ii. tinjauan pustaka a. tinjauan pelayanan publik 1.digilib.unila.ac.id/8272/3/bab ii.pdf ·...

23
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pelayanan Publik 1. Pengertian Pelayanan Menurut Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan berarti melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktifitas seseorang, sekelompok/dan organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan. Monir (2003: 16) dalam Pasolong (2007: 128) mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung. Sedangkan menurut Albrecht dalam Lovelock (1992) dalam Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam pengoperasian bisnis. 2. Pengertian Pelayanan Publik Pelayanan publik menurut Sinambela (2005: 5) dalam Pasolong (2007: 128) adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Upload: others

Post on 05-Nov-2019

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pelayanan Publik

1. Pengertian Pelayanan

Menurut Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan berarti melayani suatu jasa yang

dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Pelayanan pada dasarnya dapat

didefinisikan sebagai aktifitas seseorang, sekelompok/dan organisasi baik

langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.

Monir (2003: 16) dalam Pasolong (2007: 128) mengatakan bahwa pelayanan

adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung.

Sedangkan menurut Albrecht dalam Lovelock (1992) dalam Sedarmayanti (2009:

243) pelayanan adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas

pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam

pengoperasian bisnis.

2. Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan publik menurut Sinambela (2005: 5) dalam Pasolong (2007: 128)

adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah

manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu

kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak

terikat pada suatu produk secara fisik.

16

Agung Kurniawan (2005: 6) dalam Pasolong (2007:128) mengatakan bahwa

pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain

atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan

aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Definisi pelayanan publik menurut Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 adalah segala

kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dala rangka

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kepmenpan

No. 58 Tahun 2002 mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari instansi

pemerintah serta BUMN/BUMD. Pengelompokkan jenis pelayanan tersebut

didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang

dihasilkan, yaitu (1) pelayanan administratif, (2) pelayanan barang, (3) pelayanan

jasa.

Jenis pelayanan administratif adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit

pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi

dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk

akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan dan

lain-lain. Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan IMB, pelayanan

admnistrasi kependudukan (KTP, NTCR, akte kelahiran dan akte kematian).

Jenis pelayanan barang adalah pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan

berupa kegiatan penyediaan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk

distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung dalam suatu sistem.

17

Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda

atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi

penggunaannya.

Jenis pelayanan jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan

berupa sarana dan pra sarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan

suatu pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang

mendatangkan manfaat bagi penerimanya langsung dan habis terpakai dalam

jangka waktu tertentu.

Karakteristik pelayanan yang harus dimiliki organisasi pemberi pelayanan:

a. Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, sehingga

terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit-belit.

b. Pelayanan diberikan dengan kejelasanan dan kepastian bagi pelanggan.

c. Pemberian pelayanan diusahakan agar efektif efisien.

d. Pemberi pelayanan memberikan kecepatan dan ketepatan waktu yang

ditentukan.

e. Pelanggan setiap saat mudah memperoleh informasi berkaitan pelayanan

secara terbuka.

f. Dalam melayani, pelanggan diperlakukan motto: “customer is king and

customer is always right” (Nisjar, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 244).

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan

orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai

dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah

dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan

18

kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi

untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap

anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi

mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.

Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan

salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di

samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi

publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu

negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga

Administrasi Negara (1994) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan

umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di

lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa

baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan

(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada

organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang

sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan

indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat Thoha (1997).

19

Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan

kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan

aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani

untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahannya.

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus

dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,

transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat

membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan

masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam

Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan

kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap

anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk

mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.

Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik

dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan

pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi

suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah

menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis

dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis

(Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama

aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional

dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenagan yang diberikan

kepadanya dapat terwujud.

