individu_pakaian wanita aceh

61
Inilah wajah hukum dari Pemda di Aceh. Regulasi yang digodok atau dirancang, diujikan, kemudian disahkan ternyata belumlah sangat matang. Kontroversi, pro dan kontra semakin mewarnai daerah dengan regulasi-regulasinya. Keefektifan Perda, UU dan lainnya masih perlu dipertanyakan lagi. Jika Perda yang dibuat melahirkan instabilitas daerah tersebut, para pembuat peraturan patut mempertanyakan kembali efektifitas aturan-aturan tersebut. Perda pelarangan mengenakan pakaian (jeans) ketat di daerah Aceh, tidak menutup kemungkinan mengandung unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terkhusus pada perempuan. Padahal, sudah seyogyanya Perda yang dibuat untuk meninggikan harkat dan derajat manusia, dalam arti harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM bagi masyarakat. Namun, jika Perda yang dibuat bermuatan pelanggaran HAM, tentu hal ini akan melahirkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang jauh lebih besar lagi. Hal ini sudah seharusnya menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat dalam membuat sebuah regulasi. Tidak buruk, jika sebelumnya Perda yang akan dibuat berdasarkan masukan dan ide-ide dari masyarakat dan dari berbagai kalangan. Karena Perda yang akan dibuat dan disahkan terkhusus kepada perempuan kelaknya, mengakomodasi saran serta ide-ide dari kalangan perempuan pun juga harus diperbanyak dan diperdalam. Hal ini demi terwujudnya sebuah regulasi yang

Upload: evielfrida

Post on 27-Oct-2015

109 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Individu_pakaian Wanita Aceh

Inilah wajah hukum dari Pemda di Aceh. Regulasi yang digodok atau dirancang,

diujikan, kemudian disahkan ternyata belumlah sangat matang. Kontroversi, pro dan

kontra semakin mewarnai daerah dengan regulasi-regulasinya. Keefektifan Perda, UU

dan lainnya masih perlu dipertanyakan lagi.

Jika Perda yang dibuat melahirkan instabilitas daerah tersebut, para pembuat peraturan

patut mempertanyakan kembali efektifitas aturan-aturan tersebut. 

Perda pelarangan mengenakan pakaian (jeans) ketat di daerah Aceh, tidak menutup

kemungkinan mengandung unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terkhusus

pada perempuan. Padahal, sudah seyogyanya Perda yang dibuat untuk meninggikan

harkat dan derajat manusia, dalam arti harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM bagi masyarakat. Namun, jika Perda yang

dibuat bermuatan pelanggaran HAM, tentu hal ini akan melahirkan pelanggaran-

pelanggaran HAM yang jauh lebih besar lagi.

Hal ini sudah seharusnya menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemda dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat dalam membuat sebuah regulasi. Tidak

buruk, jika sebelumnya Perda yang akan dibuat berdasarkan masukan dan ide-ide dari

masyarakat dan dari berbagai kalangan. Karena Perda yang akan dibuat dan disahkan

terkhusus kepada perempuan kelaknya, mengakomodasi saran serta ide-ide dari

kalangan perempuan pun juga harus diperbanyak dan diperdalam. Hal ini demi

terwujudnya sebuah regulasi yang efektif, yang tidak hanya menyelesaikan gejala suatu

penyakit namun mampu mengobati dan menumpasnya hingga ke akar-akarnya.

Begitu juga dengan Provinsi Sumatra Barat (Sumbar), yang notabene akan

memuarakan syariat Islam ke dalam Perda atau regulasi-regulasi bagi masyarakat

Sumbar. Belajar dari Aceh, juga bukanlah hal yang sia-sia. Iklim-iklim demokrasi dan

jiwa pancasila harus tetap didukung dan ditegakkan. Tidak ada pemaksaan, tidak ada

kesewenang-wenangan, apalagi diskriminasi terutama kepada perempuan.

Munawarah mempercepat laju sepeda motornya, dia harus segera ke kampus karena

akan mempresentasikan tugas kuliah. Meskipun kampus telah mengeluarkan aturan

Page 2: Individu_pakaian Wanita Aceh

agar mahasiswi tidak memakai celana jins saat kuliah, Munawarah dan mahasiswi

Universitas Syiah Kuala lainnya tetap membandel. Celana jins tetap menjadi celana

kesukaan mereka saat kuliah.

Selasa (22/5), Munawarah juga masih memakai celana jins meskipun ia akan tampil ke

depan untuk mempresentasikan tugas makalah yang telah dikerjakannya. “Tidak semua

dosen melarang mahasiswi memakai celana jins, beberapa dosen malah cuek dengan

pakaian mahasiswa, makanya saya hari ini memakai celana jins,” ujar Munawarah.

Munawarah yang mengaku berasal dari Kabupaten Bireun Provinsi Aceh tersebut terus

memacu sepeda motor matis miliknya. Dia berharap bisa tiba ke kampus beberapa

menit sebelum kuliah, karena harus membagikan makalah kepada teman satu

kelompok dengannya.

Namun, semua rencana Munawarah gagal, karena saat melintas di Simpang Mesra,

Kota Banda Aceh, Polisi Wilayatul Hisbah (WH) Provinsi Aceh sedang melaksanakan

razia pakaian ketat terhadap pengguna Jalan T Nyak Arif.

Munawarah berusaha kabur dengan menghindari razia tersebut, namun tiga personel

WH berhasil mengadangnya di tengah jalan. Munawarah tidak berhasil menerobos

adangan tersebut. Ia hanya pasrah dan menepikan sepeda motor. “Pak saya lagi buru-

buru, mau masuk kuliah, tolong lepaskan saja saya,” ujar Munawarah kepada personel

WH.

Dua personel WH tidak menghiraukan permintaan Munawarah. WH meminta

Munawarah menghadap dua personel WH lainnya yang bertugas mendata pengguna

jalan yang tidak memakai jilbab atau berpakaian ketat. Setelah didata, Munawarah juga

diharuskan mendengar nasihat dari anggota WH. Nasihat yang diberikan hanya

imbauan agar Munawarah memakai pakaian yang menutup aurat dan tidak memakai

pakaian ketat. Itu untuk kaum perempuan, sementara kaum laki-laki diminta tidak

memakai celana pendek, karena hal tersebut bertentangan dengan syariat islam yang

berlaku di Aceh.

Page 3: Individu_pakaian Wanita Aceh

Kepada SH, Munawarah mengaku tidak mempermasalahkan penangkapan yang

dilakukan WH karena dirinya memakai celana jins. “Asal tidak diperlakukan sewenang-

wenang tidak masalah, memang saya yang salah karena memakai pakaian yang tidak

sesuai aturan,” tutur Munawarah saat dimintai tanggapannya.

Munawarah mengatakan memakai celana jins hanya agar lebih leluasa bergerak dalam

mengendarai sepeda motor. “Kalau pakai rok susah bergerak. Pergerakan juga

terbatas, makanya saya memakai celana jins,” tuturnya lagi.

Tidak Efektif

Namun, Munawarah mengatakan, razia yang dilaksanakan Wilayatul Hisbah

merupakan tindakan yang tidak efektif. Menurutnya, polisi syariat sebenarnya harus

mengkritik para pengguna celana ketat mulai dari akhlaknya. “Untuk apa kritik celana

ketat kalau akhlaknya masih sama juga? Untuk apa pakai pakaian muslimah kalau

akhlaknya gak bagus?” ujarnya kepada wartawan.

Ia menambahkan, polisi syariat seharusnya jangan hanya menyasar pengguna pakaian

ketat, tetapi juga membina akhlak. Ia mengaku tidak keberatan dengan razia yang

digelar. “Tidak keberatan sih, kalau cuma gini hanya buang-buang waktu. Seharusnya

mereka membina akhlak juga,” ujarnya.

Lain halnya dengan Siska, salah seorang mahasiswa Unsyiah lainnya. Ia mengatakan

tidak menerima penangkapan yang dilakukan WH, karena menurutnya semua orang

berhak menentukan sendiri pakaian seperti apa yang dipakai. “WH tidak berhak

melarang saya memakai celana ketat. Orang tua saya saja tidak pernah melarangnya,”

tutur Siska.

Siska menyebutkan, seharusnya WH tidak perlu mengurus pakaian orang lain, karena

masih banyak hal lain yang harus diurus seperti perjudian dan perzinaan. “Urus itu dulu,

kalau itu sudah berhasil dibasmi baru tertibkan pakaian warga,” tutur Siska.

Kepala Seksi Penegakan dan Pelanggaran di Kantor Satpol PP dan WH Provinsi Aceh,

Syamsuddin, menyebutkan, puluhan warga Aceh terjaring dalam razia dan sosialisasi

Page 4: Individu_pakaian Wanita Aceh

penegakan syariat Islam yang dilakukan tim gabungan yang terdiri dari personel WH,

Satpol PP, TNI, dan Polri di kawasan Simpang Mesra Banda Aceh.

Para perempuan dan laki-laki yang tidak memakai pakaian seperti yang diatur dalam

qanun syariat Islam didata dan mendapat pengarahan agar lebih sopan dalam

berbusana. “Semua yang terjaring telah kami data dan mereka telah menandatangani

surat perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar qanun syariat

Islam,” ujar Syamsuddin.

Larangan perempuan bercelana panjang jeans dan ketat, dan ancaman “gunting di

tempat” bagi yang melanggar (Serambi, 27/10/09) menuai pro kontra. Majelis Ulama

Bireuen, memberi dukungan dan menganjurkan supaya mencontoh kebijakan Pemkab

Aceh Barat. Mereka memprotes pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi yang

mengharapkan daerah lain tidak meniru aturan ditetapkan Bupati Aceh Barat, Ramli

MS. Menteri Agama, Suryadharma Ali, menilai aturan itu bersifat lokal, jadi tak ada

masalah.

Sementara, sebagian wanita Aceh Barat sendiri yang dimotori sejumlah organisasi

wanita dan elemen masyarakat tidak setuju. Karena dianggap terlalu kaku dan

membatasi kebebasan bergerak kaum wanita. Ketua MPU Aceh Tgk. Muslim Ibrahim,

menyikapi polemik dengan “moderat”. Menurutnya, perempuan boleh saja memakai

celana panjang, asalkan tidak ketat.

Tampaknya, aturan melarang celana panjang bagi wanita yang digagas Bupati Aceh

Barat, Ramli, sebagai aktualisasi semangat bersyariat Islam begitu besar; hal ini tentu

saja harus kita syukuri. Ide ini juga dianggap dapat menyelesaikan masalah

kecenderungan banyak perempuan Aceh kepada mode pakaian masa kini yang

cenderung “memamerkan” perempuan. Maka gagasan Bupati itu dianggap tepat, paling

kurang sebagai uji publik.

Page 5: Individu_pakaian Wanita Aceh

Aurat wanita

Alquran, menyatakan bahwa perempuan harus menutup kepala yang memanjang

sampai ke dada (an-Nur 31). Nabi Muhammad saw, memerincinya, bahwa aurat wanita

adalah seluruh anggota badan, kecuali muka dan telapak tangan. Apakah dengan

menutup seluruh anggota badan seperti dituntut hadis ini berarti seorang muslimah

telah menjalankan syariat Islam?

