ii. tinjauan pustaka a. pengertian, prinsip dan tujuan ...digilib.unila.ac.id/15253/14/bab 2...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penilaian
Proses belajar mengajar mengandung tiga unsur, yaitu tujuan pembelajaran, pro-
ses pembelajaran dan hasil belajar. Hubungan timbal balik antara tiga unsur ter-
sebut digambarkan dalam bagan berikut ini:
a c
b
Gambar 1. Hubungan antara tujuan, proses, dan hasil belajar (Munaf, 2001)
Munaf (2001) menyatakan bahwa kegiatan penilaian dinyatakan oleh garis c yang
merupakan kegiatan untuk melihat sejauhmana tujuan pengajaran telah dapat di-
kuasai para siswa dalam bentuk hasil belajar. Kemudian ia mengungkapkan bah-
wa penilaian adalah suatu proses yang sistematis dalam memberikan pertimbang-
an mengenai nilai dan arti dari sesuatu. Iryanti (2004) mengemukakan bahwa pe-
nilaian adalah penafsiran hasil pengukuran dan penentuan pencapaian hasil
Tujuan
Pembelajaran
Hasil
Belajar
Proses
Pembelajaran
9
belajar. Sedangkan pengertian penilaian menurut Depdiknas (2004) adalah seba-
gai berikut:
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan be-
ragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauhmana hasil
belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa.
Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau hasil belajar
seorang siswa.
Jadi, penilaian adalah suatu kegiatan pengukuran, kuatifikasi, dan penetapan mutu
pengetahuan siswa secara menyeluruh. Dalam pengertian ini, diisyaratkan bahwa
penilaian harus terintregasi dalam pembelajaran dan memiliki beragam bentuk.
Ciri penilaian menurut Sudjana (2005) adalah adanya objek atau program yang di-
nilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk membandingkan antara kenyataan
berdasarkan kriteria. Perbandingan tersebut dapat bersifat mutlak artinya hasil
perbandingan tersebut menggambarkan posisi objek yang dinilai ditinjau dari kri-
teria yang berlaku. Sedangkan perbandingan bersifat relatif, artinya hasil perban-
dingan lebih menggambarkan posisi suatu objek lainnya dengan bersumber pada
kriteria yang sama. Selanjutnya Sudjana (2005) menyebutkan bahwa tujuan dari
penilaian adalah:
1. Mendeskripsikan kecakapan belajar pada siswa sehingga dapat diketahui
kelebihan dan kekurangan dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran
yang ditempuhnya.
2. Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah,
yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para
siswa ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan.
3. Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan
penyempurnaan dalam hal progam pendidikan dan pengajaran serta stra-
tegi pelaksanaannya.
4. Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah ke-
pada pihak-pihak yang berkepentingan.
10
Oleh karena itu, penggunaan jenis penilaian yang tepat akan menentukan keberha-
silan dalam memperoleh informasi yang berkenaan dengan proses pembelajaran.
Senada dengan pernyataan Sudjana, Iryanti (2004) mengemukakan bahwa penilai-
an yang dilakukan terhadap siswa mempunyai tujuan antara lain:
1. Mengetahui tingkat pencapaian siswa.
2. Mengukur pertumbuhan dan perkembangan kemajuan siswa.
3. Mendiagnosis kesulitan belajar siswa.
4. Mengetahui hasil pembelajaran.
5. Mengetahui pencapaian kurikulum.
6. Mendorong siswa untuk belajar.
7. Umpan balik untuk guru supaya dapat mengajar lebih baik lagi.
Untuk dapat melakukan penilaian secara efektif diperlukan latihan dan penguasa-
an teori-teori yang relevan dengan tujuan dari proses belajar mengajar sebagai
bagian yang tidak terlepas dari kegiatan pendidikan sebagai suatu sistem. Oleh
karena itu, sebelumnya kita harus mengetahui prinsip penilaian sebagai dasar
dalam pelaksanaan penilaian. Purwanto (2006) mengemukakan bahwa prinsip
penilaian adalah sebagai berikut:
1. Penilaian hendaknya didasarkan atas hasil pengukuran yang komprehensif
2. Harus dibedakan antara penskoran dan penilaian.
3. Dalam proses pemberian nilai hendaknya diperhatikan adanya dua macam
patokan, yaitu pemberian yang norm-referenced dan criterion referenced.
4. Kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral dari
proses belajar mengajar.
5. Penilaian harus bersifat komparabel, yang artinya setelah tahap pengukur-
an yang menghasilkan angka-angka itu dilaksanakan, prestasi-prestasi
yang menduduki skor yang sama harus memiliki nilai yang sama pula.
