in1 - beranda | saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan...

114

Upload: doanphuc

Post on 02-May-2018

232 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 2: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 3: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

PARA PENWMBANG NOMOR IN1

Nandang Gawe: perupa, tinggal di Bandung. Kini

aktif di Komunitas Berkesenian Gerbong Bawah

'Tanah.

Nirwan Dewanto: penyair dan esais, ketua redaksi

Kalam. Saat ini sedang berada di Amerika untuk

keperluan, d i antaranya, mempersiapkan riset

Eddie Hara: pernah kuliah di STSRl/ASRl Yogya- karra. Banyak melakukan pameran tunggal mau-

pun k r sama di dalam dan Iuar negeri.

H.U. Mardi Luhung: penyair dan guru. Tinggal di

Gresik, Jawa Timur. Pernah kuliah di Sastra Indone-

sia Universiras NegrrlJembcr.

Iwan R Ltael: perupa ringgal di Bandung.

Ignas Kleden: penellti dan penulis sosial-budaya, k r ~ t ~ k u s satra yang menjadi salall saru juri say em^

bara penulisan roman 1978. Menyelesaikan dok- tornyadi Universitas Bielefeld,Jerman, tahun 1995.

tentang Sastra Indonesia Murakhir di University of

Wisconsin Amerika.

RudiSt Darma: perupa, tinggal di Bandung.

Sandta Cisneros penyair, penulis, juga guru SMU

bagi anak-anak purus sekolah, dan administrator

seni. Di anrara karyanya Bad Boys(puisi, 17801, T k

House o n Mango Street (fiksi, 1983) yang meme-

nangkan 'Before Columbus Foundationis Book

Award'iKaryanya yang lainadalah WomenHoller-

ing Creek a n d Other Stories (19911, yang memuat

cerpen Eyes of Z a p l a

S Prinks pegrafis lulusan Seni Rupa lnsritut Tek-

nologi Bandung. Pernah aktif di Gerakan Seni Rupa

Baru. Kini mengajar di lnstirut KesenianJakarta.

Manneke Budiman: pengayr di Fakultas Sastra Uni- Taty Haryati: mahasiswi Sastra Jerman Universiras 4 verdtas Indonesia Padjabran, Bandung. .'!$

Melani Budianm penelitj sastra dan pengaiar di P u Will Derks mengajar Bahasa & Sastra Indonesia di sat Kajian W'ilayah Amerika Universitas Indonesia. Rijks Universiteit Leiden.

1

kalam- edls~ i1.1998 1

Page 4: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

S E K A D A R P E N G A N T A R

MUS YKILN YA REPRESENTASI

lmarhum Roland Barthes suatu kali pernah mengecam realisme seni

. sebagai "ideologi", yang menipu diri sendiri sebelum akhirnya menipu orang banyak. Sebenarnya lebih dari sekadar ideologi. Barthes juga menyebutnya "mitologi". Realisme, kita tahu, berkeyakinan bahwa karya seni, termasuk sastra, merupakan representasi bagi kenyataan. Lihatlah realisme sosialis a la Georg Lukacs, mi- salnya, yang berpendapat bahwa karya sastra yang sefati haruslah merupakan representasi dan cermin bagi totalitas dan keutuhan kenyataan sosial yang porak-poranda akibat merebaknya reifikasi (pemberhalaan komoditas) dalam ka- pitalisme. Sedangkan seni yang tidak mencer- minkan totalitas kenyataan sosial (bahkan men- curigai ide tentang totalitas),semisalgerakan seni modernis dan amntgarde, di mata Lukacs, ada- lah seni bobrok, palsu, sebagai produk reifikasi kapitalisme belaka.

Pandangan realis semacam ini bagi Barthes menjadi ideologis karena realisme sejatinya men~embuny ikan , bahkan memalsukan hu- bunganantara bahasadengan kenyataan. Bahasa sebagai sistem tanda yang mestinya arbitrer, ti- dak stabil dan membawa kelimpahan makna yang tak terbatas tiba-tiba distabilkan dan dipas- tikan hubungannya dengan kenyataan. Seakan- akan hubungan bahasa dengan kenyataan bersi- fat natural. Bahasa begitu saja menjadi cermin kenyataan. Dengan kata lain, hubungan bahasa dengan kenyataan yang mestinya "kultural" (konstruksi sosial yang relatif) oleh realisme diperlakukan secara "natural" (alami dan per- qanen). Di sinilah persisnya sifat ideologis dan penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa.

Kecaman Roland Barthes terhadap realisme terasa terlalu tajam. Bisa jadi itu ada kaitannya dengan preferensi seni Barthes sendiri yang me- mang lebih condong pada simbolisme dan mo- dernisme ketimbang pada realisme. Tapi, paling

tidak, kecaman Barthes terhadap representasi model realisme tersebut bisa dianggap sebagai petunjuk dini terhadap adanya arus kecende- rungan yang meragukan korespondensi linear bahasa dengan kenyataan dan menyangsikan "fakultas mimetik" dari bahasa. Kesangsian ini ternyata tidak berlaku hanya dalam bahasa sastra. Bahasa sains yang mengklaimobjektif dan empiris, dan bahasa filsafat yang rigorus pun tidak lagi serta merta diterima sebagai cermin alam. Jadi kaum realis dalam seni, kaum positivis dalam sains, dan kaum fundasionalis dalam filsafat adalah para terdakwa.

Lebih dari itu, "kenyataan" yang selama ini dianggap given dan hadir taken for grarrted begitu saja di luar bahasa juga tak luput diusut- usut dasar konseptualnya Garis demarkasi an- tara fakta dan fiksi, antara ilmu/filsafat/laporan jurnalistik dan sastra yang tadinya ditarik secara tegas dan distingtif sekarang pun melumer. Ba- tas-batas disiplin dan genre menjadi nisbi. Ba- nyak teks dan tulisan yang tidak bisa lagi dike- nali berdasarkan definisi yang ada: apakah ia

tulisan faktual atau fiksi, apakah sastra, laporan antropologi, traktat filsafat,atau causerie.

Jangan-jangan malah definisi tersebut tidak perlu lagi. Karena, perkembangan yang sedang terjadi sekarang ini, mengutip ungkapanclifford Geertz "tidak sekadar suatu pemetaan atas cara lain-bergesernya beberapa batas yang menjadi sengketa,atau ditandainya beberapa danau yang lebih indah di gunung -melainkan berubahnya prinsip-prinsip pemeraan itu sendiri. Sedang terjadi sesuatu atas cara kita berpikir mengenai cara kita berpikir." (dikutip dari Ignas Kleden di Kularn nomor ini).

Kenapa representasi menjsidi ha1 yang musykil? Kaum poststrukturalis mungkin akan menjelaskannya dari segi karakter bahasa. Raha- sa di mata mereka niscaya l~rrwatak met:iforis yang ambigu, arbitrer, selalu mengejurkan dan tak terduga. Makna muncul dari perrn:iin:~n

kalarn - edisi 11,1998

Page 5: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

dalam bahasa itu scndiri. Bahara bu- Jangan-jangan, dikotomi sastra realis dan

kanalar atau pikiran untuk mengacu realis pun menjadi tak terlalu penting. A r t i n ~ a ,

kenyataan di luar bahasa. Pandangan bahwa sekurang-kurangnya ads dud lawaran perspek-

bahasa hanyalah slat sebenarnya menekan dan tif dalampokoksoalini. Pertama,dalam

meiupakan watak meedforis bahasa itu sendiri, dapisuatu teksubukan-sastra",kita tidak lagimau

