ijma dan kehujahan ijma' 2

35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil- dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits)Ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’. Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW. karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculai dari beberapa orang. Pada zaman sekarang ini peradaban manusia begitu pesat dan banyak hal-hal yang baru dan tidak tersebut 1

Upload: lusiana

Post on 03-Dec-2015

299 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ijma dan kehujahan ijma

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangIjma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-Quran dan Hadits)Ijma merupakan dalil pertama setelah Al-Quran dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara. Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma mereka atas suatu hukum mengenai itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah SAW. karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud keculai dari beberapa orang. Pada zaman sekarang ini peradaban manusia begitu pesat dan banyak hal-hal yang baru dan tidak tersebut dalam kitab Allah dan rosul-Nya yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Maka daari itu perlu pemahaman tentang ijma.Belakangan ini sering kita jumpai permasalahan-permasalahan umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat Islam cenderung kepada perbedaan, jadi dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai ijma dan kehujahannya.

B. Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah dari latarbelakang di atas adalah sebagai berikut:1. Bagaimana pengertian ijma?2. Bagaimana syarat ijma?3. Bagiamana kedudukan ijma?4. Bagaimana macam-macam ijma?5. Bagaimana kehujahan ijma?

C. Tujuan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat dibuat tujuan untuk mengetahui sebagai berikut:1. Pengertian ijma secara etimologi dan terminologi2. Syarat-syarat ijma 3. Kedudukan ijma4. Macam-macam ijma5. Kehujahan ijma

3

20

19

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma Sesudah Al-Quran dan Sunnah, maka ijma menurut pendapat ulama-ulama jumhur menempati tempat ketiga sebagai sumber hukum syariat islam, yaitu permufakatan atau kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan hukum syariat.[footnoteRef:1] [1: Filsafat hukum dalam islam, Sobhi Mahmassan, hlm.162.]

Ulama-ulama fiqh tersebut mendasarkan pendapatnya atas dalil Al-Qur,an maupun sunnah. Berikut adalah dalil-dalil mengenai adanya ijma:

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa:115)

Artinya:Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisa:59)

Artinya:Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia (Q.S. Al-Baqarah:143)

Artinya:Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Q.S. Ali-Imran:103)

Artinya:Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar (Q.S. Ali-Imran:110)

Ijma menurut kebanyakan ulama fiqh ialah permufakatan atau kesatuan pendapat para ulama islam yang mujtahid disepanjang masa atas sesuatu ketentuan hukum.[footnoteRef:2] Adapun Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajmaa yujmiu Ijma'an dengan isim maful mujma yang memiliki dua makna[footnoteRef:3]. [2: Filsafat hukum dalam islam, Sobhi Mahmassani, hlm. 165.] [3: Syarhul-Waraqt, Ibnu Firkan, hlm. 240. al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan, hlm. 154.]

1. Ijma bermakna tekad yang kuat. Oleh karena itu, jika dikatakan "ajmaa fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah pada surat Yunus ayat 71:

Artinya:Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.

2. Ijma dengan arti sepakat.[footnoteRef:4] Ijma dalam arti ini dapat dilihat dalam Al-Quran surat yusuf ayat 15: [4: . Ushul Fiqh jilid 1, Prof. Amir Syarifuddin hlm.132.]

Artinya:Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."Sementara itu secara terminologi ijma adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara.[footnoteRef:5] Definisi yang paling tepat adalah yang dikemukakan oleh al-Syaukani, yakni kesepakatan semua mujtahid dari umat nabi Muhammad sesudah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara[footnoteRef:6] [5: Fiqh Ushul Fiqh, Beni Ahmad, hlm. 167.] [6: Perbandingan ushul fiqh, Asmawi, hlm.. 84.]

Terdapat dua kubu mengenai terjadinya ijma, yaitu kubu penerima (pro) dan kubu penolak (kontra). Bagi kubu penerima, ijma itu memang bisa terjadi bahkan sudah terjadi, sudah menjadi realitas-historis. Kubu penolak berpandangan sebaliknya, ijma tidak mungkin terjadi dan mewujud sebagai relitas-historis. Adapun yang mengatakan tidak terjadi ijma dengan alas an:1. Sulit menentukan siapa yang disebut mujtahid itu2. Dengan tersebarnya para mujtahid di seluruh alam islami tidak mungkin mengumpulkan mereka3. Tidak mungkin seorang mujtahid tidak berubah pendiriannya4. Tidak mungki para mujtahid sepakatB. Syarat-syarat ijmaDari definisi ijma di atas dapat diketahui bahwa ijma itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria dibawah ini 1. Yang Bersepakat adalah Para MujtahidPara ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara. Dalam kitab Jamul Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin digantidegan istilah ulama ijma, sebagaiman menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.Selain pendapat di atas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi.Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma, begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam meneliti hukum-hukum syara.Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi mujtahid. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa dikatakan ijma, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma . akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal itu termasuk imja, karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid.

2. Yang Berkesepakatan adalah Seluruh MujtahidBila sebagia mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma karena ijma itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma, termasuk pula kesempakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagiam besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatn sebagian besar mujahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma. Karena kesepekatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.

3. Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAWPara ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Adapun yang berpendapat bahwa yang dimaksud uma Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukalaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukalaf adalah muslim, berakal, dan telah baligh. Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma. Hal itu menunjukan adanya umat para Nabi lain yang ber-ijma. Adapun ijma umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidk mungkin ber-ijma untuk melakukan suatu kesalahan.

4. Dilakukan Setelah Wafatnya NabiIjma itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat.

5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariatAdapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syara ijma. Sedangkan Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jamul Jawami mengartikan zaman dalam definisi ijma diatas dengan zaman mana saja.[footnoteRef:7] [7: Ilmu Ushul Fiqh, Syafei, hlm. 70.]

C. Kedudukan IjmaJumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Quran dan sunah. Ini berarti ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Quran dan sunah.[footnoteRef:8] Jumhur ulama juga berpandangan, Ijma mempunyai bobot hujjah syariyyah sangat kuat dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama; karena Ijma bersandar pada dalil syari, baik secara eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama berpandangan, Ijma merupakan hujjah syariyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak hanya berlaku untuk Ijma para sahabat saja, tetapi juga Ijma para ulama pada setiap generasi dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari Allah Swt. untuk tidak bersepakat berada di atas kesesatan. [8: Ushul Fiqh, Amir, hlm. 138.]

Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu diperhitungkan keberadaannya karena para ulama Islam telah sepakat untuk menjadikan Ijma sebagai hujjah syari dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`n, Sunnah dan logika.

Pertama : Kedudukan ijma dilandasi sejumlah ayat dalam Al-Qur`an.[footnoteRef:9] [9: Perbandingan Ushul Fiqh, Asmawi, hlm. 86.]

1. Surah An-Nisa (4) : 115 :Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama orang-orang beriman dan menentang Ijma umat Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil paling kuat, bahwa Ijma menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syariyyah, sehingga apapun kesepakatan mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang Ijma, berarti telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas.[footnoteRef:10] [10: Tafsir Ahkamul-Qur`n, Imam al-Qurthubi (5/367), Tafsir Ibnu Katsir (1/842). ]

2. Surah Al-Baqoroh (2) : 143 :Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.Ayat ini mensifati umat Islam dengan wasath, yang berarti adil, ayat ini memandang umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan hujah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi hujah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditunjukkan kepada kita. Ijma berkedudukan sebagai hujah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat mereka itu menjadi hujah terhadap yang lain.[footnoteRef:11] [11: Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 139.]

Kedua : Ijma Menurut Pandangan Sunnah.Landasan Ijma yang berasal dari Sunnah, antara lain ialah:a. Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.[footnoteRef:12] [12: Shahh, diriwayatkan Ibnu Abu 'Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5).]

Imam asy-Syafii rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin".[footnoteRef:13] [13: Ar-Risalah, Imam asy-Syafii, hlm. 475.]

b. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang terpeliharanya umat secara kolektif dari kesalahan dan kesesatan.Hadits-hadits tersebut, meskipun tidak sampai pada derajat mutawatir secara lafazh, namun mutawatir dari sisi makna. Di antaranya adalah sabda beliau Shalalllahu 'alaihi wa sallam :Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.[footnoteRef:14] [14: Sanadnya jayyid, diriwayatkan Imam Ibnu 'Ashim dalam Sunnah-nya (85). Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dari dua jalan, dan salah satu jalurnya para perawinya terpercaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Majma Zawa`id (5/219).]

Imam al-Ghazali berkata: "Banyak riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bermacam redaksi, yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara bersama-sama (kolektif). Seluruh riwayat di atas telah jelas di hadapan para sahabat dan tabiin hingga masa kita sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang menolaknya dari kalangan ahli hadits, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak Ijma. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu` agama".[footnoteRef:15]

c. Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [15: Mustashfa, Abu Hamid al-Ghazali, 1/175.]

Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada di atas kebenaran, tidak mampu menimpakan bahaya orang-orang yang merendahkan hingga datang perkara Allah, mereka dalam keadaan demikian.[footnoteRef:16] [16: Shahh, diriwayatkan Imam Bukhri dalam Shahh-nya (7311), Imam Muslim dalam Shahh-nya (4927), at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2229), dan Ibnu Majah dalam muqadimah Sunan-nya]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dasar paling kuat bahwa Ijma adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan Ijma paling shahh".[footnoteRef:17] [17: Al-Minhaj Syarah Shahh Muslim, Imam Nawawi, 13/69.]

Begitu juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan.[footnoteRef:18] [18: Shahh, diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3950) dan al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul- Mashabih (174). Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2167), al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-Mashabih (174), dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya (391, 392, 393, 394, 395, 396 dan 397) dari Ibnu 'Umar dengan lafazh: Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku atau umat Muhammad di atas kesesatan. Hadits ini dishahhkan Syaikh al-Albni dalam al-Miskt (no. 173) dan terdapat shahid dari hadits Ibnu 'Abbas yang dikeluarkan at-Tirmidzi dan al-Hakim serta yang lainnya dengan sanad yang shahh. Lihat Shahhul Jami', al-Albni (1/378, no. 1848).]

Ketiga : Menurut Dalil Logika.Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus hukum yang muncul tidak ada nash yang qathi, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para ulama berijma terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma mereka tidak menjadi hujjah dalam agama, berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan. Yang demikian itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan demikian itu jelas suatu kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma mereka sebagai hujjah, agar ajaran syariat bertahan selamanya.

D. Macam-macam ijmaMacam-macam ijma bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :1. Ijma sharihYaitu ijma yang dikeluarkan oleh para mujtahid tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik secara lisan/ucapan (hasil ijtihadnya di sebarluaskan melalui fatwa) maupun tulisan atau dalam bentuk pebuatan (mujtahid menjadi hakim memutuskan suatu perkara). Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya. Dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut. ijma macam ini disebut juga sebagai ijma bayani atau ijma qathi. Bila ijma sharih ini berlangsung, maka dilallah (penunjukan ) nya terhadap hukum adalah dalam tingkat qathi dan hukum yang ditetapkannya bersifat qathi (tidak diragukan lagi kebenarannya), Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat , kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukum nya . setelah itu mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut. Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul kejadian ,kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian tersebut , mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama, dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah di fatwakan tersebut.

2. Ijma sukutiAdalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :a. Diamnya para mujtahid itu betul-betul menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan, bila mendapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid , maka tidak dikatakan ijma sukuti , melainkan ijma sharih, begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid , itupun bukan ijma.b. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama , yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya, karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbeda, cepat atau lambat dalam mengeluarkan fatwanya.c. Permasalahan yang di fatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni, adapun tentang permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi , atau yang bersumberkan dalil-dalil qath, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam , hal itu tidak bisa disebut ijma karena diam nya mereka tidak bisa dikatakan menyepakati, melainkan meremehkan pembeli fatwa tersebut karena ilmunya masih dangkal.Menurut ulama hanafiyah, yang dipandang sebagai ijma sebenarnya hanya ijma qauli dan ijma sukuti. Adapun ulama syafiiyah mengatakan bahwa hanya ijma qauli yang di pandang sebagai ijma. [footnoteRef:19] [19: Fiqh ushul fiqih, Ahmad Beni Saebeni dan Januri, hlm. 169-170]

E. Kehujahan ijmaAda beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma , misalnya, benarkah ijma sebagai sumber hukum atau hujjah syariyah? ijma itu merupakan landasan ushul fiqih? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma?Untuk menjawab pertanyaan tersebut para ulama berbeda pendapat . Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang hawa tidak menjadikan ijma itu sebagai hujjah , bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma itu bukan hujjah secara mutlak. Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma sebagai hujjah yang wajib diamalkan . pendapat tersebut bertentangan dengan syiah khawarij dan nizam dari golongan mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma itu hujjah tanpa menanggapi pendapat nizam , khawarij dan syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawaidul Ushul dan Maaqidul Ushul dikatakan bahwa ijma itu hujjah pada setiap masa. Namun , pendapat itu ditentang oleh daud yang mengatakan bahwa ijma itu hanya terjadi pada masa sahabat. Kehujjahan ijma juga berkaitan erat dengan dengan jenis ijma itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti , agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijmaakan ditinjau berdasarkan pembagian ijma itu sendiri:1. Kehujjahan ijma sharihJumhur telah sepakat bahwa ijma sharih itu merupakan hujjah secara qathi , wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qathi yang tidak boleh ditentang. Dan menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi. Ibrahim An-Nidzam , sebagian dari golongan syiah dan khawarij berkata bahwa ijma tidak termasuk hujjah.

a. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhurJumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan ijma . antara lain :Pertama, Firman Allah SWT, dalam surat an-nisa

Artinya : Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mumin , kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia kedalam jahanam , dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. ( Qs An-Nisa : 115 ) Kehujjahan dalil dari ayat diatas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin, disebutkan bahwa mereka akan dimasukan ke dalam neraka jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk, hal itu menunjukan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya,jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Dalil yang digunakan oleh jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam ijma. Bahwa yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut Rasulullah SAW. Penolongnya dan penjaga dari musuh-musuhnya. Bukan legalisasi hukum terhadap kesepakatan ulama mujtahid. Sesuai dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan adalah : sesungguhnya orang yang memusuhi Rasulullah SAW, dan para penentang jalan orang-orang yang beriman yang menolong Rasulnya dan menjaga dari mushnya , mereka akan diberikan oleh Allah mengikuti hawa nafsunya. Dan akan disiksa di akherat dengan dimasukan kedalam neraka jahanam dan ditempatkan pada tempat yang hina.

Kedua, firman Allah SWT , dalam surat Al-Baqoroh : 143

Artinya : dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu ummat ( ummat islam ) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu, kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu( berkiblat) kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang berbalik kebelakang . sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat , kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih, maha penyayang, kepada manusia.Ayat tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi , kehujjahan dari ayat tersebut adalah keadilan mereka (para mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat mereka, Ketiga, firman Allah SWT dalam surat Al-imran ayat 103 yang dikemukakan oleh amidi :

Artinya : dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali ( agama ) Allah dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu , sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara , sedangkan (pada itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.Kehujjahan ayat tersebut bahwa Allah SWT, melarang untuk berpecah belah . sedangkan menentang ijmaadalah salah satu bentuk perpecahan, sehingga jelas sekali bahwa hal itu dilarang. Dengan demikian, ijma itu merupakan hujjah sebagaimana larangan untuk mengingkarinya.

b. Dalil-dalil yang dikeluarkan nidzam dan para pengikutnya. Ibrahim bin Nidzam, penentang adanya ijma, dan para pengikutnya memberikan dalil sebagai berikut :Firman Allah SWT dalam surat an-nisa ayat 59

Artinya : hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatillah Rasul-nya, dan ulil amri diantara kamu.kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rosul (Sunnahnya) , jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudia. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.Sesungguhnya Allah SWT memerintah untuk mengembalikan segala bentuk pertentangan kepada Allah dan Rasul-nya. Yang dimaksud mengembalikan kepada Allah adalah kembali kepada Al-Quran, sedangkan yang dimaksud mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan kepada diri Rasulullah sewaktu beliau masih hidup dan kepada sunnah kalau beliau sudah wafat. Allah SWT tidak memerintahkan untuk mengembalikan kepada ijma mujtahidin. Hal itu menunjukan bahwa ijma mereka tidak berarti apa-apa dan tidak bisa disebut hujjah.Keterangan di atas dijawab jumhur , bahwa ayat tersebut adalah hujjah bagi kamu semua (penentang ijma) bukanlah hujjah untuk kita. Ayat di atas telah mewajibkan untuk mengembalikan berbagai ikhtilaf ( pertentangan ) kepada Allah dan sunah Rasul, adapun hujjah ijma dari pertentangan yang terjadi diantara kita wajib dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah Rasul. Mengamalkan perintah ayat di atas menunjukan bahwa ijma itu hujjah . berdasarkan ayat di atas juga kita bisa mengatakan bahwa ijma itu adalah hujjah.

2. Kehujjahan ijma sukutiIjma sukuti telah di pertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyataan sebagai ijma . diantara mereka adalah pengikut maliki dan imam syafii yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karna tidak melakukan ijtihad pada suatu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qathi atau zhanni , jika demikan adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan ijma ataupun dijadikan sebagai hujjah.Sebagian besar golongan hanafi dan imam ahmad bin hambal menyatakan bahwa ijma sukuti merupakan hujjah yang qathi sebagaimana hal nya ijma sharih, alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat atau tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi syarat adalah ijma sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma karena kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qathi karna alasannya juga meneunjukan adanya ijma yang tidak bisa di bedakan dengan ijma sharih.Al-Kurhi dari golongan hanafi dan Al-Imidi dari golongan syafii menyatakan bahwa ijma sukuti adalah hujah yang bersifat zhanni, pendapat mereka lah yang kita aggap lebih baik karena diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan pendapatnnya klau memenuhi syarat ijma sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap para mujtahid lannya ,tetapi boleh dikatakan diamnya mereka itu antara menyepakati dan tidak, sifat tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum ulama salaf. Mereka tidak melarang untuk menyatakan haq meskipun tidak mampu melaksanakan dan nada sebagian yang mengingkarinya. Contohnya ketika Muadz bin Jabbal melaporkan pada Umar bin Khathab bahwa ia bermaksud menghukum wanita hamil yang melakukan zinah. Ia berkata seandainya Allah menjadikan kepada kamu keselamatan pada punggungnya (perempuan). Maka kamu tidak akan menjadikan bayi perempuan itu jalan keselamatan. maka umar berkata kalau bukan muadz (yang berkata) maka umar akan memarahinya. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat diketahui dengan menelaah kehdupan mereka, bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai ketetapan qathi, tetapi zhanni, maka kehujjahan ijma sukuti tidak bisa dikatakan qathi melainkan zhanni.[footnoteRef:20] [20: Ushul Fiqh, Amir Syarifuddin, hlm. 159-160.]

BAB IIIPENUTUP

A. SimpulanAdapun Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajmaa yujmiu Ijma'an dengan isim maful mujma yang memiliki dua makna, yaitu bermakna tekad yang kuat dan sepakat, Sementara itu secara terminologi ijma adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara.Kehujahan ijma Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma sebagai hujjah yang wajib diamalkan . pendapat tersebut bertentangan dengan syiah khawarij dan nizam dari golongan mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma itu hujjah tanpa menanggapi pendapat nizam , khawarij dan syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawaidul Ushul dan Maaqidul Ushul dikatakan bahwa ijma itu hujjah pada setiap masa. Namun , pendapat itu ditentang oleh daud yang mengatakan bahwa ijma itu hanya terjadi pada masa sahabat.

B. SaranPenulis menyarankan agar makalah ini dijadikan salah satu media untuk memahami di antara sumber-sumber islam khususnya mengenai ijma demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) yang adil dan makmur.

DAFTAR PUSTAKASyarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta:Prenada Media Group.Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta:Amzah.Ramulyo, Mohd. Idris. 1995. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta:Sinar Grafika.Ash-Shadr, Baqir dan Muthahhari, Murtadha. 1993. Pengantar Ushul Fiqh dan Syafei, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:Pustaka Setia.Imam asy-Syafi. Ar-Risalah. Darul Kutub Al-ilmiyah.Syaikh Syinqithi. Mudzakirah Ushul Fiqih.Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta:Pustaka Hidayah.Dzajuli. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta:Prenada Media Group.Wahbah Zuhaili. Ushul Fiqih Islami. Ibnu Firkan. Syarhul-Waraqt.Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan. Al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih.Rosyadi, Dede. 1999. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta:Raja Grafindo Persada.