ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · ii. tinjauan pustaka 2.1 kebijakan kelautan (ocean...

42
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri, melainkan merupakan paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu: Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Hal ini selanjutnya akan mampu memberikan sinyal-sinyal dan insentif yang tepat (sesuai dengan kepentingan sosial dan ekonomi), bukan hanya kepada para konsumen, tetapi juga kepada produsen dan pemasok sumberdaya. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi asset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Kebijakan semacam ini tidak hanya berlaku pada aspek ekonomi, tetapi menjangkau keseluruhan aspek kehidupan, yakni sosial, kelembagaan, budaya, lingkungan dan politik. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Kemudian dana pajak tersebut digunakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, baik secara langsung maupun melalui penyediaan berbagai macam bantuan kesejahteraan dan tunjangan langsung (social security), maupun melalui upaya penyediaan barang konsumsi dan peningkatan jasa pelayanan yang dibiayai pemerintah. Oleh karena itu, menurut Kusumastanto (2003) agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan

Upload: truongcong

Post on 28-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi

Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan

kelautan, kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri, melainkan merupakan

paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan

menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan yang sifatnya

komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur

fundamental, yaitu:

Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara

khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga

relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga

pasar. Hal ini selanjutnya akan mampu memberikan sinyal-sinyal dan insentif

yang tepat (sesuai dengan kepentingan sosial dan ekonomi), bukan hanya kepada

para konsumen, tetapi juga kepada produsen dan pemasok sumberdaya.

Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara

khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan,

distribusi asset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta

penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Kebijakan semacam ini tidak hanya

berlaku pada aspek ekonomi, tetapi menjangkau keseluruhan aspek kehidupan,

yakni sosial, kelembagaan, budaya, lingkungan dan politik.

Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara

khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat

berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Kemudian dana pajak tersebut

digunakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, baik secara langsung maupun

melalui penyediaan berbagai macam bantuan kesejahteraan dan tunjangan

langsung (social security), maupun melalui upaya penyediaan barang konsumsi

dan peningkatan jasa pelayanan yang dibiayai pemerintah.

Oleh karena itu, menurut Kusumastanto (2003) agar bidang kelautan

menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan

kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut maka

diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy)

sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam

mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini

dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang

lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan, yakni

eksekutif dan legeslatif. Dalam konteks ini, kebijakan kelautan dan perikanan

pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi

tanggung jawab bersama.

Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan

(DKP) merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di

tingkat kebijakan nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut tidak hanya sampai

pembentukan departemen tersebut, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada

semua level institusi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan kelautan

(ocean policy).

Seiring dengan adanya otonomi daerah, sebagaimana diisyaratkan

dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

mengatur tentang kewenangan mengatur daerah dengan batasan pengelolaan

wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai

kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota

mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara Undang-Undang No 33 tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang

pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan

daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya

laut dan pesisir. Oleh karena itu bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya

yang basar utamanya pesisir dan kelautan, berkesempatan untuk memanfaatkan

seoptimal mungkin untuk untuk pembangunan. Permasalahan utama yang

dihadapi adalah jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi, maka akan berdampak pada konsekuensinya menimbulkan

dampak negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada

gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat

oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat

(social well being) (Kusumastanto 2003). Untuk itu maka kebijakan yang dibuat

dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus di pertimbangkan

berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat

secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi demi

tercapai kesejateraan dan disisi lain bisa dimanfaatkan secara berkeberlanjutan

(sustainaibility).

Salah satu negara yang telah menerapkan ocean policy dalam kegiatan

perencanaan pembangunannya adalah Australia. Dalam Commonwelth of

Australia (1999) menyebutkan bahwa visi dari ocean policy adalah menjaga

keberlanjutan laut melalui kepedulian, kepahaman dan pemanfaatan secara bijak

bagi keuntungan semua pihak baik generasi sekarang dan masa depan. Oleh

karena itu sebuah kebijakan kelautan harus memiliki beberapa tujuan yaitu:

1. Melindungi hukum dan wilayah kekuasaan seluruh laut, termasuk sumberdaya

yang ada di lautan.

2. Menerapkan hukum internasional serta menjaga dari ancaman dari negara

lain.

3. Mengetahui dan melindungi keanekaragaman sumberdaya laut dan menjaga

keberlanjutan lingkungan dan ekologinya.

4. Mempromosikan pembangunan ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan dan

menciptakan lapangan perkerjaan.

5. Menciptakan perencanaan dan perancangan pengelolaan wilayah pesisir dan

laut secara terpadu.

6. Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat pesisir.

7. Meningkatkan keahlian dan kemampuan dalam pengelolaan laut baik dalam

aspek manajemen, keilmuan, teknologi dan mesin.

8. Mengidentifikasi dan melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya laut.

9. Meningkatkan kepedulian dan kepahaman masyarakat terhadap perlindungan

sumberdaya pesisir dan lautan.

Menurut Kusumastanto (2003), untuk menjabarkan OCEAN POLICY

menjadi sebuah mainstream pembangunan ekonomi, kebijakan ini harus

dikembangkan dalam kerangka pemikiran ekonomi yang disebut sebagai

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

OCEANOMICS. Secara definisi, OCEANOMICS adalah ilmu atau pemikiran

ekonomi yang dipakai dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan sebagai basis

dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Secara filosofis,

oceanomics menjadi signifikan karena keterbukaan dalam perekonomian dunia.

Artinya terminologi ini tidak mengesampingkan paham archipelago (wawasan

nusantara) yang sudah dicanangkan sejak Deklarasi Juanda, tetapi justru paham

archipelago dan ocean harus saling memperkuat satu dengan lainnya. Oleh karena

itu, paham oceanic dan paham wawasan nusantara menjadi kekuatan Indonesia

secara internal maupun secara proaktif sebagai trend setter dalam percaturan

komunitas internasional yang semakin kompetitif.

Agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam

pembangunan nasional, diperlukan kebijakan yang terintergasi antar institusi

pemerintah dan sektor pembangunan dalam sebuah tata kelola pemerintahan

kelautan (ocean governance). Oleh karena itu, diperlukan sebuah kebijakan

pembangunan kelautan nasional (national ocean development policy) sebagai

bagian dari ocean policy yang akan menjadi “payung” dalam mengambil sebuah

kebijakan publik. Secara skematis, pilar-pilar yang menopang kebijakan

pembangunan kelautan nasional dijelaskan pada Gambar1.

Gambar1. Pilar Pembangunan Kelautan Sumber: Kusumastanto (2003)

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

2.2 Potensi Ekonomi Bidang Kelautan

Menurut Colgan (2003) ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang

memanfaatkan semua atau sebagian input sumberdaya dari laut atau perairan yang

luas sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi ini mencakup dari kegiatan

industri maupun secara geografis berada di pesisir dan lautan. Kildow dan Colgan

(2005) juga menambahkan bahwa ekonomi kelautan merujuk kepada semua

kegiatan penciptaan barang dan jasa yang dipengaruhi oleh sumberdaya laut.

Sehingga ekonomi kelautan merupakan kumpulan seluruh kegiatan perekonomian

yang dilaksanakan baik di laut maupun di daratan yang masih terkait dengan

sumberdaya laut itu sendiri.

Kildow dan Colgan (2005) mengklasifikasi beberapa sektor dan industri

yang merupakan bagian dari ekonomi kelautan. Sektor dan industri tersebut

terbagi ke dalam 6 sektor yaitu: (1) bangunan kelautan, (2) sumberdaya hidup

seperti penangkapan ikan, pembenihan dan budidaya, serta pengolahan perikanan,

(3) penambangan mineral ( pasir, batu, minyak dan gas), (4) pembuatan kapal dan

bangunan kelautan, (5) rekreasi dan pariwisata seperti wisata pantai, menyelam,

sport fishing, hotel dan restoran, (6) transportasi laut, baik angkutan barang

maupun manusia.

Kusumastanto (2006) menambahkan bahwa definisi bidang kelautan

terbagi menjadi 7 sektor yaitu sebagai berikut:

1. Sektor Perikanan

Sektor perikanan adalah sektor kelautan yang berhubungan dengan

sumberdaya hayati yang ada di laut. Sektor ini mencakup kegiatan-kegiatan

penangkapan ikan, pembenihan ikan, budidaya ikan dan biota air lainnya yang

berada di wilayah pesisir maupun di lautan. Sektor ini juga termasuk industri yang

terkait dengan produk perikanan seperti industri pengolahan hasil perikanan hasil

produksi dari pesisir dan lautan.

