II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pelayanan Publik
1. Pengertian Pelayanan
Menurut Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan berarti melayani suatu jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Pelayanan pada dasarnya dapat
didefinisikan sebagai aktifitas seseorang, sekelompok/dan organisasi baik
langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Monir (2003: 16) dalam Pasolong (2007: 128) mengatakan bahwa pelayanan
adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung.
Sedangkan menurut Albrecht dalam Lovelock (1992) dalam Sedarmayanti (2009:
243) pelayanan adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas
pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam
pengoperasian bisnis.
2. Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik menurut Sinambela (2005: 5) dalam Pasolong (2007: 128)
adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah
manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu
kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak
terikat pada suatu produk secara fisik.
16
Agung Kurniawan (2005: 6) dalam Pasolong (2007:128) mengatakan bahwa
pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Definisi pelayanan publik menurut Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 adalah segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dala rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kepmenpan
No. 58 Tahun 2002 mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari instansi
pemerintah serta BUMN/BUMD. Pengelompokkan jenis pelayanan tersebut
didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang
dihasilkan, yaitu (1) pelayanan administratif, (2) pelayanan barang, (3) pelayanan
jasa.
Jenis pelayanan administratif adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit
pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi
dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk
akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan dan
lain-lain. Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan IMB, pelayanan
admnistrasi kependudukan (KTP, NTCR, akte kelahiran dan akte kematian).
Jenis pelayanan barang adalah pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan
berupa kegiatan penyediaan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk
distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung dalam suatu sistem.
17
Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda
atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi
penggunaannya.
Jenis pelayanan jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan
berupa sarana dan pra sarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan
suatu pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang
mendatangkan manfaat bagi penerimanya langsung dan habis terpakai dalam
jangka waktu tertentu.
Karakteristik pelayanan yang harus dimiliki organisasi pemberi pelayanan:
a. Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, sehingga
terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit-belit.
b. Pelayanan diberikan dengan kejelasanan dan kepastian bagi pelanggan.
c. Pemberian pelayanan diusahakan agar efektif efisien.
d. Pemberi pelayanan memberikan kecepatan dan ketepatan waktu yang
ditentukan.
e. Pelanggan setiap saat mudah memperoleh informasi berkaitan pelayanan
secara terbuka.
f. Dalam melayani, pelanggan diperlakukan motto: “customer is king and
customer is always right” (Nisjar, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 244).
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan
orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan
18
kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi
untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi
mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan
salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di
samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi
publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu
negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga
Administrasi Negara (1994) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan
umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa
baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada
organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang
sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan
indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat Thoha (1997).
19
Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan
aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani
untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahannya.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus
dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,
transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat
membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam
Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan
kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk
mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik
dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan
pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi
suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah
menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis
dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis
(Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama
aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional
dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenagan yang diberikan
kepadanya dapat terwujud.
20
3. Kualitas Pelayanan Publik
a. Definisi Kualitas
Menurut Pasolong (2007: 132) kualitas pada dasarnya merupakan kata yang
menyandang arti relatif karena bersifat abstrak, kualitas dapat digunakan untuk
menilai atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap persyaratan atau
spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu terpenuhi berarti kualitas
sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan baik, sebaiknya jika persyaratan tidak
terpenuhi maka dapat dikatakan tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan
kualitas diperlukan indikator. Karena spesifikasi merupakan indikator harus
dirancang berarti kualitas secara tidak langsung merupakan hasil rancangan tidak
tertutup kemungkinan untuk diperbaiki atau ditingkatkan.
Sedangkan menurut Fandy Tjiptono (2004: 2) kualitas adalah 1) kesesuaian
dengan persyaratan/tuntutan, 2) kecocokan pemakaian, 3) perbaikan atau
penyempurnaan keberlanjutan, 4) bebas dari kerusakan, 5) pemenuhan kebutuhan
pelanggan sejak awal dan setiap saat, 6) melakukan secara benar sejak awal, 7)
sesuatu yang bisa membahagiaan pelanggan. Kualitas (quality) menurut
Montgomery dalam Supratmo (2001), “the extent to which products meet the
requirement of people who use them”. Jadi suatu produk, apakah itu bentuknya
barang atau jasa, dikatakan bermutu bagi seseorang kalau produk tersebut dapat
memenuhi kebutuhannya.
b. Definisi Pelayanan Yang Berkualitas
Selanjutnya pelayanan yang berkualitas menurut Osborne dan Gebler (1995), serta
Bloom (1981) dalam Pasolong (2007: 133) antara lain memiliki ciri-ciri seperti:
21
tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesentralisasi, serta berorientasi
kepada pelanggan.