11
B. Self assessment
1. Pengertian, tujuan dan manfaat self assessment
Perubahan paradigma pendidikan dari teacher centered ke arah student centered
tidak hanya membawa dampak terhadap metode dan aktivitas belajar, akan tetapi
juga terhadap cara penilaian hasil belajar. Self assessment merupakan cara peni-
laian hasil belajar yang berpusat pada siswa. Boud (Zulrahman, 2007) mengung-
kapkan bahwa self assessment adalah keterlibatan siswa dalam mengidentifikasi
kriteria atau standar untuk diterapkan dalam pembelajaran dan membuat keputus-
an mengenai pencapaian kriteria dan standar tersebut.
Burgess (2009) mengungkapkan bahwa self assessment merupakan penilaian yang
melibatkan siswa untuk memonitor dan menilai tentang belajarnya. Mowl
(Wulandari, 2009) mengungkapkan bahwa self assessment merupakan bentuk pe-
nilaian inovatif yang mendukung pembelajaran siswa. Race (2001) mengungkap-
kan bahwa proses keterlibatan siswa dalam penilaian merupakan hal yang penting
dikarenakan secara alami siswa sudah dapat melakukan self assessment. Penilaian
guru tidak cukup valid, reliabel, dan transparan untuk memperdalam pengalaman
dalam belajar siswa, membiasakan siswa menilai, melatih siswa menjadi pembela-
jar mandiri, melatih siswa menjadi lifelong learner, dan membantu siswa mem-
peroleh feedback dari hasil pembelajaran yang lebih banyak.
Menurut Johnson dan Johnson (Wulandari, 2009) tujuan dari assessment yaitu
bisa digunakan untuk mendiagnosa tingkat kemampuan dan keterampilan siswa
pada saat ini, sekaligus memonitor pencapaian tujuan pembelajaran, serta self
assessment bisa digunakan untuk menilai 4 area utama, yaitu pengetahuan, kete-
12
rampilan, nilai dan sikap. Namun, biasanya self assessment jarang dipakai seba-
gai bahan pertimbangan untuk memutuskan nilai akhir dari hasil belajar siswa me-
lainkan lebih sebagai analisa progress. Gordon (Aprilianti, 2009) mengungkap-
kan bahwa ketika self assessment menjadi bagian dari pembelajaran di kelas, guru
dan siswa menjadi rekan kerja dalam proses pembelajaran. Kerjasama antara guru
dan siswa adalah kunci keberhasilan teknik self assessment di dalam kelas, se-
hingga kadang-kadang tertuju sebagai bentuk penilaian kolaboratif.
Brady dan Kennedy (Tadjuddin, 2005) mengungkapkan bahwa self assessment
dapat membawa manfaat lain untuk murid dan guru, antara lain:
a. Memungkinkan murid untuk membangun pengertian yang lebih menyeluruh
tentang kelebihan dan kekurangan mereka sendiri.
b. Menerima tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri, baik di dalam
ataupun di luar sekolah.
c. Melihat diri mereka sebagai bagian aktif dari proses pembelajaran.
d. Membantu murid membangun pengertian diri yang lebih dalam merefleksikan
apa yang mereka ketahui.
e. Memotivasi murid dalam menyelesaikan pekerjaan yang mereka anggap me-
miliki arti.
2. Pelaksanaan self assessment
Pada pelaksanaan self assessment memiliki beberapa tahapan. Menurut Falchikov
(Aprilianti, 2009) prosedur pelaksanaan self assessment meliputi empat tahap
yaitu persiapan, implementasi, follow-up dan replikasi. Tahapan-tahapan tersebut
disajikan pada Gambar 1.
13
Falchikov (Aprilianti, 2009)
Gambar 2. Tahapan pelaksanaan dan evaluasi self assessment
a. Persiapan
Tahap ini diawali dengan pembuatan desain pembelajaran, kemudian desain terse-
but disampaikan kepada siswa agar siswa memahami hal-hal yang harus dilaku-
kan pada pembelajaran. Pemotivasian siswa dilakukan agar siswa dapat menge-
Feedback dikumpulkan menggunakan instrumen yang telah distandarisasi
Feedback dianalisa
Identifikasi
masalah
Modifikasi dibuat
jika diperlukan
Latihan kelompok di ulang
Implementasisi
Follow up dan
evaluasi Replikasi Persiapan
Mempelajari rancangan
dengan seksama
Rasionalisasi penyampaian ilmu kepada siswa
Instruksi yang berhubungan dengan ke-seluruhan tahap, termasuk meka-nisme ketidak-cocokkan
Identifikasi kriteria oleh siswa
Check list disediakan dengan daftar kriteria
Check list digunakan siswa untuk menilai
kinerja mereka
Pemberian
feedback
Keputusan penilaian dibenarkan oleh siswa
Mempelajari rancangan
dengan seksama
Ketidakcocokan dipecahkan menggunakan mekanisme
kesepakatan
14
tahui tujuan dan manfaat pelaksanaan self assessment (Lie dan Angelique, 2003).
