ii. tinjauan pustaka a. bengkuangeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5417/3/bab ii.pdf · 5 ii. tinjauan...

23
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bengkuang Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dikenal baik oleh masyarakat kita. Umbi tanaman bengkuang biasa dimanfaatkan sebagai buah atau bagian dari beberapa jenis masakan seperti rujak, asinan atau dimakan segar. Bengkuang mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang dapat berfungsi sebagai sumber antioksidan bagi tubuh (Assaori, 2010). Tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman pangan sumber karbohidrat sekaligus protein nabati (NRC 1979; van Hoof dan Sorensen 1989; Sorensen 1996 dalam Karuniawan dan Wicaksana 2006). Berikut merupakan bengkuang disajikan pada Gambar 1. Menurut Van Steenis (2005) dalam Hilman (2012), klasifikasi tanaman bengkuang adalah : Kingdom : Plantae Divisio : Spermatoph Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonee Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Pachyrhizus Spesies : Pachyrhizus erosus L. Urban Gambar 1. Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) Bengkuang (Pachyrhizys erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya yang bisa dimakan sebagai rujak dan asinan atau dijadikan masker untuk menyegarkan wajah dan memutihkan kulit. Bagian umbi merupakan bagian yang dikomsumsi dari tanaman bengkuang karena mengandung gula, pati dan oligosakarida yang

Upload: others

Post on 04-Jan-2020

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bengkuang

Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) dikenal baik oleh masyarakat

kita. Umbi tanaman bengkuang biasa dimanfaatkan sebagai buah atau bagian dari

beberapa jenis masakan seperti rujak, asinan atau dimakan segar. Bengkuang

mengandung vitamin C dan senyawa fenol yang dapat berfungsi sebagai sumber

antioksidan bagi tubuh (Assaori, 2010). Tanaman ini berpotensi untuk

dikembangkan sebagai tanaman pangan sumber karbohidrat sekaligus protein

nabati (NRC 1979; van Hoof dan Sorensen 1989; Sorensen 1996 dalam Karuniawan

dan Wicaksana 2006). Berikut merupakan bengkuang disajikan pada Gambar 1.

Menurut Van Steenis (2005) dalam Hilman (2012), klasifikasi tanaman bengkuang

adalah :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatoph

Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonee

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Pachyrhizus

Spesies : Pachyrhizus erosus L. Urban

Gambar 1. Bengkuang (Pachyrrhizus erosus)

Bengkuang (Pachyrhizys erosus) dikenal dari umbi (cormus) putihnya yang

bisa dimakan sebagai rujak dan asinan atau dijadikan masker untuk menyegarkan

wajah dan memutihkan kulit. Bagian umbi merupakan bagian yang dikomsumsi

dari tanaman bengkuang karena mengandung gula, pati dan oligosakarida yang

6

dikenal dengan nama inulin. Tanaman ini memiliki panjang 2-6 m, bentuk dan

majemuk, dengan 3 selebaran per daun, banyak bunga dan sekali berbunga

memiliki panjang hingga 55 cm. Bunga dari jenis polong-polongan ini memiliki

kelopak biru atau putih buah legum, dengan panjang 6-13 cm dan lebar 8-17 mm

serta berbulu ketika muda. Bentuk benih pipih, bulat atau persegi, bewarna cokelat,

hijau atau kemerahan. Ukuran umbi bervariasi sesuai dengan kondisi pertumbuhan.

Walaupun umbinya dapat dimakan, namun bagian bengkuang yang lain seperti biji

sangat beracun karena mengandung rotenon, sejenis tuba. Racun ini sering dipakai

untuk membunuh serangga atau menangkap ikan. Biji bengkuang yang telah masak

kaya akan lipid yaitu lebih kurang 30%, namun tidak dapat dimakan karena

mengandung isoflavonaid yang tinggi yaitu rotenon, isoflavanon dari furano-3-fenil

kumarin yang sangat beracun bagi manusia (Hilman, 2012).

Umbi bengkuang tidak tahan terhadap suhu rendah, sehingga mudah

mengalami kerusakan. Karena itulah, umbi sebaiknya disimpan pada tempat kering

bersuhu maksimal 16℃. Umbi bengkuang dapat bertahan sekitar dua bulan dengan

penyimpanan pada kelembapan dan suhu yang sesuai (Astawan, 2009). Komposisi

bengkoang disajikan pada Tabel 1.

B. Tepung Bengkuang

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuat tepung

bergantung pada jenis dan sifat dari umbi. Secara sederhana pembuatan tepung

bengkuang diawali dengan mengupas dan mencuci bengkuang, lalu dilakukan

pengirisan yang ditujukan untuk memperbesar luas permukaan bengkuang pada

saat dikeringkan.

