ii. tinjauan pustaka 4.1 pencemaran udara · dikelompokkan dalam beberapa golongan antara lain: (1)...

20
11 II. TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Pencemaran Udara Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menghendaki agar setiap usaha pembangunan yang dilakukan tetap memelihara kondisi lingkungan. Salah satu aspek lingkungan adalah udara, dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen yang merupakan komponen esensial bagi kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi udara juga sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya pada ekosistem global khususnya menyangkut pemanasan global yang terkait dengan masalah pencemaran udara. Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap tergantung pada keadaan suhu, tekanan dan lingkungan sekitarnya. Udara yang masih bersih dan bebas dari bahan pencemar merupakan campuran berbagai gas dengan berbagai konsentrasi. Nitrogen dalam bentuk N 2 terdapat sebanyak 78%, oksigen dalam bentuk O 2 terdapat sebanyak 21% sementara argon (Ar) hanya 1% dari total gas. Gas-gas karbondioksida (CO 2 ), helium (He), neon (Ne), xenon (Xe) dan kripton (Kr) masing-masing hanya terdapat sebanyak 0.01% dari total gas. Beberapa jenis gas terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dalam udara bersih. Gas-gas tersebut seperti Metana (CH 4 ), karbon monoksida (CO), amoniak (NH 3 ), dinitrogen monoksida (N 2 O), dan hidrogen sulfida (H 2 S). Gas-gas ini berpotensi sebagai pencemar, karena meningkatnya jumlah gas-gas ini di udara akan menyebabkan terjadinya pencemaran udara (El- Fadel, 2004). Pencemaran udara saat ini telah menjadi salah satu masalah lingkungan utama baik di negara berkembang maupun negara maju. Pencemaran udara di daerah perkotaan merupakan fenomena baru dalam masalah perencanaan kota yang mendapat perhatian yang terus meningkat. Hal ini terutama disebabkan karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di seluruh dunia yang mendorong para pembuat kebijakan untuk melakukan pengelolaan terhadap pencemaran udara yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih kontaminan atau polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu

Upload: vodat

Post on 11-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Pencemaran Udara

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

menghendaki agar setiap usaha pembangunan yang dilakukan tetap memelihara

kondisi lingkungan. Salah satu aspek lingkungan adalah udara, dimana di

dalamnya terkandung sejumlah oksigen yang merupakan komponen esensial bagi

kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi udara

juga sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya pada ekosistem

global khususnya menyangkut pemanasan global yang terkait dengan masalah

pencemaran udara.

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya

tidak tetap tergantung pada keadaan suhu, tekanan dan lingkungan sekitarnya.

Udara yang masih bersih dan bebas dari bahan pencemar merupakan campuran

berbagai gas dengan berbagai konsentrasi. Nitrogen dalam bentuk N2 terdapat

sebanyak 78%, oksigen dalam bentuk O2 terdapat sebanyak 21% sementara argon

(Ar) hanya 1% dari total gas. Gas-gas karbondioksida (CO2), helium (He), neon

(Ne), xenon (Xe) dan kripton (Kr) masing-masing hanya terdapat sebanyak

0.01% dari total gas. Beberapa jenis gas terdapat dalam jumlah yang sangat

sedikit dalam udara bersih. Gas-gas tersebut seperti Metana (CH4), karbon

monoksida (CO), amoniak (NH3), dinitrogen monoksida (N2O), dan hidrogen

sulfida (H2S). Gas-gas ini berpotensi sebagai pencemar, karena meningkatnya

jumlah gas-gas ini di udara akan menyebabkan terjadinya pencemaran udara (El-

Fadel, 2004).

Pencemaran udara saat ini telah menjadi salah satu masalah lingkungan

utama baik di negara berkembang maupun negara maju. Pencemaran udara di

daerah perkotaan merupakan fenomena baru dalam masalah perencanaan kota

yang mendapat perhatian yang terus meningkat. Hal ini terutama disebabkan

karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di seluruh dunia yang

mendorong para pembuat kebijakan untuk melakukan pengelolaan terhadap

pencemaran udara yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan.

Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih

kontaminan atau polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu

12

keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian manusia, tumbuhan, binatang dan

atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam

melakukan aktivitas hidup (Fardiaz, 1992). Materi yang diemisikan ke atmosfer

oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa

masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara, pemanasan

global, dan rusaknya infrastruktur bangunan (Cheng, 2006).

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran

dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang

terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitar. Kecepatan

penyebaran akan tergantung pada keadaan geografis dan meteorologis setempat.

Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia.

Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya daya dukung alam yang

selanjutnya akan mengurangi kualitas hidup manusia.

Menurut Soedomo (2001), sumber Pencemar udara umumnya

dikelompokkan dalam beberapa golongan antara lain: (1) sumber titik, dimana

yang termasuk dalam kelompok ini adalah titik cerobong asap industri, (2) sumber

garis, yang merupakan integrasi dari sumber-sumbe titik yang tak terhingga

banyaknya sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis yang seluruhnya

memancarkan pencemar udara misalnya jalan raya, dan (3) sumber area, yang

merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan sumber garis misalnya pada

kawasan industri yang sejenis.

Di samping itu menurut Fardiaz (1992) sumber pencemar udara

berdasarkan sifat kegiatannya ada 4 (empat), yaitu: (1) sumber tetap, yang berasal

dari kegiatan proses industri pengolahan, konsumsi bahan bakar dari industri dan

rumah tangga, (2) sumber tetap spesifik, yang berasal dari kegiatan pembakaran

hutan dan pembakaran sampah, (3) sumber bergerak, yang berasal dari hasil

pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, dan (4) sumber bergerak spesifik

yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kereta api, kapal laut, pesawat

dan alat berat.

Hasil kajian World Bank (2003) menyatakan bahwa 70% gas beracun yang

ada di udara terutama di kota-kota besar, berasal dari kendaraan bermotor,

sementara jumlah kendaraan di kota-kota besar terus meningkat hingga mencapai

13

15% per tahun. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan

pemakaian bahan bakar, dan hal itu akan membawa resiko pada penambahan gas

beracun di udara sementara 30% sumber pencemar udara berasal dari kegiatan

industri, rumah tangga, dan pembakaran sampah.

4.2 Komponen dan Dampak Pencemar Udara

Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu,

aerosol, timbal), dan gas (CO, NO2, SO2, H2S, HC). Sedangkan berdasarkan dari

kejadian terbentuknya pencemar terdiri dari pencemar primer (diemisikan

langsung oleh sumber) dan pencemar sekunder (terbentuk karena reaksi di udara

antar berbagai zat). Dari beberapa macam komponen pencemar udara, maka yang

paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah komponen-komponen

berikut:

1) Particulate Matter (PM10)

Partikulat adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan

uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Di samping

mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam

sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan

paru-paru. Partikulat juga merupakan sumber utama kabut asap yang menurunkan

visibilitas.

Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernapasan akan disisihkan

tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran

pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan

bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Partikel inhalable adalah

partikel dengan diameter di bawah 10 µm (PM10). PM10 diketahui dapat

meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan

pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada

anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi

penderita bronchitis (U.S. EPA, 2006).

Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya. Partikel

yang terhirup juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu partikel yang

terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang mengalami reaksi fisik-

14

kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO2

dan NOx. Umumnya partikel sekunder berukuran 2.5 mikron atau kurang.

Proporsi cukup besar dari PM2.5 adalah amonium nitrat, ammonium sulfat,

natrium nitrat dan karbon organik sekunder. Partikel-partikel ini terbentuk di

atmosfer dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar

udara lintas batas yang ditransportasikan oleh pergerakan angin ke tempat yang

jauh dari sumbernya (Molina & Molina, 2004). Partikel sekunder PM2.5 dapat

menyebabkan dampak yang lebih berbahaya terhadap kesehatan bukan saja karena

ukurannya yang memungkinkan untuk terhisap dan masuk lebih dalam ke dalam

sistem pernafasan tetapi juga karena sifat kimiawinya.

Partikel sulfat dan nitrat yang inhalable serta bersifat asam akan bereaksi

langsung di dalam sistem pernafasan, menimbulkan dampak yang lebih berbahaya

daripada partikel kecil yang tidak bersifat asam. Partikel logam berat dan yang

mengandung senyawa karbon dapat mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi

carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel

pada permukaannya. Partikel inhalable adalah partikel Pb yang diemisikan dari

kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar mengandung Pb. Timbal

adalah pencemar yang diemisikan dari kendaraan bermotor dalam bentuk partikel

halus berukuran lebih kecil dari 10 dan 2.5 µm.

Partikulat diemisikan dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan

bakar minyak, (gasoline, diesel fuel), pencampuran dan penggunaan pupuk dan

pestisida, konstruksi, proses-proses industri seperti pembuatan besi dan baja,

pertambangan, pembakaran sisa pertanian (jerami), dan kebakaran hutan. Hasil

data pemantauan udara ambien di 10 kota besar di Indonesia menunjukan bahwa

PM10 adalah parameter yang paling sering muncul sebagai parameter kritis

(KNLH, 2006).

