ilmiah/nomor 8... · web viewdemikian juga para koruptor kelas kakap seperti skandal bank century,...

29
JUDUL Paradigma Baru Kualitas SDM Sebagai Parameter Utama Dalam Rekrutmen Pejabat Publik Melalui Mekanisme Pemilukada Langsung (Suatu Kajian Track Record) Oleh: Noverman Duadji )* ABSTRAK Dalam konteks perilaku organisasi publik, malapetaka besar telah menimpa bangsa ini. Proses rekrutmen aktor penyelenggara birokrasi publik selama ini hanya mengedepankan dan lebih menghargai tampilan luar (topeng), dan belum menggunakan kriteria kualitas manusia yang hakiki, yaitu berupa kinerja atau prestasi tertinggi manusia berupa keterpujian diri. Penyebabnya karena pengembangan kualitas SDM kita berdasarkan pada konsep 3 indikator "topeng" yang menyesatkan yang telah menyebar luas dan membudaya dari dulu dan berlanjut hingga saat ini. Kondisi seperti ini harus segera dihentikan dan diganti dengan indikator "kinerja atau track record", jika kita masih ingin negeri ini tetap bertahan, apalagi jika ingin menjadi bangsa beradab dan bermartabat dalam pergaulan internasional dan mengejar keterpurukan dari negara lain. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh berita penggunaan gelar akademik (pendidikan tinggi) palsu mulai dari S0 sampai dengan S3 bahkan Profesor di kalangan elit politik (politisi), birokrat sipil, pejabat politik, kalangan militer, kepolisian, pemuka agama bahkan sampai pula pada para artis beken di negeri ini dari pusat sampai ke daerah. Pendek kata hampir kebanyakan lapisan dan level kehidupan seakan-akan terasa demam jika tidak mempunyai atau ada embel- embel gelar akademik tanpa mempertimbangkan legalitas, proses dan kualitasnya. Perilaku kriminal (crime action) yang dipertontonkan para penyelenggara negara (di pusat maupun daerah) yang tetap berjaya hingga kini dan mereka menenggelamkan bangsa ini dari

Upload: vantu

Post on 28-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JUDUL

Paradigma Baru Kualitas SDM Sebagai Parameter Utama Dalam Rekrutmen Pejabat Publik Melalui Mekanisme Pemilukada Langsung (Suatu Kajian Track Record)

Oleh: Noverman Duadji )*

ABSTRAK

Dalam konteks perilaku organisasi publik, malapetaka besar telah menimpa bangsa ini. Proses rekrutmen aktor penyelenggara birokrasi publik selama ini hanya mengedepankan dan lebih menghargai tampilan luar (topeng), dan belum menggunakan kriteria kualitas manusia yang hakiki, yaitu berupa kinerja atau prestasi tertinggi manusia berupa keterpujian diri. Penyebabnya karena pengembangan kualitas SDM kita berdasarkan pada konsep 3 indikator "topeng" yang menyesatkan yang telah menyebar luas dan membudaya dari dulu dan berlanjut hingga saat ini. Kondisi seperti ini harus segera dihentikan dan diganti dengan indikator "kinerja atau track record", jika kita masih ingin negeri ini tetap bertahan, apalagi jika ingin menjadi bangsa beradab dan bermartabat dalam pergaulan internasional dan mengejar keterpurukan dari negara lain.

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh berita penggunaan gelar akademik (pendidikan tinggi) palsu mulai dari S0 sampai dengan S3 bahkan Profesor di kalangan elit politik (politisi), birokrat sipil, pejabat politik, kalangan militer, kepolisian, pemuka agama bahkan sampai pula pada para artis beken di negeri ini dari pusat sampai ke daerah. Pendek kata hampir kebanyakan lapisan dan level kehidupan seakan-akan terasa demam jika tidak mempunyai atau ada embel-embel gelar akademik tanpa mempertimbangkan legalitas, proses dan kualitasnya.

Perilaku kriminal (crime action) yang dipertontonkan para penyelenggara negara (di pusat maupun daerah) yang tetap berjaya hingga kini dan mereka menenggelamkan bangsa ini dari keberadaban suatu bangsa. Tentunta hal ini tidak terlepas dari sistim dan proses rekrutmen politik selama ini. Peraturan perundangan yang tidak mendukung terjadinya pemerintahan yang bersih, sudah pasti akan menghasilkan para aktor publik (penyelenggara negara) yang buruk dan kriminal. Misalnya sistim Pemilu sejak pemilu tahun 1999 hingga pemilu tahun 2009 yang lalu, telah menghasilkan wakil rakyat yang tidak bertanggung-jawab atau tidak mempedulikan rakyat (konstituennya), karena mereka lebih mengutamakan dan mengabdi kepada DPP (partainya). Praktek demikian sangat mudah dijumpai pada pelbagai proses politik, baik ketika DPRD mengesahkan APBD, menerima LPJ kepala daerah, memilih Gubernur/Bupati/Walikota maupun ketika DPR mengesahkan UU. Mereka berperilaku seperti ini, karena: 1) pada saat sistem pemilu proporsional tertutup, rakyat tidak memilih orang, tetapi hanya memilih tanda gambar partai; 2) celakanya ketika rakyat sudah memilih orang kejadian ini masih berlanjut, karena UU-nya memang tidak mengatur dan menyatakan secara tegas tentang pertanggung-jawaban DPR atau Kepala Daerah itu kepada rakyat. DPR/DRPD mempertanggung-jawabkan tugas-tugasnya melalui mekanisme internal lembaganya sendiri, sementara Kepala Daerah mempertanggungjawabkan tugasnya (kebijakannya) kepada pemerintah pusat.

Proses rekrutmen akan menjadi lebih demokratis dan terbuka, ketika ada perubahan Undang-Undang baik secara substansi maupun sistimnya kearah yang lebih baik. Sekarang ini proses rekrutmen pejabat publik (pemilihan kepala daerah) sudah dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga akan memperoleh pejabat publik yang lebih berkualitas, aspiratif dan representatif dibanding selama ini yang selalu menimbulkan konflik berkepanjangan setelahnya. Oleh sebab itu persyaratan yang lebih ketat dalam penentuan calon pejabat publik (kepala daerah) sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi sangat strategis dalam proses rekrutmennya.

Dalam kaitannya dengan rekrutmen pejabat publik yang sedang dan akan terus-menerus berlangsung, maka sangat mendesak untuk mengubah paradigma penilaian kualitas SDM calon aktor publik (pasangan kepala daerah) tersebut, dari yang selama ini selalu menggunakan indikator topeng (gelar akademik, jabatan publik dan kekayaan) diganti dengan indikator kinerja atau trade record. Caranya dengan melihat kualitas manusia secara hakiki dan lebih substantif, seperti hasil karya, prestasi di masyarakat, sikap dan perilakunya selama ini. Apalagi dalam sistim perpolitikan saat ini yang telah membuka peluang adanya pemilihan pejabat publik secara langsung oleh rakyat (pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota dll), maka penilaian kualitas calon pejabat publik dengan indikator kinerja akan lebih tepat dibanding paradigma indikator topeng yang selama ini telah dianut oleh masyarakat.

