i. pendahuluan a. latar belakangdigilib.unila.ac.id/20246/3/skripsi refisi setelah seminar.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu komoditas ikan konsumsi air tawar yang populer adalah ikan patin.
Jenis ikan patin yang sering dibudidayakan adalah jenis ikan patin siam dan ikan
patin jambal. Jenis Patin siam sangat populer dan mudah memasyarakat,
dikarenakan mudah dikembangbiakkan dan mampu menghasilkan telur atau benih
dalam jumlah yang relatif banyak setiap kali dipijahkan. Namun, ikan patin siam
memiliki kekurangan yaitu memiliki daging yang berwarna kekuningan atau
kemerahan. Ikan patin jambal sangat diminati oleh masyarakat Sumatera dan
Kalimantan. Keunggulan ikan patin jambal adalah memiliki daging berwarna
putih yang memenuhi permintaan pasar lokal dan permintaan ekspor, namun ikan
patin jambal memiliki kekurangan yaitu ikan patin jambal sulit untuk diproduksi
massal karena menghasilkan telur atau fekunditasnya rendah.
Dalam menghadapi permintaan pasar terutama pasar lokal dan dunia akan
permintaan ikan patin berdaging putih, maka LRPTBPAT (Loka Riset Pemuliaan
dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar) Sukamandi, Subang- Jawa Barat
dilakukan persilangan atau hibridisasi antara patin siam betina dan patin jambal
jantan, yang disebut sebagai ikan “ Patin Pasupati (Ikan patin super harapan
pertiwi)”. Keunggulan dari ikan patin ini adalah memiliki daging yang berwarna
2
putih, kadar lemak yang relatif rendah, dan benih dapat diproduksi secara massal
seperti patin siam. Keunggulan ini yang menyebabkan ikan ini banyak diminati
oleh pengusaha pembudidaya ikan. Permasalahan yang masih timbul adalah
pembudidaya ikan belum mendapatkan kepadatan tebar larva yang optimal untuk
menghasilkan benih ukuran satu sampai empat inch yang siap tebar. Melalui
pemeliharaan dengan kepadatan tebar larva yang optimal dan didukung kondisi
kualitas air yang terkontrol serta pakan yang tercukupi, maka diharapkan dapat
meningkatkan sintasan dan pertumbuhan benih ikan patin pasupati. Latar
belakang ini menjadi dasar dilakukannya penelitian tentang tingkat kepadatan
tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan benih ikan patin pasupati.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kepadatan tebar yang optimal
dalam pendederan ikan patin pasupati sehingga sintasan dan pertumbuhan dapat
optimal.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan dan memberikan
informasi tentang kepadatan tebar yang optimal dalam pendederan ikan patin
pasupati sampai umur 40 hari, sehingga sintasan dan pertumbuhan dapat optimal.
Kegunaannya secara umum adalah dapat berperan dalam meningkatkan
produktivitas budidaya perikanan.
3
D. Kerangka Pemikiran
Semakin tinggi tingkat kepadatan tebar benih, berarti semakin banyak jumlah
benih per satuan luas atau volume. Faktor padat penebaran berhubungan dengan
jumlah dan bobot ikan yang ada dalam satuan luas atau volume perairan.
Penebaran ikan yang terlalu padat akan menghalangi pertumbuhan ikan. Hal ini
disebabkan oleh besarnya tingkat kompetisi antar individu terhadap makanan,
ruang gerak dan konsumsi oksigen, besarnya kandungan bahan buangan
(metabolic product) yang terkumpul dalam perairan yang dapat mengganggu
ikan, seperti amonia. Akibat dari tingginya kepadatan tebar, maka ruang gerak
ikan semakin menyempit serta persaingan terhadap makanan dan oksigen semakin
tinggi (Suyanto,1999). Penebaran benih ikan patin pasupati harus dilakukan
secara hati-hati agar tidak menimbulkan stres. Ini dilakukan dengan cara
memperhatikan kondisi air serta kesesuaian air pemeliharaan. Kepadatan tebar
benih ikan patin pasupati yang digunakan dalam penelitian adalah 25 ekor/liter,
50 ekor/liter, 75 ekor/liter, dan 100 ekor/liter. Dari keempat perlakuan ini
diharapkan kepadatan tebar yang optimal, maka sintasan dan pertumbuhan benih
ikan patin pasupati akan optimal.
Gambar 1. Kerangka Pikir
Kepadatan
tebar optimal
Kualitas air
Pakan GR
SR
4
E. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan adalah:
a. Hipotesis untuk parameter Pertumbuhan:
H0 = τi = τj = 0 : Perlakuan kepadatan tebar yang berbeda tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan benih ikan patin
pasupati
H1 = τi ≠ τj ≠ 0 : Perlakuan kepadatan tebar yang berbeda memberikan pengaruh
yang nyata terhadap pertumbuhan benih ikan patin pasupati
b. Hipotesis untuk parameter Sintasan:
H0 = τi = τj = 0 : Perlakuan kepadatan tebar yang berbeda tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap sintasan benih ikan patin
pasupati
H1 = τi ≠ τj ≠ 0 : Perlakuan kepadatan tebar yang berbeda memberikan pengaruh
yang nyata terhadap sintasan benih ikan patin pasupati
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi Ikan Patin Pasupati (Pangasius sp.)