2) Carbon Monoxide (CO)

CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak

sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak menyebabkan

iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernafasan dan diabsorpsi

di dalam peredaran darah. Karbon monoksida akan berikatan dengan haemoglobin

(yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi

15

carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan berikatan dengan

haemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya berikatan dengan O2. Secara

langsung kompetisi ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun

tajam, sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah

yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan

pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat

menyebabkan kematian (U.S. EPA, 2006).

CO diproduksi dari pembakaran bakan bakar fosil yang tidak sempurna,

seperti bensin, minyak dan kayu bakar. Selain itu juga diproduksi dari

pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Konsentrasi CO

dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan

pencemaran lokal. CO kadangkala muncul sebagai parameter kritis di lokasi

pemantauan di kota-kota besar dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti

Jakarta, Bandung dan Surabaya, tetapi pada umumnya konsentrasi CO berada di

bawah ambang batas Baku Mutu PP.41 tahun 1999 (10 000 µg/m3/24 jam).

Walaupun demikian CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara dalam

ruang (indoor air pollution) pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat

parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan mobil yang

berada di tengah lalulintas.

3) Nitrogen Oxide (NOx)

NOx adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NOx bereaksi

dengan senyawa organic volatile membentuk ozon dan oksidan lainnya seperti

peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia dan dengan air hujan

menghasilkan asam nitrat dan menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia

berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada

penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai

gangguan sistem pernafasan, serta menurunkan visibilitas. Deposisi asam basah

(hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel aerosol nitrat dan

terdeposisi ke permukaan Bumi) dapat membahayakan tanam-tanaman, pertanian,

ekosistem perairan dan hutan (Listyarini, 2008). Hujan asam dapat mengalir

memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam berat dari tanah serta

mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan

16

bahkan memusnahkan kehidupan air. NOx diproduksi terutama dari proses

pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batubara dan gas alam.

4) Sulfur Dioxide (SO2)

SO2 adalah gas yang tidak berbau bila berada pada konsentrasi rendah

tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat. Sulfur dioksida

berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara.

Pembakaran batubara pada pembangkit listrik adalah sumber utama pencemaran

SO2. Selain itu berbagai proses industri seperti pembuatan kertas dan peleburan

logam-logam dapat mengemisikan SO2 dalam konsentrasi yang relatif tinggi.

SO2 adalah kontributor utama hujan asam. Di dalam awan dan air hujan

SO2 mengalami konversi menjadi asam sulfur dan aerosol sulfat di atmosfer. Bila

aerosol asam tersebut memasuki sistem pernafasan dapat terjadi berbagai penyakit

pernafasan seperti gangguan pernafasan hingga kerusakan permanen pada paru-

paru. Pencemaran SO2 pada saat ini baru teramati secara lokal di sekitar sumber-

sumber titik yang besar, seperti pembangkit listrik dan industri, meskipun sulfur

adalah salah satu senyawa kimia yang terkandung di dalam bensin dan solar. Data

dari pemantauan kontinu pada jaringan pemantau nasional pada saat ini jarang

mendapatkan SO2 sebagai parameter kritis, kecuali pada lokasi-lokasi industri

tertentu.

4.3 Emisi Kendaraan Bermotor

Kualitas udara wilayah perkotaan sangat penting karena berdampak

langsung terhadap penduduk yang bermukim di kawasan tersebut. Polusi udara di

wilayah perkotaan telah menjadi sumber berbagai permasalahan. Permasalahan

utama menyangkut dampak kesehatan umumnya terkait dengan masalah

pernafasan, kerusakan material gedung-gedung, kerusakan monumen bersejarah,

dan terhadap vegetasi dalam kota.

Emisi kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber pencemaran

udara yang penting di daerah perkotaan. Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat

dipengaruhi oleh kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin.

Pada pembakaran sempurna, emisi paling signifikan yang dihasilkan dari

kendaraan bermotor berdasarkan massa adalah gas karbon dioksida (CO2) dan uap

air, namun kondisi ini jarang terjadi. Hampir semua bahan bakar mengandung

17

polutan dengan kemungkinan pengecualian bahan bakar sel (hidrogen) dan

hidrokarbon ringan seperti metana (CH4). Polutan yang dihasilkan kendaraan

bermotor yang menggunakan BBM antara lain CO, HC, SO2, NO2, dan partikulat.

