implementasi gcg
TRANSCRIPT
Keunikan GCG di perbankan
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena bank memiliki karakteristik yang berbeda
dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non-keuangan. Keunikan
perbankan terutama bila dilihat dari neraca yaitu aset perbankan rata-rata adalah kredit yang
sebagian besar bersifat jangka panjang, sedangkan sisi liabilities adalah tabungan dan
deposito yang memiliki sifat jangka pendek.
Pengelolaan yang tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan
pasiva. Terjadinya mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank.
Khusus untuk pengelolaan kredit maka kredit yang disalurkan tanpa hati-hati akan
memunculkan kualitas kredit yang buruk dan akan membawa masalah bagi kesehatan
perbankan. Kredit yang buruk, terutama terjadi karena kurang kehati-hatian manajemen
(direksi dan komisaris) dalam mengelolanya dan tidak tertutup kemungkinan karena campur
tangan pemilik dalam penyaluran kredit kepada pihak terkait.
Penyaluran kredit kepada pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu meminimkan
risiko dan sebaliknya akan bersifat negatif jika justru menambah risiko gagal bayar akibat
terjadinya moral hazard. Ba-gaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan
kepentingan antara pemilik dan manajemen.
Sementara itu, kredit yang buruk dapat disimpan secara akuntansi dalam neraca perbankan
untuk periode lama-mengingat sifatnya jangka panjang-sehingga perbankan mengalami
kecenderungan vulnerable.
Meredam masalah dalam pengelolaan perbankan yang vital bagi perekonomian itu, maka
pengelolaan perbankan berdasarkan prinsip-prinsip GCG tidak dapat dielakkan lagi. Adapun
prinsip-prinsip dasar GCG secara global adalah transparansi yang menyangkut keterbukaan
informasi dan proses dalam peng-ambilan keputusan.
Akuntabilitas tentang kejelasan fungsi dan tanggung jawab agar pengelolaan bank efektif.
Tanggung jawab dalam mematuhi perundang-undangan dan prinsip pengelolaan sehat.
Independensi pengelo-laan yang profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak
manapun. Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder.
Namun, perbankan adalah industri khusus sehingga pengejawantahan lima prinsip GCG itu
perlu penafsiran yang tepat oleh Bank Indonesia maupun pelaku bisnis perbankan. Bank
sentral tampak tidak tinggal diam dan telah menancapkan berbagai rambu-rambu tata kelola
perbankan yang bagus dalam sebuah kerangka sistem yang dijadikan acuan dari segi
struktur, mekanisme, dan output.
Mereka menetapkan ukuran aplikasi GCG dengan melihat efektivitas fungsi komisaris,
direksi, komite audit, kepatuhan, auditor, kecukupan nilai perusahaan dan rencana bisnis,
perlakuan terhadap pihak terkait, penerapan transparansi kondisi keuangan dan kondisi
non-keuangan.
Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI 8/4/2006 untuk pelaksanaan GCG bagi bank
umum guna meningkatkan compliance terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku umum di industri perbankan. Bank Indonesia
menyadari bahwa pengelolaan industri perbankan yang buruk menyusul adanya liberalisasi
tanpa peraturan dan pengawasan ketat.
Kompleksitas kegiatan usaha perbankan yang melebar menyebabkan risiko perbankan
meningkat sehingga aplikasi GCG mendesak dan tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, praktik
GCG di tataran internasional sudah menjadi keharusan, demikian pula di tataran nasional
juga selayaknya menjadi keharusan.
GCG telah pula dikukuhkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai pilar keempat
dengan landasan berpikir bahwa aplikasi GCG akan memperkuat kondisi internal perbankan
nasional.
Layaknya polisi lalu lintas, otoritas perbankan telah menerapkan rambu-rambu GCG dan
perbankan diharapkan mematuhinya agar tidak kecelakaan, baik karena perbankan
menerabas peraturan atau justru pengawasan yang lalai dari otoritas.
