indonesia man made fiber industry 2011

62
A. Industri Tekstil dan Produk Tekstil Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) merupakan salah satu komponen utama pembangunan industri nasional, dengan tiga peran pentingnya yaitu penyumbang devisa ekspor non migas, penyerapan tenaga kerja dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. ITPT merupakan industri penyedia lapangan kerja yang cukup besar di Indonesia. Tenaga kerja yang terserap oleh industri skala besar dan menengah pada tahun 2010 mencapai ± 1,4 juta orang. Nilai ekspor TPT pada tahun 2009 mencapai US$ 9,26 kemudian naik menjadi US$ 11,22 milyar pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 nilai ekspor ditargetkan mencapai ± US$ 12,5 Juta. Industri TPT Indonesia selalu mengalami surplus ekspor diatas US$ 5 miliar selama 10 tahun terakhir dengan konsumsi nasional pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,7 Kg atau naik 30% dalam kurun

Upload: andi

Post on 14-Sep-2015

32 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

A

A. Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) merupakan salah satu komponen utama pembangunan industri nasional, dengan tiga peran pentingnya yaitu penyumbang devisa ekspor non migas, penyerapan tenaga kerja dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

ITPT merupakan industri penyedia lapangan kerja yang cukup besar di Indonesia. Tenaga kerja yang terserap oleh industri skala besar dan menengah pada tahun 2010 mencapai 1,4 juta orang. Nilai ekspor TPT pada tahun 2009 mencapai US$ 9,26 kemudian naik menjadi US$ 11,22 milyar pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 nilai ekspor ditargetkan mencapai US$ 12,5 Juta. Industri TPT Indonesia selalu mengalami surplus ekspor diatas US$ 5 miliar selama 10 tahun terakhir dengan konsumsi nasional pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,7 Kg atau naik 30% dalam kurun waktu 4 tahun. Namun demikian, nilai impor juga mengalami kecenderungan naik setiap tahunnya seiring dengan semakin terbukanya sistem pedagangan akibat telah diberlakukannya beberapa perjanjian perdagangan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri yang perlu diantisipasi agar industri TPT nasional tetap bertahan dan mampu untuk tetap menjadi tuan rumah di Negeri sendiri. Perkembangan industri TPT nasional tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 beserta neraca perdagangannya dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 1.Tabel 1. Perkembangan Industri TPT Nasional Periode tahun 2006-2010

*) Data Sementara

sumber: BPS, Direktorat Industri tekstil dan Aneka (diolah)

Gambar 1. Neraca Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia

Secara umum, industri tekstil dan produk tekstil Indonesia memiliki daya saing yang relatif baik di pasar internasional. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki industri yang terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir, yakni dari industri serat sintetis (fiber making), industri pemintalan benang (spinning), industr pertenunan (weaving), industr perajutan (knitting), industr pencelupan dan penyempurnaan (dyeing finishing) sampai dengan industri pakaian jadi (garment) serta barang jadi tekstil dan permadani. Indonesia memiliki industri spinning yang besar di kawasan Asia dan Oceania. Demikian pula dengan industri pertenunan dan industri pakaian jadi yang dikenal di dunia internasional. Namun, persaingan yang semakin ketat dengan munculnya negara-negara pesaing baru yang sudah mengadopsi teknologi baru, beberapa perjanjian perdagangan yang sudah diimplementasikan maupun sedang dalam proses negosiasi serta masuknya produk TPT dari negara lain yang cenderung murah dan beragam (baik legal maupun ilegal) membuat industri TPT selalu dituntut meningkatkan daya saingnya.

B. Industri Pembuatan Serat (Fiber Making)

Industri serat sebagai industri hulu (downstream) dari industri TPT memiliki sifat usaha yang padat modal (capital investment) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif kecil. Industri serat menjadi salah satu faktor untuk memenangkan persaingan global dalam sector TPT mengingat karakteristik serat adalah bahan baku utama industri tekstil.Berdasarkan asal bahan bakunya serat yang digunakan untuk industri tekstil dapat berasal dari alam (hewan/tumbuhan) seperti: kapas, rami, rosella, wool , sutera dan lain-lain dan disebut sebagai serat alam, serta serat sintetik yaitu serat yang memerlukan proses industri lebih dahulu dalam.Serat sintetik (Manmade Fiber) memiliki keunggulan dibandingkan dengan serat alam yakni dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan biaya yang lebih murah. Modifikasi sifat kimia dan fisika juga dapat dilakukan pada serat sintetik untuk mendapatkan karakteristik yang mendekati keunggulan-keunggulan yang dimiliki serat alam. Serat sintetis sendiri ada yang dari bahan alam disebut serat setengah buatan (half synthetics) seperti serat rayon viscose serta serat buatan (full synthetics) yang dibuat dari bahan hasil pengolahan residu minyak bumi seperti nilon, poliester, poliakrilat, poliuretan dan lain-lain. Adapun rincian penggolongan serat dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Klasifikasi SeratSerat dilihat dari bentuknya terdiri dari serat Filamen (serat panjang) dan Serat Stapel (serat pendek). Berdasarkan proses polimerisasinya serat sintetis dibuat dengan cara :

a. Polimerisasi kondensasi, antara lain serat poliamida (PA) dengan nama dagang Nylon, serat poliester (PES) dengan nama dagang Teteron (Jepang), Dacron (USA), Terylene (Inggris).

b. Polimerisasi adisi, antara lain polipropilena (PP) dan Poli acrylo nitril (PAN).Dewasa ini telah dibuat berbagai jenis serat sintetis dengan karakteristik dan keunggulan masing-masing, tetapi dari sekian banyak serat sintetik yang dapat diproduksi hanya sebagian saja yang digunakan sebagai bahan baku tekstil dan produk tekstil. Serat tersebut harus memenuhi syarat kekuatan, kehalusan, elastisitas dan beberapa syarat lain untuk dapat dipintal menjadi benang dan nyaman setelah dijadikan produk jadi.