Sinambela dkk. (2006: 6) dalam Pasolong (2007: 133) mengatakan bahwa kualitas
pelayanan prima tercermin dari: transparansi, akuntabilitas, kondisional,
partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban. Kasmir (2005:
31), mengatakan bahwa pelayanan baik adalah kemampuan seseorang dalam
memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan
dengan standar yang ditentukan.
Pelayanan yang berkualitas atau pelayanan prima yang berorientas pada
pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (1999) dalam
Pasolong (2007:134) menyebutkan bahwa suatu ukuran keberhasilan
menyediakan pelayanan yang berkualitas (prima) sangat tergantung pada tingkat
kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju pada
pelayanan eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih
didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas.
Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh
aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan
publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zeitham, Parasuraman dan
Berry (1990) dalam Ratminto dan Winarsih (2005: 185) mengemukakan dalam
mendukung hal tersebut, ada 10 (sepuluh) dimensi yang harus diperhatikan dalam
melihat tolok ukur kualitas pelayanan publik, yaitu sebagai berikut :
a. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi;
b. Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat;
22
c. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan;
d. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan
yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan;
e. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap
keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
f. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan
masyarakat;
g. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya
dan resiko;
h. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
i. Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara,
keinginan atau aspirasi pelanggan sekaligus kesediaan untuk selalu
menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;
j. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui
kebutuhan pelanggan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kualitas pelayanan:
a. Akurasi pelayanan
b. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan
c. Tanggung jawab
d. Kelengkapan
e. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan
f. Variasi model pelayanan
g. Pelayanan pribadi
h. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan
23
Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability, dimana setiap
warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang
mereka terima. Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa
mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat
pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan,
merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen
kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum
dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan.
Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda.
Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak
mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain.
Maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai.
Kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk
(barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan.
Kualitas sering kali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan
atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.
4. Kriteria Kualitas Pelayanan
Menurut Sedarmayanti (2009: 253) prinsip menyiapkan kualitas pelayanan:
a. Terjamah: penampilan fasilitas fisik, peralatan, personal dan komunikasi
material.
b. Handal: kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat
dan memiliki ketergantungan.
24
c. Pertanggungjawaban: rasa tanggungjawab terhadap mutu pelayanan.
d. Jaminan : pengetahuan, perilaku, dan kemampuan pegawai.
e. Empati: perhatian perorangan pada pelanggan (Lovelock, 1992) dalam
Sedarmayanti (2009: 253).
Selanjutnya, Sedarmayanti menyebutkan bahwa dimensi kualitas pelayanan
adalah:
a. Reliability (handal), kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar,
jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.
b. Responsiveness (pertanggungjawaban), kesadaran/keinginan membantu
konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.
c. Assurance (jaminan), pengetahuan/wawasan, kesopanan santunan,
kepercayaan diri dari pemberi pelayanan, respek terhadap konsumen.
d. Emphaty (empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan
pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan
kebutuhan konsumen.
e. Tangibles (terjamah), penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya,
seperti: peralatan/pelengkapan yang menunjang pelayanan (Fitzsimmons,
1994) dalam Sedarmayanti (2009: 254).
Hambatan pengembangan sistem manajemen berkualiatas adalah:
a. Ketiadaan komitmen dari manajemen.
b. Ketiadaan pengetahuan/kekurangpahaman tentang manajemen kualitas.
c. Ketidakmampuan merubah tolak ukur.
d. Ketidaktepatan perencanaan kualitas.
25
e. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
f. Ketidakmampuan membangun learning organization yang memberikan
perbaikan terus menerus.
g. Ketidakcocokan struktur organisasi dan departemen individu yang
terisolisasi.
h. Ketidakcukupan sumberdaya.
i. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi pegawai.
j. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke dalam
organisasi
k. Ketidakefektifan teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan
hasil.
l. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil tepat.
m. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan
eksternal.
n. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.
o. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan dan kerjasama (Masters,
1996 dalam Gaspersz, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 255).
5. Kelemahan-kelemahan dalam Manajemen Pelayanan Umum dan
Pelayanan Perizinan
Menurut Ratminto (2006: 35) mengatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan
dari praktek manajemen pelayanan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sistem yang berlaku masih belum mengaitkan secara langsung prestasi
kerja aparat dengan perkembangan karirnya. Dengan demikian, seorang
pegawai yang prestasi kerjanya tidak bagus tetap dapat naik pangkat,
26
sementara pegawai yang prestasi kerjanya bagus dan memberikan
pelayanan baik kepada masyarakat justru karirnya terhambat.