Jika pengubahan paradigma ini dapat berlangsung dan berkembang di masyarakat maka sebagian besar problem sosial (bobroknya pranata kehidupan masyarakat) akan dapat teratasi. Misalnya akan berkurangnya kebiasaan-kebiasaan yang ada seperti: pemalsuan ijazah, menyuap masuk perguruan tinggi, kebiasaan nyontek di sekolahan, membocorkan soal ujian sekolah maupun tes pegawai, nyogok untuk naik jabatan, nyogok hakim agar bebas jeratan hukum, melanggar lalu lintas, kebiasaan suap atau nembak untuk mendapatkan SIM, money politics pada pemilihan pejabat publik dan sejenisnya. Terbukanya peluang akan menghilangkan atau atau paling tidak mampu mengurangi budaya culas akibat berkembangnya indikator kinerja, dan akhir muaranya adalah rakyat akan menjadi tidak silau lagi dengan gemerlapnya harta, jabatan maupun gelar akademik seseorang (karena ketiga indikator tersebut bukan lagi dianggap sebagai ukuran kualitas seseorang). Sebaliknya masyarakat akan menjadi kagum dan menaruh hormat tinggi kepada orang yang berprestasi (apalagi jika prestasinya setara peraih Nobel) dan berperilaku luhur dalam keseharian hidupnya, khususnya dalam domain urusan publik.

Perubahan paradigma ini dapat juga dikatakan sebagai revolusi budaya atau revitalisasi, yang akan lebih strategis jika dimulai dari tingkat warga berupa gelombang besar gerakan rakyat bersama-sama dari seluruh elemen, sehingga aktor rekayasa sosial yang selama ini dimonopoli penguasa, berubah menjadi rakyat sebagai pelaku utamanya (sebagai aktor kuncinya).

TINJAUAN TEORITIK

APAKAH SESUNGGUHNYA GELAR AKADEMIK ITU?

Kualitas Sumber Daya Manusia: Suatu Pemahaman yang salah

Ketika mendengarkan seseorang sedang berbicara di depan umum (suatu majelis, seminar, rapat, diskusi, muktamar, dialog interaktif, arisan, temu wicara dll) di tingkat lokal maupun nasional, istilah SDM selalu terdengar. Anehnya selalu diikuti oleh kata keterangan kualitas dibelakangnya, sehingga akan selalu berbunyi: "... penyebab kegagalan adalah karena kualitas SDM yang rendah". Sebagian orang memang paham dengan makna dan maksud ucapan tersebut tetapi saya yakin sebagian besar tidak mengetahuinya dan sekedar latah ikut-ikutan membicarakannya (agar tidak dianggap ketinggalan informasi). Bahkan setelah kata tersebut dipisahkan (kualitas dan SDM), juga belum memahaminya, meski setiap hari mereka mengucapkannya.

Tidak tahu secara persis kapan lahirnya peryataan "kualitas SDM yang rendah" tersebut, tetapi jika ditelusuri, kemungkinan baru sekitar 15 tahun terakhir, yaitu ketika ada desakan dari sebagian masyarakat bahwa pembangunan yang dilaksanakan kala itu hanya terfokus dalam bentuk pembangunan prasarana fisik (jalan, jembatan, pelabuhan, gedung SD Inpres, Gudang KUD dll), padahal seharusnya seimbang dan lebih mengutamakan akan manusia. Sehingga ketika itu muncul istilah sangat populer di GBHN dan Tap MPR tentang "pembangunan manusia seutuhnya". Hanya sayang tidak pernah ada penjelasan rinci apa itu yang dimaksud dengan manusia seutuhnya; yang penting setiap ada kesempatan, istilah itu haruslah diucapkan dan disampaikan oleh pejabat lokal maupun nasional kepada rakyat.

Dengan sejarah seperti itu kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pernyataan tentang kualitas SDM yang rendah, memang hanya latah dan tidak tahu makna sebenamya. Padahal jika dicermati, pernyataan itu memang tidak salah bahkan sangat tepat untuk menggambarkan kondisi mayoritas bangsa ini secara relatif (yaitu ketika dibandingkan dengan bangsa-bangsa beradab lainnya). Sayang sekali pernyataan tersebut hanya digunakan ketika seorang aparat negara ingin menggambarkan kondisi rakyat, ketika program pembangunan yang dilaksanakan di wilayahnya telah gagal. Maka secara cepat, spontan, tegas dan yakin dia akan mengatakan bahwa penyebab kegagalan adalah kualitas SDM yang rendah; yang mereka maksud dalam hal ini terutama adalah kualitas rakyat (dan bukan kuantitas aparat, padahal seharusnya justru kualitas aparat atau penyeenggara negaralah yang dinilai kualitasnya, ketika program pembangunan menemui kegagalan karena merekalah penanggungjawab dan pelaksananya).

Indikator Topeng

Selama ini yang dimaksud kualitas SDM adalah nilai atau mutu seseorang yang diukur dengan menggunakan 3 indikator topeng yang tampak dari luar, yaitu:

a) Tingkat intelektual dengan parameter pendidikan formal, yang ditunjukan dengan kepemilikan gelar akademik dan profesi, seperti profesor, doktor, sarjana, dokter spesialis, pengacara dll;

b) Tingkat perekonomian dengan parameter kepemilikan harta, yang ditandai dengan sikap hidup konsumtif, mempunyai rumah besar mewah, memiliki mobil bermerek terkenal, deposito di beberapa bank, selalu membawa kartu kredit, mempunyai perusahaan besar dan perabotan rumah tangga yang modern lainnya;

c) Jabatan yang dimiliki dengan parameter jabatan publik yang pernah dipegang, misalnya sebagai pejabat pusat, propinsi, kepala dinas, kepala kanwil, kepala daerah, anggota DPRD, hakim, jaksa dll.

Oleh sebab itu tidak mengherankan jika seseorang yang berprofesi sebagai nelayan, petani, pedagang, sopir, perawat, guru SD, tukang ojek, penjaga lingkungan, montir mobil dsb, tetap dianggap sebagai kelompok masyarakat dengan predikat orang-orang yang mempunyai kualitas SDM rendah, hanya karena tidak memiliki kriteria yang digunakan dalam indikator "topeng" itu. Akibatnya karena terkucilkan dalam pergaulan elit publik, maka mereka menjadi minder dalam interaksinya. Penilaian ngawur itu lahir gara-gara hanya ke-3 indikator topeng tersebut yang digunakan untuk mengukur kualitas seseorang. Padahal ketiga indikator tersebut sangat menyesatkan, karena dalam suasana yang tidak fair sekarang ini dapat saja semua yang dikemukakan diatas diperoleh seseorang dengan memanipulasi secara negatif sebagaimana penjelasan berikut:

a) Jabatan tinggi, semua orang tahu, dapat diperoleh dengan cara kekerasan, membohongi rakyat, main curang, menipu, KKN atau menyuap;

b) Gelar akademik juga sudah banyak dijual, marak iklannya di mass media bahkan ada yang bisa ditukar dengan melakukan kegiatan asusila.

c) Demikian juga uang yang banyak, dapat diperoleh dengan cara-cara haram seperti: korupsi maha besar (megakorupsi), menipu, membuat uang palsu, mencuci uang hasil rampokan, berdagang narkoba, menggelapkan pajak, menjadi broker pelacur, ngemplang utang di bank, membeking penyelundup kayu dan tindak kriminal lainnya.

Jika seseorang dengan cara-cara seperti itu untuk mendapatkan ke-3 lambang "kualitas SDM" tsb, apakah adil, benar, bermartabat dan beradab, jika yang bersangkutan tetap bisa dikategorikan sebagai manusia dengan kualitas SDM yang tinggi?. Demikian juga jika seorang pejabat tinggi negara atau anggota DPR, kebetulan sarjana atau Profesor Dr, kaya raya, sudah haji, terkenal dimana-mana tetapi dia koruptor kakap dan dengan kejam menindas rakyat; apakah dia tetap dianggap lebih berkualitas dibanding dengan seorang petani, nelayan, ibu rumah tangga, pedagang, penjaga lingkungan, baby sitter, guru SD, sopir bus kota, bidan desa, tukang ojek, tukang sayur, tukang tambal ban dsb (hanya karena berpendidikan rendah dan menengah, padahal mereka ini telah menjalankan profesinya dengan sungguh-sungguh, jujur dan tidak merugikan bangsa, bahkan telah bermanfaat langsung bagi masyarakat)?

