indonesian movie today (1)
DESCRIPTION
2nd edition of Koma, Tanpa Titik magazine. It talks about the development of movie industry nowadays in Indonesia.TRANSCRIPT
[Type text]
Hal | 2
Daftar Isi
Penyusun 3
Pengantar 4
Kelompok 21, Penguasa Eksibisi Film Indonesia 5
Geliat Film Animasi Indonesia 7
Film Dalam Negeri (Juga) Mumpuni 9
Film Barat yang Berlatar Indonesia, Eksplorasi atau Eksploitasi? 11
Nonton Film, Cara Instan Baca Novel 14
Cinema as everlasting place 15
CD, Masihkah Diperlukan Untuk Menonton Film? 17
Sinema Lokal, Selalu Membuat Terpingkal-Pingkal 19
Sepak Terjang Klub Sinematografi Unair 20
Resensi Film Mei-Juli 2013 22
Hal | 3
PENYUSUN
‘Koma edisi liburan’
Penanggung Jawab Fajrin Marhaendra Bakti | Pemimpin
Redaksi Permata Romadhonita | Wakil Pemimpin Redaksi
Riste Isabella Panjaitan | Redaktur Ririe rachmania,
reinhard Yeremia, Nurisma Yunitamurti, Sakinah Utami,
Masitha Dewi Pramesti, Yordhan F.A Bayhaqi, Rendy
Deawangsa, Amalia Nurul Muthmainnah, Keumala Fauzan
Andini, Annisa Puspa Andira, Octa Lidya Ghaisani | Reporter
Rif’atul Qomariyah, Ramadhanty Arish Syahputri, Moh. Agus
Habibullah, Dian Novitasari, Ardianti Koeswandari, Ardhila
Radia, Dewi Qoirotul Uyun, Makrom Ubaid, Nurindah
Kusumawardhani
TIM KREATIF
Sakti Aji Sasmita, Astrid Anggraini Dewi, Idame Kinanti Agia,
Bella Adilah, Debora Danisa Sitanggang, Cassia Eunice,
Nadiah Fairuz Azzahrah, As’ad Azwin, Muhammad Rizky, Dinda N.
Ardilla, Radyastuti Dyas, Reza Bakhtiar, Irma Eka Hertiana,
Dian Wahyu Novitasari, Elsa W. Ramadhani
ALAMAT REDAKSI
Jl Dharmawangsa Dalam Surabaya
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Twitter: @himakom_ua
Blog: komaonline.blogspot.com
Email: [email protected]
Hal | 4
PENGANTAR
Hey folks!
Setelah sukses terbit pada bulan Mei 2013, Koma mengalami pergantian formasi.
Namanya saja organisasi, substitusi tetap dibutuhkan untuk menyesuaikan kondisi
terkini.
Sebagai perkenalan dengan anggota dan formasi baru, inilai dia, Koma edisi liburan.
Hanya tersedia versi pdf. Tidak ada versi cetaknya. Mengapa? Selain menghemat
dana, kalau liburan kayak gini, mahasiswa pun sebagian besar sedang tidak berada
di kampus. Sosial media menjadi media paling ampuh kami untuk menyebarluaskan
majalah ini.
Film dipiih menjadi tema besar. Hal ini dilatar-belakangi karena industri film
semakin hari semakin menjanjikan. Nonton film telah menjadi gaya hidup
masyarakat urban di kota besar. Namun, dibalik itu semua ternyata masih ada
masalah seputar perfilman tanah air, mulai dari monopoli yang dilakukan grup 21,
sepinya film animasi buatan anak negeri sampai keresahan akibat seringnya
Indonesia dijadikan latar belakang dalam pembuatan film mancanegara. Yang patut
digaris-bawahi adalah, apakah itu termasuk dalam eksplorasi atau eksploitasi?
Selamat membaca ya! :)
Redaktur
Hal | 5
Kelompok 21,
Penguasa Eksebisi Film Indonesia
Apa yang ada dalam benak kalian bila
mendengar bioskop Indonesia ?
Dari 5 orang yang kami tanyakan, kelimanya
menjawab 21 sebagai nama bioskop di
Indonesia. Sebagaimana yang diketahui,
kelompok 21 merupakan penguasa eksebisi film
di Indonesia dengan jumlah 153 Bioskop dan 153
gedung bioskop dan 645 layar.
Menurut Nizam, Sutradara Film Hasduk Berpola,
pembuat film hanya memiliki 21 sebagai pihak eksebitor dengan jumlah layar yang
banyak. "Hanya kelompok 21 yang punya jumlah bioskop yang banyak. Jadi ya itu
masalah utama kasus monopoli oleh 21 tersebut," ujarnya.
Tuduhan monopoli ini sebenarnya merupakan kasus lama dalam perfilman
Indonesia. Kelompok Blitz Megaplex sempat mengajukan gugatan atas dugaan
monopoli yang dilakukan oleh kelompok 21. Namun pihak Pengawas Persaingan
Usaha (PPU) menolak gugatan Blitz dengan alasan bukti yang tidak lengkap.
Monopoli inilah yang seakan membatasi peredaran film Indonesia. Seperti
permasalahan yang terjadi pada akhir April lalu. Produser Film 'Kerasukan', Ilham
Bintang, menarik filmnya dari bioskop 21 karena alasan pengurangan layar
sepihak oleh 21. Pengurangan jumlah layar ini diduga terkait beredarnya film
Hollywood Iron Man 3 yang laris di pasaran.
"Sebenarnya ini permasalahan lama ya. Kalo menurut UU Perfilman pasal 32 kan
jelas kuota film Indonesia di Bioskop itu kan 60%. Jadi disini bisa dilihat siapa yang
salah," terang Nizam, yang juga merupakan sutradara film Surat Kecil Untuk
Tuhan.
Nizam, yang lahir di Denpasar pada tanggal 16 Desember 1983, pun
menyayangkan pemerintah yang belum bertindak atas dugaan monopoli tersebut.