Klasifikasi ikan patin pasupati menurt Amri dan Khairuman (2008) adalah sebagai
berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub-kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroideae
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius (Jambal)
Periopthalmus (Siam)
Spesies : Pangasianodon hypophthalmus (Siam)
Pangasius djambal (Jambal)
Patin pasupati adalah jenis ikan patin yang dihasilkan dari persilangan antara patin
siam betina dan patin jambal jantan. Klasifikasi ikan patin pasupati belum
diketahui termasuk ke dalam genus ikan patin jambal atau ikan patin siam. Ikan
patin jambal merupakan ikan patin lokal Indonesia yang mempunyai potensi
sebagai komoditas ekspor karena memiliki daging berwarna putih yang sangat
6
disukai pasar Jepang, Eropa, Rusia, dan Amerika (Tahapari, et al., 2009).
Morfologi kepala pada ikan patin Jambal yaitu rasio panjang standar atau panjang
kepala 4,12 cm, kepala relatif panjang, melebar ke arah punggung, mata
berukuran sedang pada sisi kepala, lubang hidung relatif membesar, mulut
subterminal relatif kecil dan melebar ke samping, gigi tajam dan sungut mencapai
belakang mata, jarak antara ujung moncong dengan tepi mata lebih panjang.
Sedangkan morfologi badannya yaitu rasio panjang standar atau tinggi badan 3,0
cm, tubuh relatif memanjang, warna punggung abu-abu kehitaman, pucat pada
bagian perut dan sisip transparan, perut lebih lebar dibandingkan panjang kepala,
jarak sirip perut ke ujung moncong relatif panjang (Khairuman, 2006).
Ikan patin siam merupakan ikan introduksi dari Thailand. Rendahnya peluang
ekspor ikan patin siam dikarenakan oleh warna daging kekuningan yang kurang
diminati konsumen dari negara-negara maju (Tahapari, et al. , 2009). Tubuh patin
siam terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan dan ekor. Kepalanya kecil dan
gepeng dengan batok kepala yang keras. Mata yang kecil, hidung yang kecil,
mulut yang bercelah lebar dengan dua pasang sungut maksila dan mandibula atau
kumis. Tutup insang tidak terlalu besar, menutup bagian kepala (Usni, 2008).
Patin siam bersirip lima, yaitu sebuah sirip punggung (dorsal fin), sebuah ekor
(caudal fin), sebuah sirip dubur (anal fin), sepasang sirip perut (ventral fin), dan
sepasang sirip dada ( pectoral fin). Sirip punggungnya kecil dan pendek, berada
tepat di atas perut. Sirip dubur panjang, kurang lebih sepertiga dari panjang
tubuhnya, dan berjari-jari sirip 23 sampai 33. selain kelima sirip, patin siam
memiliki sirip yang tidak dimiliki ikan lain, yaitu bersirip lemah (adopose fin)
yang letaknya di belakang sirip punggung (Usni, 2008).
7
Keunggulan lain dari patin pasupati adalah mempunyai kadar lemak yang rendah.
Kadar lemak patin pasupati hanya 14,93%, sementara patin siam dan jambal
masing-masing adalah 18,41% dan 16,86% (Khairuman, 2006).
Morfologi ikan patin pasupati lebih menyerupai ikan patin siam, yang menjadi ciri
utama adalah jumlah jari-jari sirip perut yang berjumlah 7 buah. Warna tubuh
kebiruan cerah dan ujung sirip berwarna putih (Sularto et al. , 2007).
b
a
d e
f h c
g
Gambar 2. Ikan patin pasupati
Ket : (a) panjang total, (b) sirip punggung, (c) sirip ekor, (d) mulut, (e) mata, (f)
sirip dada, (g) sirip perut,(h) sirip anal.
B. Kepadatan Tebar
Kepadatan tebar ikan adalah jumlah ikan yang ditebar dalam wadah budidaya
persatuan luas atau volume. Pertumbuhan ikan akan lebih cepat bila dipelihara
dengan kepadatan tebar yang rendah dan sebaliknya akan lambat bila
kepadatannya tinggi. Ketika kepadatan ikan relatif rendah dan populasi pakan
alami mencukupi maka pertumbuhan ikan berada dalam keadaan maksimal.
Kepadatan rendah dapat menghasilkan kelangsungan hidup yang tinggi, tetapi
produksi yang diperoleh rendah. Pada kepadatan tebar tinggi, kondisi lingkungan
menjadi buruk yakni menurunnya kandungan oksigen terlarut dalam air dan
8
meningkatnya amonia akibat penumpukan sisa pakan dan feses. Oksigen sangat
dibutuhkan untuk sumber energi bagi jaringan tubuh, aktivitas pergerakan dan
aktivitas pengolahan makanan sehingga berkurangnya kandungan oksigen di air
dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan (Zonneveld et al. , 1991).
Amonia bersifat toksik dan mudah terserap ke dalam tubuh organisme sehingga
menyebabkan gangguan fisiologis dan pemicu stress pada ikan (Boyd, 1990).