Oleh sebab itu sangatlah menyesatkan dan malapetaka besar akan berkelanjutan, jika ke 3 indikator topeng tersebut tetap dipertahankan oleh berbagai pihak terkait hingga kini, untuk mengukur kualitas SDM rakyat atau aparat negara. Kami yakin kesalahan penggunaan 3 indikator itulah yang menjadi "biang kerok" atau akar masalah bangsa, sehingga telah mengantarkan negeri ini mendapat gelar sebagai negara terkorup (perampok uang rakyat terbesar) di dunia dan paling bawah tingkat kesejahteraan rakyatnya. Kesalahan menggunakan 3 indikator "topeng" itu juga yang telah menyebabkan bangsa ini selalu terpuruk di ajang adu prestasi SDM yang sifatnya sportif, seperti Olympiade, Asian Games, kejuaraan atletik dunia, piala dunia sepakbola dll. Keterpurukan ini terjadi, karena iklim yang dikembangkan dan dijunjung tinggi selama ini adalah adu keculasan, kelicikan, adu kebiadaban atau adu kepandaian melakukan KKN dan bukan adu prestasi, sebagaimana yang berlaku pada suatu bangsa beradab.

Kualitas Sumber Daya Manusia: Pemahaman yang benar

Bercermin dari contoh buruk seperti itu, akan sangat membantu kita untuk lebih cermat dalam mengidentifikasi indikator "kinerja" yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas SDM (suatu bangsa) yang hakiki. Misalnya dengan mengurai kualitas seseorang ditinjau dari prestasi kerjanya selama ini, dimanapun dia beraktivitas. Oleh sebab itu jika kita mencoba meneliti sifat, sikap dan perilaku atau "kualitas" orang-orang baik (bijak) secara lebih mendalam, maka akan diperoleh beberapa kriteria yang lebih tepat. Kriteria tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai indikator kinerja dalam rangka mengukur kualitas SDM (yang sangat jauh berbeda dengan 3 indikator "topeng" sebelumnya).

Indikator Kinerja (track record)

Berikut adalah kriteria-kriteria yang merupakan cerminan kualitas seseorang, calon pemimpin atau para pemimpin. Apabila telah memenuhi semua (7 kriteria), barulah dapat dikatakan sebagai manusia terpuji atau seseorang dengan kualitas SDM tinggi. Berturut-turut seseorang akan dapat dikategorikan telah mempunyai kualitas SDM di tingkatan mana (rendah, sedang atau tinggi) sesuai dengan seberapa banyak dia telah memenuhi kriteria dan 7 kriteria yang terdapat dalam indikator kinerja.

1. Memiliki Rasa Malu

Paling tidak sudah selama dua dekade, rasa malu bangsa ini (yang diwakili oleh aparatur birokrasi publik, pejabat pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam rangka memberikan pelayanan publik) telah hilang dari bumi Nusantara. Gambaran seperti ini sekarang sudah menjadi menu harian masyarakat karena pejabat publik sudah tidak punya rasa malu sama sekali. Bahkan sepertinya rasa malu harus dibuang jauh-jauh, jika ingin menjadi pejabat publik. Kita bisa saksikan betapa tidak malunya, ketika seorang pejabat tinggi Negara sudah jelas-jelas salah di tingkat pengadilan, tapi tetap saja berkuasa dan bertahan untuk menjabat dan dengan dinginnya menyatakan bahwa ia tidak bersalah. Bahkan yang diduga keras melakukan kejahatan HAM (sedang dalam peradilan) juga tetap menjabat dan masih mendapat dukungan luas (bahkan dari presiden dan masyarakat). Padahal budaya malu di negara-negara beradab masih menjadi pegangan masyarakatnya. Ketika di sana seorang pejabat publik baru terkena isu negatif saja, maka secara ksatria (sportif) dia mengundurkan diri (apalagi kalau sudah diadili dan diputuskan oleh pengadilan).

Yang mengherankan, sebagian besar pejabat publik yang sudah tidak punya malu tersebut, mengaku beragama dan memakai gelar-gelar keagamaan di depan namanya. Mereka sama sekali tidak mengetahui dan tidak mau tahu bahwa variabel yang digunakan untuk menilai dosa seseorang dalam agama adalah malu; sebagaimana definisi dosa adalah: "perbuatan yang dilakukan seseorang yang jika orang lain mengetahuinya, maka dia akan malu", Suatu definisi yang sangat sederhana dan aplikatif, karena dengan itu menjadi sangat mudah untuk mengetahui apakah perbuatan kita itu termasuk dosa atau tidak. Jika kita menjadi malu ketika perbuatan kita diketahui orang lain, berarti dosa dan sebaliknya.

Tetapi masalahnya pada saat ini adalah orang sudah tidak punya rasa malu lagi; dan justru sebaliknya orang sudah tidak peduli dengan malu, bahkan bangga ketika berbuat dosa, seperti: melakukan korupsi, merampok, menjual bayi, berdagang wanita (berkedok menolong mencarikan pekerjaan), memalak, menipu, berzina rame-rame, menyiksa atau menteror lawan dengan menyewa preman, merampas hak orang lain, menginjak-injak HAM orang lain, berdagang hukum, menjadi calo proyek, saksi palsu dsb.

2. Tidak melakukan 5M

Istilah ini berawal dari ungkapan Jawa tentang larangan bagi manusia untuk tidak melakukan lima hal (emoh limo atau ogah lima), jika ingin damai dan bahagia hidupnya didunia dan juga akhirat. Ke-lima M tersebut adalah:

(a) Maling atau mencuri, mengambil barang atau uang yang bukan haknya tanpa seizin atau mendapat ridho dari yang punya;

(b) Minum, yaitu kebiasaan mabuk-mabukan dengan minum-minuman keras, sehingga menyebabkan orang hilang akal dan tidak produktif;

(c) Main, yaitu berjudi dalam segala bentuknya: undian, ketangkasan, main valas, main kartu dll. yang berdampak sangat negatif bagi kehidupan seseorang, keluarga dan masyarakat (menjadi pemalas, panjang angan-angan dan juga membuatnya kecanduan);

(d) Macat, yaitu sebagai pengguna dan pengedar narkoba: ganja, candu, ekstasi, sabu-sabu, heroin dan sejenisnya,karena selain merusak kesehatan juga efeknya membuat masalah dan kerugian bagi pihak lain;

(e) Macon, yaitu melacur (baik sebagai penyedia maupun konsumen) bagi laki-laki maupun perempuan, dalam segala bentuk dan kemasannya.

Dalam kenyataannya kelima M tersebut bagaikan satu paket sebagai satu kesatuan unsur atau satu elemen dalam satu ikatan, yang sulit dipisahkan. Jadi jika melakukan M yang satu, maka M yang lain akan terseret untuk dilakukannya juga, sehingga sulit bagi seseorang untuk menghindari hanya ingin melakukan 1M saja. Kenyataan yang dijumpai, bagaimana seorang penjahat yang selalu pergi ketempat maksiat setelah berhasil melakukan perampokan, kemudian mabuk-mabukan dan main judi dan seterusnya di sana. Ini karena biasanya di kompleks maksiat, kegiatan kelima M tersebut berkumpul (sebagai tempat bertemunya para pelaku 5 M). Demikian kuatnya ikatan kelima M itu, sehingga istilah limo M, sudah merupakan kata majemuk yang tidak pernah dipisah-pisah lagi pengucapannya. Limo M yang merupakan ajaran agung Wali Songo tersebut masih populer pada sebagian keluarga sebagai pesan orang tua kepada anak-anaknya.

