingin menyendiri karena rasa malu dengan penyakit yang dialaminya.

i. Pola reproduksi seksual

25

Page 26: Inkontinensia Urine

Pasien seorang wanita yang memiliki suami dan 3 orang anak. Hubungan suami

istri dilakukan 2 kali dalam dua minggu karena istri dan suaminya sudah merasa

tua sehingga jarang sekali untuk melakukan hubungan suami istri. Setelah sakit,

hubungan suami istri dilakukan hanya 1 kali dalam dua minggu.

j. Pola penanggulangan stress

Sebelum sakit pasien tampak bahagia dan melakukan aktivitasnya dengan baik,

setelah sakit pasien mulai murung karena penyakit yang dideritanya. Namun,

pasien tetap mendapatkan support dari suami dan anak-anaknya.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

Pasien seorang wanita berumur 65 tahun, pasien beragama islam dan rajin

menjalankan ibadah shalat 5 waktu. Apabila pasien merasa terdapat masalah pada

kesehatannya maka memeriksakan dirinya ke klinik atau rumah sakit. Pasien

tidak pernah pergi ke dukun untuk menyembuhkan amasalah kesehatannya.

Pasien memberikan kepercayaan penuh pada ahli-ahli kesehatan yang dapat

menangani masalah kesehatannya.

c. Pemeriksaan per sistem

1. Keadaan umum

Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya

inkontinensia.

2. B1 (breathing: pernapasan)

Pola nafas: Ireguler

Bunyi nafas: reguler

Bentuk dada : Simetris

Ekspansi dada : Simetris

3. B2 (Bleeding: Kardiovaskuler/sirkulasi)

RR : 25x/menit, TD :150/100 mmHg, S1-S2 normal.

4. B3 (Brain: Persyarafan/neurologi)

Klien sadar penuh. GCS: 456.

5. B4 (Bladder: perkemihan/eliminasi urine/genitaurinaria)

Warna urine kuning pekat terkadang keluar urine bercampur darah, bau menyengat, terdapat

pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, nyeri saat berkemih, rasa nyeri di dapat

pada daerah supra pubik/pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di

luar waktu kencing. Input 500 ml, output 2500 ml.

26

Page 27: Inkontinensia Urine

6. B5 (Bowel: pencernaan/eliminasi alvi/gastrointestinal)

Bising usus: normal. Nyeri tekan abdomen: + Nyeri ketok ginjal: +

7. B6 (Bone: tulang, integumen, otot/muskuloskeletal)

Terdapat nyeri sendi pada kaki. Kekuatan otot 5 5

5 5

d. Data penunjang:

1) Urinalisis

2) Hematuria.

3) Poliuria

4) Bakteriuria.

e. Pemeriksaan Radiografi:

1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.

2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya

obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).

3) Kultur Urine

i. Steril.

ii. Pertumbuhan tak bermakna (100.000 koloni / ml).

iii. Organisme.

3.2 DIAGNOSA

1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk

mengahambat kontraksi kandung kemih.

2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3. Gangguan harga diri berhubungan dengan gangguan citra tubuh: mengompol.

4. Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan kelembapan oleh urine.

3.3 INTERVENSI

1. Diagnosa : Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan

untuk mengahambat kontraksi kandung kemih.

Kriteria Hasil (NOC):

a. Pengendalian eliminasi urine dari kandung kemih

b. Menunjukkan kontinensia urine, yang dibuktikan oleh indicator: eliminasi secara

mandiri, mempertahankan pola berkemi yang dapat diduga,

c. Bau, jumlah dan warna urine dalam rentang yang diharapkan

d. Pengeluaran urine tidak nyeri, tidak ada kesulitan di awal berkemih, atau urgensi

27

Page 28: Inkontinensia Urine

Intervensi (NIC):

a) Pelatihan kandung kemih: meningkatkan fungsi kandung kemih.

b) Manajemen eliminasi urine: mempertahankan pola eliminasi urine yang optimum.

- Pantau eliminasi urine meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan warna,

jika perlu.

- Kumpulkan spesimen urine tengah untuk urinalisis, jika perlu.

c) Anjurkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih.

d) Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine, bila diperlukan

e) Instruksikan pasien untuk berespons segera terhadap kebutuhan eliminasi, jika

perlu.

f) Manajemen eliminasi urine: rujuk ke dokter jika terdapat tanda dan gejala infeksi

saluran kemih.

2. Diagnosa : Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

Kriteria Hasil (NOC) : pasien akan:

a. Menunjukkan aktivitas yang akan dibutuhkan meskipun mnegalami kecemasan.

b. Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan ketrampilan yang baru.

c. Mengomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif secara tepat.

