ii. tinjauan pustaka a. bengkuangeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5417/3/bab ii.pdf · 5 ii. tinjauan...
TRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bengkuang
Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dikenal baik oleh masyarakat
kita. Umbi tanaman bengkuang biasa dimanfaatkan sebagai buah atau bagian dari
beberapa jenis masakan seperti rujak, asinan atau dimakan segar. Bengkuang
mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang dapat berfungsi sebagai sumber
antioksidan bagi tubuh (Assaori, 2010). Tanaman ini berpotensi untuk
dikembangkan sebagai tanaman pangan sumber karbohidrat sekaligus protein
nabati (NRC 1979; van Hoof dan Sorensen 1989; Sorensen 1996 dalam Karuniawan
dan Wicaksana 2006). Berikut merupakan bengkuang disajikan pada Gambar 1.
Menurut Van Steenis (2005) dalam Hilman (2012), klasifikasi tanaman bengkuang
adalah :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatoph
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonee
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Pachyrhizus
Spesies : Pachyrhizus erosus L. Urban
Gambar 1. Bengkuang (Pachyrrhizus erosus)
Bengkuang (Pachyrhizys erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya yang
bisa dimakan sebagai rujak dan asinan atau dijadikan masker untuk menyegarkan
wajah dan memutihkan kulit. Bagian umbi merupakan bagian yang dikomsumsi
dari tanaman bengkuang karena mengandung gula, pati dan oligosakarida yang
6
dikenal dengan nama inulin. Tanaman ini memiliki panjang 2-6 m, bentuk dan
majemuk, dengan 3 selebaran per daun, banyak bunga dan sekali berbunga
memiliki panjang hingga 55 cm. Bunga dari jenis polong-polongan ini memiliki
kelopak biru atau putih buah legum, dengan panjang 6-13 cm dan lebar 8-17 mm
serta berbulu ketika muda. Bentuk benih pipih, bulat atau persegi, bewarna cokelat,
hijau atau kemerahan. Ukuran umbi bervariasi sesuai dengan kondisi pertumbuhan.
Walaupun umbinya dapat dimakan, namun bagian bengkuang yang lain seperti biji
sangat beracun karena mengandung rotenon, sejenis tuba. Racun ini sering dipakai
untuk membunuh serangga atau menangkap ikan. Biji bengkuang yang telah masak
kaya akan lipid yaitu lebih kurang 30%, namun tidak dapat dimakan karena
mengandung isoflavonaid yang tinggi yaitu rotenon, isoflavanon dari furano-3-fenil
kumarin yang sangat beracun bagi manusia (Hilman, 2012).
Umbi bengkuang tidak tahan terhadap suhu rendah, sehingga mudah
mengalami kerusakan. Karena itulah, umbi sebaiknya disimpan pada tempat kering
bersuhu maksimal 16℃. Umbi bengkuang dapat bertahan sekitar dua bulan dengan
penyimpanan pada kelembapan dan suhu yang sesuai (Astawan, 2009). Komposisi
bengkoang disajikan pada Tabel 1.
B. Tepung Bengkuang
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuat tepung
bergantung pada jenis dan sifat dari umbi. Secara sederhana pembuatan tepung
bengkuang diawali dengan mengupas dan mencuci bengkuang, lalu dilakukan
pengirisan yang ditujukan untuk memperbesar luas permukaan bengkuang pada
saat dikeringkan.
7
Tabel 1. Komposisi Kimia Bengkuang dalam 100 gr
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992)
Setelah itu lakukan proses pengukusan bengkuang di dalam air mendidih
selama 1 sampai 10 menit yang dikenal dengan sebutan blanching, dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas tepung bengkuang, akibat adanya penurunan aktivitas
enzim, mengurangi jumlah gas pada bengkuang yang mampu mengubah warna,
memperbaiki tekstur bengkuang, serta menurunkan jumlah mikroba penyebab
kebusukan dan bau. Bengkuang yang telah diblaching kemudian dilakukan proses
pengeringan dan penghancuran.
C. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bulir gandum. Tepung
terigu umumnya digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kadar
protein tepung terigu berkisar antara 8 – 14%. Dalam pembuatan mi, kadar protein
tepung terigu yang digunakan berkisar antara 11 – 14,5% atau tepung terigu
berprotein tinggi (Gomez, 2007 dalam Lubis, 2013). Gandum yang telah diolah
menjadi tepung terigu menurut (Rustandi, 2011) dapat digolongkan menjadi 3
tingkatan yang dibedakan berdasarkan kandungan protein yang dimiliki, yakni :
a. Hard flour (kandungan protein 12% – 14%)
Komponen Jumlah
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin C (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin A (IU)
Air (g)
55,00
1,40
0,20
12,80
15,00
18,00
0,60
20,00
0,04
0,00
85,10
8
Tepung ini mudah dicampur dan difermentasikan, memiliki daya serap air
tinggi, elastis, serta mudah digiling. Jenis tepung ini cocok untuk membuat roti,
mi, dan pasta.
b. Medium flour (kandungan protein 10,5% – 11,5%)
Tepung ini cocok untuk membuat adonan dengan tingkat fermentasi sedang,
seperti donat, bakso, cake, dan muffin.
c. Soft flour (kandungan protein 8% – 9%) Tepung ini memiliki daya serap
rendah, sukar diuleni, dan daya pengembangan rendah. Tepung ini cocok untuk
membuat kue kering, biskuit, pastel.
Syarat mutu tepung terigu yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional
Indonesia sebagai bahan makanan yang membantu pemerintah dalam mewujudkan
peningkatan gizi masyarakat dengan fortivikasi zat besi, zeng, vitamin B1, vitamin
B2 dan asam folat adalah sebagai berikut pada Tabel 2.
Kandungan protein utama di dalam tepung terigu yang berperan dalam
pembuatan mi adalah gluten. Banyak sedikitnya gluten yang didapat bergantung
pada berapa banyak jumlah protein dalam tepung itu sendiri, makin tinggi
proteinnya maka makin banyak jumlah gluten yang didapat, begitu juga
sebaliknya. Banyaknya kandungan gluten akan berdampak pada keelastisan dan
daya tahan terhadap penarikan dalam proses produksi mi.
D. Tepung HMT (Heat Moisture Treatment)
Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan metode modifikasi pati secara
fisik dengan cara memberikan perlakuan panas pada suhu diatas suhu gelatinisasi
9
(80-120oC) dengan kondisi kadar air terbatas atau dibawah 35% (Collado dkk.,
2001).
Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan
Jenis uji Satuan Persyaratan
Keadaan
a. Bentuk
b. Bau
c.Warna
Benda asing
Serangga dan semua
bentuk stadia dan
potongan-potongan yang
tampak
Kehalusan lolos ayakan
212 (mesh No.70) (b/b)
Kadar air
Kadar abu
Protein
Keasaman
Falling number (atas
dasar kadar air 14 %) Besi
(Fe)
Zeng (Zn)
Vitamin B1 (Thiamin)
Vitamin B2 (Riboflavin)
Asam folat
Cemaran logam
a. Timbal (Pb)
b. Raksa (Hg)
c. Cadmium (Cd)
Cemaran arsen
Cemaran Mikroba
a. Escherichia coli
b. Kapang
c. Basillus cereus
-
-
-
-
-
-
%
%
%
%
Mg KOH/100g
Detik
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
-
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
-
APM/g
Koloni/g
Koloni/g
Serbuk
Normal (bebas dari bau
asing)
Putih khas terigu
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
Min. 95
Maks. 14,5
Maks. 0,70
Min. 7,0
Maks. 50
Min. 300
Min. 50
Min. 30
Min. 2,5
Min. 4
Min. 2
-
Maks. 1,0
Maks. 0,05
Maks. 0,1
Maks. 0,50
-
Maks. 10
Maks. 1x104
Maks. 1x104
Sumber : SNI 3751:2009 (Anonim, 2013)
Pati alami atau pati yang belum termodifikasi (native starch) mempunyai
beberapa kekurangan yaitu diantaranya tidak tahan terhadap perlakuan panas dan
10
mekanis sehingga dibutuhkan modifikasi secara fisik dengan menggunakan metode
Heat Moisture Treatment (HMT) untuk memperbaiki kekurangan tersebut.
Metode Heat Moisture Treatment (HMT) umumnya dilakukan pada pati
namun bisa juga diaplikasikan pada tepung. Menurut Lorenz dan Kulp (1981), Heat
Moisture Treatment (HMT) adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas
suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih
rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. Kadar air
yang disyaratkan untuk proses HMT adalah 18-30% dan suhu yang digunakan
adalah 100°C. Modifikasi pati dan tepung dengan teknik HMT dapat merusak
bentuk granula hingga terbentuk lubang di bagian permukaannya.
Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat Heat Moisture Treatment
(HMT) berlangsung mengakibatkan area amosphous pati mengembang, kemudian
menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area
berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil
terhadap panas. Schoch dan Maywald (1968) menggolongkan pati dalam beberapa
tipe berdasarkan sifat amilografi. Pati tipe A memiliki pembengkakan yang
besardengan viskositas puncak yang tinggi diikuti oleh pengenceran yang cepat
selama pemanasan, viskositas breakdown yang tinggi, serta viskositas pasta dingin
yang rendah. Pati tipe B memiliki pembengkakan yang sedang dengan viskositas
pasta yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Pati tipe C memiliki pembengkakan
terbatas dan cenderung tidak memiliki puncak viskositas, tetapi viskositasnya yang
tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan.
11
E. CMC (Carboxymethyl Cellulose)
Struktur CMC (Carboxymethyl Cellulose) merupakan rantai polimer yang
terdiri dari unit molekul sellulosa. Setiap unit anhidroglukosa memiliki tiga gugus
hidroksil dan beberapa atom Hidrogen dari gugus hidroksil tersebut disubstitusi
oleh carboxymethyl. Struktur CMC (Carboxymethyl Cellulose) disajikan pada
Gambar 2 .
Gambar 2. Struktur Carboxymethyl Cellulose (CMC) (Winarno, 2004)
CMC (Carboxymethyl Cellulose) adalah ester polimer selulosa yang larut
dalam air dibuat dengan mereaksikan Natrium Monoklorasetat dengan selulosa
basa (Fardiaz, 1987). Menurut Winarno (2004), Natrium carboxymethyl selulosa
merupakan turunan selulosa yang digunakan secara luas oleh industri makanan
adalah garam Na carboxymethyl selulosa murni kemudian ditambahkan Na
kloroasetat untuk mendapatkan tekstur yang baik. Selain itu juga digunakan untuk
mencegah terjadinya retrogradasi dan sineresis pada bahan makanan.
Dalam pembuatan mi, Carboxymethyl Cellulose (CMC) berfungsi sebagai
pengembang.Carboxymethyl Cellulose (CMC) dapat mempengaruhi sifat adonan,
memperbaiki ketahanan terhadap air, mempertahankan keempukan selama
penyimpanan. Jumlah Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang ditambahkan untuk
pembuatan mi antara 0,5-1% dari berat tepung terigu. Penggunaan yang berlebihan
12
akan menyebabkan tekstur mi yang terlalu keras dan daya rehidrasi mi menjadi
berkurang (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Gugus hidroksil yang tergantikan dikenal dengan derajat penggantian (degree
of substitution) disingkat DS. Jumlah gugus hidroksil yang tergantikan atau nilai
DS mempengaruhi sifat kekentalan dan sifat kelarutan Carboxymethyl Cellulose
(CMC) dalam air. Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang sering digunakan adalah
yang memiliki nilai DS sebesar 0,7 atau sekitar 7 gugus carboxymethylper 10 unit
anhidroglukosa karena memiliki sifat sebagai zat pengental cukup baik
(aqualonCMC Herculesincorporated). Carboxymethyl Cellulose (CMC)
merupakan molekul polimer berantai panjang dan karakteristiknya bergantung pada
panjang rantai atau derajat polimerisasi (DP). Nilai DS dan nilai DP ditentukan oleh
berat molekul polimer, dengan bertambah besar berat molekul Carboxymethyl
Cellulose (CMC) maka sifatnya sebagai zat pengental semakin meningkat.
Berdasarkan sifat dan fungsinya maka Carboxymethyl Cellulose (CMC) dapat
digunakan sebagai bahan aditif pada produk minuman dan juga aman untuk
dikonsumsi. Carboxymethyl Cellulose (CMC) mampu menyerap air yang
terkandung dalam udara dimana banyaknya air yang terserap dan laju
penyerapannya bergantung pada jumlah kadar air yang terkandung dalam
Carboxymethyl Cellulose (CMC) serta kelembaban dan temperatur udara
disekitarnya. Kelembaban Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang diijinkan dalam
kemasan tidak boleh melebihi 8% dari total berat produk.
Adapun zat tambahan lainnya yang dipertimbangkan untuk menghasilkan
mi dari bahan bukan terigu adalah penambahan zat aditif seperti Carboxymethyl
13
cellulose (CMC).Carboxymethyl cellulose(CMC) adalah bahan yang berfungsi
sebagai pemberi bentuk, konsistensi dan tekstur. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan dengan penambahan perbandingan Carboxymethyl Cellulose (CMC) 1%
menghasilkan mi terbaik secara organoleptik (Lala dkk., 2013; Mulyadi dkk.,
2014).