7

Tabel 1. Komposisi Kimia Bengkuang dalam 100 gr

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1992)

Setelah itu lakukan proses pengukusan bengkuang di dalam air mendidih

selama 1 sampai 10 menit yang dikenal dengan sebutan blanching, dengan tujuan

untuk meningkatkan kualitas tepung bengkuang, akibat adanya penurunan aktivitas

enzim, mengurangi jumlah gas pada bengkuang yang mampu mengubah warna,

memperbaiki tekstur bengkuang, serta menurunkan jumlah mikroba penyebab

kebusukan dan bau. Bengkuang yang telah diblaching kemudian dilakukan proses

pengeringan dan penghancuran.

C. Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bulir gandum. Tepung

terigu umumnya digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kadar

protein tepung terigu berkisar antara 8 – 14%. Dalam pembuatan mi, kadar protein

tepung terigu yang digunakan berkisar antara 11 – 14,5% atau tepung terigu

berprotein tinggi (Gomez, 2007 dalam Lubis, 2013). Gandum yang telah diolah

menjadi tepung terigu menurut (Rustandi, 2011) dapat digolongkan menjadi 3

tingkatan yang dibedakan berdasarkan kandungan protein yang dimiliki, yakni :

a. Hard flour (kandungan protein 12% – 14%)

Komponen Jumlah

Energi (kkal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Vitamin C (mg)

Vitamin B1 (mg)

Vitamin A (IU)

Air (g)

55,00

1,40

0,20

12,80

15,00

18,00

0,60

20,00

0,04

0,00

85,10

8

Tepung ini mudah dicampur dan difermentasikan, memiliki daya serap air

tinggi, elastis, serta mudah digiling. Jenis tepung ini cocok untuk membuat roti,

mi, dan pasta.

b. Medium flour (kandungan protein 10,5% – 11,5%)

Tepung ini cocok untuk membuat adonan dengan tingkat fermentasi sedang,

seperti donat, bakso, cake, dan muffin.

c. Soft flour (kandungan protein 8% – 9%) Tepung ini memiliki daya serap

rendah, sukar diuleni, dan daya pengembangan rendah. Tepung ini cocok untuk

membuat kue kering, biskuit, pastel.

Syarat mutu tepung terigu yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional

Indonesia sebagai bahan makanan yang membantu pemerintah dalam mewujudkan

peningkatan gizi masyarakat dengan fortivikasi zat besi, zeng, vitamin B1, vitamin

B2 dan asam folat adalah sebagai berikut pada Tabel 2.

Kandungan protein utama di dalam tepung terigu yang berperan dalam

pembuatan mi adalah gluten. Banyak sedikitnya gluten yang didapat bergantung

pada berapa banyak jumlah protein dalam tepung itu sendiri, makin tinggi

proteinnya maka makin banyak jumlah gluten yang didapat, begitu juga

sebaliknya. Banyaknya kandungan gluten akan berdampak pada keelastisan dan

daya tahan terhadap penarikan dalam proses produksi mi.

D. Tepung HMT (Heat Moisture Treatment)

Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan metode modifikasi pati secara

fisik dengan cara memberikan perlakuan panas pada suhu diatas suhu gelatinisasi

9

(80-120oC) dengan kondisi kadar air terbatas atau dibawah 35% (Collado dkk.,

2001).

Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Pangan

Jenis uji Satuan Persyaratan

Keadaan

a. Bentuk

b. Bau

c.Warna

Benda asing

Serangga dan semua

bentuk stadia dan

potongan-potongan yang

tampak

Kehalusan lolos ayakan

212 (mesh No.70) (b/b)

Kadar air

Kadar abu

Protein

Keasaman

Falling number (atas

dasar kadar air 14 %) Besi

(Fe)

Zeng (Zn)

Vitamin B1 (Thiamin)

Vitamin B2 (Riboflavin)

Asam folat

Cemaran logam

a. Timbal (Pb)

b. Raksa (Hg)

c. Cadmium (Cd)

Cemaran arsen

Cemaran Mikroba

a. Escherichia coli

b. Kapang

c. Basillus cereus

-

-

-

-

-

-

%

%

%

%

Mg KOH/100g

Detik

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

-

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

-

APM/g

Koloni/g

Koloni/g

Serbuk

Normal (bebas dari bau

asing)

Putih khas terigu

Tidak boleh ada

Tidak boleh ada

Min. 95

Maks. 14,5

Maks. 0,70

Min. 7,0

Maks. 50

Min. 300

Min. 50

Min. 30

Min. 2,5

Min. 4

Min. 2

-

Maks. 1,0

Maks. 0,05

Maks. 0,1

Maks. 0,50

-

Maks. 10

Maks. 1x104

Maks. 1x104

Sumber : SNI 3751:2009 (Anonim, 2013)

Pati alami atau pati yang belum termodifikasi (native starch) mempunyai

beberapa kekurangan yaitu diantaranya tidak tahan terhadap perlakuan panas dan

10

mekanis sehingga dibutuhkan modifikasi secara fisik dengan menggunakan metode

Heat Moisture Treatment (HMT) untuk memperbaiki kekurangan tersebut.