2. Sektor Pariwisata Bahari

Sektor pariwisata bahari merupakan sektor kelautan yang mencakup

kegiatan pariwisata yang dilakukan di pesisir dan lautan. Selain itu, sektor ini juga

termasuk jasa penunjang pariwisata bahari seperti hotel dan penginapan, restoran

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

dan rumah makan, jasa penunjang pariwisata bahari lainnya seperti toko cindera

mata dan lain sebagainya.

3. Sektor Pertambangan

Sektor pertambangan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan

pencarian (eksplorasi) kandungan minyak dan gas bumi, penyiapan pengeboran,

penambangan, penguapan, pemisahan serta penampungan bahan-bahan mineral

yang dilakukan di wilayah pesisir atau lautan untuk dipasarkan. Sektor ini juga

meliputi pengambilan dan persiapan pengolahan lanjutan benda padat, baik di di

bawah maupun di atas permukaan bumi serta seluruh kegiatan lainnya yang yang

bertujuan untuk memanfaatkan bijih logam dan hasil tambang lainnya. Selain itu

sektor ini mencakup juga penggalian pasir dan batu-batuan dari pesisir dan lautan.

4. Industri Kelautan

Industri kelautan adalah sektor kelautan yang mencakup industri yang

menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan lautan. Industri yang dimaksud adalah

industri galangan kapal dan jasa perbaikan (docking), industri bangunan lepas

pantai, dan industri pengolahan hasil pengilangan minyak bumi, serta industri

LNG.

5. Angkutan Laut (Transportasi Laut)

Sektor transportasi laut adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan

pengangkutan barang maupun penumpang dengan menggunakan kapal laut yang

beroperasi di dalam (domestik) dan ke luar wilayah Indonesia (internasional).

6. Bangunan Kelautan

Bangunan kelautan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan

penyiapan lahan sampai kontruksi bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat

tinggal.

7. Jasa Kelautan

Jasa kelautan adalah sub kelautan yang meliputi segala kegiatan yang

bersifat menunjang dan memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa

pelayanan pelabuhan, jasa pelayanan keselamatan pelayaran, dan kegiatan yang

memanfaatkan kelautan sebagai jasa seperti perdagangan, pendidikan, penelitian

dan lain-lain.

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut terbesar adalah

negara yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya kelautan. Menurut

Kusumastanto (2006) potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki oleh bangsa

Indonesia terdiri atas dua jenis yaitu: pertama, sumberdaya yang dapat

diperbaharui seperti sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya) dan

kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan

gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga

terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan

untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa

lingkungan.

Bidang ekonomi yang berbasis sumberdaya alam adalah bidang ekonomi

yang cenderung dapat bertahan dari krisis. Hal ini dibuktikan ketika negara

Indonesia diterjang krisis tahun 1998, sektor ekonomi dari bidang kelautan

merupakan sektor yang menyumbangkan kontribusinya bagi perekonomian

nasional. Disaat sektor lain mengalami keterpurukan, bidang kelautan tidak

mengalami kemunduran, bahkan mengalami peningkatan pada saat krisis.

Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kontribusi bidang kelautan

terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1998. Pada tahun 1995

kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional atas harga berlaku sebesar

12,38%, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 20,06%. Apabila dibandingkan

dengan bidang-bidang lainnya, bidang kelautan mengalami kenaikan yang cukup

besar hampir meningkat 62% selama kurun waktu 4 tahun (Kusumastanto 2006).

Dengan mengetahui kontribusi bidang kelautan terhadap nilai GDP suatu

daerah, diharapkan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya kelautan akan

semakin diperhatikan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah mekanisme perhitungan

terhadap sumberdaya kelautan sehingga jumlahnya dapat diidentifikasi secara

tepat. Menurut Colgan (2003), langkah yang harus dilakukan dalam mengukur

kontribusi bidang kelautan terhadap pendapatan nasional adalah:

1. Perhitungan harus didasarkan dari semua data dalam satu waktu dan

wilayah tertentu, termasuk menghitung jumlah total dari nilai output suatu

wilayah dari suatu negara atau daerah tertentu.

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

2. Perhitungan harus detail yang menunjukkan nilai output dari semua

tingkat industri yang ada.

3. Perhitungan harus bisa menggambarkan karakteristik industri yang

memanfaatkan sumberdaya kelautan seperti pariwisata dan rekreasi.

2.3 Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Menurut Charles (2001), tiga komponen fishery system ini adalah natural

system, management system, dan human system. Natural system yang dimaksud

terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik.

Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas kegiatan yang dilakukan

oleh manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca panen dan konsumen, rumah

tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan

lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem

pengelolaan perikanan yang terdiri perencanaan dan kebijakan perikanan,

pembangunan dan pengelolaan perikanan dan penelitian di bidang perikanan.

Keterkaitan antar sistem perikanan ini dapat digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Keterkaitan Antar Sistem Perikanan Sumber: Charles A ( 2001)

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

2.4 Pengertian Depresiasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Pengelolaan sumberdaya pesisir utamanya sumberdaya perikanan yang

kurang mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan hampir telah terjadi di

seluruh wilayah pesisir Indonesia, terutama pada wilayah yang padat penduduk

dengan tingkat pembangunan yang intensif. Hal ini menjadikan beberapa daerah

telah menunjukkan kondisi sumberdaya yang cenderung mengalami penurunan

(depresiasi). Kerusakan sumberdaya yang terjadi baik pada ekosistem laut

maupun ekosistem darat dan lainnya memang dapat dipicu oleh bebagai faktor.

Namun secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan

ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure ) (Fauzi

2005).

Istilah depresiasi sumberdaya terkait dengan dua istilah lain yang

mendahuluinya yaitu deplesi dan degradasi. Terkadang pengertian depresiasi,

degradasi dan deplesi sumberdaya diartikan sama saja. Padahal ketiga istilah

tersebut memiliki pengertian yang berbeda, walaupun pada dasarnya

menunjukkan tujuan yang hampir sama.

Menurut Fauzi dan Anna (2005) deplesi diartikan sebagai tingkat atau laju

pengurangan stok dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharukan (non-

renewable resources). Sementara degradasi mengacu pada penurunan kuantitas

dan kualitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources).

Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk

bergenerasi sesuai dengan kemampuan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi

ini dapat terjadi karena disebabkan secara alami maupun akibat pengaruh aktivitas

manusia. Pada sumberdaya alam pesisir dan lautan, kebanyakan degradasi terjadi

akibat aktivitas ulah manusia (anthropogenic), baik berupa aktivitas produksi

(penangkapan ataupun eksploitasi), maupun karena aktivitas non produksi seperti

pencemaran limbah domestik atau rumah tangga maupun industri.

Pada degradasi dan deplesi lebih mengutamakan pada indikator besaran

fisik, terminologi depresiasi sumberdaya lebih ditujukan untuk mengukur

perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga

dapat diartikan sebagai pengukuran deplesi dan degradasi yang dirupiahkan.

Moneterisasi ini mengacu kepada pengukuran nilai riil, artinya untuk

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

menghitungnya harus selalu mengacu pada beberapa indikator yakni perubahan

harga, inflasi, indeks harga konsumen, dan sebagainya (Fauzi dan Anna, 2005).

Fauzi dan Anna (2005) menambahkan terjadinya depresiasi sumberdaya

pesisir dan lautan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun

manusia, faktor eksogenus maupun endogenus, dan juga kegiatan yang bersifat

produktif maupun non-produktif. Depresiasi ini diperparah pula dengan adanya

berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi

pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang dan sebagainya)

dikawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas

pembangunannya. Sementara itu, kemiskinan yang masih melilit sebagian besar

penduduk pesisir juga menjadi akibat sekaligus penyebab kerusakan lingkungan

kawasan pesisir dan lautan.

Selanjutnya adalah mengaitkan nilai depresiasi sumberdaya alam tersebut

terhadap pengukuran nilai kesejahteraan suatu bangsa. Dengan adanya

perhitungan kerusakan sumberdaya, maka dapat diperoleh nilai output sebenarnya

dari suatu negara. Selama ini perhitungan ekonomi suatu negara yaitu nilai

Growth Domestic Product (GDP) dan PDRB dikritik memiliki kelemahan tidak

menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya karena tidak memasukkan nilai

kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi di negara tersebut.