Ternyata tidak! Karena ada hadis lain yang menyatakan bahwa wanita yang berpakaian

seperti telanjang, berjalan lenggak lenggok, menggoda/memikat, kepala mereka

bersanggul besar dibalut laksana punuk unta; mereka ini tidak akan masuk sorga dan

tidak akan dapat mencium harumnya, padahal keharuman sorga dapat tercium dari

jarak yang jauh (HR Muslim).

Sebetulnya yang dituntut oleh Islam bukanlah rok dan jilbab yang sekedar

“membungkus” kulit tubuh sehingga tidak kelihatan, atau “melapisi” badan dengan kain

tipis sehingga warna kulit dan bentuk tubuh tampak transparan. Tetapi “menutup”

bagian-bagian tubuh wanita, sehingga ciri kewanitaan pada tubuhnya tidak diketahui

orang lain, baik warna kulit maupun bentuk atau lekukan-lekukan tubuh. Dengan cara

itulah Islam menjaga kehormatannya sebagai wanita. Artinya, tujuan perintah menutup

aurat adalah untuk menghormati dan melindungi wanita itu sendiri.

Jadi, prinsip dasarnya adalah menutup aurat sebagai penghormatan dan perlindungan

kepada wanita dan itulah yang wajib hukumnya. Sedangkan model, warna, dan bahan

yang digunakan untuk menutup aurat itu bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan

pilihan (mubah) yang disesuaikan menurut situasi dan kondisi. Maka ada perbedaan

antara hukum menutup dengan teknik menutup.

Menutup aurat itu wajib. Teknisnya mubah, namun dengan tetap pada prinsip bahwa

kita sedang “menutup”, bukan “membungkus”. Dan hukum Islam itu elastis (lentus,

luwes). Sifat ini harus ada sebagai konsekuensi hukum Islam berlaku universal, tidak

Page 6: Individu_pakaian Wanita Aceh

dibatasi waktu dan tempat. Tentang jual beli, misalnya, hanya ada empat ayat hukum

yang berhubungan dengan jual beli, yaitu al-Baqarah: 275, an-Nisa: 29, al-Baqarah:

282, dan al-Jum`ah: 9.

Ayat-ayat tersebut menuangkan hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridaan kedua

belah pihak, larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jumat. Rasul juga

menjelaskan beberapa aspek lain yang berlaku pada masa beliau. Selebihnya, tradisi

dan perkembangan perekonomian sangat menentukan bentuk jual beli. Semuanya

dapat berjalan dalam Islam asalkan prinsip-prinsip yang dikemukakan ayat-ayat

tersebut tidak dilanggar.

Begitu juga aturan berpakaian. Islam hanya menuangkan prinsip menutup aurat yang

bukan sekedar “membungkus” tapi benar-benar menunjukkan penghormatan kepada

kewanitaan seseorang dan perlindungan terhadapnya. Selain itu, tradisi, perkembangan

kebutuhan masyarakat, perkembangan mode dan bahan pakaian sangat menentukan

corak bagaimana bentuk yang muncul dari upaya menutup aurat itu. Dengan kata lain,

bentuk pakaian sudah masuk ke ruang kebudayaan dan kebudayaan ditentukan oleh

ruang dan waktu.

Alquran tidak masuk sampai ke detil bentuk, bahan, dan mode pakaian. Alquran tidak

menutup rasa keindahan (estetika) manusia dan rasa seninya. Baju kurung pun tidak

dapat disebut islami bila sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan

laksana ular melilit. Pakaian “bobosca” yaitu gaun ala Italia abad pertengahan yang

demikian longgar dan panjang akan lebih baik daripada baju kurung seperti itu.

Alangkah tampak akan manis bila bobosca dipadukan dengan jilbab yang juga panjang.

Bahkan, contoh yang lebih ekstrem adalah pakaian para biarawati di gereja Vatikan,

tampak jauh lebih sopan daripada pakaian umumnya remaja muslimah Aceh sekarang.

Atas dasar itu, celana kulot (celana panjang yang sangat longgar sehingga lebih

tampak seperti rok) yang dulu populer dapat dianggap memenuhi kriteria menutup

aurat, sekaligus dapat memenuhi tuntutan modern karena wanita lebih dapat bergerak

Page 7: Individu_pakaian Wanita Aceh

lebih leluasa: mengenderai motor, naik bus kota, naik tangga, berbelanja, atau

keperluan lain. Ini tentu berbanding terbalik dengan jeans yang sangat merapat ke paha

dan kaki sehingga lebih mirip kaos kaki yang sepanjang kaki atau celana dalam yang

dipanjangkan.

Model yang sedang populer bagi perempuan Aceh itu persis seperti ungkapan Nabi:

berpakaian seperti telanjang. Tampaknya, perancang busana memang menyediakan

celana jenis ini untuk ditutupi lagi dengan rok. Jadi memang dipakai di dalam, tetapi

sebagian wanita Aceh memakainya di luar, lalu dikombinasi dengan baju sebatas

sekitar lutut dan, tidak lupa, jilbab yang memenuhi syarat “membungkus”.

Barangkali, mengutip pendapat Kadis Syariat Islam Aceh Barat, inilah yang disebut

dengan berpakaian yang mengolok-olok aturan Syariat Islam. Karena itulah, Azyumardi

Azra menyatakan ada perempuan yang memakai celana panjang untuk menarik

perhatian, tapi ada juga karena kebutuhan, keamanan dan kenyamanan (Serambi,

Jumat 30/10/09).

Pakaian adat Aceh

Secara nasional, wanita Aceh dianggap lebih dinamis; bukan hanya karena dalam

sejarah pernah memimpin Kerajaan Aceh sampai 59 tahun dan keberadaan pahlawan-

pahlawan wanitanya dalam perang melawan penjajah, tetapi juga tampak dalam

kesenian dan pakaian adatnya. Bukanlah bagian bawah pakaian adat wanita Aceh

adalah celana panjang yang di bagian atasnya menggunakan kain sarung seperti rok

pendek? Dan pakaian ini, sebagaimana kita saksikan, sangat elastis, luwes, fleksibel,

sehingga amat serasi dengan budaya seni tarinya yang juga sangat dinamis. Yang lebih

penting, pakaian itu “menutup” tubuh wanita Aceh, bukan “membungkusnya”.

Secara sosiologis, wanita Aceh dulu memang membutuhkan pakaian yang seperti itu

karena aktifitas mereka sebagai serdadu perang (inong balee), bahkan panglima laut

seperti Laksamana Malahayati. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya anggota lasykar

inong balee tersebut turun naik gunung, berlari, melompat, dan merayap, sambil

Page 8: Individu_pakaian Wanita Aceh

menyandang senjata sekiranya pakaian mereka adalah jenis baju kurung atau rok

panjang. Aktifitas lain wanita Aceh seperti bersawah dan berkebun di pedalaman Aceh

memang sangat membutuhkan pakaian yang tidak sekedar menutup aurat tapi juga

dapat digunakan dengan tetap terasa nyaman dan aman di badan sehingga aktifitas

tetap dapat dilakukan dengan semestinya. Karena itu, tampaknya celana panjang

perempuan Aceh masa lampau mencerminkan ketaatan pada syariat Islam sekaligus

menunjukkan jatidirinya sebagai perempuan yang dinamis.

Kerajaan Aceh tidak mengurung wanitanya di rumah (purdah) dengan menutup seluruh

badannya seperti di sebagian negara Timur Tengah. Inilah salah satu buah dari

kepaduan hukum Islam dan adat Aceh yang tercermin dalam hukom ngon adat lagee

zat ngon sipeut.

Akhirnya, ide Bupati Aceh Barat tetap harus kita dukung. Hukum Islam yang kaffah

memang harus menjadi prioritas utama pembangunan moral dan spiritual orang Aceh,

tetapi agar hukum Islam tidak kehilangan sifat universal dan elastisnya, kajian akademis

yang melibatkan para ulama dari berbagai kalangan, elemen masyarakat, dan

organisasi massa harus dilakukan sebelum aturan tersebut dibuat dan diterapkan.

Prinsip-prinsip berpakaian dalam Islam di satu sisi juga mampu menyerap kebutuhan

muslimah Aceh masa kini yang sudah jauh berbeda dengan kebutuhan muslimah Arab

dulu.

Mengintip Bacaan Remaja Aceh

FLP Aceh | 9 July 2012 | 0 Comments

Page 9: Individu_pakaian Wanita Aceh

Oleh Amalia Masturah

MASA remaja memang masa yang menyenangkan, ada banyak hal yang dapat

dilakukan pada masa ini. Semua macam kegiatan biasanya ingin dicoba oleh remaja.

Hal ini terkait masanya memang mencari sesuatu yang menyenangkan baginya.

Sesuatu yang menyenangkan itu akan dilakukan demi apapun dan akan menjadi

obsesinya ke depan. Itu sebabnya masa remaja disebut masa mencari jati diri. Karena

memang pada masa inilah dengan segala keiinginannya ia akan mencari yang menjadi

“aku” pada dirinya sendiri.

Namun, pada masa ini perlu diperhatikan bahwa tidak semua pencarian jati diri itu

semuanya menuai kesuksesan. Ada banyak pula kegiatan yang tidak bermanfaat bagi

remaja untuk hidupnya. Ada banyak kegiatan yang hanya akan membuatnya

bersenang-senang sebentar dan menenggelamkan kehidupannya.

Gencarnya perkembangan informasi sekarang ini yang dapat di akses di mana

membuat remaja dapat melihat dunia dan membuat impiannya tercapai kalau ia mampu

memanfaatkan. Di pedesaan memang kini sudah mulai banyak media seperti internet.

Internet yang bisa didapat dengan adanya warnet yang mulai menjamur di kabupaten

memang memudahkan remaja menulusuri dunia. Namun, biaya yang harus ditebus

untuk masuk ke warnet juga kadang membuat remaja berpikir untuk masuk ke

dalamnya.

Untuk itu, mereka mencari media yang lain yang memudahkan mereka mencari yang

mereka inginkan. Media tabloid dan bacaan adalah alternatifnya. Apalagi saat ini, hal

Page 10: Individu_pakaian Wanita Aceh

yang menarik bagi remaja sekarang adalah artis-artis baik dari dalam negeri maupun

dari luar negeri ada di bacaan tersebut.

Bukan hanya mencari informasi idolanya, namun juga berlagak agak artisnya, seperti

menyerupai penampilannya, dan meniru sifat, serta budayanya. Sayang sekali saat ini

banyak sekali remaja meniru hal yang tidak baik dari artis-artis idolanya.

 Gambar artis

Saya sempat kaget saat membuka salah satu tabloid remaja yang cukup terkenal, di

dalamnya kebanyakan informasi-informasi artis terkini. Dan benarlah saya menemukan

sebuah gambar artis luar negeri yang pakaiannya kurang dari cukup. Berlebihan dan

kelewatan.