~~i~~ warthes mengccam naruralisasi yang menerima keangkuhan prerensi k e ~ a 5 t i . a ~

teriadi pada bahasa ia p r i n s ipnp ketunggalan makna dari teks it% hanya karena herada dalam satu barisan yang sama dengan teks trrsebut berdasar data empitis-obiektif atau mereka yangcenderungmengembalikanbhasa berasal dari refleksi pemikiran filosofis. Kits

kepada metator. mestilah ingat watak fiktif teks tersebut, watak

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ k i l ~ ~ reprrsentasi bisn juga dilihat konstruksi sosial tekr tersebut, yang selalu

dari jurusan lain. Apa yang selama ini diterima beradadalam proscs fluidirasdan ambiguifasnya

secara wajar sebagai kenyataan atau fakta ter- sendiri sehingga tidak bisa begitu sap diasalkan nyata tidak lepas dari prosrs konsrruksi sosial. padasatupusat,saiu kepast~an makna. Setidaknya pandangan demikian secara kuat Dan dalam menghadapi teks "sastra", rnung- digemakan oleh sosiolcgi pengetahwan. Karena kin kita tidak perlu lagi terlalu tegas menarik lini kenyataan atau fakta adalah hasil konstruksi, antara sastra realis dan non-realis. Sebab kedua-

maka ia tidak bisa dilawankan &an didikoto- nya rernyata menpgunakan medium yang sama mikan secara taiam dengan fiksi. lgnas Kleden yakni bahasa-sehagai-n~etafor. Dengan demi- (dalam Kalam nomor ini juga) menunjukkan kian, yang dituntut dari karya sastra bukanlah bahwa kalau diperiksa &lam bahasa Latin, klaim representasinva, bukanlah klaim m i m e /ictio yang menjadi akar kata fiksi jurtru tid:~k sisnya. rnpi sejauh mana ia bisa mengoptimalkan terlalu banyak berarti s rsuatu ynng fiktif, peng~unaanbaknsa.Rukanuntukdiperalatatau irnajir~er, nonreal. Fictioberarri jiigasesuatu yang dipergunakan melulu secara literal, melainkan dikonstruksikan. ditemukan, dibuat, selain juga untuk diperlakukan seperti halnya suatu tarian

dibuat-buat. Jadi fiksi adalah fiksi, tapi fakta juga memperlakukan tubuh dan gestur, yang mera- fiksi. yakan ,jotrissar~ce. Sastra realis maupun non-

Dengan katd lain. dikotomi fiksi-fakta ~ ~ n t u k realis ternyata tetaplah punya jarak dengan ke- menandai dikotomi sastra-non-sastra lebih bxik nyataan. Kenyatdan yang tampil dabdm bahasa dimoratoriumkan sap. Dan ini bukannya tanpa tidak dengan sendirinya m e n c c r ~ n i ~ ~ k a ~ kenya- preseden historis. Terry Eagleton bercerita taan yang (dibayangkan) Ida di l u a r dalanl bukunya Literary Theor:vbahwa yang di- Bahaca selalu berada &lam ketegangan yang sebut "sastra lngsris abad ke-17" ternyata bukan selalu muncul j e ~ . ~ n r a k antara menangkap dan hanya mencakup karyashakespeare dan Milton ~nrucutketika hendak memeXanX dunja,parena

jugs esai Francis Bacon dan Leoiathan itu, klaim yang nlampu menam. Hobbes. "Sastra Prancis abad ke-16-17" tidak pilkan totalitas kenyataan pada ini hdnya Corneillc &an Racine tapi juga D~scartes suatu llusi yang nlaial dan Pascal.

Adanya dua halini: status fiktif dalam realitas dan fakta, dan watak rnetaforis dalam bdhasa rnmmbawa representasi pad:^ titik yang pro- t>lrmatis. Kalau reprrsentasi sudah problematis begini, hukan hanya berdrti dikotomi fakta-fiksi tidak lagi berdasarkan pada pipkan yang kokoh.

--- 4 -. - kalam - rdisi 11. 199R

Page 6: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

I G N A S K L E D E N -

FA K TA DAN FIKSI TENTA NG FAKTA DAN FIKSI

IMAJINASI DALAM SASTRA DAN ILMU SOSIAL

P ersoalan tentang fakta dan fiksi dalam kesusastraan dan ilmu sosial (atau dalam ilmu pengetahuan pada umumnya) ru-

panya tidak luput dari berbagai pandangan yang bahkan dalam dirinya sendiri sudah penuh de- ngan faktadan fiksi itu sendiri. Menganggap bah- wa dunia sastra adalah suatu dunia yang fiktif, sedangkan dunia ilmu sos~al misalnya adalah dunia yang menyajikan fakta, barangkali masih mempunyai kegunaan didaktis untuk membe- rikan penjelasan .sernentura kepada anak-anak SD dan SMP tentang apa itu kesusastraan, tetapi pastilah tidak banyak membantu tercapainya pengertian yang mendekati kenyataan tentang wujud dunia sastra itu sendiri.

Sir Bertrand Russel, yang dianggap filsuf Ing- gris terbesar abad ini, mendapatkan Hadiah No- bel untuk kesusastraan pada tahun 1950, sekali- pun dia tak menulis sebuah novel atau mener- bitkan sebuah kumpulansajak pun.Tentulah su- sah sekali membayangkan bahwa hadiah terti- nggi untuk kesusastraan dunia itu relah dibe- rikan kepadanya karena dia telah menulis tiga jilid Principiu Mathematics bersama filsuf A.N. Whitehead atau karena dia sendirian telah me- nulis buku epistemologi yang penting seperti Human Knowled& Its Scopeand Limits misal- nya. Tulisannya yang paling dekat dengan kesusastraan barangkali adalah Autobiograph.y nya yang terkenal, yang dianggap "one of the t r u , ~ great autobiogruphie.~ of a l l tinze". Autobiografi tersebut dapatlz~h disejajarkan de- ngan ConfessionesSanto Augustinus yang ber- asal dari a l~ad keempat Masehi, sebagai kary;~

nomor dua setelah Virgilius yang mewakili sas- tra Latin yang paling banyak diterjemahkan ke bdhasa lain. Karya Russel lainnya yang dapat

dianggap dekat dengan kesusastraan adalah stu- dinya tentang sejarah filsafat Barat, 3 yang mem- perkenalkan pendekatan baru dalam bidang bersangkutan. Dalam studinya ini filsafat dilihat tidak semata-mata sebagai hubungan dan pergu- latan antar-ide tetapi juga sebagai hasil dialektik antara ide filsafat dengan suasana politik, msial, &an ekonomi padasuatu masa tertentu.

Baik outobiografinya maupun studinya ten- tana seiarah filsafat, tentulah tidak dapat diang- -. .

gapsebagaisebuah karya fiktif.Autobiografinya pertama-tama mengemukakan data-data hidup- nyadan kaitannya dengan zamannya, dan studi sejarah filsafatnya mengemukakan ide-ide po-

kok filsafat Barat dan kaitannya dengan keada- an sosial politik dan sosial ekonomi di mana paham filsafat tersebut muncul dan berkem- bang. Jadi pertanyaannya: apakah yang menye- babkan Russel mendapatkan Hadiah Nobel un- tuk kesusastraan? Apakah karya-karya filsafat- nya dapat dipandang sebagai karya sastra? Apa- kah studi-studinya yang penting mengenai l q i -

ka mengandung nilai-nilai literer? Pertanyaan itu rupanya telah menggrnggu

pemikiran beberapa pemikir lainnya. Dalam sebuah tulisan yang berjudul: Philosophie u n d Wiszenschaft als Literaturi (Filsafat dan Ilmu Pengetahwan sebagai Sastra:'), dengan mengam- bil latar belakang kehidupan intelektual Jerman tentu said, filosof Juergen Habermas menulis srbagai berikut:

Ahli hukum seperti S;~vigny, sejarawan

Page 7: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

I G N A S K L E D E N -- - --

seperti Burckhardt, psikolog seperti Freud, filosof seperti Adorno adalah sekaligus iuga sap [rawan. Tiap tahun Akademi Jerman untuk Ba- hasa dan Sastra memberikan hadiah untuk pro- sa terbaik buku-huku ilmu pengetahuan. Kant atau Hegel barangkali tidak &pat mengungkap- kan pikiran-pikiran mereka secara nImadai, se- kiranya mereka tidak memberi bentuk yangsa- ma sekali baru kepada bahasa tradisional bidang keahlian mereka. Dalam filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, kandungan isi dari proposisi-proposisi makin sulit untuk dipi- sahkan dari bentuk retorik deskripsinya seperti dalam fisika. Dan hahkan dalam fisika pun (seperti ditunjuk oleh Mary Hesse) teori tidak

pernah behas dari metafor-metafor, yang de- ngannya model.model baru, pandangan-pan-

dangan baru, dan masalah-masalah baru (..I ha- rus dibuat plausibel Tidak a& terobosan inova- tif yang berhasil dalam bentuk pengetahuan dan praktek pengetahuan tanpa inovasi dalam bahasa: hubungan ini hampir tanpa perten- tangan di dalamnya.