Metode Heat Moisture Treatment (HMT) umumnya dilakukan pada pati

namun bisa juga diaplikasikan pada tepung. Menurut Lorenz dan Kulp (1981), Heat

Moisture Treatment (HMT) adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas

suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih

rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya proses gelatinisasi. Kadar air

yang disyaratkan untuk proses HMT adalah 18-30% dan suhu yang digunakan

adalah 100°C. Modifikasi pati dan tepung dengan teknik HMT dapat merusak

bentuk granula hingga terbentuk lubang di bagian permukaannya.

Proses pemanasan pati dan keberadaan air saat Heat Moisture Treatment

(HMT) berlangsung mengakibatkan area amosphous pati mengembang, kemudian

menekan keluar area berkristal sehingga terjadi kerusakan dan pelelehan area

berkristal granula pati, serta menghasilkan bentuk granula pati yang lebih stabil

terhadap panas. Schoch dan Maywald (1968) menggolongkan pati dalam beberapa

tipe berdasarkan sifat amilografi. Pati tipe A memiliki pembengkakan yang

besardengan viskositas puncak yang tinggi diikuti oleh pengenceran yang cepat

selama pemanasan, viskositas breakdown yang tinggi, serta viskositas pasta dingin

yang rendah. Pati tipe B memiliki pembengkakan yang sedang dengan viskositas

pasta yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Pati tipe C memiliki pembengkakan

terbatas dan cenderung tidak memiliki puncak viskositas, tetapi viskositasnya yang

tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan.

11

E. CMC (Carboxymethyl Cellulose)

Struktur CMC (Carboxymethyl Cellulose) merupakan rantai polimer yang

terdiri dari unit molekul sellulosa. Setiap unit anhidroglukosa memiliki tiga gugus

hidroksil dan beberapa atom Hidrogen dari gugus hidroksil tersebut disubstitusi

oleh carboxymethyl. Struktur CMC (Carboxymethyl Cellulose) disajikan pada

Gambar 2 .

Gambar 2. Struktur Carboxymethyl Cellulose (CMC) (Winarno, 2004)

CMC (Carboxymethyl Cellulose) adalah ester polimer selulosa yang larut

dalam air dibuat dengan mereaksikan Natrium Monoklorasetat dengan selulosa

basa (Fardiaz, 1987). Menurut Winarno (2004), Natrium carboxymethyl selulosa

merupakan turunan selulosa yang digunakan secara luas oleh industri makanan

adalah garam Na carboxymethyl selulosa murni kemudian ditambahkan Na

kloroasetat untuk mendapatkan tekstur yang baik. Selain itu juga digunakan untuk

mencegah terjadinya retrogradasi dan sineresis pada bahan makanan.

Dalam pembuatan mi, Carboxymethyl Cellulose (CMC) berfungsi sebagai

pengembang.Carboxymethyl Cellulose (CMC) dapat mempengaruhi sifat adonan,

memperbaiki ketahanan terhadap air, mempertahankan keempukan selama

penyimpanan. Jumlah Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang ditambahkan untuk

pembuatan mi antara 0,5-1% dari berat tepung terigu. Penggunaan yang berlebihan

12

akan menyebabkan tekstur mi yang terlalu keras dan daya rehidrasi mi menjadi

berkurang (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Gugus hidroksil yang tergantikan dikenal dengan derajat penggantian (degree

of substitution) disingkat DS. Jumlah gugus hidroksil yang tergantikan atau nilai

DS mempengaruhi sifat kekentalan dan sifat kelarutan Carboxymethyl Cellulose

(CMC) dalam air. Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang sering digunakan adalah

yang memiliki nilai DS sebesar 0,7 atau sekitar 7 gugus carboxymethylper 10 unit

anhidroglukosa karena memiliki sifat sebagai zat pengental cukup baik

(aqualonCMC Herculesincorporated). Carboxymethyl Cellulose (CMC)

merupakan molekul polimer berantai panjang dan karakteristiknya bergantung pada

panjang rantai atau derajat polimerisasi (DP). Nilai DS dan nilai DP ditentukan oleh

berat molekul polimer, dengan bertambah besar berat molekul Carboxymethyl

Cellulose (CMC) maka sifatnya sebagai zat pengental semakin meningkat.