Dalam lingkup Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009 kelompok industri serat terbagai dalam :

KBLI 13111 : Industri persiapan serat tekstil

KBLI 20301 : Industri serat/benang filamen buatan

KBLI 20302 : Industri serat stapel buatan

Dalam lingkup Standar Internasional Trade Classification (SITC) serat terbagi dalam :

SITC 261:Sureta dan sisa sutera

SITC 263:Serat kapas

SITC 264:Serat rami/jute

SITC 265:Serat tumbuh-tumbuhan

SITC 266:Serat buatan untuk dipintal

SITC 267:Serat buatan lainnya untuk dipintal

SITC 268:Wol dan bulu hewan lainnyaA. Perkembangan Industri Serat di Dunia

a. Kapasitas Bahan Baku

Kapasitas Paraxylene (PX) dunia sebagai bahan baku Purified Terephtalic Acid (PTA) pada tahun 2009 meningkat menjadi 33,2 juta ton atau naik sekitar 9%. Hal ini didorong oleh pendirian empat unit plant paraxylene di China dengan total kapasitas sekitar 2,9 juta ton/tahun dan di Kuwait dengan kapasitas tahunan 829.000 ton/tahun. Realisasi produksi PX dunia pada tahun 2009 meningkat 6% menjadi hampir 27 juta ton atau setara dengan tingkat utilisasi 82%. PTA sebagai bahan baku pembuatan serat poliester kapasitasnya meningkat sebesar 7% menjadi 46.2 juta ton pada tahun 2009 dengan realisasi produksi mencapai 39.6 juta ton atau naik hampir 2% disbanding tahun 2008.Peningkatan kapasitas produksi didorong oleh didirikannya tiga unit industri PTA baru di Asia dengan kapasitas mencapai 3,2 juta ton.Disisi lain, IndustriMEG sebagai bahan baku utama pembuatan serat poliester selain PTA, kebanyakanberlokasidi Asia dimana jumlahnya mencapai46% dari total industry MEG dunia,diikuti oleh Timur Tengah 22% dan Amerika Utara20%. Dalam hal kapasitas terpasang dengan Arab Saudi menempati urutan pertama dengan kapasitas 4,2juta ton, diiukuti Taiwan3,5juta ton, AmerikaSerikat2,8juta dan Cina 2,5juta ton.b. Konsumsi dan Produksi Serat Dunia Permintaan serat dunia naik 4,2%menjadi 70,5juta ton pada tahun 2009, serat sintetis menguasai pangsa pasar terbesar yakni 62,6% dari total konsumsi serat dunia, sedangkan kapas, wol, sutra dan serat alam lainnya hanya mencapai 37,4%. Peningkatan konsumsi serat sintetis mencapai 44.1 juta ton atau naik 4,0%, sedangkan untuk serat alammencapai 26,4 jutaton atau naik sebesar 4,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun grafik pertumbuhan permintaan serat dunia dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Konsumsi Dunia untuk Serat Sintetis dan Serat Alam

Pertumbuhan industri serat sintetis terus naik setiap tahunnya dan semakin meninggalkan pemakaian serat alam, hal ini dapat diihat pada gambar 4.

Gambar 4. Produksi Global Serat Alam dan SintetisPertumbuhan volume produksi terbesar dialami oleh industri serat di Cina dengan kenaikan mencapai 16,3% menjadi 26,3 juta ton untuk serat sintetis dan kenaikan 12,2% menjadi 18,5 juta ton untuk benang kapas. Hal ini menyebabkan Cina menguasai hampir 60% dari total kapasitas produksi untuk kedua sektor ini. Trend postif ini diikuti oleh India, Taiwan dan Korea Selatan.

Gambar 2. Produksi Serat Sintetis Dunia

B. Industri Serat Sintetis (Benang Filamen dan Stapel Fiber) Dunia

Pada tahun 2009 produksi serat sintetis dari selulosa meningkat 7,7% menjadi 3,8 juta ton, sedangkan untuk serat sintetis lainnya naik 3,7% menjadi 40,3 juta ton dengan rincian produksi poliester meningkat sebesar 5,3% dan serat akrilat 4,4%. Trend positif ini tidak diikuti serat polipropilena, poliamida dan Spandex yang volume produksinya turun sebesar 6,5%, 1,4% dan 5,7%, bahkan serat berteknologi tinggi seperti aramide dan serat karbon juga mengalami penurunan. Adapun grafik Perkembangan produksi serat sintetis dunia dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Grafik Produksi Global Serat Sintetis tahun 2000-2009

Volume produksi serat sintetis Asia mencapai 36,0 juta ton dan menguasai pangsa pasar dunia sebesar 83%, dimana 72% nya adalah produksi dari Cina. Pada tabel 2 dapat dilihat volume produksi industri serat sintetis dunia.Tabel 2. Produksi Serat sintetis Dunia Tahun 2009

2009 in 1,000 t/yFilament YarnStaple FiberTOTAL% vs 2008

Cellulosics 3513,4453,7967.70%

Synthetics 24,42615,91240,3383.70%

Poliester19,32012,60931,9295.30%

Polyamide3,2742143,488-1.40%

Polypropylene1,4691,0772,545-6.50%

Acrylics- 1,9491,9494.40%

Others36364427-6.60%

TOTAL 24,77719,35744,1344.00%

Sumber: The Fiber Year 2010

A. Industri Serat Sintetis IndonesiaDi Indonesia Perkembangan Industri serat lebih baik dibandingkan dengan serat alam, hal ini disebabkan iklim di Indonesia yang kurang cocok untuk pengembangan serat alam seperti kapas dan wool. Walaupun pada periode setelah krisis ekonomi tahun 1998 beberapa produsen serat sintetis mundur dari bisnis ini serta terjadi dinamika turun naiknya produksi, pertumbuhan industri serat sintetis mulai membaik yang ditandai dengan dilakukannya ekspansi oleh beberapa produsen serat poliester dan rayon di Indonesia pada tahun 2010.

