ini nying...mohon diliat.docx

40
MIKROBIOLOGI PADA SUSU Higiene Makanan Oleh Kelompok 3: 1. Markzy Brondy Laskmy (125130100111011) 2. Febby Dewayanti Savitri (125130100111012) 3. Bangun Dwi Yulian (125130100111013) 4. Deasy Andini Ersya P. (125130100111014) 5. Amelda Kurnia Esty V. (125130100111015)

Upload: deasy-ersya

Post on 24-Dec-2015

253 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ini nying...mohon diliat.docx

MIKROBIOLOGI PADA SUSU

Higiene Makanan

Oleh Kelompok 3:

1. Markzy Brondy Laskmy (125130100111011)

2. Febby Dewayanti Savitri (125130100111012)

3. Bangun Dwi Yulian (125130100111013)

4. Deasy Andini Ersya P. (125130100111014)

5. Amelda Kurnia Esty V. (125130100111015)

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014

Page 2: ini nying...mohon diliat.docx

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah

ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis membahas

mengenai “Mikrobiologi Pada Susu”. Penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang

pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun penulis. Kritik

konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah

selanjutnya. 

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian. 

Malang, April 2014 

Penulis

ii

Page 3: ini nying...mohon diliat.docx

DAFTAR ISI

HAL

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang............................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 2

1.3. Tujuan ........................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Susu ........................................................................................................ 3

2.2. Mirkoorganisme ..................................................................................... 4

BAB III. PEMBAHASAN

3.1. Mikroba Pada Susu................................................................................. 5

3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba Susu ......... 7

3.3. Penularan Mikroba Antar Kuartir Ambing ............................................ 9

3.4. Jumlah Sel Somatik dan Cemaran Mikroba Pada Susu.......................... 12

3.5. Strategi Pengendalian Mikroba Pada Susu ............................................ 13

3.6. Pemeriksaan Mikrobiologis Pada Susu .................................................. 14

BAB IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan ............................................................................................ 19

4.2. Saran ...................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 21

iii

Page 4: ini nying...mohon diliat.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Kandungan

protein, glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar 6,80

menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam susu. Secara alami, susu

mengandung mikroorganisme kurang dari 5 x 103 per ml jika diperah dengan cara

yang benar dan berasal dari sapi yang sehat (Jay 1996). Menurut (Frank, 2001), susu

merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi tinggi karena mempunyai

kandungan nutrisi yang lengkap antara lain lemak, protein, laktosa, vitamin,

mineral, dan enzim. Sebagai produk pangan yang kaya nutrisi, pH mendekati netral

dan kandungan airnya tinggi. Oleh karena itu susu sangat mudah mengalami

kerusakan akibat pencemaran mikroba. Salah satu potensi bahaya yang terdapat

dalam susu dan berbagai produk olahannya adalah bahaya mikrobiologis

(microbiological hazards), khususnya keberadaan mikroba patogen. Mikroba

patogen dapat mengakibatkan kerusakan susu dan lebih lanjut berakibat pada

munculnya penyakit terbawa susu (milkborne diseases). Dengan demikian susu

dapat menjadi sumber penularan penyakit jika tidak dikelola secara higienis.

Indonesia sebagai negara tropis yang kelembaban udaranya tinggi dan suhunya

hangat merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan mikroba patogen yang

dapat membahayakan kesehatan manusia (Fardiaz, 1993). Susu sapi yang berasal

dari sapi yang sehat dapat tercemar mikroba nonpatogen yang khas segera setelah

diperah. Pencemaran juga dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang

penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia

(Volk dan Wheeler, 1990). Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan

mutu dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna,

konsistensi, dan tampilan.

Berdasarkan SNI 01-6366-2000, batas cemaran mikroba dalam susu segar

adalah Total Plate Count (TPC) < 3 x 104 cfu/ml, koliform < 1 x 101 cfu/ml,

Staphylococcus aureus 1 x 101 cfu/ml, Escherichia coli negatif, Salmonella negatif,

dan Streptococcus group B negatif. Beberapa bakteri seperti Listeria

1

Page 5: ini nying...mohon diliat.docx

monocytogenes, Camphylobacter jejuni, E.coli, dan Salmonella sp. dilaporkan

mengontaminasi susu dengan prevalensi kecil (Jayarao et al. 2006).

Mutu mikrobiologik susu ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroba yang ada

dalam susu, yang secara langsung akan mempengaruhi daya simpan dan kelayakan

produk untuk dikonsumsi.

1.2 Rumusan Masalah

a. Mikroba apa saja yang terdapat dalam susu?

b. Apa saja faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada susu?

c. Apabila satu kuartir terkena cemaran, apakah kuartir lain aman untuk

dikonsumsi?

d. Berapakah jumlah sel somatic normal dan abnormal pada susu serta jumlah

cemaran mikrobia pada susu?

e. Bagaimana strategi pengendalian terhadap mikroba pada susu?

f. Bagaimana uji-uji untuk pemeriksaan mikrobiologis pada susu?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui bakteri yang terdapat pada susu.

b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada susu.

c. Mengetahui apakah bakteri dapat menyebar antar kuartir ambing?

d. Mengetahui batas jumlah sel somatik pada susu dan jumlah cemaran mikrobia

pada susu.

e. Mengetahui strategi pengendalian terhadap mikroba pada susu.

f. Mengetahui uji-uji untuk pemeriksaan mikrobiologis susu.

2

Page 6: ini nying...mohon diliat.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu

Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu

mamalia betina. Susu sapi  diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yogurt,

es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi

manusia. Dewasa ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur

produktif, susu membantu pertumbuhan mereka. Untuk orang lanjut usia, susu

membantu menopang tulang agar tidak keropos. Susu mengandung banyak vitamin

dan protein.  Secara alamiah susu sapi segar telah mengandung sejumlah vitamin,

mineral, laktosa (gula susu), asam lemak esensial (asam linoleat dan asam

linolenat), asam amino esensial (triptophan, tirosin), sphingomyelin, laktoferin, serta

prebiotik galakto-oligosakarida (GOS) dengan komposisi yang lengkap

(Hadiwiyoto, 1982).