Berdasarkan sifat dan fungsinya maka Carboxymethyl Cellulose (CMC) dapat

digunakan sebagai bahan aditif pada produk minuman dan juga aman untuk

dikonsumsi. Carboxymethyl Cellulose (CMC) mampu menyerap air yang

terkandung dalam udara dimana banyaknya air yang terserap dan laju

penyerapannya bergantung pada jumlah kadar air yang terkandung dalam

Carboxymethyl Cellulose (CMC) serta kelembaban dan temperatur udara

disekitarnya. Kelembaban Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang diijinkan dalam

kemasan tidak boleh melebihi 8% dari total berat produk.

Adapun zat tambahan lainnya yang dipertimbangkan untuk menghasilkan

mi dari bahan bukan terigu adalah penambahan zat aditif seperti Carboxymethyl

13

cellulose (CMC).Carboxymethyl cellulose(CMC) adalah bahan yang berfungsi

sebagai pemberi bentuk, konsistensi dan tekstur. Beberapa penelitian yang telah

dilakukan dengan penambahan perbandingan Carboxymethyl Cellulose (CMC) 1%

menghasilkan mi terbaik secara organoleptik (Lala dkk., 2013; Mulyadi dkk.,

2014).

F. Mi

Mi merupakan makanan yang paling populer di Asia. Sekitar 40% dari

konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mi. Di Indonesia pada

tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mi mencapai 60-70%

(Kruger dan Matsuo, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mi merupakan makanan

yang paling populer di Asia khususnya Indonesia hingga saat ini. Mi pertama kali

dibuat dari bahan baku beras dan tepung kacang-kacangan. Menurut Chamdani

(2005) mi basah memiliki ketahanan masa simpan selama 36 jam.

Di Indonesia produk mi merupakan makanan yang banyak digunakan sebagai

pengganti nasi. Produk mi ini berbahan dasar tepung terigu yang berasal dari

tanaman gandum. Menurut Irviani dan Nisa (2014), pada tahun 2012 impor

gandum telah menembus angka 6.3 juta ton. Upaya pelaksanaan diversifikasi

pangan agar tidak tergantung kepada tepung terigu.

Jenis – jenis Mi

1. Mi Mentah

Mi mentah adalah mi yang tidak mengalami proses setelah pemotongan dan

mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu mi ini cepat rusak.

Penyimpanan dalam refrigerator dapat mempertahankan kesegaran mi

14

hingga 50 – 60 jam. Setelah masa simpan tersebut, warna mi akan menjadi

gelap. Mi mentah biasanya dibuat dari terigu yang keras agar mudah

penanganannya. Mi mentah ini biasanya digunakan sebagai bahan baku mi

ayam.

2. Mi Basah

Mi basah merupakan jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah

tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai

52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu

kamar). Di Indonesia, mi basah dikenal sebagai mi kuning atau mi bakso.

3. Mi Kering

Mi kering merupakan mi mentah yang telah dikeringkan hingga kadar

airnya mencapai 8 – 10%. Pengeringan biasanya dilakukan dengan

penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat

kering mi ini maka mi ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan

mudah penanganannya. Mi kering biasanya sebelum dipasarkan biasanya

ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mi ini dikenal dengan

nama mi telur. Penambahan telur ini merupakan variasi sebab secara umum

mi oriental tidak mengandung telur. Di Amerika Serikat, penambahan telur

merupakan suatu keharusan karena mi kering harus mengandung air kurang

dari 13% dan padatan telur harus lebih dari 5,5%.

4. Mi Instan

Dalam standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3351-1994, mi instan

didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu

15

dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan

tambaha yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah

dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mi instan

dikenal sebagai ramen. Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses

setelah diperoleh mi segar. Tahap – tahap tesebut yaitu pengukusan,

pembentukan dan pengeringan. Kadar air mi instan umumnya mencapai 5 -

8 % sehingga mempunyai daya simpan cukup lama (Astawan, 2006)

G. Mi Basah

Mi basah merupakan mi mentah yang sebelum dipasarkan mengalami proses

perebusan dalam air mendidih, dengan kadar air sekitar 35% dan setelah direbus

kadar airnya meningkat menjadi sekitar 52% (Koswara, 2009). Mi basah memiliki

kadar air mencapai 52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (10-12 jam

pada suhu kamar) (Astawan, 2006). Setelah itu mi akan berbau asam dan berlendir

atau basi. Adapun ciri-ciri mi basah yang baik adalah berwarna putih atau kuning

terang, tekstur agak kenyal, tidak mudah putus-putus. Pada umumnya mi yang

disukai masyarakat adalah mi berwarna kuning. Bentuk khas mi berupa pilinan

panjang yang dapat mengembang sampai batas tertentu dan lentur serta kalau

direbus tidak banyak padatan yang hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mi yang

sangat menentukan terhadap penerimaan konsumen. Tanda-tanda kerusakan mi

adalah berbintik putih atau hitam karena tumbuhnya kapang, berlendir pada

permukaan mi, berbau asam dan berwarna agak gelap (Widianingsih dan Murtini,

2006).