Hal | 6
Pemerintah terkesan tak melindungi industri perfilman dalam negeri dan lebih
mementingkan peredaran film hollywood.
Sebagai Sutradara, Nizam menyarankan untuk membuat pembuatan bioskop di
tiap kabupaten di Indonesia. Ini berkaitan dengan persebaran penonton yang saat
ini didominasi masyarakat menengah perkotaan.
"Seharusnya pemerintah membuat bioskop di tiap kabupaten untuk menjangkau
seluruh lapisan masyarakat. Bioskop itu nantinya akan memuat film-film Indonesia
yang telah diseleksi dan berkualitas baik. Ini satu-satunya cara untuk
menyelamatkan perfilman kita," saran Nizam dalam wawancara via email.
(RENDY/BELLA)
Hal | 7
Geliat Film Animasi Indonesia
Siapa tak mengenal Upin & Ipin? Serial animasi dari Malaysia ini sering menghiasi
salah satu saluran TV Indonesia. Bahkan para animator serial ini juga memproduksi film
dengan tokoh sama berjudul Geng: Pengembaraan Bermula. Serial animasi dari negeri
Jiran yang lain pun juga banyak tampil di layar kaca Indonesia, seperti BoBoiBoy dan Bola
Kampung. Beberapa dari serial tersebut bahkan menembus dunia Internasional dengan
diakuisisi oleh Disney. Belum lagi jika membahas film animasi Hollywood. Tentu sudah
banyak karya-karyanya yang kita kenal. Lantas bagaimana dengan nasib film atau serial
animasi dari Indonesia?
Indonesia bukannya tak bisa menghasilkan film kartun atau animasi. Hanya saja
memang karya tersebut belum banyak diapresiasi dan dikenal masyarakat luas. Beberapa
contoh film animasi buatan animator Indonesia misalnya Homeland dan Meraih Mimpi.
Homeland merupakan film animasi pertama Indonesia yang tayang di bioskop.
Namun sayangnya film yang rilis tahun 2004 ini belum bisa membangkitkan animo
masyarakat akan karya animasi asli Indonesia. Film ini juga belum bisa menembus
internasional.
Pada tahun 2008 animator-
animator Indonesia kembali
menghasilkan karya film 3D
berjudul Meraih Mimpi. Awalnya
film ini memang rilis di luar
Indonesia dengan judul Sing to the
Dawn yang diadaptasi dari buku
yang berjudul sama. Film ini
merupakan film pesanan
pemerintah Singapura sehingga
pembiayaannya pun berasal dari
pemerintah Singapura. Film yang
dikerjakan oleh Infinite Frameworks (IFW) yang berbasis di Batam ini dihasilkan oleh 150
animator Indonesia, dan hanya 5 orang saja yang non-Indonesia.
Salah satu animator Indonesia, Teguh Afandi menjelaskan bahwa sebenarnya
animator di indonesia itu hebat dalam membuat animasi. “Seperti Upin & Ipin, itu kan
yang buat orang Indonesia. Bahkan animator-animator Indonesia itu malah banyak yang
udah tembus level Hollywood,” paparnya.
Hal | 8
“Di Indonesia itu gaji untuk seorang animator masih bisa dibilang rendah daripada
di luar negeri yang sudah lebih dari cukup gajinya. Jadi, orang-orang indonesia yang punya
bakat tersebut, mayoritas pada lari ke luar negeri karena soal gaji, mereka sudah
terjamin” tuturnya. Hal ini memang patut disayangkan. Bakat animator Indonesia tak
diakui di negeri sendiri.
Admin dari fanpafge Komunitas Animator Indonesia ini mengungkapkan bahwa
karya animator Indonesia lebih banyak yang lari ke situs-situs seperti YouTube atau ke
dalam bentuk CD pembelajaran anak. Tentu kita juga masih ingat akan hadirnya film
animasi 3D Paddle Pop Begins: Petualangan Singa Pemberani. Walaupun tidak begitu
sukses di bioskop, film ini akhirnya juga banyak diminati dan tersebar dalam bentuk DVD.
Tapi Teguh masih optimis akan nasib
industri animasi Indonesia. Karena dia melihat
banyak animator yang sudah sukses di luar
negeri kemudian kembali ke Indonesia dan
membuat sebuah tempat pelatihan animasi.
Bahkan ada juga animator yang skarang masih
tinggal di luar negeri membuka kelas workshop
secara online. Adanya seminar dan workshop
tentang animasi yang dihadiri banyak peserta
juga merupakan indikasi bahwa minat orang
Indonesia akan animasi sudah tinggi.
Menurut Rini Sugianto, salah satu animator
Indonesia yang sukses di Hollywood, kurang
berkembangnya industry animasi di Indonesia
disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah
kurangnya apresiasi dari pemerintah maupun masyarakat, kurangnya dana, dan minimnya
teknologi. “Pembuatan animasi dengan kualitas yang bagus memang butuh waktu yang
lama dan biaya yang lumayan besar. Dan kayaknya di Indonesia masih banyak yang belum
mengerti tentang animation production itu sendiri. It's getting there thou”, ungkapnya.
Animator yang terlibat dalam pembuatan film The Adventure of Tin-Tin, Lord of
the Rings, The Avengers, dan The Hobbit ini juga memiliki keinginan untuk memajukan
dunia animasi Indonesia. Dia juga memiliki harapan agar animasi Indonesia semakin
berkembang. “Keep Going and expanding. Sekarang industrinya sendiri sudah mulai
berkembang . Dan semoga bisa terus berkembang dan bersaing dengan negara lain”,
harapnya kepada animator-animator Indonesia.
Walaupun memang saat ini perfilman animasi Indonesia nampaknya belum
berkembang, namun karya animasi Indonesia sudah mulai banyak dan kualitasnya pun
semakin baik. Karya-karya tersebut patut diapresiasi oleh semua kalangan agar kita tak
terus mengimpor film animasi dari luar negeri. (CENITZ/JERRY)
Hal | 9
FILM DALAM NEGERI (JUGA) MUMPUNI
Stigma negatif tampaknya telah melekat kuat dalam diri dunia perfilman
Indonesia. Identik dengan komedi dewasa serta horor “penjual paha-dada”, film dalam
negeri kerap kalah di tengah gempuran film-film box office Hollywood. Kalah telak di hati
rakyatnya sendiri. Namun kini, secara perlahan, sineas tanah air mulai melangkah
meninggalkan stereotip yang ada. Karya-karya terbaik dengan kualitas mumpuni terus
ditelurkan, bahkan tak sedikit pula yang sukses mengharumkan nama Indonesia di mata
dunia.
Setelah sempat mati suri selama dua dekade terakhir, 2012 lalu disebut-sebut
menjadi momentum kembalinya gairah perfilman dalam negeri. Sebut saja, The Raid
yang membuka tahun dengan prestasi luar biasa. Dikemas dalam balutan aksi pencak
silat, film garapan Gareth Huw Evans ini tembus ke berbagai festival film internasional,
diantaranya Festival Film Sundance, Festival Film Glasgow, Festival Film Internasional
Dublin Jameson dan Festival Mauvais Genre di Tours, Prancis. Tak berhenti sampai
disitu, penghargaan kelas dunia seperti The Cadillac People's Choice Midnight Madness
Award, TIFF 2011 pun berhasil disabet.
Adapula Postcard from The Zoo yang tak kalah menuai banyak respon positif.
Dibintangi oleh Lidya Cheryl dan Nicholas Saputra, film yang menyorot kebun binatang
ini ditayangkan di berbagai festival kelas dunia serta meraih berbagai nominasi
internasional, diantaranya sebagai Golden Bear (Film terbaik) di Berlin Film Festival, Best
Feature Narative di Tribeca Film festival dan Cinema Young Competition di Hongkong
International Film Festival.
Tak hanya film komersil, karya-karya independen pun ikut membuat nama
Indonesia makin diperhitungkan. Salah satunya, Vakansi yang Janggal dan Penyakit
Lainnya. Garapan Yoseph Anggi Noen ini sangat menghebohkan. Sebelum tayang di
bioskop Indonesia, film ini justru telah malang melintang di festival internasional.
Deretan di belakangnya yang turut menuai prestasi masih panjang. Yakni,
Khalifah, Belenggu, Negeri di Bawah Kabut, Pirate Brother, L4 Lupus, Bermula dari A,
Dilema dan Atambua 34 Derajat Celcius. Namun, yang menjadi kejutan ialah Lovely Man
besutan Teddy Soeriaatmadja. Meski berbujet kecil, film ini ternyata mampu menduduki
singgasana di berbagai festival kelas dunia.
Makin tua, makin keladi. Makin kesini, tetap menjadi-jadi mungkin jadi ungkapan
yang tepat untuk film dalam negeri. Sebab, tahun ini pun masih banyak film yang
melebarkan sayapnya di kancah internasional. What They Don’t Talk About When They
Talk About Love, misalnya. Menceritakan soal gadis tuna netra yang jatuh cinta pada pria
Hal | 10
tuna rungu, film ini berhasil menyingkirkan lebih dari 12.000 film untuk masuk dalam
Sundance Film Festival 2013.
Banyaknya prestasi serta penghargaan yang diperoleh ini tentulah sangat
membanggakan. Tak hanya bagi para pemain maupun kru yang terlibat, melainkan juga
bagi seluruh insan perfilman Indonesia. Maka, tak ada lagi alasan untuk malu dengan
film Indonesia. Bersama kita support sinema dalam negeri dengan tak mencemooh karya
para sineas dan menontonnya di bioskop. Buktikan bahwa kita pun mampu bersaing
dengan negara lain. Ya, dari Indonesia, untuk dunia! (AGUS/AMAL)
Hal | 11
Film Barat yang Berlatar INDONESIA,
Eksplorasi atau Eksploitasi?
Keindahan negara Indonesia mulai dilirik para sutradara film barat/film luar negeri. Siapa
sangka dalam dunia perfilman, Indonesia memiliki banyak potensi terpendam yang patut
dieksplor. Penampakan latar Indonesia, keragaman budaya Indonesia, alat kebudayaan
indonesia, musik Indonesia, bahkan para aktris dan aktor Indonesia memiliki porsi yang
sama untuk di expose dalam kancah Internasional.
Berikut film-film luar yang telah menampakkan keindahan Indonesia dalam secuplik
adegannya : King Kong (1933), salah satu film yang memakai latar belakang Indonesia
yaitu di Pulau Nias, Sumatera. Lalu di tahun 1969 Krakatoa: East of Java. Film ini
mengambil setting waktu saat terjadi letusan mahadahsyat Gunung Krakatau. Terjadi
kesalahan penulisan pada judul. Krakatau terletak di Selat Sunda, Jawa Barat bukan Jawa
Timur. Selanjutnya Anacondas: The Hunt for Blood Orchid (2004) memakai latar
pedalaman Kalimantan. Snake On The Plane, salah satu film luar yang menampilkan
eksotisme ombak pantai Kuta Bali di awal dan akhir scenenya. Selain itu, TOUTE LA
BEAUTE DU MONDE (2006) film Perancis ini juga memakai latar belakang Bali dan
Lombok di beberapa adegan scene-nya.
Tidak hanya itu saja, perkembangan perfilman barat yang menampilkan Indonesia sebagai
latarnya, mulai memasuki babak baru. Dead Mine, Eat Pray Love, Java Heat, The Raid, The
Philosophers, Savage, dan Alex Cross merupakan film-film barat/film luar negeri yang
keseluruhan adegannya menggunakan latar belakang Indonesia. Walaupun menggunakan
setting Indonesia, produksi dan pembuat film dilakukan oleh warga negara asing.
Indonesia hanya sekedar ‘tempat’ yang ditampilkan.
Seperti film Dead Mine yang berlatar belakang bekas Perang Dunia II di Indonesia. Film ini
menceritakan tentang sekelompok tentara bayaran yang disewa untuk mencari harta
karun Yamashita. Produksi film Dead Mine 100% di Indonesia, ya bisa disebut produksi
lokal yang memiliki kualitas seperti film luar negeri. Meski film ini diproduksi di Indonesia,
namun produser Dead Mine, Mike Wiluan tetap mempercayakan sejumlah peran penting
pada bintang film dari luar.
Kemudian, kita lihat pada film Eat Pray Love yang mengangkat kisah perjalanan Elizabeth
Gilbert, seorang perempuan Amerika yang berada di ambang depresi, mencari
ketenangan spiritual dan keseimbangan dalam hidup di tiga negara: Italia, India dan
Indonesia. Ubud, Bali adalah tempat yang dipilih untuk memproduksi film ini. Ada
kebanggaan tersendiri tentang film ini. Dari tiga negara yang ada di film, Bali-lah yang
Hal | 12
terlihat begitu indah. Namun sayangnya, dalam sebuah percakapan para ekspatriat pada
sebuah pesta di pantai disebutkan Bali adalah tempat untuk berasmara. Kita tahu
namanya asmara orang barat sudah “kelas tinggi” tentunya. Jadi itu kah yang membawa
mereka datang ke Bali?
Film selanjutnya yakni Java Heat. Film yang baru dirilis dan ditampilkan di bioskop 18 April
2013 ini dibintangi oleh dua bintang luar Kellan Lutz sebagai Jake dan Mickey
Rourke sebagai Malik serta beberapa aktor dan aktris Indonesia seperti Ario Bayu, Atiqah
Hasiholan, Rio Dewanto, Mike Muliadro, Tio Pakusadewo, Astri Nurdin, Verdi Solaiman,
Frans Tumbuan, dan Uli Auliani. Candi Borobudur dan Yogyakarta dijadikan sebagai lokasi
syuting. Dibalik keindahan setting cerita yang digambarkan melalui kehidupan keraton
Daerah Istimewa Yogyakarta, film ini mengangkat sebuah kasus terorisme yang dilakukan
oleh sekelompok orang jihadis yang memboikot kepada orang Amerika.
Bagaimana kehidupan Kraton Yogyakarta dicitrakan merupakan hal yang terpenting
dalam film ini. Pada puncak cerita, para abdi dalem keraton berhasil diboikot oleh tokoh
sentral penjahat berkebangsaan Amerika. Dengan berpakaian khas jawa bermotif lurik
mereka digambarkan bak penjahat kelas kakap. Para abdi dalem itu bersenjatakan
canggih merampok aset peninggalan keraton yang disimpan di bank dengan mengendarai
mobil van berwarna hitam ala agen kelas kakap yang dibagian sisi mobilnya terdapat
suatu lambang yang mirip seperti lambang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Hal itu dirasa mencoreng citra Keraton dan meracuni nilai estetis budaya Jawa yang sarat
akan adat istiadat, tradisi, kharismatik religiusitas, serta norma-norma nilai kehidupan
manusia yang menjadi panutan masyarakat. Oleh karena itu, penggambaran tindak
kriminal dengan gaya modern yang dilakukan para penghuni keraton dalam film Java Heat
seakan melunturkan tradisi luhur yang sudah melekat di dalam Keraton Yogyakarta.
Sebagaimana yang kita tahu, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan kehidupan di
dalamnya merupakan kiblat budaya jawa serta representasi dari nilai-nilai sosio kultural
bangsa Indonesia.
Gambaran di atas membuat kita berpikir, haruskah kita bangga Indonesia dijadikan latar
belakang film barat/film luar negeri? Tidakkah film-film luar tersebut hanya mengambil
keuntungan dan eksploitasi negara Indonesia atau sebaliknya, melalui film-film luar yang
memakai latar belakang Indonesia, Indonesia bisa menampakkan diri dan menggali
potensi-potensi kebudayaan dan keindahannya yang beragam?
Dilihat dari berbagai sisi, eksplorasi dan eksploitasi terhadap Indonesia dalam pemakaian
latar belakang Indonesia di film-film barat/film luar negeri bisa saja terjadi. Sisi baiknya,
eksplorasi tentang keragaman dan keindahan Indonesia ditampakkan dalam adegan-
adegan di banyak film luar. Hal itu sama saja membangun citra dan memperkenalkan
negara Indonesia, Eksotisme alam dan Sumber Daya berkualitas yang ada di Indonesia
kepada dunia.
Hal | 13
Namun sangat disayangkan bila Indonesia digunakan sebagai latar belakang tetapi cerita
yang ditampilkan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia atau bahkan terkesan
‘menghina’ Indonesia. Maka hal tersebut bisa dinyatakan merupakan eksploitasi terhadap
Indonesia. Terlalu egois pula jika kita menilai film-film luar yang memakai latar belakang
Indonesia seperti Java Heat, The Raid, Dead Mine, Eat Pray Love melakukan eksploitasi
terhadap Indonesia walaupun memang ada adegan-adengan yang sedikit ‘melenceng’
namun film-film tersebut telah membantu mengekspor dan mengeksiskan keberagaman
dan keindahan Indonesia jadi sedikit banyak kita patut berbangga dan menyambut baik
kedatangan film-film luar yang memakai latar belakang negara Indonesia.
(RIF’ATUL/CHEMOEL)
Hal | 14
Nonton Film, Cara Instan Baca Novel
Sebuah karya tidak mengenal kejuaraan, tidak ada saling mengalahkan, yang ada
hanyalah berkarya dan terus berkarya. Tidak usah kaget, jika saat ini sudah banyak
sutradara yang menyulap novel menjadi karya film. Ada pula penulis atau sastrawan yang
mengubah sebuah film menjadi sebuah karya tulisan yakni novel. Adaptasi sebuah media
–dalam hal ini film- untuk dijadikan sebuah karya (novel) dan juga sebaliknya, novel yang
bisa dijadikan sebuah karya film, menjadi suatu hal yang perlu di perbincangkan.
Di Indonesia, sudah banyak film yang dinovelkan, seperti Penghianatan G30S/PKI
film karya Arifin C. Noer yang dijadikan sebuah karya novel oleh Arswendo Atmowiloto,
film NagaBonar Jadi 2 karya sutradara Deddy Mizwar yang dijadikan novel oleh Akmal
Nasery Basral. Sementara film yang diangkat dari novel sangat banyak di Indonesia,
seperti 9 Summers 10 Autumns buku karya Iwan Setyawan ini dijadikan sebuah film oleh
Ifa Isfansyah, juga film karya sutradara Fajar Nugros, diangkat dari novel yang berjudul
Refrain karya Winna Efendi.
Menurut Firman Venayaksa, yang ditulis di dalam rumahdunia.org, “Proses
adaptasi novel yang difilmkan dan film yang dinovelkan memang memiliki faktor kesulitan
tersendiri karena karakter antara film dan novel sangat berbeda. Film lebih
mengedepankan unsur visualisasi dan kerja kolektif yang melibatkan pelbagai aspek dan
unit. Di sini harus terlihat kerjasama yang kuat, karena salah satu penilaian bagus tidaknya
sebuah film ditentukan oleh keharmonisan kerja unit-unit yang ada di dalamnya.
Sedangkan novel adalah pekerjaan yang lebih bersifat individual dan bekerja atas unsur
kata-kata“.
Terlepas dari proses adaptasi novel menjadi film, juga sebaliknya, munculnya
adaptasi film atau novel ini secara kuantitas dapat menambah berbagai alternatif hiburan
bagi penonton. Semakin banyak film-film berasal dari novel yang dapat ditonton oleh
masyarakat, juga sebaliknya semakin banyak novel-novel yang bisa menjadi bahan
bacaan. Namun hal ini bisa jadi malah berdampak pada keengganan masyarakat untuk
membaca. Masyarakat menganggap lebih baik nonton filmya daripada lama-lama
membaca. Hal ini bisa saja menutup minat baca seseorang, terutama di Indonesia yang
mayoritas orang-orangnya sulit untuk menjadikan membaca sebagai kebiasaan sehari-
hari. (MAKROM/SITA)
Hal | 15
Cinema as Everlasting Place
Siapa yang tak suka
dengan bioskop? Mungkin
hanya sebagian orang saja yang
phobia dengan kegelapan yang
akan tak suka dengan bioskop.
Manusia purba ala film The
Croods saja pasti akan suka
dengan gedung bioskop, karena
mereka pasti akan
menganggapnya seperti gua.
Bicara soal bioskop, gedung
yang satu ini menjadi tempat
favorit yang dikunjungi bukan hanya oleh para keluarga, tapi juga para kaula muda di seantero
negeri ini. Ralat, di suku Dani-Papua memang tidak ada bioskop *eh.
Back to the topic, saat ini bioskop sangat mudah ditemukan di berbagai sudut kota,
termasuk di kota Surabaya. Perkembangan perfilman di Indonesia tak terlepas dari pengaruh
munculnya bioskop-bioskop ditanah air. Jadi, tak heran juga kalau setiap Mall selalu ada tempat
hiburan tersebut. Nah, penasaran juga sebenarnya, bagaimana bioskop-bioskop itu bisa
berkembang dan ada juga bioskop yang hanya meninggalkan nama, bahkan tempatnya pun
sudah berubah fungsi.
Ditahun 1970-an hingga menjelang 1990-an, perfilman di Indonesia menunjukkan
kebangkitannya. Tak hanya bangkit dari pemutaran film-film import tetapi juga film-film
nasional turut meramaikan dunia perfilman. Bahkan, di era ini, para aktor dan aktris film benar-
benar disanjung dan dieluh-eluhkan. Puncaknya ada pada Festival Film Indonesia (FFI), di tahun
1981, dimana kota Surabaya juga pernah menjadi tuan rumah.
Sebelumnya, pada 1962, pemerintah mendirikan TVRI untuk memperluas tayangan
keseluruh televisi nusantara. Dalam hal ini peran bioskop ‘diambil alih sedikit’, karena TVRI
mulai memutarkan film-film yang dapat dinikmati dirumah. Hanya saja, kehadiran TVRI sejatinya
tidak terlalu banyak berpengaruh bagi bioskop. Sebab, Departemen Penerangan menetapkan
film yang diputar di televisi tidak boleh film-film baru, selamatlah nasib bioskop di Indonesia.
Tahun bertambah, kemajuan teknologi juga semakin meningkat. Adanya perubahan
mulai dari ukuran layar, dimensi, dan suara pun dilakukan untuk menarik minat masyarakat
dengan sedikit perombakan pada pola pembagian ruang bioskop yang luas dan adanya sekat-
sekat yang lebih kecil. Era ini dikenal dengan era Cineplex 21, karena rata-rata ruang bioskop di
Indonesia memiliki space yang besar dan kemudian dibagi menjadi dua hingga empat ruangan
yang lebih kecil, tetapi tetap membuat pengunjung merasa nyaman.
Perfilman pun semakin menunjukkan peningkatannya dan yang lebih penting bioskop
menjadi salah satu wadah bagi para sineas untuk berlomba-lomba membuat film dan kemudian
ditayangkan di bioskop. Namun, kehadiran film-film baru tetap tak menjamin umur dari
Hal | 16
keberadaan bioskop. Terbukti ada beberapa gedung bioskop di Surabaya yang gulung tikar.
Berikut list bioskop yang sekarang gedungnya bahkan telah dialihfungsikan:
- Kusuma di Jalan Tembaan
- Dana di Jalan Pandegiling
- Bayu di Jalan Basuki Rachmat
- Chandra di Jalan Kapas Krampung
- Mitra21 yang terletak di gedung pemuda dan jalan gubernur suryo no 15.
Salah satu gedung bioskop yang sempat melambung namanya adalah Mitra21. Mitra21
sudah resmi berhenti beroperasi pada pertengahan tahun 2009. Selain masa kontrak yang akan
habis dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, gedung bioskop itu juga akan dijadikan
sebagai gedung balai kesenian Surabaya. Terbukti saat ini gedung kesenian telah berdiri megah
di tempat yang dulunya merupakan gedung bioskop Mitra21.
Namun tak sedikit bioskop yang masih bertahan hingga saat ini dan masih menarik
minat masyarakat untuk mengunjunginya, diantaranya adalah Delta21, Tunjungan21, Royal21
yang mampu bertahan ditengah ramainya bioskop baru di Surabaya. Banyak juga bermunculan
bioskop-bioskop baru yang dibangun untuk memanjakan para penontonnya dengan
menawarkan sensasi luar biasa melalui layar 3D, tentunya juga dengan audio visual yang sangat
tajam ditelinga. Bioskop-bioskop itu diantaranya Grand City XXI, SUTOS XXI, LENMARC XXI,
CIPUTRA WORLD XXI, dan masih banyak lagi. Nah, diantara bioskop-bioskop tadi mana yang jadi
pilihan kalian? (DIAN/TAMI)
Hal | 17
CD, Masihkah Diperlukan Untuk
Distribusi Film?
Untuk dapat menikmati film – film
terbaru, khususnya untuk film – film
impor dari hollywood, biasanya kita harus
pergi ke bioskop terlebih dahulu. Sebagai
penikmat film, kita pastinya tak ingin
ketinggalan dan ingin segera untuk
menonton film – film tersebut. Tak jarang
jika dalam waktu kurang dari sehari tiket
di beberapa bioskop langsung sold out.
Namun sayangnya, film yang ditayangkan
di bioskop cukup terbatas. Tidak semua film dapat masuk dan ditayangkan di bioskop.
Ditambah dengan film – film Indonesia yang hanya mementingkan sisi comersil masih
lebih mendominasi beberapa bioskop tanah air. Hal ini menimbulkan sedikit kejenuhan
para penikmat film.
Guna mengatasi kejenuhan tersebut sebagian besar mereka lebih memilih untuk
menonton film melalui DVD/CD. Selain biaya yang cukup hemat di kantong, mereka
dapat menonton film yang mereka mau secara berulang dengan menyimpannya di dalam
pc computer atau laptop. Menjamurnya toko CD baik original maupun bajakan,
memperlihatkan bahwa pendistribusian film melalui CD masih diminati oleh para
penikmat film. Setiap harinya para penjual CD setidaknya dapat menjual sebanyak 20
keping. Selain itu, adanya rental untuk penyewaan DVD/CD beserta dengan mini
teaternya. Untuk rental sendiri dalam sehari kurang lebih tercatat sebanyak 13-15 orang
penyewa dalam sehari, dengan jumlah DVD/CD yang disewa maksimal 5 keping. Lalu,
apakah hal tersebut menunjukkan bahwa CD masih diperlukan dalam upaya
pendistribusian sebuah film?
Pada dasarnya, pendistribusian sebuah film tidak cukup dengan hanya
mengandalkan penayangan di bioskop – bioskop saja. Biasanya keuntungan yang
diperoleh dari pemutaran di bioskop besifat lebih pendek dibandingkan penayangan
lewat cara lain yang bisa bertahan lebih lama dan tak terbatasi penjualannya. Perusahaan
eksibisi memperoleh film dari distributor dan menayangkan film tersebut di bioskop-
bioskop. Mereka dapat membeli film dengan cara blind booking atau block booking, di
mana film dibeli secara paket tanpa ditonton dan dinilai terlebih dahulu. Biasanya biaya
film yang dijual secara paket bisa lebih murah. Dengan demikian keuntungan silang dapat
diperoleh.
Hal | 18
Film biasanya didistribusikan dengan target pemirsa. Selain mengandalkan
pemutaran teater standar sebagai alat untuk menjangkau audiens yang besar dan
menghasilkan pendapatan meningkat, presentasi dan distribusi film terjadi melalui
berbagai saluran lain. Saluran ini meliputi berbagai jaringan televisi, satelit dan program
kabel DVD/CD dan Blu-Ray, dan on-line download melalui penyedia layanan seperti
iTunes dan Netflix.
Waktu distribusi frase mengacu pada saat film ini dirilis untuk dilihat masyarakat,
dengan musim musim tertentu dan liburan Desember menjadi waktu yang paling penting
untuk menghasilkan pendapatan. Setelah rilis pertama, beberapa film memiliki rilis kedua,
biasanya di bioskop yang lebih kecil, beberapa minggu atau bulan setelah rilis awal
mereka. Sebuah film juga dapat menemukan penonton baru dengan rilis tahun kedua
atau bahkan puluhan tahun.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran CD sebagai alat
untuk pendistribusian film masih bisa diperhitungkan oleh para pembuat film. Selain
untuk dapat meminimalisir biaya, juga untuk mereproduksi film dalam jangka waktu
panjang sehingga pembuat film bisa mendapatkan balik modal. Hanya saja
permasahannya adalah semakin marak dan menjamur para pelaku kasus pembajakan
dengan CD. Hal itu menimbulkan keraguan pada masayarakat untuk membeli.
(DHANTY/PERMATA)
Hal | 19
Sinema Lokal,
Selalu Membuat Terpingkal-Pingkal
Bagi Commers pecinta film-film mancanegara, pasti sudah tidak asing dengan kegiatan
mengunduh subtitle untuk file film yang kita miliki. Subtitle umumnya kita perlukan karena film-
film mancanegara tersebut tidak di-dubbing dalam bahasa kita padahal kita perlu mengetahui
apa isi pembicaraan yang ada di film itu.
Seringkali film-film mancanegara yang ditayayangkan oleh stasiun TV diterjemahkan
atau di-dubbing ke dalam Bahasa Indonesia. Tapi bagaimana jadinya jika film tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa daerah? Misalnya saja pada stasiun TV lokal di Jawa Timur yaitu
JTV Surabaya( Jawa Pos TV) yang merupakan stasiun televisi lokal terbesar se-nusantara dan
merupakan bagian dari Jawa Pos Group. Seluruh tayangan di JTV menggunakan bahasa jawa
“Suroboyoan”. Para news reader di program berita TV ini harus lancar berbahasa Jawa, sama
seperti sinetron dan film mancanegara yang ditayangkan juga diterjemahkan ke dalam Bahasa
Jawa.
Bagi sebagian orang tayangan JTV menjadi hiburan tersendiri bukan karena keseruan
acara televisi yang ditayangkan tetapi justru karena film yang di-dubbing dengan Bahasa Jawa
membuat pemirsa JTV tertawa ngakak karena keunikannya. Misalnya saja umpatan ala film-film
barat berubah menjadi umpatan ala orang Jawa Timur, nama tokoh barat menjadi tokoh
mitologi Jawa (misal Maichi yang diubah menjadi Mbah Sangkil) dan kosa kata lainnya.1
Alasan menyulih suara dengan bahasa lokal tentu berawal dari aturan media yang
menayangkan sebuah film. Film dan program lain yang ditayangkan TV lokal akan mengikuti misi
dari TV lokal tersebut. Kehadiran TV lokal memang memiliki tujuan berbeda dengan TV nasional.
TV lokal umumnya memiliki misi melestarikan budaya serta bahasa daerahnya masing-masing.
Tujuan lainnya adalah untuk menarik perhatian pemirsa. Film akan lebih mudah
dipahami jika kita mengerti bahasa yang digunakan. Kemudian ada keunikan tersendiri melihat
bagaimana para pemain film asing berbicara dalam bahasa Jawa meskipun secara tidak
langsung. Terkadang penonton malah fokus pada hal tersebut dibanding pada cerita filmnya.
(DEWI/ANDIN)
Hal | 20
Sepak Terjang
Klub Sinematografi Unair
Di jaman sekarang, film-film di Indonesia telah banyak berkembang. Film
Indonesia tidak berada pada batasan dalam negeri saja tetapi juga sudah masuk
ke ranah internasional. Kemajuan film Indonesia itu menjadi sebuah dorongan
bagi anak-anak muda Indonesia untuk menjadikan film Indonesia semakin maju
kedepannya, salah satunya para sineas muda dari klub sinematografi. Salah satu
klub sinematografi yang konsisten berkarya adalah UKM Sinematografi Universitas
Airlangga Surabaya yang bahkan telah mampu membawa dunia perfilman
Indonesia menghasilkan nama yang baik di mata luar negeri. Menurut Ade Putri
Verlita, sebagai Koordinator Divisi Organisasi dalam UKM Sinematografi
mengatakan bahwa di dalam UKM Sinematografi ini mahasiswa yang ikut
diajarkan bagaimana dalam membuat film, hingga pemutaran film karya mereka
sendiri. “Paling seru itu ketika merayakan ulang tahun UKM kita, kita pasti kerja
keras dan semangat,” ujar cewek berambut cepak ini. UKM yang diketuai oleh
Nashrur Razzaq ini mempunyai program terbesar mereka di tahun ini yaitu
program “OMNIBUS” yaitu suatu cerita besar dengan tema “Surabaya Punya
Cerita” yang dibagi menjadi empat cerita kecil yang pastinya menceritakan
tentang kota Surabaya. Pemutaran film ke masyarakat tersebut bertepatan
dengan HUT UKM Sinematografi tanggal 31 Agustus yang akan dirayakan sekitar
bulan September mendatang.
Selama jalannya UKM Sinematografi, mahasiswa yang tergabung dalam
club tersebut telah menghasilkan beberapa karya film yang akhirnya mendapat
sebuah penghargaan. Prestasi tersebut berasal dari kerja keras dan niat yang gigih
untuk menghasilkan film-film yang bermanfaat bagi Indonesia demi membawa
nama baik negara ini. Prestasi-prestasi tersebut adalah pada tahun 2007 “Seribu
Shura” yang disutradarai oleh Ian sebagai Best Indie Movie. Pada 2008 film
berjudul “Anak Porong” yang disutradari oleh Jaka, juga mendapatkan
penghargaan Best Indie Movie, dan di tahun yang sama hasil karya UKM
Sinematografi ini berhasil memutarkan film Indonesia ke dunia perfilman luar
negeri dengan judul “Sparkling Voice”dalam Festival Europe On Screen disutradari
oleh Ian yang diputar di Eropa. “RASA” adalah judul film yang pada tahun 2012
diputar di Malaysia, dan film yang disutradarai oleh Rico Anthony juga dapat
dilihat di youtube. Di tahun ini, film dengan judul “Conversation” yang disutradarai
Hal | 21
oleh Nobo juga termasuk dalam Malang Film Festival dan “PALAK” adalah film
yang dinyatakan sebagai nominasi MAFI, Festival Film Solo dan termasuk dalam
finalist short film competition di Europe On Screen 2013.
Berdasarkan pengalaman dan prestasi yang mereka hasilkan sudah tidak
diragukan lagi seberapa besarnya semangatnya untuk kemajuan film Indonesia ini.
Mereka mempelajari metode-metode untuk menghasilkan film yang terbaik di
setiap tahunnya. Mereka juga berharap agar film-film indie saat ini diketahui oleh
masyarakat Indonesia, sehingga mereka dapat menghargai hasil karya anak
Indonesia dan meyakini bahwa film Indonesia mempunyai kemampuan untuk
bersaing dengan film-film luar negeri lainnya. (DHILA/RIRIE)
Hal | 22
RESENSI FILM juni-juli 2013
“ Coboy Junior The Movie “
Sutradara : Anggy Umbara
Produser : Hb Naveen, Frederica
Pemain : Coboy Junior, Abimana
Aryasatya, Nirina Zubir, Dewi Sandra, Iwa K, Ananda
Omesh, Irgi Fahrezi, Ersa Mayori, Charles Bonar
Sirait, Joe P Project, Meisya Siregar, Indra Bekti,
Astri Nurdin dan Fay Nabilla.
Genre : Drama
Durasi : 90 menit
Produksi : Falcon Pictures
Rilis : Juni 2013
Film ini menceritakan tentang perjuangan personil Coboy Junior, boyband yang dibentuk
oleh seorang produser musik bernama Patrick, untuk mengikuti kompetisi Sing & Dance
terbesar di Indonesia. Kompetisi ini bukan cuma menjadi ajang pembuktian diri untuk
menjadi yang terbaik, namun juga menjadi sebuah proses penting bagi Coboy Junior
dalam menuju titik pendewasaan, pembentukan karakter, dan penentuan pilihan serta
prioritas pada hidup masing – masing personil.
Bastian harus menjadi sosok yang bisa mempererat teman – teman dan saudaranya,
dimana kemampuan dance Bastian dan crew menjadi poin penting akan kesuksesan
boyband ini menghadapi kompetisi. Iqbal, harus menentukan prioritas dalam
menentukan tujuan serta tugas – tugas hidupnya di saat semua itu kembali dipertanyakan
oleh sang ayah. Aldi, harus bisa membelah fokus antara persahabatannya dengan Lovely
dan Coboy Junior. Serta Kiki, yang terus memberikan masukan – masukan untuk
kemajuan boyband bahkan di saat Kiki mendapat musibah yang bisa mengancam
keberlangsungan boyband mereka di kompetisi ini.
Semua ujian dan hambatan terus berdatangan, sedangkan kompetisi terus beranjak
menuju final. Sementara itu, rival – rival terberat mereka, Superboyz dan The Bangs terus
ingin menjatuhkan Coboy Junior dengan segala cara.
Hal | 23
Baru akhirnya mereka sadar, untuk menjadi yang terbaik bukan hanya dengan menjadi
pemenang dan mendapat pengakuan. Tapi dengan terus mengeluarkan yang terbaik yang
mereka miliki.
Film ini diangkat dari kisah lika – liku perjalanan boyband cilik Coboy Junior. Film ini
melibatkan 100 dancers profesional dan menggunakan 20 lagu terpopuler dalam 4
dekade terakhir yang diaransemen ulang dengan modern music & dance. Secara
keseluruhan, film ini asyik untuk dijadikan tontonan anak-anak.
“Man of Steel”
Sutradara : Zack Synder
Produser : Charles Roven, Emma Thomas,
Christopher Nolan, Deborah Synder
Pemain : Henry Cavill, Russell Crowe,
Kevin Costner, Diane Lane, Amy Adams dan
Michael Shannon
Studio : Warner Bros
Genre : Action
Rilis : 14 Juni 2013
Sebagai sebuah reboot, Man of Steel akan mengisahkan kembali mengenai sejarah
Superman. Seorang anak bernama Kal-El dikirim ke bumi oleh orang tuanya dari planet
Krypton yang sedang dalam kehancuran. Di bumi, Kal-El kemudian dirawat oleh pasangan
Jonathan Kent dan Martha. Mereka berdua mengajarinya banyak hal tentang kebiasaan
manusia bumi.
Saat remaja, ia tumbuh sebagai seorang jurnalis bernama Clark Kent. Sadar dengan
kemampuan yang dimilikinya, jiwa kepahlawanannya pun muncul. Ketika bumi dalam
bahaya, Clark harus menjadi manusia baja untuk menjaga stabilitas bumi dari ancaman
dan melindungi orang – orang yang dicintainya.
Dalam film ini, musuh utama Superman adalah Jenderal Zod dan Faora/Ursa. Mereka
ingin membunuh Superman karena Jor-El, ayah Superman pernah memenjarakan mereka
di Phantom Zone.
Tidak dipungkiri lagi, Man of Steel adalah film superhero yang paling dinantikan tahun ini.
Ekspektasi para fans Superman pun semakin tinggi karena filmnya diarahkan oleh Zack
Snyder, Sutradara visioner yang pernah membuat film Superhero yang banyak mendapat
pujian Watchmen. Belum lagi dengan adanya Christopher Nolan (sutradara Trilogy The
Hal | 24
Dark Knight) yang menduduki jabatan Produser. Film ini diperkirakan akan mengikuti
'jejak sukses' Batman dengan menampilkan kisah yang lebih 'manusiawi' dari superhero
satu ini. Filmnya diharapkan bisa mengobati kekecewaan penonton atas film reboot
"Superman Returns" karya Bryan Singer yang banyak mendapat kritikan.
“Pacific Rim”
Sutradara : Guillermo del Toro
Produser : Thomas Tull, Jon Jashni, Guillermo del Toro, Mary
Parent
Pemain : Charlie Hunnam, Idris Elba, Charlie Day, Clifton Collins
Jr., Rinko Kikuchi, Ron Perlman, Max Martini, Robert
Kazinsky, Diego Klattenhoff
Studio : Warner Bros Pictures
Genre : Fiksi Ilmiah, Petualangan
Rilis : 12 Juli 2013
Pacific Rim menceritakan tentang monster maha dahsyat yang bernama Kaiju yang
bangkit dari lautan pasifik. Perang besar untuk mengalahkan para monster tersebut demi
keselamatan jutaan umat manusia pun dimulai.
Untuk mengalahkan monster Kaiju, mereka harus menggunakan senjata canggih
berbentuk robot yang disebut "Jaegers". Robot tersebut akan dikendarai oleh pimpinan
Pilot (Charlie Hunnam) dan anak buahnya (Rinko Kikuchi). Bersama, mereka berjuang
mati-matian dan menjadi satu-satunya harapan bagi jutaan umat manusia dari teror
monster tersebut.
Film ini tak hanya menampilkan duel seru antara Kaiju dan Jaeger tetapi juga
menampilkan hubungan emosional antara sesama manusia. Salah satu momen yang
paling menyentuh ialah saat Mako kecil menangis saat kehilangan ibunya akibat
keganasan Kaiju.
Hal | 25
Siapa sangka pemuda tanah air juga ikut menyukseskan pembuatan film ini. Dia adalah
Ronny Gani, animator muda Indonesia yang turut serta pula dalam pembuatan film
animasi Indonesia yaitu Meraih Mimpi.(RITA/ODHAN)
Hal | 26