Menurut Dwidjoseputro (1982), susu segar adalah susu murni, tidak

mengalami pemanasan, dan tidak ada penambahan bahan pengawet. Susu sapi segar

mengandung air (87,25%), laktosa (4,8%), lemak (3,8%), kasein (2,8%), albumin

(0,7%), dan garam-garaman (0,65%). Selain itu perlu kita tahu bahwa susu juga

mengandung vitamin, sitrat, dan enzim. Susu sapi yang baik memiliki warna putih

kekuningan dan tidak tembus cahaya. Warna susu dipengaruhi oleh jenis sapi, jenis

pakan, jumlah lemak susu, dan persentase zat padat di dalamnya. Pemeriksaan fisik

ditekankan pada BJ dan angka refraksi pada susu. Pengujian secara kimia

ditekankan untuk pengujian lemak dan bahan padat bukan lemak. Sedangkan

pengujian secara biologi harus difokuskan untuk penghitungan jumlah bakteri susu

dan karakterisasi aktifitas biokimianya.

Buckle (1987) menyebutkan bahwa susu dari sapi sehat steril pada saat

dibentuk, tetapi terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui saluran puting

karena tertarik oleh sisa susu yang masih ada. Efeknya susu yang baru diperah tidak

pernah steril, selain itu susu juga mengalami kontaminasi dari partikel debu, alat

yang tidak steril, dan dari orang yang melakukan pemerahan. Jumlah standar bakteri

susu di Indonesia adalah 3.000.000 / ml. Bakteri pada susu dapat menurunkan

3

Page 7: ini nying...mohon diliat.docx

kualitas dan merusak sifat fisik atau kimianya, misalnya pengasaman dan

penggumpalan akibat fermentasi laktosa menjadi asam laktat, pengentalan dan

pembentukan lendir, dan sebagainya.

2.2 Mikroorganisme

Mikroorganisme adalah sebuah organisme kehidupan yang terlalu kecil

untuk dilihat dengan mata telanjang. Ukuran yang digunakan untuk mikroorganisme

adalah mikrometer (µ m); 1 µ m = 0.001 milimeter; 1 nanometer (nm) = 0.001 µ m.

Dalam sebuah kelompok, mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran temperatur

yang cukup luas. Namun jumlah dan jenisnya sangat berkaitan dengan suhu

lingkungan dimana dia berada. Secara umum, menurut suhu, mikroorganisme dapat

dibedakan menjadi 4 jenis utama: (Ray, 2001)

Mikroorganisme Psycrophillic, tumbuh optimum pada suhu antara 20 to 30°C.

Masih dapat tumbuh pada suhu dibawah 7°C. Dibagi dua kelompok

lagi, Obligate Psychrophillic (0 - 15° C) dan Facultative Psychrophillic (0 - 40°

C). Pada umumnya organisme inilah yang bertanggung jawab terhadap

pembusukan dalam suhu ruang pendingin.

Mikroorganisme Mesophillic, tumbuh optimum pada suhu 30 to 40°C.

Mikroorganisme mesofilik cenderung tidak tumbuh pada suhu dalam ruang

pendingin (refrigerator).

Mikroorganisme Thermophillic, tumbuh optimum pada suhu 55 and 65° C.

Mikroorganisme Hyperthermophillic, yang hidup dengan baik pada suhu sangat

tinggi (sampai 110 ° C, bahkan dalam percobaan, ada yang tahan pada suhu 130°

C selama 2 jam).

4

Page 8: ini nying...mohon diliat.docx

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mikroba Pada Susu

Bakteri dalam susu dapat berasal dari sapi itu sendiri atau dari luar. Adanya

aktivitas bakteri dalam susu maka akan menyebabkan asam, mempunyai rasa dan

bau yang kurang baik, tetapi ada bakteri yang menguntungkan sehingga dipilih

sebagai kultur untuk fermentasi susu, sehingga diperoleh produk fermentasi susu.

Bakteri Asam Laktat (BAL)

Lactic acid bacteria termasuk bakteri gram positif fakultatif dan secara

umum tidak berbahaya, bahkan dibutuhkan oleh manusia dan hewan. BAL banyak

ditemukan di sekeliling kita, sebagai contoh, BAL banyak ditemukan di sekitar

vagina dan di dalam usus halus. BAL sangat berperan dalam membantu proses

pencernaan kita.BAL juga berperan dalam aspek kesehatan karena kandungan

mineral dan nutrisi lainnya. BAL mampu memproses karbohidrat dalam susu yang

disebut laktosa menjadi asam laktat. Mereka secara natural ada didalam susu

(murni) dan secara luas digunakan sebagai kultur starter dalam produksi berbagai

macam produk olahan fermentasi susu.

Bakteri Coliform

Coliform adalah mikroorganisme yang berbentuk batang (rod) dan

memiliki gram negatif. Coliform memiliki sifat fakultative anaerob. Artinya bakteri

ini normalnya dalam pernafasan aerobik memproduksi ATP (Adenosine

Triphosphate, sebuah monomer yang berfungsi sebagai media transportasi energi

kimia antar sel dalam makhluk hidup) apabila dalam lingkungannya tersedia

oksigen. Apabila oksigen tidak tersedia, organisme ini dapat berubah menjadi

produsen asam laktat dan alkohol atau yang dikenal dengan nama

fermentasi.Coliform aktif tumbuh pada suhu sekitar 37° C. Organisme ini dapat

menyebabkan pembusukan yang cepat pada susu karena mampu melakukan

fermentasi pada laktosa pada suhu sekitar 35° C dan sekaligus juga memproduksi

5

Page 9: ini nying...mohon diliat.docx

asam dan gas. Selain itu mereka juga mampu mendegradasi protein pada

susu.Coliform adalah organisme indikator. Artinya, kehadiran organisme ini sering

diasosiasikan dengan organisme patogen, tapi tidak berarti bahwa coliform ini

dengan sendirinya adalah patogen. Kehadiran coliform merupakan indikator yang

baik bahwa sesuatu itu telah terkena kontaminasi. Coliform dapat dimatikan dengan

proses yang disebut HTST (High Temperature, Short Time) pada 72°C selama 16

detik.Escherichia coli (E-coli) merupakan salah satu anggota dari kelompok

coliform dan dapat melakukan fermentasi gula susu (laktosa) pada suhu 44°C.