2. Sistem tersebut sudah dapat mengatasi hal-hal yang bersifat teknis
manajerial, tetapi masih belum membenahi hal-hal yang bersifat strategis
kebijakan. Untuk mengurus lebih dari satu pelayanan perizinan,
masyarakat memang cukup datang ke unit pelayanan terpadu satu atap.
Akan tetapi prosedur, jumlah kelengkapan persyaratan dan biaya yang
harus dibayar masih tetap jumlahnya belum berubah.
3. Sistem manajemen tersebut juga belum disosialisasikan kepada
masyarakat, sehingga masih cukup banyak masyarakat yang belum
mengetahui sistem dan prosedur pelayanan yang harus diikuti jika
masyarakat hendak mengurus suatu izin. Akibatnya partisipasi katif
masyarakat juga masih sangat rendah.
Selanjutnya Ratminto mengatakan bahwa berdasarkan analisis data dari media
massa dan observasi diketahui bahwa hal yang paling penting dan essensial dalam
peningkatan kualitas pelayanan adalah adanya kesetaraan hubungan masyarakat
pengguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan jasa pelayanan.
Pelayanan publik hanya akan menjadi baik atau berkualitas apabila masyarakat
yang mengurus suatu jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang
sebanding dengan posisi tawar petugas pemberi pelayanan.
Pentingnya kesetaraan posisi tawar petugas dan instansi pemberi layanan disatu
sisi dengan masyarakat pengguna jasa disisi lainnya adalah mutlak untuk
mewujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas. Dengan demikian masyarakat
27
harus diberdayakan dan pemberi layanan harus dikontrol. Kontrol ini harus
dilakukan pada semua instansi pemberi layanan, baik itu pemerintah, swasta atau
LSM. Biasanya hanya instansi pemerintah saja yang ditengarai melakukan
penyimpangan, padahal swasta dan LSM pun kerap melakukan hal yang sama.
Kesetaraan ini dapat diwujudkan apabila terdapat mekanisme exit dan voice.
Mekanisme exit artinya pengguna jasa pelayanan mempunyai pilihan untuk
menggunakan penyedia jasa layanan perizinan yang lain apabila dia tidak puas
dengan sesuatu penyedia jasa. Apabila alternatif pengguna penyedia jasa layanan
perizinan tidak memungkinkan, maka harus ada mekanisme voice. Mekanisme
voice ini artinya pengguna jasa dapat menyampaikan atau mengekspresikan
ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara
pelayanan perizinan. Jadi untuk mewujudkan kesetaraan hubungan agar dapat
meningkatkan kualitas pelayanan perizinan, yang harus dilakukan adalah: (a)
memperkuat posisi tawar penggunan jasa layanan; (b) mengfungsikan mekanisme
voice. Sedangkan faktor-faktor manajerial yang menjadi penentu kualitas
pelayanan perizinan adalah: (a) adanya birokrat yang berorientasi pada
kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa; (b) terbangunnya kultur
pelayanan dalam organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan perizinan;
dan; (c) diterapkannya sistem yang mengutamakan kepentingan masyarakat,
khususnya pengguna jasa pelayanan. Dengan demikian kualitas pelayanan
perizinan sangat dipengaruhi oleh lima hal, yaitu:
1. Kuatnya posisi tawar pengguna jasa pelayanan;
2. Berfungsinya mekanisme voice;
28
3. Adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat,
khususnya pengguna jasa;
4. Terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang
bertugas untuk memberikan pelayanan perizinan; dan
5. Diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan
masyarakat. Khususnya pengguna jasa pelayanan.
Manajemen pelayanan perizinan dan juga pelayanan umum atau pelayanan
pemerintah harus mengoptimalkan berfungsinya kelima faktor tersebut agar dapat
mewujudkan pelayanan yang tepat, cepat, murah dan efisien sebagaimana
diharapkan oleh masyarakat.
B. Tinjauan Efektifitas
Efektifitas yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau
dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan. Adapun pengertian efektifitas menurut para ahli diantaranya sebagai
berikut:
Menurut Pasolong (2007: 9) efektifitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan
digunakan dalam istilah ini sebagai hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat
dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektifitas berarti tujuan yang
telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai
karena adanya proses kegiatan.
James L. Gibson dkk (1996: 38) dalam Pasolong (2007: 9), mengatakan bahwa
efektifitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian
sasaran menunjukkan derajat efektifitas. Sedangkan Tjokroamidjojo (1987: 3)
29
dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa efektifitas, agar pelaksanaan
administrasi lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai sasaran tujuan
yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil.
Selanjutnya Keban (2004: 140) dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa
suatu organisasi dapat dikatakan efektif bila tujuan organisasi atau nilai-nilai
sebagaimana ditetapkan dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang telah disepakati
bersama antara para stakeholders dari organisasi yang bersangkutan.
Sedangkan pengertian efektivitas menurut Sumijo (2008:35) adalah sebagai
berikut : “Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara
membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi
atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.
Pengertian efektifitas menurut Ratminto (2006: 179) adalah tercapainya tujuan
yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang,
maupun misi organisasi. Akan tetapi pencapaian tujuan ini harus juga mengacu
pada pada visi organisasi. Sedangkan Siagian (2001: 24) memberikan definisi
sebagai berikut : “Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk
menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas
menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah
ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi
efektifitasnya.Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif apabila pekerjaan tersebut
dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.
30
Melihat keterangan dari para ahli di atas maka dapat peneliti simpulkan bahwa
yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya hasil dan tujuan dari suatu
organisasi atau program yang sebelumnya sudah ditentukan secara bersama-sama.
Pencapaian tersebut dengan memanfaatkan segala sumber daya (manusia,
anggaran) dan sarana prasarana yang tersedia atau yang dimiliki.
Dalam konteks penelitian ini yaitu efektifitas pelaksanaan program Larasita di
Kabupaten Lampung Utara maka peneliti akan melihat pencapaian Kantor
Pertanahan Nasional Lampung Utara terhadap tujuan-tujuan dan sasaran program
Larasita di Lampung Utara. Indikator yang akan peneliti ketahui dan analisis
adalah:
1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan
Kabupaten Lampung Utara pelaksana Tim Larasita, meliputi: kecerdasan,
keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.
2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti:
kendaraan, komputer dan peralatan yang berkenaan dengan kegiatan
sertifikasi tanah.
3. Prosedur dan Sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten
Lampung Utara.
4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan
yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah,
dan sistem pelayanan “jemput bola”.
31
5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung
Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah
mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah
masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.
Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.
Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan
sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum
memiliki sertifikat tanah.
C. Tinjauan Program Larasita
1. Pengertian Program
Konsep program menurut World Bank adalah usaha-usaha jangka panjang yang
bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pada suatu sector tertentu untuk
mencapai beberapa proyek. Program juga dapat dipahami sebagai, kegiatan sosial
yang teratur, mempunyai tujuan yang jelas dan khusus, serta dibatasi oleh tempat
dan waktu tertentu. Program pembangunan dibagi atas proyek-proyek
pembangunan (Reksopoetranto, 1985:77).
Program adalah rencana yang telah diolah dengan memperhatikan faktor-faktor
kemampuan ruang waktu dan urutan penyelenggaraannya secara tegas dan teratur
sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa, dimana, sejauhmana dan
bagaimana. Program juga merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian yang berisi
langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
32
Kemudian menurut Sidu (2006: 60) adalah kegiatan pokok yang akan
dilaksanakan organisasi untuk melaksanakan strategi yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 adalah kumpulan
instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi
pemerintah.
2. Pengertian Larasita
Pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 18
Tahun 2009 menjelaskan bahwa Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak
dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh
masyarakat. Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudnyatakan amat
pasa 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, serta seluruh
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan keagrariaan.
Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk
mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan
masyarakat, sekaligus merubah paradigm pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif atau pro aktif, mendatangi
masyarakat secara langsung. Larasita telah diuji cobakan pelaksanaannya
dibeberapa kota/kabupaten yang setelah dilakukan evaluasi ternyata Larasita dapat
diterapkan di seluruh Indonesia.
33
Larasita menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan.
Namun sesuai sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
tersebut diberikan pemberian atau pendelegasian kewenangan yang diperlukan
guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian Larasita menjadi
mekanisme untuk:
1. Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaharuan agrarian
nasional (reforma agrarian);
2. Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang
pertanahan;
3. Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar;
4. Melakukan pendeteksian awal ditanah yang diindikasikan bermasalah;
5. Memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin
diselesaikan dilapangan;
6. Menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang
dimasyarakat; dan
7. Meningkatkan legalisasi asset tanah masyarakat.
Dengan Larasita, kantor pertanahan menjadi mampu menyelenggarakan tugas-
tugas pertanahan dimanapun target kegiatan berada. Pergerakan tersebut juga akan
memberikan ruang interaksi antara aparat BPN RI dengan masyarakat sampai
pada tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan tingkat komunitas masyarakat, di
seluruh wilayah kerjanya, terutama pada lokasi yang jauh dari kantor pertanahan.