Kondisi tersebut merupakan tekanan lingkungan yang dapat menyebabkan
kenyamanan ikan menjadi terganggu. Pertumbuhan ikan akan terhambat karena
energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dipakai ikan untuk
mempertahankan dirinya dari tekanan lingkungan. Jika tekanan lingkungan yang
terjadi tidak dapat ditolerir oleh ikan maka dalam jangka waktu tertentu dapat
mengakibatkan kematian. Intensifikasi budidaya dapat berhasil jika dilakukan
pengawasan terhadap empat faktor utama lingkungannya yaitu pengawasan suhu,
penambahan pakan, pemenuhan kebutuhan kualitas air dan pembersihan limbah
metabolisme. Dengan pengawasan terhadap empat hal tersebut dapat
memungkinkan untuk meningkatkan kepadatan tebar ikan tanpa mengurangi
pertumbuhan individu ikan sehingga dapat meningkatkan produksi (Hepher,
1978).
Penurunan tingkat konsumsi pakan pada ikan saat kepadatan semakin tinggi
menyebabkan ikan stress dan pertumbuhanya terhambat, hal ini sangat jelas
karena ikan yang stress membutuhkan energi yang lebih banyak untuk proses
homeostatik dalam tubuhnya. Menurunnya tingkat konsumsi pakan yang
9
dimanfaatkan oleh ikan dapat menjadi indikator bahwa ikan sedang mengalami
stress karena kepadatan yang terlalu tinggi. (Nur, 2008).
Kanibalisme merupakan sifat memangsa jenis dan umumnya dilakukan oleh ikan
yang berukuran lebih besar terhadap ikan yang berukuran lebih kecil. Kanibalisme
juga bisa terjadi pada sesama benih, yaitu benih-benih ikan sejenis yang seumur
dan seukuran saling memangsa. Sifat kanibalisme dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor alamiah dan kelalaian atau kesengajaan. Faktor alamiah berupa sifat
genetika, kesehatan dan ketahanan tubuh, kesempatan dan keagresifan mencari
makanan. Sedangkan faktor kelalaian berupa pembudidaya tidak menyortir atau
menyeragamkan ukuran ikan yang dipelihara. Benih ikan patin siam memiliki
sifat kanibal terutama pada hari kedua sampai dengan ketiga. Benih ikan patin
siam bersifat fototaksis positif dan memiliki alat pernapasan tambahan berupa
aborescen yang mulai terbentuk pada umur 12 hari-15 hari, sehingga dapat
mengambil oksigen bebas dari udara dan bertahan hidup pada perairan yang
kurang oksigen (Amri, 2008).
Kanibalisme juga terjadi akibat kepadatan tebar tinggi. Pada kepadatan tebar ikan
yang tinggi dan dipelihara dalam ruang yang tidak sesuai akibatnya ruang gerak
ikan terbatas, tingkat persaingan makanan dan oksigen menjadi tinggi. Suasana
yang demikian memicu munculnya sifat kanibal pada ikan untuk saling memangsa
(terutama jenis ikan karnivora). Biasanya, pada kondisi seperti itu tingkat
emosional benih muncul. Tidak untuk saling memangsa namun hanya sekedar
berkelahi memperebutkan pakan dan ruang yang berakibat kematian.
10
Keterlambatan pemberian pakan juga dapat menyebabkan munculnya
kanibalisme. Ikan yang sudah dilatih makan pada jam-jam tertentu, akan gelisah
jika tidak diberi pakan pada jam tersebut. Akibatnya, sifat kanibalisme ikan yang
memiliki sifat agresivitas tinggi akan terpicu. Apalagi, jika dalam tempat
pemeliharaan tidak terdapat pakan alternatif seperti pakan alami (Amri, 2008).
Peningkatan kepadatan ikan tanpa disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang
diberikan dan kualitas air yang terkontrol akan menyebabkan penurunan laju
pertumbuhan ikan dan jika telah sampai pada batas tertentu maka pertumbuhan
akan terhenti sama sekali. Peningkatan produksi melalui peningkatan kepadatan
hanya dapat dilakukan dengan intensifikasi yaitu pengelolaan pakan dan
lingkungan. Pada penelitian kepadatan tebar ikan patin siam dengan perlakuan
50,100, dan 150 ekor/liter pada suatu sistem resirkulasi tertutup, didapatkan nilai
sintasan berturut-turut adalah 21,34 %; 19, 78 %, dan 19,71 % (Ariyanto, et al. ,
2008).
C. Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran pada periode waktu tertentu atau
proses perubahan biomass atau jumlah individu pada periode waktu tertentu.
Pertumbuhan terdiri dari pertumbuhan mutlak yaitu perubahan ukuran berat atau
panjang yang sebenarnya diantara dua umur atau dalam waktu satu tahun.
Sedangkan pertumbuhan nisbi adalah presentase pertumbuhan pada tiap interval
waktu (Effendi, 1997). Sebagian besar energi dari makanan digunakan untuk
metabolisme basal (pemeliharaan), sisanya untuk aktivitas, pertumbuhan, dan
reproduksi (Fujaya, 2004). Menurut Zonneveld et al. , (1991) meningkatnya laju
11
konsumsi oksigen sejalan dengan meningkatnya laju metabolisme. Konversi
makanan dan laju pertumbuhan juga bergantung pada oksigen. Untuk memperoleh
pertumbuhan yang optimal, makanan ikan harus mengandung gizi yang cukup.