Sayang sekali kini, di negeri yang penduduknya tampak begitu religius (tempat ibadah semua agama penuh sesak pada hari-hari besar), ternyata larangan 5M tersebut rasanya sudah tidak belaku lagi dan bernasif malang sebagaimana nasib rasa malu. Jangankan untuk tidak melakukannya, pada tingkat pemahamannya saja sudah sangat langka orang yang mau peduli. Sebab sebagaimana juga rasa malu, untuk melakukan 5M juga sudah cenderung menjadi suatu kebanggaan atau prestasi dan bukannya aib. Sulit mencari tempat diseluruh pelosok negeri ini yang terbebas dari praktek 5 M pada saat ini. Padahal sebenarnya kini semuanya telah dikukuhkan menjadi larangan yang bersifat formal kenegaraan (dengan undang-undang dan hukum positif).

Maling atau pencurian bisa dikenai pasal 362; main (berjudi) dengan pasal 303; madat atau minum minuman keras dan sejenisnya bisa dikenai pasal 492; dan untuk madon atau melacur bisa dikenai pasal tentang kejahatan kesusilaan yaitu pasal 284 KUHP. Sudah banyak pelanggar 5M yang ditangkap dan diadili, namun tidak menurunkan jumlah "penggemar dan pecandu" 5M, sebaliknya justru trendnya meningkat. Kita baru-baru ini bisa melihat kejadian beredarnya video asusila ariel-cut tari-luna maya; dan para pemakai dan pengedar narkoba justru meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu, karena yang tertangkap juga mudah lepas; karena "sulit" terbukti di pengadilan atau bahkan baru pada tingkat penyidikan saja sudah bebas. Demikian juga para koruptor kelas kakap seperti skandal bank century, kasus mafia pajak, mafia PT Salmah Arowana Lestari dan rekening gendut para pati polri, ditanggung pasti bebas karena selain mampu membayar mahal para pengacara jahat dan culas, juga mampu membayar para jaksa dan hakim kriminal. Para WTS yang kena razia Tramtib juga tidak akan pemah jera karena hanya dikenai hukuman yang begitu ringan dengan menggolongkannya sebagai Tipiring (tindak pidana ringan), yaitu dikenai pasal 532 KUHP dengan hukuman kurungan paling lama 3 hari atau denda uang paling banyak Rp 15 (dan bukan dengan pasal 284 dengan ancaman penjara sembilan bulan atau pasal 281 dengan ancaman penjara 2 tahun); maka jumlah WTS juga meningkat pesat apalagi ketika krisis lapangan pekerjaan layak seperti sekarang ini.

Ironisnya dalam kondisi kemiskinan rakyat seperti sekarang, menurut berita di berbagai media massa cetak di ibukota, Indonesia justru dibanjiri WTS impor dari etnis Cina dan Bule dengan tarif jutaan rupiah per jam. Selain itu selama ini pemerintah dan masyarakat juga telah bersikap diskriminatif; karena wanita pelacur diberi predikat WTS (bahkan sampah masyarakat), tetapi sebaliknya para pelanggan (konsumen) pria bebas merdeka yang tetap sebagai manusia suci dan tidak diberi predikat apapun (PTS misalnya) serta bebas dari jeratan hukum sebagaimana WTS. Padahal apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen sama-sama telah melacur, dan telah malanggar hukum positif. Tentu kalau disimak lebih dalam, sesungguhnya inilah bias gender terbesar dan utama yang seharusnya segera disadari dan diperjuangkan dengan keras dan sungguh-sungguh (jihad) oleh para pembela korban diskriminasi gender.

Selain itu marak dan pesatnya kegiatan melacur dan pelacuran di negeri ini berkat andil "budaya" kaum penjajah (kapitalis-liberal) yang juga telah berkembang pesat antara lain berupa "budaya" yang melegitimasi bahwa mereka akan merasa puas, bangga dan tetap terhormat di masyarakat. Dengan adanya paham ini maka merasuki juga sebagian besar masyarakat kita dengan membuat pernyataan jika melacur saja dilegalkan, buat apa harus mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak ada kecocokan. Artinya perceraian merupakan perbuatan yang tidak lagi dianggap salah atau berdosa terhadap isteri, suami dan keluarga (anak-anak), tetapi telah menjadi hal yang wajar saja. Budaya permisif terhadap "jajan" yang telah dikembangkan oleh penjajah (dan para pengagumnya) yang kini telah mendominasi perilaku publik inilah, yang sebenarnya merupakan akar masalah telah berkembang pesatnya kehidupan pelacuran (dalam segala bentuk). Itulah sebabnya cara menanggulanginya, jika ingin tuntas juga harus melalui perjuangan dan pelurusan "budaya" yang salah tersebut; dan bukan dengan cara operasi garukan tanpa arah yang selama ini dilakukan oleh Petugas Tramtib.

Meskipun sudah diperkuat dengan menetapkannya sebagai hukum positif, tetapi larangan untuk tidak melakukan 5 M tidak akan dapat dihentikan (bahkan ada kecenderungan makin meningkat kualitas maupun kuantitasnya). Ini disebabkan hanya oleh satu faktor saja (sekali lagi hanya satu faktor dan tidak oleh banyak faktor), yaitu karena selama ini penegak hukum yang juga sekaligus merangkap sebagai pelanggar hukum. Oleh sebab itu selama penegak hukum masih merangkap "jabatan" sebagai pelanggar hukum, maka jangan sekali-kali berharap tentang peluang adanya kepastian hukum dan tegaknya keadilan di negeri ini. Karena kondisi perangkapan "jabatan" itu telah melahirkan hukum mustahil; yaitu berupa pasal baru yang berbunyi: "bahwa mustahil hukumakan bisa ditegakkan disuatu negeri, jika penegak hukumnya masih merangkap "jabatan" sebagai pelanggar hukum". Maka satu-satunya cara agar kepastian hukum bisa ditegakkan di negeri ini adalah dilarangnya perangkapan jabatan antara penegak hukum dan pelanggar hukum. Hanya itu saja, tidak ada cara lain. Namun celakanya, mengharapkan tidak terjadinya perangkapan jabatan antara penegak hukum dan pelanggar hukum, jangan-jangan saat ini juga menjadi sesuatu yang mustahil.

3. Amanah (jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya)

Meskipun saat ini kejujuran sudah dianggap sesuatu yang sangat langka, bahkan aneh jika dilakukan seseorang, tetapi tetap saja ia dianggap sebagai tolok ukur tingkat kualitas, keberadaban atau bahkan kemuliaan seseorang. Itulah sebabnya akan tetap menimbulkan decak kagum masyarakat, ketika mendengar cerita tentang kondisi pejabat tinggi yang hidupnya tetap sederhana, karena selama ini dia hanya mengandalkan gaji, padahal peluang untuk kaya (dengan KKN) terbuka lebar. Kedengarannya memang aneh, pejabat dengan kehidupan sederhana saja kok dikagumi. Tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Kemelaratan dalam hal ini tentu sangat berbeda dengan orang melarat kebanyakan, yang memang kecil peluangnya (lewat cara-cara yang jujur maupun KKN) untuk bisa menjadi kaya.