Intervensi (NIC):

a) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik.

b) Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan untuk

mengeksternalisasikan ansietas.

c) Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara untuk mengidentifikasi

mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi ansietas.

d) Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta izinkan pasien untuk

menangis.

e) Penurunan kecemasan: instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi.

f) Penurunan ansietas: berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika perlu.

g) Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang tenang, kontak

yang terbatas dengan orang lain jika dibutuhkan.

h) Kolaborasi pemberian obat penurun ansietas, jika diperlukan.

3. Diagnosa : Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan citra tubuh:  mengompol.

Kriteria hasil: pasien akan:

a. Menunjukkan harga diri: kekuatan pribadi.

b. Melakukan perilaku yang dapat meningkatkan kepercayaan diri.

28

Page 29: Inkontinensia Urine

c. Mengungkapkan perubahan/kehilangan yang episodik.

Intervensi:

a) Kaji perubahan-perubahan terharu pada pasien yang dapat memengaruhi harga diri rendah.

b) Peningkatan citra tubuh: meningkatkan sikap dan persepsi sadar dan tak sadar pasien terhadap

tubuhnya.

c) Ajarkan pada pasien dan keluarga pasien tentang ketrampilan perilaku yang positif melalui

bermain peran, diskusi, dsb.

d) Peningkatan harga diri: dukung pasien untuk menerima tantangan baru, tunjuukan rasa percaya

terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi situasi.

e) Bimbingan antisipasi: persiapan pasien terhadap krisis perkembangan atau krisis situasional yang

diantisipasi.

f) Ajarkan pada pasien dan keluarga pasien teknik latihan otot panggul.

4. Diagnosa : Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan kelembapan oleh urine.

Kriteria hasil (NOC):

a. Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa.

b. Eritema kulit dan eritema di sekitar luka minimal.

c. Menunjukan penyembuhan primer dan sekunder.

Intervensi (NIC):

a) Kaji ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi luka setempat (misalnya, nyeri saat palpasi, edema,

pruritus, indurasi, hangat, bau busuk, eskar, dan eksudat).

b) Perawatan area insisi: inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda-tanda dehisensi

atau eviserasi pada area insisi.

c) Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori, dan vitamin.

d) Ajarkan prosedur perawatan luka pada pasien dan keluarga pasien.

e) Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin: pertahankan jaringan sekitar terbebas

dari drainase dan kelembapan yang berlebihan dan gunakan preparat antiseptic, sesuai program.

29

Page 30: Inkontinensia Urine

BAB IV

WEB OF CAUTION

30

Etiologi:

Melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali.

Kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.

Adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,

sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah

menimbulkan rasa ingin berkemih.

Gangguan di saluran kemih bagian bawah bias karena infeksi.

Efek obat-obatan.

Produksi urin meningkat atau adanya gangguan

kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan metabolik, seperti diabetes melitus.

Distimulasi lewat serabut reflex eferen

Daya tampung membesar

Otot derusor relaksasi

Tekanan di dalam kandung kemih

Terjadinya pengisian kandung kemih

Urine keluar

Sfingter eksternal relaksasi

Urine masuk ke uretra posterior

Sfingter internal menutup

Page 31: Inkontinensia Urine

31

Bocornya urineUrine tidak melewati

sfingter uretra

Inkontinensia

stres

Terhalang inhibisi

sentral normal

kontraksi kandung

kemih

Aktivitas detrusor

berlebihan

Inkontinensia

mendesak (urge)

Mekanisme sfingter tidak

kompeten

Tekanan intraabdomen

Kurangnya akses seseorang ke kamar mandi

Imobilitas fisik

Inkontinensia fungsional

Kerusakan saraf kandung kemih

Obstruksi saluran keluarnya

kandung kemih

Inkontinensia paradoksa/aliran

berlebih (overflow)

Inkontinensia kontinua

Kandung kemih otomik tidak

berkontraksi untuk mengosongkan

Cedera ureter pasca operasi daerah pelvis

Fistula sistem urinaria

terganggu

Urine keluar melalui fistula ke

vagina

Bocornya

urine

Bocornya

urine

Bocornya

urine

Bocornya

urine

MK:

- Risiko gangguan integritas kulit- Gangguan eliminasi urine- Gangguan volume cairan- Gangguan Citra tubuh- Ansietas

Page 32: Inkontinensia Urine

BAB V

PEMBAHASAN

4.1 ANALISA JURNAL

Pembahasan terkait intervensi yang diberikan pada pasien dengan inkontinensia urine

(masalah pada sistem perkemihan) akan ditunjang dengan jurnal yang ada. Pada pembahasan-

pembahasan yang dianalisa berdasarkan jurnal yang ada bahwa diambil dari salah satu

klasifikasi inkontinensia yang banyak dialami oleh masyarakat. Pembahasan-pembahasan di

bawah ini yaitu terkait terapi pada pasien inkontinensia urine. terapi-terapi ini dapat

digunakan sebagai salah satu intervensi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.