16

Proses pembuatan mi basah saat pencampuran semua bahan hingga menjadi

gumpalan-gumpalan adonan. Proses pembuatan mi meliputi beberapa tahap yaitu

pencampuran atau pembuatan adonan, pembuatan lembaran, pencetakan,

penerebusan, pendinginan, dan penirisan (Suyanti, 2008). Air akan menyebabkan

serat-serat gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan pemanasan,

serat-serat gluten akan ditarik, disusun bersilang membungkus pati sehingga

adonan menjadi lunak, kaku dan elastis (Sunaryo, 1985). Berikut merupakan syarat

mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Mi Basah

Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Keadaan :

a. Rasa

b. Bau

c. Warna

Kadar Air

Kadar Abu

Kadar Protein

Cemaran Logam :

a. Timbal (Pb)

b. Tembaga (Cu)

c. Seng (Zn)

d. Raksa (Hg)

Arsen

Cemaran mikroba :

a. Angka total

lempeng

b. E. Coli

c. Kapang

-

-

-

% b/b

% b/b

% b/b

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Koloni/g

APM/g

Koloni/g

Normal

Normal

Normal

20-30

Maks.3

Min.3

Maks.1,0

Maks. 10,0

Maks. 40,0

Maks.0,05

Maks. 1,0x106

Maks. 10

Maks. 1,0x104

Sumber : SNI 01-2987-1992

Menurut Anonim (2005), kualitas mi basah sangat bervariasi karena

perbedaan bahan pengawet dan proses pembuatannya. Mi basah adalah mi mentah

yang sebelumnya dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih

dahulu. Pembuatan mi basah secara tradisional dapat dilakukan dengan bahan

17

utama tepung terigu dan bahan pembantu seperti air, telur pewarna dan bahan

tambahan pangan. Mi basah yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berwarna putih atau kuning

2. Tekstur agak kenyal

3. Tidak mudah putus (Anonim, 2005)

H. Sifat Fisik Mi Basah

1. Daya Serap Air (DSA)

Menurut Eliason dan Gudmundsson (2012), daya serap air mi yang dihasilkan

sangat berkaitan dengan sifat retrogradasi pati. Semakin tinggi nilai daya serap air

menyebabkan mi yang dihasilkan akan mudah lunak saat direbus. Daya serap air

yang tinggi pada mi basah ini dipengaruhi oleh kandungan amilosa pada bahan baku

yang digunakan. Menurut Soh dkk., (2006), kandungan amilosa dalam pati dapat

meningkatkan daya serap air. Proses fermentasi pada pembuatan tepung bengkuang

terfermentasi dapat menurunkan pati pada bahan karena terjadinya hidrolisis pati

oleh enzim extraseluler αamylase dan enzim protease, sehingga menyebabkan

granula pati pecah dan tepung bersifat porous serta mudah menyerap air saat

direhidrasi.

Nilai daya serap air yang semakin tinggi menunjukkan semakin banyak air

yang mampu diserap oleh mi sehingga mi semakin mengembang. Pati yang

tergelatinisasi akan membentuk gel dan daya serap air menjadi lebih besar,

akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan ikatan-ikatan hidrogen mengikat air

(Fajrindkk., 2013). Analisis daya serap air dilakukan dengan cara pengurangan

berat mi setelah dimasak dengan berat mi sebelum dimasak, kemudian hasil

18

perhitungan tersebut dibagi berat mi sebelum dimasak dan dikali 100%. Gluten

pada tepung terigu yang bersifat hidrofobik akan membentuk jaringan tiga dimensi

sehingga akan mengikat air dan akhirnya volume dari produk akan mengembang.

Nilai rasio pengembangan berkorelasi positif dengan nilai daya serap air dan waktu

pemasakan mi (Weni dan Elok, 2015). Menurut Poter dan Hockies (1995) tepung

yang rendah protein memiliki daya serap air yang yang rendah sebaliknya jika kadar

protein tinggi maka daya serap air tinggi.

2. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Cooking Loss )

Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan atau cooking loss mengikuti

prosedur yang dilakukan (Mulyadi dkk.,2014). Kehilangan padatan akibat

pemasakan (cooking loss) menunjukkan banyaknya jumlah padatan yang keluar

dari untaian mi selama proses pemasakan. Menurut Chen dkk., (2003), kehilangan

padatan akibat pemasakan (cooking loss) terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati

dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan

dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi

menjadi keruh juga menjadikan kuah mi lebih kental (thick). Indrianti dkk., (2013)

menyatakan tingginya nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (cooking loss)

dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Nilai kehilangan

padatan akibat pemasakan yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks

pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Kehilangan

padatan akibat pemasakan (cooking loss) merupakan salah satu parameter mutu

yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak.

19

Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati

tergelatinisasi dan mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Cooking loss juga

dipengaruhi oleh ratio amilosa dan amilopektin. Amilosa mudah membentuk gel

karena bentuk strukturnya yang linear sehingga memungkinkan pembentukan

jaringan tiga dimensi lebih mudah. Semakin rendah kandungan amilosa,

menyebabkan struktur gel yang terbentuk lemah. Lemahnya struktur gel pati

tersebut menyebabkan padatan yang terlarut lebih besar, sehingga susut masaknya

semakin besar (Mulyadi dkk., 2014). Protein yang tinggi menyebabkan air yang

masuk dalam granula pati menjadi sulit sehingga membutuhkan waktu gelatinisasi

yang lama. Seharusnya cooking loss yang besar adalah mi substitusi dimana

menurut litelatur tepung bengkuang tidak memiliki banyak amilosa dari kandungan

pati sehingga pembentukan gel kemungkinan lebih sulit (Widatmoko dan Estiasih,

2015). Amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam granula pati dihubungkan

dengan ikatan hidrogen. Jika granula pati tersebut dipanaskan di dalam air

kemudian energi panas yang dihasilkan akan menyebabkan ikatan hidrogen tersebut

terputus. Ikatan yang terputus tersebut menyebabkan air masuk ke dalam granula

pati dimana air itu kemudian membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan

amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya

pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu

sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah dan menyebabkan sebagian amilosa

dan amilo pektin keluar (Witono dkk., 2012).

Mi tepung terigu memiliki cooking loss yang kecil, karena memiliki banyak

amilosa yang memiliki struktur gel yang kuat. Menurut Pratama dan Nisa (2014)

20

semakin banyak tepung substitusi yang ditambahkan maka proporsi tepung terigu

yang ditambahkan semakin sedikit, sehingga kemampuan gluten untuk mengikat

bahan semakin menurun. Cooking time yang lama juga diduga mempengaruhi

nilai cooking loss yang tinggi. Sehingga jika dilihat dari data tersebut, mi mentah

dan mi telur yang tidak ditambahkan tepung substitusi seharusnya memiliki jumlah

gluten yang lebih banyak karena menggunakan tepung terigu saja sehingga

seharusnya memiliki nilai cooking loss yang rendah. Faktor yang dapat

mempengaruhi cooking loss ini terdapat pada jenis tepung yang digunakan pada

pembuatan mi, karena gluten memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan tiga

dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula pada bahan dan pada saat

pemasakan air rebusan tidak dijaga ±90% dari berat awal sehingga air rebusan

sangat sulit untuk disaring. Selain itu, suhu pemasakan yang terlalu lama juga dapat

mempengaruhi cooking loss ini karena, pada saat perebusan terjadi penetrasi air ke

dalam granula pati sehingga menyebabkan terjadinya pengembangan granula pati

dan peningkatan kekentalan pada pati. Maka pada saat pemanasan suhu tinggi

padatan pati yang terkandung dalam mi akan mudah hilang atau keluar

(Safriani dkk., 2013). Selain itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi lebih

banyak menyerap air pada proses pemasakan tetapi menjadi lebih cepat menyerap

kembali dan cepat keras, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung

menyerap air lebih banyak. Tingkat pengembangan dan penyerapan air tergantung

pada kandungan amilosa. Makin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk

menyerap dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai

21

kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar dari pada amilopektin

(Alam dkk., 2007).

1. Swelling Index

Analisis swelling index ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak

pengembangan yang dapat terjadi apabila mi kering dimasak. Indeks ini dinyatakan

dalam perbandingan selisih berat mi basah dan mi kering terhadap berat mi kering.

Bila pati dalam air dipanaskan, air akan menembus granula pati dari luar menuju

bagian dalam hingga granula terisi air sepenuhnya (terhidrasi). Setelah terhidrasi,

ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin akan berusaha mempertahankan

integritas granula dan mulai terjadi pembengkakan (swelling) dari inti granula. Mi

dengan kualitas yang baik harus memiliki swelling index yang tinggi. Tingginya

swelling index mengindikasikan kemampuan mi dalam menyerap air yang tinggi.

Dengan kemampuan menyerap air yang tinggi, akan diperoleh mi dengan tekstur

yang kenyal dan tidak mudah putus. Swelling index juga dipengaruhi oleh

kemampuan pati untuk mengikat air melalui pembentukan ikatan hydrogen. Setelah

gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan

hidrogen dengan air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula granula pati

mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan

karena banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan granula pati yang

mengembang tersebut mengakibatkan swelling index menjadi meningkat

(Herawati, 2009).

Konsentrasi zat aditif tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

swelling index mi. Semakin banyak zat aditif yang ditambahkan, seharusnya akan

22

membuat nilai swelling index akan bertambah kecil. Hal ini terjadi karena dengan

adanya penambahan zat aditif (Carboxymethyl Cellulose (CMC) dan xanthan gum)

akan menghambat proses masuknya air ke dalam pati. Menurut Widyaningsih dan

Murtini (2006) semakin banyak Carboxymethyl Cellulose (CMC) yang

ditambahkan, maka akan membuat tekstur mi semakin keras dan daya rehidrasi mi

menjadi berkurang.

2. Rendemen

Rendemen merupakan nisbah antara hasil yang diperoleh dengan bahan dasar.

Nilai rendemen berubah akibat perbedaan formulasi tepung terigu dan bengkuang

modifikasi. Rerata nilai rendemen mi instan berkisar antara 158,17 – 204,42%,

semakin tinggi proporsi tepung bengkuang modifikasi yang diberikan, maka

rendemen yang dihasilkan semakin menurun. Rendemen yang tinggi dipengaruhi

oleh jumlah massa adonan dan kemampuan suatu bahan dalam menyerap air.

Semakin tinggi penambahan proporsi tepung bengkuang modifikasi membentuk

adonan yang sedikit lengket sehingga diduga rendemen berkurang karena massa

yang hilang saat proses pencetakan yaitu berupa sisa adonan yang menempel pada

alat pencetak mi (Setiyoko dkk., 2018).

3. Cooking Time

Cooking time adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan titik putih

di bagian tengah dalam untaian mi pada saat proses pemasakan (Basman dan

Yaclin, 2011). Terigu mengandung protein yang tinggi yang mampu menyerap air

yang tinggi, sehingga dengan tingginya penyerapan air maka waktu pemasakannya

akan semakin singkat (Halwan dan Nisa, 2015). Salah satu faktor yang

23

mempengaruhi cooking time adalah proporsi air. Dimana semakin tinggi kadar air

maka akan semakin cepat waktu pemasakan. Semakin tinggi suhu panas maka

semakin cepat transfer panas yang diterima oleh air yang terdapat dalam bahan

sehingga dengan cepatnya transfer panas tersebut dan mempengaruhi cooking

time (Khoiri, 2013).

4. Tensile Strenght

Tensile strength sangat berhubungan dengan kandungan protein. Uji korelasi

menunjukkan hasil analisis tensile strength berbanding lurus dengan hasil analisis

kadar protein. Semakin rendah kadar protein makan nilai tensile strength juga akan

menurun. Hal ini dikarenakan ikatan peptida yang pendek sehingga tidak

dibutuhkan energi yang besar untuk memutus ikatan tersebut. Daya putus (Tensile

Strength) merupakan nilai gaya yang diperlukan untuk memutus untaian mi. Tensile

strength sangat cocok digunakan sebagai parameter kekuatan dari mi (Chansri dkk.,

2005). Menurut Djuragic dkk.,(2009) keseragaman ukuran bahan merupakan faktor

yang sangat penting dalam proses mixing. Penyebab mudah putusnya mi adalah

ukuran dari partikel tepung yang sudah mengalami swellingjauh lebih besar

daripada komposisi lainnya, sehingga bagian tersebut yang akan putus terlebih

dahulu pada saat dianalisis menggunakan tensile strength.

Tensile strength atau daya regang berhubungan dengan kadar protein, dimana

kadar protein yang tinggi memberikan nilai daya putus yang tinggi pula. Hal ini

karena dengan semakin tinggi kadar protein berarti semakin panjang ikatan

peptidanya, sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk memutuskan ikatan

24

peptidanya tersebut (Horseney,1994 dalam Umri, 2016). Sampel mi sebanyak 50

gram dililitkan pada alat pengukurtensile strength(Texture AnalyzermerkLoyd).

Pengait akan menarik mi hingga putus kemudian tensile strengthdihitungmelalui

instrumen sensor yang terhubung pada alat pengukur (Riki dkk.,2013).

I. Uji Tingkat Kesukaan

Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan

penilaian dengan alat pengindera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan

peraba. Melalui hasil pengujian organolpetik akan diketahui daya penerimaan

panelis (konsumen) terhadap produk tersebut (Soekarto,1985).

Organoleptik merupakan pengujian berdasarkan pada proses pengindraan.

Pengindraan artinya suatu proses fisio psikologis, yaitu kesadaran pengenalan alat

indra terhadap sifat benda karena adanya rangsangan terhadap alat indera

dari benda itu. Kesadaran kesan dan sikap kepada rangsangan adalah reaksi

dari psikologis atau reaksi subjektif. Disebut penilaian subjektif karena hasil

penilaian ditentukan oleh pelaku yang melakukan penilaian (Agusman, 2013).