Apakah tidak ada foto lain? Atau mengapa tidak di-crop saja bagian yang tidak senonoh

itu? Pakaiannya memang lebih dari kurang, persis seperti baju renang. Bukankah saat

Miss Indonesia beberapa tahun silam yang mengikuti kontes di luar negeri

diperselisihkan oleh para ulama terkaitnya penampilan dalam kontes itu memakai baju

renang?

Oh, lihatlah para ulama, saat inipun di tabloid remaja, media yang begitu familiar

sampai ke pedesaan sudah kurang bermanfaat. Lihatlah para pemimpin calon-calon

pemimpin bangsa kini tak lagi jernih matanya seperti kekeruhan mata para pejabat yang

kini asyik bermain umpet-umpetan uang negera. Lihatlah orang tua kini anak-anak

kebanggaan telah tidak sama dengan masa kecilnya.

Sebenarnya ada badan pemerintahan tertentu yang bertanggung jawab akan hal ini.

Penyeleksian tabloid biasanya dilakukan, tapi tidak tahu sekarang, apakah masih ada

penyeleksian dan sensor pada buku bacaan? Apalagi dengan isi bacaan dari

tabloid/majalah remaja yang kini lebih banyak informasi artisnya ketimbang informasi

keremajaan yang berguna bagi remaja.

Page 11: Individu_pakaian Wanita Aceh

Tabloid-tabloid itu khususnya di desaku, Tulaan, kecamatan Gunung Meriah adalah

media yang acap kali dikonsumsi remaja. Begitu banyak fans berat dari artis di luar dan

dalam negeri di sini. Terlebih fans-nya dance-dance dari Korea itu.

Benar memang sebuah ungkapan, kamu adalah apa yang kamu baca. Maksudnya

adalah sebuah tindakan yang kita lakukan tak jauh-jauh dengan apa yang kita baca.

Bila kita membaca bacaan yang bermanfaat maka kemungkinan sikap kita akan

menjadi positif. Begitu juga bila kita membaca bacaan yang tidak bermanfaat maka

sikap kita pun akan negatif. Contoh-contohnya dapat terlihat langsung di masyarakat

Aceh.

Belum lama ini, misalnya, seorang remaja memasuki sebuah toko untuk membeli

tabloid/majalah remaja. Dipilihnyalah sebuah majalah remaja yang berwarna-warni

cover-nya. Pakaian remaja itu hampir sama dengan pakaian artis di dalam majalah.

Memakai baju tidur ke luar rumah masih bisa lumrah di masyarakat kita, tapi yang

terlihat saat ini adalah memakai celana pendek yang kurang dari lutut. Tak perlu jauh-

jauh, untuk tingkat memakai kerudung saja masyarakat kini sudah banyak yang

meninggalkannya.

Begitulah perkembangan remaja saat ini di pedesaan. Cukup mengiris hati. Para orang

tua, masyarakat, dan pemimpin sepatutnya membuka mata terkait hal ini. Apalagi kita di

Aceh punya aturan mengenai pakaian ini ada tertulis dalam Qanun pasal 13. Pada ayat

satu berbunyi, setiap orang Islam wajib berbusana Islami.

Jelas dari ayat tersebut menyatakan bahwa masyarakat harus memakai pakaian yang

biasa tampak dan seperti aturan dalam Islam. Apalagi sekarang banyak macam

pakaian muslim yang layak dipakai. Ayat kedua, pimpinan instansi pemerintah, lembaga

pendidikan, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana

Islami di lingkungannya.

Mencermati ayat ini tampaknya inilah yang mulai memudar di masyarakat kita. Jika

sudah memakai pakaian Islami enggan menegur orang-orang yang di sekitarnya yang

Page 12: Individu_pakaian Wanita Aceh

belum memakai pakaian yang demikian. Padahal sebenarnya setiap manusia punya

sifat saling membantu, saling menasihati, terlebih bagi anak sendiri, keluarga sendiri.

 Harus dicegah

Oleh sebab itulah mulai sekarang harus dicegah sebelum semakin parah. Sebaiknya

hal ini harus dimulai dari keluarga. Orang tua sebaiknya menyeleksi bacaan bagi

anaknya, minimal mengetahui bacaan apa yang dibaca si anak. Kemudian setiap kita

hendaknya saling membantu dan menyikapi jika melihat yang tidak wajar.

Sebenarnya masyarakat kita masih kental dengan keislaman, terlihat bahwa sejauh ini

banyaknya kajian keislaman (pengajian) di tiap tempat. Namun, sayang sekali tak

banyak masyarakat yang mau berbagi pada keluarganya ataupun melaksanakannya

dan menjadi masyarakat itu sendiri gerah.

Selain itu, pemerintah harus tegas. Tanpa memberikan ketegasan dan arahan, sulit

masyarakat kita mengerti. Arahan demi arahan harus disampaikan agar masyarakat tau

apa manfaat dari aturan yang telah dibuat tersebut.

Kemudian, perlu adanya tim khusus untuk menyeleksi buku bacaan yang boleh masuk

di Aceh juga penting. Dengan begitu, kita akan tahu mana bacaan yang bagus mana

yang tidak. Mana yang layak dibaca mana yang tidak.

Selanjutnya, sebagai warga negara, siapa pun itu, baik pejabat, polisi, WH, ibu rumah

tangga, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain punya hak dan kewajiban menasihati sesama

orang-orang di sekitarnya dan tak membiarkannya. Hal inilah yang perlu sekali kita

kembalikan untuk Aceh yang bermartabat.

Page 13: Individu_pakaian Wanita Aceh

Aceh Barat Resmi Larang Perempuan Berpakaian Ketat, Celana Jin, dan Tembus

Pandang.

Peraturan Bupati No.5/2010 tentang penegakan syariat Islam, khususnya untuk

perempuan daerah itu ditandatangani Bupati Aceh Barat Ramli MS pada Kamis (20/5

2010). Perempuan dilarang berpakaian ketat, memakai celana jin, dan pakaian tembus

pandang. Perbub ini juga mengatur soal larangan lelaki mengenakan celana pendek.

Inilah beritanya:

Larangan Mengenakan Pakaian Ketat di Aceh Barat Diberlakukan

Kamis, 27 Mei 2010 17:52 WIB

Penulis : Hendra Saputra

ACEH BARAT–MI: Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam

(NAD) secara resmi mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbub) yang melarang

perempuan mengenakan pakaian ketat di wilayah itu.

Dengan terbitnya perbub yang ditandatangani Bupati Aceh Barat Ramli MS pada

Kamis (20/5), perempuan dilarang berpakaian ketat, memakai celana jin, dan pakaian

tembus pandang. Perbub ini juga mengatur soal larangan lelaki mengenakan celana

pendek.

Pemkab Aceh Barat telah menyediakan 20 ribu rok yang akan dibagi-bagikan kepada

perempuan yang kedapatan memakai celana jin dan celana ketat. Sejumlah petugas

dari Wilayatul Hisbah (polisi syariat Islam) telah disiagakan di perbatasan kabupaten

seperti di lintasan Meulaboh-Calang, Meulaboh-Pidie, dan lMeulaboh-Nagan Raya.

Hari ini (Kamis, 27/5), razia busana muslimah digelar di Desa Pasi Jambu,

Kecamatan Kawai XIV, Aceh Barat. Polisi syariat menghentikan setiap kendaraan

yang melintas di kawasan tersebut dan meminta perempuan yang mengenakan

celana jin untuk turun dari kendaraan.

Petugas membagi-bagikan rok panjang kepada perempuan yang terjaring dalam

razia ini. Setelah diberikan siraman rohani dan didata oleh petugas, mereka

dipersilahkan melanjutkan perjalani.

Untuk menyosialiasikan perbub larangan berpakaian ketat, Pemkab Aceh Barat juga

melibatkan sejumlah elemen masyarakat. Mereka terdiri dari kepala desa, kepala

mukim, tokoh adat, ulama, dan tokoh masyarakat.

Page 14: Individu_pakaian Wanita Aceh

Menurut Bupati Ramli, larangan memakai celana ketat diberlakukan sebagai upaya

melaksanakan syariat Islam secara sempurna di Aceh. “Pembagian rok ini agar

warga tidak merasa teraniaya dengan kebijakan yang kita buat. Rok ini juga sebagai

bentuk ganti rugi bagi warga,” kata, Ramli. (HP/OL-01)

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/27/145458/126/101/Larangan-

Mengenakan-Pakaian-Ketat-di-Aceh-Barat-Diberlakukan

Dukungan ulama

Sementara itu Antara Sumbar memberitakan, Sekretaris Rabithah Thaliban Aceh,

Tgk. Asqalanimenyatakan, kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten

(Pemkab) Aceh Barat tersebut perlu mendapat dukungan dari semua pihak,

sehingga peraturan itu akan menjadi rahmat bagi masyarakat dan

pemerintah setempat.

Dikatakan, apa yang telah dilakukan Pemkab Aceh Barat sudah mendapat dukungan

para ulama di Aceh, melalui musyawarah dan seminar, sehingga tidak ada

yang diragukan lagi.

Oleh karenanya, bagi warga muslim di Kabupaten Aceh Barat tidak ada

alasan untuk tidak mematuhinya, dan itu merupakan bagian dari ibadah

yang wajib ditaati, artinya bila dilaksanakan berpahala, ditinggalkan

berdosa, katanya.

Ia juga berharap kepada warga non muslim agar menghormati dengan cara

berpakaian yang sopan.

“Memang Perbup itu tidak diberlakukan bagi warga non-Muslim, tapi mereka

harus menghormati. Jangan sampai para wanita memakai celana pendek di

luar rumah, itu tidak menghargai,” katanya.

Proyek percontohan

Serambinews.com menulis imbauan berjudul Soal Pakaian Ketat, Aceh Barat Butuh

Dukungan Moral.Diantaranya dikemukakan:

Lebih penting lagi, diam-diam sebetulnya orang melihat apa yang dilakukan di

Kabupaten Aceh Barat tersebut menjadi semacam proyek percontohan bagi

kabupaten/kota lain nantinya. Oleh sebab itulah, agar rencana Ramli MS dkk itu bisa

Page 15: Individu_pakaian Wanita Aceh

sukses, maka perlu mendapat support dari kita semua. Termasuk pemikiran dalam

proses pematangan Perbup tadi.

Sedangkan razia terhadap wanita di dalam kendaraan umum maupun pribadi, kita

harap dilakukan secara sangat hati-hati dan penuh etika. Jangan sampai

menyinggung perasaan para terazia. Sebaliknya, para wanita yang diperiksa

hendaknya memaklumi dan jangan gampang tersinggung. Toh dengan bersikap

kooperatif, berarti kita semua telah memberi dukungan moral terhadap pelaksanaan

syariat Islam. (serambinews.com).

Ketika umaro’ dan ulama bersama-sama menjunjung syari’at, maka yang diterapkan

adalah hukum yang diridhoi Allah Ta’ala. Sebaliknya, ketika dua-duanya bersama-sama

menyingkiri syari’at maka yang diterapkan adalah apa-apa yang sesuai dengan hawa

nafsu mereka.(nahimunkar.com)

Anda mungkin juga memina

7 Responses to ““Syarat” Pakaian wanita untuk trip ke Sabang – Aceh”

1. titi hidayatun Says: 

April 30th, 2012 at 9:13 am

halo mbak Dwi,   tahun baru kmaren saya ke Banda Aceh dan Sabang, gak ada aturan

khusus berpakaian kok mbak.. apalagi buat pendatang. asal sopan aja. kalo bisa

nggak pake celana pendek/rok mini dan tank top/ you can see. gak harus pake jilbab

juga. pake celana jeans boleh kok.   tapi kalo mau masuk ke masjid, harus pake baju

Page 16: Individu_pakaian Wanita Aceh

lengan panjang, rok/celana panjang dan juga kerudung.   semoga membantu ya.  

salam, Titi

2. Anonymous Says: 

April 30th, 2012 at 9:18 am

Hai Dwi….

November tahun lalu saya ke Aceh – Sabang. Untuk di Banda Aceh sendiri, Saya rasa

selama kita berpakaian dg sopan ga masalah kok (tidak memakai pakaian terlalu ketat,

atau pendek).

Kemarin saya pakai jeans, pakai kaos biasa. Ga ada yang memandang saya dengan

aneh kok. Ga diharuskan pakai kerudung, tapi tetap saya pakai pashmina untuk jaga-

jaga walaupun tidak dikerudungkan.

Untuk di sabang malah lebih bebas karena mungkin ini tempat wisata yah jadi ga

seketat di Banda Aceh.

Semoga membantu Salam Powered by Telkomsel BlackBerry®

3. Shakuntala Shasa Sigit Says: 

April 30th, 2012 at 11:51 am

Berdasarkan pengalaman tahun lalu ke Banda Aceh dan Sabang, memang di

berlakukan peraturan adat ‘syariah Islam’, di ‘mulut’ desa di Iboih (P.weh) bahkan ada

papan peraturannya. Tapi ga ketat diberlakukan. Lain halnya kalo di Banda Aceh,

saking ketatnya saya naik becak terbuka pas kerudung yg saya pake lepas saja

ditunjuk2 orang, lalu di mesjid Baiturrahman, walau sudah pakai pakaian tertutup dan

kerudung masih dianggap kurang sopan sehingga satpam meminta saya keluar area

mesjid dengan kurang sopan

well, itu pengalaman pribadi ya, mungkin beda orang beda cerita

Page 17: Individu_pakaian Wanita Aceh

Shasa

2012/4/30

4. Anonymous Says: 

April 30th, 2012 at 9:41 pm

Hi, salam kenal.

Akhir tahun kemarin saya sempat ke Gapang,Sabang. Klo di sabang,pakaiannya sih

bebas.pake celana sependek apapun boleh kok coz kbanyakan org d sabang adl turis

dr luar. Tapi klo di aceh,pakaiannya memang harus agak tertutup. Gak harus pake

kerudung (utk yg non muslim ya). Yg penting pakaiannya sopan dan tdk ketat. Coz klo

lagi apes,kita bisa aja ketemu dgn polisi yg ngasih teguran ke kita. Yah,jaga2 saja lah.

Well,have fun jalan2nya ya…   Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat

INDOSAT

5. Andika Soemarno Says: 

May 1st, 2012 at 4:54 am

Hi dwi,

Salam kenal.

Terakhir saya ke aceh bersama keluarga, yaitu bulan okt kemarin.

Tidak ada yg perlu dikwatirkan. Orang2 banda aceh ramah. Yang penting pakaian kita

sopan dan baik. Namun ada tempat tempat tertentu mewajibkan peraturan berpakaian

ketat. Hal yang wajar ya.

untuk sabang, Ini agak longgar ya, terutama bila kita turis. Maklum, sabang adalah

kawasan turis. Banyak wanita asing berpakaian bebas, namun sopan, tidak

dipermasalahkan.

Jadi, kiranya kunjungan anda bisa sangat menyenangkan

Page 18: Individu_pakaian Wanita Aceh

Thanks

[Non-text portions of this message have been removed]

6. Made Adhi Gunadi Says: 

May 1st, 2012 at 4:55 am

Salam backpacker,

Ketentuan pakain muslim memang tidak sama di semua wilayah. Untuk Banda Aceh,

sebetulnya sekarang sudah malah lebih longgar dibanding masa-masa 5 tahun lalu.

untuk yang perempuan tidakk harus berkerudung, tapi memang harus tertutup dan

tidak ketak. Kalau saya perhatikan pakai celana jeans sepertinya disamakan dengan

pakaian ketat, jadi perlu diperhatikan juga. Kemudian, ketentuan ini juga berlaku untuk

laki-laki. Tahun lalu waktu saya mengunjungi Banda Aceh Festival, teman-teman saya

yang pakai celana pendek juga sempat ditegur.

Eniwei, jangan keder duluan dengan ketentuan tersebut, karena Aceh memang

memiliki banyak pesona alam dan budaya yang sayang dilewatkan.

Salam, Made Adhi

2012/5/1

[Non-text portions of this message have been removed]

Perempuan Aceh di Era Modern

Rabu, 21 Maret 2012 09:16 WIB

More Sharing ServicesShare|Share on facebookShare on myspaceShare on

googleShare on twitter

Berita Terkait

Meluruskan Makna Metodologi Dakwah

Page 19: Individu_pakaian Wanita Aceh

Berubah, Haruskah Menunggu Momentum?

Puasa Blokade Kezaliman

Merawat Perdamaian Melalui Mimbar Masjid

Politik dan Pengkhianat

Mengenal Gempa Bumi Susulan (Aftershocks)

Oleh Fardelyn Hacky Irawani

MEMBACA artikel “Inong Aceh Jameun Jinoe” yang dimuat di halaman Opini (Serambi,

08/03/2012), membuat saya, sebagai seorang perempuan Aceh, merasa prihatin

dengan beberapa kesimpulan yang disodorkan penulis ke khalayak. Penulis hanya

melihat inong jameun jinoe dari sisi negatifnya saja, tanpa mempertimbangkan sisi

positif yang dimiliki para perempuan Aceh di era globalisasi ini.

Oleh penulis, inong jameun jinoe dimaknai sebagai perempuan yang bukan perempuan

baik-baik. Inong jameun jinoe adalah; yang hanya tergila-gila dengan fashion, yang

hanya menghabiskan berjam-jam waktunya di salon, yang hanya suka kongkow

(ngumpul) di cafe atau warung kopi, yang suka meniru gaya orang lain, dan wanita

karir. Begitu kira-kira yang bisa saya simpulkan antara judul dan isi tulisan.

Membaca tulisan ini, saya teringat sebuah berita yang pernah saya baca di sebuah

media online di Aceh, tentang hasil survei di sebuah sekolah di Banda Aceh, bahwa 60

persen siswinya tidak perawan lagi (silakan unduh beritanya di sini:

http://www.theglobejournal.com/Feature/banyak-siswi-sma-di-aceh-tidak-perawan-lagi/

index.php). Mengapa saya membandingkan opini saudara Arifin S dengan fakta yang

ditulis oleh sebuah media online tersebut? Karena keduanya bisa menimbulkan sebuah

kesimpulan yang salah di masyarakat. 

 Hanya meluruskan

Di sini saya tidak akan membahas tentang hasil survei dalam berita tersebut yang

masih perlu dipertanyakan keakuratanya. Saya hanya perlu meluruskan pendapat

negatif tentang perempuan, khususnya perempuan Aceh, bahwa tidak semua

Page 20: Individu_pakaian Wanita Aceh

perempuan Aceh itu hobinya menghabiskan berjam-jam waktunya untuk duduk-duduk

di warung kopi, rebonding, membuka aurat, atau bekerja pontang-panting lalu tak ingat

pulang. 

Mungkin benar fakta itu ada, tapi jangan sampai fakta yang memiliki nilai seperti nila

setitik ini dijustifikasi secara umum hingga rusaklah susu sebelanga (semua perempuan

Aceh). Padahal tak kurang perempuan yang memiliki nilai positif diri hingga

menghasilkan prestasi yang membanggakan. Nilai positif diri yang saya maksud

adalah, masih banyak perempuan yang tetap ingat batas diri, mana batas yang aman

dilalui dan yang tidak boleh dilanggar dengan berpijak pada aturan agama. 

Masih banyak perempuan Aceh yang menjadi wanita karir yang sukses namun sukses

pula menjadi ibu rumah tangga; istri dan ibu yang baik. Kita juga lupa fakta bahwa, di

bawah gemerlapnya arus globalisasi, masih banyak perempuan Aceh yang berjuang

sendiri menghidupi diri dan keluarga. Yang mengais rejeki di pagi buta hingga paginya

lagi. 

Memang benar, zaman sudah berubah. Pola pikir dan gaya hidup berubah. Begitu juga

dengan tuntutan dan gaya hidup perempuan. Perempuan di era modern dituntut

bergerak cepat dan tanggap terhadap perubahan zaman. Perempuan sekarang lebih

banyak yang bekerja jika dibandingkan jumlah perempuan yang bekerja pada beberapa

dekade silam. 

Hal ini disebabkan karena selain sudah adanya persamaan hak laki-laki dan

perempuan dalam bidang pendidikan, juga mudahnya fasilitas pendidikan tinggi yang

bisa dijangkau bahkan dari luar kota sekalipun. Ditambah dengan adanya pendapat;

keupeu sikula manyang meunyoe hana jeut keu peugawe (untuk apa sekolah tinggi-

tinggi jika tidak menjadi pegawai negeri, pen). Intinya, orangtua memiliki harapan,

setelah mereka menyekolahkan anak perempuannya, mereka mengharapkan si anak

bisa bekerja di bidang tertentu. 

Page 21: Individu_pakaian Wanita Aceh

 Pandangan Islam

Bagaimana Islam menghargai perempuan? Islam menempatkan perempuan dalam

empat peranan, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai istri, sebagai ibu, dan

perempuan dalam peranan sosial. Perempuan sekarang memang sudah dapat bekerja

dan melakukan banyak kegiatan. Tetapi apakah baik jika perempuan bekerja di luar

rumah? 

Dalam hal peranan sosial, tidak ada satu pun ayat Alquran atau hadis yang mengekang

atau menghambat perempuan berkembang dan mengambil peranan aktif di luar rumah,

asalkan tetap dalam koridor yang baik dan tidak mengabaikan tugasnya sebagai ibu

rumah tangga. Lihatlah contohnya ibu kita yang berprofesi sebagai guru. Pulang ke

rumah lewat tengah hari. Setelah pulang dari sekolah, seabrek pekerjaan rumah sudah

menunggu; memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan lain sebagainya. Sebelum

berangkat ke sekolah, pagi-pagi sekali ibu kita sudah menyiapkan sarapan untuk

keluarganya. Jadi beliau tetap dapat bekerja meski harus mengurus keluarga.

Memang benar wilayah domestik adalah wilayah yang didominasi oleh perempuan.