Terapi tersebut dapat pula dilakukan pasien ketika berada di rumah.

1. Terapi latihan dasar panggul

“Hubungan Senam Kegel Terhadap Stres Inkontinensia Urine Postpartum Pada Wanita

Primigravida”

Berdasarkan jurnal diatas dinyatakan bahwa pada kasus tersebut banyak dialami pada

wanita primigravida terjadinya kerusakan dasar panggul yang disebabkan karena disfungsi

dasar panggul dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan, terutama

pada persalinan pertama (Junizaf, 2002). Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar

panggul melemah atau rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Kekendoran otot-

otot yang melingkari vagina sering disebabkan oleh kelahiran anak melalui vagina. sehingga

untuk mengatasi kasus ini, pasien dapat diberikan terapi senam kegel sebagai salah satu

intervensi perawat yang mudah dan dapat digunakan ketika pasien di rumah.

Menurut Purnomo (2003), senam Kegel adalah terapi non operatif paling populer

untuk mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini dapat memperkuat otot-otot di sekitar organ

reproduksi dan memperbaiki tonus tersebut (Bobak, 2004). Senam Kegel membantu

meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Senam Kegel sebaiknya

dilakukan saat hamil dan setelah melahirkan untuk membantu otot-otot panggul kembali ke

fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini dapat membantu mencegah

prolaps uterus dan stres inkontinensia di kemudian hari (Bobak, 2004).

Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian kejadian stres inkontinensia urine post

partum dari wanita hamil primigravida yang mengikuti senam Kegel dan tidak mengikuti

senam Kegel selama hamil (umur kehamilan >35 minggu). Didapatkan 60 ibu hamil yang

memenuhi kriteria inklusi yang dibagi dalam dua kelompok, masing-masing 30 sampel yang

32

Page 33: Inkontinensia Urine

mengikuti senam Kegel dan 30 sampel sebagai kontrol (tidak mengikuti senam Kegel). Dari

data yang diperoleh bahwa wanita primigravida yang melahirkan dengan BBL diatas 3000

gram, cenderung mengalami inkontinensia urine. Hal ini sesuai dengan pendapat Cammu

(2000), yang telah melakukan penelitian pada wanita yang melahirkan bayi dengan berat

badan >4000 gram akan mengalami risiko peningkatan inkontinensia urine karena persalinan

seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul.

Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya

inkontinensia urine dan hal ini selalu dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama

persalinan pervagina (Herschorn, 2004). Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu

postpartum adalah stres inkontinensia urine. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor

sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan

intravesika meningkat atau saat kandung kemih terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal

dapat dipacu oleh batuk, bersin tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat

(Wayman, 2003). Penilaian terhadap kejadian stres inkontinensia urine pada penelitian ini

menunjukkan bahwa kelompok yang melakukan senam Kegel lebih rendah (13,3%)

dibandingkan dengan kelompok kontrol (tidak melakukan senam Kegel) (63,3%).

Pembahasan di atas juga didukung oleh jurnal lainnya “Pengaruh Latihan Kegel

Terhadap Frekuensi lnkontinensia Urine Pada Lansia” bahwa Dari hasil penelitian di Panti

Wreda Pucang Gading Semarang tentang pengaruh latihan kegel terhadap frekuensi

inkontinensia urine pada 24 responden, didapatkan hasil bahwa ada pengaruh latihan kegel

terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia (p < 0.05). Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya oleh Flynn, L tentang keefektifan

latihan otot pelvis dalam mengurangi inkontinensia urgensi atau gabungan dari inkontinensia

urgensi dan inkontinensia stress yang diujicobakan pada 37 orang lansia yang bertempat

tinggal di komunitas dengan rentang usia 58 sampai 92 tahun. Dimana hasil akhir penelitian

adalah latihan-latihan tersebut efektif untuk kedua jenis inkontinensia.