Sifat organoleptik bahan dan produk pangan merupakan hal pertama yang

diperhatikan oleh konsumen, sebelum mereka menilai lebih jauh misalnya pada

aspek nilai gizinya. Di industri pangan, pengujian sifat organoleptik dapat

dilakukan untuk tujuan pengembangan dan pengujian mutu produk. Kesimpulan

yang diperoleh dari suatu pengujian organoleptik sangat tergantung pada tahap

persiapan, keterandalan panelis, sarana dan prasarana, jenis analisis organoleptik

serta metode analisis data. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk

dapat melakukan pengujian organoleptik yang baik perlu dimiliki, untuk dapat

25

mencapai hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar mengenai penerapan

pengujian organoleptik (Soekarto,1985).

Tingkat kesukaan konsumen dapat diukur menggunakan uji organoleptik

melalui alat indera. Kegunaan uji ini diantaranya untuk pengembangan produk

baru. Penilailan dengan indera yang juga disebut penilaian organoleptik atau

penilaian sensoris merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian

dengan indera banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan

makanan (Soekarto, 1985). Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang

panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat

bahan yang diuji. Pengujian ini umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi

konsumen terhadap suatu bahan. Oleh karena itu panelis sebaiknya diambil dalam

jumlah besar, yang mewakili populasi masyarakat tertentu. Skala nilai yang

digunakan dapat berupa nilai numerik dengan keterangan verbalnya, atau

keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat diberi tanda oleh panelis. Skala

nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal (Kartika dkk., 1988).

Organ penginderaan yang berperan adalah hidung, lidah, mata dalam

menentukan keadaan benda yang dinilai. Jenis kesannya adalah spesifik

seperti: rasa manis, pahit, asin dengan intensitas kesan kuat lemahnya suatu

rangsang. Lama kesan adalah bagaimana suatu rangsang menimbulkan kesan

mudah atau tidak mudahnya hilang setelah dilakukannya pengindraan. Rasa

manis memiliki kesan lebih rendah setelah dibandingkan dengan rasa pahit

sesudahnya (Agusman, 2013). Rangsangan yang dirasakan oleh pengindraan

bisa bersifat mekanis seperti tusukan dan tekanan atau bersifat fisis seperti;

26

panas, dingin, sinar, dan warna maupun sifat kimia seperti; aroma, bau, dan

rasa (Agusman, 2013).

Penilaian organoleptik terdiri atas enam tahapan, yaitu menerima produk,

mengenali produk, mengadakan klarifikasi sifat produk yang telah diamati

dijelaskan inderawi produk. Dalam pengujian organoleptik mesti dilakukan

dengan cermat karena memiliki kelebihan dan kekurangan. Organoleptik

mumpunyai relevansi yang tinggi dengan mutu produk, karena berhubungan

langsung pada selera konsumen. Kelemahan dan keterbatasan organoleptik

diakibatkan sifat inderawi tidak dapat dideskripsikan. Panelis juga dapat

dipengaruhi oleh kondisi mental dan fisik sehingga kepekaan menurun panelis

menjadi jenuh (Meilgaard, 2000).

Pengujian bahan pangan tidak hanya dilihat dari aspek kimiawinya saja, tetapi

juga ditilik dari cita rasa dan aroma. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai

suatu produk pangan yang banyak melibatkan indera pengecap yaitu lidah, rasa

sangat dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsistensi dan interaksi dengan

komponen penyusun makanan seperti protein, lemak, vitamin dan banyak

komponen lainnya (Winarno, 1997).

Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau

kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaanya. Tingkat kesukaan

ini disebut skala hedonik. Misalnya dalam hal “ suka “, dapat mempunyai skala

hedonik seperti : amat sangat suka, sangat suka, agak suka. Sebaliknya jika

tanggapan itu “tidak suka “, dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat

tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka. Diantara agak suka dan

27

agak tidak suka kadang kadang ada tanggapan yang disebut netral, yaitu bukan suka

tetapi juga bukan tidak (Soekarto, 1985).

Menurut Anonim (2005) mi basah yang baik mempunyai ciri-ciri berwarna

putih atau kuning, tekstur agak kenyal, dan tidak mudah putus. Warna mi

kecoklatan pada mi basah disebabkan karena terjadinya reaksi mailard. Reaksi

tersebut terjadi karena reaksi antara karbohidrat gula pereduksi dengan gugus amina

primer protein (Winarno, 2004). Mi basah memiliki rasa khas tepung dan rasa gurih

hal ini disebabkan oleh kandungan protein yang terdapat pada mi basah sehingga

pada saat perebusan protein akan terdenaturasi menjadi asam amino (Mualim dkk.,

2013). Salah satu amino yang dapat menimbulkan rasa yang lezat adalah asam

amino glutamate (Winarno, 2004).

J. Hipotesis

Subtitusi tepung bengkuang HMT (Heat Moisture Teatment) dan

penambahan CMC (Carboxymethyl Cellulose) diduga mempengaruhi sifat fisik dan

tingkat kesukaan mi basah.