Perbankan pun hendaknya tidak segan-segan memberikan masukan kepada otoritas
tentang peraturan yang seharusnya dikeluarkan. Ada titik ekuilibrium kepentingan pihak
terkait dan regulasi bukanlah menjadi paksaan tetapi keharusan. Masyarakat juga dapat
mengawasi otoritas perbankan dan perbankan dalam penerapnya.
Ada baiknya GCG dijadikan budaya perusahaan maupun pemerintahan yang terintegrasi
dalam keseharian karena inti dari GCG adalah moral dan etika yang dibarengi dengan
perangkat hukum.
Pengertian Good Corporate Governance
Ada berbagai pengertian Good Corporate Governance yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Corporate governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen
perseroan, direksi, komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan
lainnya. (Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata)
b. Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam
menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholders yang lain. (G. Suprayitno)
c. Corporate governance adalah suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan,
pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab
dari masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan, dan mekanisme
yang harus ditempuh oleh masing-masing unsur dari perseroan tersebut, serta
hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan itu mulai dari RUPS,
direksi, komisaris, juga mengatur hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari
struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan yang pada hakekatnya
merupakan stakeholders dari perseroan, yaitu negara yang sangat berkepentingan
akan perolehan pajak dari perseroan yang bersangkutan, dan masyarakat luas yang
meliputi para investor publik dari perseroan itu (dalam hal perseroan merupakan
perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan. Corporate
governance adalah suatu konsep yang luas. (Sutan Remy Sjahdeini)
d. Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan
prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran
(fairness). (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum).
Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa Good Corporate Governance adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang
dirancang untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi kepentingan stakeholders
dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika
yang berlaku secara umum.
Prinsip GCG
Good Corporate Governance, yang selanjutnya disebut GCG menerapkan prinsip-prinsip
berdasarkan peraturan Bank Indonesia yaitu keterbukaan (transparency), akuntabilitas
(accountability), pertanggungjawaban (responsibility), profesional (professional), dan
kewajaran (fairness);
a. Keterbukaan (Transparency)
Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai
dengan haknya.
Informasi yang harus diungkapkan meliputi tapi tidak terbatas pada hal-hal yang
bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi
keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali,
cross shareholding, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management),
sistem pengawasan dan pengendalian intern, status kepatuhan, sistem dan
pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
bank.
Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk
memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang
berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang
kebijakan tersebut.
b. Akuntabilitas (Accountability)
Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing organ
organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi
perusahaan.
Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai
kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam
pelaksanaan GCG.
Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam
pengelolaan bank.
Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-
ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate values),
sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki rewards and punishment system.
c. Tanggung Jawab (Responsibility)
Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegang pada prinsip
kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin dilaksanakannya
ketentuan yang berlaku.
Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik)
termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
d. Independensi (Independency)
Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder
manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest).
Bank dalam mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan
dari pihak manapun.
e. Kewajaran (Fairness)
Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).
Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank
serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.
prinsip-prinsip GCG memegang peranan penting, antara lain:
1. Pemenuhan informasi penting yang berkaitan dengan kinerja suatu perusahaan
sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham atau calon investor untuk
menanamkan modalnya;
2. Perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan
wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi atau komisaris
perusahaan;
3. Perwujudan tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi dan menjalankan setiap
aturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara asalnya atau
tempatnya berdomisili secara konsisten, termasuk peraturan dibidang lingkungan
hidup, persaingan usaha, ketenagakerjaan, perpajakan, perlindungan konsumen,
dan sebagainya.
Good Corporate Governance akan memberikan empat manfaat besar yaitu:
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan
keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta
lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.
2. Meningkatkan corporate value.
3. Meningkatkan kepercayaan investor.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus
akan meningkatkan shareholder’s value dan dividen.
Pedoman Good Corporate Governance
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), GCG diperlukan untuk
mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan
perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling
berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai
pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip
dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang
menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law
enforcement).