Menurut Sularto et al. , (2007), kelebihan patin pasupati adalah memiliki daging
putih. Berdasarkan hasil penelitian, laju pertumbuhan relatif patin pasupati pada
saat pembesaran di kolam selama 60 hari sebesar 3,05 sedangkan untuk jenis patin
siam dan jambal masing-masing sebesar 2,82 dan 2,87. Waktu yang diperlukan
patin pasupati untuk mencapai ukuran panen (1 kg) dari benih ukuran 2,5 inci
adalah 7 bulan dengan nilai FCR sebesar 1,5. Pertumbuhan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar
yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar
dikontrol, diantaranya adalah keturunan, sex, umur. Faktor luar yang utama
mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan, parasit, penyakit, dan suhu
perairan. Faktor-faktor kimia perairan dalam keadaan ekstrim, mempunyai
pengaruh hebat terhadap pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan fatal.
Diantaranya adalah oksigen, karbondioksida, hidrogen sulfide, keasaman dan
alkalinitas, dimana pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap makanan
(Effendi, 1997). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik, hormone dan
lingkungan. Faktor lingkungan yang paling penting adalah zat hara (Fujaya,
2004).
12
D. Sintasan
Kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang diperoleh dan erat
kaitannya dengan ukuran ikan yang dipelihara. Kelangsungan hidup benih
ditentukan oleh kualitas induk, kualitas telur, kualitas air serta perbandingan
antara jumlah pakan dan kepadatannya (Effendi, 1997). Royce (1973)
menyatakan bahwa mortalitas dipengaruhi beberapa faktor dalam dan faktor luar.
Faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi antar spesies, tingginya jumlah
populasi dalam ruang gerak yang sama, dan kurangnya makanan yang tersedia
akibat adanya penanganan yang kurang baik. Sedangkan faktor dalam
dipengaruhi oleh umur dan daya penyesuaian diri terhadap lingkungan. Menurut
Subagja et al. , (1998), kematian larva yang dipelihara di indoor hatchery
disebabkan karena timbulnya penyakit bakterial dan kanibalisme.
Menurut Stickney (1979) bahwa kematian ikan dalam suatu kegiatan budidaya
diduga karena faktor makanan yang tersedia dan faktor lingkungan yang sesuai.
Telur ikan patin menetas menjadi larva. Fase larva merupakan fase kritis dalam
daur hidup ikan sehingga tingkat mortalitas pada fase ini sangat tinggi. Banyak
faktor yang menyebabkan tingkat mortalitas pada fase larva menjadi tinggi.
Faktor penyebab tersebut dapat digolongkan dalam faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal antara lain meliputi penyakit, hama, kualitas air, cuaca dan
pakan. Sedangkan faktor internal berasal dari proses perkembangan biologi larva
sendiri (Gufran, 2004).
13
E. Kualitas Air
Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk
menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan
dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah perairan yang
dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya.
Dalam pemeliharaan ikan patin pasupati, parameter kualitas air yang mutlak
diperhatikan adalah suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia (NH3) dan
nitrit (NO2). Oksigen terlarut yang baik untuk ikan patin pasupati adalah 5 sampai
7 mg/l, suhu 28 sampai 32o C, pH 6 sampai 8,5, amonia lebih kecil dari 0,2 mg/l,
dan nitrit lebih kecil 0,01 mg/l. Fluktuasi suhu sebanyak 2o C dapat berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup larva ikan. Penggunaan aerasi digunakan untuk
pensuplai oksigen terlarut dalam air (Sularto et al. , 2007). Pengelolaan kualitas
air merupakan kunci keberhasilan pemeliharaan ikan patin. Penurunan kualitas air
di akuarium atau bak dapat berasal dari sisa pakan dan kotoran benih ikan. Sisa
makanan dan kotoran ikan mengendap dan membusuk di dasar akuarium.
Pembusukan ini akan meningkatkan kadar amonia dan menurunkan kadar oksigen
terlarut di dalam air. Kadar amonia sebanyak 0,001 ppm dapat berpengaruh
langsung terhadap kehidupan benih ikan (Perangin angin, 2003).
Tabel 1. Parameter Kualitas Air Ikan Patin Pasupati
NO Parameter
Kualitas Air
Kisaran berdasarkan pustaka (Sularto, et
al. 2007).
1
2
3
4
5
Suhu (oC)
DO (mg/l)
pH
NH3 (mg/l)
NO2 (mg/l)
28-32
5-7
6-8,5
< 0,2
< 0,01
Sumber : Sularto, et al (2007).
14
E.1 Suhu
Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran
organisme akuatik baik di lautan maupun di perairan air tawar dibatasi oleh suhu
perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan
organisme akuatik. Suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik
dalam media luar maupun air dalam tubuh ikan. Suhu makin naik maka reaksi
kimia akan makin cepat, sedangkan konsentrasi gas dalam air akan makin
menurun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran atau
tidak toleran. Pada suhu yang turun mendadak akan terjadi degenerasi sel darah
merah sehingga proses respirasi terganggu dan menyebabkan ikan tidak aktif,
bergerombol, serta tidak mampu berenang dan makan sehingga imunitasnya
terhadap penyakit berkurang (Effendi, 2003). Suhu media pemeliharaan ikan
secara langsung mempengaruhi nafsu makan serta laju pertumbuhan metabolisme
dalam tubuh ikan (Boyd, 1990 dalam Ariyanto et al. , 2008).