Freud juga seorang sastrawan besar. Kalau kita berkata demikian, maka maksud kita ten- tulah bukan bahwa kejeniusan ilmiahnya ter- ungkap &lam kekuatan kreatif prosanya yang tanpa cela. (Karena) bukanlah potensi kesas- trawanannya yang luar biasa yang memhuat- nya menemukan sehuah benua baru, melain- kan terlebih-lebih penglihatan klinisnya yang tanpa prasangka, kemampuan spekula~ i fn~a , kepekaan dan ketegarannya dalam interaksi skeptis dengan dirinya sendiri, ketetapan-hati

dan keingin-tahuan, atau singkatnya kebajikan- kehajikan seorang ilmuwan yang produktif. Tak seorang pun meragukan bahwa teks-teks Freud harus dipandang sebagai sastra- tetapi apakah teks-leks tersebut adalah juga sastra, ataukah pada tempat pertama adalah sastra? Sampai heberapa waktu lalu kita tidak yakin akan iawabannya; xkarang makin banyak su-

ara, Yang mengajukan pertanyaan sehaliknya. *pakah orientasi pada pertanyaan-perranyaan

--

tentang kehenaran betul merupakan sebuah kriterium yang mencukupi bagi demarkasi tra-

disional antara ilmu pengetahuan dan kesusas- traan? Mazhab dekonstruktivisme yang berpe- ngaruh besar mempertanyakan perbedaan gen-

re yang biasa diterima sampai xkarang. Heideg- ger dari masa yang kemudian (Heidegger tua, 1K) masih membedakan pemikir dan penyair. Akan tetapi, teks-leks Anaximander dan Aris- toteles diperlakukannya atas cara yang tidak berbeda dari teks-leks Hoelderlin dan Trakl. Pa- uldeMan membaca Rousseau dengan cara yang tidak berheda dari cara dia membaca Proust dan Rilke, sementara Derrida mengerjakan Husserl dan Saussure atas cara yang sama dengan cara dia mengerhkan Artaud. Bukankah suatu ilusi saja untuk percaya bahwa teks-teks Freud dan teks-teks Joyce dapat dipilah-pilah jenisnya m e nurut ciri-ciri, yang oleh rnereka sendiri di- bedakan sebagai teori di pihak yang satu dan fiksi di pihak lainnya?'

Pertanyaan tersebut layak dipenimbangkan karena ternyata bahwa baik para filosof mau- pun para seniman dan sasrrawan, termasuk sas-

rrawan Indonesia, membaca dan membahas kar-

ya-karya Nietzsche misalnya dengan sama seriusnya. Tanpa ragu mereka menarik kesim- pulan-kesimpulan mereka sendiri, yang sekali- pun mungkin amat berbeda dengan yang di- kenal dalam studi filsafat tentang Nietzsche, k e mudian banyak mernperkaya pengertian kita atau rnembawa dimesi-dimensi baru dalam bi- dang persoalan yang digarap oleh filosof ter. sebut. Apakah Nietzsche seorang sastrawan atau seorang filosof? Bergunakah kita meninjau latar belakangnya sebagai seorang filolog handal da- lam sdstra klasik Latin-Yunani untuk meng- hargai dan menilai kedudukannya sebagai seo- rang filosof, Atau apakah dia harus diragukan kedudukannya sebagai seorang filosof semata- mata karena dia tidak menyusun pikirannya dalam tese-tese filsafat yang sistematis, tetapi dalam esai yang cemerlang, nakal, dan jenaka,

Page 8: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

F A K T A D A N F I K S I T E N T A N G F A K T A D A N F l K S l ---- .-

a tau dalam aforisme.aforisme yang orisinal, Author 9 merupakan suatu penyelidikan kritis

sinis, cerdas, dan panas? Berseloroh atau serius- tentang kedudukan ilmiah dan kedudukan li-

kah dia ketika menulis bahwa orang harus terer ilmu antropologi.

berfilsafat dengan palu godam di tangan? Bahkan sebelum terbitnya buku itu dia su-

~ ~ ~ k ~ h masih berguna untuk menentukan dah menulis tentang Blurred Genre9 TheRefigu-

entah bebaapa cerpen Putu Wijaya mungkin ration of Social Thoughts 'O di mana dia mem-

bukanlah cerpen tetapi esai 6 atau ke &lam jenis persoalkan kedudukan literer dari berbagai jenis

apakah buku-buku Kahlil Gibran dapat digo- karya dan pengarang yang berurusan dengan

longkan: esai, prosa biasa, atau puisi? Dalam k e h i d u ~ a n sosial. Batas-batas tidak jelas lagi,

membaca karya Linus Suryadi Pengakuan Pari- sehingga bukan hanya sebuah karya tidak bisa

yew 7 tidaklah mudah membedakan apakah di lagi dengan mudah ditentukan jenisnya, tetapi

sana kita berhadapan dengan puisi dari tradisi bahkan seorang penulis atau pengarang pun

epik (karena ada cerita yang utuh di sana) atau sudah sulit ditentukan identitas kepengarang-

tradisi lirik (karena kentalnya suasana hati dan annya. Masalah tersebut kiranya bisa dilihat da-

perasaan yangdibangundariawalsampaiakhir) lam kutipan dari awal karangan tersebut di

atau suatu puisi yang dramatik (karena hanya bawah ini:

ada seorang yang bercerita di sana tentang kehi-

dupan dan pergulatan antara lahir dan batin). Mengaburnya genre adalah lebih dari

Demikian pun esai Budi Darma berjudul "Para sekadar kenyataan bahwa Harry Houdini atau

Pencipta T r a d i ~ i " ~ rupanya amatlah layak untuk Richard Nixon menjadi tokoh dalam nove1,atau

dimasukkan ke dalam sebuah kumpulan cer- pesta pembunuhan dari Midwest dilukiskan

pennya. Esai itu berbicara tentang orang-orang menurut imajinasi seorangpenulis romangotik.

yang menciptakan tradisi dalam kesenian dan Yang terjadi adalah bahwa penyelidikan-

tradisi itu kemudian diikuti oleh pencipta lain- penyelidikan filsafat tampakseperti studi sastra

nya. Namun demikian, ha1 itu diceritakan dalam (ingat saja akan studi Stanley Cavell tentang

pengalaman pribadi tokohnya, Nirdawat, yang Beckett atau Thoreau, studi Sartre tentang Flau- dalam petualangan bacaannya kemudian krt) , pembahasan ilmiah tampak seperti belles

mengetahui bahwa banyak sekali ha1 yang tidak lettres morceaux (Lewis Thomas, Loren Eise- orisinal dalam kesenian, bahkan juga dalam karya-karya yang dihasilkan oleh dirinya sen-

diri. Ada jalan cerita, peristiwa dan ide yang men-

jadi syarat secara tradisional dari sebuah cerpen atau novel.