Bakteri Perusak Susu

Kualitas mikrobial dalam susu segar sangat penting bagi penilaian dan

produksi produk susu yang berkualitas. Susu dapat disebut telah rusak apabila

terdapat gangguan dalam tekstur, warna, bau dan rasa pada kondisi dimana susu

tersebut sudah tidak patut lagi dikonsumsi oleh manusia. Kerusakan yang

disebabkan oleh mikroorganisme dalam makanan sering melibatkan degradasi dari

zat zat nutrisi seperti protein, karbohidrat dan lemak, baik oleh mikroorganisme itu

sendiri maupun enzim yang diproduksinya (Jansen, 2010).

Secara umum pada susu mikroorganisme yang berperan dalam hal ini

adalah organisme psikotrof. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini dapat

dihancurkan pada temperatur pasteurisasi, sayangnya, beberapa jenis

sepertiPseudomonas fluorescens dan Pseudomonas fragi dapat memproduksi

proteolitik dan lipolitik enzim yang stabil pada suhu tinggi dan dapat menyebabkan

kerusakan.

Beberapa spesies dan keturunan dari Bacillus, Clostridium,

Cornebacterium, Arthrobacter, Lactobacillus, Microbacterium, Micrococcus, dan

Streptococcus dapat bertahan pada temperatur pasteurisasi dan sekaligus mampu

tumbuh pada suhu dalam ruang pendingin yang pada akhirnya dapat menyebabkan

masalah kerusakan dan pembusukan pada bahan makanan terutama susu (Jansen,

2010).

Mikroorganisme Patogen pada Susu

Produksi susu yang higienis seperti penanganan yang cepat dan tepat,

penggunaan alat produksi dan alat penyimpanan serta teknik teknik pasteurisasi

telah menurunkan ancaman penyebaran penyakit melalui susu seperti tuberkulosis

6

Page 10: ini nying...mohon diliat.docx

(TBC), brucellosis dan lain sebagainya. Walaupun masih menjadi perdebatan di

kalangan ilmuwan, terbukti sudah ada beberapa kasus penyakit yang berasal dari

mengkonsumsi susu segar, atau produk susu sapi yang dibuat dari susu yang tidak

di pasteurisasi dengan benar atau kurang baik dalam penanganan sepanjang proses

produksinya. Beberapa bakteri patogen dalam susu segar dan produk susu yang

masih menjadi perhatian saat ini antara lain Bacillus cereus, Listeria

monocytogenes, Yersinia enterocolitica, Salmonella spp., Escherichia

coli O157:H7, Campylobacter jejuni.

Beberapa jenis jamur, kebanyakan dari spesies Aspergillus, Fusarium,

dan Penicillium dapat tumbuh dalam media susu dan produk susu lainnya. Apabila

kondisinya memungkinkan, organisme ini dapat memproduksi zat mycotoxin yang

dapat berbahaya bagi kesehatan (Jansen, 2010).

3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba Susu

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mikroba meliputi

unsur-unsur nutrisi dan faktor lingkungan yaitu  faktor-faktor biotik dan faktor-

faktor abiotik. Faktor-faktor biotik terdiri atas mahluk-mahluk hidup, sedang faktor-

faktor abiotik terdiri dari faktor-faktor alam (fisika) dan faktor-faktor kimia.

Faktor Suplai Nutrisi 

Mikroba sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi

sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Unsur-unsur dasar tersebut

adalah: karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah

kecil logam lainnya. Ketiadaan atau kekurangan sumber-sumber nutrisi ini

dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba hingga pada akhirnya dapat

menyebabkan kematian (Supardi, 1999).

Kondisi tidak bersih dan higinis pada lingkungan adalah kondisi yang

menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sehingga mikroba dapat

tumbuh berkembang di lingkungan seperti ini. Oleh karena itu, prinsip daripada

menciptakan lingkungan bersih dan higinis adalah untuk mengeliminir dan

meminimalisir sumber nutrisi bagi mikroba agar pertumbuhannya terkendali

(Supardi, 1999).

7

Page 11: ini nying...mohon diliat.docx

Suhu

Suhu pertumbuhan suatu mikrobia dapat di bedakan dalam suhu

minimum, optimum dan maksimum. Daya tahan terhadap suhu itu tidak sama

bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan

beberapa menit di dalam cairan medium pada suhu 60°C, sebaliknya, bakteri

yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan Clostridium itu tetap hidup

setelah di panasi dengan uap 100°C atau lebih selama kira-kira setengah jam.

Untuk sterilisali, maka syaratnya untuk membunuh setiap spesies untuk

membunuh setiap spesies bakteri ialah pemanasan selama 15 menit dengan

tekanan 15 pound serta suhu 121°C di dalam autoklaf (Winarno, 2000).

Suhu dapat mempengaruhi mikroba dalam dua cara yang berlawanan sebagai

berikut :

1. Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan

dipercepat. Sebaliknya apabila suhu turun, maka kecepatan metabolisme

akan menurun dan pertumbuhan diperlambat.

2. Apabila suhu naik atau turun secara drastis, tingkat pertumbuhan akan

terhenti, kompenen sel menjadi tidak aktif dan rusak, sehingga sel-sel

menjadi mati.