E.2 Oksigen Terlarut
Gas oksigen larut dalam air, tetapi tidak bereaksi dengan air. Pengurangan
oksigen dalam air tergantung pada banyaknya partikel organik dalam air yang
membutuhkan perombakan oleh bakteri melalui proses oksidasi. Makin tinggi
suhu maka makin rendah kadar oksigennya. Kebutuhan oksigen untuk setiap jenis
ikan berbeda karena perbedaan sel darah merahnya. Oksigen sebanyak 5 sampai 6
ppm yang terlarut di dalam air dianggap paling ideal untuk tumbuh dan
berkembang biak ikan. Kandungan oksigen yang rendah perlu dilakukan
penanganan khusus, misalnya dibuat aerasi yang masuk ke dalam bak atau
15
akuarium sehingga terjadi difusi oksigen dari udara bebas ke dalam air (Effendi,
2003).
Secara teori, kepadatan ikan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan
pemeliharaan. Semakin padat ikan yang dipelihara, pakan yang diberikan juga
semakin banyak. Hal ini mengakibatkan materi buangan akibat metabolisme
semakin tinggi, sehingga berdampak pada menurunnya kadar O2 terlarut dalam
perairan. Oksigen terlarut dalam perairan banyak digunakan untuk oksidasi pakan
serta proses nitrifikasi oleh bakteri pengurai (Stickney, 1979 dalam Nurhamidah,
2003). Menurut Legendre et al. (2000) dalam Kusdiarti et al. (2003), konsentrasi
O2 sebesar 3 mg/L merupakan batas toleransi benih ikan patin siam.
E.3 pH
pH merupakan suatu ekpresi dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air.
Besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. pH sangat
penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan
reaksi beberapa bahan di dalam air. Fluktuasi pH air sangat di tentukan oleh
alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan
mudah mengembalikan pH-nya ke nilai semula, dari setiap gangguan terhadap
pengubahan pH. Hubungan keasaman air dengan kehidupan ikan sangat besar.
Titik kematian ikan pada pH asam adalah 4 dan pada pH basa adalah 11.
Penurunan pH bisa terjadi karena aktivitas ikan yang memproduksi asam.
Akuarium yang airnya tidak pernah diganti menyebabkan pH menjadi rendah.
Pada lingkungan yang berubah terlalu asam atau tidak tertoleransi di bawah 5,5
atau terlalu alkali 8,0 maka akan terjadi reaksi tubuh ikan sehingga mempengaruhi
16
perilakunya. Perubahan pH secara mendadak menyebabkan ikan meloncat-loncat
atau berenang sangat cepat dan tampak seperti kekurangan oksigen hingga mati
mendadak. Sementara perubahan pH secara perlahan akan menyebabkan lendir
keluar berlebihan, kulit menjadi keputihan, dan mudah kena bakteri (Effendi,
2003). Faktor yang mempengaruhi pH adalah konsentrasi karbondioksida dan
senyawa yang bersifat asam. Kisaran nilai pH antara 1 sampai 14, angka 7
merupakan pH normal (Khairuman, 2006).
E.4 Amonia
Amonia mudah larut dalam air dan akan bereaksi menjadi ion amonium dan ion
hidroksil. Amonia di perairan berasal dari hasil pemecahan nitrogen organik dan
nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi
bahan organik yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan
istilah amonifikasi. Kadar amonia terukur yang dapat membuat ikan mati adalah
lebih dari satu ppm. Bila kadarnya kurang dari kadar tersebut, tetapi lebih dari
setengahnya maka dalam jangka lama ikan akan stres, sakit, dan pertumbuhannya
kurang bagus (Effendi, 2003). Keberadaan amonia yang tidak terionisasi di
perairan bersifat toksik bagi ikan. Konsentrasi amonia sebesar 0,25 mg/l
menurunkan pertumbuhan sebesar 50% dan tidak terjadi pertumbuhan pada
konsentrasi 0,97 mg/l.
17
E.5 Nitrit
Nitrit terjadi dari proses oksidasi amonia dan juga merupakan gas beracun untuk
ikan. Kadar nitrit yang tinggi biasanya disebabkan oleh kadar amonia yang tinggi.
Pada air yang sudah kotor karena terlalu banyak ikan, kadar nitritnya umumnya
tinggi. Kadar nitrit yang terukur dapat membuat ikan mati adalah lebih dari 0,1
ppm (Effendi, 2003). Senyawa nitrat merupakan hasil oksidasi sempurna dari
nitrogen. Proses oksidasi amonia menjadi nitrat disebut nitrifikasi. Proses ini
dilakukan oleh bakteri nitrobacter dan nitrosomonas.
18
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2010 selama 40 hari,
di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar
(LRPTBPAT) Sukamandi, Subang-Jawa Barat.
B. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
1. Akuarium berukuran 60 x 30 x 40 cm sebanyak 12 buah
2. Cawan Petri
3. Hi-Blow untuk aerasi
4. Timbangan analitik
5. Water Quality cheker
6. Serok ikan
7. Plankton net
8. Galon
9. Bak pemeliharaan sementara
10. Selang sipon
11. Penggaris
19
12. Mikroskop
13. Ember plastik
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Larva ikan patin pasupati setelah menetas dengan bobot rata-rata 0,0008 gram.
Larva yang digunakan sebanyak 30.000 ekor.
2. Pakan selama pemeliharaan (artemia, tubifex dan pellet ukuran crumble 0,425
x 0,71 mm ; 0,71 x 1 mm, dan 1 x 2,3 mm. Pellet yang diberikan mengandung
protein 40%, moisture 11 %, lemak 6%, dan serat 3%).
C. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan
yang digunakan adalah :
Model statistik yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) :
Yij = μ + τi + εij
Keterangan : Yij : Pengaruh kepadatan tebar pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ : Rataan umum
τi : Pengaruh kepadatan tebar ke-i
εij : Galat percobaan kepadatan tebar ke-i dan ulangan ke-j
20
D. Pelaksanaan Penelitian
D.1 Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan adalah akuarium berukuran 60 x 30 x 40 cm sebanyak 12
buah. Akuarium diisi air sebanyak 40 liter, pengukuran menggunakan gelas ukur.
Akuarium dilengkapi dengan aerasi. Persiapan ini dilakukan dua hari sebelum
penebaran benih dilakukan.
D.2 Penebaran Benih
Benih yang digunakan adalah larva dari hasil pembenihan buatan. Larva yang
menetas dari corong penetasan kemudian diambil menggunakan serok dan
dimasukkan ke dalam baskom dan ditempatkan ke dalam bak pemeliharaan
sementara. Kemudian dilakukan perhitungan larva sesuai perlakuan yang
diberikan. Larva ditimbang dan diukur panjangnya dengan cara disampel. Sampel
dilakukan dengan mengambil 10 ekor larva untuk setiap akuarium. Kemudian
larva yang telah dihitung dimasukkan ke dalam akuarium sesuai perlakuan (25
ekor/liter, 50 ekor/liter, 75 ekor/liter dan 100 ekor/liter).
D.3 Perlakuan Kepadatan Tebar
Larva ikan patin pasupati dipelihara di akuarium dengan kepadatan tebar yang
berbeda, yaitu 25 ekor/liter, 50 ekor/liter, 75 ekor/liter, dan 100 ekor/liter. Umur
larva yang ditebar adalah satu hari setelah larva menetas dari hasil pembenihan
buatan dan dilakukan pemeliharaan selama 40 hari. Pengacakan perlakuan
dilakukan dengan sistem pengundian.
21
D.4 Pemeliharaan
Selama pemeliharaan diberikan tiga jenis pakan yaitu nauplii artemia, tubifex dan
pellet. Pakan awal yang diberikan pada larva ikan patin pasupati adalah nauplii
artemia sp. Pakan jenis ini diberikan pertama kali setelah larva berumur + 36
jam dan diberikan selama 2 hari. Frekuensi pemberian nauplii artemia sp
diberikan setiap 2 jam. Di hari ke 3 sampai 7 pemberian pakan nauplii artemia sp
diberikan setiap 3 jam. Pakan kedua berupa tubifex yang diberikan setelah umur
larva 7 sampai 14 hari. Selanjutnya diberikan pakan buatan berukuran crumble
0,425 x 0,71 mm. Pakan ini diberikan setelah ikan berumur 15 hari. Untuk umur
19 sampai 23 diberikan pakan berupa pellet dengan ukuran crumble 0,71 x 1 mm.
Pellet ini diberikan setiap 3 jam sekali. Sedangkan umur 24 sampai 40 hari
diberikan pakan berupa pellet dengan ukuran 1 x 2,3 mm dengan 6 kali pemberian
pakan selama satu hari. Pellet yang diberikan mengandung protein tinggi 40%,
moisture 11 %, lemak 6%, serat 3% . Pertumbuhan dapat diketahui dengan
melakukan sampling setiap 10 hari sekali.
Pengamatan kualitas air dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu selama
pemeliharaan. Pengukuran kualitas air ini dilakukan pada pagi hari pukul 06.00
WIB dan sore hari sekitar pukul 16.30 WIB. Pengamatan amonia dan nitrit
dilakukan sebanyak satu kali selama satu minggu. Kualitas air dipertahankan
dengan cara penyiponan setiap hari. Sipon dilakukan dengan menggunakan selang
kecil. Penggantian air dilakukan setelah dilakukan penyiponan setiap harinya.
Penggantian air sebanyak dua kali dalam sehari dilakukan setelah benih diberi
pakan berupa pellet, pada pagi dan sore hari. Air yang terbuang dari aktivitas
22
sipon akan diganti dengan air yang diambil dari sumber air atau tandon
menggunakan selang air dan disaring menggunakan plankton net.
E. Parameter yang Diamati
Beberapa parameter yang diamati pada penelitian ini adalah :
E.1 Pertambahan bobot mutlak
Pertumbuhan bobot mutlak adalah selisih bobot total tubuh ikan pada akhir
pemeliharaan dan awal pemeliharaan. Pertambahan bobot mutlak dapat dihitung
dengan menggunakan rumus (Effendi, 1997).
Wm = Wt – W0
Keterangan :
Wm : Pertambahan bobot mutlak (gram)
Wt : Bobot rata-rata akhir (gram)
Wo : Bobot rata-rata awal (gram)
E.2 Pertambahan panjang mutlak
Pertambahan panjang mutlak adalah selisih panjang total tubuh ikan pada akhir
dan awal pemeliharaan. Pertambahan panjang mutlak ditentukan berdasarkan
selisih panjang akhir (Lt) dengan panjang awal (Lo) pemeliharaan, dengan rumus
(Effendi, 1997).