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar
pelaksanaan usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang
terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan
melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Corporate governance mempunyai dua aspek:
1. Aspek pertama berkaitan dengan pola hubungan dan perilaku aktor dalam
perseroan. Perilaku manajemen dengan karyawan; perilaku perseroan dengan
pemasok, dengan kreditor, dan lain-lain. Indikator yang digunakan untuk melihat
bagaimana perilaku ini memberikan manfaat adalah bagaimanakah tingkat efisiensi
perusahaan, bagaimanakah kinerja perusahaan, pertumbuhan, perlakuan kepada
pemegang saham dan pemangku kepentingan, dan lain-lain. Aspek ini disebut aspek
perilaku korporasi dan sasarannya adalah peningkatan kinerja (performance).
2. Aspek kedua berkaitan dengan seperangkat peraturan dan norma yang membentuk
perilaku di atas. Hal ini meliputi hukum perusahaan, peraturan perundang-undangan
lainnya, standar dan norma, seperti kode etik profesi, pedoman etika korporasi, dan
lain-lain. Semua ini disebut aspek normatif dari corporate governance dan
sasarannya adalah kepatuhan (comformance).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan adanya perangkat hukum atau pedoman
dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance. Di Indonesia, pemerintah
melalui Keputusan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri No.
Kep/31/M.EKUIN/08/1999, telah membentuk suatu badan yang diberi nama Komite Nasional
Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)). Komite Nasional ini bertugas untuk
merumuskan dan merekomendasikan kebijakan nasional mengenai pengelolaan
perusahaan. Komite Nasional ini telah merumuskan suatu Kerangka Kerja Good Corporate
Governance atau Pedoman Good Corporate Governance.
Pedoman Good Corporate Governance yang dikeluarkan KNKCG telah beberapa kali
disempurnakan, yakni pada tahun 2001 dan 2006. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu
sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang tidak sama, maka pada awal
tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia.
Untuk industri perbankan Indonesia saat ini terdapat tiga dokumen yang dapat dijadikan
acuan penerapan GCG pada bank umum. Sesuai dengan tahun terbitnya, ketiga dokumen
tersebut adalah:
1. “Enhanching Corporate Governance for Banking Organization” yang diterbitkan
pertama kali tahun 1999 oleh Basel Committee on Banking Supervisoion, Bank for
International Settlement, dan direvisi pada bulan Februari 2006;
2. “Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia” yang diterbitkan oleh
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) pada bulan Januari
2004;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang perubahan PBI No.
8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum,
yang dikeluarkan pada tanggal 30 Januari dan 5 Oktober 2006.
Pedoman dari Basel Committee bersifat imperatif secara moral, karena anggota Bank for
International Settlement (BIS) adalah bank-bank sentral dari berbagai negara, termasuk
Bank Indonesia. Pedoman dari KNKCG bersifat sukarela dan tidak mempunyai sifat
mengikat maupun imperative bagi bank umum serta berfungsi sebagai acuan saja.
Sedangkan pedoman penerapan GCG yang diterbitkan Bank Indonesia selaku otoritas
pengawas bank di Indonesia mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia tersebut maka Bank Umum wajib
melaksanakan GCG. Apabila tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi. Namun, sekiranya
pedoman tersebut bukan dianggap sebagai tempelan saja, bahwa perbankan masih
memandang GCG sebatas beban yang merepotkan alias regulation as barrier, sama sekali
tidak menyambut GCG sebagai sebuah keniscayaan. Padahal GCG bukan sekedar proses
dan prosedur control ataupun peraturan ‘mati’ an sich. Lebih dari semua itu pelaksanaan
GCG sejati adalah merupakan sebuah produk budaya perusahaan.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penyelarasan dari prinsip-prinsip yang
dituangkan dalam pedoman-pedoman GCG di atas dengan kebijakan manajemen
(management policy) dan pedoman operasional (standard operating procedures) lain. Selain
itu, perusahaan dapat membuat Code of Corporate and Business Conduct sebagai
pedoman bagi seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas
sehari-. Wujudnya berupa kodifikasi kebijakan perusahaan, peraturan pegawai, dan
kesepakatan yang telah dibuat bersama antara perusahaan dengan pegawai yang harus
dijadikan pedoman sewaktu menjalankan aktivitas perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip
GCG.
Terdapat tiga kelompok pelaku kegiatan dalam pelaksanaan GCG pada bank umum.
Kelompok pertama terdiri dari organ perseroan dan organ pendukung, atau secara
sederhana disebut boards. Kelompok ini terdiri dari RUPS, Direksi, Komisaris, Komite Audit,
Komite Nominasi dan Renumerasi, Komite Pemantau Risiko, komite lainnya dari komisaris,
bila ada dan Satuan Kerja Audit Intern atau Satuan Pengawas Intern. Sedangkan kelompok
kedua merupakan seluruh jajaran karyawan atau disebut sebagai enterprise-wide, yang
menjadi sarana Direksi untuk melaksanakan tugas pengelolaan perusahaan. Kelompok
ketiga adalah pihak luar atau stakeholders, yaitu regulator, nasabah, dan lain sebagainya
yang berinteraksi dengan baik.
Ketiga kelompok pelaku di atas terlibat dalam berbagai aktivitas pelaksanaan GCG untuk
memastikan:
1. Kepatuhan (Compliance) terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap kebijakan corporate governance atau kebijakan perusahaan harus mengacu
dan tunduk pada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku (regulatory
driven).
2. Kesesuaian (Comformance) antara berbagai kebijakan corporate governance
termasuk pedoman etika usaha dan etika kerja dengan kebijakan manajemen dan
berbagai prosedur kerja yang diberlakukan dalam rangka menggerakkan proses
bisnis perusahaan. Dalam proses ini, terjadi internalisasi prinsip-prinsip GCG dan
nilai-nilai etika kedalam proses bisnis maupun sikap kerja sehari-hari yang pada
gilirannya akan muncul suatu budaya GCG dalam perusahaan (ethics driven).
3. Pencapaian kinerja (Performance), baik itu kinerja perusahaan, unit bisnis,
departemen, seksi dan seluruh jajaran baik secara kolektif maupun perorangan mulai
dari level Komisaris, Direksi, sampai kepada karyawan level paling terendah (market
driven).
Kekhususan Good Corporate Governance pada Bank
Secara sepintas nampaknya penerapan GCG di bank umum tidak berbeda
dengan perusahaan lainnya, akan tetapi tidaklah demikian halnya. Good Corporate
Governance pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki keunikan bila
dibandingkan governace pada lembaga keuangan non bank. Dalam banyak perilaku
manajer dan pemilik bank merupakan faktor utama yang memerlukan perhatian dalam
penerapan GCG. Dalam banyak hal konsep teori keagenan (agency theory) yang sering
digunakan dalam penerapan GCG tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam industri
perbankan.
Pada dasarnya mempunyai dua ciri khas yang tidak terdapat pada jenis industri
lainnya yaitu:
1. Informasi Asimetri dalam Industri Perbankan
Informasi yang asimetri pada industri perbankan mempunyai dimensi dan
kompleksitas yang lebih tinggi dari industri lainnya. Asimetri ini terjadi diantara
deposan, manajer bank, pengurus bank, debitor, pemilik/pemegang saham, bank
dan regulator. Semakin besar informasi asimetri antara pihak luar bank dan pihak
dalam bank, maka akan semakin sulit bagi pihak luar untuk memonitor kinerja
governance bank. Hal ini menjadi semakin sulit karena deposan dan debitor yang
sangat banyak jumlahnya dan tersebar (diffuse). Bila jumlah pemegang saham juga
banyak dan tersebar, maka kompleksitasnya akan semakin bertambah. Bila terdapat
pemegang saham pengendali yang dominan, pengendalian manajemen akan lebih
mudah, akan tetapi juga terdapat bahaya adanya misconduct, fraud atau
penyalahgunaan bank dan dana masyarakat untuk kepentingan pribadi atau
kelompok usahanya. Informasi keuangan yang asimetri ini adalah sumber risiko yang
tinggi, baik risiko kredit, risiko operasional maupun risiko hukum serta menjadi salah
satu sumber utama terjadinya kejahatan perbankan.
2. Peran Regulasi dalam Corporate Governance Perbankan
Peran regulator dalam industri perbankan adalah melakukan kebijakan pengaturan
dan pengawasan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi nasional yang berkelanjutan
melalui sistem kelembagaan perbankan yang lebih kuat, efisien dan bermanfaat.
Aturan corporate governance dalam industri umumnya bersifat sukarela (voluntary)
dan tidak mencampuri urusan proses governance perusahaan tersebut. Dalam
industri perbankan regulasi yang ada mempengaruhi proses governance bank
secara langsung dan merupakan hal yang harus dipatuhi, karena dinyatakan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap regulasi tersebut
merupakan pelanggaran kepatuhan dan mempunyai ancaman sanksi hukum.
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena memiliki karakteristik yang
berbeda dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non keuangan.
Keunikan perbankan terutama dilihat dari neraca yaitu aset perbankan rata-rata adalah
kredit yang sebagian besar bersifat jangka panjang, sedangkan sisi liabilities adalah
tabungan dan deposito yang memiliki sifat jangka pendek. Pengelolaan yang tidak hati-
hati akan menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan pasiva. Terjadinya
mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank. Penyaluran kredit kepada
pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu meminimkan risiko dan sebaliknya
akan bersifat negatif jika justru menambah risiko gagal bayar akibat terjadinya moral
hazard. Bagaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan kepentingan
antara pemilik dan manajemen.
Implementasi Good Corporate Governance
Dalam pelaksanaan GCG di perbankan adalah penting bagi perbankan untuk
melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi bank,
dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan
mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam bank.
Pedoman GCG Perbankan Indonesia menguraikan bahwa pengaturan dan
implementasi GCG memerlukan komitmen dari top management dan seluruh jajaran
organisasi. Pelaksanaannya dimulai dari penetapan kebijakan dasar (strategic policy)
dan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam perusahaan. Bagi perbankan
Indonesia, kepatuhan terhadap kode etik yang diwujudkan dalam satunya kata dan
perbuatan, merupakan faktor penting sebagai landasan penerapan GCG. Adapun
pedoman yang terdapat dalam Pedoman GCG Perbankan Indonesia, adalah sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan GCG dapat dilakukan melalui lima tindakan, yaitu:
a. Penetapan visi, misi dan corporate values
b. Penyusunan corporate governance structure
c. Pembentukan corporate culture
d. Penetapan sarana public disclousures
e. Penyempurnaan berbagai kebijakan bank sehingga memenuhi prinsip GCG
2. Penetapan visi, misi dan corporate values merupakan langkah awal yang harus
dilaksanakan dalam penerapan GCG oleh suatu bank.
3. Corporate governance structure dapat diterapkan secara bertahap dan terdiri dari
sekurang-kurangnya:
a. Kebijakan corporate governance yang selain memuat visi dan misi bank, juga
memuat tekad untuk melaksanakan GCG dan pedoman-pedoman pokok
penerapan prinsip GCG yaitu Transparency, Accountability, Responsibility,
Independency dan Fairness.
b. Code of Conduct yang memuat pedoman perilaku wajar dan dapat dipercaya dari
pimpinan dan karyawan bank.
c. Tata Tertib Kerja Dewan Komisaris dan Tata Tertib Kerja Direksi yang memuat
hak dan kewajiban serta akuntabilitas dari Dewan Komisaris dan Direksi maupun
para anggotanya masing-masing.
d. Organisasi yang di dalamnya tercermin adanya risk management, internal control
dan compliance.
e. Kebijakan risk management, audit dan compliance.
f. Human resourse policy yang jelas dan transparan.
g. Corporate plan yang menggambarkan arah jangka panjang yang jelas.
4. Pembentukan corporate culture untuk memperlancar pencapaian visi dan misi serta
implementasi corporate governance structure. Corporate culture terbentuk melalui
penetapan prinsip dasar (guilding principles), nilai-nilai (values) dan norma-norma
(norms) yang disepakati serta dilaksanakan secara konsisten dengan contoh konkrit
dari pimpinan bank. Corporate culture perlu didiskusikan secara berkesinambungan
dan ditunjang oleh social communication.
5. Pembentukan pola dan sasaran disclousure sangat diperlukan sebagai bagian dari
akuntabilitas bank kepada stakeholders. Sarana disclousure dapat melalui laporan
tahunan (annual report), situs internet (website), review pelaksanaan GCG dan
sarana lainnya.
Ada pula tahapan penerapan GCG pada bank yang dikemukakan oleh Leo J.
Susilo dan Karlen Simarmata (2007:141). Pentahapan tersebut diberi nama GCG (Good
Corporate Governance), GGC (Good Governed Corporate) dan GCC (Good Corporate
Citizen). Secara garis besar tahapan tersebut diilustrasikan pada skema 3.1 berikut ini:
PERSIAPAN PEN
ERAPAN G
CG
GCGGood Corporate Governance
GGCGood Governed Corp. governance.
GCCGood Corp. Citizen
Memenuhi ketentuan dan peraturan (mandatory maupun voluntary) dalam tata kelola perusahaan
Dapat mengendalikan operasi bisnis terutama aspek risiko usaha secara efektif
Menjadi warga industri maupun masyarakat sosial yang etis dan bertanggung jawab
GOOD GOVERNANCE & VALUE CREATION
Bulan ke 1 s.d 9
Bulan ke 6 s.d 18
Setelah bulan ke 12
Skema 2.1
Tahapan Penerapan GCG
Continuous
Improvement
1. Tahap GCG (Good Corporate Governance)
Tujuan dari penerapan GCG pada tahap ini adalah memenuhi semua ketentuan
penerapan GCG yang berlaku (compliance). sesuai dengan tujuan dari tahap ini
maka aktivitas utamanya adalah penyusunan pedoman GCG sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan kelengkapan struktur dan proses yang diminta.
Pedoman GCG yang harus disusun pada tahap ini pada dasarnya terdiri dari:
a. Pedoman Corporate governance yang meliputi:
Pedoman umum GCG untuk perusahaan (GCG Code)
Pedoman GCG untuk Direksi dan Komisaris (Board Manual)
Pedoman etika korporasi (Code of Conduct) termasuk aturan tentang
benturan kepentingan.
b. Piagam untuk komite-komite yang diwajibkan, misalnya:
Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Governance, Nominasi dan
Renumerasi (Audit Charter, Risk Committee Charter, Governance and
Nomination & Renumeration Committee Charter, etc.);
Pedoman untuk komite-komite eksekutif bila ada;
Pedoman untuk Satuan Kerja Auditor Intern/Satuan pengawasan Intern.
c. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penerapan GCG dan prudential
regulation, yang antara lain meliputi:
Kebijakan disclousure and transparency;
Kebijakan Manajemen Risiko;
Kebijakan Sistem Pengendalian Intern;
Kebijakan Pelaksanaan BMPK;
Kebijakan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
Kebijakan Kepatuhan (Compliance Policy).
Setelah pedoman GCG selesai disusun, maka aktivitas berikutnya dalam tahap GCG
adalah melakukan sosialisasi implementasi awal. Sosialisasi dilakukan dengan
metode top down approach, dimulai dari Direksi dan Komisaris. Ini perlu karena
dalam banyak hal pembentukan tone at the top merupakan hal yang penting dalam
pelaksanaan GCG. Khusus terkait dengan penerapan etika korporasi dan penegakan
sistem pengendalian intern bank, maka unsur tone at the top mutlak diperlukan.
Untuk implementasi awal yang menjadi sasaran adalah pelaksanaan GCG pada
tingkat organ perseroan dan organ pendukungnya. Sedangkan untuk prudential
regulating haruslah disusun standar pelaksanaan operasionalnya (standar operating
procedures) yang lebih rinci terlebih dahulu.
Setelah sosialisasi dan implementasi awal dilakukan maka perlu diadakan self
assessment untuk menilai seberapa jauh pelaksanaan awal GCG telah berhasil.
Apakah sudah sesuai rencana, ataukah masih menemui hambatan. Dengan
mengetahui kondisi peta pelaksanaan awal GCG ini maka dapat dilakukan perbaikan
seperlunya untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan GCG. Hasil self assessment
ini juga harus dilaporkan ke Bank Indonesia, sebagaimana dituntut oleh PBI No.
8/14/PBI/2006 jo PBI No. 8/4/PBI/2006.
2. Tahap GGC (Good Governed Corporate)
Tujuan tahap ini adalah pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada semua proses bisnis
dengan didukung oleh tersedianya pedoman perusahaan dari tingkat manajemen
puncak hingga tingkat operasional. Melalui pelaksanaan yang lebih intensif,
diharapkan secara perlahan tetapi pasti terbentuk “Budaya GCG” diseluruh jajaran
perusahaan. Dengan demikian diharapkan “prudential banking” sudah menjadi
second nature bagi seluruh karyawan bank. Tahap ini merupakan tahap terpanjang
dan kritis dari pelaksanaan GCG pada bank.
Secara garis besar aktivitas pada tahap GCG adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kebijakan prudential
regulation yang telah ditetapkan oleh Direksi bank dan diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip GCG;
b. Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kegiatan penunjang
operasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-
prinsip GCG;
c. Sosialisasi dan penerapan buku pedoman peruasahaan yang telah disusun
secara bertahap hingga ke seluruh aspek operasional perusahaan;
d. Melakukan asesmen dan evaluasi berkala untuk meningkatkan efektifitas
penerapan buku pedoman perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG dan
peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara terbatas. Artinya pihak-pihak yang terkait
langsung dengan proses bisnis tersebut wajib untuk memahami buku pedoman
perusahaan tersebut. Oleh karena itu, mereka harus terlibat dengan intens dalam
sosialiasasinya. Untuk pihak lain sosialisasi lebih didasarkan pada need to know
basis saja dan tidak perlu ikut secara intens. Selama proses sosialisasi tersebut,
pedoman etika korporasi dan asas prudential bank harus selalu dijadikan acuan
proses, sehingga dalam pelaksanaan implementasinya nanti budaya GCG dapat
betul-betul secara perlahan menjadi “second nature’.
Evaluasi dan self assessment secara berkala haruslah dilaksanakan sebagai sarana
untuk mengukur kemajuan yang telah dicapai dan juga sekaligus untuk melakukan
perbaikan serta peningkatan pelaksanaan GCG. Selain itu hasil dari evaluasi dan
self assessment ini menjadi bahan untuk dilaporkan ke Bank Indonesia,
sebagaimana diatur dalam PBI No. 8/14/PBI/2006 jo. PBI No. 8/4/PBI/2006.
3. Tahap GCC (Good Corporate Citizen)
Tahapan yang terakhir adalah GCG dimana perusahaan sudah menjadikan prinsip-
prinsip GCG menjadi bagian dari budaya perusahaan. Salah satu ciri kegiatan
penerapan GCG pada tahap ini adalah pelaksanaan Corporate Social Responsibility
(CSR). Melalui kegiatan ini perusahaan menjadi mampu membuat citra perusahaan
menjadi perusahaan yang etis dan sekaligus mempunyai kinerja baik. Selain itu juga
ikut berperan dalam penciptaan lingkungan sosial dan kehidupan masyarakat yang
lebih baik, serta pelestarian lingkungan hidup. Dari aktivitas inilah perusahaan
mendapatkan predikat sebagai Good Corporate Citizen.
Tahapan implementasi GCG yang diungkapkan oleh Wilson Arafat meliputi 5
langkah strategis yang dapat ditempuh untuk meretas dan meniti “The GCG Ways”
sebagai berikut:
Langkah I: Membangun Awareness
Membangun awareness dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan (inhouse
training) agar segenap jajaran dan jenjang organisasi di suatu perusahaan mendapat
pemahaman dan pengetahuan utuh berkenaan dengan segala sesuatu tentang
GCG. Efektivitas implementasi GCG tidak akan dapat tercapai dengan baik jika hal
ini tidak terpenuhi.
Langkah II: Membangun Manual
Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman yang utuh serta – yang terpenting –
sangat menyadari keniscayaan implementasi GCG yang diperoleh dari pelatihan
maka suatu perusahaan dapat melakukan workshop dengan fokus untuk
membangun manual GCG. Manual GCG tersebut minimal telah mengakomodir
semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga otoritas yang mengatur industri
yang bersangkutan. Tersedianya manual GCG bagi suatu perusahaan sangat
diperlukan sebagai pedoman dasar ketika melaksanakan GCG di lapangan bagi
semua tingkatan dan jenjang organisasi.
Langka III: Benchmarking
Untuk lebih meyakinkan bahwa Manual GCG yang telah dibuat suatu perusahaan
telah sesuai dengan best practice maka harus dilakukan proses benchmarking.
Tujuan benchmarking tersebut adalah untuk memahami dan mengevaluasi posisi
dari bisnis yang dilakukan oleh suatu organisasi yang berhubungan dengan best
practice dan untuk mengidentifikasi area-area yang dibutuhkan sehingga dapat
dipahami dengan baik dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi tersebut.
Langka IV: Pengembangan Software
Betapa sulit, rumit dan peliknya manajemen dan person yang menjadi koordinator
implementasi GCG di suatu perusahaan ketika melakukan koordinasi, evaluasi dan
monitoring terhadap pelaksanaan GCG tanpa bantuan sebuah tools, berupa
software. Oleh karena itu, mengembangkan software untuk mendukung efektifitas
implementasi GCG sangat dibutuhkan.
Keempat langkah di atas merupakan cara strategis untuk membangun sistem kontrol
yang dapat ditempuh oleh suatu perusahaan di dalam mengimplementasikan GCG.
Langkah V: Transformasi Budaya Kerja
Dengan membangun sistem kontrol saja belum cukup untuk dapat
mengimplementasikan GCG dengan baik. Oleh karena itu, harus dibumikan budaya
kerja GCG. Singkat kata, harus dilakukan proses transformasi budaya kerja atau
membumikan budaya kerja yang mengadopsi prinsip-prinsip GCG dengan cara
berikut ini:
a. Melakukan paradigm shift dengan melaksanakan sembilan langkah transformasi
budaya kerja perbankan, yang meliputi:
Terapi budaya kerja
Inventaris & kodifikasi nilai budaya kerja
Evaluasi dan analisis
Rumuskan nilai budaya kerja kunci
Tentukan “gap” budaya kerja
Uji sampel representatif
Tanamkan nilai budaya kerja baru
Lakukan pengendalian
b. Membangun dan atau menetapkan Corporate Code of Conduct. Hal ini harus
dilakukan karena kebutuhan implementasi harus membumi dan terukur. Salah
satu caranya adalah melalui penyempurnaan dan implementasi Corporate Code
of Conduct baik bagi board (komisaris dan direksi) maupun pegawai. Tujuan
penyempurnaan dan implementasi Corporate Code of Conduct adalah
membangun komitmen segenap jajaran perusahaan untuk mengaplikasikan
GCG dalam mencapai keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Dengan
ungkapan lain dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan apa yang dipahami
sebagai GCG ke dalam bentuk kongkret, suatu perusahaan perlu merumuskan
dan menerapkan nilai-nilai etika berusaha sesuai dengan prinsip-prinsip GCG
dan budaya perusahaan yang dimilikinya kedalam panduan etia alias Corporate
Code of Conduct.