Mengurus keluarga, memastikan rumah bersih, dan berbagai pekerjaan rumah tangga

lainnya. Tapi bukan berarti haram hukumnya laki-laki memasuki wilayah ini. Di era

modern seperti ini,  pekerjaan seperti memasak atau membersihkan rumah bukan lagi

pekerjaan yang tabu dilakukan oleh laki-laki. 

Dalam rumah tangga, laki-laki dan perempuan harus saling tolong menolong. Suami

yang baik, jika memiliki banyak waktu luang berada di rumah, akan menolong istrinya

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Istri pun demikian, tak tertutup kemungkinan

menolong menambah pendapatan anggaran rumah tangga dengan bekerja di instansi

pemerintah, swasta, atau memiliki usaha sendiri. Semua pilihan terbuka lebar, tentu

saja dengan berbagai konsekuensinya. Yang penting dari semua itu adalah tetap ingat

tanggung jawab dan kodratnya sebagai perempuan.

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling bersombong-sombong

Page 22: Individu_pakaian Wanita Aceh

dan membanggakan diri, Allah menciptakan keduanya sebagai pelengkap satu sama

lain. Demikian juga, Islam memberikan tanggung jawab, hak, kewajiban, serta peranan

yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan agar tercipta keseimbangan, bukan

untuk saling menjerat dan mengekang kebebasan.

 Eksis di luar rumah

Perempuan Aceh era modern mulai berpikir untuk eksis di luar rumah seperti kuliah,

bekerja, berorganisasi, berkumpul di sebuah kelompok sesuai minat dan bakat. Bahkan

tak jarang yang berprestasi. Remaja perempuan Aceh zaman sekarang adalah remaja

kreatif yang tak hanya pergi sekolah di pagi hari, pulang lalu menghabiskan sisa hari

sampai esok menjelang paginya lagi. 

Jadi, saya rasa sah-sah saja, jika perempuan nongkrong atau ngumpul bareng di

warung kopi, cafe, dan sejenisnya, asal yang menjadi agenda dan topik pembicaraan

adalah hal-hal positif menyangkut pengembangan dan pemberdayaan diri. Islam tidak

melarang perempuan tampil cantik dengan mengikuti mode yang berlaku saat ini, asal

tidak menyalahi aturan berpakaian yang dianjurkan agama yaitu tidak mengumbar

aurat. 

Perempuan juga tidak dilarang berbaur dan berdiskusi dengan sekelompok laki-laki,

asal tidak berdua-duaan di tempat sepi. Kita tidak bisa menampikkan hadirnya budaya

baru (asing). Yang mesti kita lakukan adalah kita yang harus memengaruhi

(beradaptasi dengan baik) terhadap budaya asing bukannya terpengaruh oleh budaya

tersebut. 

Apa pun zaman dan eranya, yang kita harapkan adalah hadirnya perempuan Aceh

yang senantiasa bisa beradaptasi, menyeimbangkan diri bahkan mengoptimalkan

potensi yang dimilikinya, berprestasi, serta menjaga marwah dan martabat keluarga

dengan akhlak dan perilaku islami.

Page 23: Individu_pakaian Wanita Aceh
Page 24: Individu_pakaian Wanita Aceh
Page 25: Individu_pakaian Wanita Aceh

BANDA ACEH- Bagi Anda seorang wanita yang biasa menggunakan pakaian ketat,

sebaiknya jangan menggunakannya di Aceh. Jika tidak anda akan terjaring razia yang

digelar Polisi Syariah atau Wilayatul Hisbah (WH).

Page 26: Individu_pakaian Wanita Aceh

Dalam razia busana di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh hari ini, petugas

menjaring 118 perempuan berpakaian ketat dan tidak mengenakan jilbab karena dinilai

melanggar qanun (Perda) Syariat Islam.

Razia Polisi Syariah dibantu Satpol PP dengan menghentikan para pengendara sepeda

motor yang melintas, khususnya jika dilihat berpakaian ketat. Petugas langsung

mencatat identitas pengendara jika dinilai berpakaian tidak sesuai Syariat Islam.

“Mereka hanya diberi pembinaan saja tidak ditangkap. Kami hanya mencatat

identitasnya jika diketahui melakukan hal sama lagi akan ditindak,” kata Kepala Seksi

Penyidikan Satpol PP dan WH Aceh, Samsuddin, di sela razia, Kamis (9/5/2011).

Sebanyak 118 perempuan yang terjaring razia tersebut adalah mahasiswi. Menurut

Samsuddin perbuatan mereka melanggar qanun nomor 11/2002 tentang Syariat Islam

bidang akidah, ibadah, dan syiar.

Mereka yang terjaring diberi pembinaan di lokasi razia agar tidak lagi mengenakan

pakaian tetap. “Ini razia rutin untuk menyosialisasikan qanun nomor 11,” ujarnya.

Insiden memalukan sempat mewarnai jalannya razia. Seorang perempuan berpakaian

ketat menolak dicatat namanya oleh petugas. Dia pun mengaku sebagai istri Polisi.

Untuk menciutkan nyali petugas menjaringnya, dia lantas menelpon suaminya. Tak

lama kemudian sang suami datang dengan berpakain bebas, membantu pembebasan

isterinya. Polisi Syariah tak berkutik. Mereka akhirnya melepaskan perempuan tersebut.

“Untuk menghindari ribut,” kilah seorang Polisi Syariah.

Sayangnya nasib yang sama tidak berlaku bagi 118 mahasiswi yang terjaring dan

diceramahin di lokasi razia.(kem).

(http://international.okezone.com/read/2011/06/09/340/466571/berpakaian-ketat-118-

wanita-terjaring-razia)

PETUGAS MEMBAGIKAN ROK-ROK GRATIS KEPADA PARA WANITA YANG

TERKENA RAZIA

Page 27: Individu_pakaian Wanita Aceh

ACEH,Buanasumsel – Hanya dalam waktu dua jam, Satuan Polisi Pamong Paraja dan

Wilayatul Hisbah Kabupaten Aceh Barat menjaring 82 cewek bercelana ketat atau jins.

Mereka selanjutnya diberi rok gratis agar tidak lagi melanggar apa yang disebut sebagai

penerapan syariat Islam. Razia di tengah Kota Meulaboh itu cukup mengejutkan warga

karena biasanya dilakukan di kawasan perbatasan.

Petugas Wilayatul Hisbah dibantu Satpol PP segera mencatat identitas para pelanggar

pakaian syariat, selanjutnya diberikan bimbingan dan arahan agar tidak melanggar lagi.

Razia ini merupakan tindak lanjut dari peraturan Bupati Aceh Barat tentang rok.

Kepala Seksi Penegakan Daerah dan Syariat Islam dari Kantor Satpol PP dan WH

Aceh Barat Fadlian Syahputra mengatakan, razia di dalam kota ini merupakan langkah

antisipasi agar warga tak lagi menggunakan pakaian yang melanggar syariat.

Fadlian menambahkan, razia penegakan syariat Islam dengan membagi-bagi rok

kepada pelanggar akan terus dilancarkan dalam Kota Meulaboh dan akan terus fokus

dalam kota.

Selama ini, pengawasan juga dilakukan terutama pada hari Sabtu dan Minggu, yakni

melakukan pemeriksaan pada kafe-kafe di kawasan obyek wisata, baik itu di Ujong

Kareng maupun di Suak Ribee.(Serambi Indonesia). (http://buanasumsel.com/82-

cewek-bercelana-ketat-kena-terjaring/)

Pelanggar syariat Islam di Banda Aceh Mulai Menurun

BANDA ACEH, Kepala Bidang Kebijakan Daerah dan Syariat Islam Satuan Polisi

Pamong Praja dan Wilayatul Hisban Banda Aceh, Yustamin, mengatakan pelanggar

syariat Islam di Banda Aceh mulai menurun dibandingkan sebelum terbentuknya

lembaga Wilayatul Hisbah atawa Polisi Syariat.

Menurutnya, meski angka pelanggaran menurun tetapi masih banyak juga warga Aceh

yang belum mematuhi qanun-qanun dalam syariat Islam. Hal ini dibuktikan dengan

terjaringnya puluhan warga Banda Aceh saat digelar razia.

Page 28: Individu_pakaian Wanita Aceh

“Insya Allah dengan adanya Satpol PP dan WH ini pelanggar syariat Islam sudah mulai

menurun,” kata Yustamin kepada wartawan usai razia di Simpang Mesra Banda Aceh,

Selasa (22/5).

Ia menambahkan untuk mengurangi angka pelangaran, pihaknya sudah melakukan

pelbagai cara termasuk pembinaan terhadap khatib Jumat. Pembinaan ini dilakukan

setelah Pj Gubernur Tarmizi A. Karim mengeluarkan surat keputusan untuk membina

khatib masjid se-Aceh.

Mengenai penutupan tempat wisata seperti Ulee Lheue dan Lhoknga pada malam hari,

ia menjelaskan bahwa itu merupakan tindakan untuk mengurangi angka pelanggaran

syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini.

“Penutupan itu kami lakukan bekerja sama dengan sejumlah LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat) dan para aparat gampong, ini sudah berjalan hampir satu bulan,” jelasnya.

Yustamin mengungkapkan, upaya yang sudah dilakukan Satpol PP dan WH berjalan

sangat efektif. Mereka juga menjaga pelbagai tempat yang diduga rawan kemaksiatan

setiap malam guna menghindari hal-hal yang melanggar syariat.

(http://www.acehbarat.com/2012/05/pelanggar-syariat-islam-di-banda-aceh-mulai-

menurun/)

ATURAN BARU ACEH : DILARANG MENJUAL PAKAIAN KETAT

Menyusul razia yang berlangsung awal pekan lalu, yang mendapati sejumlah lelaki dan

perempuan berpakaian ketat, Provinsi Aceh akan mengeluarkan aturan pelarangan

penjualan pakaian semacam itu. Kepala Penegakan Hukum Islam di Aceh , Samsudin

menyatakan surat edaran perihal pelarangan ini segera disampaikan pada pemilik toko.

Dalam razia yang digelar tersebut, terjaring lebih dari 50 perempuan dan 3 laki laki

tertangkap tangan mengenakan pakaian ketat dan celana pendek.

Secara rutin Polisi syariah di Aceh melakukan razia. Dan dua bulan terakhir saja sudah

terjaring 300 pelanggar peraturan. Pada saat razia berlangsung pekan lalu ada

peristiwa unik. Salah seorang warga, Munawar mengaku bercelana pendek bukan tidak

Page 29: Individu_pakaian Wanita Aceh

paham aturan, namun saat tertangkap polisi syariah ia sedang memasang batu, karena

ia pekerja bangunan.“Saya ke luar karena ingin membeli cat.” kata Munawar.

(KF-Mrg/12/Deutsche Welle) | Follow KF di Twitter: @koranfesbuk.