Lm = Lt – Lo
23
Keterangan :
Lm : Pertambahan panjang mutlak (cm)
Lt : Panjang rata-rata akhir (cm)
Lo : Panjang rata-rata awal (cm)
E.3 Laju pertumbuhan spesifik
Penentuan laju pertumbuhan spesifik di hitung dengan menggunakan rumus
Effendi (1997).
a =w0wtt - 1
; Ex100%
Keterangan :
α : Laju pertumbuhan spesifik (%)
Wt : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-t (gram)
Wo : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-0 (gram)
t : Waktu pemeliharaan (hari)
Laju pertumbuhan diukur dengan melakukan sampling tiap 10 hari. Hasil
sampling ikan ditimbang kemudian dihitung selisih berat minggu lalu dengan
minggu sekarang. Bobot ikan yang didapat, akan digunakan dalam menentukan
jumlah pemberian pakan selanjutnya.
24
E.4 Efisiensi Pemberian Pakan
Efisiensi pemberian pakan menunjukkan seberapa banyak pakan yang
dimanfaatkan oleh ikan dari total pakan yang diberikan. Efisiensi pakan dihitung
dari mulai pemberian pakan berupa pellet. Efisiensi pemberian pakan dihitung
menggunakan rumus Zonneveld et al. , (1991) dalam Irliyandi (2008) :
EP = ( Wt + Wd) – W0 x 100%
F
Keterangan :
Ep = Efisiensi Pakan (%)
Wt = Biomassa ikan akhir (gr)
W0 = Biomassa ikan awal (gr)
Wd = Biomassa ikan mati (gr)
F = Jumlah pakan yang diberikan (gr)
E.5 Sintasan
Sintasan atau tingkat kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah ikan yang
hidup dengan ikan pada awal pemeliharaan. Persamaan yang digunakan menurut
Effendi (1997) adalah :
SR = No
Ntx 100 %
Keterangan :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No : Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)
25
Sintasan atau kelangsungan hidup dapat diketahui dengan melakukan pengamatan
setiap hari, yaitu dengan mengamati jumlah ikan yang mati kemudian dicatat.
Hasil yang diperoleh akan dihitung dengan menggunakan rumus sintasan.
Penghitungan SR dilakukan pada akhir penelitian.
E.6 Kualitas air
Parameter kualitas air yang diamati adalah suhu, pH, DO, nitrat, dan amonia.
Pengamatan amonia dan nitrat dilakukan di dalam laboratorium kualitas air
dengan mengamati sampel tiap perlakuan dan dilakukan sebanyak satu kali
selama satu minggu. Kualitas air diukur menggunakan alat Water Quality Cheker.
Pengamatan kualitas air dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu selama
pemeliharaan. Pengukuran kualitas air ini dilakukan pada pagi hari pukul 06.00
WIB dan sore hari sekitar pukul 16.30 WIB.
F. Analisis Data
Hasil pengamatan diuji dengan menggunakan sidik ragam (uji F) dengan selang
kepercayaan 95%. Apabila terdapat perbedaan antara perlakuan, dilanjutkan
dengan uji lanjut BNT dengan selang kepercayaan 95 %.
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan hasil analisis penelitian, diperoleh data berupa pertumbuhan berat
mutlak (gr), pertumbuhan panjang mutlak (cm), laju pertumbuhan spesifik (%),
efisiensi pakan (%), sintasan (%), serta hasil analisis kualitas air.
A.1 Pertambahan Bobot Mutlak
Pertambahan bobot mutlak pada setiap tingkat kepadatan 25, 50, 75, dan 100
ekor/liter berturut-turut adalah 2,29 ; 1,52 ; 1,20 dan 0,79 gram. Pertambahan
bobot mutlak benih ikan patin pasupati dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil analisis
ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan tingkat
kepadatan tebar yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan
bobot mutlak benih ikan patin pasupati.
27
2,29
1,52
1,20
0,79
0,00
1,00
2,00
3,00
25 50 75 100
Kepadatan tebar (ekor/ liter)
Pert
am
bah
an
bo
bo
t m
utl
ak (
gr)
a
b
bcc
Gambar 3. Histogram pertambahan bobot mutlak benih ikan patin pasupati
Berdasarkan analisis ragam pada taraf kepercayaan 95%, tingkat kepadatan tebar
yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot
mutlak benih ikan patin pasupati (Lampiran 1). Untuk mengetahui perbedaan
antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjut yaitu uji BNT. Dari perhitungan BNT
didapatkan bahwa perlakuan 25 ekor/liter berbeda nyata terhadap perlakuan 50;
75; dan 100 ekor/liter. Tetapi perlakuan 50 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan 75 ekor/liter. Perlakuan 75 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan 100 ekor/liter. Perlakuan 50 ekor/liter berbeda nyata terhadap perlakuan
100 ekor/liter.
28
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
1 2 3 4
Sampling Ke-
Bo
bo
t (g
r)
Kepadatan Tebar
25 ekor/liter
Kepadatan Tebar
50 ekor/liter
Kepadatan Tebar
75 ekor/liter
Kepadatan Tebar
100 ekor/liter
Gambar 4. Pertambahan bobot benih ikan patin pasupati setiap sampling selama
40 hari
Dari gambar diatas diketahui bahwa bobot ikan patin pasupati terus meningkat.