20

3. Kualitas Pelayanan Publik

a. Definisi Kualitas

Menurut Pasolong (2007: 132) kualitas pada dasarnya merupakan kata yang

menyandang arti relatif karena bersifat abstrak, kualitas dapat digunakan untuk

menilai atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap persyaratan atau

spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu terpenuhi berarti kualitas

sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan baik, sebaiknya jika persyaratan tidak

terpenuhi maka dapat dikatakan tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan

kualitas diperlukan indikator. Karena spesifikasi merupakan indikator harus

dirancang berarti kualitas secara tidak langsung merupakan hasil rancangan tidak

tertutup kemungkinan untuk diperbaiki atau ditingkatkan.

Sedangkan menurut Fandy Tjiptono (2004: 2) kualitas adalah 1) kesesuaian

dengan persyaratan/tuntutan, 2) kecocokan pemakaian, 3) perbaikan atau

penyempurnaan keberlanjutan, 4) bebas dari kerusakan, 5) pemenuhan kebutuhan

pelanggan sejak awal dan setiap saat, 6) melakukan secara benar sejak awal, 7)

sesuatu yang bisa membahagiaan pelanggan. Kualitas (quality) menurut

Montgomery dalam Supratmo (2001), “the extent to which products meet the

requirement of people who use them”. Jadi suatu produk, apakah itu bentuknya

barang atau jasa, dikatakan bermutu bagi seseorang kalau produk tersebut dapat

memenuhi kebutuhannya.

b. Definisi Pelayanan Yang Berkualitas

Selanjutnya pelayanan yang berkualitas menurut Osborne dan Gebler (1995), serta

Bloom (1981) dalam Pasolong (2007: 133) antara lain memiliki ciri-ciri seperti:

21

tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesentralisasi, serta berorientasi

kepada pelanggan.

Sinambela dkk. (2006: 6) dalam Pasolong (2007: 133) mengatakan bahwa kualitas

pelayanan prima tercermin dari: transparansi, akuntabilitas, kondisional,

partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban. Kasmir (2005:

31), mengatakan bahwa pelayanan baik adalah kemampuan seseorang dalam

memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan

dengan standar yang ditentukan.

Pelayanan yang berkualitas atau pelayanan prima yang berorientas pada

pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (1999) dalam

Pasolong (2007:134) menyebutkan bahwa suatu ukuran keberhasilan

menyediakan pelayanan yang berkualitas (prima) sangat tergantung pada tingkat

kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju pada

pelayanan eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih

didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas.

Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh

aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan

publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zeitham, Parasuraman dan

Berry (1990) dalam Ratminto dan Winarsih (2005: 185) mengemukakan dalam

mendukung hal tersebut, ada 10 (sepuluh) dimensi yang harus diperhatikan dalam

melihat tolok ukur kualitas pelayanan publik, yaitu sebagai berikut :

a. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi;

b. Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan

pelayanan yang dijanjikan dengan tepat;

22

c. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab

terhadap kualitas pelayanan yang diberikan;

d. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan

yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan;

e. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap

keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;

f. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan

masyarakat;

g. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya

dan resiko;

h. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;

i. Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara,

keinginan atau aspirasi pelanggan sekaligus kesediaan untuk selalu

menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;

j. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui

kebutuhan pelanggan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kualitas pelayanan:

a. Akurasi pelayanan

b. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan

c. Tanggung jawab

d. Kelengkapan

e. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan

f. Variasi model pelayanan

g. Pelayanan pribadi

h. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan

23

Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability, dimana setiap

warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang

mereka terima. Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa

mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat

pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan,

merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen

kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum

dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan.

Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda.

Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak

mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain.

Maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai.

Kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk

(barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan.

Kualitas sering kali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan

atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.

4. Kriteria Kualitas Pelayanan

Menurut Sedarmayanti (2009: 253) prinsip menyiapkan kualitas pelayanan:

a. Terjamah: penampilan fasilitas fisik, peralatan, personal dan komunikasi

material.

b. Handal: kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat

dan memiliki ketergantungan.

24

c. Pertanggungjawaban: rasa tanggungjawab terhadap mutu pelayanan.

d. Jaminan : pengetahuan, perilaku, dan kemampuan pegawai.

e. Empati: perhatian perorangan pada pelanggan (Lovelock, 1992) dalam

Sedarmayanti (2009: 253).