Pada tingkat yang lain apakah ada perbedaan antara tulisan seorang antropolog dan tulisan

seorang esais atau tulisan seorang novelis? Clif- ford Geertz, antropolog Amerika, dengan ba-

nyak studinya yang dianggap seminal tentang

Indonesia, kira-kira 10 tahun lalu menerbitkan sebuah buku yang menimbulkan kejengkelan

baru di kalangan antropolog profesional, dan sekaligus rangsangan baru di kalangan para ahli literars criticism. Karyanya tersebut yang ber- iudul works and Lives: The Anthropologist as

ley), sejarah-sejarah barok terdiri dari persama-

an-persamaan dan tahel-tabel atau kesaksian di

depan pengadilan (Fogel dan Engerman, Le Roi

Ladurie), tulisan-tulisan dokumenter terbaca

seperti pengakuan yang sesungguhnya (Mai-

ler), parabel-parahel tampil seperti etnografi

(Castenada), risalah-risalah teoretis terlihat se-

perti travelog (Levi-Strauss), argumen-argumen

ideologis disusun hagaikan penelitian histo-

riografis (Edward Said), studi-studi epistemo-

logis dihangun hagaikan esai polirik (Paul Fe- yetahend), polemik-polemik metodologis mun-

cul xbdgai memoar pribadi mmes Watson). Pa- le Fire karya Nabokov, sehuah objek mustahil yang terbuat dari puisi dan fiksi, cataran kaki

dan imaji-imaji dari klinik, tampaknya sangat

kalam- edisi 11,1998

Page 9: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

sesuai dengan zamannyai orang tinggal me- Pertanyaan ini menjadi penring karma kedu-

nunggu teorikuantumda~amsajakatauhi~grafi dukan ilmiah an t ro~ologi sendiri, dalam pan-

dalam aljabar. dangan Geertz, bukannya akan semakin kukuh,

T~~~~ saja, hal.hal in, sampaitingkat tertentu tetapi rupanya akan semakin diceIan Oleh Per-

sudah selalu rer,adi - ~ ~ ~ ~ ~ ~ i ~ ~ , Mandeville dan kembangan zaman, dan tidak mustahil akan sir-

E~~~~~~ ~~~~i~ semuanya membuat teori me- na pads suatu saat kelak.

reka meniadi krsaiak. Namun demikian, pen- Antropologi sebagai ilmu lahir pads abad ke-

jungkirbalikan berbagai jenis wacana sekarang 19 dan awal abad ke-20 kurang lebih bersamaan

in i telah berkembang sedemikian jauhnya dengan meluasnya imperialisme Barat yang

sampai pada suatu titik di maria sudah sulit bagi disertai oleh kepercayaan tentang daYa-Penye-

kits untuk memberi suatu kepada lamat ilmu pengetahuan.Semenjak Perang dunk

pengarang (sebagai ~ ~ ~ ~ ~ ~ l t - seiarawan, kedua, kolonialisme muhi menyusut dan bersa-

filosof atau teoretikus politik? Sebagaiapa Kuhn maan dengan itu antropologi mulai

- sejarawan, filosof a t a ~ sosiolog pengetahu- tanyakan kedudukan dan Perannya kembali.

an?) atau (sulit pula) mengklasifikasikan karya- Ada dua peran yang oleh Geertz dipandang ma-

karya (rermasuk apakah karya George Steiner sih dapat dimainkan oleh Para a n t r o ~ o l o g Dd-

After Babel- linguistik, kritik, atau sejarah lam posisi yang satu mereka berperan sebagai

kebudayaan? Termasuk apakah karya William intercultural middlemen, sedangkan dalam

Gass On Being B l u e risalah, causerie, atau kedudukan lainnya mereka herperan sebagai

apologetik?)Dengan demikian ini bukan se- transcult~lral theoreticians. " Dalam posisi per-

kadar sporr aneh atau keingin-tahuan yang tama para antropolog berperan sebagai pihak

muncul sewaktu-waktu. atau sekadar kenya- yang menjadi perantara di antnra dua kebuda-

taan yang diterima umum bahwa per definisi, yaan yang bertemu, khususnya kebudayaan

sesuatu yang inovatif hampir ridak mungkin negara-negara Barat dan kebudayaan daerah-

dimasukkan kedalam kategori tertentu.1niada- daerah koloni. Peran antropolog sebagai peran-

lah sehuahgejala yang cukup umum dan cukup tara adalah nlengurangi &an, kalau bisa, menghi- khas untuk menyarankan hahwa apa yang langkan prasangka dari pihak pertama dan sedang kita lihat ini tidak sekadar suatu pe- parokialisme dari pihak kedua. Dalam posisi metaan atas cara lain - hergesernya heherapa kedua mereka bertugas mengintegrasikan

hatas yang menjadi sengketa, atau ditandainya semua pandangan dan kepercayaan yang ber- beherapa danau yang lebih indah di gunung - beda-beda serta struktur sosial yang berlain- melainkan kruhahnya prinsip-prinsip pemera- lainan ke dalam satu hukum atau teori

an itu sendiri. Sedang rerjadi sesuatu alas cara Dalam tugas seperti itu ternyata her. kita herpikir mengenai cara kita herpikir. ' 1 hadapan dengan berbagai kesulitan dalam

memandang dan menilai tulisan yang mereka Mengaburn~a batas-batas antara berbagai ge- hasilkan sendiri. ~ ' ~ ~ h ~ d ~ ~ ~ - ~ ~ ~ b ~ d ~ ~ ~ penipaian

nus literarium itu pada akhirnya memhawa terhadap etnografi dirumuskan oleh G~~~~~ Geertz ke~ad'd PertdnYaan tentang kedudukan dengan l,eberapa kata-kunci, yang boleh saja literer ilm'Jantro~ologi sendiri. Selanjutnya, p e r dilupakan, tetapi yang konsepnya perlu diingot tan!.aan tentang antropologi dengan sendirinya untuk memlrhami kesulitan rermaksud, membawanya kepada pertanyaan lain tentang I'andangan pert;lma din;lnl;lkannya ethnr,. nlenKaW etnografi sehagai has11 kerja antropo- graphic ~ ~ e , r r r i l ~ ) ~ , ~ i ~ , , ~ , pengandaian yang di log mempunyai nilai sendiri dalam studi i lmu sini bahwa y:ll,g dikatakan Oleh se. ifmu maupun &lam kesusasrraan dunk. orangantn,pologd.alam etnogr:lfi tentang kebu.

- 8 ~ .~ ....

kalam - rdisi 11.19%

--- .. . .~.

Page 10: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

F A K T A D A N F I K S I T E N T A N C -- F A K T A D A N F I K S I - -

dayaan lain adalah suatu pandangan dari dalam kebudayaan tersebut. dan bukannya

suatu pandangan dari luar. Etnografi harus ditulis sedemikian rupa sehingga para pemba-

canya bukan hanya bertambah informasi dan

pngetahuannYa mengenai sebuah kebudayaan

lain, tetapi melalui pembacaan itu merasa lebih

akrab dan lebih masuk ke dalam kebudayaan

tersebut.

Pandangan kedua dinamakannya positiv-

isme teks, dengan pengandaian bahwa hanya

seorang seniman Asmatlah yang sanggup berbi- cara benar tentang kebudayaan Asmat. Anrro-

polog hanyalah herperan sebagai seorang pia-

lang yang rneneruskan subsransi dari apa yang dikatakan oleh pendukung kehudayaan iru

tetapi dengan biaya transaksi serendah-ren-

dahnya. Dalam melakukan tugasnya sebagai

penjaja pandangan kebudayaan dari para pen- dukung suatu kebudayaan para antropolog

haruslah menahan diri sekuat tenaga untuk

tidak memasukkan pandangan-pandangannya sendiri. Pandangan ketiga dinamakannya dis- persed authorship, di mana diandaikan bahwa

wacana etnografis bagaimanapun dapat dila-

kukan, sekalipun hanya secara heteroglossial: pendukung kebudayaan berbicdra dari dalam

kebudayaannya bersama-sama dengan seorang

antropolog atas cara yang langsung, etara, dan - - ~ ~

bebas. Yang terjadi kemudian adalah apa yang dinamakannya a Therepresence in a Here text,

Pandangan keempat adalah konfesionalisme.

Di sini yang menladi fokus bukanlah kebu-

dayaan yang dijadikan objek penelitian, melain- kan pengalaman sang antropolog dengan kebu-

dayaan yang sedang ditelitinya. Bukanlah sebu- ah kehudayaan asing yang menjadi pusnt per^

hatian utama, tetapi pengalaman &an interaksi peneliti dengar1 kebudayaan tersehutlah yang lebih penting untuk diungkapkan. Gejala ini dinamakannya a Thererhadou~ofa Here maliry

Pandangan kelirna, yang pal in^ populer, adalah hahwa pendukung kehuday;lan itu sen- dirilah yang memahami kehud;lyaannya sel,aik-

haiknya, sedangkan antropolog dengan NANOANGGAWE

berbagai prasangkany:t cenderung meng;~hur-

kan pandanRan tersebut. Namun demikian,

prasangka ini dapat dikurangi apahila antro- polog lxrsangkut:~n mau dan sanggup mengon-

trol suhjektivirasnya sendiri. '3

l'ersoalan cli sini menjadi ruwet karen:! me- lihatkan du :~ masalah sekaligus. Grertz menye- Ibutny:~ selmgai m;lsalnh epistemologis &an

rnasalah n:~ratologis. Keaulitan epistelnologis

adalah mcmbed:~kan :tntrtr;l :(pa y;lng rncrup;~- kan real it;^^ ilal:lln objek yang cliteliti d;~ri per^

sep5i clan pl.:~:lngka sul>jektif peneliti. Kesulitan mlratulogis aclalah mengupayalii~n hagaiman:!

kalam - rdisi 11,1998

Page 11: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

sebuah cerita yang bcnar diccritakan juga atas

cara yang benar. " Masalah pertama melibatkan ketegangan antara kecenderungan saintisme yang mengharuskan seseorang mengambil iarak &dri apa yang ditelirinya dan kecenderungan humanisme yang menghendaki keterlibaran sedekar mungkin dengan apa yang diteliti. Ma- salah kedua berhubungan dengan otonomi na- ratif, yaitu mengenai apakah sebuah cerita dapat diandaikan berdiri sendiri atau amat rergantung kepada pengarangnya.

Dengan berbagai tingkat kompleksitas dari masalah fakta dan fiksi sebagaimana dicoba ditunjukkan &lam pendahuluan ini, tulisan ini ingin membatasi diri padasebuah segi yang lebih rerbatas, yaitu masalah representasidalam karya sastra dan dalam karya-karya ilmu sosial, yang sebagianbesar kesulitannya sudah diungkapkan dalam tulisan Geertz tersebut di atas.

Secara tradisional (yaitu menurut anggapan umum populer seperti misalnya yang diajarkan dalam pelajaran kesusastraan) perbedaan ini dirumuskan dengan cukup kategoris. Sastra dianggap menyalnpaikan kcnyataan imajiner (imagined reality) yang sering disamakan dcngan khayalan, sedangkan tulisan ilmu sosial menyampaikan kenyataan empiris yang diang- gap bisadires dengan pengamatan indrawi. Salah satu argumen yang diajukan H.B. Jassin pada waktu membela cerpen "Langit Makin Men- dung" adalah bahwa karya sastra hanya menya- jikan kenyataan arristik &an bukan kenyataan objektif yang bisa diadili menurut hukum po- sitif. Untuk mengutip kata-kata Jassin:

lmajinasi ini k r t e d a dengan ilmu yang ber- Isi gagasari-gagasan lmajinasi lebih daripada p-

gasan; ia adakh keseluruhan komhindsi dari ga- gasangagasan, perasaan-perasaan, kenangan pengalaman, dan intuisi manusia. lmajinasi addlah sesuatu yang hidup, suatu proses, suatu

kegiatan jiwa Dengan demikian imajinasi yang dituangkan ke dalam sesuatu karya seni, tiddk identik sama dengan kenyataan sejarah, penga- laman atau pun ilmu pengetahuan. Sudlu karya seni mempunyai kenyaraan arristik yang tidak identik sarna dengan kenyataan objektif atau kenyaraan sejarah atau kenyataan ilrnu pengerahuan. l5

Uraian Jassin tersebur belum banyak mem- bcrikan perbedaan yang cukup tegas antara sas- tra dan ilmu pengetahuan sosial. Dua konsep sentral dalam uraian rersebut tidak diberi penje- lasan yang memadai: apa itu kenyataan artisttk dalam karya seni dan apa pula yang d~maksud- kan dengan kenyataan objektif dalarn sejarah dan ilmu pengetahuan!

Kalangan ilmuwan sendiri sudah amat m e ragukanapakah mungkin kita berbicara tentang objektiviras. Bukankah leblh realistis berbicara tentang kontrol terhadap subjektivitas? Filosof ilmu pcngetahuan, Karl Popper misalnya, ber- pendapat bahwa objektivitas adalah suatu kea- daan yong tak akan pernah tercapai. Apa yang bisa dicapai oleh para ilmuwan adalah mende- kati terus-menerusobjektivitas itu tanpa dapat mencapainya, sementara pendekatan itu terlak- sana bukan karena orang menemukan lebih banyak pengetahuan yang benar, tetapi karena orang menyingkirkan lebih banyak pengcia- huan yang salah. Prinsip aproksimasi dalam perkembangan ilmu digabungkan di sini dengan prinsip falsifikasi dalarn pengujian terhadap ilmu dan pengelahuan. 'Wemajuan ilmu penge tahuan lercapai bukan karena akumulasi pcngerahuan objektif yang sudah diverifika- sikan kebenarannya, tetapi karena lebih banyak tes yang dilakakan untuk mengecek kesalahan dari berbagai pendapat ilmiah yang sudah ada. Semakin banyak tes yang dilakukan untuk tu- juan falsifikasi semakin reruji pengetahuan ter- sebur, dan huar sementara, sebelum a& tes lain- nya yang lebih keras, bisalah dianggap bahwa pendapat ilmiah tersebut sudah lebih ~nendekati

Page 12: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

F A K T A D A N F I K S I T E N T A N G F A K T A D A N F l K S l --

keadaan yang objektif. Yang ditekankan dalam

teori tersebur bukanlah objektivitas pengeta- huan yang bisa tercapai tetapi pengawasan dan penyingkiran terhadap semua kecenderungan dan preferensi subjektif yang menghalangi usaha untuk mengaproksimasi situasi objektif.

Dalam praktek, akan kelihatan bahwa suatu uraian antropologi, sosiologi, atau ilmu politik ti-

dak luput dan tidak bebas dari semua yang dise but oleh Jassin sebagai unsur imajinasi yaitu go- gasan, perasaan, kenangan pengalaman, proses, dan kegiatan jiwa. Lagi pula semakin disadari de- wasa ini bahwa ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu-ilmu sosial pada khususnya, tidaklah mungkin berkembang tanpa dukungan imajina- si yang mencukupi. Dalam sosiologi misalnya, sosiolog seperti C. Wright Mills menekankan pentingnya sociological imagination. lmajinasi seperti itu diperlukan karena dia memungkin- kan orang untuk melihat hubungan antara seo- rang individu dan masyarakat serta amannya, atau kaitan antara gejalamikrodan perkembang- an makro, dan interaksi di anrara biografi dan sejarah.