Sehingga angka GDP/PDRB yang tinggi disebuah negara belum tentu

menggambarkan kinerja ekonomi yang sebenarnya secara keseluruhan (Hartwick,

1990).

Integrasi antara perhitungan depresiasi sumberdaya dengan nilai GDP

suatu negara sangatlah penting dilakukan. Terlebih bagi negara yang masih

tergantung pada sumberdaya alamnya (resource dependent economies) seperti

Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan memberikan arahan yang keliru

dalam mengelola sumberdaya alamnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan

keuntungan pendapatan yang semu dalam jangka pendek dan melahirkan

kehilangan kesejahteraan nasional yang permanen dalam jangka panjang. Akan

tetapi, dengan memasukkan nilai depresiasi sumberdaya dalam perhitungan

GDP/PDRB, diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi penyusun

strategi kebijakan yang lebih tepat.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Disinilah urgensi analisis perhitungan kerusakan lingkungan, berkaitan

dengan depresiasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan.

Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan

komprehensif mengenai kondisi sumberdaya pesisir laut kita, sehingga akhirnya

kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan dapat ditentukan (Fauzi dan Anna, 2005).

Sumberdaya pesisir dan lautan merupakan natural capital yang menjadi

bagian dari proses produksi yang menghasilkan output (GDP). Oleh karena itu,

kita patut memperhatikan penurunan barang dan jasa yang dihasilkan dari

sumberdaya alam. Salah satu cara yang menjembatani keterbatasan tersebut

adalah dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumberdaya alam agar dapat

menghitung the truth national well being/ real GDP/ Green GDP. Dengan

mengetahui kondisi GDP/PDRB hijau yang sebenarnya, kita tidak terbuai oleh

nilai tingkat pertumbuhan yang semu dan dapat menjadi early warning system

serta dapat mencari jawaban permasalahan-permasalahan pembangunan yang kita

alami selama ini (Fauzi dan Anna, 2005).

2.5 Model Input Output

Menurut Badan Pusat Statistik (2000) pengertian Tabel Input-Output

adalah suatu tabel yang menyajikan informasi tentang barang dan jasa yang terjadi

antara sektor ekonomi dalam bentuk penyajian sebuah matrik. Isian sepanjang

baris Tabel Input-Output menunjukkan pengalokasian output yang dihasilkan oleh

suatu sektor untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Disamping

itu isian pada baris nilai tambah menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah

sektoral. Pada isian sepanjang kolomnya menunjukkan struktur input yang

digunakan oleh masing-masing sektor dalam proses produksi, baik yang berupa

input antara maupun input primer.

Sebagai metode kuantitatif, tabel ini memberikan gambaran menyeluruh

tentang kondisi perekonomian suatu negara atau wilayah tertentu. Gambaran yang

dapat terlihat dari Tabel I-O antara lain: struktur ekonomi suatu wilayah yang

mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor dan struktur input antara

yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi. Selain

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

itu juga mencakup truktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi

dalam negeri maupun barang impor atau yang berasal dari luar wilayah tersebut

serta struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh berbagai sektor

produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor.

Format dari Tabel Input-Output terdiri dari suatu suatu kerangka matriks

berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran

mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang

lebih lengkap format Tabel Input-Output dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Input-Output

Alokasi Output

Struktur Input

Permintaan Antara Permintaan

Akhir

Jumlah

Output Sektor Produksi

1 2 3

Input

Antara

Sektor

Produksi

1 X11 X12 X13 F1 X1

2 X21 X22 X23 F2 X2

3 X31 X32 X33 F3 X3

Input Primer V1 V2 V3

Jumlah Input X1 X2 X3

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung (2005)

Tabel 1 menunjukkan isian angka-angka sepanjang baris (bagian

horizontal) memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian

untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai

untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Isian angka menurut garis

vertikal (kolom) menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang

disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi suatu sektor.

Dalam analisis Input-Output, sistem persamaan di atas memegang peranan

panting yaitu sebagai dasar analisis ekonomi mengenai keadaan perekonomian

suatu wilayah. Selanjutnya secara umum matrik dalam Tabel Input-Output dapat

dibagi menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian

masing-masing kuadran tersebut adalah sebagai berikut:

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

a. Kuadran I (Intermediate Quadran)

Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi

barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan

informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu

perekonomian. Dalam analisis Input-Output, kuadran ini memiliki peranan yang

sangat penting karena kuadran inilah yang menunjukkan keterkaitan antar sektor

ekonomi dalam melakukan proses produksinya.

b. Kuadran II (Final Demand Quadran)

Menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-

sektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah

output suatu sektor yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah,

pembelian modal tetap, perubahan stok dan ekspor.

c. Kuadran III ( Primary Input Quadran)

Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh

sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah

tangga (upah/gaji), pajak tak langsung, surplus usaha dan penyusutan. Jumlah

keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto yang

dihasilkan wilayah tersebut.

d. Kuadran IV(Primary Input-Final Demand Quadran)

Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukkan

transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tanpa

melalui sistem produksi atau kuadran antara.

Menurut BPS (2000), suatu Tabel Input Output memiliki tiga asumsi dan

kelemahan dasar yaitu:

1. Keseragaman (Homogenitas)

Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana output hanya dihasilkan secara

tunggal, yang berarti bahwa setiap sektor ekonomi hanya memproduksi satu jenis

barang dan jasa dengan susunan input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi

otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda.

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

2. Kesebandingan (Proportionality)

Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana hubungan antara output dan input

pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, artinya kenaikan dan

penurunan output suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan dan penurunan

input yang digunakan oleh sektor tersebut.

3. Penjumlahan (Additivitas)

Suatu asumsi bahwa total efek dari kegiatan produksi berbagai sektor

merupakan penjumlahan dari efek pada masing-masing. Sebagai suatu sistem data

kuantitatif, persoalan pokok yang dihadapi dalam menyusun Tabel Input-Output

adalah bagaimana mencatat dan menyajikan berbagai kegiatan ekonomi yang

tentunya sangat beraneka ragam baik sifatnya, cara berproduksi serta cara

melakukan transaksi ke dalam suatu tabel yang lengkap dan komprehensif.

2.6 Analisis Input-Output

Menurut BPS (2000) dalam melakukan analisis terhadap suatu Tabel

Input-Output, terdapat dua metode analisis yang dapat dilakukan. Metode analisis

tersebut adalah analisis deskriptif dan analisis dampak. Macam dari metode

analisis-analisis tersebut adalah :

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang memberikan gambaran umum

keadaan perekonomian suatu negara atau wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan

bermacam analisis dampak akibat kenaikan permintaan akhir terhadap output,

nilai tambah, kebutuhan impor dan kebutuhan tenaga kerja. Dalam melakukan

analisis deskriptif ini, beberapa variabel atau indikator yang dilihat yaitu:

a) Analisis Struktur Penawaran dan Permintaan

Analisis tentang struktur penawaran dan permintaan akan barang dan jasa

yang terjadi di suatu wilayah dapat menunjukkan peranan produksi domestik

dan impor untuk memenuhi permintaan barang dan jasa baik domestik

maupun luar negeri. Dilihat dari sisis permintaan, produksi barang dan jasa

tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir domestik

(konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal dan

perubahan stok) dan digunakan untuk ekspor. Jika dilihat dari sisi penawaran,

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

barang dan jasa ditawarkan di suatu wilayah bisa berasal dari produksi

domestik maupun dari luar wilayah (impor).

b) Analisis Struktur Output

Analisis struktur output ini menggambarkan peranan output sektoral dalam

perekonomian. Output merupakan nilai produksi yang dihasilkan sektor-sektor

ekonomi di suatu wilayah. Oleh karena itu, dengan menelaah besarnya output

yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui pula

sektor-sektor mana yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam

membentuk output secara keseluruhan di daerah tersebut.

c) Analisis Struktur Nilai Tambah Bruto

Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta

karena adanya kegiatan produksi. Dalam tabel I-O, nilai tambah ini dirinci

menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan),

penyusutan dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap

sektor ditentukan oleh besarnya output yang dihasilkan dan biaya yang

dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh karena itu, suatu sektor output yang

besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar juga, karena masih

tergantung pula pada seberapa besar biaya produksinya.

d) Analisis Struktur Permintaan Akhir

Barang dan jasa selain digunakan oleh sektor produksi juga digunakan untuk

memenuhi permintaan oleh konsumen rumah tangga, pemerintah,

pembentukan modal, ekspor dan perubahan stok. Penggunaan untuk

konsumen akhir inilah yang dimaksud dengan permintaan akhir dalam

terminologi tabel I-O. Jika permintaan akhir ini dikurangi dengan jumlah

impornya, maka nilai tersebut akan disebut Produk Domestik Bruto (PDB)

atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

e) Analisis Keterkaitan Antar Sektor

Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi

pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu

sistem perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi

keterkaitan kebelakang (backward lingkage) yang menunjukkan hubungan

keterkaitan antar sektor dalam pembelian terhadap total input yang digunakan

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward lingkage) yang

menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam penjualan terhadap total

penjualan output yang dihasilkan.