F. Mi
Mi merupakan makanan yang paling populer di Asia. Sekitar 40% dari
konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mi. Di Indonesia pada
tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mi mencapai 60-70%
(Kruger dan Matsuo, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mi merupakan makanan
yang paling populer di Asia khususnya Indonesia hingga saat ini. Mi pertama kali
dibuat dari bahan baku beras dan tepung kacang-kacangan. Menurut Chamdani
(2005) mi basah memiliki ketahanan masa simpan selama 36 jam.
Di Indonesia produk mi merupakan makanan yang banyak digunakan sebagai
pengganti nasi. Produk mi ini berbahan dasar tepung terigu yang berasal dari
tanaman gandum. Menurut Irviani dan Nisa (2014), pada tahun 2012 impor
gandum telah menembus angka 6.3 juta ton. Upaya pelaksanaan diversifikasi
pangan agar tidak tergantung kepada tepung terigu.
Jenis – jenis Mi
1. Mi Mentah
Mi mentah adalah mi yang tidak mengalami proses setelah pemotongan dan
mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu mi ini cepat rusak.
Penyimpanan dalam refrigerator dapat mempertahankan kesegaran mi
14
hingga 50 – 60 jam. Setelah masa simpan tersebut, warna mi akan menjadi
gelap. Mi mentah biasanya dibuat dari terigu yang keras agar mudah
penanganannya. Mi mentah ini biasanya digunakan sebagai bahan baku mi
ayam.
2. Mi Basah
Mi basah merupakan jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah
tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai
52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu
kamar). Di Indonesia, mi basah dikenal sebagai mi kuning atau mi bakso.
3. Mi Kering
Mi kering merupakan mi mentah yang telah dikeringkan hingga kadar
airnya mencapai 8 – 10%. Pengeringan biasanya dilakukan dengan
penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat
kering mi ini maka mi ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan
mudah penanganannya. Mi kering biasanya sebelum dipasarkan biasanya
ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mi ini dikenal dengan
nama mi telur. Penambahan telur ini merupakan variasi sebab secara umum
mi oriental tidak mengandung telur. Di Amerika Serikat, penambahan telur
merupakan suatu keharusan karena mi kering harus mengandung air kurang
dari 13% dan padatan telur harus lebih dari 5,5%.
4. Mi Instan
Dalam standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3351-1994, mi instan
didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu
15
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan
tambaha yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah
dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mi instan
dikenal sebagai ramen. Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses
setelah diperoleh mi segar. Tahap – tahap tesebut yaitu pengukusan,
pembentukan dan pengeringan. Kadar air mi instan umumnya mencapai 5 -
8 % sehingga mempunyai daya simpan cukup lama (Astawan, 2006)
G. Mi Basah
Mi basah merupakan mi mentah yang sebelum dipasarkan mengalami proses
perebusan dalam air mendidih, dengan kadar air sekitar 35% dan setelah direbus
kadar airnya meningkat menjadi sekitar 52% (Koswara, 2009). Mi basah memiliki
kadar air mencapai 52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (10-12 jam
pada suhu kamar) (Astawan, 2006). Setelah itu mi akan berbau asam dan berlendir
atau basi. Adapun ciri-ciri mi basah yang baik adalah berwarna putih atau kuning
terang, tekstur agak kenyal, tidak mudah putus-putus. Pada umumnya mi yang
disukai masyarakat adalah mi berwarna kuning. Bentuk khas mi berupa pilinan
panjang yang dapat mengembang sampai batas tertentu dan lentur serta kalau
direbus tidak banyak padatan yang hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mi yang
sangat menentukan terhadap penerimaan konsumen. Tanda-tanda kerusakan mi
adalah berbintik putih atau hitam karena tumbuhnya kapang, berlendir pada
permukaan mi, berbau asam dan berwarna agak gelap (Widianingsih dan Murtini,
2006).
16
Proses pembuatan mi basah saat pencampuran semua bahan hingga menjadi
gumpalan-gumpalan adonan. Proses pembuatan mi meliputi beberapa tahap yaitu
pencampuran atau pembuatan adonan, pembuatan lembaran, pencetakan,
penerebusan, pendinginan, dan penirisan (Suyanti, 2008). Air akan menyebabkan
serat-serat gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan pemanasan,
serat-serat gluten akan ditarik, disusun bersilang membungkus pati sehingga
adonan menjadi lunak, kaku dan elastis (Sunaryo, 1985). Berikut merupakan syarat
mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Mi Basah
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan :
a. Rasa
b. Bau
c. Warna
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Protein
Cemaran Logam :
a. Timbal (Pb)
b. Tembaga (Cu)
c. Seng (Zn)
d. Raksa (Hg)
Arsen
Cemaran mikroba :
a. Angka total
lempeng
b. E. Coli
c. Kapang
-
-
-
% b/b
% b/b
% b/b
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Normal
Normal
Normal
20-30
Maks.3
Min.3
Maks.1,0
Maks. 10,0
Maks. 40,0
Maks.0,05
Maks. 1,0x106
Maks. 10
Maks. 1,0x104
Sumber : SNI 01-2987-1992
Menurut Anonim (2005), kualitas mi basah sangat bervariasi karena
perbedaan bahan pengawet dan proses pembuatannya. Mi basah adalah mi mentah
yang sebelumnya dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih
dahulu. Pembuatan mi basah secara tradisional dapat dilakukan dengan bahan
17
utama tepung terigu dan bahan pembantu seperti air, telur pewarna dan bahan
tambahan pangan. Mi basah yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berwarna putih atau kuning
2. Tekstur agak kenyal
3. Tidak mudah putus (Anonim, 2005)
H. Sifat Fisik Mi Basah
1. Daya Serap Air (DSA)
Menurut Eliason dan Gudmundsson (2012), daya serap air mi yang dihasilkan
sangat berkaitan dengan sifat retrogradasi pati. Semakin tinggi nilai daya serap air
menyebabkan mi yang dihasilkan akan mudah lunak saat direbus. Daya serap air
yang tinggi pada mi basah ini dipengaruhi oleh kandungan amilosa pada bahan baku
yang digunakan. Menurut Soh dkk., (2006), kandungan amilosa dalam pati dapat
meningkatkan daya serap air. Proses fermentasi pada pembuatan tepung bengkuang
terfermentasi dapat menurunkan pati pada bahan karena terjadinya hidrolisis pati
oleh enzim extraseluler αamylase dan enzim protease, sehingga menyebabkan
granula pati pecah dan tepung bersifat porous serta mudah menyerap air saat
direhidrasi.
Nilai daya serap air yang semakin tinggi menunjukkan semakin banyak air
yang mampu diserap oleh mi sehingga mi semakin mengembang. Pati yang
tergelatinisasi akan membentuk gel dan daya serap air menjadi lebih besar,
akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan ikatan-ikatan hidrogen mengikat air
(Fajrindkk., 2013). Analisis daya serap air dilakukan dengan cara pengurangan
berat mi setelah dimasak dengan berat mi sebelum dimasak, kemudian hasil
18
perhitungan tersebut dibagi berat mi sebelum dimasak dan dikali 100%. Gluten
pada tepung terigu yang bersifat hidrofobik akan membentuk jaringan tiga dimensi
sehingga akan mengikat air dan akhirnya volume dari produk akan mengembang.
Nilai rasio pengembangan berkorelasi positif dengan nilai daya serap air dan waktu
pemasakan mi (Weni dan Elok, 2015). Menurut Poter dan Hockies (1995) tepung
yang rendah protein memiliki daya serap air yang yang rendah sebaliknya jika kadar
protein tinggi maka daya serap air tinggi.
2. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss )
Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan atau cooking loss mengikuti
prosedur yang dilakukan (Mulyadi dkk.,2014). Kehilangan padatan akibat
pemasakan (cooking loss) menunjukkan banyaknya jumlah padatan yang keluar
dari untaian mi selama proses pemasakan. Menurut Chen dkk., (2003), kehilangan
padatan akibat pemasakan (cooking loss) terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati
dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan
dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi
menjadi keruh juga menjadikan kuah mi lebih kental (thick). Indrianti dkk., (2013)
menyatakan tingginya nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (cooking loss)
dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Nilai kehilangan
padatan akibat pemasakan yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks
pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Kehilangan
padatan akibat pemasakan (cooking loss) merupakan salah satu parameter mutu
yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak.
19
Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati
tergelatinisasi dan mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Cooking loss juga
dipengaruhi oleh ratio amilosa dan amilopektin. Amilosa mudah membentuk gel
karena bentuk strukturnya yang linear sehingga memungkinkan pembentukan
jaringan tiga dimensi lebih mudah. Semakin rendah kandungan amilosa,
menyebabkan struktur gel yang terbentuk lemah. Lemahnya struktur gel pati
tersebut menyebabkan padatan yang terlarut lebih besar, sehingga susut masaknya
semakin besar (Mulyadi dkk., 2014). Protein yang tinggi menyebabkan air yang
masuk dalam granula pati menjadi sulit sehingga membutuhkan waktu gelatinisasi
yang lama. Seharusnya cooking loss yang besar adalah mi substitusi dimana
menurut litelatur tepung bengkuang tidak memiliki banyak amilosa dari kandungan
pati sehingga pembentukan gel kemungkinan lebih sulit (Widatmoko dan Estiasih,
2015). Amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam granula pati dihubungkan
dengan ikatan hidrogen. Jika granula pati tersebut dipanaskan di dalam air
kemudian energi panas yang dihasilkan akan menyebabkan ikatan hidrogen tersebut
terputus. Ikatan yang terputus tersebut menyebabkan air masuk ke dalam granula
pati dimana air itu kemudian membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan
amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya
pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu
sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah dan menyebabkan sebagian amilosa
dan amilo pektin keluar (Witono dkk., 2012).
Mi tepung terigu memiliki cooking loss yang kecil, karena memiliki banyak
amilosa yang memiliki struktur gel yang kuat. Menurut Pratama dan Nisa (2014)
20
semakin banyak tepung substitusi yang ditambahkan maka proporsi tepung terigu
yang ditambahkan semakin sedikit, sehingga kemampuan gluten untuk mengikat
bahan semakin menurun. Cooking time yang lama juga diduga mempengaruhi
nilai cooking loss yang tinggi. Sehingga jika dilihat dari data tersebut, mi mentah
dan mi telur yang tidak ditambahkan tepung substitusi seharusnya memiliki jumlah
gluten yang lebih banyak karena menggunakan tepung terigu saja sehingga
seharusnya memiliki nilai cooking loss yang rendah. Faktor yang dapat
mempengaruhi cooking loss ini terdapat pada jenis tepung yang digunakan pada
pembuatan mi, karena gluten memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan tiga
dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula pada bahan dan pada saat
pemasakan air rebusan tidak dijaga ±90% dari berat awal sehingga air rebusan
sangat sulit untuk disaring. Selain itu, suhu pemasakan yang terlalu lama juga dapat
mempengaruhi cooking loss ini karena, pada saat perebusan terjadi penetrasi air ke
dalam granula pati sehingga menyebabkan terjadinya pengembangan granula pati
dan peningkatan kekentalan pada pati. Maka pada saat pemanasan suhu tinggi
padatan pati yang terkandung dalam mi akan mudah hilang atau keluar
(Safriani dkk., 2013). Selain itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi lebih
banyak menyerap air pada proses pemasakan tetapi menjadi lebih cepat menyerap
kembali dan cepat keras, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung
menyerap air lebih banyak. Tingkat pengembangan dan penyerapan air tergantung
pada kandungan amilosa. Makin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk
menyerap dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai
21
kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar dari pada amilopektin
(Alam dkk., 2007).
1. Swelling Index
Analisis swelling index ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak
pengembangan yang dapat terjadi apabila mi kering dimasak. Indeks ini dinyatakan
dalam perbandingan selisih berat mi basah dan mi kering terhadap berat mi kering.
Bila pati dalam air dipanaskan, air akan menembus granula pati dari luar menuju
bagian dalam hingga granula terisi air sepenuhnya (terhidrasi). Setelah terhidrasi,
ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin akan berusaha mempertahankan
integritas granula dan mulai terjadi pembengkakan (swelling) dari inti granula. Mi
dengan kualitas yang baik harus memiliki swelling index yang tinggi. Tingginya
swelling index mengindikasikan kemampuan mi dalam menyerap air yang tinggi.
Dengan kemampuan menyerap air yang tinggi, akan diperoleh mi dengan tekstur
yang kenyal dan tidak mudah putus. Swelling index juga dipengaruhi oleh
kemampuan pati untuk mengikat air melalui pembentukan ikatan hydrogen. Setelah
gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan
hidrogen dengan air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula granula pati
mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan
karena banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan granula pati yang
mengembang tersebut mengakibatkan swelling index menjadi meningkat
(Herawati, 2009).
Konsentrasi zat aditif tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
swelling index mi. Semakin banyak zat aditif yang ditambahkan, seharusnya akan
22
membuat nilai swelling index akan bertambah kecil. Hal ini terjadi karena dengan
adanya penambahan zat aditif (Carboxymethyl Cellulose (CMC) dan xanthan gum)
akan menghambat proses masuknya air ke dalam pati. Menurut Widyaningsih dan
Murtini (2006) semakin banyak Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang
ditambahkan, maka akan membuat tekstur mi semakin keras dan daya rehidrasi mi
menjadi berkurang.
2. Rendemen
Rendemen merupakan nisbah antara hasil yang diperoleh dengan bahan dasar.