(https://www.facebook.com/121994582490/posts/10151005853752491)

Diposting oleh Abu Fahd Negara Tauhid

Referensi:

- http://international.okezone.com/

- http://buanasumsel.com

- http://www.acehbarat.com

- @koranfesbuk

- http://gizanherbal.wordpress.com/

- dll

Baju kurung

Baju kurung adalah salah satu pakaian adat masyarakat Melayu di Brunei

Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailandbagian selatan. Baju kurung

sering diasosiasi dengan kaum perempuan. Ciri khas baju kurung adalah rancangan

yang longgar pada lubang lengan, perut, dan dada. Pada saat dikenakan, bagian paling

bawah baju kurung sejajar dengan pangkal paha, tetapi untuk kasus yang jarang ada

pula yang memanjang hingga sejajar dengan lutut. Baju kurung tidak dipasangi kancing,

melainkan hampir serupa dengan t-shirt. Baju kurung tidak pula berkerah, tiap ujungnya

direnda. Beberapa bagiannya sering dihiasi sulaman berwarna keemasan.

Mulanya, baju kurung biasa dipakai untuk upacara kebesaran melayu oleh kaum

perempuan di dalam kerajaan, dipakai bersama-sama kain songket untuk

dijadikan sarungnya, aneka perhiasan emas, dan tas kecil atau kipas. Karena sebagian

besar masyarakat melayu memeluk Islam, banyak perempuan pengguna baju kurung

yang menyerasikannya dengan jilbab, meskipun demikian terdapat juga yang tidak

menggunakannya. Kini baju kurung banyak dipakai oleh masyarakat biasa, digunakan

Page 30: Individu_pakaian Wanita Aceh

anak-anak untuk mengaji, atau ibu-ibu untuk ke pasar, tanpa disertakan pernak-pernik

yang terkesan mewah.

Beberapa Pertanyaan Awal

Bagi sebagian orang dari luar Aceh, ungkapan "formalisasi syariat (atau lebih sering

ditulis syariah) Islam" untuk merujuk pada pemberlakuan syariat Islam sebagai

landasan pengaturan tertib sosial dalam bentuk regulasi pemerintah daerah di provinsi

Aceh (belakangan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, NAD), mungkin

merupakan nasib sosiologis masyarakat Aceh yang tidak terlalu perlu dipersoalkan.

Sebutan "Serambi Mekah" yang pada dasarnya sedikit, kalau bukan tidak ada sama

sekali, hubunganya dengan kondisi kehidupan dan ketaatan masyarakat Aceh pada

ajaran Islam, misalnya, oleh orang non-Aceh seringkali dilihat sebagai indikasi tentang

senyawa antara Aceh dan Islam. Julukan yang semula hanya merujuk pada gagasan

tentang jarak spasial  dalam rute jamaah haji Indonesia menuju tanah suci di Mekah

Saudi Arabia, kemudian berubah menjadi ekpresi atau bahkan testimoni sosial tentang

kehidupan religius masyarakat Aceh dalam naungan nila-nilai dan ajaran Islam: Aceh

adalah Islam (meskipun mungkin tidak berlaku sebaliknya). Dipahami dalam konteks

seperti itu, klaim kota Manokwari di Papua Barat sebagai "Serambi Yerusalem" atau

"kota Injil", semacam usaha untuk meraih status distingtif dalam versi Nasrani, yang

merujuk pada Aceh sebagai preseden historisnya, misalnya, memperlihatkan

berlangsungnya (kekeliruan) konotasi konseptual yang terlanjur terbentuk di tengah

masyarakat non-Aceh tentang senyawa tadi.

 

Aceh memang sering diidentikkan dengan sebuah wilayah tempat Islam bukan hanya

menjadi agama mayoritas penduduknya, melainkan juga dianggap sebagai sebuah

karakteristik yang membedakannya dengan wilayah lain. Islam sebagai sebuah jalan

hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam pengertian yang paling

mungkin dalam masyarkat Indonesia kontemporer, bolehjadi memang sudah lama

berlaku di Aceh. Ungkapan lokal (hadih Madja)"Adat ngön syariat lagee dzat ngön

sifeut" (adat dan syariat seperti zat dan sifatnya) dengan cukup terang memperlihatkan

Page 31: Individu_pakaian Wanita Aceh

bagaimana orang Aceh memandang syariat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari:

bahwa syariat (ajaran Islam) dan adat (yang bisa berarti kebudayaan dalam arti luas

tapi juga bisa berarti pola-pola kebiasaan hidup sehari-hari) merupakan kesatuan yang

tidak terpisahkan.

 

Paling tidak sejak tahun 1959 Aceh diberi klaim tentang sebuah status istimewa, dalam

arti memiliki status yang distingtif dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di

Indonesia terutama karena asumsi tentang atau identifikasi Aceh dengan Islam.

Dengan demikian relasi negara Indonesia modern dan Aceh sebagai bagian dari

wilayah kedaulatannya memang menggunakan, untuk meminjam konsep Wittgenstein,

permainan bahasa (language game) yang berbeda dibandingkan dengan wilayah-

wilayah administratif lainnya dalam republik Indonesia.[1] Kesediaan orang Aceh,

khususnya para ulama yang berpengaruh saat itu, untuk berintegrasi dengan Indonesia

sebagiannya karena mayoritas penduduk daerah lain di Indonesia beragama Islam,

sehingga Indonesia dianggap memiliki identitas yang sama dengan orang

Aceh. Integrasi juga ditentukan oleh kepercayaan bahwa negara Indonesia merdeka

akan memperbolehkan orang Aceh secara resmi menegakkan hukum Islam di

wilayahnya (Salim, 2004). Aceh mendukung kemerdekaan Indonesia tahun 1945,

bahkan mengirimkan pasukan untuk melawan belanda di Sumatra Utara, karena

mengira bahwa hal tersebut akan membawa pada kemerdekaan atau otonomi lokal

dalam wadah struktur negara federal (Kingsbury, 2007).

 

Page 32: Individu_pakaian Wanita Aceh

Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh

Foto: Hikmat Budiman

Sebagai seorang pemula dalam kajian tentang Aceh, saya memulai perjalanan singkat

saya di Aceh dengan beberapa pertanyaan awal yang sangat sederhana, yang

bolehjadi memang mencerminkan keterbatasan pemahaman saya tentang Aceh.

Sayangnya, sampai fieldworksingkat saya berakhir tidak semua bisa ditemukan

jawabannya secara memuaskan. Pertanyaan pertama saya adalah, karena jauh

sebelum terjadi formalisasi syariat Islam Aceh sudah secara luas identik dengan Islam,

kebutuhan dan kondisi apa yang mendorong munculnya kebijakan untuk

memberlakukan formalisasi tersebut saat ini? Sebelumnya memang pernah ada upaya

formalisasi yang hampir sama di Aceh tapi dihambat oleh kekuasaan Orde Baru di

Jakarta, sehingga dengan demikian bisa diduga bahwa apa yang terjadi belakangan ini

sedikit banyak mencerminkan terjadinya perubahan pada pola kekuasan yang ada di

Jakarta. Kalau sebuah masyarakat terikat demikian kuat pada konsepsi-konsepsi

religius tertentu dalam praktek hidupnya sehari-hari, kemungkinan-kemungkinan apa

yang bisa dilihat ketika negara justru berusaha keras memformalkan sesuatu yang

bersifat kultural tersebut menjadi produk-produk struktural? Jawaban sementara yang

saya dapatkan selama berada di kota Banda Aceh, sebagian warga kota ternyata

menyikapi upaya struktural tersebut dengan sebuah sikap kultural yang secara padat

Page 33: Individu_pakaian Wanita Aceh

terangkum dalam ungkapan "gak open". Dalam vernakular bahasa Indonesia,

ungkapan "gak open" ini lebih kurang berarti "tidak peduli".

Kalau masyarakat cenderung bersikap tidak peduli atau "tidak mau tahu" terhadap

formalisasi syariat Islam, kemungkinan besar ada kebutuhan lain yang menurut mereka

lebih penting dan lebih mendasar daripada sekedar membakukan apa yang sudah

biasa mereka praktekan sehari-hari (syariat Islam) menjadi aturan-aturan hukum formal.

Kalau apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang dilakukan negara tidak sejalan,

sehingga muncul kesan seolah-olah berlangsung "duo-monolog" dalam komunikasi

politik antara rakyat dan negara, problem apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini

merupakan duplikasi dari problema yang sama yang berlangsung pada level yang lebih

luas di tingkat nasional, ataukah ini merupakan gejala yang tipikal Aceh semata?

 

Plang penanda Kawasan Wajib Berbusana Muslim

Foto: Hikmat Budiman

Ketiga, dari mana sebenarnya inisiatif formalisasi itu berasal? Jawaban termudah

adalah dari negara.[3] Tapi negara tidak bisa dibayangkan sebagai sebuah kesatuan

yang monolit, serba sama di seluruh tingkatan. Pertanyaan tersebut, dengan demikian,

bisa dipertajam menjadi apakah inisiatif tersebut berasal dari elit-elit negara lokal di

Aceh ataukah ia merupakan tawaran dari pusat kekuasaan di Jakarta. Jawaban

tercepat dan paling akurat atas pertanyaan tersebut tentu saja adalah bahwa inisiatif itu

Page 34: Individu_pakaian Wanita Aceh

memang berasal dari Jakarta. Tapi jika demikian adanya, persoalannya kemudian

adalah mengapa Jakarta memiliki inisiatif memberi Aceh ruang untuk melakukan

formalisasi agama ke dalam tata aturan pemerintahan daerahnya. Berbeda dengan

kasus-kasus yang terjadi di wilayah lainnya di Indonesia, formalisasi syariat Islam di

Aceh saat ini pada mulanya bukan hasil dari formulasi kepentingan daerah tapi lebih

menampakkan kepentingan besar kekuasaan di Jakarta atas Aceh. Tentu bukan tanpa

alasan Jakarta menawarkan opsi pemberlakuan syariat Islam di Aceh tapi tidak di

daerah lain. Yang menjadi persoalan adalah di mana kepentingan Jakarta dan

kepentingan Aceh itu bertemu?

 

Keempat, Aceh abad 21 adalah Aceh yang berbeda dari sebelumnya. Selain telah

lepas dari periode yang menempatkannya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) di

zaman Orde Baru, Aceh juga baru saja diguncang oleh prahara alam  tsunami tahun

2004 yang lalu. Di samping itu, nasib Aceh (baru) kemudian banyak ditentukan oleh

hasil nota kesepakatan (Memorandum of Understanding, MoU) Helsinki tahun 2005.

Formalisasi syariat Islam diberlakukan sekitar dua tahun sebelum tsunami dan MoU

Helsinki. Meskipun pada awalnya MoU Helsinki disambut dengan kontraversi opini di

tingkat nasional, satu hal yang tidak bisa dimungkiri adalah kenyataan bahwa sekarang

Aceh mulai memasuki sebuah fase sejarah baru. Beberapa warga yang sempat saya

ajak berbincang-bincang memberi tekanan pada faktor "rasa aman" sebagai pembeda

utama antara periode saat ini dengan masa-masa sebelumnya.