Berdasarkan hal di atas, maka suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan

mikroorganisme digolongkan menjadi tiga, yaitu :

Suhu minimum yaitu suhu yang apabila berada di bawahnya maka

pertumbuhan terhenti.

Suhu optimum yaitu suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling cepat

dan optimum. (Disebut juga suhu inkubasi)

Suhu maksimum yaitu suhu yang apabila berada di atasnya maka

pertumbuhan tidak terjadi.

        Tabel 1 : Penggolongan bakteri menurut suhu

Kelompok Suhu Minimum Suhu OptimumSuhu

Maksimum

Psikrofil - 15o C. 10o C. 20o C.

Psikrotrof - 1o C. 25o C. 35o C.

Mesofil 5 – 10o C. 30 – 37o C. 40o C.

8

Page 12: ini nying...mohon diliat.docx

Thermofil 40o C. 45 – 55o C. 60 – 80o C.

Thermotrof 15o C. 42 – 46o C. 50o C.

pH (derajat keasaman)

Mikrobia dapat tumbuh baik pada daerah pH tertentu, misalnya untuk

bakteri pada pH 6,5 – 7,5; khamir pada pH 4,0 – 4,5 sedangkan jamur dan

aktinomisetes pada daerah pH yang luas. Setiap mikrobia mempunyai pH

minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhanya. Berdasarkan atas

perbedaan daerah pH untuk pertumbuhanya dapat dibedakan mikrobia yaitu:

(Glimour, 1990)

a. asidofil, tumbuh pada pH 2,0 – 5,0

b. mesofil ( neutrofil ) tumbuh pada pH 5,5 – 8,0

c. alkalofil tumbuh pada pH 8,4 – 9,5

Tabel 2. Nilai pH untuk pertumbuhan mikrobia

Mikrobia pH minimum pH maksimum

Bakteri:

        Escherichia coli

        Salmonella typhi

        Streptococcus lactis

        Lactobacillus spp.

        Thiobacillus thiooxidans

4,4

4,5

4,3 – 4,8

3 0

< 1,0

9,0

8,0

7,2

9,8

Jamur 1,5-2,0 11,0

Yeast 1,5 8,0-8,5

Acontium velatum (fungi) 0,2-0,7 7,0

3.3 Penularan Mikroba Antar Kuartir Ambing

Cara Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari kuartir

terinfeksi ke kuartir normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin

pemerah dan lalat.

Untuk mengetahui mekanisme infeksi staphylococcalmastitis harus

diketahui terlebih dahulu anatomi fisiologi dari ambing. Pada sapi, ambing terdiri

9

Page 13: ini nying...mohon diliat.docx

dari empat kuartir yang terletak di dacrah inguinal, caudal dari umbilikus dan

meluas ke belakang antara dua paha. Setiap kuartir dibatasi oleh selubung (sekat

pemisah), sehingga antar kuartir tidak ada hubungan langsung. Lubang puting

berhubungan langsung dengan pucuk saluran (kanal puting), yang kerjanya diatur

oleh otot sphincter. Di dorsal kanel puting terdapat di siterna puting (sinus

papilaris) dan di siterna kelenjar (sinus laktiferus) terletak di atas sinus papilaris. Di

dalam sinus laktiferus terjulur 8 – I2 saluran susu atau galaktophor. Kanal puting

berdinding epitel squamos yang serupa dengan struktur epidermis kulit, di bawah

epitel terdapat serabut-serabut otot. Sinus laktiferus dibatasi oleh epitel berlapis dua

(Blood dan Henderson, 1963).

Gejala klinis mastitis akan nampak pada tahap inflamasi dan pada

pemeriksaan mikroskopis terlihat, jumlah sel somatik meningkat. Peradangan yang

terjadi adalah sebagai respon tubuh terhadap metabolit dan toksin yang dihasilkan

oleh metabolisme bakteri yang merangsang jaringan kelenjar ambing. Gejala-gejala

yang terlihat merupakan ekspresi pertahanan tubuh (homeostase) yang bertujuan

untuk memperbaiki kerusakan jaringan tubuh dan menghilangkan bakteri penyebab

serta mengembalikan keadaan tubuh seperti semula.

Cowan dan Stael (1973), mengemukakan bahwa higiene kandang yang

kurang, cara pemerahan yang tidak legeartis dan adanya luka/lecet pada ambing

merupakan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya invasi Staphylococcus.

Mereka mengemukakan tiga cara invasi Staphylococcus ke kelenjar ambing yaitu

melalui kanal puting, luka pada puting dan luka pada kulit ambing.

Sphincter puting adalah otot yang mengatur membuka dan menutup kanal

puting sehingga mikroorganisme tidak leluasa masuk ke kelenjar ambing.

Kemungkinan mikroorganisme dapat melalui sphincter puting karena adanya

mekanisme fisis puting. Mc Donald (1975), mengemukakan peranan mesin perah

dapat mempermudah invasi mikroorganisme ke kelenjar ambing. Setelah mesin

perah berhenti bekerja, bagian distal dan pertengahan saluran susu berdilatasi

kemudian bagian proksimal dan kemungkinan pada saat inilah mikroorganisme

dengan mudah masuk melalui saluran puting. Invasi bakteri melalui luka puting

atau luka pada kulit ambing dapat terjadi sewaktu pemerahan. Bakteri dapat berasal

dari lap ambing yang digunakan, tangan si pemerah dan air pencuci ambing. Selain

itu bakteri yang terdapat di lantai kandang juga dapat menginvasi ambing melalui

luka puting atau ambing pada saat hewan berbaring.