Hanya imajinasilah yang memungkinkan seorang dramawan seperti Ratna Sarumpaet melihat pentingnya masalah kematian Marsinah diungkapkan dalam sebuah teater, sebagai pa- meran visual tentang apa itu adil dan tidak adil, apa yang bernama martabat manusia dan hak- haknya, yang kalau hanya diomongkan mung- kin tidak akan cukup dipahami. Adalah imajinasi yang membawa kita kepada kesadaran bahwa

kematian itu bukanlah semata-mata suatu kri- minaliras individual yang terlepas, berdiri sendiri, atau bersifat kecelakaan kebetulan teta- pi menjadi gejala dari keadaan dan perkem- bangan masyarakat Indonesia dewasa ini. Ima- iinasi yangsama telah membuat beherapa peker- ja sosial di desa pesisir, nekad menanam kembali pohon bakau untuk menahan rusaknya pantai, karena mereka bisa mernbayangkan hubungan antara kerjanya hari ini yang kelihatannya menggelikan dengan suatu masa depan yang

lebih hijau di pesisir pantai. b l a m imajinasi yang

sama orang memahami bahwa menanam be- berapa bibit pohon bakau adalah ibarat "mena- nam" masa depan dengan lingkungan hidup yang lebih berkualitas.

Clifford Geertz misalnya melaporkan dalam sebuah studinya tentang Bali bahwa untuk be- berapa lamanya dia dan istrinya sulit sekali mendekati orang Bali, yang menganggap mere- ka sebagai orang-luar, orang asing, yang identik dengan "tidak ada". Perubahan sikap baru terjadi pada waktu Geertzmenontonsabungayam,dan dalam pada itu datang polisi untuk melakukan razia. Semua orang melarikan diri, dan Geertz dan istrinya, dengan mengikuti pedoman la- pangan dalam anrropologi, ikut juga lari dan menyembunyikan diri. Ketika pasangan Geertz didatangi polisi, keduanya dibela mati-matian oleh orang Bali. Mereka berusaha sekuat tenaga

menjelaskan kepada polisi bahwa pasangan Geertz adalah peneliti dan profesor Amerika yang sedang menyelidiki Bali supaya memper- kenalkan kebudayaan Bali ke Amerika. Setelah

peristiwa itu berlalu, sikap orang Bali kepada pasangan Geertz berubah secara sempurna. Mereka diterima dengan akrab, diperhitungkan

sebagai bagian komunitas Bali dan diajak ambil bagian dalam berbagai kesempatan. Peristiwa

larinya mereka menjadi omongan di desa itu berhari-hari. Mereka bahkan diminta datang ke rumah pedanda di desa tersebut untuk mengi- sahkan sendiri peristiwa larinya mereka karena dikejar-kejar polisi. "

Dalam laporan yang ditulis dengan sangat baik oleh Geertz, dapat ditemukan semua unsur yang oleh Jassin dituntut harus ada pada suatu karya sastra: gagasan, perasaan, kenangan penga- laman, kegiatan jiwa, &an proses. Jadi kalau kita berpegang pada penjelasan Jassin dan kemudlan membaca laporan etnografi Clifford Geertz ten- tang sabung ayam di Bali, maka tidak jelas lagi apakah laporan tersebut harus dipandang se- bagai sebuah laporan ilmiah ataukah juga sebuah karya sastra.

kalam - edisi 11,1998

Page 13: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

Kcberatan itll mungkin dijawab pingkan di tengah kesibukan sehari-haii yang

dengan mengatakan bahwa kalau Geertz mela- sung~uh-sun%uh".'~

porkan sabung ayam Inaka pcristiwa it11 hetul Sebaliknya, sastra menurut dia 'libangun

terjadi dan benar.benar ditontonnya. Sedangkan menurut daya angan timaii~lasi), "daya klau seorang pengarang menulis cerpetl tangkap batin yang SecAra intuitif memperoleh

tentanR sabullg ayam maka p i s t i w a itu mung- tangRapan atau visi y a w bemr tentang penga-

kin ti&k teriadi dan h n y a direka dan dikhayal- laman dan kenyataan. Angan itu sanggup me- kan saia dalam ima,inasi pengarang bcrsang- nembus kebenaran sampai pads esensinya"-

kutan, D~~~~~ ksta.kata yang teknis: dalam la- Kalimat terakhir itu agak berlebihan, karena

poran~eertzsabungayamd~Anggaps~atu fakta, klaim kebenaran di sans sangatlah tin8ginYa.

da[:lmcerpen sabung ayAln adalah sebuah fiksi. pa pun soalnya, pesan hiperbola terse-

Namun demikian, kjta tetap 1>erhatl:lp;ln de- but mungkin tetap bewar, baha.a ilnajinasirnern-

ngan masalah jauh laporan Geertz buat seseorangsanggupmentlapatkansUatuvisi

habung tersehut telah dibayangi mengenai kenyataan tidak melalui langkah- oleh berbagai imajinasi hn persepsi Geertz sen- langkah logis terlebih h h u t u tetapi melalui sua- diri, dan seberapa jauh pengarang cerpcn ten- tu momen yang mirip dengan apa yang oleh tang ayam mengambil data-datanya dari para teolog dinamakan disclosl~fe s i ru~~ l io '~ . sabung ayam yang pernah dilihatnya dan Istilah itu mer~yatakan bahwa dalam hidupnya

mrngubahnya di sana-sirti sesuai dmg;~n tujuan seseorang bisa mendapatkan semacam cahaya clan maksud cerpennya? Di mana letak fakta tian ~ ik i r an (lumen, i l lu~?~ i~mt ion) seclemikian kuat- di mana pula fiksi? Dapatkah dipilah-pilah de- nya, zehingga suatu perkara arau beberapa sod ngin pasti? Atau bar;lngkali seperti yang dike- rnenjadi terang-benderang dalarn penglihaan mukakan Popper, bahkan data kita tentang kaca dan pengertian, bagaikan suatu 'prwahyuan" niisalnya sudah penuh tlengan konsep-konsrp scsaat yangdiberikanolehsuatu tenaga yang tak fisika tentang kaca, dan data kita tentang air su- dapat diterangkan. Dengan rnengutip Coleridge dah penuh dengan konsep-konsep ilmu kimia dia mengatakan bahwa "khayal hanyalah baju

tentang air. 'Wukankah konsep-konsep itu hasil bagi ram patut, suatu hiasan belaka. Sedangkan imajinasi juga? angan adalah nyawa yang ada di mana-mana,

Pada titik itulah seorang sastrawan Indonesia yang meresapi segabnyan. JO

dan heorang sarjana sastra produktif seperti Su- Dalarn perbandingan yang dilakukannya b:~gioSastrowardoyomeras:~perlu memisahkan antara filsafat dan sastra maka filsafot dalam imalinasi dari fantasi, angan dari khayal. Menu- pandangan subagio h r u s a h a mencari intipati

rut PenRarang ini, pemahaman bahwa sastra kebenaran (pengetahwan), se&ngkan sastra

a~lalall basil khayalan, telah rnempunyai akihat herusaha memburu intipati pengalaman, M ~ ~ ~ .

Yang merugikan baik hagi perlcipta s:lstra mAU- rut hemat says, ha& &lam sastra dalam Pun [ W i ~ u b l i k yang akan memhacanya. Untuk filsafat, pengetahuan dan pengalaman sama. Yang Pel-talna, angga[?an tenrang khayal ini sama digarap, trtapi dengan yang meml'uat mcreka mem:~ndang sastrx sel~agai sementarA filaaf.at h e r u s a h mengu,i penga. basil lamman tentang :lhm yang lmr;~tla di luar laman melalui pengetahuan, sastra sebaliknya

kchidupan nyata: Untuk yang keclua, inmapan ilrrnguji pengett,huan l e w t t t pengalaman hidup, tent:'ng k b ~ l ini memhuat mereka meman- Yang sarLl t,ekerj;l m e l a l u i al,srrAksi sebAgai dang "kcsusastraan selmjiai hi1)uran sai:~ ;lyau pa- sarawanya, yang la in ling ldull bcl~a#ai hiasan hidup yang inciah dan se~,:lgai alatnya, ~ i l ~ ~ f ~ ~ i,rrusaha merunluskan m e n ~ r i k t e ~ ' ~ l ~ i tidak esensial, yang bisa dikeram- kellidupan sebaRai pengetahuan yanR

- - p- - -- ~-p - -- _ .~- 1 2 kalamedisi ll. I998

Page 14: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

F ~ K T A D A N F l K S l T E N T A N G F A K T A D A N F I K S I -- -

dipegang. Sastra berusaha mengembangkan ide dalam kehidupan yang bisa dihayati. Yang satu seakan berkata: saya berpikir maka saya ada (cogito ergo sum), yang lain berucap: saya ada maka saya berpikir (primum r~ir~ere deinde philosophart>.