Selanjutnya, Sedarmayanti menyebutkan bahwa dimensi kualitas pelayanan

adalah:

a. Reliability (handal), kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar,

jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.

b. Responsiveness (pertanggungjawaban), kesadaran/keinginan membantu

konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.

c. Assurance (jaminan), pengetahuan/wawasan, kesopanan santunan,

kepercayaan diri dari pemberi pelayanan, respek terhadap konsumen.

d. Emphaty (empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan

pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan

kebutuhan konsumen.

e. Tangibles (terjamah), penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya,

seperti: peralatan/pelengkapan yang menunjang pelayanan (Fitzsimmons,

1994) dalam Sedarmayanti (2009: 254).

Hambatan pengembangan sistem manajemen berkualiatas adalah:

a. Ketiadaan komitmen dari manajemen.

b. Ketiadaan pengetahuan/kekurangpahaman tentang manajemen kualitas.

c. Ketidakmampuan merubah tolak ukur.

d. Ketidaktepatan perencanaan kualitas.

25

e. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.

f. Ketidakmampuan membangun learning organization yang memberikan

perbaikan terus menerus.

g. Ketidakcocokan struktur organisasi dan departemen individu yang

terisolisasi.

h. Ketidakcukupan sumberdaya.

i. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi pegawai.

j. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke dalam

organisasi

k. Ketidakefektifan teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan

hasil.

l. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil tepat.

m. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan

eksternal.

n. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.

o. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan dan kerjasama (Masters,

1996 dalam Gaspersz, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 255).

5. Kelemahan-kelemahan dalam Manajemen Pelayanan Umum dan

Pelayanan Perizinan

Menurut Ratminto (2006: 35) mengatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan

dari praktek manajemen pelayanan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Sistem yang berlaku masih belum mengaitkan secara langsung prestasi

kerja aparat dengan perkembangan karirnya. Dengan demikian, seorang

pegawai yang prestasi kerjanya tidak bagus tetap dapat naik pangkat,

26

sementara pegawai yang prestasi kerjanya bagus dan memberikan

pelayanan baik kepada masyarakat justru karirnya terhambat.

2. Sistem tersebut sudah dapat mengatasi hal-hal yang bersifat teknis

manajerial, tetapi masih belum membenahi hal-hal yang bersifat strategis

kebijakan. Untuk mengurus lebih dari satu pelayanan perizinan,

masyarakat memang cukup datang ke unit pelayanan terpadu satu atap.

Akan tetapi prosedur, jumlah kelengkapan persyaratan dan biaya yang

harus dibayar masih tetap jumlahnya belum berubah.

3. Sistem manajemen tersebut juga belum disosialisasikan kepada

masyarakat, sehingga masih cukup banyak masyarakat yang belum

mengetahui sistem dan prosedur pelayanan yang harus diikuti jika

masyarakat hendak mengurus suatu izin. Akibatnya partisipasi katif

masyarakat juga masih sangat rendah.

Selanjutnya Ratminto mengatakan bahwa berdasarkan analisis data dari media

massa dan observasi diketahui bahwa hal yang paling penting dan essensial dalam

peningkatan kualitas pelayanan adalah adanya kesetaraan hubungan masyarakat

pengguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan jasa pelayanan.

Pelayanan publik hanya akan menjadi baik atau berkualitas apabila masyarakat

yang mengurus suatu jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang

sebanding dengan posisi tawar petugas pemberi pelayanan.

Pentingnya kesetaraan posisi tawar petugas dan instansi pemberi layanan disatu

sisi dengan masyarakat pengguna jasa disisi lainnya adalah mutlak untuk

mewujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas. Dengan demikian masyarakat

27

harus diberdayakan dan pemberi layanan harus dikontrol. Kontrol ini harus

dilakukan pada semua instansi pemberi layanan, baik itu pemerintah, swasta atau

LSM. Biasanya hanya instansi pemerintah saja yang ditengarai melakukan

penyimpangan, padahal swasta dan LSM pun kerap melakukan hal yang sama.