Berdasarkan data pada tebel 3, Indonesia merupakan negara ke-6 terbesar dunia yang memproduksi serat sintetis dengan share dari total produksi dunia sebesar 2,49 % setelah Cina, India, Amerika, Taiwan dan Korea Selatan.

Tabel 3. Produsen Serat Sintetis dunia

NegaraShare produksi

20052006200720082009

Cina44.11 47.80 51.92 55.66 59.64

India5.51 6.10 6.32 5.90 6.35

USA8.52 7.56 6.77 6.60 5.22

Taiwan7.02 6.34 5.87 4.95 4.76

Korea Selatan4.26 3.66 3.39 3.30 3.17

Indonesia3.01 2.93 2.71 2.59 2.49

Jepang3.01 2.68 2.71 2.59 1.81

SUBTOTAL75.44 77.07 79.68 81.60 83.45

ROW24.56 22.93 20.32 18.40 16.55

TOTAL100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: The Fiber Year 2010 (diolah)

Industri serat sintetis di Indonesia pada umumnya memproduksi Poliester Filament Yarn (PFY), Poliester Stapel Fiber (PSF), Nylon Filamen Yarn (NFY), dan Rayon Stapel Fiber (VSF). Indonesia dikenal sebagai produsen dan penyuplai serat sintetis didunia dalam jumlah besar terutama untuk serat poliester (PSF dan PFY) dan rayon (VSF). Share produksi serat rayon Indonesia mencapai 12,94% dari total produksi dunia pada tahun 2009, sedangkan untuk serat poliester baik filament maupun serat stapel besar share Indonesia mencapai 6,77 %.

Gambar 6. Share Produksi Serat Sintetis Indonesia Terhadap Dunia

Di Indonesia perusahaan serat sintetis didominasi oleh investasi asing terutama dari Jepang dan India untuk serat poliester serta Austria dan India untuk serat Rayon. Produsen serat poliester lebih mendominasi produsen serat sintetis di Indonesia diikuti oleh serat rayon dan nilon. Pada tabel 4 dapat dilihat perbandingan kapasitas dan jumlah industri serat sintetis di Indonesia.Tabel 4. Struktur Industri Serat Sintetis Indonesia Tahun 2010

UraianPSFPFYNFY *)VSF

Total Kapasitas - KTA 659,09809,29108,38390

Jumlah Industri 101462

Kap. Rata-rata - KTA 65,9157,8018,06195,00

Range Kapasitas - KTA 3,6-187,09,0-226,06,9-44,0170-220

Utilisasi (%)90%85%75%98%

*) Termasuk industry Nylon Tyre Cord

Sumber: Direktorat Industri Tekstil dan Aneka, APSyFI (diolah).

Mengingat karakter industri ini padat modal dan menggunakan advance technology maka daya saingnya sangat dipengaruhi oleh besaran biaya energi.

Produksi serat sintetis yang cenderung lebih mudah dibandingkan dengan serat alam, pertambahan jumlah penduduk yang cepat dan ketergantungan serat alam pada kondisi cuaca menyebabkan volume produksi serat alam semakin berkurang dan menyebabkan harga yang fluktuatif bahkan cenderung naik. Disisi lain, prospek industri tekstil yang progresif serta teknologi pemintalan yang terus berkembang perlu ditunjang kebutuhan bahan baku yang memadai, hal ini perlu diantisipasi dengan penggunaan serat sintetik mengingat produksinya yang cenderung lebih mudah ditingkatkan dibandingkan dengan serat alam. Produsen serat sintetis di Indonesia melihat peluang semakin membaiknya industri serat sintetis dengan melakukan langkah-langkah ekspansi, empat produsen serat sintetis nasional berencana melakukan ekspansi untuk menambah kapasitas produksi senilai Rp 600 miliar pada tahun depan, untuk memenuhi peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Asia Pacific Fibers Tbk, PT Indorama Synthetics Tbk, PT Panasia Indosyntec, dan PT Mutu Gading. Indorama Grup telah mengakuisisi PT SK Keris serta melakukan penambahan kapasitas produksi serat poliester menjadi 10 juta ton dengan tambahan investasi US$ 3,8 miliar sampai tahun 2014. PT Sritex juga berencana melakukan ekspansi bisnisnya dengan membangun industri serat rayon yang rencananya akan mulai beroperasi pada tahun 2012, selain itu PT South Pacific Viscose (SPV) sebagai produsen terbesar serat rayon juga sedang berupaya meningkatkan kapasitas produksinya yang menelan dana sekitar US$ 130 juta.PT Indo Kordsa Tbk juga akan menginvestasikan US$ 18,5 juta untuk meningkatkan kapasitas produksi anak usahanya, PT Indo Kordsa Poliester (KP), dari 12 ribu ton menjadi 26 ribu ton per tahun.B. Industri Serat Poliester

Setidaknya ada 18 produsen serat poliester di Indonesia dengan kapasitas tahunan sebesar 1,468 juta ton yang terdiri dari serat stapel poliester (PSF) 659,090 ton/tahun dan benang filamen poliester (PFY) 809,290 ton/tahun.Adapun rincian kapasitas dari masing-masing perusahaan dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Kapasitas Produksi PSF dan PFY Industri Nasional