Kriteria penilaian ini harus didiskusikan terlebih dahulu dengan siswa. Dengan
adanya diskusi kriteria, siswa merasa menjadi bagian dalam suatu penilaian dan
akan lebih memahami maksud kriteria penilaian jika kriteria tersebut dikembang-
kan oleh siswa sendiri (Bostock, 2000). Sebagian besar siswa tidak cukup berpe-
ngalaman dalam penilaian.
b. Implementasi
Falchikov (Aprilianti, 2009) mengungkapkan pada tahap implementasi, kriteria
penilaian yang telah disepakati digunakan untuk menilai diri sendiri. Komunikasi
hasil penilaian juga penting dilaksanakan sebagai perbaikan pada pembelajaran
selanjutnya.
c. Follow-up dan Evaluasi
Feedback diperoleh dari hasil penilaian self assessment. Feedback tersebut di-
analisis untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi pada pelaksanaan self
assessment.
d. Replikasi
Falchikov (Aprilianti, 2009) menyatakan bahwa siswa akan terbiasa dalam me-
lakukan self assessment jika proses ini dilakukan secara berkelanjutan. Menurut
Spiller (Lestari, 2009) proses pelaksanaan self assessment harus mencakup:
1) Penjelasan tujuan dan prosedur self assessment.
2) Memberikan penghargaan terhadap hasil self assessment tanpa ada rasa takut
pada siswa akan terungkapnya hasil penilaian tersebut yang dapat digunakan
untuk melawan mereka.
15
3) Siswa harus dilibatkan dalam penentuan kriteria penilaian.
4) Self assessment dapat digabungkan dengan peer assessment dan penilaian
guru.
5) Self assessment dapat diintregasikan dalam pembelajaran atau merefleksikan
kemajuan hasil belajar.
6) Siswa dapat diminta untuk memonitor kemajuan dalam mencapai suatu ke-
terampilan berdasarkan kinerja penilaian.
7) Siswa memerlukan latihan dan bimbingan dalam mengembangkan kemampu-
an self assessment.
Lebih lanjut Zulrahman (2007) mengemukakan bahwa terdapat empat langkah
dalam perencanaan dan penerapan self assessment agar efektif, yaitu:
1) Kriteria penilaian harus dikembangkan dan disampaikan pada partisipan.
2) Pelatihan perlu dilakukan untuk semua siswa
3) Hasil penilaian perlu dimonitor, apakah hasil penilaian dari self assessment
observer telah memiliki kesamaan.
4) Mengidentifikasi hal-hal yang dapat menyebabkan perbedaan hasil peni-
laian oleh self assessment dan observer, sehingga nantinya dapat diperba-
iki atau dihindari.
3. Pengaturan self assessment
Agar pelaksanaan self assessment efektif, ada beberapa hal yang harus diperhati-
kan, yaitu:
a. Validitas dan reliabilitas self assessment
Self assessment merupakan penilaian kinerja yang dilakukan oleh siswa itu sendi-
ri. Menurut Winahyu (Hartini, 2008), salah satu ciri dari penilaian kinerja adalah
adanya ketergantungan terhadap pertimbangan manusia atau guru dalam menentu-
kan skor terhadap penampilan siswa. Mengingat persepsi atau interpretasi seseo-
16
rang dalam mengamati kinerja seseorang dapat berbeda walaupun dilakukan pada
tempat dan waktu yang sama, maka faktor subjektivitas dalam penilaian tidak da-
pat dihindari. Perbedaan tersebut akan mengakibatkan validitas dan reliabilitas
dari penilaian tersebut menjadi tidak valid dan reliabel.
Furchan (Hartini 2008) menyatakan bahwa validitas berhubungan dengan sejauh-
mana suatu alat mampu mengukur apa yang dianggap orang seharusnya diukur
oleh alat tersebut. Di samping itu, kita harus mengetahui pula bahwa tingkat vali-
ditas suatu alat atau teknik evaluasi sangat bergantung pada tujuan yang akan diu-
kur atau dinilai. Self assessment dimana dalam pelaksanaannya menggunakan
teknik observasi, validitasnya sangat bergantung pada kecakapan, pengertian, pe-
ngetahuan dan sifat-sifat pengamat itu sendiri (Purwanto, 2006). Dengan demiki-
an, faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan validitas penilaian adalah
dengan teknik pembuatan skala, pemilihan penilai, pelatihan penilai dan penggu-
naan lebih dari satu orang penilai. Reliabilitas dalam assessment didefinisikan
oleh Fry, et al. (Aprilianti, 2009) sebagai proses penilaian yang menimbulkan ha-
sil yang sama, jika diulang kelompok yang sama dalam kesempatan yang sama
dan dalam kesempatan lain atau jika diulang pada kelompok lain dengan siswa
yang memiliki karakteristik yang sama. Menurut Winahyu (Aprilianti, 2009),
untuk mencapai kinerja yang konsisten dan reliabel, diperlukan upaya untuk me-
minimalisasi adanya perbedaan.
Self assessment berkaitan dengan reliabilitas penilai (rater), bukan reliabilitas
yang dinilai atau koefesien reliabilitas tes. Reliabilitas antar penilai memberi pe-
tunjuk tentang kesepakatan dua orang penilai atau lebih dalam memberikan nilai
17
terhadap hasil pekerjaan yang sama Sapriati (Hartini, 2008). Reliabilitas penilai
adalah konsistensi skor yang diberikan seorang penilai untuk waktu yang berbeda
dan konsistensi skor yang diberikan oleh dua orang penilai atau lebih yang inde-
penden. Reliabilitas antar penilai menunjukkan bahwa skor siswa berbeda dari
seorang penilai ke penilai lain. Menurut Herman (Hartini, 2008), ada beberapa
syarat yang harus diperhatikan untuk memperoleh konsistensi skor dalam peng-
ukuran hasil belajar siswa, yaitu sebagai berikut:
1) Adanya penetapan kriteria yang jelas sehingga para penilai mempunyai acuan
dalam menentukan standar prestasi siswa.
2) Proses pengukuran hasil belajar tidak hanya dilakukan oleh satu orang.
3) Perlu adanya pemahaman yang seragam dari para penilai terhadap kriteria
penilaian.
4) Perlu adanya konsensus terhadap makna yang terkandung dalam kriteria
penilaian.
Reliabilitas penilai biasanya meningkat jika ada beberapa penilai yang memberi-
kan penilaian secara terpisah terhadap seorang individu. Penilaian-penilaian yang
terpisah ini kemudian dikumpulkan atau dirata-ratakan guna memperoleh skor ter-
akhir. Lie dan Agelique (2003) mengemukakan ada beberapa masalah yang ber-
kaitan dengan validitas dan reliabilitas self assessment, yaitu:
1) Self over marking, terjadi ketika seseorang cenderung memberikan penilai-
an yang lebih tinggi dibandingkan guru.
2) Jangkauan penilaian self assessment yang terlalu luas, sehingga guru harus
menentukan nilai tengah untuk seluruh siswa.
3) Jangkauan penilaian yang terlalu pendek, ketika ini terjadi, maka guru
akan mengalami kesulitan untuk membedakan mana unjuk kerja yang
baik, rata-rata atau lemah.
18
Permasalahan yang tertera tersebut timbul karena siswa merasa kurang percaya di-
ri ketika memberikan penilaian dan kurang berpengalaman untuk melakukan pe-
nelitian (Isaacs, 1999). Apabila teknik penilaian self assessment yang digunakan
salah, maka hal itu akan mempengaruhi validitas dan reliabilitasnya. Pelatihan
dan pemberian penjelasan secara bertahap tentang prosedur penilaian dapat me-
ningkatkan validitas dan reliabilitas self assessment. Sebelum melaksanakan peni-
laian kinerja dengan menggunakan teknik self assessment ini, guru harus menen-
tukan kegiatan proses pembelajaran yang akan dilaksanakan, kompetensi atau as-
pek kemampuan apa saja yang akan dinilai, menentukan prosedur penilaian yang
akan dilaksanakan secara matang. Setelah itu, guru menjelaskan kepada siswa
tentang maksud dan tujuan self assessment, bahwa penilaian ini sebagai umpan
balik untuk meningkatkan keterampilan siswa. Setelah siswa memahami tujuan
self assessment, lalu guru menjelaskan aturan mainnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara memberitahukan aturan-aturan penilaian dan bentuk format penilai-
annya. Selanjutnya, guru bersama siswa mengidentifikasi kriteria penilaian yang
akan digunakan untuk didiskusikan/ disetujui.
Salah satu cara untuk yakin bahwa siswa mengerti tentang apa yang harus mereka
lakukan adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk latihan prak-
tik dengan self assessment. Arikunto (2002) menyatakan bahwa tujuan dari pela-
tihan ini adalah:
1) Mengetahui tingkat kepahaman instrumen.
2) Memperoleh pengalaman melaksanakan pengumpulan data.
3) Mengidentifikasi masalah yang mungkin dijumpai.
4) Mengetahui perkiraaan waktu pelaksanaan.
5) Merevisi dan memperjelas bahasa yang digunakan berdassarkan umpan
balik yang diinginkan.
19
Setelah semua persiapan dirasakan cukup efektif, maka guru mempersiapkan daf-
tar cek beserta kriteria penilaiannya, yang selanjutnya akan dilakukan penilaian
kinerja dengan menggunakan self assessment.
b. Penggunaan kriteria penilaian
Berkenaan dengan permasalahan validitas dan reliabilitas, ketidaksesuaian atau
penyalahgunaan kriteria juga dapat mengakibatkan ketidakvalidan penilaian. Sis-
wa harus mengerti secara jelas dari apa yang akan mereka nilai dari pekerjaan me-
reka sendiri. Salah satu cara untuk yakin bahwa siswa mengerti tentang apa yang
harus mereka lakukan adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
latihan praktik self assessment dengan menggunakan kriteria penilaian. Kriteria
penilaian ini akan membantu siswa dalam proses penilaian. Pada awalnya, krite-
ria ini dibuat oleh guru, namun apabila siswa telah berpengalaman dalam proses
penilaian ini, mereka dapat membuatnya sendiri. Race dalam Aprilianti (2009)
mengemukakan bahwa:
1) Kriteria penilaian tersebut dibuat untuk menyeragamkan persepsi siswa
2) Kriteria dibuat secara sederhana dan memiliki daya objektivitas tinggi.
3) Guru harus mendiskusikan dan menjelaskan kriteria penilaian terlebih dahulu,
hal ini untuk mencegah adanya kesalahpahaman di dalam interpretasi dari kri-
teria.
4) Menggunakan prosedur keluhan dan review sehingga adanya diskusi dan per-
debatan siswa tentang penilaian yang mereka lakukan dengan penilaian
observer.
5) Memberikan feedback kepada siswa untuk mengkonfirmasi nilai mereka apa-
kah valid dan sama dengan nilai observer atau tidak.
20
c. Formalitas penilaian
Tingkat formalitas mengacu pada keadaan yang harus dipertanggungjawabkan da-
ri hasil self assessment, bagaimana perluasannya dan bagaimana kedudukan self
assessment dalam penentuan nilai hasil belajar siswa.
1) Digunakan dalam penilaian formatif, bukan penilaian sumatif
Penilaian formatif bertujuan untuk memperoleh umpan balik dan difokuskan un-
tuk peningkatan kemajuan belajar siswa. Penilaian ini lebih sering digunakan jika
dibandingkan dengan penilaian sumatif yang semata-mata digunakan untuk peng-
hitungan nilai akhir. Self assessment lebih sering ditujukan untuk penilaian for-
matif. Andrade dan Du (Aprilianti, 2009) menyatakan pengertian self assessment
yang lebih menekankan pada penilaian formatif. Dalam penilaian ini siswa mere-
fleksikan dan mengevaluasi hasil dan kualitas belajar, menilai ketercapaian tujuan
atau kriteria yang ditetapkan, mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan dalam
pembelajaran, kemudian merevisinya. Sedangkan menurut Zulrahman (2007),
self assessment dapat digunakan baik sebagai penilaian formatif maupun sumatif.
Penerapan self assessment sebagai penilaian sumatif masih banyak menimbulkan
perdebatan mengenai validitas dan realibilitasnya. Oleh karena itu, self assess-
ment masih banyak digunakan sebagai penilaian formatif.
Menurut Falchikov (Lie dan Angelique, 2003), penilaian ini mendapatkan du-
kungan dari siswa karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari teknik pe-
nilaian ini. Manfaatnya adalah selain siswa mempunyai kesempatan untuk mem-
perbaiki kualitas pekerjaan mereka sebelum penentuan nilai akhir, guru juga men-
21
dapatkan manfaat dari menerima pekerjaan siswa dengan kualitas yang bagus dan
menghilangkan rasa bosan dari sistem penilaian yang dilakukan sebelumnya.
2) Mendiskusikan hasil penilaian
Guru tidak boleh mengesampingkan hasil self assessment, akan tetapi harus
mengupayakan untuk menggunakan nilai ini sebagai suatu kesempatan untuk
mendiskusikan tentang perbedaan penilaian dari siswa. Hal tersebut akan menye-
lesaikan masalah akibat dari “over significant outliers” yang merupakan suatu ke-
adaan dimana siswa memberikan penilaian sesuai dengan keinginannya sendiri
yang mengakibatkan perbedaan signifikan dari rata-rata penilaian yang mereka
berikan atau penilaian dari observer (Lie dan Angelique, 2003). Agar over
significant outliers tidak terjadi, siswa harus mendiskusikan dengan guru dan
observer mengapa mereka memilih untuk memberikan suatu penilaian tertentu.
Diskusi seperti ini merupakan suatu kesempatan bagi guru untuk memberikan um-
pan balik kepada siswa dan memperdalam proses berfikir siswa. Keterlibatan gu-
ru sebagai pihak penengah menanamkan rasa tanggung jawab ke dalam diri siswa
ketika melaksanakan proses penilaian ini, karena guru hadir untuk memastikan
kewajaran dari penilaian yang diberikan siswa dan observer. Lebih penting lagi,
dengan adanya pembahasan tentang penghitungan pemberian nilai, siswa dilibat-
kan dalam berpikir kritis dan belajar untuk mempertanggung jawabkan hasil peni-
laian mereka.
3) Mementingkan proses bukan hasil
Menurut Sher dalam Lie dan Angelique (2003), pada bagian ini memberi tahu
bahwa proses pemberian nilai merupakan salah satu hal yang sensitif, maka hal
22
yang terbaik dilakukan dengan tetap melibatkan guru dalam proses penentuan
penilaian, walaupun siswa telah mempertanggungjawabkan penilaian tersebut.
Satu hal yang lebih penting lagi, baik guru maupun siswa harus berusaha agar
tetap berfokus pada proses penilaian, bukan pada hasil penilaian yang didapatkan.
4. Kelebihan dan kelemahan self assessment
Beberapa kelebihan self assessment berdasarkan beberapa ahli (Isaac, 1999;
Burgess, 2001; Aprilianti, 2009) dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Membantu siswa menjadi lebih mandiri, bertanggung jawab dan merasa
dilibatkan.
b. Mendorong siswa untuk lebih kritis dalam menganalisa pekerjaan dan
melihatnya lebih dari sekedar nilai.
c. Membantu mengklarifikasi kriteria penilaian.
d. Memberikan rentang yang lebih luas untuk feedback
e. Mengurangi beban guru dalam menilai.
f. Mendorong deep learning daripada surface learning.
g. Menjadikan assessment sebagai bagian dari proses pembelajaran, sehingga
kesalahan adalah suatu kesepakatan bukan kegagalan.
Sementara itu, kekurangan self assessment menurut Ellington (1997) adalah:
a. Kurangnya kemampuan siswa dalam mengevaluasi dan menilai diri
sendiri.
b. Siswa mungkin miskonsepsi apabila tanpa adanya intervensi dari guru.
c. Siswa cenderung akan memberi penilaian yang lebih terhadap dirinya
sendiri.
d. Siswa belum berpengalaman dalam menilai dirinya sendiri.
e. Siswa akan merasa khawatir, jika hasil self assessment diketahui oleh
siswa lain.
f. Kejujuran merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan self
assessment.
g. Karena objektifitas tinggi, maka sulit untuk diproses. Oleh karena itu, self
assessment dapat digunakan untuk penilaian formatif, bukan sumatif.
5. Perbandingan self assessment dengan penilaian yang lain
Orsmond (Wulandari, 2009) mengungkapkan perbandingan antara self assessment
dengan bentuk assessment lain seperti tertera pada tabel berikut:
23
Tabel 1. Perbandingan self assessment dengan assessment yang lain
No Self assessment Assessment yang lain
1 Berpusat pada siswa Biasanya tidak berpusat pada siswa
assessment mengacu pada
assessment yang telah ditentukan
atau jika digunakan
2 Kriterianya jelas atau
transparan
Kriteria, diberikan pada siswa tanpa
didiskusikan terlebih dahulu
3 Siswa memiliki kekuatan
atau wewenang
Siswa terisolasi dari assessment
sehingga terisolasi dari proses
pembelajaran
4 Dapat mendorong deep
approach
Pengembangan belajar hanya pada
surface approach
5 Memperkenankan siswa
untuk membangun pem-
belajaran mereka secara
aktif
Tidak menyediakan dorongan untuk
membangun belajar mandiri
6 Mendorong adanya diskusi
antara siswa dan guru
Sedikit diskusi, bahkan kadang-
kadang tidak ada
7 Adanya formatif feedback
Adanya feedback yang keliru karena
ada selang waktu atau kehilangan
komunikasi yang terus-menerus
antara siswa dan guru
8 Adanya kesempatan untuk
mengulas atau mereview
kelemahan dalam
pembelajaran
Hasil akhir, hanya sedikit
kesempatan untuk merevisi
9 Menyiapkan siswa untuk
perjalanan lifelong learning
yang terus menerus
Biasanya tujuan akhirnya hanya
belajar
10 Memberikan kesempatan
yang baik untuk formatif
assessment
Sedikit formatif assessment
11 Dapat meningkatkan
kepercayaan diri siswa
Memiliki efek negatif terhadap
kepercayaan diri
12 Meningkatkan kinerja atau
kualitas belajar dari hasil
belajar
-
Orsmond (Wulandari, 2009)
24
C. Metode Praktikum
Mempelajari IPA akan lebih baik jika didukung dengan adanya suatu kegiatan
praktikum yang dilakukan di laboratorium. Fungsi dari metode praktikum me-
rupakan penunjang kegiatan proses belajar untuk menemukan prinsip tertentu atau
menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang dikembangkan. Fungsi dari laboratori-
um tidak diartikan sebagai tempat untuk kegiatan belajar mengajar yang sekedar
untuk mengecek atau mencocokkan kebenaran teori yang telah dijelaskan di kelas,
tetapi juga harus dapat menyebabkan proses inkuiri berkembang.
Deboer (1991) menyatakan bahwa telah lama para pendidik berpandangan bahwa
kegiatan praktikum merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran sains,
yang memberi kesempatan seseorang memperoleh pengetahuan melalui kegiatan
berbuat dan berpikir, bekerja dalam kelompok serta mengkomunikasikan hasil
percobaan sebagai salah satu sarana untuk mengaktualisasikan dirinya. Arifin
(2003) menyatakan bahwa kegiatan praktikum berfungsi sebagai penunjang kegi-
atan proses belajar untuk menemukan prinsip tertentu atau untuk menjelaskan
prinsip-prinsip yang dikembangkan. Kegiatan praktikum merupakan suatu bentuk
pembelajaran yang melibatkan peserta didik bekerja dengan benda-benda, bahan-
bahan dan peralatan laboratorium, baik secara perorangan maupun kelompok.
Hodson (Lestari, 2008) menyatakan bahwa dalam kaitannya dalam belajar kegiat-
an praktikum diperlukan agar siswa memperoleh pengalaman belajar konkrit dan
sebagai salah satu sarana mengkonfrontasikan miskonsepsi yang dimiliki siswa,
dalam usahanya mengkonstruksi pengetahuan baru. Melalui percobaan dalam
suatu praktikum memberikan kesempatan siswa untuk memperoleh pengetahuan
25
peristiwa, proposisi, imaginasi, keterampilan berpikir dan keterampilan motorik.
Dengan pengalaman sendiri, seseorang akan memperoleh memory of event, suatu
gambaran pengalaman yang memiliki efek jangka panjang.
Pabelon dan Mendoza dalam Hartini (2008) menyatakan bahwa praktikum atau
kerja laboratorium memiliki tujuan kognitif, psikomotor dan afektif. Tujuan kog-
nitif meliputi: mempromosikan pengembangan intelektual, meningkatkan belajar
konsep-konsep ilmiah, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, me-
ngembangkan berpikir kreatif, meningkatkan pemahaman sains dan metode ilmi-
ah. Tujuan psikomotor/ praktik atau prosedural meliputi: mengembangkan kete-
rampilan-keterampilan dalam penilaian investigasi ilmiah, menganalisis temuan
data, mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam berkomunikasi, dan ke-
terampilan dalam bekerja dengan yang lain. Tujuan afektif meliputi: meningkat-
kan sikap ilmiah, mempromosikan persepsi-persepsi positif untuk memahami dan
mempengaruhi lingkungan.
Keuntungan penggunaan metode praktikum menurut Arifin (Aprilianti, 2009)
antara lain:
1. Dapat memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa.
2. Siswa dapat mengamati proses.
3. Siswa dapat mengembangkan keterampilan inkuiri.
4. Siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah.
5. Membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran lebih efektif dan
efisien.
26
D. Penilaian Kinerja
Menurut Arends dan Stiggins (Hartini, 2008), penilaian kinerja adalah tes yang
menghendaki siswa mendemonstrasikan kinerjanya pada tugas tertentu serta me-
libatkan siswa dan atau menciptakan produk yang spesifik, sehingga penilaian ki-
nerja dapat diartikan sebagai penilaian terhadap kinerja yang dapat berupa kete-
rampilan tugas-tugas tertentu dan hasil karya yang diciptakan. Rustaman (2003)
langkah-langkah yang ditempuh dalam menyusun penilaian kinerja adalah sebagai
berikut:
1. Menentukan jenis keterampilan siswa yang akan dinilai.
2. Mengidentifikasi indikator-indikator yang menunjukkan bahwa seorang
siswa telah menguasai keterampilan yang akan dinilai.
3. Menentukan jenis kegiatan laboratorium yang memungkinkan siswa
memperlihatkan keterampilannya.
4. Membuat alat ukur, berupa “daftar cek” (checklist) atau skala penilaian
(rating scale) yang diperlukan pada waktu penilaian.
5. Melaksanakan penilaian.
6. Menentukan skor keterampilan siswa.
Lebih lanjut Rustaman (2003) mengatakan bahwa instrumen merupakan hal yang
penting dalam penilaian kinerja. Apabila instrumen yang digunakan jelas dan se-
suai kriteria kinerja, maka akan memudahkan melakukan penilaian kinerja sehing-
ga dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Penentuan kinerja dan pelaku kinerja
dapat dilakukan pada awal kegiatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pe-
nentuan kinerja adalah:
a. Penspesifikasian dalam menuliskan semua elemen kunci dari kinerja
b. Mendefinisikan kinerja yang berurutan untuk masing-masing elemen; misal-
nya dimulai dengan menuliskan kualitas kinerja yang paling jelek, paling
bagus, dan diantaranya.
27
Stiggins (Diawati, 2009) mengemukakan bahwa elemen-elemen kunci atau di-
mensi kinerja ini disebut dengan kriteria kinerja. Kejelasan dan kesesuaian ki-
nerja adalah penting untuk penilaian kinerja yang baik. Jika kriterianya jelas,
maka hasil metodologi ini akan mudah diaplikasikan, kriteria kinerja tidak hanya
difokuskan pada dampak yang diharapkan, tetapi juga pada kejelasan pengung-
kapan kriteria kinerja. Asesor kinerja mempunyai kebebasan untuk memilih dari
beberapa cara pencatatan hasil-hasil. Mereka dapat memilih pencatat melalui:
daftar cek, skala penilaian, catatan lapangan (anecdotal records) dan catatan men-
tal yang masing-masing akan dijabarkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pilihan untuk mencatat penilaian kinerja
Asesor
kinerja
Definisi Kekuatan Kelemahan
Daftar
cek
Daftar atribut kunci
dari kinerja yang baik
di cek ada atau tidak
Cepat,
bermanfaat
dengan sejumlah
besar kriteria
Hasilnya kurang
mendalam
Skala
peringkat
Kinerja secara
kontinu dipetakan
pada beberapa skala
numerik dari rendah
sampai tinggi
Dapat mencatat
penilaian dan
alasannya dalam
suatu peringkat
Dapat mencatat secara
luas, pengembangan dan
pelatihannya mahal
Catatan
lapangkan
Kinerja siswa
dituliskan secara
detail
Dapat
menyediakan
potret
kemampuan yang
kaya
Waktu yang banyak
diperlukan untuk
membaca, menulis dan
menginterpretasi
Catatan
mental
Asesor menyimpan
penilaian atau
deskripsi kinerja
dalam ingatan
Cepat dan mudah Sulit untuk
mempertahankan ingatan
yang akurat, terutama
dengan berlalunya waktu
28
E. Materi Pembelajaran
1. Larutan elektrolit dan nonelektrolit
Menurut Arrhenius, larutan elektrolit dapat menghantar listrik karena mengan-
dung ion-ion yang dapat bergerak bebas. Ion-ion itulah yang menghantar arus
listrik melalui larutan. Adapun zat nonelektrolit dalam larutan tidak terurai men-
jadi ion-ion, tetapi tetap dalam bentuk molekul.
Baterai sebagai sumber arus searah memberi muatan yang berbeda pada kedua
elektrode. Katode (elektrode yang dihubungkan dengan kutub negatif) sedangkan
anode (elektrode yang dihubungkan dengan kutub positif) bermuatan positif.
Berikut merupakan rangkaian alat uji larutan elektrolit dan nonelektrolit.
Gambar 3. Alat penguji daya hantar listrik
2. Elektrolit senyawa ion dan senyawa kovalen polar
Senyawa ion terdiri atas ion-ion, misalnya NaCl dan NaOH. NaCl terdiri atas ion-
ion Na+ dan ion Cl
-, sedangkan NaOH terdiri atas ion Na
+ dan ion OH
-. Senyawa
kovalen polar, seperti HCl dan CH3COOH terdiri atas molekul-molekul. Banyak
sedikitnya elektrolit yang mengion dinyatakan dengan derajat ionisasi atau derajat
29
disosiasi (α), yaitu perbandingan antara jumlah zat yang mengion dengan jumlah
zat yang dilarutkan.
() = Jumlah zat mengion
Jumlah zat mula-mula
Jika semua zat yang dilarutkan mengion, maka α = 1; jika ada yang mengion,
maka 0 < α < 1 ; jika tidak ada yang mengion, maka α = 0. Elektrolit berupa
senyawa ion tidak hanya dapat menghantarkan listrik dalam bentuk larutannya,
tetapi juga dalam bentuk lelehannya. Hal ini dikarenakan dalam lelehan, ion-ion
dapat bergerak bebas. Bandingkan dengan elektrolit berupa senyawa kovalen
polar yang dapat menghantarkan listrik hanya dalam bentuk larutannya, tetapi
tidak dalam bentuk lelehannya. Lelehannya senyawa kovalen polar masih ter-
susun dari partikel-partikel berupa molekul.
Tabel 3. Perbandingan daya hantar listrik
Jenis
senyawa Padatan Lelehan
Larutan
(dalam pelarut air)
Senyawa
ion
Tidak dapat meng-
hantar listrik
karena dalam
padatan ion-
ionnya tidak dapat
bergerak bebas.
Dapat menghantar
listrik karena dalam
lelehan ion-ionnya
dapat bergerak lebih
bebas dibandingkan
ion-ion dalam zat padat.
Dapat menghantar
listrik karena dalam
larutan ion-ionnya
dapat bergerak
bebas.
Senyawa
kovalen
Tidak dapat
menghantar listrik
karena padatannya
terdiri dari
molekul-molekul
netral meski
bersifat polar.
Tidak dapat
menghantar listrik
karena lelehannya
terdiri dari molekul-
molekul meski dapat
bergerak lebih bebas.
Dapat menghantar
listrik karena dalam
molekul-molekul
dapat terhidrolisis
menjadi ion-ion
yang dapat bergerak
bebas.
(Purba, 2004)