Kesetaraan ini dapat diwujudkan apabila terdapat mekanisme exit dan voice.

Mekanisme exit artinya pengguna jasa pelayanan mempunyai pilihan untuk

menggunakan penyedia jasa layanan perizinan yang lain apabila dia tidak puas

dengan sesuatu penyedia jasa. Apabila alternatif pengguna penyedia jasa layanan

perizinan tidak memungkinkan, maka harus ada mekanisme voice. Mekanisme

voice ini artinya pengguna jasa dapat menyampaikan atau mengekspresikan

ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara

pelayanan perizinan. Jadi untuk mewujudkan kesetaraan hubungan agar dapat

meningkatkan kualitas pelayanan perizinan, yang harus dilakukan adalah: (a)

memperkuat posisi tawar penggunan jasa layanan; (b) mengfungsikan mekanisme

voice. Sedangkan faktor-faktor manajerial yang menjadi penentu kualitas

pelayanan perizinan adalah: (a) adanya birokrat yang berorientasi pada

kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa; (b) terbangunnya kultur

pelayanan dalam organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan perizinan;

dan; (c) diterapkannya sistem yang mengutamakan kepentingan masyarakat,

khususnya pengguna jasa pelayanan. Dengan demikian kualitas pelayanan

perizinan sangat dipengaruhi oleh lima hal, yaitu:

1. Kuatnya posisi tawar pengguna jasa pelayanan;

2. Berfungsinya mekanisme voice;

28

3. Adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat,

khususnya pengguna jasa;

4. Terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang

bertugas untuk memberikan pelayanan perizinan; dan

5. Diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan

masyarakat. Khususnya pengguna jasa pelayanan.

Manajemen pelayanan perizinan dan juga pelayanan umum atau pelayanan

pemerintah harus mengoptimalkan berfungsinya kelima faktor tersebut agar dapat

mewujudkan pelayanan yang tepat, cepat, murah dan efisien sebagaimana

diharapkan oleh masyarakat.

B. Tinjauan Efektifitas

Efektifitas yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau

dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan. Adapun pengertian efektifitas menurut para ahli diantaranya sebagai

berikut:

Menurut Pasolong (2007: 9) efektifitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan

digunakan dalam istilah ini sebagai hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat

dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektifitas berarti tujuan yang

telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai

karena adanya proses kegiatan.

James L. Gibson dkk (1996: 38) dalam Pasolong (2007: 9), mengatakan bahwa

efektifitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian

sasaran menunjukkan derajat efektifitas. Sedangkan Tjokroamidjojo (1987: 3)

29

dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa efektifitas, agar pelaksanaan

administrasi lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai sasaran tujuan

yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil.

Selanjutnya Keban (2004: 140) dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa

suatu organisasi dapat dikatakan efektif bila tujuan organisasi atau nilai-nilai

sebagaimana ditetapkan dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang telah disepakati

bersama antara para stakeholders dari organisasi yang bersangkutan.

Sedangkan pengertian efektivitas menurut Sumijo (2008:35) adalah sebagai

berikut : “Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara

membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi

atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.

Pengertian efektifitas menurut Ratminto (2006: 179) adalah tercapainya tujuan

yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang,

maupun misi organisasi. Akan tetapi pencapaian tujuan ini harus juga mengacu

pada pada visi organisasi. Sedangkan Siagian (2001: 24) memberikan definisi

sebagai berikut : “Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan

prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk

menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas

menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah

ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi

efektifitasnya.Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa

suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif apabila pekerjaan tersebut

dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.

30

Melihat keterangan dari para ahli di atas maka dapat peneliti simpulkan bahwa

yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya hasil dan tujuan dari suatu

organisasi atau program yang sebelumnya sudah ditentukan secara bersama-sama.