2. Bladder Training

Selain pemberian terapi pelvic floor muscle, pasien dengan inkontinensia urine dapat pula

diberikan bladder training. Bladder training merupakan penatalaksanaan yang bertujuan

untuk melatih kembali kandung kemih ke pola berkemih normal dengan menstimulasi

pengeluaran urin. Pada perawatan maternitas, bladder training dilakukan pada ibu yang telah

mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin atau retensio urin. Padahal

33

Page 34: Inkontinensia Urine

sesungguhnya bladder training dapat mulai dilakukan sebelum masalah berkemih terjadi

pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah intervensi invasif seperti pemasangan kateter

yang justru akan meningkatkan kejadian infeksi kandung kemih. Selama ini apabila ibu

postpartum mengalami masalah BAK, maka salah satu tindakan penyelesaiannya adalah

melalui pemasangan kateter untuk mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan.

Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan pola

normal berkemih dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder

training diharapkan ibu postpartum dapat BAK secara spontan dalam enam jam postpartum.

Program latihan dalam bladder training meliputi penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan

memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih

untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan

kemampuan berkemih secara spontan.

34

Page 35: Inkontinensia Urine

BAB VI

ASPEK LEGAL ETIK

5.1 ANALISA KASUS LEGAL ETIK

Aspek legal etik keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan untuk pasien

inkontinensia urien:

a) Autonomy (hak pasien memilih)

Hak pasien untuk memilih treatment/penanganan yang terbaik untuk dirinya.sebagai

seorang perawat harus memenuhi hak-hak pasien dalam melakukan perawatan dan

pengobatan. Apabila tidak dilakukan sesuai harapan pasien maka ketidakefektifan

dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien inkontinensia urine sehingga

penyembuhan penyakit pun tidak maksimal.

b) Beneficence (Bertindak untuk keuntungan pasien)

Kewajiban untuk melakukan hal yang menguntungkan pasien dan secara aktif

berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasien.Sebagai perawat harus

melakukan tindakan perawatan maupun pengobatan yang tidak membahayakan

pasien.Misalnya, dalam memberikan terapi baik medikasi maupun non medikasi

terhadap pasien inkontinensia urine. Dalam hal ini diharapkan seorang perawat

memberikan health education terkait proses pengobatan serta terapi perilaku berkemih

agar pasien dapat mengontrol berkemihnya dengan baik.

c) Confidentiality

Kerahasiaan pasien sangatlah penting untuk tidak dipublikasikan karena merupakan

privasi pasien. Apabila dilanggar oleh seorang perawat maka kesehatan pasien akan

terganggu. Karena pasien merasa memiliki harga diri yang rendah saat tahu bahwa

mengalami inkontinensia urine yang dapat menganggu citra diri pasien.

d) Veracity (Truthfullness & honesty): Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.

Segala pernyataan di dalam perawatan baik bagi pasien maupun perawat harus selalu

mengutarakan kebenaran saat melakukan tindakan (bagi perawat) maupun dalam

pengkajian (bagi pasien).Apabila pasien tidak mengutarakan kebenaran saat dilakukan

pengkajian oleh seorang perawat maka dalam asuhan keperawatan belum

maksimal.Begitu pula perawat apabila tidak mengutarakan kebenaran kepada pasien

mengenai penyakitnya maka (dampak tidak mengutarakan kebenaran).

35

Page 36: Inkontinensia Urine

5.2 MEMBUAT KEPUTUSAN

Pemberian asuhan keperawatan pada pasien inkontinensia uirne diharapkan seorang

perawat memberikan health education setelah melakukan pengkajian sehingga mempermudah

perawat dan tim medis lainnya dalam proses pengobatan pasien inkontinensia urine. Selain

itu, harus adanya informed consent terkait penanganan pasien agar tidak terjadi kesalahan

(malpraktik) selama pelaksanaan asuhan keperawatan berlangsung sehingga baik pasien

maupun keluarga pasien tidak menuntut jika terjadi tindakan diluar rencana asuhan

keperawatan.

36

Page 37: Inkontinensia Urine

BAB VII

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang keluar

dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari (Arif Muttaqin & Kumala Sari,

2009).

Penanganan untuk pasien inkontinensia urine dapat dilakukan terapi medikasi maupun

non medikasi.Terapi non medikasi dapat dilakukan terapi pelvis floor muscle yaitu latihan

dasar otot panggul untuk mengembalikan fungsi sfingter dalam kandung kemih sehingga

dapat mengontrol pasien dalam berkemih.

6.2 SARAN

Saran bagi perawat di samping pemberian asuhan keperawatan yang juga menerapkan

aspek legal etik keperawatan yang mengedepankan hak-hak pasien karena masalah kesehatan

yang dialami pasien bersifat privasi dan seorang perawat harus menjaga privasi pasien

dengan baik yang sesuai dengan aspek legal etik.

37