Unruk mendekati makna imajinasi sedekat mungkin, ada gunanya dibuat suatu analisa ba-

hasa yang sederhana mengenai tiga istilah yang menjadi sumber pengertian dan salah penger- rian mengenai kenyataan dan rekaan. Ketiga

istilah itu adalah data, fakta. dan fiksi. Mengapa gcrangan sering dikatakan bahwa ilmu-ilmu

empiris berhubungan dengan data, sejarah de- ngan fakta, srdangkan sastra dengan fiksi?

Dari segi etimologis dataadalah istilah Latin yang persis sama arti dan bentuknya dengan ka- ta g i x n dalam bahasa Inggris. Daredalam baha- sa Latin adalah to give &lam bahasa Inggris da-

lam bentuk infinitif. Sedangkan data/gi~elerr (ba- hasa Jerman: gegeben) adalah bentuk pastparti.

ciple. Jadi da ta (sebagai bentuk plural dari da- tum) berarti sesuatu yang sudah diberikan. Per-

tanyaannya: Diberikan oleh siapa kepada siapd? Di sini kita melihat prasangka (bias) posi-

tivism~. Sesuatu d iangap data kalau kenyaraan itu dianggap diberikan oleh alam kepada indra manusia. Di sini berlaku apa yang dinamakan ueracitas naturae (the truthfulness of nature), atau kejujuran alam. Alam tidak mungkin mcni- pu. jadi kalau sesuatu diberikan oleh alam kepada indra rnanusia pastilah ha1 tersebut ada.

Kalau langit memperlihatkanawan kepada mata kita maka awan itu adalah data, dan pasti ada. Keiuiuran :11am adalah prinsip filsafat pengeta- huan yang dipegang oleh orang-orang seperti Bacon misalnya. Sebaliknya, Descartes dengan a a s evidensinya berpegang pada asas wracitas Dei (the tl-uthfulncss 01' God), Di sini di;tndaikan bahwa pengertian mk~nusia diciptakan oleh Tuhan. Kalau pada s u t u saat tertcntu penger.

tian itu menangkap sesuatu atas cara yang demi- kian jelas dan tak dapat diragukan maka ha1 itu

mestilah benar, karena kalau tidak pengertian ki- ta menipu kita sendirt, padahal prngrrtian itu

diciptakan Tuhan surnber segala kejujuran. " De- ngan ini Popper ingin menunjukkan bahwa baik

positivisme maupun intuisionisme bersumber dari suatu doktrin religius yang mendasarkan

kebenaran pada suatu otoritas di luar manusia. Kedua pandangan tersebut dikritik oleh Pop-

prr dengan alasan bahwa keduanya menyama-

kan asal-usul pengetahuan dengan keabsahan pengetahuan. Menurut did, pcngetahuan bisa berasal dari rnana saja: penelitian lapangan, penelitian laboratorlum, bacaan di perpusta~

kaan. ilham di waktu malam, intuisi dengan tingkat evidensi yang kabur atau jelas, atau

bahkan rangsangan dari sebuah mimpi. Namun

demikian, asal-usul itu sama sekali belum men- jamin keabsahan pengetahuan, karena keab- sahan pengetahuan hanyadiuji melalui tes terha- dap pengetahuan, yang dalam artian Popper bcr- arti kesanggupan pengetahuan tersebut berta- han terhadap ekaperimen untuk memfalsifika-

sikannya. Dengan demikian, data yang krsumber dari

alam hanyalah mempunyai kekuatan sebagai sumber pengetahuan dan bukanlah petunjuk

tentang keabsahan pengetahuan tersebut. Ke- liruan tersebut muncul karena positivisme yang berdiri di atas kepercayaan tentang data-data

tersebut, berasal dari alam pikiran yang bersum- ber pada suatu epistemologi yang optimistis. Di

sana diandaikan bahwa kebenaran akan me- nampakkandirisecaraalamiahmelalui data-data

alamnya. Kalau persepsi seseorang tidak dapat rnelihat data-data itu maka itu hanyalah akibat

kesalahanorangtxrsangkutan yangridakcukup membuka mata dan pikirannya untuk meneri- ma data-data yang sudah diberikan, atau karena pretensi &an prasangka-prasangka orang ber- sangkutan menghalanginya untuk rnelihat data yang ben;lr.Filsafat yangada di balikpositivisme ialah bahwa kebenaran tidak perlu dicari karena

-- - kalam - ediri 11. 1993

Page 15: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

I C N A S K L E D E N p~

dia bukanlah sesuatu yang tersembunyi. Yang dibutuhkan hanyalah kesediaan dan keterbu- kaan untuk menerimanya.

Popper sebaliknya mengajukan gagasan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang berasal dari otoritas yang di luar manusia, karena pmgerahuan itu adalah hasil, produk, dan buatan manusia sendiri. Yang dihasilkan ma- nusia dalam pengetahuannya bukan hanya kebenaran, tetapi juga berbagai kekeliruan. Sebahagian besar kekeliruan ini berasal dari psikologi manusia yang cenderung membenar- kan dirinya. Karena itu, tugas filsafat pengeta- huan adalah mengoreksi psikologi pengetahuan tersebut, dengan cara mencari dan menyingkir- kan berbagai kekeliruan yang timbul dari hasrat psikologis manusia untuk membenarkan dirinya sendiri.'" Pengetahuan tidak dimulai dengan data, melainkan hanya bisa dimulai dengan teori, sedangkan data berfungsi untuk menguji kebenaran teori. Kebenaran bukanlah sesuatu yang menampakkan diri setiap hari, tetapi lebih menyerupai suatu keadaan yang tersemb;nyi di balik berbagai kekeliruan dan pengetahuan yang salah. Jalan menuju ke sana hanya mungkin dibuka dengan menyingkirkan kekeliruan tersebut terlebih dahulu.

lstilah fakta berasal dari bahasa Latin facturn (bentuk pastparticiple dari kata kerp facere). Dalam bahasa Inggris ekuivalennya adalah: done sebagai bentuk past participle dari to do. lstilah facturn (facta dalam bentuk jamak) tidak ada padanannya dalam bahasa lnggris yang kemu- dian mengambil alih kata Latin tersebut dan mengubahnya menjadi fact. Bahasa Jerman mempunyai ekuivalennya sendiri untuk fac- tum yaitu Tatsacbe, ', dengan arti yang persis sama yakni hasil dari apa yang sudah dilakukan dengan suatu tindakan nyata. Sesuatu menjadi fakta kalau dia bisa merujuk kepada tindakan (behauior) yang menghasilkannya. Di sinilah, saya menduga, bahwa konsep hkra berasal dari alam pikiran yang berhubungan erat dengan behaviorisme. Berpikir misalnya dalam bahasa

sehari-hari jarang dinamakan fakta. Tetapi, me- nempeleng orang adalah fakta, kalau ada saksi

yang bisa merujuk kepada tindakan polisi yang menempeleng seorang pencuri yang baru ter- tangkap. Sebab, berpikir adalah suatu tindakan mental yang sulit disaksikan oleh orang lain, sedangkan menempeleng orang adalah suatu tindakan lahiriah yang dapat diamati.

Kenyataan-kenyataan dalam alam seakan- akan diberikan (data, gixn, gegeben) oleh alam dan karena itu disebut data Sedangkan dalam sejarah kenyataan-kenyataan itu dianggap di- buat dan dilakukan oleh manusia melalui lin- dakan-tindakannya dan karena itu menjadi fakta (facta,facts, Tauachen). Fakta adalah hasil tin- dakan manusia sebagai homo agnsa tau mahluk yang bertindak dan berbuat. Baik data maupun fakta selalu berhubungan dengan indra manu- sia. Data diterimd oleh indra manusia sedangkan fakta dilakukan melalui indra manusia.

Tidaklah amat mengherankan bahwa dalam alam pikiran yang dikuasai baikoleh positivisme maupun oleh behaviorisme, pengertian fiksi ke- mudian seakan-akan dikucilkan dari dunia nya- ta. Fiksi lalu berarti sesuatu yang ridak bisa di-

tangkap dengan indra, dan sesuatu yang tidak bisa merujuk kepada tindakan nyata yang telah menghasilkannya sebagai fakta. Dalam bahasa

Inggris, perkataan fictive, atau fictiouq mengan- dung pengertian nonreal Perkataan fiction 24 dalam bahasa lnggris lebih kuat asosiasi non- realnya daripada akar Latin yang menjadi sum- bernya yaitu fictio Kata ini berasal dari kata kerja fingere Dalam kamus-kamus Latin kata ini lebih sedikit memperlihatkan segi nonreal. Kata itu diartikan dalam bahasa Inggris dengan ro fashion, toform, to construct, to invent, to fabri- cate. " J a d ~ , fictio berarti sesuatu yang di- konstruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat- buar. Imago ficta artinya patung yang sudah selesai dipahat.Jadi, kalaupun ada unsur kha- yalan maka khayalan di sana tidak menekankan segi nonrealnya tetapi segi konstruktif, segi inventif, dan segi kreatifnya. Atau untuk

Page 16: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland

F A K T A D A N F l K S l T E N T I N G P&WWv@W%;+iUSI -

memakai istilah Subagio, pengertian fiksi dalam akar Latinnya tidak merujuk kepada fantasi atau khayal tetapi lebih kepada imajinasi atau angan.

Arti asli dari fiksi dalarn makna Latinnya seakan-akan direhabilitasi kembali dengan teori the social construction of realiry dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial mutakhir. Teori tersebut diperkenalkan pertama kali dalam fenomeno- logi oleh Alfred Schulz dengan karyanya yang menguraikan tiga unsur pengetahuan yang rnernbentuk pengertian manusia tentang masya- rakat yaitu dunia, makna, dan sosialitas. 26 Ga- gasan dan teori ini kemudian dipopulerkan oleh Peter L. Berger dalam kepustakaan sosiologi berbahasa Inggris " dan seterusnya diperkenal- kan kepada kalangan yang lebih luas oleh para teoretisi post-modernis, entah dengan kr to lak dari fenomenologi atau dari mazhab lainnya.

Secara arnat disederhanakan apa yang di- katakan dalam karya Schutz tersebut berputar sekitar tiga tema utama. Tema pertarna adalah dunia sehari-hari sebagai dunia yang paling fun- damental dan dunia terpenting bagi rnanusia. Dia rnenjadi orde tingkat satu (the firstarder re- ality), yang sekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pernbentukan orde-orde lainnya. Dalam dunia sehari-hari terkntuklah misalnya bahasa dan makna, dan terjadi juga interaksi sosial antara anggota-anggota masyarakat yang rnem- bentuk berbagai tipe-tipe harapan dan tingkah laku yang kemudian diterirna bersarna. Di atas dunia sehari-hari ini kernudian dibangun berba- gai orde tingkat kedua (thesecond-order reality) seperti halnya ilrnu pengetahuan, filsafat, atau teknologi. Dia merupakan kenyataan paling dasar yang tanpanya kenyataan-kenyataan sosial lainnya tidak dapat dipaharni karena akan kehilangan landasannya. Dunia sehari-hari (the w r l d of ever~day life) bukanlah sekadar suatu realitas tetapi, rnerupakan realitas terpenting dalam kehidupan manusiadan menjadi thepara-

h l a m - e d ~ s ~ 11,1998

mount reality." Para ahli bahasa kemudian semakin mem-

perjelas kenyataan ini dengan menunjukkan bahwa bahasa sehari-hari adalah dasar bagi pembentukan bahasa-bahasa formal dalam ilmu pengetahuan misalnya. Karena bahasa-bahasa formal itu mengambil bahannya (berupa voka- buler atau sintaksisnya) dari bahasa sehari-hari untuk mernbentuk istilah-istilah khusus, atau pernyataan dan rumusan-rumusan khusus yang dibutuhkan dalarn suatu bidang ilmu pengeta- huan. Kemudian, kalau istilah-istilah khusus tersebut hendak dijelaskan maka ha1 itu pun hanya mungkin dilakukan dengan menggu- nakan bahasa sehari-hari sebagai sarananya. "

Tema kedua yaitu sosialitas dikembangkan berdasarkan teori Max Weber tentang tindakan sosial (social action, soziales Handeln). Tin- dakan sosial yang terjadi setiap hari adalah pro- ses di mana terbentuk berbagai makna. Proses ini

terjadi melalui beberapa tahap analitis. Tahap pertama yang paling rendah makna sosialnya adalah hubungan seseorang dengan k n d a fisik misalnya membuka pintu rumah di pagi hari, yang belurn dapat dianggap sebagai tindakan sosial dalarn arti yang penuh. Tindakan sosial terjadi kalau suatu perbuatan diarahkan kepada seorang lain sebagai partner. Dengan demikian,

rnembuka pintu barulah rnenjadi tindakan sosial kalau ha1 itu dilakukan setelah ada ketukan di pintu atau kalau be1 rumah dibunyikan. Orien- tasi kepada orang lain adalah syarat rnutlak un- tuk suatu tindakan sosial. Orientasi tersebut muncul dalarn antisipasi kepada tindakan yang dilakukan partner tersebut,sedangkan antisipasi itu sendiri akan mernbentuk sikap kita terha- dapnya. Jadi, kalau pintu sudah dibuka dan kita sudah berhadapan dengan tarnu yang rnenung- gu maka tindakan kita bisa berupa rnernpersila- kannya rnasukatau rnenutup kembali pintu dan menyuruhnya pergi. Orientasi kepada tindakan orang lain yang kernudian menentukan sikap dan tindakan kita sendiri adalah inti seluruh proses yang membuat suatu tindakan rnen-

Page 17: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 18: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 19: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 20: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 21: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 22: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 23: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 24: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 25: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 26: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 27: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 28: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 29: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 30: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 31: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 32: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 33: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 34: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 35: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 36: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 37: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 38: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 39: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 40: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 41: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 42: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 43: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 44: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 45: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 46: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 47: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 48: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 49: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 50: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 51: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 52: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 53: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 54: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 55: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 56: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 57: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 58: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 59: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 60: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 61: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 62: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 63: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 64: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 65: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 66: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 67: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 68: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 69: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 70: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 71: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 72: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 73: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 74: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 75: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 76: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 77: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 78: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 79: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 80: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 81: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 82: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 83: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 84: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 85: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 86: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 87: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 88: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 89: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 90: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 91: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 92: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 93: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 94: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 95: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 96: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 97: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 98: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 99: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 100: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 101: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 102: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 103: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 104: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 105: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 106: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 107: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 108: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 109: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 110: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 111: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 112: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 113: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland
Page 114: IN1 - Beranda | Saliharasalihara.org/sites/default/files/kalam11.pdf ·  · 2015-05-26penampilan mitologi pada realisme: menatural- kan representasi dalam bahasa. Kecaman Roland