Sejauh menyangkut karya-karya akademik ilmuwan Indonesia, studi paling

komprehensif tentang formalisasi syariat Islam di Aceh sejauh ini adalah karya yang

justru ditulis oleh pendukung utamanya sendiri, yakni Prof. Dr. Al Yasa' Abubakar, yang

sampai awal Maret 2008 menjabat sebagai Kepala Dinas Syariat provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Beberapa karyanya, terutama yang berjudul Syariat Islam di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, tidak bisa dilewatkan

oleh siapa pun yang ingin mengkaji problematik pemberlakuan SI di Aceh bahkan di

Indonesia umumnya secara serius. Di dalamnya Al Yasa secara terang benderang

menyoroti seluruh dimensi persoalan formalisasi SI di Nanggroe Aceh Darussalam,

Page 35: Individu_pakaian Wanita Aceh

dimulai dari penjelasan tentang beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan

syariat Islam, latar belakang sosial, budaya dan politik formalisasi SI, dasar-dasar

hukum pemberlakuannya, program yang sudah dilaksanakan, hambatan pelaksanaan

program, bahkan sampai beberapa kekeliruan dalam cara masyarakat awam

memahami syariat Islam. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa karya Al Yasa' ini

merupakan magnum opus tentang SI di Aceh yang sulit ditandingi oleh karya-karya

sejenis di daerah lain. Kelengkapan karya ini juga menjadikan kritik-kritik terhadap

formalisasi syariat Islam jadi tidak lagi terlalu berwibawa secara intelektual, terutama

karena kebanyakan kritik tersebut hanya berupa artikel-artikel pendek di media massa.

Tentang pelaksanaan SI di Aceh ia menulis (Abubakar, 2005, h. 20-21):

 

Masyarakat Aceh menginginkan pelaksanaan SI dalam arti yang seluas-

luasnya, sehingga selain tiga aspek ajaran di atas, akan ditambahkan

aspek-aspek yang meliputi pendidikan, kebudayaan (kesenian), tatanan

ekonomi dan keuangan, pelayanan kesehatan, dan penggunaan obat-

obatan (tidak mengandung zat yang diharamkan), kegiatan olahraga,

serta berbagai aspek lainnya. Begitu juga masyarakat Aceh

menginginkan SI yang akan dilaksanakan adalah SI yang dapat

menjawab permasalahan yang ada sekarang dan sesuai dengan

kebutuhan masa kini. Jadi bukan SI seperti yang dipahami oleh ulama

masa lalu, yang cocok untuk masa mereka dan tidak cocok lagi untuk

kebutuhan kita sekarang. Masyarakat Aceh tidak ingin dan tidak akan

berusaha menarik jarum jam kehidupan masyarakat mundur ke

belakang.[6]

 

 

Page 36: Individu_pakaian Wanita Aceh

Pasar Aceh dekat Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Foto: Hikmat Budiman

Dari kutipan di atas, ada beberapa konsep yang bisa didiskusikan. Pertama,

pemberlakuan syariat Islam di Aceh, yang kemudian diatur oleh beberapa produk

formalisasi SI, itu ditarik sampai titik terjauh kemungkinan implementasinya dalam

sebanyak-banyaknya bidang kehidupan masyarakat sehari-hari. Kedua, kenginan untuk

melakukan revitalisasi ajaran lama untuk kebutuhan pengaturan sosial kontemporer,

dan; Ketiga, sebagai konsekwensinya ada kebutuhan untuk melakukan

rekontekstualisasi syariat Islam dengan kondisi masyarakat saat ini yang sudah jauh

berbeda. Perluasan cakupan konsep syariat akan membawa kita pada diskusi tentang

apa yang belakangan di Aceh disebut "pelaksanaan syariat secara kaffah".

 

Dalam upaya revitalisasi ajaran lama untuk mengatur kehidupan kontemporer

masyarakat Aceh tersebut, paling tidak ada dua hal yang saling terkait: pertama,

asumsi bahwa Aceh pernah mengalami sebuah periode historis ketika syariat Islam

digunakan sebagai acuan sistem hukum dalam masyarakat yang dibayangkan jauh

lebih baik daripada yang terjadi saat ini; kedua, asumsi bahwa segala hal negatif yang

terjadi saat ini bisa dicarikan solusinya melalui penerapan ajaran lama tadi.  Di lain

pihak,  kebutuhan untuk melakukan rekontekstualisasi sebuah ajaran pada dasarnya

adalah sebuah pengakuan bahwa kalau diperlukan maka ajaran tersebut harus

Page 37: Individu_pakaian Wanita Aceh

diperbaharui. Rekontekstualiasi berarti mengukur relevansi sosial konsepsi-konsepsi

dengan sebuah konteks objektif. Konsekwensinya, kalau keduanya tidak berkesesuaian

maka yang harus diubah adalah konsepsinya bukan konteksnya. Tapi bukankah

formalisasi syariat justru bertujuan untuk mengubah kehidupan masyarkat agar sesuai

dengan ajaran Islam? Artinya, formalisasi bertujuan mengubah konteks ke mana ia

akan disesuaikan.

 

Salah satu karya mutakhir yang cukup baik mendeskripsikan formalisasi SI mulai dari

proses pembuatan Peraturan Daerah (Perda), implementasinya sampai pengawasan

pelaksanaannya dirangkum dalam sebuah manuskrip yang, sayangnya, sampai saat ini

belum diterbitkan. Manuskrip tersebut didasarkan pada hasil penelitian di 7 (tujuh)

kabupaten/kota di tiga provinsi yakni di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan

Kalimantan Selatan.[7] Kelebihannya terletak pada kesanggupannya untuk bukan

hanya menginventarisasi beberapa persoalan pelik sebagai ekses pemberlakuan

integrasi agama dan aturan negara, melainkan juga menempatkan fenomen formalisasi

SI dalam konteks proses demokratisasi di tingkat lokal (daerah tingkat II).  Studi-studi

yang dilakukan di ketujuh wilayah tadi memperlihatkan bahwa upaya formalisasi SI

lebih memperlihatkan peta kontestasi kepemimpinan daerah di antara sesama elit lokal

daripada kesungguhan untuk menjalankan ajaran agama secara benar dalam praktek

hidup masyarakat. Pragmatisme politik elit lokal untuk meraih supremasi dalam

pemilihan kepada daerah (Pilkada), dengan kalimat lain, telah mendorong mereka

memobilisasi dukungan melalui upaya-upaya pengerahan dan manipulasi sentimen-

sentimen keagamaan.

 

Deskripsi Singkat tentang Syariat Islam di Aceh

Dua peristiwa penting yang terjadi di Aceh yang krusial sifatnya pada politik nasional

adalah pemberlakuan otonomi khusus melalui UU No. 18/2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, dan peristiwa prahara tsunami tahun 2004. Kebijakan otonomi daerah

yang secara nasional berlaku pada tingkat kabupaten/kota, di Aceh, dan kemudian

Papua, justru diberlakukan pada tingkat provinsi. Padahal, salah satu alasan mengapa

Page 38: Individu_pakaian Wanita Aceh

otonomi daerah diberlakukan pada level daerah tingkat II adalah untuk menghindari

potensi separatisme kalau hal itu diberlakukan pada satuan teritorial yang lebih luas

setingkat provinsi. Tapi bukankah Aceh dan Papua justru merupakan dua wilayah yang

paling rawan memisahkan diri dari kesatuan wilayah Indonesia? Bagaimana otonomi

daerah diberikan untuk mencegah disintegrasi  tapi di sisi lain justru dilihat sebagai

pembawa potensi disintegrasi nasional, bolehjadi memperlihatkan kondisi dilematis

yang dialami Indonesia ketika memasuki periode transisi dari era otoritarianisme.

Pemberian otonomi khusus bagi Aceh mengukuhkan klaim tentang keistimewaan

daerah ini dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia. Empat keistimewaan Aceh

adalah keistimewaan dalam kehidupan beragama, adat, pemerintahan, dan (peran)

ulama.

 

Salah satu pusat perbelanjaan modern di kota Banda Aceh.

Foto: Hikmat Budiman

Salah satu produk kebijakan dalam kerangka otonomi khusus Aceh adalah formalisasi

SI. Secara sederhana, formalisasi SI adalah proses integrasi beberapa ajaran yang

terkandung dalam fiqih Islam ke dalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah daerah.

Tujuan utamanya adalah untuk mengatur kehidupan warga provinsi NAD agar sesuai

dengan kaidah-kaidah atau ajaran Islam. Membentuk masyarakat Islami

dimanifestasikan dalam bentuk upaya memberlakukan kontrol atas tertib sosial dengan

Page 39: Individu_pakaian Wanita Aceh

mengacu pada hukum-hukum Islam (syariat). Legitimasi atas kontrol sosial tersebut

dikukuhkan dengan penerbitan beberapa peraturan daerah (Perda) yang di Aceh

Darussalam disebut Qanun[8], yang maknanya lebih kurang sepadan dengan

istilah Canon dalam bahasa Inggris. Qanun yang secara khusus mengatur pelaksanaan

syariat Islam biasa disebut Qanun syariat.

 

Syariat dan Islam dalam frase "syariat Islam" sudah diterima sebagai dua hal yang

identik satu dengan lainnya. Bukan saja karena penggunaan kata syariat secara

spesifik memang hanya dipakai dalam konteks pembicaraan tentang ajaran Islam (tidak

ada diskusi tentang syariat Kristen atau Hindu, misalnya), melainkan juga karena

sebagian orang cenderung menganggap keduanya identik satu dengan lainnya. Al

Yasa' Abubakar, kepala Dinas Syariat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2001-

Maret 2008) mengartikan syariat sebagai:

 

Penutup

Sejauh menyangkut perkembangan pelaksanaan implemantasi SI di Aceh, ada

beberapa hal yang cukup menarik diperhatikan. Pertama, secara substantif cukup sulit

mencari kalangan yang secara terbuka menentang gagasan formalisasi SI di Aceh.

Kalau selama ini perempuan niscaya dianggap sebagai korban pertama dari

pemberlakuan syariat Islam di mana pun, tapi itu tidak lantas menjadikan gerakan

perempuan di Aceh menolak formalisasi SI. Salah seorang aktivis gerakan perempuan

Aceh menegaskan bahwa sejak awal gerakan perempuan di Aceh tidak

mempersoalkan penerapan syariat Islam, tapi berusaha sangat kritis terhadap

beberapa ekses negatif yang ditimbulkan dalam implementasinya.[27] Cukup sulit

menghindari kesan bahwa formalisasi SI sebagai sebuah gagasan sudah hampir

dianggap selesai.

 

Kedua, sejauh menyangkut sikap-sikap kritis masyarakat terhadap implementasi

formalisasi SI, ada dua level implementasi yang saling terkait satu dengan lainnya:

Page 40: Individu_pakaian Wanita Aceh

bagaimana gagasan formalisasi SI diimplementasikan dalam bentuk kebijakan

pemerintah daerah, dan bagaimana pula kebijakan tersebut diimpementasikan di

lapangan. Pada level pertama kritik ditujukan kepada produk-produk kebijakan (Perda

atau Qanun) yang sudah dan akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sikap kritis

masyarakat dalam konteks ini bisa dilihat dari seringnya muncul pertanyaan tentang

mengapa pemerintah daerah dan DPRD hanya sibuk membuat aturan tentang hal-hal

kecil seperti perjudian atau khalwat, tapi tidak pernah membuat aturan tentang masalah

yang jauh lebih penting dan menyangkut kepentingan rakyat yang lebih besar seperti

tentang tindakan korupsi oleh para pejabat pemerintah. Pada level kedua, kritik

ditujukan kepada bentuk-bentuk praktek inkonsistensi, diskriminasi, penyalahgunaan

wewenang, sampai akibat-akibat negatif penerapan SI bagi warga yang menjadi objek

pemberlakuannya.