Berdasarkan konsep ini, dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu

sektor yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor lainnya melalui mekanisme

induksi. Keterkaitan langsung antara sektor perekonomian dalam pembelian dan

penjualan input antara ditunjukkan oleh keofisien langsung, sedangkan

keterkaitan langsung dan tidak langsungnya ditunjukkan dari matrik kebalikan

Leontief.

2. Analisis Dampak

a. Analisis Dampak Output

Dampak output dihitung dalam unit perubahan output sebagai efek awal

(initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan

moneter. Setiap elemen dalam matrik kebalikan Leontief (matrix inverse) α

menunjukkan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari

sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i

sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Matrik invers ini

dirumuskan dengan persamaan:

α = (I-A)-1 = [α]

Dengan demikian matrik α mengandung informasi penting tentang struktur

perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor

dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien dari matrik invers ini

menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas dari suatu sektor yang akan

mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain.

b. Analisis Dampak Pendapatan

Dampak pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya

perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang

dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah

tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis

pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga

tetapi juga deviden dan bunga bank.

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

c. Analisis Dampak Tenaga Kerja

Dampak tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang

disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak

diperoleh dari elemen-elemen dalam Tabel Input-Output seperti multiplier output

dan pendapatan, karena dalam Tabel Input-Output tidak mengandung elemen-

elemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Untuk memperoleh multiplier

tenaga kerja maka pada Tabel Input-Output harus ditambahkan baris yang

menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam

perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk

mendapatkan koefisien tenaga kerja (ei). cara untuk memperoleh koefisien tenaga

kerja adalah dengan membagi jumlah tenaga kerja setiap masing-masing sektor

perekonomian di suatu negara atau wilayah dengan jumlah total output dari

masing-masing sektor tersebut.

Koefisien tenaga kerja (ei) menunjukkan efek langsung ketenagakerjaan

dari setiap sektor akibat adanya perubahan output sektor ke-i. Efek langsung dan

tidak langsung ditunjukkan dengan αij ei untuk setiap sektor, dan ∑iαij ei untuk

semua sektor dalam perekonomian suatu negara atau wilayah. Sedangkan efek

total ditunjukkan dengan αij * ei.

2.7 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang

menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan

memindahkan informasi yang ada hubungannya sehingga dapat dimanfaatkan

ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada

(Dunn 2003). Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat

deskriptif dan informasi yang nyata (faktual) mengenai sebab akibat kebijakan

sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan.

Quandun dalam Dunn (2003) juga menegaskan bahwa analisis kebijakan

adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga

dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat

mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang

secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

mencakup tidak hanya pengujian kebijakan saja, tetapi juga merencanakan dan

mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak

penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului

atau mengevaluasi program yang sudah selesai.

Menurut Partowidagdo (1999) analisis kebijakan mempunyai tujuan yang

bersifat penandaan (designative) berdasarkan fakta, bersifat penilaian dan anjuran.

Prosedur analisis berdasarkan waktu dan letak hubungannya dengan tindakan

dibagi dua yaitu ex ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan

sebelum tindakan diambil atau untuk masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi

dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari masa lalu (ex post).

Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan retrospektif yang biasa

dilakukan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan politik, sedangkan analisis ex ante

berhubungan dengan analisis kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli

ekonomi, sistem analisis, dan operations research. Analisis kebijakan biasanya

terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan

kesimpulan. Bentuk-bentuk analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk-Bentuk Analisis Kebijakan Sumber: Dunn (2003)

Retrospektif (Ex Post): Apa yang akan terjadi dan perbedaan apa yang dibuat

Prospektif (Ex Ante): Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu: pendekatan empiris,

pendekatan evaluatif, dan pendekatan normatif. Pendekatan empiris adalah

pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pendekatan

evaluatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga

atau nilai dari beberapa kebijakan. Dan pendekatan normatif adalah pendekatan

yang berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan

masalah kebijakan.

Menurut Parsons (2005) analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas

pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan; pengetahuan untuk

(for) proses kebijakan; dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara

kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga

variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, dan analisis

untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu

analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan

untuk siapa kebijakan dibuat; dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang

kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring

dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan

mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu

persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan

dan advokasi terhadap kebijakan.

Dalam merumuskan sebuah kebijakan, permasalahan yang sering dihadapi

adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit

disimpulkan. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan

kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model

kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-

aspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus.

Model-model kebijakan tersebut adalah model deskriptif, model verbal, model

normatif, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model

perspektif.

Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua

perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya

pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester, seorang ahli model kebijakan

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

dalam Dunn (2003) bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau

membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan

diantara berbagai alternatif yang ada. Dalam merumuskan kebijakan kelautan

pada penelitian ini, model yang dipakai adalah mengunakan model deskriptif

melalui analisis pengambilan keputusan dengan MPE (Metode Perbandingan

Eksponensial).

Untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir

dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan

kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor

yang ada di wilayah pesisir dan lautan tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah

kebijakan pembangunan kelautan harus memperhatikan empat aspek utama yaitu:

(1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-budaya, (3) aspek politis

dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani 2000).

2.8 Studi Terdahulu

Analisis Input-Output dalam menentukan kontribusi sektor-sektor kelautan

secara komprehensif bagi perekonomian suatu daerah memang belum banyak

dilakukan. Biasanya analisis sektor-sektor tersebut secara terpisah telah dilakukan

oleh beberapa penelitian. Begitu juga penelitian yang berusaha mengaitkan

kontribusi sektor tersebut terhadap dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas

pembangunan seperti terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya

(degradasi atau deplesi sumberdaya).

Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini

adalah:

1. Umran (1996) menjelaskan bahwa sektor pariwisata memiliki nilai yang

strategis bagi pengembangan wilayah provinsi Riau. Hal ini ditunjukkan

dengan tingginya nilai keterkaitan antar sektor baik keterkaitan ke belakang

(backward lingkage) maupun keterkaitan ke depan (forward lingkage). Sektor

pariwisata memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektor-

sektor pendukung lainnya seperti sektor restoran, sektor perhotelan, sektor

komunikasi. Untuk keterkaitan ke depan, sektor ini memiliki nilai di atas rata-

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

rata pada sektor angkutan laut dan sungai, sektor perdagangan, sektor jasa

penunjang angkutan dan pergudangan.

2. Menurut Sihombing (2004) yang melakukan internalisasi dampak pencemaran

ke dalam Tabel Input-Output terhadap sektor kehutanan di Provinsi Riau.

Menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB Riau

terjadi penurunan yang sangat signifikan sebagai akibat terjadinya pencemaran

di wilayah tersebut. Angka negatif sektor kehutanan pada berbagai analisis

pencemaran menunjukkan bahwa sektor ini telah melebihi daya dukung alami

(carrying capacity) dan tingkat produksi lestari (maximum sustainable yields).

Dengan kata lain kegiatan pengusahaan sektor kehutanan mengalami kondisi

‘usaha memakan modal’ (capital downgrade) sehingga kegiatan sektor

kehutanan justru menurunkan kesejahteraan.

3. Dariah (2007) menyimpulkan bahwa meningkatnya degradasi lingkungan

telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Oleh

karena itu, pemerintah harus mendukung pengembangan sektor-sektor

perekonomian yang tidak atau sedikit menyebabkan pencemaran terhadap

lingkungan.