Kapasitas produksi PT Asia Pacific Fiber merupakan yang terbesar baik untuk PSF maupun PFY dengan share masing-masing 28,69% dan 34,67% dari total kapasitas produksi nasional. Untuk PSF kapasitas produksi terbesar kedua dan ketiga diduduki oleh PT TIFICO dengan share sebesar 19,18% diikuti oleh PT Indonesia Toray Synthetics 10,99%. Sedangkan untuk PFY kapasitas produksi terbesar kedua dan ketiga diduduki oleh PT Polychem Indonesia dan PT Indorama Synthetic Textile Mills dengan share masing-masing sebesar 16,91% dan 16,75%. Kondisi ini dapat terus berubah mengingat beberapa perusahaan terus melakukan ekspansi seperti PT Indorama Synthetic yang sedang mendirikan Poliester plant dengan kapasitas PSF, PFY dan poliester Chips mencapai 282.000 Ton pertahunnya.Dari 18 perusahaan yang memproduksi serat poliester, 9 perusahaan memiliki unit polimerisasi untuk memproduksi poliester chip dengan total kapasitas produksi 896,8 ribu ton per tahun.PT Asia Pacific Fiber merupakan produsen terbesar poliester chips dengan share sebesar 37,91% dari total kapasitas produksi nasional, diikuti PT Polychem Indonesia 23,42% dan PT Indorama Synthetics 12,82 % sedangkan sisanya adalah PT Sulindafin, Kahatex, PT Tifico, PT Polyfin Canggih serta PT Global FIberindo dan PT Polindo Utama yang merupakan produsen Recycle poliester yang bahan baku produksinya berasal dari waste industri besar penghasil serat poliester. Pada gambar 5 dapat dilihat perbandingan kapasitas produksi dari masing-masing produsen poliester chips yang ada di Indonesia.

Gambar 8. Kapasitas Produksi Poliester Chips Nasional

Beberapa perusahaan produsen poliester telah go public dan sahamnya telah dijual dibursa saham yaitu PT Indorama Synthetics (Indorama Group), PT Polysindo Eka Perkasa (Texmaco Group), PT GT Petrochem Industries (Gajah Tunggal Group), PT TIFICO dan PT Panasia Indosyntec.

Prospek industri serat poliester pada tahun-tahun mendatang diprediksi akan terus meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dunia. Konsumsi serat staple poliester untuk industry nasional yang awalnya stagnan pada tahun 2002 sampai dengan 2007 yang hanya 450 ~ 460 KTA, mengalami trend positif setelah tahun 2008 dimana konsumsi nasional untuk PSF naik menjadi 520 KTA dan diperkirakan akan terus tumbuh 4 ~ 5% per tahunnya. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya industri tekstil khususnya industri spinning yang semakin bergairah.Pertumbuhan produksi midstream dan up stream pada industri tekstil yang didukung dengan program-program pemerintah seperti Restrukturisasi Mesin/peralatan Industri TPT dan berbagai peraturan dalam rangka memudahkan tentu harus diimbangi dengan ketersedian bahan baku. Oleh karena itu, penambahan kapasitas dan modernisasi mesin/peralatan perlu terus dilakukan oleh industri pembuatan serat sendiri dan didorong oleh pemerintah dan seluruh stakeholder terkait mengingat utilisasi dari kapasitas terpasang sudah cukup tinggi yakni 90%. Gambar 9. Perbandingan Kapasitas, Produksi dan konsumsi PSFKonsumen utama serat stapel poliester adalah industri pemintalan, dimana kapasitas industri pemintalan di Indonesia adalah saat ini diperkirakan mencapai sekitar 11,2 juta spindle. Neraca perdagangan serat stapel poliester pada periode tahun 2007-2009 volume ekspornya selalu lebih tinggi daripada impornya, namun pada tahun 2010 volume impor justru lebih tinggi daripada volume ekspornya, hal ini kemungkinan terjadi karena permintaan didalam negeri yang cenderung naik sehingga produsen serat staple poliester lebih berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Pada tahun 2011 neraca perdagangan diperkirakan akan lebih seimbang dimana volume ekspornya sebanding dengan volume impor.

Gambar 10. Neraca Perdagangan Serat Stapel Poliester (PSF)

Konsumsi serat filamen poliester cenderung stagnan pada kisaran 460 ~ 470 KT selama periode tahun 2007 sampai dengan 2010, namun demikian mulai tahun 2011 konsumsi diperkirakan akan meningkat dengan 3 ~ 4% pertahunnya. Kapasitas produksi dan realisasi produksinya juga mengalami stagnasi sejak tahun 2007. Namun demikian kondisi ini diharapkan berubah mengingat beberapa produsen sudah mulai melakukan ekspansi dimana unit produksinya yang baru diperkirakan dapat beroperasi mulai tahun 2013. Pada gambar 11 berikut dapat dilihat perbandingan kapasitas, realisasi produksi dan konsumsi untuk serat filament poliester.

Gambar 11. Perbandingan Kapasitas, Produksi dan konsumsi PFY

Konsumen utama PFY di pasar domestik adalah industri pertenunan yang menyumbang sekitar 50 ~ 55% dari total konsumsi nasional, diikuti industri perajutan dengan konsumsi sekitar 45 ~ 50%. Konsumsi domestik yang cenderung stagnan akibat kapasitas terpasang untuk industri pertenunan dan perajutan yang tidak terlalu tinggi pertumbuhannya menyebabkan surplus produksi akan terus diekspor. Hal ini dapat dilhat pada neraca perdagangan serat filamen poliester pada gambar 12 dimana volume ekspor PFY jauh lebih tinggi dibandingkan dengan volume impornya.

Gambar 12. Neraca Ekspor-Impor PFY

Volume penjualan serat poliester baik stapel maupun filamen di pasar domestik pada semester II tahun 2011 diperkirakan naikmenjadi 285 ribu ton atau naik 9,6% dibanding semester I tahun ini. Tingginya harga kapas dunia membuat tren penggunaan bahan baku serat poliester meningkat di pasar domestik.

Bahan Baku Serat Poliester

Purified Terepthalic Acid (PTA) sebagai bahan baku serat poliester produksinya menurun menjadi 1.260 KTA pada tahun 2010 padahal pada tahun 2006 total produksinya mencapai 1.850 KTA. Hal ini terjadi karena dua produsen PTA menghentikan line produksinya dan satu produsen hanya mengaktifkan 20% dari total kapasitas produksinya. Pada tahun 2011 produksi diharapkan naik menjadi 1.286 KTA dengan tingkat utilisasi 95 ~ 100% untuk dua produsen utama.