34
Larasita menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku pada kantor pertanahan, dengan kekhususan pada jenis
kegiatan sebagai berikut:
1. Melaksanakan secara lebih dini pengawasan dan pengendalian,
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta
melaksanakan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang
diindikasikan terlantar;
2. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan sinkronisasi dan
penyampaian informasi penatagunaan tanah dengan Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) kabupaten/kota;
3. Memfasilitasi serta mendekatkan akses-akses untuk menciptakan
sumber-sumber ekonomi baru dalam rangka menigkatkan kesejahteraan
masyarakat;
4. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi masalah,
sengketa atau perkara pertanahan secara dini serta memfasilitasi upaya
penanganannya;
5. Melakukan sosialisasi dan berinteraksi untuk menyampaikan informasi
pertanahan dan program-program pertanahan lainnya serta
menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan program BPN RI;
6. Melaksanakan kegiatan legalisasi aset dan tugas-tugas pertanahan lain.
D. Kerangka Pikir
Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa
keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat.
35
Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria, yang kemudian
pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun
2009 tentang Larasita BPN RI. Rencana strategis ini diuraikan lagi
menjadi 11 Agenda Kebijakan BPN RI dengan dua diantaranya adalah
membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan
pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia, serta membangun
database pemilikan dan penguasaan tanah skala besar. Munculah Larasita
yang sekiranya mampu memenuhi dua di antara 11 Agenda Kebijakan
tersebut. Rintisan awal pelaksanaan program Larasita adalah di Kabupaten
Karanganyar. Nama Larasita diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Bapak DR. Ir. Joyo Winoto yang sekaligus
meresmikan sistem pelayanan ini bersama Bupati Karanganyar Ibu Hj.
Rina Iriani SR, S. Pd., M. Hum pada tanggal 19 Desember 2006 di
Karanganyar.
Larasita adalah layanan kantor berjalan dengan menggunakan sistem
komputerisasi untuk mempercepat pelayanan dan pembuatan sertifikat
tanah masyarakat dengan mendatangi langsung rumah-rumah masyarakat
diseluruh pelosok Indonesia. Pengembangan Larasita berangkat dari
kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah
paradigma pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu
atau pasif menjadi aktif dan pro aktif, mendatangi masyarakat secara
langsung.
36
Tujuan utama diluncurkannya program Larasita adalah percepatan
sertifikasi tanah sehingga akan mampu mencegah dan menanggulangi
konflik-konflik pertanahan yang acapkali bergulir di masyarakat. Lewat
Larasita, pengurusan sertifikasi tanah lebih mudah dijangkau, murah, dan
bebas dari usaha-usaha makelar atau percaloan yang selama ini selalu
mewarnai proses pengurusan tanah di Indonesia. Karena sistemnya yang
“jemput bola” atau mendatangi warga, tentunya akan lebih banyak warga
yang dapat dilayani terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari
perkotaan. Bahkan, untuk mereka dengan keterjangkauan daerah yang
sulit, BPN menyediakan pula Larasita menggunakan mobil/motor. Inilah
komitmen BPN RI yang memang ingin berubah dari kantor yang pasif
menjadi pro aktif melayani masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang
efektifitas program Larasita yang ada di Kabupaten Lampung Utara.
Efektifitas dari program Larasita ini akan peneliti ketahui melalui
penelusuran beberapa hal yang menjadi persyaratan untuk tercapainya
efektifitas suatu program. Dalam peneletian ini ada 5 (lima) poin yang
akan menjadi tolak ukur dari program Larasita, diantaranya:
1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan
Kabupaten Lampung Utara pelaksana program Larasita, meliputi:
kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi
pelayanan.
37
2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti:
kendaraan, komputer dan peralatan modern yang berkenaan dengan
kegiatan sertifikasi tanah.
3. Prosedur dan sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten
Lampung Utara.
4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan
yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan
murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.
5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten
Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah
warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui
program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki
sertifikat tanah.
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun
2009 tentang Larasita BPN RI.
Pelaksanaan Program Larasita di Kabupaten
Lampung Utara.
1. Kompetensi SDM
2. Sarana pra Sarana
3. Prosedur dan Sosialisasi
4. Kesesuaian hasil dan tujuan progra,
5. Output
Efektivitas
Program Larasita