4. Pesoth. 2001. Telah merancang sebuah Tabel I-O yang menginternalisasi

faktor lingkungan yang disebut Tabel I-O Lingkungan. Melalui Tabel I-O

Lingkungan ini, maka diperoleh suatu perhitungan yang lebih wajar dan lebih

mendukung upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Dalam

penelitiannya menunjukkan bahwa internalisasi beban lingkungan ke dalam

perhitungan output di Kota Bogor akan mengakibatkan total output terkoreksi

dari Rp. 3.528,5 milyar menjadi Rp. 3.251,7 milyar, atau menjadi lebih rendah

sekitar 8 persen.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi

Kelautan

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan

kelautan, kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri, melainkan merupakan

paket kebijakan yang komponen-komponennya saling melengkapi dan

menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan yang sifatnya

komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur

fundamental, yaitu:

Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara

khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga

relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga

pasar. Hal ini selanjutnya akan mampu memberikan sinyal-sinyal dan insentif

yang tepat (sesuai dengan kepentingan sosial dan ekonomi), bukan hanya kepada

para konsumen, tetapi juga kepada produsen dan pemasok sumberdaya.

Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara

khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan,

distribusi asset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta

penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Kebijakan semacam ini tidak hanya

berlaku pada aspek ekonomi, tetapi menjangkau keseluruhan aspek kehidupan,

yakni sosial, kelembagaan, budaya, lingkungan dan politik.

Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara

khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat

berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Kemudian dana pajak tersebut

digunakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, baik secara langsung maupun

melalui penyediaan berbagai macam bantuan kesejahteraan dan tunjangan

langsung (social security), maupun melalui upaya penyediaan barang konsumsi

dan peningkatan jasa pelayanan yang dibiayai pemerintah.

Oleh karena itu, menurut Kusumastanto (2003) agar bidang kelautan

menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan

kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan

sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut maka

diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy)

sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam

mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang

lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan, yakni

eksekutif dan legeslatif. Dalam konteks ini, kebijakan kelautan dan perikanan

pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi

tanggung jawab bersama.

Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan

(DKP) merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di

tingkat kebijakan nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut tidak hanya sampai

pembentukan departemen tersebut, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada

semua level institusi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan kelautan

(ocean policy).

Seiring dengan adanya otonomi daerah, sebagaimana diisyaratkan

dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

mengatur tentang kewenangan mengatur daerah dengan batasan pengelolaan

wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai

kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota

mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara Undang-Undang No 33 tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang

pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan

daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya

laut dan pesisir. Oleh karena itu bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya

yang basar utamanya pesisir dan kelautan, berkesempatan untuk memanfaatkan

seoptimal mungkin untuk untuk pembangunan. Permasalahan utama yang

dihadapi adalah jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi, maka akan berdampak pada konsekuensinya menimbulkan

dampak negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada

gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat

oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana

untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat

(social well being) (Kusumastanto 2003). Untuk itu maka kebijakan yang dibuat

dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus di pertimbangkan

berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi demi

tercapai kesejateraan dan disisi lain bisa dimanfaatkan secara berkeberlanjutan

(sustainaibility).

Salah satu negara yang telah menerapkan ocean policy dalam kegiatan

perencanaan pembangunannya adalah Australia. Dalam Commonwelth of

Australia (1999) menyebutkan bahwa visi dari ocean policy adalah menjaga

keberlanjutan laut melalui kepedulian, kepahaman dan pemanfaatan secara bijak

bagi keuntungan semua pihak baik generasi sekarang dan masa depan. Oleh

karena itu sebuah kebijakan kelautan harus memiliki beberapa tujuan yaitu:

10. Melindungi hukum dan wilayah kekuasaan seluruh laut, termasuk sumberdaya

yang ada di lautan.

11. Menerapkan hukum internasional serta menjaga dari ancaman dari negara

lain.

12. Mengetahui dan melindungi keanekaragaman sumberdaya laut dan menjaga

keberlanjutan lingkungan dan ekologinya.

13. Mempromosikan pembangunan ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan dan

menciptakan lapangan perkerjaan.

14. Menciptakan perencanaan dan perancangan pengelolaan wilayah pesisir dan

laut secara terpadu.

15. Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat pesisir.

16. Meningkatkan keahlian dan kemampuan dalam pengelolaan laut baik dalam

aspek manajemen, keilmuan, teknologi dan mesin.

17. Mengidentifikasi dan melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya laut.

18. Meningkatkan kepedulian dan kepahaman masyarakat terhadap perlindungan

sumberdaya pesisir dan lautan.

Menurut Kusumastanto (2003), untuk menjabarkan OCEAN POLICY

menjadi sebuah mainstream pembangunan ekonomi, kebijakan ini harus

dikembangkan dalam kerangka pemikiran ekonomi yang disebut sebagai

OCEANOMICS. Secara definisi, OCEANOMICS adalah ilmu atau pemikiran

ekonomi yang dipakai dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan sebagai basis

dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Secara filosofis,

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

oceanomics menjadi signifikan karena keterbukaan dalam perekonomian dunia.

Artinya terminologi ini tidak mengesampingkan paham archipelago (wawasan

nusantara) yang sudah dicanangkan sejak Deklarasi Juanda, tetapi justru paham

archipelago dan ocean harus saling memperkuat satu dengan lainnya. Oleh karena

itu, paham oceanic dan paham wawasan nusantara menjadi kekuatan Indonesia

secara internal maupun secara proaktif sebagai trend setter dalam percaturan

komunitas internasional yang semakin kompetitif.

Agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam

pembangunan nasional, diperlukan kebijakan yang terintergasi antar institusi

pemerintah dan sektor pembangunan dalam sebuah tata kelola pemerintahan

kelautan (ocean governance). Oleh karena itu, diperlukan sebuah kebijakan

pembangunan kelautan nasional (national ocean development policy) sebagai

bagian dari ocean policy yang akan menjadi “payung” dalam mengambil sebuah

kebijakan publik. Secara skematis, pilar-pilar yang menopang kebijakan

pembangunan kelautan nasional dijelaskan pada Gambar1.

Gambar1. Pilar Pembangunan Kelautan Sumber: Kusumastanto (2003)

2.2 Potensi Ekonomi Bidang Kelautan

Menurut Colgan (2003) ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang

memanfaatkan semua atau sebagian input sumberdaya dari laut atau perairan yang

Page 26: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

luas sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi ini mencakup dari kegiatan

industri maupun secara geografis berada di pesisir dan lautan. Kildow dan Colgan

(2005) juga menambahkan bahwa ekonomi kelautan merujuk kepada semua

kegiatan penciptaan barang dan jasa yang dipengaruhi oleh sumberdaya laut.

Sehingga ekonomi kelautan merupakan kumpulan seluruh kegiatan perekonomian

yang dilaksanakan baik di laut maupun di daratan yang masih terkait dengan

sumberdaya laut itu sendiri.

Kildow dan Colgan (2005) mengklasifikasi beberapa sektor dan industri

yang merupakan bagian dari ekonomi kelautan. Sektor dan industri tersebut

terbagi ke dalam 6 sektor yaitu: (1) bangunan kelautan, (2) sumberdaya hidup

seperti penangkapan ikan, pembenihan dan budidaya, serta pengolahan perikanan,

(3) penambangan mineral ( pasir, batu, minyak dan gas), (4) pembuatan kapal dan

bangunan kelautan, (5) rekreasi dan pariwisata seperti wisata pantai, menyelam,

sport fishing, hotel dan restoran, (6) transportasi laut, baik angkutan barang

maupun manusia.

Kusumastanto (2006) menambahkan bahwa definisi bidang kelautan

terbagi menjadi 7 sektor yaitu sebagai berikut:

1. Sektor Perikanan

Sektor perikanan adalah sektor kelautan yang berhubungan dengan

sumberdaya hayati yang ada di laut. Sektor ini mencakup kegiatan-kegiatan

penangkapan ikan, pembenihan ikan, budidaya ikan dan biota air lainnya yang

berada di wilayah pesisir maupun di lautan. Sektor ini juga termasuk industri yang

terkait dengan produk perikanan seperti industri pengolahan hasil perikanan hasil

produksi dari pesisir dan lautan.

2. Sektor Pariwisata Bahari

Sektor pariwisata bahari merupakan sektor kelautan yang mencakup

kegiatan pariwisata yang dilakukan di pesisir dan lautan. Selain itu, sektor ini juga

termasuk jasa penunjang pariwisata bahari seperti hotel dan penginapan, restoran

dan rumah makan, jasa penunjang pariwisata bahari lainnya seperti toko cindera

mata dan lain sebagainya.