10

Page 14: ini nying...mohon diliat.docx

Staphylococcus yang masuk ke kelenjar ambing berkembang biak dengan

cepat pada tempat perlokatannya. Sel epitel kanal puting, sinus laktiferus dan

duktus lal, tiferus merupakan jaringan tempat perlekatan Staphylococcus. Resistensi

kelenjar ambing, virulensi Staphylococcus, status laktasi pada saat infeksi

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tanda-tanda klinis penyakit dan

derajat peradangan. Tanda-tanda klinis staphylococcalmastitis dapat dilihat dari

bentuk sekresi susu, konsistensi dan temperatur ambing, reaksi peradangan dan

sistemik yang terjadi (Anderson, 1982). Staphylococcus adalah kuman pembentuk

nanah. Pada pemeriksaan patologis anatomis terlihat adanya penimbunan nanah di

dalam sinus dan duktus laktiferus. Oleh karena itu, gejala khas yang nampak

terbentuknya gangraena yang meluas. Gangraen terjadi secara cepat, dimana dalam

waktu lebih kurang 24 jam dapat menjadi hitam dan mengeluarkan serum. Juga

disertai emphisema subcutaneus dan pembentukan lepuh. Penyebaran gangraen

mulai terjadi setelah 6 - 7 hari (Blood dan Henderson, 1963). Secara histopatologis

ambing yang menderita staphylococcalmastitis perakut menunjukkan adanya

kerusakan jaringan yang nekrotik, terutama pada lumen alveolar dan dapat terlihat

adanya Staphylococcus dalam jumlah banyak. Selain itu di sekitar jaringan yang

mengalami nekrotik banyak ditemukan sel-sel neutrophyl (Anderson, 1982).

Terdapat S. epidermidis merupakan bakteri penyebab utama mastitis kronis.

Penetrasi Staphylococcus yang masuk secara laktogen maupun hematogen adalah

pada epitel kisterna dan duktus laktiferus. Anderson (1982) menyatakan bahwa

Staphylococcus yang terdapat pada epitel kisterna dan duktus laktiferus akan segera

berpindah ke alveoli kelenjar ambing dan membentuk pusat peradangan. Sebagai

usaha pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi Staphylococcus, pada daerah

peradangan banyak terdapat leukosit terutama neutrofil dan makrophag. Leukosit

tersebut bersifat memfagosit kuman penyebab peradangan. Kemudian Anderson

(1982), mengemukakan akibat adanya leukosit terhadap produksi susu sebagai

berikut leukosit yang terdapat pada alveoli kelenjar ambing dapat menyebabkan

pembesaran ruang alveolar dan mempersempit saluran gelembungair susu sehingga

dapat menghambat pengaliran air susu. Selain daripada itu adanya interaksi antara

Staphylococcus dan leukosit pada kelenjar ambing dapat mengakibatkan terjadinya

perubahan komposisi air susu secara kimiawi dan fisis. Jika leukosit berhasil

11

Page 15: ini nying...mohon diliat.docx

melemahkan kuman penyebab peradangan, maka dalam beberapa hari peradangan

dapat terhenti.

Terhentinya peradangan kadang-kadang diikuti dengan pembentukan

tenunan ikat di sekitar saluran air susu. Hal ini dapat menghambat pengeluaran air

susu sehingga terjadi penurunan produksi bahkan dapat menyebabkan berhentinya

produksi susu dari kuartir yang menderita.

3.4 Jumlah Sel Somatik dan Cemaran Mikroba Pada Susu

Jumlah sel somatik diatas 3-5 x 105 per ml susu menunjukan kemungkinana

terjadinya mastitis subklinis pada ternak sapi laktasi.

Jumlah sel somatik pada susu normal mempunyai jumlah kurang dari

300.000 per ml susu (Alfa, 1977).

Tabel rata-rata jumlah bakteri total pada susu segar dan susu pasteurisasi.

NO Jumlah bakteri total..x 106 CFU/ml

Susu Segar Susu Pasteurisasi

1 1,90 3,52

2 5,60 3,45

3 3,65 3,37

Rata-rata 3,70 3,45

Tabel rata-rata jumlah koliform pada susu segar dan susu pasteurisasi

NO Jumlah bakteri total..x 106 CFU/ml

Susu Segar Susu Pasteurisasi

1 2,26 0,22

2 1,83 1,39

3 2,40 0,48

Rata-rata 2,16 0,69

12

Page 16: ini nying...mohon diliat.docx

Spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada

susu (dalam satuan CFU/gram atau ml)

Jenis Cemaran Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM)

Susu Segar Susu

Pasteurisasi

Susu Bubuk Susu

Steril/UHT

Jumlah Total

(Total plate

Count)

1x106 <3x104 5x104 <10/0,1

Coliform 2x101 <0,1x101 0 0

Eschericia Coli

(patogen)

0 0 0 0

Enterococci 1x102 1x102 1x101 0

Staphylococcus

aureus

1x102 1x101 1x101 0

Clostridium sp 0 0 0 0

Salmonella sp Negatif Negatif Negatif Negatif

Camphylobacter

sp

0 0 0 0

Listeria sp 0 0 0 0

(Dewan Standardisasi Nasional_DSN, 2000)

3.5 Strategi Pengendalian Mikroba Pada Susu

Mencegah keracunan setelah minum susu dapat dilakukan dengan

memperbaiki proses penerimaan bahan baku atau susu segar, penanganan,

pemrosesan, dan penyimpanan. Kontaminasi pada susu dapat dikurangi antara lain

dengan menjaga kesehatan ternak, higiene susu, dan pasteurisasi (Jeffrey et al.

2009). Higiene personal berperan penting pula dalam mencegah keracunan setelah

minum susu. Penerimaan bahan baku harus memenuhi standar SNI susu segar.

Selama penanganan, susu ditempatkan pada suhu dingin dalam milk can tertutup

sehingga terhindar dari kontaminasi lingkungan.

Untuk susu segar yang telah memenuhi standar SNI, proses penyimpanan

dan pendistribusiannya sampai ke tangan konsumen perlu diperhatikan.