Hal ini dibuktikan oleh beberapa kajian bahwa sektor transportasi

menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan

40% dari total pencemar PM10 untuk tahun 1995 (JICA, 2004). Sementara kajian

lain menyebutkan 73% dari total NOx dan 15% dari total PM10 (World Bank,

2003) dan studi terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total

NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari total PM10 berasal dari kendaraan

bermotor (Suhadi dan Darmantoro, 2005).

Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat

pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara substansial

dengan perbaikan sistem pembakaran dan penggunaan katalis (catalytic

converter) dan juga pengendalian manajemen lalu lintas. Walaupun diasumsikan

bahwa di masa mendatang reduksi emisi per kendaraan per kilometer akan dapat

tercapai sebagai hasil dari penerapan teknologi dan sistem kontrol emisi, namun

emisi agregat akan tetap tinggi karena jumlah sumber individu yang terus

meningkat secara signifikan. Hal ini berarti kontrol kualitas emisi harus diimbangi

dengan kontrol jumlah sumber emisi (volume kendaraan).

Hasil kajian Asian Developmen Bank (ADB) (2002), menyatakan bahwa

tingginya emisi kendaraan bermotor disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya

adalah: (1) sistem kontrol emisi kendaraan bermotor tidak diterapkan, (2)

pelaksanaan Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB) berkala untuk kendaraan

umum tidak berjalan efektif, (3) pemeriksaan emisi kendaraan di jalan sebagai

bagian dari penegakan hukum (terkait dengan pemenuhan persyaratan kelaikan

jalan) belum diterapkan, (4) kendaraan bermotor tidak diperlengkapi dengan

teknologi pereduksi emisi seperti katalis karena tidak tersedianya bahan bakar

yang sesuai untuk penggunaan katalis tersebut, (5) kualitas BBM yang rendah, (6)

penggunaan kendaraan berteknologi rendah emisi yang menggunakan bahan bakar

alternatif masih belum memadai, (7) pemahaman tentang manfaat perawatan

kendaraan secara berkala yang dapat menurunkan emisi dan meningkatkan

efisiensi penggunaan bahan bakar masih kurang, dan (8) disinsentif terhadap

18

kendaraan-kendaraan yang termasuk dalam kategori penghasil emisi terbesar

belum diperkenalkan.

Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi

rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, tetapi juga

menyebabkan kemacetan, pencemaran udara, kebisingan, tingginya konsumsi

bahan bakar, berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk

kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik. Kepadatan lalu lintas

menyebabkan rata-rata kecepatan kendaraan menurun, dimana kepadatan dan

kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada

kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas buang

minimum (Gorham, 2002).

4.4 Faktor Penyebab Pencemaran Udara

Masalah pencemaran udara pada umumnya hanya dikaitkan dengan

sumber pencemar, namun menurut Shah and Nagpal (1997) banyak faktor-faktor

lain yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya pencemaran

udara antara lain:

(1) Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi

Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang tinggi merupakan salah

satu faktor penyebab pencemaran udara yang penting di perkotaan. Pertumbuhan

penduduk dan urbanisasi mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang

semakin melebar ke daerah pinggiran kota/daerah penyangga. Sebagai akibatnya,

mobilitas penduduk dan permintaan transportasi semakin meningkat. Jarak dan

waktu tempuh perjalanan sehari-hari semakin bertambah karena jarak antara

tempat tinggal dan tempat kerja atau aktivitas lainnya semakin jauh dan kepadatan

lalu lintas menyebabkan waktu tempuh semakin lama. Indikasi kebutuhan

transportasi dapat dilihat pada pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang

pesat, di mana meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan kebutuhan akan

transportasi mengakibatkan bertambahnya titik-titik kemacetan yang akan

berdampak pada peningkatan pencemaran udara.

(2) Penataan ruang

Pembangunan kantor-kantor pemerintah, apartemen, pusat perbelanjaan

dan bisnis hingga saat ini masih terkonsentrasi di pusat kota. Bersamaan dengan

19

laju urbanisasi yang tinggi, kebutuhan akan perumahan yang layak di tengah-

tengah kota dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat banyak tidak dapat

dipenuhi. Pembangunan perumahan akhirnya bergeser ke daerah pinggiran kota

atau kota-kota penyangga karena harga tanahnya masih relatif lebih rendah

dibandingkan dengan di pusat kota. Kota penyangga pada akhirnya menjadi

pilihan tempat tinggal masyarakat yang sehari-hari bekerja di pusat kota.