3. Sektor Pertambangan

Page 27: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Sektor pertambangan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan

pencarian (eksplorasi) kandungan minyak dan gas bumi, penyiapan pengeboran,

penambangan, penguapan, pemisahan serta penampungan bahan-bahan mineral

yang dilakukan di wilayah pesisir atau lautan untuk dipasarkan. Sektor ini juga

meliputi pengambilan dan persiapan pengolahan lanjutan benda padat, baik di di

bawah maupun di atas permukaan bumi serta seluruh kegiatan lainnya yang yang

bertujuan untuk memanfaatkan bijih logam dan hasil tambang lainnya. Selain itu

sektor ini mencakup juga penggalian pasir dan batu-batuan dari pesisir dan lautan.

4. Industri Kelautan

Industri kelautan adalah sektor kelautan yang mencakup industri yang

menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan lautan. Industri yang dimaksud adalah

industri galangan kapal dan jasa perbaikan (docking), industri bangunan lepas

pantai, dan industri pengolahan hasil pengilangan minyak bumi, serta industri

LNG.

5. Angkutan Laut (Transportasi Laut)

Sektor transportasi laut adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan

pengangkutan barang maupun penumpang dengan menggunakan kapal laut yang

beroperasi di dalam (domestik) dan ke luar wilayah Indonesia (internasional).

6. Bangunan Kelautan

Bangunan kelautan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan

penyiapan lahan sampai kontruksi bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat

tinggal.

7. Jasa Kelautan

Jasa kelautan adalah sub kelautan yang meliputi segala kegiatan yang

bersifat menunjang dan memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa

pelayanan pelabuhan, jasa pelayanan keselamatan pelayaran, dan kegiatan yang

memanfaatkan kelautan sebagai jasa seperti perdagangan, pendidikan, penelitian

dan lain-lain.

Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut terbesar adalah

negara yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya kelautan. Menurut

Kusumastanto (2006) potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki oleh bangsa

Indonesia terdiri atas dua jenis yaitu: pertama, sumberdaya yang dapat

Page 28: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

diperbaharui seperti sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya) dan

kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan

gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga

terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan

untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa

lingkungan.

Bidang ekonomi yang berbasis sumberdaya alam adalah bidang ekonomi

yang cenderung dapat bertahan dari krisis. Hal ini dibuktikan ketika negara

Indonesia diterjang krisis tahun 1998, sektor ekonomi dari bidang kelautan

merupakan sektor yang menyumbangkan kontribusinya bagi perekonomian

nasional. Disaat sektor lain mengalami keterpurukan, bidang kelautan tidak

mengalami kemunduran, bahkan mengalami peningkatan pada saat krisis.

Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kontribusi bidang kelautan

terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1998. Pada tahun 1995

kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional atas harga berlaku sebesar

12,38%, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 20,06%. Apabila dibandingkan

dengan bidang-bidang lainnya, bidang kelautan mengalami kenaikan yang cukup

besar hampir meningkat 62% selama kurun waktu 4 tahun (Kusumastanto 2006).

Dengan mengetahui kontribusi bidang kelautan terhadap nilai GDP suatu

daerah, diharapkan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya kelautan akan

semakin diperhatikan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah mekanisme perhitungan

terhadap sumberdaya kelautan sehingga jumlahnya dapat diidentifikasi secara

tepat. Menurut Colgan (2003), langkah yang harus dilakukan dalam mengukur

kontribusi bidang kelautan terhadap pendapatan nasional adalah:

4. Perhitungan harus didasarkan dari semua data dalam satu waktu dan

wilayah tertentu, termasuk menghitung jumlah total dari nilai output suatu

wilayah dari suatu negara atau daerah tertentu.

5. Perhitungan harus detail yang menunjukkan nilai output dari semua

tingkat industri yang ada.

6. Perhitungan harus bisa menggambarkan karakteristik industri yang

memanfaatkan sumberdaya kelautan seperti pariwisata dan rekreasi.

Page 29: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

2.3 Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Menurut Charles (2001), tiga komponen fishery system ini adalah natural

system, management system, dan human system. Natural system yang dimaksud

terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik.

Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas kegiatan yang dilakukan

oleh manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca panen dan konsumen, rumah

tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan

lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem

pengelolaan perikanan yang terdiri perencanaan dan kebijakan perikanan,

pembangunan dan pengelolaan perikanan dan penelitian di bidang perikanan.

Keterkaitan antar sistem perikanan ini dapat digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Keterkaitan Antar Sistem Perikanan Sumber: Charles A ( 2001)

2.4 Pengertian Depresiasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Pengelolaan sumberdaya pesisir utamanya sumberdaya perikanan yang

kurang mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan hampir telah terjadi di

seluruh wilayah pesisir Indonesia, terutama pada wilayah yang padat penduduk

dengan tingkat pembangunan yang intensif. Hal ini menjadikan beberapa daerah

Page 30: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

telah menunjukkan kondisi sumberdaya yang cenderung mengalami penurunan

(depresiasi). Kerusakan sumberdaya yang terjadi baik pada ekosistem laut

maupun ekosistem darat dan lainnya memang dapat dipicu oleh bebagai faktor.

Namun secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan

ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure ) (Fauzi

2005).

Istilah depresiasi sumberdaya terkait dengan dua istilah lain yang

mendahuluinya yaitu deplesi dan degradasi. Terkadang pengertian depresiasi,

degradasi dan deplesi sumberdaya diartikan sama saja. Padahal ketiga istilah

tersebut memiliki pengertian yang berbeda, walaupun pada dasarnya

menunjukkan tujuan yang hampir sama.

Menurut Fauzi dan Anna (2005) deplesi diartikan sebagai tingkat atau laju

pengurangan stok dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharukan (non-

renewable resources). Sementara degradasi mengacu pada penurunan kuantitas

dan kualitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources).

Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk

bergenerasi sesuai dengan kemampuan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi

ini dapat terjadi karena disebabkan secara alami maupun akibat pengaruh aktivitas

manusia. Pada sumberdaya alam pesisir dan lautan, kebanyakan degradasi terjadi

akibat aktivitas ulah manusia (anthropogenic), baik berupa aktivitas produksi

(penangkapan ataupun eksploitasi), maupun karena aktivitas non produksi seperti

pencemaran limbah domestik atau rumah tangga maupun industri.

Pada degradasi dan deplesi lebih mengutamakan pada indikator besaran

fisik, terminologi depresiasi sumberdaya lebih ditujukan untuk mengukur

perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga

dapat diartikan sebagai pengukuran deplesi dan degradasi yang dirupiahkan.

Moneterisasi ini mengacu kepada pengukuran nilai riil, artinya untuk

menghitungnya harus selalu mengacu pada beberapa indikator yakni perubahan

harga, inflasi, indeks harga konsumen, dan sebagainya (Fauzi dan Anna, 2005).

Fauzi dan Anna (2005) menambahkan terjadinya depresiasi sumberdaya

pesisir dan lautan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun

manusia, faktor eksogenus maupun endogenus, dan juga kegiatan yang bersifat

Page 31: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

produktif maupun non-produktif. Depresiasi ini diperparah pula dengan adanya

berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi

pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang dan sebagainya)

dikawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas

pembangunannya. Sementara itu, kemiskinan yang masih melilit sebagian besar

penduduk pesisir juga menjadi akibat sekaligus penyebab kerusakan lingkungan

kawasan pesisir dan lautan.

Selanjutnya adalah mengaitkan nilai depresiasi sumberdaya alam tersebut

terhadap pengukuran nilai kesejahteraan suatu bangsa. Dengan adanya

perhitungan kerusakan sumberdaya, maka dapat diperoleh nilai output sebenarnya

dari suatu negara. Selama ini perhitungan ekonomi suatu negara yaitu nilai

Growth Domestic Product (GDP) dan PDRB dikritik memiliki kelemahan tidak

menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya karena tidak memasukkan nilai

kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi di negara tersebut.

Sehingga angka GDP/PDRB yang tinggi disebuah negara belum tentu

menggambarkan kinerja ekonomi yang sebenarnya secara keseluruhan (Hartwick,

1990).

Integrasi antara perhitungan depresiasi sumberdaya dengan nilai GDP

suatu negara sangatlah penting dilakukan. Terlebih bagi negara yang masih

tergantung pada sumberdaya alamnya (resource dependent economies) seperti

Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan memberikan arahan yang keliru

dalam mengelola sumberdaya alamnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan

keuntungan pendapatan yang semu dalam jangka pendek dan melahirkan

kehilangan kesejahteraan nasional yang permanen dalam jangka panjang. Akan

tetapi, dengan memasukkan nilai depresiasi sumberdaya dalam perhitungan

GDP/PDRB, diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi penyusun

strategi kebijakan yang lebih tepat.

Disinilah urgensi analisis perhitungan kerusakan lingkungan, berkaitan

dengan depresiasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan.

Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan

komprehensif mengenai kondisi sumberdaya pesisir laut kita, sehingga akhirnya

Page 32: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan dapat ditentukan (Fauzi dan Anna, 2005).

Sumberdaya pesisir dan lautan merupakan natural capital yang menjadi

bagian dari proses produksi yang menghasilkan output (GDP). Oleh karena itu,

kita patut memperhatikan penurunan barang dan jasa yang dihasilkan dari

sumberdaya alam. Salah satu cara yang menjembatani keterbatasan tersebut

adalah dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumberdaya alam agar dapat

menghitung the truth national well being/ real GDP/ Green GDP. Dengan

mengetahui kondisi GDP/PDRB hijau yang sebenarnya, kita tidak terbuai oleh

nilai tingkat pertumbuhan yang semu dan dapat menjadi early warning system

serta dapat mencari jawaban permasalahan-permasalahan pembangunan yang kita

alami selama ini (Fauzi dan Anna, 2005).

2.5 Model Input Output

Menurut Badan Pusat Statistik (2000) pengertian Tabel Input-Output

adalah suatu tabel yang menyajikan informasi tentang barang dan jasa yang terjadi

antara sektor ekonomi dalam bentuk penyajian sebuah matrik. Isian sepanjang

baris Tabel Input-Output menunjukkan pengalokasian output yang dihasilkan oleh

suatu sektor untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Disamping

itu isian pada baris nilai tambah menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah

sektoral. Pada isian sepanjang kolomnya menunjukkan struktur input yang

digunakan oleh masing-masing sektor dalam proses produksi, baik yang berupa

input antara maupun input primer.

Sebagai metode kuantitatif, tabel ini memberikan gambaran menyeluruh

tentang kondisi perekonomian suatu negara atau wilayah tertentu. Gambaran yang

dapat terlihat dari Tabel I-O antara lain: struktur ekonomi suatu wilayah yang

mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor dan struktur input antara

yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi. Selain

itu juga mencakup truktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi

dalam negeri maupun barang impor atau yang berasal dari luar wilayah tersebut

serta struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh berbagai sektor

produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor.

Page 33: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Format dari Tabel Input-Output terdiri dari suatu suatu kerangka matriks

berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran

mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang

lebih lengkap format Tabel Input-Output dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Input-Output

Alokasi Output

Struktur Input

Permintaan Antara Permintaan

Akhir

Jumlah

Output Sektor Produksi

1 2 3

Input

Antara

Sektor

Produksi

1 X11 X12 X13 F1 X1

2 X21 X22 X23 F2 X2

3 X31 X32 X33 F3 X3

Input Primer V1 V2 V3

Jumlah Input X1 X2 X3

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung (2005)

Tabel 1 menunjukkan isian angka-angka sepanjang baris (bagian

horizontal) memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian

untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai

untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Isian angka menurut garis

vertikal (kolom) menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang

disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi suatu sektor.

Dalam analisis Input-Output, sistem persamaan di atas memegang peranan

panting yaitu sebagai dasar analisis ekonomi mengenai keadaan perekonomian

suatu wilayah. Selanjutnya secara umum matrik dalam Tabel Input-Output dapat

dibagi menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian

masing-masing kuadran tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kuadran I (Intermediate Quadran)

Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi

barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan

informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu

Page 34: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

perekonomian. Dalam analisis Input-Output, kuadran ini memiliki peranan yang

sangat penting karena kuadran inilah yang menunjukkan keterkaitan antar sektor

ekonomi dalam melakukan proses produksinya.

b. Kuadran II (Final Demand Quadran)

Menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-

sektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah

output suatu sektor yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah,

pembelian modal tetap, perubahan stok dan ekspor.

c. Kuadran III ( Primary Input Quadran)

Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh

sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah

tangga (upah/gaji), pajak tak langsung, surplus usaha dan penyusutan. Jumlah

keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto yang

dihasilkan wilayah tersebut.

d. Kuadran IV(Primary Input-Final Demand Quadran)

Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukkan

transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tanpa

melalui sistem produksi atau kuadran antara.

Menurut BPS (2000), suatu Tabel Input Output memiliki tiga asumsi dan

kelemahan dasar yaitu:

1. Keseragaman (Homogenitas)

Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana output hanya dihasilkan secara

tunggal, yang berarti bahwa setiap sektor ekonomi hanya memproduksi satu jenis

barang dan jasa dengan susunan input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi

otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda.

2. Kesebandingan (Proportionality)

Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana hubungan antara output dan input

pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, artinya kenaikan dan

Page 35: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

penurunan output suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan dan penurunan

input yang digunakan oleh sektor tersebut.

3. Penjumlahan (Additivitas)

Suatu asumsi bahwa total efek dari kegiatan produksi berbagai sektor

merupakan penjumlahan dari efek pada masing-masing. Sebagai suatu sistem data

kuantitatif, persoalan pokok yang dihadapi dalam menyusun Tabel Input-Output

adalah bagaimana mencatat dan menyajikan berbagai kegiatan ekonomi yang

tentunya sangat beraneka ragam baik sifatnya, cara berproduksi serta cara

melakukan transaksi ke dalam suatu tabel yang lengkap dan komprehensif.

2.6 Analisis Input-Output

Menurut BPS (2000) dalam melakukan analisis terhadap suatu Tabel

Input-Output, terdapat dua metode analisis yang dapat dilakukan. Metode analisis

tersebut adalah analisis deskriptif dan analisis dampak. Macam dari metode

analisis-analisis tersebut adalah :

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang memberikan gambaran umum

keadaan perekonomian suatu negara atau wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan

bermacam analisis dampak akibat kenaikan permintaan akhir terhadap output,

nilai tambah, kebutuhan impor dan kebutuhan tenaga kerja. Dalam melakukan

analisis deskriptif ini, beberapa variabel atau indikator yang dilihat yaitu:

f) Analisis Struktur Penawaran dan Permintaan

Analisis tentang struktur penawaran dan permintaan akan barang dan jasa

yang terjadi di suatu wilayah dapat menunjukkan peranan produksi domestik

dan impor untuk memenuhi permintaan barang dan jasa baik domestik

maupun luar negeri. Dilihat dari sisis permintaan, produksi barang dan jasa

tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir domestik

(konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal dan

perubahan stok) dan digunakan untuk ekspor. Jika dilihat dari sisi penawaran,

barang dan jasa ditawarkan di suatu wilayah bisa berasal dari produksi

domestik maupun dari luar wilayah (impor).

g) Analisis Struktur Output

Page 36: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Analisis struktur output ini menggambarkan peranan output sektoral dalam

perekonomian. Output merupakan nilai produksi yang dihasilkan sektor-sektor

ekonomi di suatu wilayah. Oleh karena itu, dengan menelaah besarnya output

yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui pula

sektor-sektor mana yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam

membentuk output secara keseluruhan di daerah tersebut.

h) Analisis Struktur Nilai Tambah Bruto

Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta

karena adanya kegiatan produksi. Dalam tabel I-O, nilai tambah ini dirinci

menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan),

penyusutan dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap

sektor ditentukan oleh besarnya output yang dihasilkan dan biaya yang

dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh karena itu, suatu sektor output yang

besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar juga, karena masih

tergantung pula pada seberapa besar biaya produksinya.

i) Analisis Struktur Permintaan Akhir

Barang dan jasa selain digunakan oleh sektor produksi juga digunakan untuk

memenuhi permintaan oleh konsumen rumah tangga, pemerintah,

pembentukan modal, ekspor dan perubahan stok. Penggunaan untuk

konsumen akhir inilah yang dimaksud dengan permintaan akhir dalam

terminologi tabel I-O. Jika permintaan akhir ini dikurangi dengan jumlah

impornya, maka nilai tersebut akan disebut Produk Domestik Bruto (PDB)

atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

j) Analisis Keterkaitan Antar Sektor

Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi

pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu

sistem perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi

keterkaitan kebelakang (backward lingkage) yang menunjukkan hubungan

keterkaitan antar sektor dalam pembelian terhadap total input yang digunakan

untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward lingkage) yang

menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam penjualan terhadap total

penjualan output yang dihasilkan.