Penyimpanan harus dilakukan pada suhu dingin sampai susu ke tangan konsumen

13

Page 17: ini nying...mohon diliat.docx

karena meskipun telah melalui proses pasteurisasi, susu masih mengandung bakteri

pembusuk. Bakteri pembusuk akan berkembang pada suhu ruang. Oleh karena itu,

susu pasteurisasi harus disimpan pada kondisi dingin. Susu yang mengandung

mikroba >106 cfu/ml sudah terbentuk toksin yang dengan pasteurisasi masih dapat

bertahan hidup (Suwito, 2010).

Pasteurisasi

Kasus keracunan setelah minum susu perlu diwaspadai dan diperlukan

tindakan pencegahan. Pasteurisasi merupakan salah satu tindakan yang dapat

dilakukan untuk mematikan bakteri patogen. Namun, melalui pasteurisasi, bakteri

yang berspora masih tahan hidup sehingga susu pasteurisasi hanya memiliki masa

kedaluwarsa sekitar satu minggu. Pasteurisasi dilakukan dengan waktu tertentu.

Pasteurisasi tidak mengubah komposisi susu sehingga komposisinya masih setara

susu segar (Jay 1996). Pasteurisasi umumnya dilakukan pada suhu 720 C selama 15

detik.

Ultra high temperature (UHT)

Susu yang melalui proses UHT akan memiliki masa kedaluwarsa lebih

panjang dibandingkan dengan susu pasteurisasi. Susu dengan proses UHT akan

steril karena bakteri pembusuk, patogen, dan berspora akan mati sehingga susu

aman dikonsumsi. Kasus keracunan setelah minum susu yang disebabkan oleh S.

aureusterjadi karena kontaminasi selama penyimpanan maupun proses produksi

(Suwito, 2010).

Penggunaan Bakteriosin

Bakteriosin merupakan antimikroba yang digunakan untuk menonaktifkan

mikroba. Pengendalian bakteri patogen dapat dilakukan dengan kombinasi antara

bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat dan suhu tinggi. Cara ini sudah

diterapkan pada industri keju di Spanyol (Arques, 2005).

Nisin dan bakteriosin merupakan antimikroba yang dihasilkan oleh

Lactococcus lactis subsp. Lactis yang dapat menekan Bacillus cereus dalam susu.

Nisin merupakan antimikroba alami yang sudah lama digunakan untuk

mengendalikan bakteri pembusuk dalam proses pasteuri- sasi susu sehingga sel

vegetatif dan spora Bacillus cereus tidak aktif (Wandling, 1999).

14

Page 18: ini nying...mohon diliat.docx

Pencucian dengan neutral electrolysed water (NEW)Pencucian peralatan yang digunakan dalam proses pasteurisasi dapat

menggunakan neutral electrolysed water (NEW). Efektivitas NEW sama dengan

sodium hipoklorit (NaOCl) dan metode ini efektif untuk menonaktifkan E. coli, L.

monocytogenes, Pseudomonas aeroginosa, dan S. aureus. Peralatan yang terbuat

dari baja tahan karat yang digunakan selama proses pasteurisasi, bila tidak segera

dicuci akan berpotensi terbentuknya biofilm atau koloni bakteri yang berbentuk

seperti lendir sehingga akan lebih tahan terhadap proses pencucian biasa (Deza et al.

2005).

3.6 Pemeriksaan Mikrobiologis Pada Susu

Total Plate Count (TPC)

SNI 01-6366-2000 mensyaratkan pemeriksaan TPC perlu dilakukan

untuk mengetahui kualitas susu. Jumlah TPC >106 cfu/ml menyebabkan mikroba

cepat berkembang dan toksin sudah terbentuk. Susu akan cepat rusak apabila

disimpan pada suhu ruang lebih dari 5 jam, jarak antara peternak dan tempat

pengumpul susu jauh tanpa dilengkapi dengan sarana pendingin (Jayarao et al.

2006). Sebagian industri pengolahan susu akan menolak susu apabila jumlah

TPC >106 cfu/ml. Pemeriksaan TPC dapat dilakukan dengan metode hitungan

cawan (Dwitania, et al, 2013).

Isolasi dan Identifikasi

Isolasi dan identifikasi merupakan metode konvensional dalam

pemeriksaan bakteri yang didasarkan pada reaksi biokimia. Oleh karena itu,

dalam isolasi dan identifikasi bakteri diperlukan media yang selektif. Setelah

dilakukan pewarnaan Gram dilanjutkan dengan uji biokimia pada berbagai

media seperti gula. Bakteri yang sudah diisolasi dan diidentifikasi selanjutnya

diuji secara serologis untuk menentukan serotipenya. Isolasi dan identifikasi

untuk berbagai jenis bakteri dapat mengikuti metode Cowan (Dwitania, et al,

2013).

Polymerase Chain Reaction (PCR)

15

Page 19: ini nying...mohon diliat.docx

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan uji mikrobiologis yang

lebih sensitif dibandingkan dengan metode konvensional. Saat ini banyak

pengembangan dari metode PCR, salah satunya adalah Multiplex PCR. Metode

ini dapat digunakan untuk mendeteksi S. aureus dan membedakan jenis

enterotoksin. Pengembangan PCR yang memberikan sensitivitas 93,30% dan

mendeteksi S. aureus 103 cfu/g adalah Real Time PCR (RTQ-PCR). Teknik 3

Reaction multiplex PCR lebih akurat, cepat, dan spesifik karena metode tersebut

menggunakan tiga primer sehingga dalam satu kali running dapat mendeteksi

tiga jenis bakteri patogen sekaligus (Dwitania, et al, 2013).

Uji derajat asam (⁰SH)

Prinsip pada uji derajat asam yaitu secara titrasi ditetapkan kadar asam

yang terbentuk dalam susu. Asam yang terbentuk sebagian besar karena

perombakan laktosa menjadi asam akibat kerja mikroorganisme. Susu sebanyak

10 ml masukkan dalam 2 botol Erlenmeyer. Kemudian diteteskan indikator

phenolphtalein sebanyak 0,4 ml ke dalam botol Erlenmeyer pertama, sedangkan

botol Erlenmeyer yang kedua sebagai kontrol. Botol Erlenmeyer pertama

dititrasi dengan NaOH 0,1N setetes demi setetes sambil digoyang-goyangkan

sampai terbentuk warna merah muda, pada kondisi ini sudah tercapai bagian

antara asam dan basa. Jumlah NaOH 0,1N yang dipakai dikali empat karena

jumlah susu yang dipakai 10 ml, seharusnya 100 ml (Suardana, et al, 2004).

Uji Didih

Prinsip pada uji didih yaitu, susu yang memiliki kualitas yang tidak

bagus akan pecah ataupun menggumpal bila melalui proses didih. Bila susu

dalam keadaan asam menjadikan kestabilan kasein menurun, koagulasi kasein

ini yang akan mengakibatkan pecahnya susu, tetapi apabila susu dalam keadaan

baik maka hasil yang dapat dilihat dari uji didih adalah susu masih dalam

keadaan homogen atau tidak pecah.

Susu sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan

menggunakan penjepit tabung, kemudian tabung dipanaskan dengan

menggunakan api Bunsen sampai mendidih. Uji didih menunjukkan hasil yang

positif (kualitas susu tidak baik) bila terdapat gumpalan yang menempel pada

16

Page 20: ini nying...mohon diliat.docx

dinding tabung reaksi, sedangkan hasil yang negatif tidak terlihatnya gumpalan

susu pada dinding tabung reaksi (Dwitania, et al, 2013).

Uji Alkohol

Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal

protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-

butir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol yang

memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi

derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan

yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama banyaknya.

Tuangkan susu sebanyak 3 ml ke dalam tabung reaksi kemudian

tambahkan 3 ml alkohol 70%, kemudian tabung dikocok perlahan-lahan. Uji

alkohol positif ditandai dengan adanya butiran susu yang melekat pada dinding

tabung reaksi, sedangkan uji alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya

butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi (Dwitania, et al, 2013).

Uji CMT (California Mastitis Test)

Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml

reagen CMT. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 10-15 detik.

Hasil pengujian berupa negatif (bila campuran susu dan reagen CMT tetap

homogen), Trace (Terbentuk sedikit endapan), positif 1 (Endapan terlihat jelas),

positif 2 (Campuran langsung mengental dan Gel bergerak ke tengah paddle),

dan positif 3 (Banyak terbentuk gel dan gel yang terbentuk menyebabkan

permukaan menjadi cembung) (Setiawan, et al, 2012).

Uji WST (Whiteside Test)

Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml

reagen WST. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama 15-20 detik.

Hasil pengujian berupa negatif (tidak terjadi perubahan larutan, campuran tetap

dalam keadaan cair), Trace (terbentuk sedikit endapan), positif 1 (terjadi sedikit

koagulasi namun segera menghilang), positif 2 (terjadi koagulasi pada

permulaan diputar), positif 3 (gel mengumpul ditengah setelah diputar-putar),

dan positif 4 (terbentuk jel yang sangat kental) (Setiawan, et al, 2012).

17

Page 21: ini nying...mohon diliat.docx

Uji SFMT (Surf Field Mastitis Test)

Sebanyak 2 ml susu diletakkan pada paddle, dan ditambahkan 2 ml

reagen SFMT (S) 10%. Digoyangkan secara horizontal perlahan-lahan selama

15-20 detik. Hasil pengujian berupa negatif (campuran terlihat encerdan tidak

terbentuk endapan), positif 1 (terdapat endapan dan tidak ada kecenderungan

membentuk), positif 2 (campuran langsung mengental dan gel bergerak ke

tengah paddle), dan positif 3 (banyak terbentuk gel dan gel pada paddle tidak

bisa digoyang-goyang) (Setiawan, et al, 2012).

Uji Breed

Pengujian breed dilakukan secara duplo dengan prosedur susu sebanyak

0,01 ml diletakkan pada gelas obyek bebas lemak dan disebarluaskan pada

bidang 1 cm2 dengan menggunakan ‘ose’ siku. Susu diletakkan di atas gelas

obyek kemudian dikeringkan di udara selama 10 – 15 menit kemudian difiksasi

di atas nyala api bunsen. Lalu preparat susu dihilangkan kandungan lemaknya

dengan direndam eter alkohol 96% selama 2 menit kemudian preparat direndam

dalam methylen blue selama 2 menit. Setelah pewarnaan preparat dicuci dengan

air lalu dengan alkohol 96% kemudian dikeringkan lalu diamati dengan

mikroskop pada pembesaran 1000x (Firmansyah., et al, 2012).

Uji Lemak Metode Gerber

Sampel susu dihomogenkan kemudian diambil 10 ml dan dimasukan ke

dalam butirometer. Selanjutnya, H2SO4 dimasukan ke butyrometer dengan

dispensette-11 ml kemudian ditambahkan 1 ml amyl alkohol lalu ditutup dengan

rubberlock dan direndam pada suhu 65° C selama 5 menit. Kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, lalu diamati hasilnya.

Uji Protein, Laktosa, Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak

Menggunakan Lactoscan. Pengujian menggunakan lactoscan Hasil dari

penggujian bisa dilihat pada layar lactoscan (Firmansyah., et al, 2012).

18

Page 22: ini nying...mohon diliat.docx

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan zat gizi.

Kandungan protein, glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar

6,80 menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam susu. Sedangkan

mikroorganisme adalah sebuah organisme kehidupan yang terlalu kecil untuk

dilihat dengan mata telanjang. Mikroorganisme dalam susu dapat berasal dari sapi

itu sendiri atau dari luar adapaun bakteri itu adalah Bakteri Asam Laktat (BAL),

bakteri Coliform, bakteri perusak susu dan mikroorganisme patogen pada susu.