Permasalahan utama dalam hal ini adalah karena pembangunan kawasan

perumahan tidak disertai dengan pembangunan sistem transportasinya. Akibatnya,

banyak masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan terpaksa menggunakan

kendaraan pribadi karena ketiadaan sistem angkutan umum yang memadai.

(3) Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi juga mendorong perubahan gaya hidup penduduk

kota sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan. Walaupun bukan menjadi

satu-satunya alasan, namun meningkatnya pendapatan ditambah dengan adanya

kemudahan-kemudahan pembiayaan yang diberikan lembaga keuangan telah

membuat masyarakat kota berupaya untuk tidak hanya sekedar dapat memenuhi

kebutuhan pokok tetapi juga berupaya meningkatkan taraf hidup atau status sosial,

misalnya dengan memiliki mobil, sepeda motor, dan barang-barang lainnya serta

menggunakannya dengan frekuensi yang lebih sering sehingga pada akhirnya

akan menambah konsumsi energi.

(4) Ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM)

Saat ini masyarakat perkotaan sangat tergantung pada sumber energi yang

berasal dari minyak bumi dengan konsumsi yang terus-menerus menunjukkan

peningkatan. Sektor transportasi merupakan konsumen BBM terbesar yang

diakibatkan terjadinya lonjakan penjualan kendaraan bermotor. Sebagai

konsekuensinya emisi gas buang kendaraan bermotor menyumbang secara

signifikan terhadap polusi udara yang terjadi di perkotaan.

Untuk waktu yang cukup lama, pemerintah Indonesia menerapkan

kebijakan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga menimbulkan

perilaku penggunaan BBM yang boros dan tidak efisien antara lain mendorong

orang untuk menggunakan kendaraan untuk melakukan perjalanan yang tidak

perlu. Dalam rangka upaya diversifikasi sumber energi dan penurunan emisi gas

20

buang dari kendaraan bermotor maupun industri, pemerintah Indonesia telah

memperkenalkan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG), serta Liquified Petroleum

Gas (LPG) sebagai pengganti BBM.

Pembakaran minyak bumi yang memiliki gugus rantai hidrokarbon yang

panjang akan lebih sulit dibandingkan dengan pembakaran gas alam yang

memiliki gugus rantai hidrokarbon yang lebih pendek, sehingga pembakaran yang

dilakukan dalam ruang mesin tidak akan dapat dilakukan dengan sempurna, dan

pada akhirnya tentu akan menghasilkan emisi gas buang yang lebih tinggi.

Dengan demikian, menurunnya proporsi minyak bumi dalam bauran energi

membawa keuntungan tersendiri terhadap upaya penurunan pencemaran udara.

Disamping itu, Indonesia merupakan salah satu penghasil bahan bakar gas,

maka selayaknya pemerintah memprioritaskan dan mengupayakan pemanfaatan

bahan bakar gas tersebut di dalam negeri, karena selain akan dapat menurunkan

pencemaran udara hal ini juga akan dapat mengurangi beban masyarakat,

termasuk industri, karena harga bahan bakar gas lebih murah dibanding bahan

bakar minyak.

(5) Partisipasi masyarakat

Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan

pengendalian pencemaran udara, melalui kegiatan kampanye peningkatan

kesadaran masyarakat mengenai polusi udara serta berupaya untuk melibatkan

masyarakat dalam menetapkan suatu kebijakan. Kendala utama pelaksanaan

kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat oleh pemerintah adalah terbatasnya

anggaran yang tersedia. Permasalahan lainnya adalah ketidaktersediaan sarana dan

prasarana yang memadai bagi institusi-institusi yang bertanggung jawab dalam

bidang informasi dan komunikasi.

Kurangnya koordinasi antara institusi teknis terkait dengan institusi-

institusi di bidang informasi dan hubungan masyarakat juga merupakan kendala

sehingga kegiatan peningkatan perhatian masyarakat tidak dapat dilaksanakan

secara efektif. Terbatasnya data dan informasi yang diperlukan oleh masyarakat

untuk lebih memahami masalah pencemaran udara juga menjadi kendala. Pada

beberapa kasus, meskipun data tersedia namun masyarakat sulit mendapatkannya.

21

4.5 Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor

Pencemaran udara dari sektor transportasi merupakan sumber yang

dominan di daerah perkotaan. Pengendalian harus mencakup upaya-upaya

pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat

emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang

mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap

kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh, atau (2) penurunan jumlah

dan kerapatan total kendaraan di dalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001).

Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial

yang ditimbulkan sekecil mungkin.

Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang

luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana

transportasi, serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang

menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara

perkotaan adalah (Eggleston, 2000): (1) tidak seimbangnya prasarana lalu lintas

dengan jumlah kendaraan yang ada, (2) pola berkendara (driving pattern), dan (3)

jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor.

Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan dan yang paling efisien

diarahkan kepada pengendalian pada sumber polutannya atau penyebab terjadinya

pencemaran (ditunjukkan dengan garis terputus pada diagram dalam Gambar 2).

Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara

parsial dilakukan dengan pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan

atau wilayah tertentu, misalnya kawasan satu arah dan pembatasan waktu melintas

bagi truk dengan tonase tertentu, atau pemberlakuan jumlah penumpang minimum

untuk suatu kawasan tertentu atau yang dikenal dengan kawasan three in one di

Jakarta.

Namun perlu diperhatikan bahwa pengendalian kepadatan lalu lintas di

suatu kawasan tanpa upaya mengurangi volume kendaraan secara keseluruhan

tidak akan mengurangi emisi gas buang total karena yang terjadi adalah

pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan ke ruas jalan lain. Selain itu

pola berkendaran (driving cycle) merupakan salah satu faktor transportasi penting

yang akan secara langsung mempengaruhi jumlah dan intensitas emisi pencemar

22

udara yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor ke atmosfer. Pola berkendara dan

kecepatan rata-rata akan sangat mempengaruhi jumlah pelepasan senyawa-

senyawa pencemar tersebut. Indonesia hingga kini belum memiliki pola

berkendara baku yang digunakan untuk pengujian kendaraan bermotor.

Konsep umum pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari

kendaraan bermotor dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsep pengendalian pencemaran emisi kendaraan bermotor (Sumber: Soedomo, 2001)

Variabel Ekonomi

Perencanaan Kota

Sistem Transportasi

Pola Lalu Lintas

Jumlah Trip (Kend/km)

BBM

Jumlah Kendaraan

Faktor Emisi

Emisi Pencemar

Dispersi-difusi

Konsentrasi Ambien

Meteorologi

Reseptor

Baku Mutu

Pengendalian Emisi Kendaraan

Bermotor

23

4.6 Fungsi Dose-response

Dampak pencemaran udara di wilayah perkotaan dapat berupa gangguan

kesehatan pada manusia dan kerusakan pada lingkungan hidup lainnya. Karena

itu, baku mutu udara ambien terbagi atas baku mutu untuk melindungi kesehatan

manusia (primary) dan kesejahteraan umum (publik welfare) termasuk untuk

melindungi menurunnya daya pandang, dampak pada hewan dan tumbuhan, dan

gedung atau bangunan atau secondary (Wang et al. 2005)

Pengaruh pencemaran terhadap kesehatan manusia dapat diestimasi

menggunakan fungsi dose-response atau fungsi dosis tanggapan. Fungsi dosis

tanggapan secara definisi merupakan hubungan antara setiap rangsangan yang

dapat diukur baik secara fisik, kimiawi atau biologi, dan tanggapan mahluk hidup

dalam arti reaksi yang dihasilkan terhadap ranah kuantitatif yang sama (Ostro et

al., 1999). Tanggapan terhadap pencemaran akan berbeda sesuai hubungan antara

pengaruh pencemaran tersebut dengan dosis yang diberikan sehingga kunci utama

dalam fungsi dose-response adalah keberadaan dari ambang batas, kemiringan

fungsi dose-response dan kurva dose-response (Aunan et al., 2004).

Adanya ambang batas bagi toksikan merupakan bagian dari kemampuan

lingkungan atau ekosistem dalam mempertahankan keseimbangan tarhadap

gangguan yang masuk ke dalam ekosistem tersebut. Keadaan di mana pengaruh

dari toksikan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan disebut keadaan

homeostatis. Homeostasis merupakan istilah yang diterapkan kepada

kecenderungan sistem-sistem biologi untuk bertahan terhadap perubahan-

perubahan dan tetap berada dalam keadaan keseimbangan. Keseimbangan tersebut

terjadi karena adanya daya tampung lingkungan yang ditentukan oleh daya

adaptasi unsur-unsur dalam ekosistem tersebut. Gangguan terhadap ekosistem

yang melampaui daya adaptasi lingkungan akan merusak lingkungan tersebut

(Soemarwoto, 2000).