Nilai rendemen berubah akibat perbedaan formulasi tepung terigu dan bengkuang
modifikasi. Rerata nilai rendemen mi instan berkisar antara 158,17 – 204,42%,
semakin tinggi proporsi tepung bengkuang modifikasi yang diberikan, maka
rendemen yang dihasilkan semakin menurun. Rendemen yang tinggi dipengaruhi
oleh jumlah massa adonan dan kemampuan suatu bahan dalam menyerap air.
Semakin tinggi penambahan proporsi tepung bengkuang modifikasi membentuk
adonan yang sedikit lengket sehingga diduga rendemen berkurang karena massa
yang hilang saat proses pencetakan yaitu berupa sisa adonan yang menempel pada
alat pencetak mi (Setiyoko dkk., 2018).
3. Cooking Time
Cooking time adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan titik putih
di bagian tengah dalam untaian mi pada saat proses pemasakan (Basman dan
Yaclin, 2011). Terigu mengandung protein yang tinggi yang mampu menyerap air
yang tinggi, sehingga dengan tingginya penyerapan air maka waktu pemasakannya
akan semakin singkat (Halwan dan Nisa, 2015). Salah satu faktor yang
23
mempengaruhi cooking time adalah proporsi air. Dimana semakin tinggi kadar air
maka akan semakin cepat waktu pemasakan. Semakin tinggi suhu panas maka
semakin cepat transfer panas yang diterima oleh air yang terdapat dalam bahan
sehingga dengan cepatnya transfer panas tersebut dan mempengaruhi cooking
time (Khoiri, 2013).
4. Tensile Strenght
Tensile strength sangat berhubungan dengan kandungan protein. Uji korelasi
menunjukkan hasil analisis tensile strength berbanding lurus dengan hasil analisis
kadar protein. Semakin rendah kadar protein makan nilai tensile strength juga akan
menurun. Hal ini dikarenakan ikatan peptida yang pendek sehingga tidak
dibutuhkan energi yang besar untuk memutus ikatan tersebut. Daya putus (Tensile
Strength) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk memutus untaian mi. Tensile
strength sangat cocok digunakan sebagai parameter kekuatan dari mi (Chansri dkk.,
2005). Menurut Djuragic dkk.,(2009) keseragaman ukuran bahan merupakan faktor
yang sangat penting dalam proses mixing. Penyebab mudah putusnya mi adalah
ukuran dari partikel tepung yang sudah mengalami swellingjauh lebih besar
daripada komposisi lainnya, sehingga bagian tersebut yang akan putus terlebih
dahulu pada saat dianalisis menggunakan tensile strength.
Tensile strength atau daya regang berhubungan dengan kadar protein, dimana
kadar protein yang tinggi memberikan nilai daya putus yang tinggi pula. Hal ini
karena dengan semakin tinggi kadar protein berarti semakin panjang ikatan
peptidanya, sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk memutuskan ikatan
24
peptidanya tersebut (Horseney,1994 dalam Umri, 2016). Sampel mi sebanyak 50
gram dililitkan pada alat pengukurtensile strength(Texture AnalyzermerkLoyd).
Pengait akan menarik mi hingga putus kemudian tensile strengthdihitungmelalui
instrumen sensor yang terhubung pada alat pengukur (Riki dkk.,2013).
I. Uji Tingkat Kesukaan
Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan
penilaian dengan alat pengindera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan
peraba. Melalui hasil pengujian organolpetik akan diketahui daya penerimaan
panelis (konsumen) terhadap produk tersebut (Soekarto,1985).
Organoleptik merupakan pengujian berdasarkan pada proses pengindraan.
Pengindraan artinya suatu proses fisio psikologis, yaitu kesadaran pengenalan alat
indra terhadap sifat benda karena adanya rangsangan terhadap alat indera
dari benda itu. Kesadaran kesan dan sikap kepada rangsangan adalah reaksi
dari psikologis atau reaksi subjektif. Disebut penilaian subjektif karena hasil
penilaian ditentukan oleh pelaku yang melakukan penilaian (Agusman, 2013).
Sifat organoleptik bahan dan produk pangan merupakan hal pertama yang
diperhatikan oleh konsumen, sebelum mereka menilai lebih jauh misalnya pada
aspek nilai gizinya. Di industri pangan, pengujian sifat organoleptik dapat
dilakukan untuk tujuan pengembangan dan pengujian mutu produk. Kesimpulan
yang diperoleh dari suatu pengujian organoleptik sangat tergantung pada tahap
persiapan, keterandalan panelis, sarana dan prasarana, jenis analisis organoleptik
serta metode analisis data. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
dapat melakukan pengujian organoleptik yang baik perlu dimiliki, untuk dapat
25
mencapai hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar mengenai penerapan
pengujian organoleptik (Soekarto,1985).
Tingkat kesukaan konsumen dapat diukur menggunakan uji organoleptik
melalui alat indera. Kegunaan uji ini diantaranya untuk pengembangan produk
baru. Penilailan dengan indera yang juga disebut penilaian organoleptik atau
penilaian sensoris merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian
dengan indera banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan
makanan (Soekarto, 1985). Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang
panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat
bahan yang diuji. Pengujian ini umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi
konsumen terhadap suatu bahan. Oleh karena itu panelis sebaiknya diambil dalam
jumlah besar, yang mewakili populasi masyarakat tertentu. Skala nilai yang
digunakan dapat berupa nilai numerik dengan keterangan verbalnya, atau
keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat diberi tanda oleh panelis. Skala
nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal (Kartika dkk., 1988).
Organ penginderaan yang berperan adalah hidung, lidah, mata dalam
menentukan keadaan benda yang dinilai. Jenis kesannya adalah spesifik
seperti: rasa manis, pahit, asin dengan intensitas kesan kuat lemahnya suatu
rangsang. Lama kesan adalah bagaimana suatu rangsang menimbulkan kesan
mudah atau tidak mudahnya hilang setelah dilakukannya pengindraan. Rasa
manis memiliki kesan lebih rendah setelah dibandingkan dengan rasa pahit
sesudahnya (Agusman, 2013). Rangsangan yang dirasakan oleh pengindraan
bisa bersifat mekanis seperti tusukan dan tekanan atau bersifat fisis seperti;
26
panas, dingin, sinar, dan warna maupun sifat kimia seperti; aroma, bau, dan
rasa (Agusman, 2013).
Penilaian organoleptik terdiri atas enam tahapan, yaitu menerima produk,
mengenali produk, mengadakan klarifikasi sifat produk yang telah diamati
dijelaskan inderawi produk. Dalam pengujian organoleptik mesti dilakukan
dengan cermat karena memiliki kelebihan dan kekurangan. Organoleptik
mumpunyai relevansi yang tinggi dengan mutu produk, karena berhubungan
langsung pada selera konsumen. Kelemahan dan keterbatasan organoleptik
diakibatkan sifat inderawi tidak dapat dideskripsikan. Panelis juga dapat
dipengaruhi oleh kondisi mental dan fisik sehingga kepekaan menurun panelis
menjadi jenuh (Meilgaard, 2000).
Pengujian bahan pangan tidak hanya dilihat dari aspek kimiawinya saja, tetapi
juga ditilik dari cita rasa dan aroma. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai
suatu produk pangan yang banyak melibatkan indera pengecap yaitu lidah, rasa
sangat dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsistensi dan interaksi dengan
komponen penyusun makanan seperti protein, lemak, vitamin dan banyak
komponen lainnya (Winarno, 1997).
Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau
kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaanya. Tingkat kesukaan
ini disebut skala hedonik. Misalnya dalam hal “ suka “, dapat mempunyai skala
hedonik seperti : amat sangat suka, sangat suka, agak suka. Sebaliknya jika
tanggapan itu “tidak suka “, dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat
tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka. Diantara agak suka dan
27
agak tidak suka kadang kadang ada tanggapan yang disebut netral, yaitu bukan suka
tetapi juga bukan tidak (Soekarto, 1985).
Menurut Anonim (2005) mi basah yang baik mempunyai ciri-ciri berwarna
putih atau kuning, tekstur agak kenyal, dan tidak mudah putus. Warna mi
kecoklatan pada mi basah disebabkan karena terjadinya reaksi mailard. Reaksi
tersebut terjadi karena reaksi antara karbohidrat gula pereduksi dengan gugus amina
primer protein (Winarno, 2004). Mi basah memiliki rasa khas tepung dan rasa gurih
hal ini disebabkan oleh kandungan protein yang terdapat pada mi basah sehingga
pada saat perebusan protein akan terdenaturasi menjadi asam amino (Mualim dkk.,
2013). Salah satu amino yang dapat menimbulkan rasa yang lezat adalah asam
amino glutamate (Winarno, 2004).
J. Hipotesis
Subtitusi tepung bengkuang HMT (Heat Moisture Teatment) dan
penambahan CMC (Carboxymethyl Cellulose) diduga mempengaruhi sifat fisik dan
tingkat kesukaan mi basah.