Bakteri ini dapat berkembang dalam susu dipengaruhi oleh faktor unsur nutrisi dan

faktor lingkungan yaitu  faktor-faktor biotik dan faktor-faktor abiotik. Bakteri ini

juga dapat menular antar kuartir yang abnormal ke kuartir yang normal dengan cara

dari kuartir terinfeksi ke kuartir normal bisa melalui tangan pemerah, kain

pembersih, mesin pemerah dan lalat dan juga kemungkinan mikroorganisme dapat

melalui sphincter puting karena adanya mekanisme fisis puting. Sedangkan susu

yang normal itu mempunyai jumlah sel somatik dibawah 300.000 per ml susu dan

susu yang tidak normal itu jumlah sel somatik diatas 3-5 x 105 per ml susu yang

menunjukan kemungkinana terjadinya mastitis subklinis pada ternak sapi laktasi.

Apabila untuk mencegah adanya keracunan dengan cara memperbaiki

proses penerimaan bahan baku atau susu segar, penanganan, pemrosesan, dan

penyimpanan. Selain itu kontaminasi pada susu dapat dikurangi antara lain dengan

menjaga kesehatan ternak, higiene susu, dan pasteurisasi. Dan pemeriksaan

mikrobiologi pada susu dapat dilakuakan dengan Uji Lemak Metode Gerber, Uji

WST (Whiteside Test), Uji CMT (California Mastitis Test) , Uji alcohol, Uji Breed

, Uji SFMT (Surf Field Mastitis Test), Uji didih, Uji derajat asam (⁰SH) ,

Polymerase Chain Reaction (PCR), Isolasi dan Identifikasi, Total Plate Count

(TPC)

19

Page 23: ini nying...mohon diliat.docx

4.2 Kritik dan Saran

Demikian yang telah dipaparkan mengenai materi yang menjadi pokok

bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,

kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada

hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca

memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya

makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya.

Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.

20

Page 24: ini nying...mohon diliat.docx

DAFTAR PUSTAKA

Alfa Laval. 1977. Dairy Handbook. Alfa Laval Dairy and Food Engineering Division.

Sweden. Arques, J.L., E. Rodriguez, G. Gaya, M. Medina, B. Guamis, and M. Nunez. 2005. In-

activation of Staphylococcus aureus in raw milk cheese by combinations of high-

pressure treatments and bacteriocin producing lactic acid bacteria. J. Appl. Microbiol.

(98): 254−260.

Anderson, J. C. 1982. Progressive pathology of staphylococcalmastitis with a note on control,

immunisation and therapy. The Vet. Recrd 17: 372 - 376.

Blood, D.C and J.A. Henderson. 1963. ne. 3th ed. Bailliere Tindall. London.

Buckle,K.A., 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Cowan, S.T and K.J. Stael. 1973. Cation Of Medical Bacteria. Press, London. Manual of the

Identify Cambridge University.

Deza, M.A., M. Araujo, and M.J. Garrido. 2005. Inactivation of Escherichia coli, Listeria

monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, and Staphylococcus aureus on stainless

steel and glass surfaces by neutral electrolysed water. Lett. Appl. Microbiol. (40):

341−346.

Dwijoseputro. 1982. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Dwitania, Deski Citra dan Swacita, Ida Bagus Ngurah. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat

Asam Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Indonesia

Medicus Veterinus 2013 2(4) : 437 - 444 ISSN : 2301-7848

Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Firmansyah, Diki, et al. 2012. Effect Subclinical Mastitis Stage Toward Milk Quality For Pfh

(Peranakan Friesian Holstein) Dairy Catle In All Months Of Lactation. Program Studi

Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya

Frank J.F. 2001. Milk and Dairy Products. Dalam Doyle M.P., Food Microbiology:

Fundamentals and Frontiers Edisi k-2. Washington, DC: sam Press.

21

Page 25: ini nying...mohon diliat.docx

Glimour, A. Rowe MT. 1990. Microorganism Associated With Milk Dairy Microbiology. Vol. 1.

2nd Ed. Department of  Food Science and Teknology. University of Reading. UK.

Hadiwiyoto, S. 1982. Teknik Uji Mutu Susu dan Hasil Olahannya (Teori dan Praktek).

Yogyakarta: Liberty.

Jay, M.J. 1996. Modern Food Microbiology. Fifth Ed. International Thomson Publishing,

Chapman & Hall Book, Dept. BC. p. 469−471.

Jayarao, B.M., S.C. Donaldson, B.A. Straley, A.A. Sawant, N.V. Hegde, and J.L. Brown. 2006.

A survey of foodborne pathogens in bulk tank milk and raw milk consumption among

farm families in Pennsylvania. J. Dairy Sci. (89): 2451−2458.

Jeffrey, T., Lejeune, and P.J.R. Schultz. 2009. Unpasteurized milk: A continued public health

threat. Food Safety. Clinical Infectious Dis. (48): 93−100.

Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd Ed. Boca Raton: CRC Press.

Setiawan, Heri et al. 2012. The sensitivity and Specificity Study of CMT, WST, and SFMT

reagents as Subclinical Mastitis Test Materials at Sumber Makmur Dairy Farm,

Ngantang. Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan,

Universitas Brawijaya.

[SNI] Standar Nasional Indonesia 01- 6366-2000. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba

dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Dewan

Standarisasi Nasional.

Suardana, IW. dan I.B.N. Swacita.2004. Food Hygiene. Petunjuk Laboratorium. Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar.

Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung:

IKAPI.

Suwito, Widodo. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu: Deteksi, Patogenesis,

Epidemiologi dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010 p. 96-

100.

22

Page 26: ini nying...mohon diliat.docx

Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar.S. Adisoemarto (Ed.). Edisi ke-5.

Penerbit Erlangga, Jakarta.

Wandling, L.R., B.W. Sheldon, and P.M. Foegeding. 1999. Nisin in milk sensitizes spores to

heat and prevents recovery of survivors. J. Food Protect. 65(5): 492−498.

Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 2000. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.

Gramedia.

23