Respon yang dihasilkan akan berbeda untuk penambahan dosis dari zat

pencemar. Untuk waktu kontak yang sama penambahan dosis zat pencemar akan

menyebabkan meningkatnya jumlah penanggap (Ostro et al., 1999). Di samping

itu penambahan dosis zat pencemar juga akan menggeser pengaruh zat pencemar

pada penanggap. Dengan kata lain jumlah pencemaran yang meningkat akan

24

menyebabkan meningkatnya penduduk yang terkena dampak dan pengaruhnya

juga akan meningkat misalnya dari yang sublethal ke lethal. (Xing et al., 2011;

Zhang, 2010) Fungsi dose-response yang digunakan untuk mengestimasi dampak

pencemaran pada kesehatan akan dipengaruhi oleh kondisi iklim, sosial budaya

dari suatu wilayah.

4.7 Analytical Hierarchy Process (AHP)

AHP merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk membuat

keputusan yang efektif melalui strukturisasi kriteria majemuk ke dalam struktur

hirarki, menilai kepentingan relatif setiap kriteria, membandingkan alternatif untuk

tiap kriteria dan menentukan seluruh rangking dari alternatif-alternatif. AHP yang

dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan

situasi kompleks dan tidak berstruktur kedalam bagian komponen yang tersusun

secara hirarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP

memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari

komponen dalam hirarki yang telah disusun.

Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks tak

struktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau variabel ke

dalam suatu hirarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan ada setiap variabel

dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai pertimbangan tersebut

untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dalam mempengaruhi

hasil. Menurut Marimin (2005), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu

persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis, dan dinamik menjadi bagian-

bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki.

Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, ada beberapa prinsip yang

harus dipahami diantaranya: decompotition, comparative judgement, synthesis of

priority, dan logical consistency. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut

bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen pertanyaan yang biasa diajukan dalam

penyusunan skala kepentingan. Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika

membandingkan dua elemen, responden yang akan memberikan jawaban perlu

pengertian menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya

terhadap kriteria/tujuan yang ingin dicapai.

Menurut Saaty (1993), teknik komparasi berpasangan yang digunakan

25

dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden.

responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik

permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh

anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement). Nilai dan definisi

pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Skala komparasi pada Penilaian AHP

Nilai Skala Definisi

1 Sama pentingnya

3 Sedikit lebih penting

5 Jelas lebih penting

7 Sangat lebih penting

9 Mutlak lebih penting

2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

Sumber: Saaty (1993)

Keuntungan proses hirarki analitis menurut Marimin (2005) adalah:

a. Konsistensi, mampu melacak konsistensi logis dari pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagaiprioritas.

b. Sintesis, menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap

alternatif.

c. Pengukuran, mampu memberi suatu skala untuk mengukur hal tak wujud

dan suatu metode untuk menetapkan prioritas.

d. Kompleksitas, mampu memadukan ancangan deduktif dan ancangan

berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks.

e. Kesatuan, memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes

untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

f. Saling ketergantungan, mampu menangani saling ketergantungan elemen-

elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4.8 Model dan Pemodelan Sistem

Model didefinisikasn sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau

situasi aktual, substitusi dari sistem nyata, abstraksi atau representasi dari suatu

realitas atau sistem nyata (Eriyatno, 2003; Ford, 1999), dimana sistem nyata

adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan atau sistem yang

26

dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Model merupakan penyederhanaan

sistem (Hartrisari, 2007). Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin

membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam

sistem. Model dapat dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek dari

realitas yang dikaji. Selain itu model merupakan representasi yang ideal bagi

suatu sistem untuk menjelaskan perilaku sistem (DSF, 2011).

Hartrisari (2007), mengelompokkan model dalam 2 (dua) kategori yaitu

model fisik dan model abstrak atau model mental. Model fisik merupakan

miniatur replika dari keadaan sebenarnya sehingga dapat menggambarkan

perilaku sistem dengan variabel yang sama seperti yang digunakan pada sistem

nyata. Model abstrak merupakan model yang bukan fisik tetapi dapat menjelaskan

kinerja dari sistem. Baik model fisik maupun model abstrak dapat dibagi lagi

menjadi model statis dan model dinamis. Model dinamis memberikan gambaran

nilai variabel terhadap perubahan waktu, sedangkan model statis tidak

memperhitungkan waktu yang selalu berubah.

Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang

dimulai dengan mengidentifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat

menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Menurut Eriyatno

(2003) pada pendekatan sistem dalam penyelesaian suatu permasalahan selalu

ditandai dengan: (1) pengkajian terhadap semua faktor penting yang berpengaruh

dalam rangka mendapatkan solusi untuk pencapaian tujuan, dan (2) adanya

model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga

permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.