Gambar 12. Perbandingan Kapasitas, Produksi dan konsumsi PTA

Saat ini hanya terdapat lima perusahaan produsen PTA di Indonesia yakni Pertamina, PT Mitsubishi Chemical Indonesia, PT Polysindo Eka Perkasa (berubah nama menjadi PT Asia Pacific Fibers Tbk), PT Amoco Mitsui PTA Indonesia, dan PT Polyprima Karyareksa. Kapasitas produksi PTA nasional saat ini diperkirakan mencapai 2,17 juta ton.Industri Purified Terephthalic Acid (PTA) yang termasuk dalam industri petrokimia merupakan industri yang relatif baru tumbuh di Indonesia. Dari lima produsen PTA yang ada pabrik yang masih berproduksi hanya tiga, yaitu Amoco Mitsui, Mitsubishi Chemical, dan Asia Pacific Fibers dengan kapasitas tahunan sebesar 1.810.000 ton per tahun. Dari tiga perusahaan tersebut, Asia Pacific Fibers hanya memproduksi PTA untuk dikonsumsi sendiri. Sementara kebutuhan PTA bagi industri serat sintetis nasional dipasok oleh Mitsubishi dan Amoco dan sisanya masih diimpor namun hanya dalam skala kecil yakni sekitar 40 ribu ton per tahun.

Bahan baku utama industri PTA adalah nafta dan kondensat yang merupakan hasil pengolahan kilang minyak bumi yang mengalami proses reforming sehingga dihasilkan paraxylene, selanjutnya paraxylene direaksikan dengan acetic acid dan dihasilkan PTA. Pengembangan industri PTA diharapkan akan memberikan keuntungan berganda bagi pembangunan nasional yang sangat berarti dibandingkan apabila potensi sumber daya migas hanya dimanfaatkan sebagai komoditi ekspor. Melihat sumber daya migas dan jumlah tenaga kerja yang dimiliki Indonesia, produk PTA dapat dikatakan mempunyai keunggulan komparatif di pasar internasional, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk PTA Indonesia yang akan berdampak pada penghematan dan perolehan devisa.

Selain PTA, bahan baku utama yang dibutuhkan untuk memperoduksi serat poliester adalah Mono-Etilena Glikol (MEG). Di Indonesia MEG hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT. Polychem Indonesia. Selain memproduksi MEG PT Polychem juga memproduksi Di-Etilena Glikol (DEG), Tri-Etilena Glikol (TEG) dan berbagai produk Etoksilat (EOX). Kapasitas produksi yang dimiliki PT Polychem adalah 226.800 ton pertahun dimana tahun 2010 Polychem memproduksi 177.991 ton MEG.

Gambar 13. Perbandingan Kapasitas, Produksi dan konsumsi MEG

Dari Keseluruhan produksi MEG yang dihasilkan oleh PT Polychem Indonesia sekitar 17% dikonsumsi sendiri oleh divisi poliester dan selebihnya, yaitu sekitar 83%, dijual ke berbagai produsen benang dan serat poliester. Saat ini, Indonesia masih merupakan negara pengimpor MEG, mengingat kapasitas produksi PT Polychem yang hanya 226.800 ton per tahun. Ketergantungan impor yang sangat tinggi itu menyebabkan 12 perusahaan serat sintesis sulit meningkatkan daya saing. Oleh karena itu industri MEG sebagai sumber bahan baku serat poliester seharusnya ditumbuhkan mengingat peluang dan pangsa pasar yang masih sangat besar di Indonesia.Industri serat sintetis di dalam negeri membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 15 triliun untuk membangun pabrik paraxylene guna memenuhi pasokan bahan baku serat sintetis dengan rincian pasokan paraxylene diharapkan mencapai 5 juta ton per tahun untuk memproduksi PTA dan MEG sekitar 6,3 juta ton setiap tahunnya.

C. Industri Serat Rayon

Saat ini di Indonesia hanya terdapat 2 produsen serat rayon, namun kedua perusahaan ini memiliki share yang besar dari total produksi serat rayon dunia. Selama beberapa tahun terakhir PT South Pacific Viscose dan PT Indo Bharat Rayon terus meningkatkan kapasitas produksinya, sehingga pada tahun 2010 ini total kapasitas terpasang dari kedua perusahaan tersebut telah mencapai 400.000 ton pertahun. Setelah mengalami penurunan produksi dan konsumsi pada tahun 2008, produksi dan konsumsi terus meningkat pada tahun 2009 sampai dengan 2010 dan diperkirakan akan tumbuh sebesar 5% per tahunnya. Berdasarkan data, kebutuhan serat rayon tahun 2010 mencapai 252.000 ton dimana industri dalam negeri hanya mampu memenuhi 219.360 ton, sedangkan sisanya sebanyak 32.640 ton masih harus diimpor. Kontribusi terbesar dalam rangka pemenuhan konsumsi dalam negeri berasal dari SPV yakni sebesar 120.000 ton. Sedangkan pasokan dari IBR sebesar 99.360 ton. Rincian perkembangan kapasitas, realisasi produksi dan konsumsi serat rayon dapat dilihat pada gambar 14.

Gambar 14. Perbandingan Kapasitas, Produksi dan konsumsi VSF

Ekspor serat rayon terus meningkat sejak tahun 2006 hal ini sejalan dengan industri serat rayon didalam negeri yang terus meningkatkan kapasitas produksinya untuk mengantisipasi permintaan yang terus menggelembung akibat terganggunya pasokan serat kapas. Neraca perdagangan serat rayon Indonesia dapat dilihat pada gambar 15.

Gambar 15. Neraca ekspor-impor VSF

Indonesia berencana tak lagi mengimpor serat rayon mengingat industri tekstil akan mendapatkan tambahan serat rayon dari penambahan pabrik baru PT South Pacific Viscose (SPV), produsen rayon asal Austria ini akan membangun pabrik ke lima yang nilai investasinya mencapai US$ 130 juta.Melalui pendirian plant baru ini total kapasitas produksi PT SPV diharapkan menjadi 325.000 ton, dimana 60% dari hasil produksinya direncanakan dipasarkan untuk kebutuhan domestik. Saat ini, pasokan serat rayon SPV ke pasar domestik hanya sekitar 120.000 ton.

Selain PT SPV yang sedang melakukan ekspansi, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang merupakan produsen TPT terpadu juga berencana membangun pabrik serat rayon pada tahun 2012 dan ditargetkan efektif beroperasi pada 2013.

Dengan dilakukannya ekspansi oleh PT Sritex dan PT SPV di sektor serat rayon kemungkinan negara ini akan menjadi produsen serat rayon terbesar di dunia pada tahun 2014. Kapasitas produksi serat rayon Indonesia pada 2014 diperkirakan mencapai 1 juta ton per tahun yang dipicu ekspansi produsen guna merespon permintaan pasar yang diyakini akan terus meningkat.

D. Industri Filamen Nilon

Konsumsi dan produksi untuk Nylon Filament yarn (NFY) cenderung turun selama 5 tahun terakhir, pada tahun 2005 konsumsi serat filamen nilon mencapai 27 Kilo Ton pertahun (KTA) dan turun pada tahun 2010 konsumsinya hanya mencapai 12 KT. Ekspor NFY pada tahun 2010 mencapai 8 KTA dan impornya sekitar 1 KTA dengan utilisasi kapasitas terpasang 70 ~ 75%.

Gambar 16. Perbandingan Kapasitas, Produksi dan konsumsi NFY

Indonesia juga memiliki produsen benang nilon untuk keperluan khusus seperti benang nilon dengan kekuatan tinggi untuk keperluan kain ban (nylon tyre cord) dengan kapasitas produksi mencapai sekitar 77.000 ton pertahun.

E. Industri Serat Akrilat

Indonesia hanya memiliki 1 produsen serat akrilat yaitu PT Kahatex, namun hasil produksi PT Kahatex seluruhnya digunakan untuk keperluan sector pemintalan mereka sendiri. Permintaan Serat Acrylic untuk industri lain di Indonesia dipenuhi melalui impor dan hanya berkisar 65 KTA.A. PELUANG INVESTASI INDUSTRI DI INDONESIA

Indonesia memiliki perekonomian dengan laju pertumbuhan tercepat nomor tiga di Asia dan perekonomian terbesar di seluruh Asia Tenggara Dengan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang hampir mencapai US$550 milyar di tahun 2009. Sebagai negara yang tidak terkena dampak krisis keuangan global separah negara tetangga, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 6,5% di sampai dengan triwulan III 2011. Dengan jumlah 240 juta penduduk, Indonesia menawarkan pasar domestik yang luas dimana kondisi ini akan memberi keuntungan bagi banyak industry termasuk didalamnya industry tekstil.

Indonesia terletak di persimpangan Samudra Pasifik, Selat Malaka, dan Samudra Hindia. Lebih dari separuh pelayaran internasional melewati perairan Indonesia. Indonesia adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang menjadi anggota G-20, kelompok global terkini untuk kebijakan ekonomi antar negara. Standard Chartered memprediksi bahwa Indonesia akan masuk di kelompok G-7 di tahun 2040 dengan syarat tercapainya potensi pertumbuhannya di tahun 2012, dan ekonominya akan melampaui Korea Selatan di tahun 2016 dan Jepang di tahun 2024.

Gambar 17. Perbandingan pertumbuhan ekonomi Indonesia, India dan ChinaPada Januari 2010, lembaga pemeringkatan Fitch Ratings telah meningkatkan peringkat kredit Indonesia menjadi BB+ dengan prospek ke depan yang stabil. Peningkatan peringkat kredit ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan berkelanjutan, serta posisi fiskal yang semakin membaik. Hal ini menunjukkan peningkatan kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia, karena menempatkan Indonesia hanya satu tingkat di bawah peringkat investment grade. Dengan perubahan peringkat ini, Indonesia semakin berpeluang untuk menarik investasi dan arus modal dalam jumlah besar, serta dapat menarik dana-dana yang selama ini hanya bisa diinvestasikan ke dalam negara yang memiliki peringkat investment grade. Trend investasi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik selama15 tahun terakhir.

Gambar 17. Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) yang telah DirealisasiIndonesia merupakan negara yang menarik bagi tujuan investasi karena menawarkan berbagai keuntungan investasi antara lain:1. Insentif Fiskal Kepabeanan dan PajakPemerintah secara konsisten melakukan pembenahan pelayanan dan menawarkan insentif fiskal yang menarik bagi arus lalu lintas barang yang masuk atau keluar dari wilayah Indonesia.

Insentif fiskal kepabeanan diberikan kepada industri yang mendukung substitusi impor dan industri ekspor. Insentif fiskal kepabeanan yang diberikan berupa: Keringanan bea masuk/tarif impor bahan baku atau komponen. Keringanan dapat berbentuk pembebasan atau penurunan bea masuk (0%- 5%). Keringanan PPN, PPnBM dan PPh pasal 22. Keringanan dapat berbentuk penangguhan atau pembebasan.

Insentif fiskal pajak diberikan kepada penanam modal di bidang-bidang usaha tertentu termasuk didalamnya industry serat sintetis dan di daerah-daerah tertentu. Bidang usaha dan daerah yang dapat memperoleh fasilitas insentif fiskal ini ditetapkan melalui PP No. 1 tahun 2007 (revisinya PP. 62 tahun 2008) yang sedang dalam proses revisi dan akan ditetapkan pada tahun 2011 ini. Insentif fiskal pajak diberikan berupa: Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.

pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek pajak Luar Negeri sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

2. Infrastruktur yang memadai dan terus ditingkatkan. Indonesia memiliki 2.061 pelabuhan dari seluruh pelabuhan tersebut yang menyediakan fasilitas kontainer antara lain: pelabuhan Belawan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak dan Makasar. Pelabuhan terbesar Tanjung Priok, yang melayani wilayah Jakarta, mampu menampung 1.431.753 Twenty Feet Equivalent Units (TEU's) kontainer pada tahun 2000, sementara Pelabuhan Tanjung Perak, yang melayani wilayah Jawa Timur, mampu menampung 238,567 TEU's di tahun 2000. Indonesia memiliki sekitar 150 bandara, yang terdiri dari bandara internasional dan bandara domestik. Infrastruktur jalan raya mengalami perbaikan sepanjang tahun. Hal ini terlihat dari peningkatan panjang jalan beraspal total, dimana tahun 2000 sepanjang 355.951 km, menjadi 393.794 km di tahun 2006. Infrastruktur listrik Indonesia mengalami peningkatan kapasitas terpasang. Tahun 2002, kapasitas terpasang sekitar 21.000 MW. Kapasitas ini mengalami peningkatan pada tahun 2006 menjadi 22.500 MW. Saat ini, penambahan kapasitas listrik Indonesia merupakan program utama pemerintah untuk lebih mendukung iklim investasi. Telekomunikasi Indonesia berkembang pesat sejak adanya reformasi di sektor telekomunikasi. Tahun 2008, pengguna telepon seluler melampaui angka 60 dari 100 penduduk, unggul dari India dan China. Pengguna telepon tetap berjumlah sekitar 30 dari setiap 100 penduduk, unggul dari Thailand. Pengguna internet berjumlah sekitar 25 dari setiap 100 penduduk, unggul dari India. Moda transportasi darat Kereta Api dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan terutama di Pulau Jawa. Panjang track operasi kereta api di Jawa mengalami peningkatan dari 3365,6 km di tahun 2006, menjadi 3370,0 km di tahun 2007.

Pengurusan izin kerja bagi tenaga kerja asing di Indonesia cukup mudah, meliputi pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK), rekomendasi visa kerja, Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas), dan Izin Memperkerjakan Tenaga Asing (IMTA).3. Jaminan Kemudahan Investasi dan Kelangsungan Usaha melalui Penetapan Peraturan Perundang-undangan, meliputi: UU No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan PP No. 1 Tahun 2007 Jo. No. 62 Tahun 2008 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu. PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. PP No. 81 Tahun 2007 Tentang Penurunan tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Bebentuk Perseroan Terbuka Perpres No. 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Perpres No. 111 Tahun 2007 Tentang Perubahan Perpres No 77/2007 Mengenai Daftar Bidang Usaha Tertutup Dan Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal Perka BKPM No.11 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan, Dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Perka BKPM No.12 Tahun 2009 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal. Perka BKPM No.13 Tahun 2009 Tentang Pedoman Dan Tatacara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Perka BKPM No.14 Tahun 2009 Tentang Sistem Pelayanan Informasi Dan Perizinan Investasi Secara Elektronik 4. Biaya Memulai Usaha yang relative terjangkauDaya tarik utama memulai usaha di Indonesia adalah karena biaya usaha yang dibutuhkan relatif rendah. Office rental cost yang cukup murah untuk daerah pusat bisnis seperti di Jakarta dengan kisaran harga Rp. 60-80 ribu per m2. Labor cost di Indonesia bervariasi antar provinsi. Papua dan Aceh merupakan provinsi dengan Upah Minimum tertinggi, sebesar Rp. 1,2 juta per bulan. Di Jawa, yang merupakan pusat bisnis Indonesia, Upah Minimum masih berkisar Rp. 570 700 ribu per bulan, kecuali DKI Jakarta dan Banten. Secara rata-rata Upah minimum Indonesia masih berada di level kompetitif, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.

Gambar 18. Perbandingan Upah tenaga Kerja Indonesia dengan Negara Pesaing

Utilities and energy cost yang terdiri dari listrik dan air. Tarif listrik bervariasi berdasarkan klasifikasi pengguna. Untuk kelompok bisnis, biaya beban listrik berkisar Rp. 23.500 30.000 per kVA dengan biaya pakai berkisar Rp. 254 545 kVA. Tarif air juga bervariasi berdasarkan klasifikasi pengguna. Tarif air untuk dunia usaha berkisar Rp. 12.550 14.650 per m3. Transportation cost terutama terdiri dari biaya sewa kendaraan dan biaya penerbangan. Biaya sewa kendaraan (termasuk supir) bervariasi berdasarkan jenis mobil. Biaya sewa mobil berada pada kisaran Rp. 5.670.000 8.380.000. Tarif penerbangan domestik bervariasi bergantung pada jarak tempuh. Secara rata-rata, tarif penerbangan domestik Indonesia semakin kompetitif sejak adanya reformasi industri penerbangan. Jumlah maskapai penerbangan domestik juga mengalami peningkatan yang signifikan. Tarif penerbangan termahal adalah Jakarta-Papua sebesar Rp 3,7 juta. Tarif termurah adalah Jakarta-Semarang Rp 0,5 juta. Biaya Kargo bervariasi bergantung pada tipe kontainer, kapal, dan tujuan. Tarif kargo kapal laut dari pelabuhan utama Indonesia ke Singapura sebesar USD 250 (20 fts) dan USD 400 (40 fts). Tarif ke China sebesar USD 350 (20 fts) dan USD 550 (40 fts). Tarif ke Eropa sebesar USD 1.700 (20 fts) dan 3.150 (40 fts). Tarif ke Amerika Serikat sebesar USD 2.565 (20 fts) dan USD 3.660 (40 fts). Biaya telekomunikasi yang semakin bersaing sejak adanya reformasi di sektor telekomunikasi. Tarif lokal berkisar Rp. 250 per 1,5 3 menit. Tarif internasional bervariasi berdasarkan jarak dan waktu panggilan. Tarif panggilan internasional termurah sebesar Rp. 320 per menit. Biaya Kesehatan yang pada umumnya tidak ada asuransi kesehatan yang harus dibayar. Akan tetapi, untuk para pekerja biasanya disediakan asuransi kesehatan dari perusahaan yang besarnya tergantung dari jumlah total gaji yang diterima.5. Menurut PricewaterhouseCoopers, Indonesia merupakan pasar yang terkenal dengan sumber daya alamnya, bahkan dari prospek bahan mineral dikatakan lebih menarik dibandingkan negara lain seperti Afrika Selatan, Australia dan Kanada.