Pencapaian tersebut dengan memanfaatkan segala sumber daya (manusia,

anggaran) dan sarana prasarana yang tersedia atau yang dimiliki.

Dalam konteks penelitian ini yaitu efektifitas pelaksanaan program Larasita di

Kabupaten Lampung Utara maka peneliti akan melihat pencapaian Kantor

Pertanahan Nasional Lampung Utara terhadap tujuan-tujuan dan sasaran program

Larasita di Lampung Utara. Indikator yang akan peneliti ketahui dan analisis

adalah:

1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan

Kabupaten Lampung Utara pelaksana Tim Larasita, meliputi: kecerdasan,

keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.

2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti:

kendaraan, komputer dan peralatan yang berkenaan dengan kegiatan

sertifikasi tanah.

3. Prosedur dan Sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten

Lampung Utara.

4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan

yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah,

dan sistem pelayanan “jemput bola”.

31

5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung

Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah

mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah

masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.

Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan

sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum

memiliki sertifikat tanah.

C. Tinjauan Program Larasita

1. Pengertian Program

Konsep program menurut World Bank adalah usaha-usaha jangka panjang yang

bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pada suatu sector tertentu untuk

mencapai beberapa proyek. Program juga dapat dipahami sebagai, kegiatan sosial

yang teratur, mempunyai tujuan yang jelas dan khusus, serta dibatasi oleh tempat

dan waktu tertentu. Program pembangunan dibagi atas proyek-proyek

pembangunan (Reksopoetranto, 1985:77).

Program adalah rencana yang telah diolah dengan memperhatikan faktor-faktor

kemampuan ruang waktu dan urutan penyelenggaraannya secara tegas dan teratur

sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa, dimana, sejauhmana dan

bagaimana. Program juga merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian yang berisi

langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

32

Kemudian menurut Sidu (2006: 60) adalah kegiatan pokok yang akan

dilaksanakan organisasi untuk melaksanakan strategi yang telah ditetapkan.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 adalah kumpulan

instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh

instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi

anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi

pemerintah.

2. Pengertian Larasita

Pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 18

Tahun 2009 menjelaskan bahwa Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak

dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh

masyarakat. Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudnyatakan amat

pasa 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, serta seluruh

peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan keagrariaan.

Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk

mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan

masyarakat, sekaligus merubah paradigm pelaksanaan tugas pokok dan fungsi

BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif atau pro aktif, mendatangi

masyarakat secara langsung. Larasita telah diuji cobakan pelaksanaannya

dibeberapa kota/kabupaten yang setelah dilakukan evaluasi ternyata Larasita dapat

diterapkan di seluruh Indonesia.

33

Larasita menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan.

Namun sesuai sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi

tersebut diberikan pemberian atau pendelegasian kewenangan yang diperlukan

guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian Larasita menjadi

mekanisme untuk:

1. Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaharuan agrarian

nasional (reforma agrarian);

2. Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang

pertanahan;

3. Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar;

4. Melakukan pendeteksian awal ditanah yang diindikasikan bermasalah;

5. Memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin

diselesaikan dilapangan;

6. Menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang

dimasyarakat; dan

7. Meningkatkan legalisasi asset tanah masyarakat.

Dengan Larasita, kantor pertanahan menjadi mampu menyelenggarakan tugas-

tugas pertanahan dimanapun target kegiatan berada. Pergerakan tersebut juga akan

memberikan ruang interaksi antara aparat BPN RI dengan masyarakat sampai

pada tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan tingkat komunitas masyarakat, di

seluruh wilayah kerjanya, terutama pada lokasi yang jauh dari kantor pertanahan.

