iii. keadaan umum lokasi penelitian 3.1 lokasi kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di...

17
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan Kawasan hutan Potorono-Sumbing berada 60 km arah barat kotamadya Magelang, Jawa Tengah. Kawasan tersebut berupa hutan sekunder yang telah mengalami berbagai pergantian jenis flora termasuk margasatwa yang ada di dalamnya. Kawasan tersebut mencakup lebih kurang 16.340 ha (BAKOSSURTANAL 2005 dalam ESP 2006) dengan status persawahan 5.413 ha (27%), tegalan dan padang rumput 3.175 ha (19%), hutan, kebun, dan semak belukar 6.046 ha (37%), pemukiman 2.603 ha (16%), dan daerah perairan 102 ha (0,6%). Potorono merupakan deret perbukitan yang merupakan kaki Gunung Sumbing di sebelah selatan. Secara geografis, Gunung Sumbing terletak pada 7 o 23’ 3”LS dan 110 o 4’ 13” BT. Gunung Sumbing memiliki ketinggian 3371 meter di atas permukaan laut. Gambar 29 Lokasi studi- dalam lingkaran (sumber; Google earth 2006)

Upload: trinhnhu

Post on 08-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Lokasi Kawasan

Kawasan hutan Potorono-Sumbing berada 60 km arah barat kotamadya

Magelang, Jawa Tengah. Kawasan tersebut berupa hutan sekunder yang telah

mengalami berbagai pergantian jenis flora termasuk margasatwa yang ada di

dalamnya. Kawasan tersebut mencakup lebih kurang 16.340 ha

(BAKOSSURTANAL 2005 dalam ESP 2006) dengan status persawahan 5.413 ha

(27%), tegalan dan padang rumput 3.175 ha (19%), hutan, kebun, dan semak

belukar 6.046 ha (37%), pemukiman 2.603 ha (16%), dan daerah perairan 102 ha

(0,6%). Potorono merupakan deret perbukitan yang merupakan kaki Gunung

Sumbing di sebelah selatan. Secara geografis, Gunung Sumbing terletak pada 7o

23’ 3”LS dan 110o 4’ 13” BT. Gunung Sumbing memiliki ketinggian 3371 meter

di atas permukaan laut.

Gambar 29 Lokasi studi- dalam lingkaran (sumber; Google earth 2006)

Page 2: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

50

Sumber: ESP, 2006

Persoalan penebangan liar

Persoalan alih fungsi lahan hutan

Persoalan tidak ada reboisasi

Gambar 30 Peta kawasan lokasi studi

Penelitian dilakukan di delapan desa yang berada di Kawasan Potorono –

Gunung Sumbing. Lokasi tersebut dipilih dengan alasan memiliki hutan desa dan

menjadi tempat hidup Elang Jawa. (gambaran kondisi geografis masing-masing

desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11)

3.2 Iklim dan Cuaca

Iklim di sepanjang pegunungan Sumbing hingga perbukitan potorono

bersuhu 210C –320 C dengan curah hujan rata-rata per tahun sebesar 2000 mm.

Cuaca di kawasan Potorono tergolong sejuk (BPS 2005). Ketinggian tempat

Kawasan Potorono-Gunung Sumbing berkisar antara 700 meter – 3371 meter dari

permukaan laut.

Page 3: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

51

3.3 Kondisi Umum Ekosistem Potorono-Gunung Sumbing 3.3.1 Karakteristik Ekosistem Hutan Potorono-Gunung Sumbing

Secara umum, Kawasan Potorono-Sumbing didominasi dan di bentuk oleh

hutan sekunder. Type hutan monokultur dihuni oleh tegakan vegetasi utama

berdasarkan kelas perusahaan Perum Perhutani berupa Mahoni (Swietiana

macrophyla), Pinus (Pinus mercusii) dan Damar (Agathis dammara).

Ekosistem Potorono-Sumbing tidak hanya disusun oleh hutan produksi

yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Kedu Utara, namun juga dengan hutan

rakyat, persawahan, serta tegalan. Kawasan Potorono-Sumbing merupakan salah

satu pemasok sumberdaya air bagi Sub DAS (daerah aliran sungai) Tangsi

penyusun DAS Progo. Keberadaan hutan dataran tinggi dan perbukitan sangat

mempengaruhi keberlanjutan aliran sungai termasuk hutan Potorono-Gunung

Sumbing.

3.3.2 Keanekaragaman Hayati

Pada kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing yang menjadi bagian dari

sub-DAS Tangsi, menurut Osborne (2000) terdapat tipe-tipe zona berdasarkan

ketinggian. Kawasan hutan Potorono berada pada ketinggian 0-1000 meter

tergolong dalam ekosistem dataran rendah (lowlands). Sedangkan hutan lindung

di Gunung Sumbing yang berada pada ketinggian 1000 meter – 3371 meter

termasuk dalam tipe pegunungan rendah (lower montane zone), pegunungan

(montane zone) dan pegunungan tinggi (sub alpine zone). Ekosistem Gunung

Sumbing ditandai dengan adanya tanaman paku jenis Suplir (Adianthum

philipense) dan Kantung Semar (Nepenthes sp). Di daerah lebih bawah pada

ketinggian antara 1000 meter - 1700 meter merupakan wilayah produksi tanaman

sayur masyarakat. Tanaman yang menjadi ciri berupa tanaman Tembakau

(Nicotianae tobaccum), Kentang (Solanum sp) atau Kubis (Brasicca olercea) dan

Jagung (Zea mays). Tanaman produksi masyarakat di dataran rendah kawasan

hutan potorono dicirikan dengan; Nilam (Pogostemon cabin), Kelapa (Coccos

nucifera), Waru (Albazia procera), Aren (Arenga pinnata) dan Jarak (Jatropha

curcas) termasuk juga Kakao (Theobroma cacao L.), Kopi (Coffea canephora),

Jati (Tectona grandis) dan Sengon (Albazia falcataria).

Page 4: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

52

Selanjutnya, ekosistem dataran rendah kawasan hutan potorono meliputi;

ekosistem persawahan, dengan ciri lahan yang dibuat tidak sarang atau porous dan

dibatasi dengan pematang-pematang untuk membentuk lahan tetap tergenang.

Tanaman yang dapat dijumpai antara lain jenis tanaman Padi (Oryza sativa) serta

berbagai tanaman lain seperti Pisang (Musa paradisiaca), Kangkung (Ipomea

aquatica), Genjer (Lymnochoris flava), serta beberapa macam satwa seperti Tikus

sawah (Rattus tiomanicus). Ekosistem kedua yang ada berupa ekosistem air tawar

yang dicirikan dengan lekukan sungai atau badan air tawar. Tanaman yang

mencirikan berupa Kayu apu (Salvinia molesta), Enceng gondok (Eichornia

crassipes), dan jenis Pandan duri (Pandanus sp).

Sebagian besar kolam yang ada di kawasan hutan Potorono-Gunung

Sumbing merupakan ekosistem yang sengaja dibuat untuk membudidayakan

berbagai macam jenis ikan seperti ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Nila

(Oreochromis nilotica), ikan Mujair (Cichlosoma nigrofasciatum), ikan Gurame

(Tilapia mariae). Selain itu, ditemui juga beberapa jenis ikan lain seperti ikan

Gabus (Channa striata), Bader (Ctenopharyngodon idella), ikan Tempel Batu

(Hyposarcus sp), serta dijumpai satwa seperti burung Raja Udang (Rhynchospora

corymbosa), Tiram air tawar (Corbicula javanica), Keong (Lymnea rubiginosa).

Satwa yang ada di sungai meliputi Bulus (Amyda cartilaginea) dan Lele lokal

(Clarias batraschus).

Ekosistem ketiga yang berada di kawasan Potorono berupa ekosistem

tegalan/tanah kering dan padang rumput terbatas yang dicirikan tanaman

Singkong (Manihot utilisima), Cabai (Piper retrofractum), Pepaya (Carica

papaya), Mangga (Mangifera indica) dan Manggis (Garcinia mangostana). Di

daerah padang rumput memiliki ciri lapangan rumput seperti Alang-alang

(Imperata cylindrica) dan Rumput teki (Cyperus brevifolius).

Jenis satwa yang dapat dijumpai dikawasan hutan Potorono-Gunung

Sumbing meliputi Rusa (Cervus sp), Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis),

Lutung (Semnopithecus auratus), Trenggiling (Manis javanica), Landak (Hystrix

javanica) dan berbagai jenis burung mulai dari Jalak (Leucopsar sp), Ayam hutan

hijau (Gallus varius), Guwek/burung Hantu (Phodilus badius), Srigunting

(Dicrurus leucophaeus), Pelatuk (Reinwardtipicus validus).

Page 5: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

53

3.4 Deskripsi Masyarakat di Lokasi

3.4.1 Populasi dan Demografi

Jumlah populasi total di 8 desa yang menjadi masyarakat target adalah

sebesar 20.517 jiwa (BPS Magelang 2005). Rata-rata masyarakat bermata

pencaharian sebagai petani dengan pendidikan sampai dengan lulus SD untuk di

kawasan hulu (Desa Sutopati, Sukomukmur), sampai dengan SMP untuk daerah

di bawah hulu (Desa Sukorejo, Sukomulyo), sampai dengan SMA untuk daerah

terbawah kawasan penelitian (Desa Banjaragung, Krumpakan, Mangunrejo) dan

pendidikan tinggi di Desa Sambak (gambaran populasi terlampir di Lampiran 12)

3.4.2 Sosial-budaya dan Ekonomi

Masyarakat di lokasi studi hampir semuanya berasal dari suku Jawa dan

menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahasa Indonesia

juga digunakan pada saat kegiatan atau acara formal. 99% penduduk menganut

agama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen dan Katolik. Sebagian

lain masyarakat menganut aliran atau kepercayaan yang berasal dari warisan

budaya Jawa, yang lazim disebut Kejawen.

Secara umum, masyarakat menganut sistem patriarki atau menghormati

kepada pemimpin. Jadi keputusan-keputusan yang menyangkut masyarakat lebih

banyak ditentukan oleh keputusan kelompok tetua atau orang yang dihormati di

dalam masyarakat.

Masyarakat Potorono-Gunung Sumbing memiliki budaya berhutan sejak

dulu. Budaya berhutan subsisten dikembangkan dalam pengelolaan hutan

rakyatnya. Sistem berhutan yang dikembangkan lebih mirip dengan hutan campur

di Jawa Barat yang disebut “talun”, dengan mengembangkan beragam jenis

tanaman dengan perkiraan panen secara bergantian. Prinsip hutan rakyat lebih

ditekankan pada budidaya tanaman di tegalan atau kebun secara campuran.

Masyarakat setempat menamakan budaya hutan rakyat sebagai “kebon”/“tegal”

atau dalam bahasa Indonesia disebut kebun atau tegalan. Prioritas kebun atau

tegalan antara lain berupa; kakao, melinjo, kopi, cengkeh dan kelapa. Jenis

tanaman yang diambil kayunya adalah diantaranya sengon atau albasia, waru,

mahoni, jati dan suren.

Page 6: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

54

3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan

3.5.1 Sejarah Pengelolaan Hutan

Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Jawa dapat dibagi dalam

beberapa fase atau periode. Fase-fase tersebut umum berlaku dari Jawa Timur

hingga Jawa Barat. Fase pertama disebut fase prehistoric, yang merupakan

pengelolaan sumberdaya alam saat jaman prasejarah, fase kedua adalah fase

historic, yang merupakan fase pengelolaan sumberdaya alam oleh penduduk lokal

atau masyarakat asli Jawa hingga zaman terbentuknya kerajaan-kerajaan di Jawa

yang disebut fase kerajaan. Fase keempat adalah fase intervensi oleh VOC dan

dilanjutkan oleh kolonial Belanda atau fase perkebunan. Fase kelima adalah fase

pengalihan penguasaan oleh Pemerintah Inggris atau fase konservasi dan fase

keenam saat Orde Baru atau fase Revolusi Hijau hingga sekarang.

Menurut Kartodiharjo dan Jhamtani 2005, Suporaharjo 2005 dan Bahtiar

et al. 2001, eksploitasi hutan alam Jawa oleh Vereniging Oost-Indische

Compagnie (VOC) mengakibatkan kehutanan di Jawa mengalami kerusakan

sangat parah. Kerusakan bertambah parah akibat ulah pejabat pemerintah kolonial

dan berkembangnya bisnis pribadi antara karyawan dan eks karyawan VOC

dengan Bupati guna memperkaya diri. Kondisi tersebut mengakibatkan kas

Kerajaan Belanda tak terisi hingga VOC dibubarkan tahun 1796 dan pengelolaan

hutan di Jawa diambil alih Kerajaan Belanda.

Saat pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem

Daendels pada awal tahun 1800-an, dibangun hutan tanaman khususnya jati.

Tahun 1865 Daendels mengeluarkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan

Madura. Tahun 1892 Daendels membentuk organisasi teritorial kehutanan,

Houtvesterij dan Djatibedrijfs (Perusahaan Jati). Langkah Daendels dimantapkan

dengan penyusunan rencana perusahaan pertama oleh Bruisma.

Pada saat pemerintahan Gubernur Jendral Raffless dari Inggris,

permasalahan eksploitasi dan kehancurannya sumberdaya hutan di antisipasi

dengan membuat beberapa wilayah konservasi. Titik pengembangan area

konservasi adalah membangun beberapa tempat cagar alam dengan melihat

kondisi kehutanan setempat. Warisan Raffles yang masih ada misalnya Kebun

Raya Bogor. Pada masa paska kemerdekaan, pengelolaan 90% kehutanan negara

Page 7: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

55

dimandatkan kepada Perum Perhutani dan 70% luasan hutan negara difungsikan

sebagai hutan produksi.

3.5.2 Kepemilikan lahan

Secara umum, status lahan di kawasan ini dapat dibedakan menjadi tiga

tipe kepemilikan. Pertama, lahan dengan status kepemilikan pribadi yang dikelola

oleh masyarakat. Biasa dikenal dengan tanah “persil” atau lahan yang dikenai

pajak oleh negara dengan status kepemilikan oleh orang umum. Penggunaan lahan

persil ini biasanya untuk budidaya tanaman-tanaman penyokong hidup

masyarakat, dapat berupa lahan basah yang ditanami padi hingga tegal atau kebun

yang ditanami tanaman lahan kering serta tegakan-tegakan pohon.

Kedua, lahan dengan kepemilikan oleh tuan tanah atau orang kaya desa,

dicirikan dengan pengusahaan lahan atau penggunaan lahan oleh orang lain

dengan sistem sewa atau bagi hasil. Untuk penggunaan lahan sebagai tempat

tinggal, dalam istilah lain “ngindung” atau ikut memakai lahan milik orang lain

untuk bermukim dengan cara sewa.

Ketiga, lahan dengan status kawasan milik negara, dengan ciri utama

pengelolaan lahan biasanya berupa kawasan hutan untuk tujuan tertentu.

Pengelolaan lahan negara merunut pada konsensi pembentukan Perum Perhutani

setidaknya ada 3 tujuan utama:

Pengelolaan lahan hutan negara dengan tujuan produksi hasil hutan baik

kayu dan non kayu. Secara umum ada 5 jenis tanaman yang menjadi prioritas

utama pengusahaan, meliputi kayu putih, jati, mahoni, pinus dan damar.

Pengelolaan lahan hutan produksi di kawasan perbukitan Potorono berupa Mahoni

untuk produksi kayu serta pinus dan damar untuk hasil hutan non kayu.

Pengelolaan lahan hutan negara untuk tujuan hutan lindung. Pengelolaan

ini mendasarkan pada fungsi dasar hutan sebagai daerah tangkapan air. Untuk

kawasan hutan lindung, maka semua proses eksploitasi sumberdaya hutan

dilarang untuk dilakukan di kawasan ini. Kawasan yang ditunjuk sebagai hutan

Lindung berada di Gunung Sumbing

Pengelolaan hutan negara untuk tujuan kawasan cagar alam atau suaka

marga satwa. Di kawasan Potorono belum ada kawasan yang diperuntukkan

sebagai cagar alam atau suaka marga satwa.

Page 8: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

56

3.6 Karakter Masyarakat Target Berdasar Hasil Survey

Karakter masyarakat kawasan hutan produksi-lindung Potorono-Gunung

Sumbing hasil survey pada pada tanggal 7 – 11 November 2006 dapat dijelaskan

sebagai berikut:

3.6.1 Informasi umum masyarakat

Tingkat pendidikan responden pada umumnya Sekolah Dasar, survey

menyebutkan bahwa 51,6% tamat atau pernah ada di tingkat Sekolah Dasar.

Pekerjaan utama masyarakat 75,93% adalah petani. Hasil survei dalam bentuk

diagram dapat dilihat dalam Gambar 31 dan 32 berikut:

Gambar 31 Tingkat pendidikan (N=378)

Gambar 32 Pekerjaan (N=378)

Frekuensi

Frekuensi

Page 9: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

57

3.6.2 Sumber informasi

Secara umum masyarakat target memiliki budaya membaca yang rendah.

Hal ini ditunjukkan sebesar 75,66% yang tidak membaca surat kabar. Kurangnya

budaya membaca dimungkinkan karena tidak adanya akses surat kabar yang

sampai di desa-desa tersebut. Gambar 33 di bawah menggambarkan kebiasaan

membaca media cetak.

Gambar 33 Kebiasaan membaca (N=378)

Selain surat kabar, masyarakat di daerah target juga mendapatkan

informasi dari Radio. Sedangkan program yang paling banyak didengarkan oleh

responden adalah musik kemudian ceramah agama. Dengan demikian dapat

disimpulkan secara sederhana bahwa masyarakat desa target cukup mendapatkan

informasi dari media elektronik dan cetak.

Hasil survei tentang sumber informasi yang didapat masyarakat dijelaskan

dalam Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Tingkat kepercayaan terhadap sumber informasi (N=378) Tingkat Kepercayaan (%)

Sumber Informasi

Sangat dipercaya

Dipercaya Agak dipercaya

Agak tidak dipercaya

Tidak dipercaya

Sangat tidak

dipercaya

Tidak tahu

Lain-lain

Radio 40,5 27,2 17,2 15,1 Koran 25,1 28,8 32 14 Staff desa 15,6 73,8 25,1 1,6 Pemimpin agama 31 49,5 9 1,6 Anggota keluarga 57,1 23 8,5 11,4 Teman 24,9 53,2 9,8 12,2 Guru 11,7 63,1 13 12,2

Pemerintah daerah 13 69,6 12,7 4,8 Majalah 18 37,7 27,1 17,2 Kelompok tani 16,1 56,6 19,8 7,4

Tidak

Frekuensi

Ya

Page 10: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

58

Selain itu, masyarakat juga memperoleh informasi lain dengan tingkat

kepercayaan masyarakat adalah sebagai berikut: lebih dari 80% masyarakat

percaya atau sangat percaya kepada staf desa dan kepada pemuka agama. Kurang

lebih 74% masyarakat percaya atau sangat percaya terhadap informasi yang

diberikan oleh guru termasuk pemerintah daerah dan kelompok tani.

3.6.3 Pengetahuan

Masyarakat desa target umumnya sudah memiliki tingkat pengetahuan

mengenai fungsi hutan yang cukup baik serta memahami cara meningkatkan

pendapatan ekonomi. Hal tersebut ditunjukkan dengan pengetahuan yang cukup

baik mengenai fungsi hutan dan akibat yang dapat terjadi dari penebangan pohon

di hutan. Hasil dari survei menunjukkan 83,62% mengetahui bahwa fungsi hutan

adalah untuk menyimpan air, 62,07% mengetahui bahwa hutan menyediakan

kayu, 62,37% menyatakan sebagai tempat penghasil pakan ternak, serta 34,49%

menyatakan sebagai tempat hidup hewan liar. Pengetahuan masyarakat

digambarkan dalam Gambar 34 sebagai berikut;

Gambar 34 Tingkat pengetahuan petani di desa target mengenai manfaat hutan (N=287)

83, 62

63, 07

62, 67

34,49

32,06

19,52

Frekuensi

Lain-lain

Page 11: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

59

3.6.4 Sikap

Berkenaan dengan sikap dan persepsi masyarakat terhadap hutan dan

upaya perlindungannya, secara umum 46,8% menyatakan bahwa menjaga hutan

sangat penting. Masyarakat Desa Sambak menunjukkan tingkat kepedulian

terhadap hutan tertingi dibandingkan dengan desa-desa yang lainnya yaitu 92,5%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan, sistem pertanian

terpadu dan pemanfaatan hasil hutan hutan kayu dan non-kayu di Desa Sambak

sudah baik. Di sisi lain, masyarakat di desa Mangunrejo dan Sutopati juga mulai

memiliki kepedulian terhadap upaya konservasi hutannya. Sebanyak 75%

masyarakat di Mangunrejo dan 71,5% masyarakat di Sutopati menyatakan

pentingnya menjaga kawasan hutannya. Tabel 4 berikut menggambarkan persepsi

masyarakat terhadap perlndungan hutan.

Tabel 4. Persepsi masyarakat terhadap perlindungan hutan (N=378) Sangat Penting Tidak Tidak tahu Lainnya penting seberapa penting Nama Desa 46.8% 48.4% 0.8% 3.7% 0.3% BANJARAGUNG 37,5% 58,3% 4,2% 0% 0% KRUMPAKAN 57,9% 31,6% 0% 10,5% 0% MANGUNREJO 25,0% 75,0% 0% 0% 0% SAMBAK 92,5% 7,5% 0% 0% 0% SUKOMAKMUR 43,2% 43,2% 0% 12,6% 1,1% SUKOMULYO 71,8% 28,2% 0% 0% 0% SUKOREJO 56,5% 39,1% 4,3% 0% 0% SUTOPATI 27,7% 71,5% 0,8% 0% 0%

Selanjutnya, secara umum 40,2% masyarakat menyatakan setuju bahwa

kawasan Hutan Kawasan Potorono-Gunung Sumbing, telah dikelola sesuai

dengan kondisi lokal, 43,4% menyatakan setuju bahwa sumber mata air juga telah

dijaga dengan baik dan 34,4% setuju bahwa program perbaikan lahan telah

dijalankan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat

masih belum melihat adanya upaya-upaya pengelolaan hutan yang benar-benar

membawa perubahan. Tabel 5 berikut ini menggambarkan persepsi masyarakat

terhadap pernyataan yang berkenaan dengan upaya konservasi.

Page 12: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

60

Tabel 5. Pandangan masyarakat pada upaya konservasi per desa (N=378)*

DESA Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Tidak yakin

Kondisi hutan sehat dan memilki banyak satwa(%) Sutopati 41,5 43,8 Sukomakmur 51,6 28,4 Sambak 25 70 Sukomulyo 48,7 20,5 Banjaragung 29,2 62,5 Sukorejo 21,7 56,5 Krumpakan 52,6 36,8 Mangunrejo 12,5 87,5

Hutan telah dikelola sesuai dengan kondisi local(%) Sutopati 45,4 38,5 Sukomakmur 21,1 65,3 Sambak 17,5 67,5 Sukomulyo 71,8 15,4 Banjaragung 12,5 75 Sukorejo 13 73,9 Krumpakan 57,9 31,6 Mangunrejo 12,5 87,5

Sumber mata air telah di jaga dengan baik (%) Sutopati 27,7 61,5 Sukomakmur 24,2 48,4 Sambak 22,5 67,5 Sukomulyo 41 35,9 Banjaragung 29,2 62,5 Sukorejo 43,5 21,7 Krumpakan 42,1 47,4 Mangunrejo 12,5 87,5

Program perbaikan lahan sudah berhasil dilaksanakan(%) Sutopati 27,7 45,4 Sukomakmur 16,8 57,9 Sambak 10 77,5 Sukomulyo 33,3 30,8 Banjaragung 16,7 79,2 Sukorejo 73,9 13 Krumpakan 31,6 36,8 Mangunrejo 25 62,5

*Perhitungan berdasar 2 pilihan terbanyak

Page 13: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

61

3.6.5 Perilaku

Masyarakat target memiliki inisiatif untuk menghutankan kembali area

hutan yang gundul. Dalam hal ini, Desa Sambak, Mangunrejo dan Sutopati

memiliki persentase tertinggi di antara desa yang lain, masing-masing 92,50%,

87,50% dan 80,77%. Desa Banjaragung terlihat yang paling kecil inisiatifnya

dibandingkan desa target lainnya. Inisiatif yang dilakukan masyarakat dijelaskan

dalam Gambar 35 berikut;

Gambar 35 Inisiatif menghutankan kembali kawasan hutan yang gundul (N=227)

Selanjutnya, setidaknya ada tiga faktor utama yang dianggap masyarakat

mampu menjamin keberhasilan rehabilitasi hutan dalam jangka panjang. Faktor

tersebut adalah: adanya kerjasama pemerintah, masyarakat dan organisasi lain

(79,10%), bantuan bibit dari pemerintah atau organisasi lain (62,96%), bibit yang

didiskusikan bersama dengan masyarakat (33,07%), penegakan aturan (30,96%)

dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat (29,10%) seperti yang digambarkan

pada Gambar 36 berikut;

Gambar 36 Faktor yang menentukan keberhasilan program rehabilitasi hutan

dalam jangka panjang (N=378)

Lain-lain

Frekuensi (%)

Frekuensi (%)

Page 14: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

62

3.6.6 Ancaman

Pengambilan kayu bakar menjadi satu ancaman di kawasan target. Hal ini

terutama karena tidak atau belum ada upaya serius untuk menjaga keberlanjutan

kayu hutan. Responden di Desa Krumpakan, Banjaragung dan Sukomakmur

memberikan kesepakatan tertinggi; berturut-turut 89,47%, 87,5% dan 74,74%;

bahwa kebutuhan kayu bakar mendorong pengambilan kayu di hutan. Prosentase

pendapat masyarakat tentang kayu bakar sebagai penyebab penebangan kayu

dijelaskan dalam Gambar 37 berikut;

Gambar 37 Perhatian masyarakat tentang pengambilan kayu sebagai kayu bakar

(N=217)

Ancaman lain yang masih ada di kawasan target adalah alih fungsi lahan

hutan menjadi lahan pertanian. Alasan masyarakat melakukan alih fungsi lahan

adalah karena tidak ada lahan (57%), memanfaatkan lahan menganggur (40%),

sebagai upaya untuk menjaga hutan (40%), dan memperluas lahan pertanian

(33%). Jenis tanaman yang dikembangkan di lahan pertanian masyarakat adalah

terutama sayur-sayuran (53%), jagung dan ketela (51%) dan padi (43%). Hanya

24% responden yang menanam tanaman kayu seperti sengon atau albasia di lahan

garapannya. Gambaran alasan masyarakat melakukan alih fungsi lahan dan jenis

tanaman yang diusahakan dapat dilihat dalam Gambar 38 dan 39.

Frekuensi (%)

Page 15: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

63

Gambar 38 Alasan melakukan kegiatan alih fungsi pengelolaan lahan (N=354)

Gambar 39 Tanaman yang dikembangkan masyarakat (N=354)

3.7 Karakter Masyarakat Kontrol Berdasar Hasil Survey

Untuk melihat efektivitas kampanye dilakukan juga survey di masyarakat

kontrol dengan hasil sebagai berikut:

3.7.1 Demografi Kelompok Kontrol

Survey kelompok kontrol di desa Kaliombo dan Botosari menyasar 81%

pria dan 19% responden wanita. Tingkat pendidikan kelompok kontrol hampir

sama dengan kelompok target yaitu sekolah dasar (58%). Pekerjaan utama

kelompok kontrol adalah petani (64%).

Lain-lain

Lain-lain

Page 16: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

64

3.7.2 Pengetahuan Masyarakat Kontrol

Sedikit berbeda dengan masyarakat target, walaupun tingkat pengetahuan

kelompok kontrol juga sudah tinggi, manfaat utama dari hutan mereka adalah

sebagai penghasil kayu. Gambaran tingkat pengetahuan masyarakat kontrol dapat

dilihat pada Gambar 40 berikut,

Gambar 40 Pengetahuan masyarakat kontrol mengenai manfaat hutan (N=58)

3.7.3 Sikap Masyarakat Kontrol

Kelompok kontrol memiliki sikap dan persepsi yang lebih baik

dibandingkan desa target mengenai upaya perlindungan hutan. yang Kurang lebih

65% responden kelompok kontrol menyatakan bahwa menjaga hutan sangatlah

penting. Meskipun kelompok target juga memiliki pemahaman yang baik

mengenai manfaat rehabilitasi, 64% menyatakan program rehabilitasi memerlukan

waktu lama sebelum akhirnya memberikan manfaat. Sedangkan sekitar 29%

responden menyatakan bahwa program rehabilitasi sulit dilakukan, 45% lainnya

bahkan percaya bahwa program rehabilitasi dapat mengurangi hasil pertanian.

3.7.4 Perilaku Masyarakat Kontrol

Tiga kegiatan umum yang dilakukan responden kelompok kontrol di hutan

dalam 6 bulan terakhir adalah menanam pohon (53%), menggunakan lahan

kosong untuk pakan ternak (48%), membuka hutan untuk lahan pertanian (38%).

Sama dengan di kawasan target, masyarakat kontrol juga melihat penghutanan

kembali area hutan yang rusak sebagai tindakan yang akan dilakukan (74%).

Frekuensi

Lain-lain

Page 17: III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi Kawasan · desa kawasan target kampanye terlampir di Lampiran 11) 3.2 Iklim dan Cuaca ... 3.5 Sejarah Pengelolaan Kawasan 3.5.1 Sejarah

65

Pendapat masyarakat kontrol menyatakan bahwa pendidikan lingkungan

sebagai faktor ketiga yang dapat menjamin keberhasilan program rehabilitasi

dalam jangka panjang, setelah kerjasama antar pihak dan bantuan bibit dari

pemerintah dan organisasi lain.

Selanjutnya masyarakat kontrol 48% menyatakan akan menegur, akan

tetapi 28% responden cenderung akan membiarkan jika melihat orang lain atau

warga desa lain yang menebang pohon di sekitar mata air.

3.7.5 Ancaman di Masyarakat Kontrol

Untuk kelompok kontrol, alih fungsi lahan juga terjadi yang menurut

masyarakat disebabkan oleh (tiga terbesar): kurangnya lahan pertanian (69%),

perluasan produksi pertanian (63%) dan untuk menjaga lahan hutan (53%).

Dengan pola pemanfaatan lahan yang utama adalah padi (98%), tanaman tegalan

(93%), pakan ternak (60%) dan kayu-kayuan seperti sengon dan albasia (60%).

Sepertinya masyarakat di kelompok kontrol sudah memanfaatkan sistem

agroforestry dengan cukup baik, dari survey ditemukan bahwa 91% responden

melakukan sistem pertanian campur. Pola kepemilikan lahan sendiri di kelompok

kontrol adalah sebanyak 98%. Responden di kelompok kontrol semua tidak

pernah melihat kegiatan perburuan di daerahnya.