Gambar 19. Sumber Daya Alam yang dimiliki IndonesiaB. TANTANGAN YANG DIHADAPI INDUSTRI SERAT SINTETIS DI INDONESIA

Fluktuasi harga minyak dunia yang merupakan sumber bahan baku serat sintetis dan tingginya biaya energi banyak mempengaruhi perkembangan industry serat sintetis.

Tinggi dan volatile-nya bahan baku menyebabkan harga yang tidak stabil karena industri hilir khususnya paraxylene dan MEG tidak terlalu kuat.

Membangun rantai produksi antara downstream-midsteram-upstream dengan mengembangkan produk baru dan menciptakan jaringan distribusi baru di setiap sektor industri tekstil sehingga menjadikan nilai tambah yang lebih tinggi pada produk yang dihasilkan.

Pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat dan pemanfaatan daya saing serat sintetis yang lebih baik daripada serat alam yang sulit dikembangkan di Indonesia.

Memperluas pasar ekspor, berbasis pada pengembangan kualitas yang lebih baik dan biaya yang kompetitif manufaktur.

Pengembangan teknologi dan sumber daya manusia untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri.

Peningkatan infrastruktur industri termasuk meningkatkan efisiensi di pelabuhan untuk meningkatkan daya saing global.

Persaingan global dan peraturan perdagangan internasional seperti antisubsidi dan anti dumping perlu di tangani dengan tepat.

Peraturan perundang-undangan untuk menjamin iklim investasi industry dan peraturan ketenagakerjaan yang menjamin keberlangsungan usaha dan pro terhadap tenaga kerja.

Mendesak R & D yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi efisien dan ramah lingkungan proses produksi dan peralatan.

C. PELUANG INVESTASI INDUSTRI SERAT SINTETIS DI INDONESIA

Pengembangan Serat sintetis yang berbasis pada bahan baku dari residu minyak bumi sangat layak dikembangkan di Indonesia mengingat Indonesia memiliki kekuatan antara lain: Indonesia memiliki sumber bahan baku (minyak bumi) yang sangat melimpah, hal ini merupakan factor kunci dalam persaingan industry serat sintetis. Industri Petrokimia hulu yaitu pengolahan Paraxylene, PTA dan MEG yang merupakan bahan baku serat polyester juga merupakan sektor yang sangat menjanjikan dalam melakukan investasi. Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia khususnya industri spinning terus tumbuh sehingga kebutuhan akan bahan baku serat akan terus meningkat.

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sandang dalam negeri yang terus naik seiring dengan besarnya pertambahan jumlah penduduk serta perluasan pasar ekspor penguatan industri hulu, antara dan hilir perlu terus dilakukan.

Pengembangan serat alam terutama kapas yang sulit dilakukan di Indonesia membuka peluang yang lebih besar untuk industry serat sintetis.

Indonesia merupakan negara terbesar ke-enam sebagai produsen serat sintetis. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas produk untuk pasar ekspor maupun dalam negeri sudah di akui dunia.

Situasi ekonomi dan politik di Indonesia terus membaik dan perekonomian terus tumbuh, ketika terjadi resesi ekonomi pada periode 2008-2010 pertumbuhan ekonomiIndonesia justru naik 6,5% pada kuartal kedua tahun 2011 serta pertumbuhan industry mencapai6,4%.

Pemerintah telah meluncurkan program industri Tekstil revitalisasi di 2006 ~ 2007 yang telah berhasil melanjutkan sampai tahun ini. Produsen serat sintetis di Indonesia melihat peluang semakin membaiknya industri serat sintetis dengan melakukan langkah-langkah ekspansi, PT Asia Pacific Fibers Tbk, PT Indorama Synthetics Tbk, PT Panasia Indosyntec, dan PT Mutu Gading menambah kapasitas produksi senilai dengan melakukan investasi sebesar Rp 600 miliar pada tahun depan, untuk memenuhi peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Asia Pacific Fibers Tbk, PT Indorama Synthetics Tbk, PT Panasia Indosyntec, dan PT Mutu Gading. Indorama Grup telah mengakuisisi PT SK Keris serta melakukan penambahan kapasitas produksi serat poliester menjadi 10 juta ton dengan tambahan investasi US$ 3,8 miliar sampai tahun 2014. PT Sritex juga berencana melakukan ekspansi bisnisnya dengan membangun industri serat rayon yang rencananya akan mulai beroperasi pada tahun 2012, selain itu PT South Pacific Viscose (SPV) sebagai produsen terbesar serat rayon juga sedang berupaya meningkatkan kapasitas produksinya yang menelan dana sekitar US$ 130 juta.PT Indo Kordsa Tbk juga akan menginvestasikan US$ 18,5 juta untuk meningkatkan kapasitas produksi anak usahanya, PT Indo Kordsa Poliester (KP), dari 12 ribu ton menjadi 26 ribu ton per tahun. Pemberian jaminan investasi dan kelangsungan usaha melalui Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemberian tax allowance melalui revisi PP 62 tahun 2008 yang didalamnya termasuk industry serat polyester baik staple maupun filament, serat rayon, polyester chips dan termasuk industry pengolahan serat alam. Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 termasuk didalamnya untuk industry serat (Tax Holiday). Pemberian insentif penanaman modal melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/Pmk.011/2009 Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal.