ii. tinjauan pustaka (2).docx
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alga
Menurut Sulistijono (2009), alga merupakan tumbuhan bersel banyak yang
tidak memiliki sistem vaskular serta tidak memiliki daun, tunas atau akar. Alga
adalah organisme berklorofil, tubuhnya merupakan talus (unisellular atau
multisellular), alat reproduksi pada umumnya berupa sel tunggal, meskipun ada
juga alga yang alat reproduksi tersususun dari banyak sel. Habitat alga adalah
ditempat yang berair, misalnya air sungai, kolam, rawa,laut, tanah yang lembab,
pohon dan sebagainya. Alga ditemukan disumber air panas, disalju daerah dan
puncak gunung yang tinggi, bahkan diperairan yang mengandung boraks di
lamongan juga ditemukan.
Beberapa alga memiliki siklus hidup dengan pergiliran generasi
multisellular haploid dan diploid. Beragam siklus hidup telah berevolusi di antara
alga coklat, alga merah, dan alga hijau multiseluler. Siklus yang paling kompleks
meliputi pergiliran generasi (altenation of generations), pergiliran bentuk haploid
multiseluler dan bentuk diploid multisellular. (perhatikan bahwa kondisi haploid
dan diploid bergantian dalam semua siklus hidup seksual - gamet manusia.
Misalnya, adalah suatu tahap haploid- akan tetapi istilah pergiliran generasi
hanya dipakai untuk siklus hidup yang meliputi tahapan haploid dan diploid yang
keduanya adalah organisme multisellular) (Campbell, 2002).
5
2.1.1.Chlorella sp.
Chlorella merupakan alga hijau yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Fillum : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Family : Chlorellacea
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
Gambar 1. Chlorella sp.
Sumber: http://cholorella.blogspot.com
Sel Chlorella sp. berbentuk bulat atau bulat telur dan umumnya merupakan
alga bersel tunggal (unicellular), meskipun kadang-kadang dijumpai bergerombol.
Diameter selnya berkisar antara 2 - 8 μm, berwarna hijau, dan dinding selnya
keras yang terdiri dari selulosa dan pektin, serta mempunyai protoplasma yang
berbentuk cawan. Chlorella sp. dapat bergerak tetapi sangat lambat sehingga pada
pengamatan seakan-akan tidak bergerak (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Morfologi Chlorella sp. menurut habitatnya terdapat dua macam chlorella yaitu
chlorella air tawar dan chlorella air laut. Bentuk sel chlorella adalah bulat atau
buat telur, merupakan alga bersel tunggal. Namun kadang-kadang dijumpai
bergerombol. Diameter selnya 2 - 8 μm, berwarna hijau karena klorofil
merupakan pigmen dominan yang dimilikinya. Dinding selnya keras karena
6
tersusun atas selulosa dan pectin. Sel ini mempunyai protoplasma yang berbentuk
cawan (Rostini, 2007).
Martosudarmo dan Wulan (1990), mengemukakan bahwa alga hijau dapat
ditemukan di habitat air tawar maupun air asin. Jenis alga hijau yang biasa
digunakan dalam budidaya yaitu Scenedesmus dan Chlorella sp. Menurut
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Chlorella sp. bersifat kosmopolit yang dapat
tumbuh di mana-mana, kecuali pada tempat yang sangat kritis bagi kehidupannya.
Alga ini dapat tumbuh pada salinitas 0 - 35 ppt. Salinitas 10 - 35 ppt merupakan
salinitas optimum untuk pertumbuhan alga ini.
Menurut Djarijah (1995), Chlorella sp. berkembang biak secara vegetatif
(aseksual) dan generatif (seksual). Perkembangbiakan secara vegetatif diawali
dengan membentuk spora. Setiap sel induk Chlorella sp. akan mengeluarkan
zoospora yang disebut aplanospora sebanyak 8 buah. Selanjutnya aplanospora
berkembang menjadi individu-individu baru. Setiap aplanospora yang telah
dewasa akan mengeluarkan 8 aplanospora baru dan seterusnya selama kondisi
lingkungan memungkinkan. Perkembangbiakan sel Chlorella sp. secara generatif
belum banyak diketahui.
Pertumbuhan alga dalam volume terbatas dapat terlihat 5 fase, yaitu :
a. Fase Kelambanan (Lag Phase)
b. Fase Eksponensial (Exponential Phase)
c. Fase Penurunan Kecepatan Pertumbuhan (Declining Relative Growth
Phase)
d. Fase Stasioner (Stationary Phase)
e. Fase Kematian (Death Phase)
7
Kunci keberhasilan produksi alga adalah mempertahankan semua budidaya pada
fase eksponensial dan stasioner (Rostini, 2007).
2.2. Diatom
Diatom merupakan anggota phytoplankton terbanyak di laut, terutama di
laut terbuka, dengan ukuran berkisar 0,01 – 1,00 mm. Selain sebagai plankton,
diatom banyak terdapat pada dasar perairan yang masih dapat ditembus cahaya
matahari sebagai bentos, atau menempel pada benda-benda lain (benda hidup
maupun mati) sebagai perifiton (Hoek dkk. 1995).
Diatom merupakan nama lain dari kelas Bacillariophyceae, salah satu dari
anggota dari divisi Bacillariophyta. Diatom disebut juga golden brown algae
karena memiliki pigmen warna kuning lebih banyak daripada pigmen warna hijau.
Pigmen tersebut yang menjadikan suatu perairan yang padat diatomnya akan
terlihat berwarna agak cokelat muda (Sachlan, 1982).
2.2.1.Skeletonema costatum
Skeletonema termasuk dalam salah satu jenis Diatome yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Bacillariophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Bacillariales
Sub Ordo : Coscinodiscine
Genus : Skeletonema
Spesies : Skeletonema costatum
8
Gambar 2. Skeletonema costatum Sumber: http://dnr.state.md.us
Skeletonema costatum merupakan alga bersel tunggal dengan ukuran sel
antara 4 - 15 μm, dapat membentuk untaian rantai yang terdiri dari beberapa sel.
Selya berbentuk kotak terdiri atas hipoteka dan epiteka. Bagian hipoteka
mempunyai lubang-lubang yang berpola khas yang tersusun atas silicon oksida.
Warna selnya adalah coklat karena dipengaruhi oleh adanya pigmen karotenoid
dan diatomin. Pada tiap sel memiliki frustule yang dapat menghasilkan skeletal
eksternal (Rostini, 2007).
Menurut Suminto (2005), algae kultur akan mengalami pertumbuhan secara
cepat, atau yang disebut fase pertumbuhan exponensial, hal ini ditandai dengan
penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan sel algae dan
apabila dihitung secara matematis membentuk fungsi logaritma. Kepentingan
budidaya sebaiknya sel algae dipanen pada akhir fase exponensial. Karena pada
fase ini struktur sel masih normal secara nutrisi terjadi keseimbangan antara
nutrien dalam media dan kandungan nutrisi dalam sel. Berdasarkan hasil
penelitian, pada fase akhir exponensial, didapatkan kandungan protein dalam sel
sangat tinggi, sehingga kualitas sel algae benar-benar terjaga untuk kepentingan
kultivan budidaya lebih lanjut.
9
Ekologi dan Fisiologi Skeletonema costatum Secara ekologis, berbagai
macam makanan itu dapat dikelompokkan sebagai plankton, nekton, bentos,
perifitin dan neuston. Semua ini didalam perairan akan membentuk suatu rantai
makanan dan jaringan makanan. Phytoplankton memegang peranan penting dalam
perairan, sebab Phytoplankton asal mulanya terjadi dari bahan organic, yang
kemudian dijadikan sumber makanan oleh jasad-jasad lainnya. Zooplankton dan
jasad-jasad lainnya akan berkembang Apabila tersedianya makanan yang cukup
yang berasal dari fitoplankton tersebut (Mudjiman, 2004).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), siklus hidup Skeletonema
costatum Secara normal bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan pembelahan
sel. Pembelahan sel yang terjadi berulang-ulang ini akan mengakibatkan ukuran
sel menjadi lebih kecil secara berangsur-angsur hingga generasi tertentu. Apabila
ukuran sel sudah dibawah 7 mikron, secara reproduksi tidak lagi secara aseksual
akan tetapi berganti menjadi seksual dengan pembentukan auxospora. Mula-mula
epiteka dan hipoteka ditinggalkan dan menghasilkan auxospora tersebut.
Auxospora ini akan membangun epiteka dan hipoteka baru dan tumbuh menjadi
sel yang ukurannya membesar, kemudian melakukan pembelahan sel hingga
membentuk rantai.
2.3. Rotifer
Branchionus plicatilis merupakan salah satu rotifer yang sering
dibudidayakan, dapat diklasfikasikan sebagai berikut :
Filum : Trochieminthis
Kelas : Rotatoria
10
Ordo : Monogananta
Sub ordo : Ploima
Famili : Branchioninae
Genus : Branchionus
Spesies : Branchionus plicatilis Muller
Gambar 3. Branchionus plicatilis Muller Sumber: http://rotifera.lifedesks.org
Zooplankton ini berbentuk simetris bilateral, menyerupai piala. Kulit terdiri
atas lapisan hypodermis dan kutikula. Kutikula merupakan bagian kulit yang tebal
yang disebut lorika. Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan, kaki
atau ekor. Pada bagian kepala terdapat enam buah duri. Sepasang duri yang
panjang terdapat di tengah. Ujung bagian depan dilengkapi dengan gelang-gelang
cilia yang terlihat seperti spiral yang disebut korona yang berfungsi untuk
memasukkan makanan dari mulut (Rostini, 2007).
Ekologi Rotifera menurut Rostini (2007), di kelompokkan menjadi beberapa
bagian:
1. Air Tawar : plankton (Brachionus & Asplancha)
2. Terestrial : di lumut pada musim hujan
3. Parasit : Epizoic pada insang Crustacea
11
4. Endoparasit : Pada telur siput, Volvox, dan cacing
Rotifer bereproduksi setiap 18 jam sekali. Fekunditas total untuk seekor
betina secara aseksual dan dalam kondisi yang baik maka 20 – 25 individu baru.
Kuantitas dan kualitas makanan memberikan peranan penting dalam pertumbuhan
rotifer. Rotifer memakan beraneka ragam mikroalga (Suminto, 2005).
Rotifer memiliki masa hidup yang tidak terlalu lama. Usia betina pada suhu
25oC adalah antara 6 – 8 hari sedangkan yang jantan hanya 2 hari. Rotifer
memiliki toleransi salinitas mulai dari 1 – 60 o/oo, perubahan salinitas yang tiba-
tiba dapat mengakibatkan kematian. Salinitas di atas 35 o/oo akan mencegah
terjadinya reproduksi seksual. Pencegahan ini merupakan hal yang diinginkan
dalam kultur massal karena keberadaan individu jantan dan kista akan mengurangi
tingkat pertumbuhan populasi rotifer (Suminto, 2005).
2.4. Artemia sp.
Artemia sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp.
12
Gambar 4. Artemia sp.Sumber: http://andrian-deri-alviana.blogspot.com
Menurut Rostini (2007), telur Artemia sp. berbentuk bulat berwarna
kecoklatan yang dinamakan kista. Setelah menetas telur tersebut berbentuk
panjang dan berwarna oranye yang dinamakan nauplius. Larva ini berukuran
panjang 400 - 500 μm dan mempunyai 3 pasang anggota tubuh yaitu atara sensor
kecil, atena yang berkembang sempurna dan antenna mandibular yang belum
sempurna. Setelah 12 jam larva berganti kulit menjadi stadia larva kedua. Artemia
dewasa berukuran 10 mm.
Menurut Kurniastuty dan Isnansetyo (1995), Artemia sp. secara umum
tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 - 30 derajat celcius. Kista artemia
kering tahan terhadap suhu -273 – 100oC. Artemia dapat ditemui di danau dengan
kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang
baik pada kadar garam 30 - 50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan
kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt.
Secara umum artemia denga baik pada kisaran suhu 25 - 30°C, akan tetapi
kista artemia yang kering sangat tahan terhadap suhu yang sangat ekstrim dari -
273°C - 100°C. untuk pertumbuhan biomassa yang baik memerlukan kadar
salinitas 30 – 35 ppt. Artemia termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang
mempunyai kisaran toleransi yang besar terhadap kandungan oksigen.
13
Menurut cara reproduksinya, Artemia sp. dikelompokkan menjadi dua, yaitu
yag bersifat biseksual dan partenogenetik. Artemia biseksual berkembang biak
secara secara seksual, perkembangbiakannya didahului dengan perkawinan antara
jantan dan betina. Sedangkan artemia partenogenetik bekembang biak dengan cara
betina menghasilkan telur atau naupli tanpa adanya pembuahan. Artemia baik dari
jenis biseksual maupun parthenogenesis perkembangbiakannya secara ovovivivar
ataupun ovivar tergantung kondisi lingkungan seperti salinitas, jenis dan jumlah
makanan dan kandungan oksigen. Pada salinitas tinggi akan dihasilkan kista yang
keluar dari induk betina, sedangkan pada salinitas rendah langsung menghasilkan
nauplius (Rostini, 2007).
Pemisahan naupli yang benar-benar bersih dari sisa cagkang dan dari telur
yang menetas ternyata sulit pelaksanaannya. Cangkangnya yang keras dan benar-
benar sangat mengganggu karena sukar sekali dicernakan dan mungkin
mengandung bibit penyakit serta mengotori air. Jika kista tersebut dikupas
cangkangnya terlebih dahulu, maka didapatka keuntungan :
a. Nauplius bersih dari cangkang dan telur yang tidak menetas;
b. Telur telah dibebashamakan oleh larutan dekapsulasi;
c. Hasil penetasan lebih baik karena embrio tidak bersusah payah
memecahkan cangkang yang tebal;
d. Tidak perlu penyinaran untuk penetasan; dan
e. Telur dekapsulasi yag telah telanjang dapat langsung digunakan untuk
makanan benih ikan, udang dan kepiting.
14
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), kista artemia kering tahan
terhadap suhu -273 - 100oC. Artemia memiliki sistem osmoregulasi sehingga
mampu beradaptasi pada salinitas antara 1 – 300 o/oo, tergantung jenis dan fase
dalam siklus hidupnya. Artemia yang mampu menghasilkan kista membutuhkan
kadar garam > 100 o/oo. Toleransi terhadap suhu antara 6 – 34oC, sedangkan
kisaran suhu optimum pertumbuhan artemia antara 25 – 30oC dan suhu di atas
35oC akan mengalami kematian. Kisaran pH optimum 7,6 – 8,5 dan oksigen
terlarut 4,0 – 6,5 mg/l.
2.5. Media Kultur
2.5.1.Suminto Hirayama Modifikasi
Media Suminto Hirayama modifikasi ini digunakan pada kultur mikroalgae.
Media sangat efektif dan sederhana pemakaiannya dalam kegiatan kultur
mikroalgae. Sesuai dengan namanya, media ini ditemukan oleh Suminto dan
Hirayama untuk keperluan kultur mikroalga skala kecil. Beberapa contoh
mikroalgae yang dapat dikultur pada media ini adalah Nannochloropsis oculata (2
- 4 μm), Isochrysis galbana ( 5- 7 μm), Tetraselmis chuii (7 - 10μm), Chaetoceros
gracilis (6 - 8 μm), Dunaliella tertiolecta (7 - 9 μm), dan beberapa spesies dari
Chlorella sp. (3 - 9 μm). Khusus untuk Nannochloropsis oculata yang sering
disebut sebagai chlorella jepang (Maruyama et a.l, 1986), digunakan sebagai
pakan rotifer yang penting peranannya bagi kelangsungan hidup larva ikan dan
udang.
15
Perbedaan jenis mikroalgae yang dikultur dibawah kondisi lingkungan
kultur yang sama akan menghasilkan perbedaan kandungan dan komposisi asam
lemak (Tabel 1.) (Okauchi, 1991). Demikian juga oleh Chen (1991), memberikan
contoh beberapa spesies mikroalgae yang dikultur pada kondisi yang sama
menghasilkan komposisi nilai proximat yang berbeda (Tabel 2.)
Tabel 1. Perbedaan jenis microalgae yang dikultur pada kondisi lingkungan kultur yang sama akan menghasilkan perbedaan kandungan dan komposisi asam lemak yang berbeda.
SEPESIES ALGA EPA DHA Total ω3 HUFA
Nannochloropsis oculata 30,5 12,2 42,7
Pavlova lutheri 13,8 9,7 23,5
Skeletonema costratum 13,8 1,7 15,5
Phaeodactylum tricornutum 8,6 1 9,6
Tetraselmis tetrathele 6,4 1,7 8,1
Isochysis galbana 3,5 19 22,5
Isochysis aff galbana 0,5 2,8 3,3
Tabel 2. Perbedaan jenis microalgae yang dikultur pada kondisi lingkungan kultur yang sama menghasilkan komposisi nilai proximat yang berbeda.
SpesiesProtein
Nitrogen x 6,25Lemak Karbohidrat Abu
Chaetoceros muelleri 34,75 - 38,50 33,15 19,4 14,7
Dicrateria sp. 38,06 29,09 22,45 10,4
Isochysis galbana 3011 41,53 - 46,81 22,54 22,54 8,4
Pavlova viridis 58,51 - 62,25 15,31 15,04 7,4
Tetraselmis sp. 30,06 5,16 26,68 38,1
Tetraselmia subcordiformis 46,38 5,09 27,43 21,1
16
2.5.2.EV
Salah satu media yang digunakan dalam kultur pakan alami adalah media
EV. Nama lain dari media ini adalah media Erd-Schreiber. Media EV digunakan
dalam kultur Skeletonoema costatum, karena kandungannya dinilai tepat dan
cocok untuk kebutuhan Skeletonema costatum. Adapun kandungan atau
komposisi Kimia Media EV, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia media EV.F/2 Medium (Guillard & Ryther 1962) Privasoli ES Medium (Provasoli 1968)
NaN3 150 mg/L NaN3 105 mg/
NaHPO4 8,69 mg/L Na2glycerophosphate 15 mg/
Ferric EDTA 10 mg/L Na2 EDTA 24,9 mg/
MnCl2 0,22 mg/L Fe(NH4)2 (SO4) 6H2O 10,5 mg/
CoCl2 0,11 mg/L H3BO3 3 mg/
CuSO4 5H2O 0,0196 mg/ FeCl3 6H2O 0,15 mg/
ZnSO4 7H2O 0,044 mg/L MnCl2 4H2O 0,6 mg/
Na2SiO3 9H2O 60 mg/L ZnCl2 0,075 mg/
Na2MoO4 2H2O 0,012 mg/L CoCl2 6H2O 0,015 mg/
B12 1,0 g/L B12 3 g/L
Biotin 1,0 g/L Biotin 1,5 g/L
Thiamine HCL 0,2 mg/L
2.6. Dekapsulasi
Dekapsulasi merupakan proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari
siste artemia yang keras (korion). Proses ini setidaknya akan mempermudah larva
Artemia untuk keluar dari cangkang telur tersebut. Apabila tidak berhasil menetas,
siste yang telah didekapsulasi masih bisa diberikan kepada larva ikan/burayak
dengan aman, karena korionnya sudah hilang, sehingga akan dapat dicerna dengan
mudah (Anonim, 2009). Perlakuan dekapsulasi dapat menggunakan larutan
17
NaOCl. Perlakuan ini harus disesuaikan dengan kebutuhan artemia yang akan
didekapsulasi.
Kadar air kista artemia basah 68% sedangkan kista rtemia kering kadar
airnya 9% (Anonim, 2009). Kadar air tersebut merupakan salah satu parameter
yang menentukan kualitas siste artemia, siste yang disimpan haruslah dalam
keadaan kering (kadar air rendah) agar dapat bertahan lama (tidak mudah
terserang jamur dan bakteri). Sumeru dan Anna (2008) menyatakan bahwa proses
dekapsulasi terdiri atas:
1. Hidrasi siste
2. Perlakuan dalam larutan hipoklorit
3. Pencucian dan deaktifasi residu hipoklorit
4. Dapat digunakan secara langsung ditetaskan sebagai pakan atau dehidrasi
untuk penyimpanan.
2.7. Sterilisasi
Menurut Jutono ( 1973 ), sterilisasi ialah suatu usaha untuk membebaskan
alat-alat atau bahan-bahan dari segala macam bentuk kehidupan terutama
mikrobia. Cara sterilisasi yang dipakai tergantung pada macamnya bahan dan sifat
bahan yang disterilkan (ketahanan terhadap panas = bentuk bahan yang disterilkan
yaitu padat, cair atau gas).
Menurut Hadioetomo (1990), sterilisasi basah biasanya dilakukan di dalam
autoklaf atau sterisator uap yang mudah diangkat dengan menggunakan uap air
jenuh pada suhu 121oC selama 15 menit. Adapun alasan digunakannya suhu
121oC dan waktu 15 menit adalah karena naiknya titik didih air menjadi 121oC itu
18
disebabkan oleh tekanan 1atm pada ketinggian permukaan laut. Pada praktikum
ini, sterilisasi dilakukan untuk semua alat yang digunakan dengan cara
membersihkan alat dengan detergen dan air kemudian dibungkus dengan plastik
PP dan dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 15 lbs selama
15 menit.