Page 37: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Berdasarkan konsep ini, dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu

sektor yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor lainnya melalui mekanisme

induksi. Keterkaitan langsung antara sektor perekonomian dalam pembelian dan

penjualan input antara ditunjukkan oleh keofisien langsung, sedangkan

keterkaitan langsung dan tidak langsungnya ditunjukkan dari matrik kebalikan

Leontief.

2. Analisis Dampak

a. Analisis Dampak Output

Dampak output dihitung dalam unit perubahan output sebagai efek awal

(initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan

moneter. Setiap elemen dalam matrik kebalikan Leontief (matrix inverse) α

menunjukkan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari

sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i

sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Matrik invers ini

dirumuskan dengan persamaan:

α = (I-A)-1 = [α]

Dengan demikian matrik α mengandung informasi penting tentang struktur

perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor

dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien dari matrik invers ini

menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas dari suatu sektor yang akan

mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain.

b. Analisis Dampak Pendapatan

Dampak pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya

perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang

dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah

tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis

pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga

tetapi juga deviden dan bunga bank.

Page 38: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

c. Analisis Dampak Tenaga Kerja

Dampak tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang

disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak

diperoleh dari elemen-elemen dalam Tabel Input-Output seperti multiplier output

dan pendapatan, karena dalam Tabel Input-Output tidak mengandung elemen-

elemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Untuk memperoleh multiplier

tenaga kerja maka pada Tabel Input-Output harus ditambahkan baris yang

menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam

perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk

mendapatkan koefisien tenaga kerja (ei). cara untuk memperoleh koefisien tenaga

kerja adalah dengan membagi jumlah tenaga kerja setiap masing-masing sektor

perekonomian di suatu negara atau wilayah dengan jumlah total output dari

masing-masing sektor tersebut.

Koefisien tenaga kerja (ei) menunjukkan efek langsung ketenagakerjaan

dari setiap sektor akibat adanya perubahan output sektor ke-i. Efek langsung dan

tidak langsung ditunjukkan dengan αij ei untuk setiap sektor, dan ∑iαij ei untuk

semua sektor dalam perekonomian suatu negara atau wilayah. Sedangkan efek

total ditunjukkan dengan αij * ei.

2.7 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang

menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan

memindahkan informasi yang ada hubungannya sehingga dapat dimanfaatkan

ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada

(Dunn 2003). Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat

deskriptif dan informasi yang nyata (faktual) mengenai sebab akibat kebijakan

sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan.

Quandun dalam Dunn (2003) juga menegaskan bahwa analisis kebijakan

adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga

dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat

mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang

secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang

Page 39: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

mencakup tidak hanya pengujian kebijakan saja, tetapi juga merencanakan dan

mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak

penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului

atau mengevaluasi program yang sudah selesai.

Menurut Partowidagdo (1999) analisis kebijakan mempunyai tujuan yang

bersifat penandaan (designative) berdasarkan fakta, bersifat penilaian dan anjuran.

Prosedur analisis berdasarkan waktu dan letak hubungannya dengan tindakan

dibagi dua yaitu ex ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan

sebelum tindakan diambil atau untuk masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi

dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari masa lalu (ex post).

Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan retrospektif yang biasa

dilakukan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan politik, sedangkan analisis ex ante

berhubungan dengan analisis kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli

ekonomi, sistem analisis, dan operations research. Analisis kebijakan biasanya

terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan

kesimpulan. Bentuk-bentuk analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk-Bentuk Analisis Kebijakan Sumber: Dunn (2003)

Retrospektif (Ex Post): Apa yang akan terjadi dan perbedaan apa yang dibuat

Prospektif (Ex Ante): Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan

Page 40: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu: pendekatan empiris,

pendekatan evaluatif, dan pendekatan normatif. Pendekatan empiris adalah

pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pendekatan

evaluatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga

atau nilai dari beberapa kebijakan. Dan pendekatan normatif adalah pendekatan

yang berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan

masalah kebijakan.

Menurut Parsons (2005) analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas

pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan; pengetahuan untuk

(for) proses kebijakan; dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara

kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga

variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, dan analisis

untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu

analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan

untuk siapa kebijakan dibuat; dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang

kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring

dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan

mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu

persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan

dan advokasi terhadap kebijakan.

Dalam merumuskan sebuah kebijakan, permasalahan yang sering dihadapi

adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit

disimpulkan. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan

kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model

kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-

aspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus.

Model-model kebijakan tersebut adalah model deskriptif, model verbal, model

normatif, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model

perspektif.

Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua

perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya

pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester, seorang ahli model kebijakan

Page 41: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

dalam Dunn (2003) bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau

membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan

diantara berbagai alternatif yang ada. Dalam merumuskan kebijakan kelautan

pada penelitian ini, model yang dipakai adalah mengunakan model deskriptif

melalui analisis pengambilan keputusan dengan MPE (Metode Perbandingan

Eksponensial).

Untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir

dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan

kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor

yang ada di wilayah pesisir dan lautan tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah

kebijakan pembangunan kelautan harus memperhatikan empat aspek utama yaitu:

(1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-budaya, (3) aspek politis

dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani 2000).

2.8 Studi Terdahulu

Analisis Input-Output dalam menentukan kontribusi sektor-sektor kelautan

secara komprehensif bagi perekonomian suatu daerah memang belum banyak

dilakukan. Biasanya analisis sektor-sektor tersebut secara terpisah telah dilakukan

oleh beberapa penelitian. Begitu juga penelitian yang berusaha mengaitkan

kontribusi sektor tersebut terhadap dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas

pembangunan seperti terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya

(degradasi atau deplesi sumberdaya).

Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini

adalah:

5. Umran (1996) menjelaskan bahwa sektor pariwisata memiliki nilai yang

strategis bagi pengembangan wilayah provinsi Riau. Hal ini ditunjukkan

dengan tingginya nilai keterkaitan antar sektor baik keterkaitan ke belakang

(backward lingkage) maupun keterkaitan ke depan (forward lingkage). Sektor

pariwisata memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektor-

sektor pendukung lainnya seperti sektor restoran, sektor perhotelan, sektor

komunikasi. Untuk keterkaitan ke depan, sektor ini memiliki nilai di atas rata-

Page 42: II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai

rata pada sektor angkutan laut dan sungai, sektor perdagangan, sektor jasa

penunjang angkutan dan pergudangan.

6. Menurut Sihombing (2004) yang melakukan internalisasi dampak pencemaran

ke dalam Tabel Input-Output terhadap sektor kehutanan di Provinsi Riau.

Menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB Riau

terjadi penurunan yang sangat signifikan sebagai akibat terjadinya pencemaran

di wilayah tersebut. Angka negatif sektor kehutanan pada berbagai analisis

pencemaran menunjukkan bahwa sektor ini telah melebihi daya dukung alami

(carrying capacity) dan tingkat produksi lestari (maximum sustainable yields).

Dengan kata lain kegiatan pengusahaan sektor kehutanan mengalami kondisi

‘usaha memakan modal’ (capital downgrade) sehingga kegiatan sektor

kehutanan justru menurunkan kesejahteraan.

7. Dariah (2007) menyimpulkan bahwa meningkatnya degradasi lingkungan

telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Oleh

karena itu, pemerintah harus mendukung pengembangan sektor-sektor

perekonomian yang tidak atau sedikit menyebabkan pencemaran terhadap

lingkungan.

8. Pesoth. 2001. Telah merancang sebuah Tabel I-O yang menginternalisasi

faktor lingkungan yang disebut Tabel I-O Lingkungan. Melalui Tabel I-O

Lingkungan ini, maka diperoleh suatu perhitungan yang lebih wajar dan lebih

mendukung upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Dalam

penelitiannya menunjukkan bahwa internalisasi beban lingkungan ke dalam

perhitungan output di Kota Bogor akan mengakibatkan total output terkoreksi

dari Rp. 3.528,5 milyar menjadi Rp. 3.251,7 milyar, atau menjadi lebih rendah

sekitar 8 persen.