Dalam merumuskan model, tahapan yang perlu dilakukan meliputi:

a. Analisis kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem

(Eriyatno, 2003). Dalam melakukan analisis kebutuhan, dinyatakan kebutuhan-

kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap

kebutuhan yang dideskripsikan.

b. Formulasi Masalah

Adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda diantara peran

stakeholder, akan menimbulkan conflict of interest dalam sistem. Untuk

27

memetakan berbagai kepentingan stakeholder diperlukan analisis formulasi

masalah sistem.

c. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan

dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan

dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi tersebut adalah

memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling

mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem.

Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-

akibat (causal loop), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke

dalam konsep kotak gelap (black box). Dalam penyusunan black box jenis

informasi dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu peubah input, peubah output

dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.

d. Simulasi Model

Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi

bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan

peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan

melalui tahap-tahap: (1) penyusunan konsep, (2) pembuatan model, (3) simulasi,

dan (4) validasi hasil simulasi (Muhammadi et al.2001).

e. Pengujian model

Model merupakan penyederhanaan dari sistem. Dalam pengkajian sistem

perlu ditetapkan tolok ukur model yang baik untuk meyakinkan bahwa model

yang dibangun sesuai untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan

tujuan yang ingin dicapai, sehingga dapat digunakan untuk pengambilan

keputusan ataupun kebijakan (Hartrisari, 2007).

Menurut Muhammadi et al. 2001), ada beberapa pengujian yang dilakukan

terhadap model, antara lain:

1) Uji validitas struktur

Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori

empirik.

2) Uji validitas kinerja

28

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan

dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara

memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output model dengan

data empirik. Ada beberapa teknik uji statistik yang dapat digunakan antara lain

AME (absolute mean error) dan AVE (absolute variation error) dengan batas

penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5 sampai 10%.

3) Uji kestabilan model

Uji ini dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan model dalam

dimensi waktu. Uji dilakukan dengan cara menguji struktur model agregat yang

diwakili oleh sub-submodel (variabel utama). Pengujian dilakukan terhadap

output masing-masing model. Model dikatakan stabil jika struktur model agregat

dan disagregat memiliki kemiripan.

4.9 Metode Sistem Dinamik

Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan

terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan

esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi et al., 2001).

Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu

teori umpan balik, cybernetic, dan simulasi komputer (Soebagjo, 2007). Prinsip dan

konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk

memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan

dari masing-masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk

membentuk sinergi.

Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk

mengilustrasikan sistim yang kompleks serta menganalisis implikasi-implikasi

relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem sebagai suatu

kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling berinteraksi dan

menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Sistem dinamik dapat memberikan

informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap mekanisme yang

tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan.

Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar

terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu :

1) Tahap seleksi konsep dan variabel

29

Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki

relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka

berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map),

yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya.

Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap

asumsi-asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan

hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang

relevan akan diabaikan.

2) Konstruksi model (tahap pengembangan model)

Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat)

kedalam model dinamiknya dengan bantuan perangkat lunak (software). Model yang

telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi.

3) Tahap analisis sensitivitas

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai

pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan

mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel-variabel yang kurang (tidak)

berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan

pada variabel kunci.

4) Analisis kebijakan

Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap

model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan

alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model.

Pada variabel sistem dinamik dikenal variabel level atau stok, variabel

rate, dan variabel auxiliary. Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran

dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan

powersim untuk aliran level adalah:

Init LEV = kondisi awal Flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM) dimana: LEV = level (unit) RM = rate (laju) masukan RK = rate (laju) keluaran dt = interval waktu simulasi (satuan waktu) Init = initial (nilai awal) Flow = aliran untuk variabel level

30

Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau

berkurangnya suatu level. Rate terdiri dari 2 jenis, yaitu rate masuk dan rate

keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan

dilambangkan dengan katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar

ditunjukkan dengan katub yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbol

awan menunjukkan source dan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar

level.

Aliran informasi dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang

tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu

sistem. Jika aliran informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak akan

mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level.

Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan

dalam merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang

membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan

dengan suatu lingkaran penuh. Simbol belah ketupat dalam powersim

menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses

simulasi.

Gambar 3 berikut merupakan contoh gambaran umum diagram alir model

dinamik dengan aplikasi perangkat lunak powersim.

Gambar 3. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim