ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · organization (rbo) memiliki peluang yang baik untuk...
TRANSCRIPT
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumber Daya Air
Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan
manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh
materi lainnya (Dinar et al., 2005). Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai
sistem kehidupan, baik dalam lingkup atmosfir, litosfir dan biosfir. Hampir semua
kebutuhan hidup manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga
(domestik), pertanian, industri dan kegiatan ekonomi lainnya (Nittu, 2005). Air
sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat
dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah
administrasi. Aliran air selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal,
juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara
administratif dan atau politik berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona
resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pemanfaatan air sangat erat,
sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi
tanggung-jawab semua wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut
(Karyana, 2007).
Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada
di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air
berkelanjutan (Edwarsyah, 2008). Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan
karena adanya masalah-masalah dalam manajemen sumber daya air (SDA).
Masalah kelangkaan dan alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah
menjadikan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser
menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan bahkan sumber konflik lintas
wilayah (Saiki, 2004). Sumber daya air (SDA) mempunyai sifat mengalir dan
dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk suatu
sistem (Nuddin, 2007). Dengan demikian, pengelolaan SDA akan berdampak
pada kondisi sumber daya lainnya dan sebaliknya. Pengelolaan SDA Terpadu
mengisyaratkan pengelolaan SDA yang utuh dari hulu sampai hilir dengan basis
daerah aliran sungai dalam satu pola pengelolaan SDA tanpa dipengaruhi oleh
batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya (Sjarief, 2009). Oleh karena itu,
12
agar pengelolaan berbagai sumber daya tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi
masyarakat secara optimal, maka diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu
antar lembaga dan antar wilayah serta berkelanjutan.
Kompleksitas dan banyaknya pihak yang terlibat dan berkepntingan dalam
pengelolaan SDA dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah.
Gambar 3 Kompeksitas pengelolaan SDA
Sumber daya air alamiah berada di dalam wilayah hidrologis yang disebut
daerah aliran sungai (DAS). Ketersediaan SDA dalam setiap DAS sangat
dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan hidrogeologi setempat sehingga
mengakibatkan adanya DAS dengan ketersediaan air yang melimpah dan DAS
yang sangat kekurangan air. Sumber daya air memiliki tiga fungsi yaitu fungsi
sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Mereka tidak berdiri sendiri-sendiri akan
tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya
sehingga dapat dirumuskan bahwa SDA mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup dan ekonomi. Hal ini konsisten dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri yang memerlukan ketersediaan
air baku, mengurangi kemiskinan serta mengubah pola produksi dan konsumsi
kearah yang seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemenuhan
kebutuhan air minum masyarakat, peningkatan kualitas hidup dan kesehatan
lingkungan keairan. Dimensi lingkungan meliputi upaya pengurangan dan
Departemen PU
Departemen
Kehutanan
Swasta dan
Masyarakat
Stakeholders lain
Pemerintah Daerah
dan Pusat
Departemen ESDM
SUMBERDAYA
AIR
PERMUKAAN :
SUNGAI
SUMBERDAYA
LAHAN: Hutan
(Catchement
Area), Sawah
dan Industri
IRIGASI
Kebutuhan Pertanian
Lain
PLTA
Kebutuhan industri
Kebutuhan Air Baku
SUMBER AIR
MINUM
Eksploitasi Alih fungsi
Lahn untuk investasi
dan peningkatan PAD
Ket
erhu
bung
an
sum
berd
aya
air
dan
laha
n
Departemen PU
Departemen
Kehutanan
Swasta dan
Masyarakat
Stakeholders lain
Pemerintah Daerah
dan Pusat
Departemen ESDM
SUMBERDAYA
AIR
PERMUKAAN :
SUNGAI
SUMBERDAYA
LAHAN: Hutan
(Catchement
Area), Sawah
dan Industri
IRIGASI
Kebutuhan Pertanian
Lain
PLTA
Kebutuhan industri
Kebutuhan Air Baku
SUMBER AIR
MINUM
Eksploitasi Alih fungsi
Lahn untuk investasi
dan peningkatan PAD
Ket
erhu
bung
an
sum
berd
aya
air
dan
laha
n
13
pencegahan terhadap polusi, pengolahan limbah serta konservasi. Pembangunan
dalam pengelolaan SDA yang ditopang oleh ketiga aspek tersebut harus bersinergi
satu sama lain. Guna mencapai ketiga aspek diatas maka strategi pembangunan
harus memenuhi persyaratan diantaranya sistem politik yang menjamin secara
efektif partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Sistem
ekonomi dan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan manfaat secara
berkesinambungan. Sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara
efektif terhadap permasalahan yang timbul karena ketidakharmonisan dalam
pelaksanaan pembangunan.
Sistem pengelolaan sumber daya air berkelanjutan (sustainable water
resources management systems) merupakan sistem pengelolaan SDA yang
didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan masyarakat (sosial
dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan tetap mempertahankan
kelestarian aspek ekologisnya (Pasandaran, Zuliasri dan Sugiharto, 2002).
Pembangunan di bidang SDA pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan
akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar mampu
berkehidupan yang sehat, bersih dan produktif (Burke, 2006). Pasokan air untuk
mendukung berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu
dijamin kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan
kualitasnya sesuai dengan yang dibutuhkan (Katiandagho, 2007).
Pola pengelolaan SDA merupakan kerangka dasar dalam merencanakan,
melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi SDA,
pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah
sungai. Pengelolaannya disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan
sumber daya air pada wilayah administrasi yang bersangkutan. Pola pengelolaan
SDA memuat tujuan dan dasar pertimbangannya, skenario kondisi wilayah sungai
pada masa yang akan datang, strategi pengelolaannya dan kebijakan operasional
untuk melaksanakan strategi pengelolaan SDA (Sjarief, 2009). Penyusunan pola
pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha,
baik koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun badan
usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya diberi peran
dalam penyusunan pola pengelolaan SDA, tetapi berperan juga dalam proses
14
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan serta
pengawasan atas pengelolaan SDA.
Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang
menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air
oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat
pokok-pokok program tersebut yang meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk
prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber
daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan
atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah (Sjarief, 2009).
Upaya mewujudkan asas keseimbangan dan asas keadilan dalam
pengelolaan SDA, dapat dilakukan dengan menyatukan beberapa DAS dalam
satu wilayah pengelolaan yang disebut wilayah sungai. Hal ini dilakukan agar
wilayah tersebut mampu mencukupi kebutuhan SDA bagi wilayahnya. Penyatuan
beberapa DAS kedalam wilayah sungai tetap mempertimbangkan efektivitas dan
efisiensi pengelolaannya. Namun demikian dalam perkembangannya pengelolaan
wilayah sungai semakin rumit dengan semakin banyaknya institusi yang terlibat
dalam dalam segmen-segmen yang terpisah mengikuti kewenangan
kementerian/lembaga yang membentuknya.
Secara umum, pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai dapat
dikelompokan pada tiga pendekatan yang menekankan pada: (1) Konservasi; (2)
Pengelolaan secara hidrologis; dan (3) Pengelolaan dalam perspektif otonomi
daerah. Menurut pendekatan yang pertama, pengelolaan sumber daya air
khususnya catchment area merupakan konservasi sumber daya hutan yang
bertujuan menciptakan kondisi hidrologis (tangkapan, pengaliran dan penggunaan
air sungai) yang optimal. Pengelolaan menurut sistem pertama ini melibatkan
berbagai kepentingan dan lintas pemerintahan, baik secara horizontal (antar
pemerintahan setingkat) maupun vertikal (antar tingkatan pemerintahan). Menurut
pendekatan kedua, pengelolaan DAS harus dikelola melalui pendekatan
hidrologis. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sistem sumber daya
air merupakan suatu sistem yang mencakup subsistem daerah tangkapan air
(catchment area), subsistem jaringan sarana-prasarana dan subsistem penggunaan
15
air. Menurut pendekatan ketiga yaitu perspektif otonomi daerah, pengelolaan
DAS bertumpu pada batas-batas pemerintah otonom, baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Pengelolaan DAS dengan persepektif ketiga ini menekankan
kewenangan pada pemerintah daerah sebagai pemerintah yang otonom untuk
mengelola urusan diluar urusan pemerintah pusat. Ketiga bentuk pengelolaan
DAS tersebut memiliki perbedaan dan membawa implikasi seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai
Pendekatan Letak Perbedaan Implikasi Teknis dan Organisasi
Konservasi Menekankan pemeliharaan
sumber daya hutan di hulu dan
sepanjang aliran sungai
Rehabilitasi di hulu dan sepanjang
DAS. Pengelolaan catchment area
menjadi kewenangan Kementerian
Kehutanan
Hidrologis Menekankan pengelolaan DAS
(river basin)
Pengelolaan secara utuh (intregated
water resources management)
menjadi kewenangan Kementerian
Pekerjaan Umum
Otonomi
Daerah
Menekankan kewenangan
pemerintah daerah tempat DAS
berada sesuai dengan batas-batas
administratif
Pengelolaan wilayah DAS menjadi
urusan pemerintah daerah.
Pengelolaan terbagi-bagi, tidak utuh
Selanjutnya secara global telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan
sumber daya air dari semula hanya mencakup sektor air (hydrocentric), yang
memandang air sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk
mendapatkan hasil yang maksimum, menjadi pengelolaan yang berwawasan
lingkungan. Pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan baru ini dikenal
sebagai pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources
management – IWRM). Pendekatan ini mendorong pengembangan dan
pengelolaan air, lahan dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk
memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil, dengan tetap
memelihara keberlanjutan ekosistem yang vital (Dublin principle).
Hooper (2003) mengidentifikasikan bahwa permasalahan yang dihadapi
oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan hidup
manusia dan lingkungan ternyata lebih merupakan krisis pengelolaan
(governance) dibandingkan dengan krisis air. Diperlukan adanya pengelolaan
yang efektif, memiliki kapasitas yang memadai, dan mampu menangani berbagai
tantangan permasalahan air. Water governance meletakkan IWRM pada
16
pengelolaan daerah aliran atau wilayah sungai, dan peranserta masyarakat dan
pemangku kepentingan akan sumber daya air. Perubahan pengelolaan ini
menyiratkan perlunya kebijakan baru, strategi baru, peraturan serta kelembagaan
baru untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan prinsip
IWRM.
Selanjutnya Sjarief (2009) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air
adalah substansi yang kompleks dan padat konfik sehingga memerlukan
perubahan lembaga dan menata ulang peran para pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam masyarakat. Pemangku kepentingan perlu mewujudkan
pengelolaan yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga perubahan
kinerja perlu dilakukan. Kemitraan dari semua pihak yang berkepentingan dan
kelompok yang terpengaruh adalah mekanisme yang perlu dalam proses
pengelolaan sumber daya air terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial, efisiensi
dan keberlanjutan.
1. People support what the help create, orang-orang akan mendukung apa
yang ikut yang mereka rumuskan.
2. When more people are heard fewer asset are wasted. Kalau lebih
banyak mendengar saran dan masukan, maka wasted akan menjadi
lebih sedikit.
Lembaga pengelola wilayah sungai atau bisa disebut river basin
organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan
sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya satu sungai
dikelola kedalam satu kesatuan sistim yang utuh dari hulu hingga muara yang
tidak dapat dipilah-pilah oleh batas administrasi pemerintahan. Sebagaimana
tertuang dalam Undang-undang No. 7 tentang Sumber Daya Air, bahwa air
mempunyai fungsi sosial, lingkungan maupun ekonomi. Oleh karena itu dalam
operasionalisasinya konsep IWRM harus dilaksanakan berdasarkan tiga pilar
utama yaitu berwawasasn lingkungan, berkeadilan sosial dan pendanaan yang
berkesinambungan dalam sistem pengelolaan yang terintegrasi, sebagaimana pada
Gambar 4.
17
Gambar 4 Sistem pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.
Dalam mewujudkan ketiga pilar tersebut diperlukan pembagian
kewenangan dan keterkaitan yang erat baik antara unit-unit pengelola yang
terlibat maupun koordinasi dan komunikasi antara unit pengelola dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat. Oleh karena itu perlu
dibentuk wadah koordinasi yang efektif dengan menempatkan wakil-wakil dari
seluruh pemangku kepentingan. Sementara, pemerintah berperan menjembatani
program – progam pembangunan serta mensosialisasikan kebijakan atau peratuan
baru kepada pemda kabupaten/kota, serta memotivasi masyarakat untuk
berperanserta baik dalam pelaksanaan pembangunan prasarana maupun
pengelolaan sumber daya air.
Pengelolaan yang efektif tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa
dukungan pendanaan yang berkesinambungan sehingga peran pemerintah daerah
dan peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Bilamana kerjasama dan
koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan pengelola dapat
disinkronkan dan terintegrasi serta didukung dengan tersedianya tata cara yang
jelas dalam pengaturan kelembagaan, manajemen pelaksanaan pengelolaan serta
mekanisme pendanaannya maka dapat dicapai IWRM yang berkelanjutan,
terintegrasi dan holistik.
Aspek
Ekonomi
Pengelolaan
SDA yang Berkelanjutan
Aspek
Ekologi
Aspek Sosial
KELEMBAGAAN PENDANAAN
KEBIJAKAN
PENGELOLAAN
Ketersediaan Air baku
Kualitas Air Cost Recovery
18
2.2 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
Scott (2008) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang memberikan
kedamaian dalam kehidupan sosial dan memberikan dukungan bagi sistem sosial
dalam ruang dan waktunya. Scott (2008) menganalisisnya atas tiga elemen yang
disebut tiga pilar kelembagaan yaitu aturan, norma dan pengetahuan budaya.
Masing-masing pilar memiliki unsur dan konsekuensi yang berbeda.
Kelembagaan yang dikategorikan regulatif memiliki pengertian yang sama dengan
organisasi. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga
formal yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan seperti perusahaan
dan negara yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya
serta memiliki sanksi dan kewenangan yang diatur secara formal.
Pemahaman kelembagaan sebagai organisasi juga dikemukakan oleh North
dan Horton (1984). Mereka memandang organisasi sebagai kontinum dari
kelembagaan, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.
Institution adalah the rules of the games, organizations are the players. Horton
merumuskan bahwa institution do not have members, they have followers.
Sementara itu Tjondronegoro (1984) menyatakan kelembagaan berkembang
secara kontinum ke organisasi. Tjondronegoro membedakan kelembagaan dengan
organisasi. Lembaga berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan,
pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun,
berpegang pada norma dan bersifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sementara
organisasi lebih berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur,
pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi dan merupakan alat
dalam mencapai tujuan tertentu.
Kelembagaan menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) adalah suatu
himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefenisikan
hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage dan tanggung jawab.
Tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan adalah:
1) Batas kewenangan (jurisdiksi) adalah menyangkut masalah kewenangan dalam
menentukan harga output dan peranan dalam keberhasilan produksi;
2) Hak kepemilikan (property right) adalah mengandung makna sosial yang
berimplikasi ekonomi. Property right yang paling penting adalah faktor
19
kepemilikan terhadap sumber daya seperti lahan, hasil produksi dan lain-lain.
Hak pemilikan yang lebih jelas akan adapat menentukan besarnya kekuatan
tawar terhadap suatu persoalan;
3) Aturan adalah representasi dalam masalah sistem atau prosedur mengenai
suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan
oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat
terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut (Anwar 2006).
Pengertian kelembagaan yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa
kelembagaan dimaknai oleh para penulisnya secara beragam. Pada intinya
kelembagaan diartikan sebagai seperangkat pengaturan formal dan non-formal
yang mengatur perilaku (behavioral rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya
koordinasi atau mengatur hubungan interaksi antar individu. Oleh karena itu,
kelembagaan memiliki: (1) aturan main (rules of the games); (2) organisasi yang
melaksanakan rules of the games atau sebagai the player of the games; (3) aturan
main yang telah mengalami keseimbangan (equilibrium rules of the games).
Perkembangan kelembagaan menuju organisasi menyebabkan organisasi menjadi
alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan untuk menggabungkan sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Kelembagaan dalam bentuk organisasi tersebut
menuntut adanya efektivitas dan efisiensi yang dapat mengkoordinir berbagai
kegiatan yang kompleks secara terintegrasi.
Pengelolaan sumber daya air yang komplek dan menyangkut kepentingan
banyak sektor memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan
terstruktur. Ditinjau dari fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan
sumber daya air secara garis besar dapat dipilah secara sederhana atas lima unsur
yaitu:
a. Regulator atau pemerintah, yaitu institusi pengambil keputusan yang dalam
hal ini adalah para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan (misalnya
Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas terkait yang menjadi
subordinatnya);
b. Operator, yaitu institusi yang sehari-hari berfungsi untuk melaksanakan
pengelolaan air, sumber air dan prasarana yang ada dalam suatu Wilayah
Sungai (misalnya Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Pengelolaan Sumber
20
daya air, Perum Jasa Tirta II ataupun Balai Pengelola DAS). Institusi ini
dibentuk oleh regulator dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator
dalam pelayanan sumber daya air kepada masyarakat;
c. Developer, yaitu institusi yang berfungsi melaksanakan pembangunan
prasarana dan sarana pengairan baik dari unsur pemerintah (misalnya Badan
Pelaksana Proyek, BUMN atau BUMD) maupun lembaga non pemerintah
(investor). Perannya terutama ketika terjadi ketidak seimbangan antara
permintaan dengan kemampuan menyediakan air, sehingga perlu
pembangunan prasarana misalnya bendungan, pengendali banjir atau jaringan
irigasi;
d. User atau penerima manfaat, yaitu mencakup seluruh unsur masyarakat baik
perorangan maupun kelompok yang mendapat manfaat langsung maupun tak
langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air;
e. Wadah koordinasi, yaitu wadah koordinasi yang berfungsi untuk menerima,
menyerap dan menyalurkan aspirasi dan keluhan semua unsur stakeholders.
Wadah ini bersifat perwakilan yang bertugas menyampaikan masukan kepada
regulator sekaligus menyiapkan resolusi dan rekomendasi penyelesaian
masalah-masalah sumber daya air. Keanggotaan badan ini tediri atas unsur
pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar
keterwakilan.
Sebagaimana diatur dalam pasal 86 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, sebagai wadah koordinasi tersebut dibentuk
Dewan Sumber daya Air yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,
wilayah serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air
melalui proses koordinasi. Secara berjenjang Dewan SDA dibentuk pada tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bilamana diperlukan pada tingkat wilayah
sungai.
Tugas Dewan SDA adalah: (a) menyusun dan merumuskan kebijakan serta
strategi pengelolaan sumber daya air; (b) memberikan pertimbangan untuk
penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (c) menyusun dan merumuskan
kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan
hidrogeologi; (d) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut
21
penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta pengusulan perubahan
penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah.
Dewan Sumber daya Air menyelenggarakan fungsi koordinasi melalui: (a)
Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan dan pengintegrasian kebijakan
serta tercapainya kesepahaman antar sektor, antar wilayah dan antar pemilik
kepentingan; (b) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan; (c) Konsultasi
dengan pihak terkait guna pemberian pertimbangan untuk penetapan wilayah
sungai dan cekungan air tanah; (d) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak
lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (e) Konsultasi dengan
pihak terkait guna keterpaduan kebijakan sistem informasi hidrologi,
hidrometeorologi dan hidrogeologi; (f) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi.
Menurut Gany (2005) setelah lolosnya Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang sumber daya air dari uji formil dan materiil Mahkamah Agung, perlu
segera diikuti dengan komitmen yaitu membentuk dan memfungsikan Dewan
Sumber Daya Air Nasional, wilayah sungai, propinsi dan kabupaten/kota untuk
memfasilitasi dialog konstruktif antara semua pihak terkait dalam pengelolaan
sumber daya air secara berkelanjutan melalui prinsip kemitraan yang sejajar.
Gany (2005) menyatakan bahwa perlunya penerapan pendekatan kemitraan
terpadu hulu, tengah dan hilir yang konsisten, pendataan terpadu dan transparan
dengan melibatkan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan
berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia,
kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan,
pendanaan yang memadai dan penegakan hukum yang konsisten.
Biaya pengelolaan sumber daya air telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan
nyata pengelolaan sumber daya air. Kebutuhan nyata adalah dana yang
dibutuhkan semata-mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air untuk
menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air. Biaya dimaksud mencakup tiga
aspek pengelolaan sumber daya air, yaitu konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Menurut pasal
77 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 jenis pembiayaan pengelolaan
sumber daya air meliputi:
22
a. Biaya sistem informasi;
b. Biaya perencanaan;
c. Biaya pelaksanaan konstruksi termasuk di dalamnya biaya konservasi sumber
daya air;
d. Biaya operasi dan pemeliharaan (OP); dan
e. Biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat.
Sumber dana untuk setiap jenis biaya dapat berasal dari: (a) Anggaran
pemerintah; (b) Anggaran swasta; dan atau (c) Hasil penerimaan biaya jasa
pengelolaan sumber daya air.
2.3 River Basin Organization (RBO)
Aspek kelembagaan merupakan satu komponen penting dalam proses
pengelolaan wilayah sungai yang terpadu dan menyeluruh. Kelembagaan wilayah
sungai, kemudian secara internasional dikenal sebagai River Basin Organization
(RBO), telah menjadi unsur yang menentukan dalam mengimplementasikan
konsep pengelolaan sumber daya air.
2.3.1 Perkembangan RBO di Dunia
Beberapa jenis RBO telah berkembang di dunia yang masing-masing
mempunyai sejarah, fungsi, tanggung jawab dan kapasitas yang berbeda
(Blomquist, et al. 2005). Mostert (1998) membagi RBO dalam tiga kategori
berdasarkan batasan wilayah operasionalnya, yaitu: (a) model hidrologi; (b)
model administratif; dan (c) model koordinasi. RBO model hidrologi adalah
suatu RBO yang wilayah operasionalnya didasarkan pada batas-batas hidrologi
sehingga jenis RBO ini seringkali melewati batas-batas administratif yang ada
Oleh karena itu pengelolaan sungai dari wilayah hulu sampai dengan hilir
secara utuh menjadi wewenangnya (Alaert dan Le Moigne 2003). RBO model
administratif merupakan kebalikan dari model hidrologi (Japan bank 2008). Pada
saat RBO ini praktek pengelolaan air diselenggarakan oleh pemda kabupaten
maupun provinsi yang wilayahnya dilewati oleh sungai tersebut. Oleh karena itu
pengelolaan sungai menjadi terbagi-bagi (fragmented). RBO model koordinasi
adalah suatu RBO dengan kombinasi dari kedua model diatas. Pada model ini,
pengambilan keputusan terutama dalam menentukan perencanaan wilayah sungai
23
yang strategis dilakukan secara model administrasi sedangkan pelaksanaannya
dilakukan secara model hidrologi.
Gambar 5 Model RBO berdasarkan batasan hidrologi
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa Inggris telah menerapkan RBO model
hidrologi. Setelah dibentuknya Nation Rivers Autority (NRA) yang awalnya
berfungsi mengelola catchment area. Namun sejak tahun 1996 NRA bergabung
dengan beberapa lembaga lingkungan dan berubah menjadi Environment Agency
(EA) yang merupakan lembaga semi independen dibawah Departemen
Lingkungan. EA memiliki tugas menjaga dan meningkatkan SDA segaligus
melindungi dari daya rusak air baik air sungai maupun air laut. EA juga memiliki
wewenang dalam perencanaan dan pengelolaan SDA, kualitas air,
penanggulangan banjir, perikanan, rekreasi, konservasi dan pelayaran laut.
Disamping itu, EA juga berwewenang dalam perencanaan penggunaan lahan atau
RTRW.
Portugal memiliki RBO model koordinasi dengan indikasi memiliki dua
lembaga pengelola air yaitu Institute For Water (INAG), lembaga sektoral dari
kementerian lingkungan dan sumber daya alam dan lima lembaga direktorat
lingkungan (DRARNs) pada kementerian yang sama. INAG bertanggungjawab
terhadap penetapan kebijakan dan perencanaan air nasional, plus perencanaan
wilayah sungai untuk empat wilayah sungai. Sedangkan DRARNs bertanggung
24
jawab terhadap penerapan dan draf perencanaan sebelas wilayah sungai nasional.
DRARNs wajib menerapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh INAG. DRARNs
tidak hanya kompeten dalam pengelolaan badan sungai tetapi juga perencanaan
penggunaan lahan (land use).
Pengelolaan sumber daya air di Jerman dan Belanda dipengaruhi oleh
konsep pengelolaan wilayah sungai yang tidak menyeluruh. Pengelolaan wilayah
sungai pada kedua negara tersebut dilakukan oleh pemerintahan daerah yang
dilewati oleh sungai tersebut, sehingga RBO adalah model administratif.
Menurut Moelle, Waster dan Hirsh (2007) RBO dibedakan berdasarkan
fungsi, tugas dan tanggung jawab operasionalnya. RBO dibagi menjadi empat
kategori, yaitu: (i) Otoritas wilayah sungai; (ii) Komite wilayah sungai; (iii)
Dewan koordinasi wilayah sungai; dan (iv) Komisi internasional wilayah sungai.
Hooper (2006) membagi RBO berdasarkan pada kemampuan dan fungsi dalam
arti yang lebih luas. Ada sembilan jenis RBO menurut Hooper, yaitu: (i) Panitia
penasehat (advisory committee); (ii) Otoritas (authority); (iii) Asosiasi
(association); (iv) Komisi pengawas (commission); (v) Dewan (council); (vi)
Badan Hukum (corporation); (vii) Badan Peradilan (tribunal); (viii) Kepercayaan
(trust); dan ( ix) Federasi (federation). Seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.
Disamping beraneka ragamnya pengelolaan sumber daya air yang telah
dilakukan pada berbagai negara, namun masih dan akan senantias pengelolan
sumber daya air dihadapkan pada permasalahan meningkatnya jumlah penduduk
yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan air yang dibarengi dengan
meningkatnya aktifitas sosial ekonomi. Peningkatan kebutuhan air ini seringkali
tidak dapat terpenuhi karena terbatasanya pasokan air dan infrastruktur yang ada.
Disamping itu pengelolaan sumber daya air sering dihadapkan pada berbagai
permasalahan baik dari aspek kelembagaan, aspek kebijakan, aspek pendanaan
dan aspek pengelolaan sumber daya airnya sendiri seperti dalam perencanaan,
pelaksanaan dan operasi pemeliharaannya. Pendekatan dalam pengelolaan sumber
daya air dapat dilakukan dengan cara tradisional maupun pendekatan pengelolaan
secara terpadu.
25
Tabel 3 Beberapa tipe RBO menurut Hooper
No Tipe Diskripsi
1 Panitia
Penasehat
(Advisory
Committee )
Lembaga formal atau non formal, dimana anggotanya bertanggung
jawab merencanakan kegiatan dan memberikan saran. Pada umumnya
mempunyai kekuatan hukum yang terbatas.
2 Otoritas
(Authority)
Lembaga kebijakan perencanaan pada pemerintahan tingkat pusat atau
daerah. RBO ini bisa menetapkan aturan atau memiliki otoritas untuk
menyetujui pengembangan di wilayahnya.
3 Asosiasi
(Association)
Suatu lembaga yang didirikan oleh individu atau kelompok dengan
berbagai latar belakang. Pada wilayah sungai lembaga ini mempunyai
bermacam-macam peran: tempat konsultasi, mendorong
pengembangan wilayah, pendidikan, menumbuhkan rasa memiliki
pada isu-isu pengelolaan SDA, fungsi pendidikan dan forum diskusi
4 Komisi
pengawas
(Commission)
Pada umumnya diberikan tugas untuk pertimbangan pengelolaan SDA.
Kewenanganya bervariasi meliputi evaluasi dan laporan,
menyelesaikan target dari kebijakan pemerintah atau kesepakatan
internasional. Komisi pengawas didirikan oleh suatu keputusan formal
dari pemerintah untuk mengatur wilayah dan SDA. Kadang-kadang,
komisi pengawas dapat juga mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengaturan.
5 Dewan
(Council)
Suatu lembaga formal beranggotakan tenaga ahli, menteri, politikus,
dan warganegara yang bersama-sama berdiskusi berbagai hal di dalam
pengelolaan SDA. Dewan berbeda dengan Komisi. Walaupun
beranggotakan tenaga ahli, dewan secara khusus memiliki kewenangan
pengaturan disamping penasehat kepada pemerintah
6 Badan Hukum
( Corporation )
Kelembagaan yang didirikan oleh perundang-undangan, yang terdiri
dari suatu kelompok orang, pemegang saham atau anggota (perusahaan
bukan laba), untuk menciptakan suatu organisasi, yang kemudian
memusatkan pada sasaran hasil yang sudah direncanakan. Memiliki
wewenang yang diatur oleh undang-undang seperti untuk menggugat
dan digugat, memiliki, mengadakan karyawan atau simpan pinjam
modal.
7 Badan Peradilan
( Tribunal )
Suatu badan yang dibentuk melalui prosedur yang formal dengan
kewenangan hukum yang sah. Pengambilan keputusan bersifat
birokratis. Stakeholders secara formal terlibat melalui dengar
pendapat. Keputusan yang utama diambil oleh badan independen,
seperti keputusan harga air. Badan ini bertindak sebagai suatu
mahkamah luar biasa yang menguji permasalahan khusus.
8 Kepercayaan
( Trust )
Peraturan hukum digunakan untuk mengatur keuangan atau
kepemilikan barang (tanah) orang atau organisasi. Suatu bentuk
organisasi yang mengembangkan dan melaksanakan perencanaan
strategis. Mandatnya lebih merupakan “penyokong”. Program
koordinasi setempat, melalui MoU atau perjanjian lain, dapat menaikan
pajak (dana) setempat untuk program kerja dan memantau kepentingan
masyarakat
9 Federasi
(Federation)
Kerjasama beberapa organisasi dalam suatu sistem pemerintahan atau
antara daerah dengan pusat yang berperan membangun dan mengelola
wilayah sungai. Kerjasamanya meliputi pola pelaksanaan, biaya
kerjasama, MoU, program kerja dan kebijakan yang disepakati.
Sumber: Hooper (2006)
Pendekatan tradisional berorientasi hanya pada sektor sumber air saja
sehingga daerah aliran sungai dan air tanah digambarkan sebagai suatu sistim fisik
yang kompleks yang berkaitan dengan hidrologi dan karakteristik dari
26
geomorphologi daerah aliran sungainya. Paradigma tradisional ini
mengasumsikan bahwa air merupakan sarana publik dikendalikan dan
pendistribusiannya disubsidi oleh pemerintah dan seringkali mengabaikan
keaneka-ragaman pemanfaatan dari wilayah sungai yang dapat berakibat buruk
pada pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan dari pengelolaan SDA.
Pada tahun-tahun belakangan ini ada perubahan dramatis didalam
pengelolaan sumber daya air sebagai hasil dari suatu paradigma baru. Pengelolaan
sumber daya air terpadu merupakan suatu sistim yang terintegrasi dengan
memperhatikan lahan, sumber dan lingkungannya. Pengelolaan sumber daya alam
ditentukan bagaimana pengelola memanfaatkan lahan dan sumber air untuk
sesuatu yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis bagi kesejahteraan
masyarakat.
Pendekatan ini menggambarkan suatu DAS sebagai suatu sistim dimana
sumber daya air akan dimanfaatkan dan dialokasikan lebih efektif ke pengguna
untuk pengembangan ekonomi. Telah banyak inovasi teknologi dan metodologi
yang diusahakan untuk dapat memadukan pendekatan ekologi dan ekosistim
dalam pengelolaan sumber daya air.
Paradigma baru mencoba menggambarkan wilayah sungai yang sangat luas
dan kompleks merupakan sistim ekologi yang terintegrasi serta mendorong
pemangku kepentingan untuk memperhatikan cakupan keterkaitan yang lebih luas
dari aspek sosial dan lingkungan dimana pengelolaan dilakukan dengan tujuan
sosial dan memfungsikan ekosistim yang ada. Pengelolaaan sumber daya air yang
terpadu ini akan mengintegrasikan berbagai sektor kepentingan dengan
pendekatan koordinasi untuk pengelolaan sumber daya air dari suatu daerah aliran
sungai dalam skala waktu dan ruang.
Meskipun pengelolaan terpadu telah mengkoordinasikan pengelolaan
dengan para pemangku kepentingan namun masih tetap dihadapkan pada
permasalahan klasik dari pengelolaan seperti perbedaan interpretasi tentang
kewenangan dan kepemilikan, konflik kepentingan, variasi dari tempat dan waktu
dalam penyediaan air, kerawanan terhadap bencana banjir dan kekeringan serta
kekurangan dalam pendanaan.
27
2.3.2 RBO di Indonesia
Kelembagaan atau institusi pengelola sumber daya air untuk Wilayah
Sungai (WS) di Indonesia masih relatif baru yakni dimulai pada tahun 1995
(Kurniawan 2009). Pada awalnya pengertian pengelolaan SDA lebih berkonotasi
sempit yakni kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Berkenaan
dengan terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pengertian
Pengelolaan Sumber daya air sudah mencakup pengertian yang lebih luas meliputi
perencanaan, pelaksanaan konstruksi serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka
konservasi-konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan
pengendalian daya rusak air (Gunalatika 2004).
Hingga akhir tahun 2008 di Indonesia telah terbentuk 59 UPTD Balai PSDA
yang tersebar di 15 Provinsi dan 30 UPT BBWS/BWS dan 2 BUMN pengelola
sumber daya air wilayah sungai, yakni Perum JasaTirta I (WS Brantas dan WS
Bengawan Solo) dan Perum Jasa Tirta II (WS Citarum). Oleh karena itu secara
keseluruhan telah ada 91 Pengelola SDAWS atau River Basin Organization
(RBO).
Menurut Sarwan (2009) secara garis besar, saat ini di Indonesia terdapat tiga
model institusi pengelola sumber daya air wilayah sungai atau biasa disebut River
Basin Organization (RBO), yakni: (a) RBO dengan O & M cost recovery di
dalamnya terdapat pengusahaan sumber daya air wilayah sungai (PJT I dan PJT
II); (b) RBO yang hanya melaksanakan O & P prasarana sumber daya air dengan
biaya APBD (59 UPTD di bawah Dinas PU provinsi); dan (c) RBO dengan
kegiatan lengkap mulai dari perencanaan, pengembangan dan O & P dengan biaya
APBN dan belum melaksanakan OM cost recovery (30 UPT/BWS/BBWS
dibawah Ditjen Sumber daya air, Kementerian Pekerjaan Umum).
a) Balai Besar/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS)
Berdasarkan Permen PU Nomor 11A/PRT/M/2006 wilayah sungai lintas
negara, lintas provinsi dan strategis nasional yang jumlahnya 69 buah merupakan
wewenang dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Sumber daya air (Wright dan Sanjaya 2007). Ketika
melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah dalam hal ini Departemen PU
dengan persetujuan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara membentuk
28
30 UPT BWS/BBWS yang terdiri 11 UPT BBWS dan 19 UPT BWS dengan
wilayah kerja meliputi 69 WS kewenangan pusat.
Wilayah kerja UPT BBWS/BWS menggunakan wilayah kerja
hidrologis/wilayah sungai. Namun dari 69 WS kewenangan pusat hanya ada 30
BWS/BBWS, sehingga satu BWS/BBWS umumnya mempunyai wilayah kerja
lebih dari 1 WS. Namun dilain pihak, terdapat 1 WS (Ciujung-Cidanau, Cidurian,
Ciliwung Cisadane dan Citarum) dengan 3 (tiga) UPT BBWS.
Pada awal tahun 2007 pembentukan unit pengelola SDAWS bergulir terus
dengan bertambahnya 30 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Wilayah Sungai
(BWS) dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pengelola SDAWS sebagai
organisasi struktural yang berada dibawah Direktorat Jenderal Sumber daya air.
Pembentukan 30 UPT BBWS/BWS tersebut merupakan konsekwensi logis dari
adanya kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan SDA sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA pasal 14, 15, 16 dan
adanya sistem unified budget yang tidak dikenal lagi organisasi proyek (Sarwan,
2009). Pemerintah pusat mempunyai kewenangan melaksanakan pengelolaan
SDAWS pada wilayah sungai yang bersifat lintas negara, lintas provinsi dan
strategis nasional. Balai Besar Wilayah Sungai mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Menyusun pola dan rencana pengelolaan;
2) Menyusun rencana dan pelaksanaan penyuluhan kawasan lindung sumber air
pada wilayah sungai;
3) Melakukan pengelolaan SDA yang meliputi konservasi, pembangunan,
pendayagunaan dan pengendalian daya rusak;
4) Menyiapkan rekomendasi teknis dalam pemberian izin atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA;
5) Melaksanakan OP, pengelolaan sistem hidrologi dan pemberdayaan
masyarakat.
b) Balai PSDA
Pada awalnya, Balai PSDA berbentuk satgas PSDA yang dibentuk di lima
WS pilot. Satgas ini dibentuk dengan SK Dirjen Pengairan, bukan merupakan unit
organik di bawah Ditjen Pengairan maupun Dinas PU Provinsi, namun bersifat
29
sementara dan bertanggung jawab kepada kepala dinas PU pengairan provinsi.
Satgas PSDA ini cukup unik sebab yang membentuk adalah Dirjen Pengairan
(pusat) namun bertangggung jawab kepada kepala Dinas Provinsi (daerah) dan
SDM nya pun sebagian besar merupakan SDM campuran dari daerah dan PIPWS.
Hal ini dapat dipahami karena pada saat itu belum ada kejelasan wewenang
pengelolaan SDA sehingga muncul anggapan bahwa Dinas PU di daerah
berafiliasi ke Departemen Pekerjaan Umum.
Kemudian, pada tanggal 23 Oktober 1996 Menteri dalam Negeri
menerbitkan keputusan No. 179 Tahun 1996 tentang pedoman pembentukan dan
Tata Kerja Balai PSDA. Dengan Kepmen Mendagri tersebut disiapkan
pembentukan Balai PSDA sebanyak 30 buah di Pulau Jawa yakni Jawa Timur
tahun 1996 (9 Balai) disebut Balai PSAWS, tahun 1997 di Jawa Barat 6 Balai
PSDA, tahun 1999 di Jawa Tengah 7 Balai PSDA dan 2 Balai PSDA di DIY.
Pembentukan Balai PSDA termasuk lima organisasi Satgas PSDA sebagai pilot
untuk menjadi Balai PSDA. Fungsi Balai PSDA adalah:
1) Perumusan kebijakan operasional di bidang pengelolaan SDA;
2) Pembinaan pelaksanaan operasional di bidang SDA meliputi pembinaan
program, pembinaan konservasi dan pelestarian, pembinaan teknik, pembinaan
pelaksanaan operasi dan pemeliharaan serta pembinaan pemanfaatan;
3) Penyediaan fasilitas dan sistem investasi pengusahaan SDA;
4) Pemberian perijinan pemanfaatan air dan SDA serta pelaksanaan pelayanan
umum di bidang pengelolaan SDA;
5) Fasilitasi pelaksanaan pengelolaan SDA;
6) Pengawasan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan SDA;
7) Penyelenggaraan tugas-tugas ketatausahaan.
Tugas Balai PSDA lebih dititikberatkan pada pengelolaan WS dalam arti
sempit (yakni OP SDA) sebagaiman dituangkan dalam Kepmendagri diatas.
Melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pengertian pengelolaan SDA
menjadi sedemikian luas yakni upaya merencanakan, melaksanakan, memantau
dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Maka dalam merumuskan tugas
dan fungsi UPT BBWS/BWS mengikuti pengertian yang ada dalam Undang-
30
undang Nomor 7 Tahun 2004. Tugas BWS/BBWS adalah melaksanakan
pengelolaan sumber daya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi,
serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi-konservasi sumber daya
air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.
Berkaitan dengan wilayah kerja antara UPTD/Balai PSDA yang saat ini
berjumlah 59 buah dan UPT (BWS/BBWS) yang saat ini berjumlah 31 buah,
separuh lebih mempunyai wilayah kerja yang saling overlaping. Hal tersebut
terjadi karena sebagian besar UPTD/Balai PSDA dibentuk mendasarkan
pembagian wilayah sungai sesuai dengan Peraturan Menteri PU No. 39 tahun
1989 sedangkan wilayah kerja UPT (BWS/BBWS) mendasarkan wilayah sungai
sebagimana diatur dalam Permen PU Nomor 11A Tahun 2006.
Pada saat penataan organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 41 Tahun 2007 dalam kenyataannya wilayah
kerja UPTD/Balai PSDA hampir tidak mengalami perubahan bahkan ada
kecenderungan jumlah UPTD bertambah banyak. Overlapping wilayah kerja
antara UPTD dengan UPT tersebut dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan sering
menimbulkan keraguan khususnya bagi rekan-rekan dari UPTD.
c) Model Perum Jasa Tirta (PJT I dan PJT II)
Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sejak 30 tahun
lalu dalam melaksanakan kegiatan O & P adalah keterbatasan dana. Keterbatasan
ini mengakibatkan penurunan fungsi prasarana pengairan karena mengurangi
umur teknis dan unjuk kerja bangunan tersebut. Akibatnya kemampuan mensuplai
air guna memenuhi tuntutan berbagai sektor pemanfaat (pertanian, domestik,
industri dan lingkungan) mengalami penurunan juga.
Guna menjawab persoalan di atas, digagas pendirian suatu badan usaha
yang memiliki tugas pokok mengelola wilayah sungai beserta prasarana pengairan
yang telah dibangun, sehingga pemenuhan kebutuhan air untuk berbagai sektor
dapat tersedia secara akuntabel. Pada tanggal 4 November 1986, dalam rapat yang
dipimpin Menteri PU disepakati pembentukan suatu lembaga yang menangani
wilayah sungai Kali Brantas dengan nama Perum Jasa Tirta Brantas. Selanjutnya,
dalam PP Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perum Jasa Tirta dikukuhkan sebagai
sebuah badan usaha milik negara (BUMN) yang berkedudukan di Kota Malang.
31
Pemerintah menerbitkan PP Nomor 93 Tahun 1999 (13 Oktober 1999) yang
mengatur kembali keberadaan Perum Jasa Tirta. Sesuai Pasal 2 Ayat (2) dari PP
tersebut, ditetapkan Perum jasa Tirta sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 5
Tahun 1990 diubah namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) JasaTirta I.
Pada 14 september 2000 terbit Kepres Nomor 129 tahun 2000 dengan menambah
wilayah kerjanya dengan Wilayah Sungai (WS) Bengawan Solo beserta 25 anak
sungainya.
PJT I diberi wewenang memungut iuran eksploitasi dan pemeliharaan (EP)
kepada para pengguna komersial dan hasil dana yang diperoleh digunakan untuk
membiayai kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana SDA. Melalui
pendiriannya, PJT tersebut mulai diterapkan prinsip "pemanfaat membayar” (user
pay principle), meskipun hanya terbatas pada pemanfaat yang bersifat komersil
saja seperti penggunaan air baku untuk air minum, airbaku untuk industri dan air
baku untuk tenaga listrik.
Sebelum PJT I Brantas berdiri lebih dulu Perum Otorita Jatiluhur (POJ)
yang mengelola WS Citarum telah dibentuk dengan PP Nomor 20 Tahun 1970.
POJ merupakan peleburan dari berbagai institusi yang berada di wilayah Jatiluhur.
Institusi-institusi tersebut adalah Proyek Irigasi Jatiluhur (Dep. PU), Proyek
Pengairan Tersier Jatiluhur (Depdagri), PN Jatiluhur (Dep. Industri) dan Jawatan
Jawa Barat Balai Daerah Purwakarta (Propinsi Jawa Barat). Dapat dipahami
bahwa pada awal pendiriannya POJ memiliki wilayah kerja terbatas pada bagian
hilir (wilayah Jatiluhur) dengan tugas pokok OP jaringan irigasi Jatiluhur dan
pengelolaan tenaga listrik. Dengan demikian, POJ melaksanakan pelayanan umum
yang bersifat sosial dan sekaligus pengusahaan air yang bersifat komersial. POJ
memobilisasi dana iuran dari para penerima manfaat guna pembiayaan OP
prasarana SDA dan pelaksanaan usahanya.
PP tentang POJ ini mengalami beberapa kali penyesuaian dengan terbitnya
PP Nomor 35 Tahun 1980 dan disesuaikan lagi dengan PP Nomor 42 Tahun 1990.
Selanjutnya terbit PP Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum dan POJ
diubah dan disesuaikan dengan nama Perum Jasa Tirta II (PJT II) berdasarkan PP
Nomor 94 Tahun 1999.
32
Berdasarkan konteks pengelolaan wilayah sungai, kenyataan dil apangan
menunjukkan bahwa peran PJT II berbeda dengan PJT I. Wilayah kerja PJT II
lebih terkonsentrasi pada pengelolaan bendungan Jatiluhur dan wilayah
pelayanannya di hilir, sedangkan di bagian tengah terdapat dua bendungan yaitu
Saguling dan Cirata yang dibangun dan dikelola oleh PLN untuk pembangkit
tenaga listrik. Demikian pula pada bagian hulu, dapat dikatakan kegiatan yang
dilakukan oleh PJT II sangat minimal.
2.4 Keterkaitan Pengelolaan SDA dengan Penataan Ruang
Air memerlukan ruang untuk berlangsungnya proses produksi air secara
alamiah yang disebut siklus hidrologi. Proses tersebut terjadi di ruang-ruang
atmosfir, daratan, dan lautan. Ruang untuk air ini sering berbenturan dengan
ruang untuk kepentingan manusia, misalnya tangkapan air di hulu yang
seharusnya merupakan hutan lindung telah dialih fungsi menjadi lahan budi
daya pertaniaan, permukiman, dan lain-lain. Daerah dataran banjir yang juga
merupakan ruang air telah menjadi daerah pertanian intensif yang kemudian
telah berkembang menjadi pusat-pusat permukiman penduduk di desa bahkan
di perkotaan. Bantaran sungai telah menjadi permukiman penduduk, dan
banyak ruang-ruang air lainya telah ditempati oleh manusia baik secara legal
maupun illegal (Kodoatie, 2009).
DAS sebagai terjemahan dari watershed secara harfiah diartikan sebagai
permukaan miring yang mengalirkan air. Dalam konteks suatu unit
pengelolaan DAS didefinisikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh
topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit/gunung
yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya
melalui saluran-saluran pengaliran ke satu titik (outlet), yang umumnya
berada di muara sungai atau danau. DAS dengan titik patokan berada di
sungai biasa dikategorikan sebagai Sub DAS.
DAS merupakan satu kesatuan unit sistem hidrologi, yaitu bahwa kuantitas
dan kualitas air di outlet merupakan satu titik kajian hasil air (water yield). Water
yield ini merupakan akumulasi aliran permukaan tanah (surface flow), aliran bawah
permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). Berdasarkan
prinsip kesatuan hidrologi ini maka sebenarnya batas DAS tidak hanya ditentukan
33
oleh topografi, akan tetapi juga oleh struktur batuan yang menentukan pola aliran
ground water flow. Delineasi pola aliran ground water ditetapkan dan cenderung
bersifat dinamis, sehingga dengan pertimbangan praktis batas DAS hanya
ditentukan berdasarkan aliran permukaan. Mengacu pada sistem hidrologi, maka
ada keterkaitan yang jelas antara DAS bagian hulu dan hilir. Aktivitas yang
mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi bagian
tengah dan hilir.
Dilain pihak, manusia memerlukan ruang untuk menjalankan kehidupan dan
melaksanakan kegiatannya. Ruang tersebut harus diatur penggunaannya agar tidak
terjadi konflik ruang antar kegiatan yang dilakukan manusia, sektor, ataupun
daerah sehingga setiap proses kegiatan dapat dilakukan dengan hasil yang optimal
dan mencegah dampak negatif yang mungkin dapat terjadi. Upaya untuk menata
ruang yang digunakan oleh berbagai kegiatan manusia tersebut dikenal sebagai
“tata ruang”. Tata ruang telah menjadi suatu konsep dan berkembang menjadi
suatu disiplin ilmu yang menginduk kepada disiplin ilmu perencanaan wilayah.
Keterkaitan antara pengaturan wilayah sungai dan penataan ruang dapat dilihat
pada pasal 59 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA, yang
menyatakan bahwa rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu
unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan atau penyempurnaan rencana
tata ruang wilayah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan
ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud dari struktur ruang dan pola
ruang.
Sering kali terjadi perbenturan antara penggunaan ruang untuk kepentingan
manusia dan tata ruang air yang telah menimbulkan gangguan dan kerusakan, baik
untuk kepentingan keberadaan air maupun untuk kehidupan manusia sendiri.
Ruang air yang paling penting yang mempunyai potensi untuk terjadinya konflik
dengan ruang manusia adalah ruang air yang ada di darat yang dalam konsep
pengelolaan air harus berbasis daerah aliran sungai (DAS). Upaya menata ruang
air untuk memberikan hasil dan dampak yang optimal harus dilakukan diruang air
34
darat, secara spesifik di wilayah sungai. Upaya tersebut disebut “tata ruang air –
wilayah sungai”. Tata ruang air – wilayah sungai, dalam konteks konsep tata
ruang air, bertujuan terutama untuk “mengatur ruang air di wilayah sungai
sedemikian rupa untuk dapat memaksimalkan peresapan air ke dalam tanah,
sehingga meminimalkan air permukaan”. Rencana pengelolaan sumber daya air
wilayah sungai menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas kabupaten/kota
menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi
bersangkutan; rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi
menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang
bersangkutan (Kodoatie, 2009).
Selain sebagai masukan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah,
rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai juga digunakan sebagai
masukan untuk meninjau kembali rencana tata ruang wilayah dalam hal terjadi
perubahan-perubahan, baik pada rencana pengelolaan sumber daya air maupun
pada rencana tata ruang pada periode waktu tertentu. Perubahan yang dimaksud
merupakan tuntutan perkembangan kondisi dan situasi. Dengan demikian, antara
rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah terdapat
hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.
Menurut PP Nomor 42 tahun 2008, Pengelolaan sumber daya air
diselenggarakan dengan berlandaskan pada: (a) kebijakan pengelolaan sumber
daya air pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b) wilayah sungai
dan cekungan air tanah yang ditetapkan; dan (c) pola pengelolaan sumber daya air
yang berbasis wilayah sungai. Berdasarkan PP yang sama juga pola pengelolaan
sumber daya air dijabarkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air melalui
inventarisasi sumber daya air serta penyusunan dan penetapan rencana
pengelolaan sumber daya air. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan
rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan
kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan
pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi.
Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program konservasi sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air yang
35
meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar
upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur
dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata
ruang wilayah.
Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
definisi penataan ruang sendiri adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang
wilayah dalam kaitannya untuk pengelolaan SDA yaitu untuk pemeliharaan
kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air, pengembangan sumber
daya air, pencegahan bencana akibat daya rusak air.
Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Adapun pengertian umum wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan
sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau
kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. Wilayah sungai
meliputi wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah
sungai strategis nasional.
Cakupan wilayah sungai (WS) dapat meliputi satu atau lebih DAS
kabupaten/kota, propinsi maupun nasional. Terdapat hubungan timbal balik antara
pengaturan wilayah sungai (WS kabupaten/kota, propinsi, nasional) dan penataan
ruang (RTRW kabupaten/kota, propinsi, nasional). Keduanya saling
mempengaruhi dan bersifat interaktif dalam pengembangan Kegiatan sosial-
ekonomi suatu wilayah yang optimal dan berkelanjutan.
Sistem DAS terdiri dari unsur bio-fisik yang bersifat alami dan unsur-unsur
non-biofisik. Unsur biofisik terdiri dari, vegetasi, hewan, satwa liar, jasad renik,
tanah, iklim dan air. Sedangkan unsur nonbiofisik adalah manusia dengan
berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap
politik, kelembagaan serta tatanan masyarakat itu sendiri. Adanya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan sumberdaya alam di dalam sistem
36
DAS semakin terarah, melalui penerapan teknik-teknik budidaya tanaman
pertanian, perkebunan, padang rumput, peternakan, atau kehutanan.
Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung di sistem DAS
dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan peningkatan
nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk pembangunan
waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan tenaga listrik,
sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Pengkajian dan studi
mengenai pengembangan DAS dan pemanfaatan sumber daya air sebaiknya
ditinjau dari kerangka umum pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS)
sebagai satuan hidrologi.
Oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan faktor-faktor
bio-fisik DAS yang mempengaruhi proses hidrologi, selain faktor curah hujan
sebagai masukan utama dalam proses hidrologi pada suatu DAS. Berdasarkan
uraian tersebut di atas dapat dikembangkan berbagai solusi pemecahan masalah
yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam dengan konsep
pendekatan ekosistem DAS.
Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemanfaatan
sumberdaya alam di dalam sistem DAS semakin terarah, melalui penerapan
teknik-teknik budidaya tanaman pertanian, perkebunan, padang rumput,
peternakan atau kehutanan. Selain itu potensi sumberdaya alam yang terkandung
di sistem DAS dimanfaatkan dengan mengarah pada pengaturan ketersediaan dan
peningkatan nilai tambah sumberdaya alam yang ada, misalnya dalam bentuk
pembangunan waduk atau bendungan untuk mengatur air irigasi, menghasilkan
tenaga listrik, sarana rekreasi, usaha perikanan dan lain-lain kegiatan. Menurut
Prastowo (2009), konsep daya dukung lingkungan sebagaimana Gambar 6
berikut.
37
Gambar 6 Konsep daya dukung lingkungan (Prastowo, 2009)
2.5 Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga
pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada
perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumberdaya yang efisien.
Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman
hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia.
Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem
sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa
kini dengan generasi mendatang.
Menurut Barbier (1987), tantangan pembangunan berkelanjutan adalah
menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan
sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan
harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem
pengelolaan aset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan
kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi
dan lingkungan/ekosistem serta ukuran keberhasilannya dapat dilihat dan
dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap
keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan
sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi
Lahan
Kemampuan Lahan Alami/Potensi
produktivits lahan
Penggunaan Lahan
Air
Air tertahan (stored water)
Tingkat Produktivitas
Lahan Aktual
Kelebihan Air Hujan
(excess rain water) Jumlah dan Kualitas air
tersedia +
Daya Dukung Lingkungan
Kebutuhan Manusia
Kualitas
Udara
Status Daya
Dukung Lingkungan
Kriteria Daya
Dukung Lingkungan
38
terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap
kemandirian teknis (Nurmalina, 2007).
Terkait dengan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan, Nurmalina
(2007) mengungkapkan empat ciri-ciri spesifik terpenting lingkungan khususnya
sebagai agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan
(equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan
produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian
tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara
masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan
sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai
kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas
sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi lingkungan.
Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek
lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,
dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United
Nation's conference on the human environment di Stockholm tahun 1972.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sehagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan
datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Soegandy dan Hakim, 2007).
Komisi Bruntland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah
suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu
proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa
depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum,
pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang
mendukung semua kehidupan di muka bumi.
39
Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik.
Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat.
Tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau
dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan
pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses
terhadap sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata dan sebagainya
sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana
karakter vektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu.
Berkenaan dengan hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati
secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar
berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan
ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi dan sosial.
Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan
kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Ketika
mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah
menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga
(Gambar 7).
Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk
pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan
jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan
(Munasinghe, 1993). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan
pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan
kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.
40
Gambar 7 Konsep pembangunan berkelanjutan
Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut
harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.
Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan
pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil
pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,
pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.
Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,
dan pengendalian lingkungan hidup (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009).
Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai
cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan
melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya
melalui proses penataan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pelestarian
lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan
EKOLOGI Sumber Daya Alam
Wilayah Perbatasan)
SOSIAL Keadilan
Pemerataan
Kesejahteraan
Nilai-nilai budaya
Partisipasi
Konsultasi
41
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, guna terjaganya kehidupan
berkualitas. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sedangkan sumberdaya
adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya
alam, baik hayati maupun non hayati dan sumberdaya buatan.
Menurut Senanayake (1991), membangun pengukuran kuantitatif untuk
keberlanjutan adalah prasyarat penting. Indikator keberlanjutan telah didefinisikan
sebagai indikator yang memberikan informasi secara langsung atau tidak langsung
mengenai viabilitas di masa datang dari berbagai level tujuan (sosial, ekonomi dan
ekologi). Walker dan Reuter (1996) menunjukkan bahwa indikator untuk menilai
keberlanjutan dibagi dalam dua tipe, yaitu: (1) indikator kondisi yang
mendefinisikan kondisi sistem relatif terhadap kondisi sistem relatif terhadap
kondisi yang dapat digunakan untuk menilai lingkungan; dan (2) indikator trend
yang menggambarkan seluruh kecenderungan linier dari suatu keadaan
sumberdaya selama periode simulasi.
Penelitian keberlanjutan dilakukan oleh Ridwan (2006) yang menggunakan
enam dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologis, ekonomis, sosial budaya,
hukum, kelembagaan dan teknologi. Persamaan dengan penelitian ini adalah
menggunakan analisis MDS dan analisis finansial usaha, namun perbedaannya
terletak pada analisis lanjutan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
menggunakan analisis ekonometrika dan sistem dinamik pada usaha peternakan
sapi perah di kawasan pariwisata Kabupaten Bogor.
Penelitian keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan di wilayah
perbatasan Kalimantan Barat dilakukan Marhayudi (2006) dengan menggunakan
analisis MDS pada enam dimensi namun perbedaannya dilanjutkan dengan
analisis sistem dinamik dan perspektif. Demikian pula Thamrin (2009) meneliti
keberlanjutan di Kalimantan Barat dengan menggunakan MDS pada enam
dimensi yang sama, namun dengan tambahan analisis kesesuaian lahan, kelayakan
finansial dan prospektif.
Model adalah penyederhanaan dari dunia nyata. Kebijakan adalah
serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang
berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi
42
tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para
pembuatnya (Dunn, 2003). Menurut Dunn (2003), kebijakan adalah peraturan
yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi
suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan), baik besaran maupun arahnya yang
melingkupi kehidupan masyarakat umum.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang
dengan benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sementara itu menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, definisi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan
berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan
sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi. Hal ini meliputi intervensi
pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja
dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya.
Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi
yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.
2.6 Multi Dimensional Scaling (MDS)
MDS merupakan salah satu metode multy variate yang dapat menangani
data metrik (skala ordinal atau nominal). Metode ini juga dikenal sebagai salah
satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduce
space). Ordinasi sendiri merupakan proses plotting titik obyek di sepanjang
sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship)
atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Thamrin,
2009). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multi dimensi dapat
diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana. Metode ordinasi juga
43
memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai
proyeksi yang dihasilkan. MDS juga merupakan teknik statistik yang mencoba
melakukan transformasi multi dimensi kedalam dimensi yang lebih rendah
(Thamrin, 2009). Menurut Marhayudi (2006), MDS adalah suatu kelas prosedur
untuk menyajikan persepsi secara spasial dengan menggunakan tayangan yang
dapat dilihat. Persepsi atau hubungan antara stimulus secara psikologis
ditunjukkan sebagai hubungan geografis antara titik-titik di dalam suatu ruang
multi dimensional. Sumbu dari peta spasial diasumsikan menunjukkan dasar
psikologis atau dimensi yang dipergunakan oleh responden, untuk membentuk
persepsi sebagai stimulus.
Teknik ordinasi dalam MDS didasarkan pada euclidian distance, yang
dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut:
...........2
21
2
21
2
21 zzyyxxd ................................................(1)
Konfigurasi atau ordinasi suatu objek di dalam MDS selanjutnya diaproksimasi
dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal
ij sebagaimana persamaan berikut:
ijijd ...............................................................................................(2)
Metoda yang dipergunakan untuk meregresikan persamaan diatas adalah
metoda ALSCAL, yaitu metoda least squared bergantian yang didasarkan pada
akar dari euclidian distance (squared distance). Metoda ini mengoptimisasi jarak
kuadrat (squared distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk) dalam
tiga dimensi (i, j, k) dan ditulis dalam formula yang disebut s-stress sebagai
berikut:
m
k
i
ijk
i j
ijkijk
oj
od
mS
14
222
1 ........................................................................(3)
jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang dibobot atau ditulis dengan rumus:
21
2
jaia
r
a
kaijk xxWd
......................................................................................(4)
Aplikasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
44
(1) Desk study
Pada tahap ini dilakukan pencarian informasi yang terkait loksi penelitian
melalui berbagai saluran informasi seperti internet, lembaga penelitian,
perguruan tinggi dan lembaga pemerintah lainnya. Data sekunder dimaksud,
dipergunakan untuk mengisi kolom nilai bagi atribut-atribut yang telah
dipersiapkan untuk lokasi penelitian;
(2) Konsultasi ahli
Kolom nilai atribut yang tidak dapat diisi oleh informasi sekunder yang ada,
dikonsultasikan ke narasumber yang dianggap memiliki penguasaan
pengetahuan berkaitan dengan pertanyaan pada kolom atribut. Melalui
konsultasi ahli ini, juga dilakukan penggalian informasi berkaitan dengan
data sekunder yang telah ada, guna penyempurnaan informasi;
(3) Verifikasi lapang
Kegiatan ini dilakukan melalui kunjungan lapangan untuk memperkaya data
sekunder dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Disamping itu, dalam
kunjungan lapangan ini juga dilakukan wawancara/diskusi kepada berbagai
pihak, seperti:
1) Pejabat dinas terkait yang bertanggung jawab atas kegiatan perindustrian
dan perdagangan di lokasi, berkaitan dengan kebijakan lokal,
pengalaman lapang pejabat dan kegiatan di lokasi;
2) Pelaku yang terlibat di lokasi penelitian terpilih dan dibantu dengan
daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya;
(4) Tabulasi dan pengolahan data
Sebelum dilakukan tabulasi, seluruh data yang dikumpulkan didiskusikan
kembali untuk memperoleh jawaban final berkaitan dengan atribut yang
dipergunakan. Selanjutnya, hasil tabulasi dijadikan dijadikan bahan dasar
bagi tahapan entry data ke program;
(5) Interpretasi hasil
Ketika melakukan interpretasi hasil, setiap kegiatan diamati aspek-aspeknya
yang berkinerja baik, sedang atau buruk, sehingga dapat ditentukan
statusnya. Mengingat nilai indeks keberlanjutan pada lokasi penelitian
berada dalam selang 0 (bad) sampai 100 (good), maka untuk mempermudah
45
penentuan status keberlanjutannya dilakukan pengelompokkan nilai indeks
dimaksud.
Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional
untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan, yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good)
dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks
keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kategori status keberlanjutan DAS Citarum
Nilai Indeks Kategori
0 -25
26 - 50
51 - 75
76 – 100
Sangat Buruk
Buruk
Baik
Sangat baik
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Melalui proses
rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai
indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (sangat baik). Jika
sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama
dengan 50% (> 50%), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan
dinyatakan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% (< 50%).
Pada analisis Rap-Citarum, analisis ordinasi dilakukan untuk menentukan
ordinasi dan nilai stress. Setelah itu dilakukan penyusunan indeks dan status
keberlanjutan wilayah sungai Citarum, baik yang dikaji secara umum maupun
pada setiap dimensi. Kemudian diintegrasikan analisis sensitivitas (leverage
analysis) untuk menilai penyimpangan/anomali yang terjadi dan melihat atribut
atau peubah sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan.
Analisis leverage atau analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui
efek stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan saat dilakukannya ordinasi. Pada
M atribut, analisis leverage dilakukan M+1 kali perhitungan, yaitu 1 kali
perhitungan terhadap seluruh atribut (M atribut) dan M kali terhadap salah satu
atribut jika dihilangkan. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan
standardisasi atribut untuk menyamakan skala pada skor masing-masing atribut.
46
Hasil analisis leverage ini menunjukkan persentase perubahan root mean square
masing-masing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut yang memiliki
persentase tertinggi merupakan atribut yang paling sensitif/berpengaruh kuat
terhadap keberlanjutan (Iswari, 2008).
Berdasarkan analisis tersebut akan terdapat pengaruh error yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena
kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum
sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses
analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan input data atau ada data yang hilang
dan tingginya nilai stres (nilai stress dapat diterima jika nilainya <25%) (Iswari
2008). Guna mengevaluasi pengaruh error pada pendugaan nilai ordinasi
digunakan analisis monte carlo.
Menurut Gomes dan Helmsing (2007), analisis monte carlo dilakukan
pada tahapan terakhir dari analisis keberlanjutan yang dilakukan untuk menilai
ketidakpastian dalam multy dimensional scalling. Analisis monte carlo merupakan
metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek dari random error pada proses
pendugaan serta untuk mengestimasikan nilai yang sebenarnya.
Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari nilai s-stress yang dihitung
berdasarkan nilai s diatas dan R2. Nilai stres yang rendah menunjukkan good of
fit, demikian pula sebaliknya. Menurut Budiharsono (2005), model yang baik
ditunjukkan dengan nilai s < 0,25 dan nilai R2 yang baik, jika mendekati 1.
Apabila perbedaan (selisih antara hasil perhitungan MDS dengan hasil
perhitungan monte carlo tidak lebih dari satu, maka sistem yang dikaji sesuai
dengan kondisi nyata (Iswari, 2008).
2.7 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Proses hierarki analitik (analytical hierarchy process - AHP)
dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Business pada
tahun 1970 untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih
alternatif yang paling disukai (Saaty dalam Marimin, 2004). Pada saat
menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka
berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk
mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang
47
kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan
keputusannya.
Prinsip kerja AHP adalah penyerderhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, strategis dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata
dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel yang lain. Berdasarkan berbagai pertimbangan
tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki
prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan
keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami
oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Melalui AHP,
proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih
kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji
konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai
konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu
diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang.
Data dapat diperoleh dengan cara wawancara langsung dan pengisian
kuesioner. Oleh karena pendekatan AHP berbasis pada expertices judgement,
maka pemilihan responden ditujukan pada responden yang benar-benar
memahami permasalahan. Guna mengkuatitatifkan data kualitatif pada materi
wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 - 9 dalam penyusunan skala
kepentingan seperti pada Tabel 5.
48
Tabel 5 Matriks perbandingan/komparasi berpasangan
Tingkat
Kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting daripada elemen lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat
mendukung satu elemen dibanding
elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting
daripada elemen yang lainnya
Pengalaman dan penilaian sangat kuat
mendukung satu elemen dibanding
elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting
daripada elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung dan
dominasi terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak iebih
penting daripada elemen lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang
satu terhadap elemen yang lain
memiliki tingkat penegasan tertinggi
yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai
pertimbangan yang berdekatan
Nilai diberikan bila ada dua kompromi
diantara dua pilihan.
Jika vektor pembobotan elemen - elemen kegiatan A1, A2, A3 dinyatakan
sebagai vektor W, dengan W = (W1,W2, W3), maka intensitas kepentingan elemen
kegiatan A1 dibandingkan dengan A2 dinyatakan sebagai perbandingan bobot
elemen A1 kegiatan A2 terhadap A2, yaitu W1/W2 = A12 Matriks perbandingan
berpasangan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Matriks perbandingan berpasangan
A1 A2 A3 ………… An
A1 W1/W1 W1/W2 W1/W3 ………… W1/Wn
A2 W2/W1 W2/W2 W2/W3 ………… W2/Wn
A3 W3/W1 W3/W2 W3/W3 ………… W3/Wn
… … … … ………… …
An Wn/W1 Wn/W2 Wn/W3 ………… Wn/Wn
Nilai Wi/Wj, dengan i, j = 1, 2, 3,.......n didapat dari partisipasi yaitu para
pengambil keputusan yang berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis.
Bila matriks ini dikalikan dengan vektor kolom W (W1, W2, W3.......Wn) maka
diperoleh hubungan: A W = n W. Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh
nilai W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut:
(A - nI) W = 0 ........................................................................................(5)
Keterangan: I = Matriks identitas
49
a) Matriks Pendapat Individu
Formula matriks pendapat individu dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai
berikut:
Tabel 7 Formula matriks pendapat individu
C1 C2 ...................... Cn
C1 1 A12 ..................... A1n
C2 1/a12 1 ...................... A2n
.... .... .... ...................... ....
Cn 1/a1n 1/a2n ...................... 1
Dalam hal ini C1, C2, ..., Cn adalah set elemen pada satu tingkat
keputusan dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang
mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj.
b) Menghitung akar ciri, untuk mendapatkan akar ciri: (A - n I) = 0
Dijelaskan dengan menggunakan matriks A:
0
100
010
001
1
1
1
3231
2321
1312
n
aa
aa
aa
0
00
00
00
1
1
1
3231
2321
1312
n
n
n
aa
aa
aa
Hasil perhitungan akan didapatkan akar ciri n1, n2, n3
c) Menghitung vektor ciri
Nilai vektor ciri merupakan bobot setiap elemen untuk
mensintesis Judgement dalam penentuan prioritas.
Vektor ciri (w) maka akar ciri (n) maka rumusnya:
(A-nI)w = 0 ;
dengan menggunakan normalisasi W1 + W2 + W3 = 1, maka didapatkan n
maksimum = 2, maka perkaliannya sebagai berikut:
A-n I w = 0
0
100
010
001
2
1
1
1
3
2
1
3231
2321
1312
w
w
w
aa
aa
aa
50
Maka diperoleh:
0
21
21
21
3
2
1
3231
2321
1312
w
w
w
aa
aa
aa
Pada akhir perhitungan diperoleh vektor ciri w1, w2, w3. Vektor ciri dapat
memberikan pilihan skenario yang paling optimal.
d) Perhitungan konsistensi
Perhitungan CI (consistency index) yang menyatakan penyimpangan
konsistensi dan concistency ratio (CR) untuk menentukan apakah
konsisten/tidak suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan.
Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi sebagai
berikut:
1
max
nCI
...........................................................................................(6)
Keterangan : λmaxπ = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks
Indeks konsistensi (CI) merupakan matriks acak/random dengan skala
penilaian 1-9 dan kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Perbandingan
antara CI dan RI untuk suatu matriks didefmisikan sebagai Ratio Konsistensi
(CR).
RI
CICR ....................................................................................................... (7)
Pengukuran Ratio Kosistensi (CR) dilakukan untuk mengetahui
konsistensi secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan. Nilai Rasio
Konsistensi (CR) adalah perbandingan antara Indeks Konsistensi (CI) dengan
Indeks Acak (RI), dimana nilai-nilai RI telah ditentukan.
e) Matriks pendapat gabungan
Matriks gabungan merupakan matriks baru yang elemen-elemennya
(gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang
nilai concistency ratio (CR) memenuhi syarat, dengan formula sebagai berikut:
mijij kag
k)(
1 .......................................................................................(8)
Keterangan: gij = rata-rata geometrik
m = jumlah responden
51
aij = matriks individu
Keluaran hasil pengolahan data oleh perangkat lunak disintesis untuk
menentukan prioritas. Berdasarkan urutan prioritas tersebut maka alternatif yang
berada di prioritas teratas adalah yang dinilai paling efisien dan efektif yang
sebaiknya di terapkan.
2.8 Pendekatan Sistem
Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan
(Manetsch & Park, 1979 dalam Eriyatno, 1999). Pendekatan sistem adalah
pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks
dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari sistem. Pendekatan sistem
menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap tujuan sistem. Menurut Marimin (2005) pendekatan sistem adalah suatu
pendekatan analisa organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik
tolak analisa.
Metode ini merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai
dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan,
sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.
Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik,
yaitu: (1) kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis,
dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada
pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi
peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1998).
Pendekatan secara holistik yang berorientasi tujuan dapat dilakukan
menggunakan analisis sistem dinamik. Hal ini bisa dilakukan dengan memulai
berfikir sistemik tentang keadaan tersebut. Berfikir sistemik adalah adanya
kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan kejadian sebagai sebuah sistem
atau system approach (Muhammadi et al., 2001). Dalam analisis sistem dinamik,
gambaran keadaan sesungguhnya (real world) seperti ini bisa disimplifikasi dalam
sebuah model yang dapat disimulasikan, sehingga dapat dicari berbagai kombinasi
yang bisa memenuhi tujuan pengelolaan sumber daya air DAS Citarum secara
berkelanjutan.
52
Senge (1990) menjelaskan bahwa system dynamics sebagai metodologi
dipahami melalui interaksi antar struktur yang terdiri atas struktur fisik, struktur
pengambilan keputusan dan struktur model. Struktur fisik yaitu aliran orang, barang,
produksi, uang dan limbah pencemar. Struktur pengambilan keputusan terdiri dari
aktor-aktor di dalam sistem, sedangkan struktur model dibangun melalui analisis
struktural berdasarkan pendekatan system thinking dan dimungkinkan mempunyai
titik kontak yang banyak dan saling interdependensi. Hubungan unsur-unsur yang
saling interdependensi itu merupakan hubungan sebab-akibat yang bersifat umpan
balik dan bukan hubungan sebab-akibat yang bersifat searah. Selanjutnya, Tasrif
(2006) menjelaskan bahwa struktur fisik maupun struktur pengambilan keputusan
yang telah disusun diyakini dibangun oleh unsur-unsur yang saling bergantung dan
membentuk suatu lingkar tertutup (feedback loop).
Sterman dan John (2000) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip pembuatan model
dinamik adalah (a) keadaan yang diinginkan dan keadaan yang terjadi harus secara
ekplisit dinyatakan dan dibedakan di dalam model; (b) struktur stok dan aliran dalam
kehidupan nyata harus dapat dipresentasikan di dalam model, (c) aliran-aliran yang
secara konseptual berlainan cirinya harus secara tegas dibedakan di dalam
menanganinya; (d) hanya informasi-informasi aktual yang tersedia untuk aktor-aktor
dalam sistem tersebut yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pemodelan; (e)
struktur pengambilan keputusan dari model harus berkaitan dengan tindakan
manajerial; (f) model harus tegar (robust) dalam kondisi ekstrim.
Tasrif (2006) juga menjelaskan bahwa model yang dibentuk haruslah menuhi
syarat-syarat sebagai berikut (a) Efek suatu intervensi, misal: suatu kebijakan dalam
bentuk perilaku yang merupakan suatu kejadian berikutnya, maka untuk melacak
unsur komponen waktu perlu “system dynamics”; (b) Mampu mensimulasikan
berbagai macam intervensi dan dapat memunculkan perilaku sistem, karena adanya
intervensi akan dapat dilakukan perubahan perubahan baik parameter maupun
struktur model; (c) Memungkinkan mensimulasikan suatu intervensi yang efeknya
dapat berbeda secara dramatik baik dalam jangka pendek dan jangka panjang sesuai
kompleksitas perilaku dinamik; (d) Perilaku sistem dapat merupakan perilaku yang
pernah dialami dan teramati, yaitu melalui data historis, ataupun perilaku yang belum
pernah teramati yang meliputi perilaku yang pernah dialami tetapi tidak teramati
maupun perilaku yang belum pernah dialami tetapi kemungkinan besar terjadi; (e)
Mampu menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat terjadi.
53
Tangirala, dkk (2003) menyatakan bahwa metodologi “system dynamics”
merupakan konsep yang berdasarkan pada sistem berfikir, dimana terjadi interaksi
dinamik antara unsur-unsur dari suatu sistem untuk dipelajari dan diketahui
perilakunya sebagai suatu sistem yang menyeluruh. Tangirala, dkk (2003)
menjelaskan bahwa ide utama dalam pemodelan “system dynamics” adalah untuk
mengerti perilaku suatu sistem dengan menggunakan struktur matematika yang
sederhana. Dengan demikian, sistem dinamik dapat membantu para perencana
dalam hal-hal sebagai berikut: (a) menggambarkan suatu sistem; (b) mengerti
suatu sistem; (c) mengembangkan model secara kualitatif dan kuantitatif; (d)
mengidentfikasi perilaku umpan-balik dari suatu sistem; (e) mengembangkan
kendali kebijakan untuk pengelolaan sistem yang lebih baik.
2.8.1 Analisis Sistem Dinamik
Analisis sistem dinamik ini merupakan bagian dari pendekatan sistem yang
berasal dari pengembangan teori sistem. Berdasarkan adanya pemahaman tentang
kejadian sistemik tersebut, berikut ini ada lima langkah yang dapat ditempuh
untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu: i)
identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; ii) identifikasi kejadian yang
diinginkan; iii) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; iv)
identifikasi dinamika menutup kesenjangan; v) analisis kebijakan (Muhammadi et
al. 2001).
Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja
yang sistematis. Menurut Eriyatno (1999) metodologi sistem pada prinsipnya
melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa), meliputi: (1) analisa
kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi permasalahan, (4) pembentukan
alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial, dan politik, (6)
penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial).
Pendekatan sistem memiliki dua hal umum sebagai tandanya, yaitu (1)
dalam semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk
menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membentuk
keputusan secara rasional (Marimin, 2005). Salah satu dasar utama untuk
mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang
penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan
54
pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik
kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam
sebuah model. Sistem yang diberi abstrak dan deskripsi yang disederhanakan
memudahkan penggunaan model untuk menentukan usaha-usaha penelitian atau
menguraikan garis besar suatu masalah untuk pengkajian yang lebih mendetail.
2.8.2 Verifikasi dan Validasi Model
Verifikasi model dilakukan sebagai proses uji sahih untuk mengetahui
berbagai kelemahan maupun kekurangan, serta identifikasi berbagai persoalan
yang harus diantisipasi dalam kaitan penerapan kebijakan yang dihasilkan
(Eriyatno & Sofyar, 2007). Menurut Hartrisari (2007) kata verifikasi diartikan
sebagai menyatakan kebenaran, ketepatan atau kenyataan (to establish the truth,
accuracy or reality), sedangkan kata valid didefinisikan sebagai mendapatkan
hasil kesimpulan yang benar, berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah
ditetapkan.
Validitas adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan yang ditunjukkan
dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta (Muhammadi et al., 2001).
Sementara validasi model memiliki berbagai teknik untuk melaksanakannya.
Teknik-teknik validasi tersebut antara lain: (1) animation, (2) comparison to the
other models, (3) degeneration test, (4) event validity, (5) test extreme condition,
(6) face validity, (7) faxed values, (8) historical data validation, (9) historical
method, (10) internal validity, (11) multistage validity, (12) operational graphic,
(13) parameter variability-sensitivity analysis, (14) predictive validation, (15)
traces dan (16) turing test. Studi ini memanfaatkan face validity terhadap para
pakar guna memeriksa kesesuaian antara prilaku model dengan prilaku sistem
yang diwakilinya.