Jika dicermati sebenarnya kejujuran merupakan modal seseorang dalam rangka mendapatkan pekerjaan atau berbagai posisi secara ideal dalam masyarakat. Karena orang yang dalam kehidupan sehari-harinya selalu berlaku jujur, biasanya dia akan diingat orang sehingga akan mendapat kepercayaan dari orang sekitarnya. Oleh sebab itu dalam masyarakat yang masih normal (masih menjunjung tinggi kebenaran dan idealisme peradaban), orang akan memanfaatkan kejujuran (bertindak jujur dalam kesehariannya) sebagai alat menuju kesuksesan. Orang berlaku jujur karena ada motif seperti itu tidak apa-apa, karena meski awalnya belum ikhlas, nanti kalau sudah terbiasa akan ikhlas juga akhirnya. Kalau sejak awal semua dituntut untuk ikhlas pasti sulit, karena keihlasan (maupun kejujuran) juga perlu diperjuangkan, dilatih terus menerus atau diupayakan dengan keras, dan tidak bisa datang begitu saja. Memang begitu sulitnya orang berlaku jujur, karena contoh panutannya termasuk orang yang sukses dalam karier karena kejujurannya sulit ditemukan di Indonesia ini. Bahkan sebaliknya banyak sekali contoh nyata orang yang tidak jujur (tukang korupsi), kariernya naik terus dan tetap dihormati (tidakdi cemooh) masyarakat, sehingga muncul pertanyaan bagi mereka, mengapa harus jujur?. Karena berdasar pengalamannya, orang jujur akan hancur dan hidupnya tidak layak secara materi bahkan bisa-bisa akan memiliki banyak musuh dan tidak mempunyai teman bahkan terkadang dianggap gila.

Bila ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya budaya tidak jujur memang sudah diperoleh masyarakat kita sejak usia dini, yaitu ketika masih sekolah, seperti kebiasaan nyontek, minta uang buku, uang ujian, uang kos, uang jajan kepada orang tua yang telah di mark-up, mengambil makanan di warung tidak bayar, nyontek karya tulis orang lain dll. Jika mereka ingin membeli buku, lebih suka buku bajakan karena harganya murah, demikian juga kaset lagu, vcd, program komputer dan barang-barang lainnya. Bahkan yang paling mengerikan adalah pembajakan sinetron (betul-betul sangat hina mereka itu, karena selama ini seniman dipahami masyarakat sebagai manusia kreatif yang berharga diri tinggi).

Ketika masih sekolah dan belum menjabat atau belum mempunyai peluang untuk melakukan korupsi, maka kualitas atau tingkat kejujuran seseorang tidak tepat untuk dinilai. Oleh sebab itu penilaian yang paling benar terhadap kejujuran seseorang adalah ketika seseorang telah menjabat atau pada kesempatan apapun yang terdapat peluang untuk dapat melakukan korupsi. Jika dia tidak melakukan korupsi, padahal ada kesempatan besar bagi dia untuk melakukannya, barulah dia bisa disebut orang jujur. Dengan demikian orang jujur baru diakui tingkat kejujurannya, jika dia telah "lulus dari ujian" yang menggodanya (tidak melakukan korupsi padahal mempunyai peluang besar untuk melakukannya).

Perlu disadari dan dicatat, dalam praktek-praktek penyelenggaraan organisasi publik selama ini membicarakan dan mengupas tentang kejujuran seseorang seolah-olah tidaklah relevan. Sebab dalam hal ini sudah berkaitan dengan sistim yang dikembangkan dan berlaku dengan asumsi bahwa semua orang berpotensi untuk berbuat curang. Oleh sebab itu yang perlu dituntut adalah perubahan kebijakan yang menjamin konteks dan kontennya teruji kehandalannya (berkualitas), sehingga tidak ada lagi peluang bagi para aparat untuk bisa melakukan korupsi (kecurangan), baik pada tingkat awal (preventif) maupun pada tataran aplikasi kerja organisasi publiknya (aspek represif). Dengan demikian negara, provinsi, kabupaten dan kota tersebut bersih dari korupsi, karena semua aparatur publik yang terseleksi mempunyai dasar akhlak mulia (jujur), dan demikian juga dalam tataran prakteknya sistem dan mekanisme hukum positif benar-benar ditegakkan oleh penegak hukum yang tidak lagi merangkap jabatan sebagai pelanggar hukum. Oleh sebab itu tingkat kejujuran (integritas) seseorang menjadi faktor sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam kaitannya dengan rekrutmen elit birokrasi publik.

4. Bermanfaat bagi lingkungannya

Tingkat kemanfaatan seseorang bagi lingkungannya sangat ditentukan oleh komitmen, sikap hidup, pemahaman, kearifan dan keahlian khusus (keterampilan teknis, termasuk akademis) yang dimilikinya. Sedangkan lingkungan hidup seseorang mencakup lingkungan sosial dan alam biotik dan abiotik tempat hidupnya (atmosfir sosial dan alam semesta). Oleh sebab itu penyayang (ingkungan pasti bermakna lebih luas dibanding dengan sekedar penyayang binatang, penyayang tumbuhan atau penyayang manusia saja. Sebab bisa saja seorang penyayang binatang, tetapi pada kesempatan lain (disadari atau tidak) dia penindas manusia dan bersikap rasis, bersikap konsumtif serta hoby mencemari lingkungan.

Agak abstrak memang rumusan tentang orang yang telah bermanfaat bagi lingkungan itu seperti apa, tetapi setidaknya dapat ditelusuri dengan mengamati perilaku hidupnya sehari-hari. Dalam hal ini tentu secara otomatis pada saat yang sama diasumsikan dia telah mampu mengendalikan diri, sehingga tidak berani bertindak yang merugikan orang lain, bangsa, negara dan lingkungan sekitar.

Dalam tataran aplikatif untuk seleksi elit birokrasi publik, tim bisa menguji calon dengan pertanyaan sbb: "Kegiatan keseharian apa saja yang dilakukan calon baik yang berkenaan dengan aspek sosial maupun alam semesta". Dari pengembangan instrumen pertanyaan, cross check jawaban calon dan kegiatan turun lapang tim melalui observasi langsung, maka akan dapat disimpulkan tinggi-rendahnya kualitas calon (seseorang).

5. Tidak Mengeluh (pandai bersyukur)

Secara sepintas seperti tidak ada hubungan antara mengeluhnya penyelenggara birokrasi publik dengan kegiatan pelayanan publik. Padahal sangat erat kaitannya. Sebab bagaimana dia akan mampu memberikan pelayanan maksimal (yang baik) kepada rakyat, jika untuk mengatasi persoalan sendiri saja tidak mampu (tipe pemimpin yang selalu mengeluh). Padahal pemimpin (pelayan masyarakat) seharusnya justru sebagai tempat mengadu (menerima keluhan) bagi rakyat. Oleh sebab itu syarat pertama bagi pemimpin (penyelenggara organisasi publik) adalah harus memiliki kelebihan dibanding rakyat yang akan dilayani. Sedangkan salah satu indikator penting bahwa dia telah memiliki kemampuan lebih dibanding rakyat kebanyakan adalah dapat dilihat dari sering tidaknya dia mengeluh.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang sering mengeluh kepada kita, entah tentang pekerjaannya, tentang teman akrabnya, tentang kuliahnya, tentang kesehatannya atau tentang keluarganya. Inti mengeluh hanya satu.yaitu merasa tidak puas dengan apa yang dia terima saat ini, dan menginginkan yang lebih dari yang sekarang diterimanya. Mengeluh terjadi karena tidak tercapainya sesuatu yang diharapkan atau terjadinya penyimpangan antara harapan dengan kenyataan. Dengan kata lain orang akan mengeluh karena dia telah kecewa atau kesal.

Kekecewaan seseorang bisa karena perbuatan dia sendiri, tetapi juga bisa karena perbuataan pihak lain. Namun yang jelas dia sedang dalam kondisi yang tidak kuasa mengatasi kekecewaannya itu secara sendirian, sehingga menumpahkan kekesalannya kepada orang lain. Dalam bahasa agama, memang telah disebutkan bahwa pada dasarnya manusia senantiasa "dalam keadaan keluh kesah". Meskipun demikian bukan berarti manusia wajib mengluh dan dibenarkan untuk selalu mengeluh. Sebab orang yang rajin (senang) mengeluh sebenamya merupakan cerminan bahwa dia terkategori orang yang tidak pandai bersyukur. Dia tidak mau berterima kasih atas karunia yang telah diberikan Tuhan atau pihak lain kepadanya. Ini terjadi karena dia tidak mampu mengidentifikasi dirinya atas berbagai kenikmatan atau kelebihan yang diterimanya dibanding orang lain. Akibatnya dia selalu saja merasa kekurangan dan tidak tercapai yang diinginkannya dibanding orang lain, sehingga hatinya tidak pernah tenteram (bahagia) dan sebaliknya selalu gelisah.

Tipologi orang seperti penjelasan diatas dapat disimpulkan termasuk kedalam 2 (dua) kategori sekaligus, yaitu:

a) orang yang tingkat kepercayaan dirinya rendah. Karena orang yang tinggi tingkat kepercayaan dirinya, maka akan berusaha keras untuk mengatasi sendiri berbagai kekecewaan yang dialaminya. Dia akan merasa malu untuk mengeluh atau menyampaikan kegagalan dan kekecewaan hidupnya kepada orang lain kebanyakan, karena khawatir dianggap lemah (tidak mampu) mengatasi sendiri masalah yang dihadapi (dalam hal ini tentu berbeda dengan ketika dia mengeluh atau berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater).

b) orang yang serakah. Orang yang senang mengeluh selalu merasa tidak cukup atas apa yang telah didapatkannya dan selalu menginginkan sesuatu (bisa berupa barang, uang, isteri, suami, anak, kepopuleran, ja-batan, gelar akademik dll) yang dimiliki orang lain. Padahal sikap serakah akan mem-buatseseorang untuk memburu sesuatu yang belum dia miliki (tetapi dimiliki orang lain), sementara sesuatu yang sudah di tangannya justru disia-siakan atau tidak dimanfaatkan secara maksimal.

6. Tidak Emosional (bertindak berdasar cinta kasih dan keikhlasan)

Ketika seseorang sedang menghadapi situasi yang menjengkelkan, menyebalkan, kesal atau bahkan menyinggung harga dirinya, maka pada umumnya orang akan emosional dan bisa melakukan tindakan-tindakan di luar kendalinya. Entah membentak, memukul meja, memukul atau bahkan membunuh orang yang membuatnya jengkel tersebut. Sedangkan bagi mereka yang tidak temperamental, biasanya akan lari, sembunyi, menangis dan akan memendam perasaan jengkel dan kesalnya, yang tanpa disadari akan dapat menumbuhkan rasa dendam.

Meskipun ini kejadian umum dan setiap hari mudah disaksikan entah di pasar, di dalam perjalanan, di rumah, di sekolah, di tempat pekerjaan atau bahkan rana aktivitas organisasi publik, tetapi semua tindakan emosional tersebut tetap saja oleh orang lain (yang sedang tidak emosional) dianggapnya sebagai indikator ketidak-dewasaan seseorang. Sehingga antar orang akan saling menilai hal yang sama, ketika orang lain bertindak demikian. Sebaliknya ketika sedang emosional, dia tidak menyadari kalau pada saat itu dia sedang dinilai juga oleh orang lain sebagaimana yang dilakukannya selama ini. Inilah fenomena saling menilai orang lain tentang tingkat emosionalnya, yang tidak ada henti dan ujung pangkalnya.

Padahal jika diamati lebih jauh itu semua adalah berkaitan dengan perihal ESQ (emotional & spiritual quotion atau kecerdasan emosi dan spiritual) seseorang. Jika orang mampu mengendalikan emosionalnya dengan tepat, dapat dikatakan ESQ-nya tinggi (orang awam menyebut tingkat kedewasaannya tinggi atau orang bijak) dan jika tidak mampu mengendalikanya dapat dikatakan ESQ-nya rendah (orang yang tidak dewasa). Orang ber ESQ tinggi akan lebih demokratis dan disenangi banyak orang, karena dia akan bertindak berdasar cinta kasih dan ketulusan hati. Orang demikian dalam menghadapi situasi yang mengundang kekesalan, kemarahan atau kejengkelan akan bertindak dengan mengedepankan suara hati (suara Illahi) dan keikhlasan, dan pada saat bersamaan mampu menekan desakan emosional. Orang yang ber-ESQ rendah tindakan emosional dikedepankan, sedangkan hasil dan dampaknya baru belakangan dipikirkan, sehingga sering menyesal kemudian.

Dalam keseharian hidup, ESQ seseorang belum tentu berbanding lurus dengan IQ-nya, karena orang yang pintar dan cerdas (IQ-nya tinggi) belum tentu ESQ-nya tinggi, dan sebalik-nya. Terbentuknya ESQ seseorang sangat berhubungan dengan latar belakang masa kecil dan lingkungan hidup seseorang. Jika seseorang lahir dan hidup dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, serta sedikit konflik dan kekerasan (terutama ketika masa kanak-kanak), maka akan tertanamkan nilai-nilai kasih dan kemanusiaan didalam memori atau "hard disk" nya. Kemudian jika "bibit unggul" yang telah diperoleh tersebut dipelihara terus dan "dipupuk" secara tepat jenis dan dosisnya (misalnya dengan memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang berbudi luhur dengan urutan pendidikan yang tepat "otoriter" ketika balita dan demokrasi setelahnya), maka ketika dewasa biasanya akan berpeluang besar menjadi orang yang dianggap "dewasa", bijak atau ber-ESQ tinggi.

7. Tidak melanggar HAM

Sejak ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1943, Majelis Umum PBB telah menetapkan sejumlah deklarasi atau konvensi yang terpusat pada perihal hak asasi manusia. Deklarasi ini terdiri dari Mukadimah dan 30 pasal yang mengatur HAM dan kebebasan dasar, dimana semua laki-laki dan perempuan di mana saja di dunia mempunyai hak atasnya tanpa diskriminasi.

Secara ringkas pasal-pasal tersebut seperti berikut ini. Pasal 1: Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat. Mereka dikarvniai akalbudi dan hatinurani, danharusbenikapterhadapsatusama lain dalam semangatpersaudaraan. Pasal 2 mengatur prinsip dasar dari persamaan dan non-diskriminasi sehubungan dengan pemenuhan HAM dan kebebasan dasar, melarang adanya "pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapatyang berbeda, asal-usul bangsa atau sosial, harta, kelahiran atau status lainnya". Pasal 3: menyatakan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan seseorang. Pasal 4-21: mengatur hak politik dan sipil, termasuk kebebasan dari perbudakan dan perhambaan; kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat; hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun; kebebasan dan penangkapan, penahanan dan pengasingan yang sewenang-wenang; hak mendapat pemeriksaan yang adil oleh pengadilan yang independen; kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal; hak atas suaka; hak atas kewarganegaraan; hak untuk menikah dan berkeluarga; tak untuk memiliki harta benda; kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama; kebebasan berpendapat dan berserikat secara damai; dan hak turut-serta dalam pemerintahan di negaranya dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya. Pasal 22 - 27: mengatur hak atas jaminan iosial; hak untuk bekerja; hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama; hak untuk bertamasya dan beristirahat; rakatas standar kehidupan yang memadai untuk lesehatan dan kehidupan; hak atas pendidikan; hak untuk perpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Pasal 28-30: mengakui bahwa setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional.

Meskipun sudah lama dideklarasikan dan dipraktekkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi gaung penegakan HAM belum terlalu menyentuh substansinya di Indonesia, kendati era sekarang diklaim sebagai era reformasi. Kendati demikian sudah ada sedikit kemajuan, antara lain dengan didirikannya lembaga Komnas HAM, sehingga ketika baru berdiri berbondong-bondonglah warga dari berbagai penjuru dan elemen mendatangi kantor Komnas HAM untuk mengadukan penderitaannya. Tetapi karena tindak lanjut pengaduan adalah pihak peradilan, maka hasilnya masih sangat minimal.

Sementara itu untuk mengetahui seseorang telah melanggar HAM atau tidak, secara formal tentu harus setelah ada keputusan pengadilan. Tetapi bagi masyarakat luas, akan lebih mudah memberikan nilai atau cap kepada seseorang (pejabat publik) apakah dia telah melanggar HAM atau tidak, dengan menggunakan dasar pasal-pasal tersebut (1-30). Karena pada umumnya kegiatan dan perilaku mereka telah diketahui oleh warga sekitarnya (orang-orang di tempat kerjanya). Selanjutnya kegiatan yang perlu untuk itu adalah mendiseminasikan pasal-pasal tersebut kepada masyarakat luas, sehingga dalam rekrutmen elit atau pejabat publik (kepala daerah) yang bersifat langsung melibatkan rakyat, rakyat akan menjadi tahu siapa diantara mereka yang telah melanggar HAM dan yang tidak. Tentu hal ini bersifat subyektif, karena menurut penilaian masyarakat, dan bahkan berdasarkan hasil keputusan pengadilan. Namun demikian jika penilaian subyektif itu dilakukan oleh sekian banyak warga terhadap orang yang sama, apakah itu tidak berarti juga sudah dapat dikatakan obyektif? Karena bukankah kumpulan subyektif adalah sesuatu yang juga disebut obyektif? Jadi parameter ini wajib menjadi pertimbangan dalam rekrutmen elit birokrasi publik, kendati instrumen dan parameter bakunya harus dirumuskan secara jelas dengan legalisasi formal. Dengan kata lain perlu juga direnungkan, sebaiknya HAM bukan hanya berarti Hak Azasi Manusia, tetapi juga berarti Hak Azasi Makhluk, karena ternyata dalam kehidupan tidak hanya mencakup hubungan antar manusia, tetapi juga manusia dengan alam sekitarnya.

PEMBAHASAN: KONDISI SDM SAAT INI

Dari data tentang lembaga publik (apartur birokrasi publik, legislatif, yudikatif dan lembaga publik lainnya), sampai saat ini belum ada satupun yang telah menggunakan indikator "kinerja" atau track record yang sesungguhnya; semua data yang ada masih menggunakan data dengan indikator "topeng", itupun hanya dengan variabel pendidikan formal, jabatan dan khusus untuk penilaian pada tataran staf yang digunakan adalah DP3.

Ini sangat mudah dimaklumi, karena memang yang berlaku sampai saat ini bahkan belum tahu tanda-tanda akan ada perubahannya, indikator topeng tersebut sudah merasuk dalam ke lingkaran organisasi publik di tanah air. Oleh sebab itu sangat sulit mencari data aparat negara (apalagi calon) yang bisa dinilai dengan indikator "kinerja". Kondisi ini sangat mudah diamati dan sangat terasa, terlebih lagi dalam kondisi bangsa saat ini yang tambah hari makin runyam dan terpuruk baik bidang ekonomi, politik, penegakan hukum, pengamalan ajaran agama, ketenagakerjaan, pendidikan, dll kehidupan publik, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas SDM aparat dan penyelenggara negara pada umumnya yang menggunakan parameter atau indikator kinerja masih sangat rendah. Kendatipun demikian, meski secara umum sudah diketahui bahwa kualitas SDM aparatur publik rendah, tetapi secara khusus belum diketahui pada aspek mana saja kekurangan-kekurangan tersebut. Misalnya dengan menilai berdasarkan indikator kinerja, apakah pada umumnya mereka masih mempunyai rasa malu, amanah, tidak melakukan 5 M, bermanfaat bagi lingkungan, tidak melanggar HAM, tidak mengeluh, dan tidak emosional? Atau justru sebaliknya sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, tidak amanah, rajin melakukan 5M, biasa merusak lingkungan (secara langsung maupun tidak langsung lewat kebijakan yang dikeluarkan), rajin mengeluh, hoby bertindak emosional dan telah melanggar HAM?

Apabila penjelasan diatas dikaitkan dengan faktor penyebab terjadinya beberapa kasus kekisruhan yang terjadi dalam pelaksanaan pemilukada akhir-akhir ini, maka tergambar pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1: Persentase penyebab kekisruhan pemilihan kepala daerah Tahun 2008/2010

Persentase Penyebab Kekisruhan Pemilihan Kepala Daerah (dari 201 kasus pemilihan sejak Tahun 2008/2010)

Ijasa Palsu

Perbuatan Asusila

Korupsi

Pidana lain

31%

22%

37%

10%

Sumber: Diolah dari hasil laporan KPU Pusat Tahun 2009

Dari Tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan pemilukada tahun 2008/2010 memunculkan 201 kasus. Beberapa penyebabnya adalah 31% gugatan karena ada indikasi penggunaan ijasah palsu, 22% gugatan karena adanya indikasi perbuatan asusila calon, 37% karena dugaan melakukan tindak pidana korupsi dan sisanya 10% karena melakukan tindak pidana lainnya. Dari hal ini dapat disimpulkan sesungguhnya parameter sebagaimana dijelaskan pada kajian teoritik sangatlah menentukan dan sepatutnya menjadi dasar utama dalam proses penjaringan calon kepala daerah, baik oleh partai politik pengusung maupun oleh lembaga resmi pemerintah seperti KPU/KPUD. Namun sayangnya pada saat seleksi administratif, masing-masing kandidat kepala/wakil kepala daerah selalu lolos dari pantauan partai politik pengusung dan KPU/KPUD. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut hemat penulis ada beberapa hal utama penyebabnya, yaitu: 1) masyarakat termasuk institusi publik kita sudah terlanjut disesatkan dengan menggunakan paradigma topeng (sudah membudaya) untuk menilai kualitas SDM seseorang; 2) belum ada kebijakan (Undang-Undang atau Peraturan pemerintah) yang secara substantif legal formal mengatur dan menentukan tentang pedoman perlunya track record seseorang calon sebagai dasar penentuan seleksi administratif dan evaluasi kinerja pada saat seseorang menjadi aktor penyelenggara organisasi publik; 3) ketiadaan data base kependudukan yang utuh dan memadai, lebih khusus lagi tentang data base tentang track record seseorang; 4) partai pengusung, khususnya elit partai masih selalu mendasarkan pada jumlah setoran (kontribusi materi dan finansial) seseorang kepada partai dan jumlah pengikut, tidak terlalu ambil pusing dengan track record seseorang dan 5) belum adanya lembaga independen (yang dibentuk pemerintah) yang secara khusus diberikan kewenangan untuk menilai track record seseorang.

Untuk perbaikan ke depan, maka sudah sepatutnya (conditio sine quanon) bahwa penilaian kualitas SDM itu, bukan hanya ditujukan kepada calon aktor penyelenggara organisasi publik saja, melainkan juga kepada aparat atau penyelenggara organisasi publik yang sedang menjabat. Karena dengan mengetahui kualitas keperilakuan para penyelenggara organisasi publik saat ini, berarti akan menjadi masukan dalam rangka: 1) membersihkan atau mereorganisasi institusi negara; dan 2) akan ada data SDM yang berkualitas rendah dan tinggi.

Dengan demikian akan dapat diketahui siapa saja yang masih layak duduk sebagai aparat penyelenggara negara, dan sisanya di PHK serta diadili bagi yang diduga berbuat kriminal. Selain itu hasil penilaian tersebut juga akan dapat menjadi bahan masukan dalam pembuatan rencana pengembangan SDM untuk masa yang akan datang dan rekrutmen tenaga baru. Lagi pula dengan adanya data kualitas SDM tentang aparat penyelenggara negara, maka akan mempermudah dalam memperbaiki sistim pengembangan kepegawaian yang kini selalu menjadi bahan perdebatan dan problema penyelenggara aparatur publik di Indonesia.

PENUTUP/KESIMPULAN

Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari paparan tentang kualitas SDM ini antara lain:

a) Pengembangan konsep kualitas SDM salah kaprah dan latah dengan 3 indikator topeng yang telah menyebar luas ini harus segera dihentikan dan segera diganti dengan indikator kinerja, jika kita masih ingin negeri ini tetap bertahan, apalagi jika ingin menjadi bangsa beradab dan bermartabat dalam pergaulan antar bangsa.

b) Kesalahan terbesar yang kita lakukan selama ini adalah karena telah menggunakan perangkat penilaian atas kualitas SDM, yang hanya mengedepankan dan menghargai tampilan luar (topeng) dibandingkan dengan kualitas manusia yang hakiki (subtantif). Akibatnya kita menjadi salah memilih dan menetapkan para aktor organisasi publik ketika proses rekrutmen, sehingga tidak mengherankan jika bangsa Indonesia makin terpuruk dan mulai hilang martabat dan peradaban adi luhungnya.

c) Terbuka peluang untuk memperbaiki kinerja aparatur birokrasi publik, setelah munculnya paradigma kualitas SDM berdasar indikator kinerja. Oleh sebab itu sebelum menentukan langkah strategis dalam rangka perbaikan sistim, kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah dengan kampanye pemasyarakatan (diseminasi) paradigma baru kualitas SDM berdasar indikator kinerja.

d) Selanjutnya melakukan penilaian atas kondisi SDM para aktor organisasi publik (di pusat maupun di daerah) saat ini berdasar indikator kinerja. Untuk itu diperlukan institusi independen yang berafiliasi pada basis rakyat yang akan membuat daftar kualitas (data base) tentang penyelenggaraan organisasi publikpada masing-masing instansi. Lembaga independen ini juga diberikan melakukan pemantauan dan penilaian terhadap rekrutmen kepengurusan anggota partai politik, karena pengurus partai suatu saat akan mengejahwantakan diri sebagai penyelenggara organisasi publik.

e) Data base kualitas warga keseluruhan (berdasar indikator kinerja), disusun mulai dari desa/kelurahan tempat tinggalnya,yaitu dengan menyempumakan data base yang selama ini telah ada (tentang "kelakuan baik") di berbagai polsek/pengadilan negeri di seluruh Indonesia. Data base ini dibuat secara nasional dan menjadi dokumen negara dan dokurnen publik. Sedangkan untuk memilih para calon pemimpin atau calon penyelenggara birokrasi publik, tinggal mensinkronkan catatan lembaga independen dengan polsek/pengadilan negeri tentang data base kualitas SDM tersebut dan masyarakat dapat mengklarifikasi dengan kondisi kesehariannya sebelum menetapkan pilihan. Ini bisa dilakukan dalam rangka rekrutmen elit organisasi publik pada tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan kepemimpinan nasional; demikian juga untuk penjenjangan jabatan karier struktural/fungsional aparatur publik lainnya di instansi masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, M. Joko., (2006). Partisipasi Publik dalam Manajemen Kepegawaian; Peluang dan Masalahnya. Makalah Expert Meeting 3 Penguatan Reformasi Birokrasi melalui Penggalangan Partisipasi Publik Dalam Pengadaan PNS. Jakarta, 12 Januari 2006, yang diselenggarakan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center).

Darwin,Muhadjir, (1996). Pengembangan Aparatur Pemerintah Indonesia, dalam Riza Noor Arfani, Pelembagaan demokrasi di Indoensia. Yogyakarta.PPSK kerjasama dengan Rajawali Pers..

Flippo,Edwin B (1992). Manajemen Personalia. Jakarta: Erlangga.

Gomes, Faustino Cardoso.(1995). Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Andi offset.

Kusmara (2002). Paradigma Baru Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Amara Books.

McKenna,Eugene&Nic beech (1996). The Essence of Human resource management, Alih bahasa Totok (2002.Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Andi offset.

Nur,Arif Alam&Basirun. (2002). Pelayanan Publik Pemerintah Lokal:Hak dasar Warga Negara. Jurnal PSPK, Edisi April-Juni 2002

Nyoman, Luh Dewi& Muh. Abas (2001). Pelayanan Publik: Apa Kata Warga.Jakarta: PSPK

Siagian, Sondang P (1994). Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Sulistiyani, Ambar teguh dan Rosidah (2003). Manajemen Sumberdaya Manusia:Konsep, Dimensi dan Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara

Sulistiyani, Ambar teguh (2004). Memahami Good Governance: Dalam perspektif Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Gaya Media

Thoha,Miftah., (1992). Perspektif Prilaku Birokrasi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

_____________________________________________

)* Penulis adalah Dosen Tetap Universitas Lampung

BIODATA PENULIS

A. IDENTITAS DIRI

Nama Lengkap : NOVERMAN DUADJI, DRS., M.SI

Nomor Induk Pegawai : 19691103 200112 1 002

Tempat, Tangal Lahir: Pagaralam, 03 November 1969

Agama : Islam

Kewarganegaraan: Indonesia

Status Pernikahan : Menikah

Jumlah Anak: 3 orang

Pekerjaan : Dosen Tetap FISIP Universitas Lampung

E-Mail: [email protected]

Alamat: Jl Bahagia Blok L 6 Perum Griya Sejahtera Bandar Lampung

Nomor Handphone : 081379646665/081540999247

Kantor :

Alamat FISIP Universitas Lampung

Jl Prof. Sumantri Brojonegoro 1 Gedung Meneng Bandar Lampung

Telp. 075172590 Fax. 0751-72576

Website : www.unila.ac.id

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

S.1 STIA MALANG 1988-1992

S.2 Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang 1998-2001

S.3 Administrasi Publik Universitas Padjadjaran Bandung 2009-Sekarang

C. MATAKULIAH YANG PERNAH DIASUH

Pengantar Ilmu Administrasi Publik

Teori Administrasi Publik

Implementasi dan Evaluasi

Kebijakan Publik

Adm Program & Proyek Pembangunan

Analisis Kebijakan Publik

Metode Kualitatif Adm. Publik

D. Karya Buku Cetak.

Pengantar Ilmu Administrasi Publik

Metode Penelitian Kualitatif

E. Tulisan yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah.

Absenteisme Birokrat Lokal

Responsivitas Badan Usaha milik Daerah (Studi Perusahaan Daerah Air Minum Way Rilau Kota BAndar lampung) DIBIAYAI DIKS UNILA

Kebijakan Privatisasi BUMN di Indonesia (Analisis Wacana Krisis Versus Upaya Stabilisasi Perekonomian Indonesia Tabun 1998-2004)

Kinerja pelayanan instuisi publik (responsivitas perusahaan daerah air minum way rilau kota bandar lampung

Strategi Optimasi Pelayanan Publik: Reorientasi, Restrukturisasi dan Aliansi

Rekrutmen dan Seleksi Birokrat Lokal di Era Otonomi daerah (Studi Tentang Responsivitas,Partisipasi Publik Dan Transparansi Dalam Pelaksanaan Rekruitmen Dan Seleksi CPNSD Di Provinsi Lampung Tahun 2005 (DIPA PNPB)

REKRUITMEN DAN SELEKSI BIROKRAT PEMERINTAH LOKAL

Evaluasi Pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM

F. Tulisan Dalam Bentuk Artikel di Media Cetak.

Kriteria Pimpinan Daerah : Menyibak Proses Suksesi Gubernur - Wakil Gubernur Lampung (Harian Lampung Post)

Membangun Pemerintah Bersinergi (Harian Lampung Post)

Demikianlah Curriculum Vitae ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bandung, 20 Juli 2010

Hormat saya,

Noverman Duadji