 

Ketiga, jika dilihat dari produk-produk legal yang telah diterbitkan sejak

pemberlakuannya lima tahun yang lalu, formalisasi syariat Islam di Aceh relatif bisa

dikatakan hanya berjalan di tempat. Setelah hampir tujuh tahun, misalnya, relatif tidak

banyak peraturan daerah (Qanun) yang diterbitkan yang langsung berkaitan dengan

pelaksanaan formalisasi SI. Dinas Syariat Islam NAD juga tampak relatif lebih hati-hati

dalam mempersiapkan rancangan Qanun yang diperkirakan bisa menimbulkan

kontraversi. Rancangan Qanun tentang pencurian, misalnya, sampai saat ini tidak

diteruskan pembahasannya dan "diendapkan" sampai waktu yang tidak ditetapkan

setelah ia mendapat banyak reaksi negatif ketika gagasan tentangnya diperkenalkan

kepada masyarakat.[29]

 

Keempat, kondisi sehari-hari masyarakat Aceh ternyata tidaklah seperti dalam

beberapa pemberitaan yang biasa dibaca di luar Aceh. Sebagian terbesar populasi

perempuan di Banda Aceh memang mengenakan jilbab, tapi di hampir semua tempat

umum sudah mulai banyak perempuan yang tidak mengenakannya. Wilayatul

Hisbah (WH), atau yang juga dikenal dengan sebutan "Polisi syariat" juga sudah

semakin jarang melakukan razia terhadap warga, terutama sejak terjadi kasus

tertangkapnya sepasang anggota polisi syariat yang sedang melakukan tindakan

Page 41: Individu_pakaian Wanita Aceh

asusila tahun 2007 yang lalu.[30] Kejadian ini juga memicu friksi antara WH tingkat

provinsi Aceh dengan WH tingkat kota Banda Aceh.[31]

 

Apa yang terjadi di Aceh, paling tidak di kota Banda Aceh, bolehjadi memperlihatkan

adanya jarak antara prakonsepsi yang sudah tertanam di kepala sebagian orang dari

luar Aceh dengan realitas yang ada di Aceh. Realitas sosial terus berubah, tapi

prakonsepsi tentangnya cenderung sering bertahan dan membekas lebih lama. Sejak

tujuh tahun lalu bayangan orang luar tentang Aceh dibentuk oleh sistem pekabaran dan

paparan diskursif tentang pelaksanaan formalisasi syariat Islam di wilayah ini. Setelah

tsunami tahun 2004 yang lalu, konstruksi yang berlangsung bukan hanya upaya

memulihkan kondisi fisik Aceh yang hancur akibat prahara alam, tapi juga dalam bentuk

bermacam-macam wacana yang ditulis tentang Aceh oleh sembarang jenis orang dari

berbagai jurusan keahlian dan kiblat kepentingan. Aceh yang hadir kepada sebagian

besar orang Indonesia dan dunia adalah Aceh hasil representasi yang berlapis-lapis,

saling merujuk satu sama lain, mulai dari surat kabar, berita TV tentang pelaksanaan

hukum cambuk, sampai rempah ruah cerita dalam blogosphere di internet.[32]

 

Hasilnya adalah sebuah konstruksi tentang Aceh yang mencekam, yang bukan hanya

masih terancam oleh kemungkinan bencana sosial seperti kelangkaan lapangan kerja

setelah periode rekonstruksi fisik selesai, atau problem dislokasi spasial para ex-

combatant GAM dalam struktur sosial masyarakat Aceh, tapi juga oleh ancaman razia

oleh polisi syariat yang bisa terjadi kapan saja. Meskpun sebagian warga menduga

bahwa razia-razia tersebut akan kembali banyak dilakukan pada bulan April 2008, tapi

secara keseluruhan kondisi Aceh di bawah rezim syariat Islam, paling tidak selama

kerja lapangan untuk studi ini dilakukan, tidaklah semencekam seperti apa yang selama

ini diberitakan.

 

Melihat Indonesia dari Aceh akan memberi kita sebuah gambaran yang menarik

tentang negara Indonesia setelah era Suharto. Berbeda dengan beberapa anggapan

tentang melemahnya negara vis a vis rakyat setelah rezim otorianisme Orde Baru

runtuh, pemberlakuan formalisasi SI di Aceh justru memperlihatkan bahwa Negara

Page 42: Individu_pakaian Wanita Aceh

masih sangat powerful dalam menentukan nasib rakyatnya. Sebagai sebuah cara untuk

meredam konflik atau sebagai sebuah ruang tempat para elit ulama meraih kembali

peran dan status tradisionalnya dalam masyarakat Aceh yang sedang berubah, negara

pusat berperan sangat menentukan. Melalui inisiatif formalisasi SI, pemerintah pusat

telah menciptakan sebuah kondisi sosial politik yang membuat elit dan masyarakat

Aceh terokupasi oleh apa yang secara historis diklaim sebagai identitas milik Aceh

hampir secara eksklusif: Islam. Dalam ungkapan lain, kesibukan elit dan masyarakat

Aceh dengan formalisasi SI tidak lain adalah proses deradikalisasi politik justru dengan

membawa peran dan status ulama kembali ke pusat wacana dan praktek politik lokal di

Aceh.

 

Simalakama politiknya sekarang berada di Aceh sendiri: Kalau formalisasi SI berhasil

dilaksanakan, Aceh beresiko dipandang sebagai sebuah wilayah ekslusif Islam dalam

khasanah Indonesia yang pluralistik. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia baru,

kesulitan pertama pemerintah daerah Aceh kemudian adalah memberikan argumen

yang meyakinkan bahwa formalisasi syariat Islam di Aceh memang berhasil dan pantas

diteruskan bahkan mungkin diduplikasi di tempat lain, dan setelah itu menjelaskan

keberhasilan itu dalam konteks tegangan antara penekanan pada diversitas dan

komitmen pada kebangsaan yang telah disepakati. Dengan tinjauan tentang

problematik politik pengakuan (the politics of recognition) yang sudah diuraikan

sebelumnya di atas, status istimewa juga bisa dilihat sebagai sebuah perlakuan bagi

kelompok sosial yang dianggap minoritas dalam konteks ranah warga sebuah bangsa

yang lebih besar, seolah-olah tanpa keistimewaan itu kelompok tersebut tidak akan bisa

berpartisipasi dalam ranah-ranah publik dalam sebuah negara. Sebaliknya, kalau

formalisasi SI tidak berhasil dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan tidak membawa

perbaikan pada kehidupan masyarakat Aceh, pemerintah pusat bisa mengalamatkan

seluruh kesalahannya kepada pemerintah dan warga Aceh sendiri. Sayangnya, dalam

praktek politik, di Indonesia sejauh ini paing tidak, jauh lebih mudah menetapkan batas

kategori kegagalan sebuah proyek kekuasaan daripada mengapresiasi

keberhasilannya.

 

Page 43: Individu_pakaian Wanita Aceh

Apakah dengan demikian biasa dikatakan bahwa sejak zaman Snouck Hurgronje

sampai saat ini Aceh adalah sebuah wilayah yang tidak pernah bisa ditundukkan

dengan kekuatan senjata tapi mudah dikendalikan dengan pendekatan keagamaan?

Apakah pemerintah pusat di Jakarta memang mengadopsi siasat Hurgronje dengan

memberi ilusi tentang identitas Aceh[33] sebagai wilayah tempat Islam dipraktekkan

secara kaffah dalam hidup masyarakat dan pemerintahannya sehari-hari, dan dengan

itu bukan hanya perlawanan politik dan senjata bisa dihentikan tapi malah menjadikan

Aceh, dalam pengertian sebagian dari elitnya, makin bergantung kepada Jakarta?

[34] Dalam kalimat lain, bisakah kita secara cukup aman mengatakan bahwa dalam

kasus Aceh, "biarkan orang Aceh sibuk dengan urusan syariat Islam, dan Indonesia

bisa terus berjalan tanpa gangguan ancaman separatisme dari elit-elit setempat"?

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi sebuah rekomendasi bagi kajian lebih lanjut

tentang Aceh dan Indonesia baru.

 

Bibliografi

 

 

Abubakar, Al Yasa', Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Paradigma,

Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam, 2005).

 

Akhmad, Chairul,  "Syariat Islam setelah Irwandi Menang", dalam Rakyat Aceh Online,

tgl. 22 Januari 2007 <http://rakyataceh.com/ index.php?

open=view&newsid=1370&tit=Berita%20Utama%20-%20Syariat

%20Islam%20Setelah%20Irwandi% 20Menang >

 

Alisjahbana, Sutan Takdir,  "Menuju Masyarakat Baru dan Kebudayaan Baru',

Indonesia-Prae-Indonesia" dalam Polemik Kebudayaan: pokok pikiran

St. Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo,

Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, Ki Hajar Dewantara,disunting

oleh Achdiat K. Mihardja (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977)

Page 44: Individu_pakaian Wanita Aceh

 

Arif, Ahmad, dan Sidik Pramono, "Syariah Ketat di Serambi yang Terbuka",

dalam Kompas, 14 Agustus 2006.

 

Chalil, Zaki Fuad, Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi (Banda Aceh: Dinas

Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007).

 

Danial, Mahdi, dan Usamah, Pelaksanaan Syariat Islam dan Kekerasan Di Nanggroe

Aceh Darussalam, Laporan Penelitian The Aceh Institute (Banda Aceh:

The Aceh Institute, 2007).

Dominggus A. Mampioper, "Injil di Kepala Burung" in Voice of Human Rights (VHR)

News , 26 June 2007 <http://www.vhrmedia.com/vhr-news/bingkai-

detail.php?.g=news&.s=bingkai&.e=28 > (accessed 30 December

2007).

 

Formalisasi Agama. Tantangan Demokrasi Lokal. Temuan Penelitian di Tujuh

Kabupaten/Kota di Indonesia (Jakarta: LAPAR-YPKM-LK3, akan terbit).

 

Gutman, Amy, Identity in Democracy (Princeton and Oxford: Princeton University Press,

2003).

 

Ismail, Azman dkk., Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Dinas

Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007).

 

Kamil, Sukron, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap

Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Ciputat:

Center for the Study of Religion and Culture).

DAFTAR PUSTAKA

http://jonnianwar.blogspot.com/2009/11/celana-panjang-wanita-aceh.html

Page 45: Individu_pakaian Wanita Aceh

Diakses tanggal 13 Oktober 2012 pukul 12.30

http://aceh.tribunnews.com/2012/03/21/perempuan-aceh-di-era-modern