34

Larasita menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang berlaku pada kantor pertanahan, dengan kekhususan pada jenis

kegiatan sebagai berikut:

1. Melaksanakan secara lebih dini pengawasan dan pengendalian,

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta

melaksanakan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang

diindikasikan terlantar;

2. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan sinkronisasi dan

penyampaian informasi penatagunaan tanah dengan Rencana Tata

Ruang dan Wilayah (RTRW) kabupaten/kota;

3. Memfasilitasi serta mendekatkan akses-akses untuk menciptakan

sumber-sumber ekonomi baru dalam rangka menigkatkan kesejahteraan

masyarakat;

4. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi masalah,

sengketa atau perkara pertanahan secara dini serta memfasilitasi upaya

penanganannya;

5. Melakukan sosialisasi dan berinteraksi untuk menyampaikan informasi

pertanahan dan program-program pertanahan lainnya serta

menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan program BPN RI;

6. Melaksanakan kegiatan legalisasi aset dan tugas-tugas pertanahan lain.

D. Kerangka Pikir

Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa

keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat.

35

Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33

ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria, yang kemudian

pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun

2009 tentang Larasita BPN RI. Rencana strategis ini diuraikan lagi

menjadi 11 Agenda Kebijakan BPN RI dengan dua diantaranya adalah

membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan

pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia, serta membangun

database pemilikan dan penguasaan tanah skala besar. Munculah Larasita

yang sekiranya mampu memenuhi dua di antara 11 Agenda Kebijakan

tersebut. Rintisan awal pelaksanaan program Larasita adalah di Kabupaten

Karanganyar. Nama Larasita diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Bapak DR. Ir. Joyo Winoto yang sekaligus

meresmikan sistem pelayanan ini bersama Bupati Karanganyar Ibu Hj.

Rina Iriani SR, S. Pd., M. Hum pada tanggal 19 Desember 2006 di

Karanganyar.

Larasita adalah layanan kantor berjalan dengan menggunakan sistem

komputerisasi untuk mempercepat pelayanan dan pembuatan sertifikat

tanah masyarakat dengan mendatangi langsung rumah-rumah masyarakat

diseluruh pelosok Indonesia. Pengembangan Larasita berangkat dari

kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah

paradigma pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu

atau pasif menjadi aktif dan pro aktif, mendatangi masyarakat secara

langsung.

36

Tujuan utama diluncurkannya program Larasita adalah percepatan

sertifikasi tanah sehingga akan mampu mencegah dan menanggulangi

konflik-konflik pertanahan yang acapkali bergulir di masyarakat. Lewat

Larasita, pengurusan sertifikasi tanah lebih mudah dijangkau, murah, dan

bebas dari usaha-usaha makelar atau percaloan yang selama ini selalu

mewarnai proses pengurusan tanah di Indonesia. Karena sistemnya yang

“jemput bola” atau mendatangi warga, tentunya akan lebih banyak warga

yang dapat dilayani terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari

perkotaan. Bahkan, untuk mereka dengan keterjangkauan daerah yang

sulit, BPN menyediakan pula Larasita menggunakan mobil/motor. Inilah

komitmen BPN RI yang memang ingin berubah dari kantor yang pasif

menjadi pro aktif melayani masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang

efektifitas program Larasita yang ada di Kabupaten Lampung Utara.

Efektifitas dari program Larasita ini akan peneliti ketahui melalui

penelusuran beberapa hal yang menjadi persyaratan untuk tercapainya

efektifitas suatu program. Dalam peneletian ini ada 5 (lima) poin yang

akan menjadi tolak ukur dari program Larasita, diantaranya:

1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan

Kabupaten Lampung Utara pelaksana program Larasita, meliputi:

kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi

pelayanan.

37

2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten

Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti:

kendaraan, komputer dan peralatan modern yang berkenaan dengan

kegiatan sertifikasi tanah.

3. Prosedur dan sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten

Lampung Utara.

4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan

yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan

murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.

5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten

Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah

warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui

program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki

sertifikat tanah.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun

2009 tentang Larasita BPN RI.

Pelaksanaan Program Larasita di Kabupaten

Lampung Utara.

1. Kompetensi SDM

2. Sarana pra Sarana

3. Prosedur dan Sosialisasi

4. Kesesuaian hasil dan tujuan progra,

5. Output

Efektivitas

Program Larasita