Bobot ikan patin pasupati berkisar antara 0,79 sampai 2,29 gram. Bobot ikan patin
pasupati tertinggi adalah pada kepadatan tebar 25 ekor/liter, sedangkan bobot
terendah terdapat pada kepadatan tebar 100 ekor/liter.
A.2 Pertambahan Panjang Mutlak
Pertambahan panjang mutlak benih ikan patin pasupati berturut-turut sesuai
kepadatan tebar 25; 50; 75; dan 100 ekor/liter adalah 4,99 ; 4,22 ; 3,70 dan 3,22
cm. Pertambahan panjang mutlak tertinggi adalah pada kepadatan tebar 25
ekor/liter dan terendah pada kepadatan tebar 100 ekor/liter. Pertambahan panjang
mutlak benih ikan patin pasupati dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis
ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan tingkat
kepadatan tebar yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan
panjang mutlak benih ikan patin pasupati.
29
4,99
4,223,70
3,22
0
1
2
3
4
5
6
25 50 75 100
Kepadatan tebar (ekor/liter)
Pert
am
bah
an
Pan
jan
g M
utl
ak (
cm
)
a b bc c
Gambar 5. Histogram pertambahan panjang mutlak benih ikan patin pasupati
Berdasarkan analisis ragam pada taraf kepercayaan 95%, tingkat kepadatan tebar
yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan panjang
mutlak benih ikan patin pasupati (Lampiran 2). Untuk mengetahui perbedaan
antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjut yaitu uji BNT. Dari perhitungan BNT
didapatkan bahwa perlakuan 25 ekor/liter berbeda nyata perlakuan 50; 75; dan
100 ekor/liter. Perlakuan 50 ekor/liter berbeda nyata terhadap perlakuan 100
ekor/liter. Tetapi perlakuan 50 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap perlakuan
75 ekor/liter. Perlakuan 75 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 100
ekor/liter.
30
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
1 2 3 4
Sampling Ke-
Pan
jan
g (
cm
)
Kepadatan Tebar 25
ekor/liter
Kepadatan Tebar 50
ekor/liter
Kepadatan Tebar 75
ekor/liter
Kepadatan Tebar
100 ekor/liter
Gambar 6. Pertambahan panjang benih ikan patin pasupati setiap sampling selama
40 hari
Dari gambar diatas diketahui bahwa panjang ikan patin pasupati terus meningkat.
Panjang ikan patin pasupati berkisar antara 3,53 sampai 5,30 cm. Panjang ikan
patin pasupati tertinggi adalah pada kepadatan tebar 25 ekor/liter, sedangkan
panjang terendah terdapat pada kepadatan tebar 100 ekor/liter.
A.3 Laju Pertumbuhan Spesifik
Laju pertumbuhan spesifik benih ikan patin pasupati yang tertinggi adalah pada
kepadatan tebar 25 ekor/liter ( 36,33%) dan terendah pada kepadatan tebar 100
ekor/liter (30,45 %). Laju pertumbuhan spesifik benih ikan patin pasupati dapat
dilihat pada Gambar 7. Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda memberikan
pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik benih ikan patin pasupati.
31
30,4532,4132,75
36,33
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
25 50 75 100
Kepadatan tebar (ekor/ liter)
Laju
pertu
mb
uh
an
Sp
esif
ik (
%)
ab b b
Gambar 7. Histogram laju pertumbuhan spesifik benih ikan patin pasupati
Berdasarkan analisis ragam pada taraf kepercayaan 95%, tingkat kepadatan tebar
yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan
spesifik benih ikan patin pasupati (Lampiran 3). Untuk mengetahui perbedaan
antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjut yaitu uji BNT. Dari perhitungan BNT
didapatkan bahwa perlakuan 25 ekor/liter berbeda nyata terhadap perlakuan 50;
75; dan 100 ekor/liter. Tetapi perlakuan 50 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan 75 dan 100 ekor/liter.
32
A.4 Efisiensi Pakan
Tingkat efisiensi pemberian pakan benih ikan patin pasupati tertinggi terdapat
pada perlakuan 25 ekor/liter sebesar 92,60% dan terendah terdapat pada perlakuan
100 ekor/liter sebesar 86,43%. Tingkat efisiensi pemberian pakan benih ikan patin
pasupati dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil analisis ragam pada selang
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kepadatan tebar yang
berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap efisiensi pakan yang
diberikan pada benih ikan patin pasupati.
92,60 90,59 87,52 86,43
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
25 50 75 100
Kepadatan tebar (ekor/liter)
Efi
sie
nsi
pakan
(%
)
a a a a
Gambar 8. Histogram efisiensi pakan benih ikan patin pasupati.
A.5 Sintasan
Sintasan benih ikan patin pasupati tertinggi terdapat pada perlakuan kepadatan
tebar 25 ekor/liter sebesar 70,67% dan terendah terdapat pada perlakuan
kepadatan tebar 100 ekor/liter sebesar 45,80%. Sintasan benih ikan patin pasupati
dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95%
33
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda memberikan
pengaruh nyata terhadap sintasan benih ikan patin pasupati.
70,6762,07
58,90
45,80
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
25 50 75 100
Kepadatan tebar (ekor/liter)
Sin
tasan
(%
)
a ab
c
b
Gambar 9. Histogram sintasan benih ikan patin pasupati
Berdasarkan analisis ragam pada taraf kepercayaan 95%, tingkat kepadatan tebar
yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan benih ikan patin
pasupati (Lampiran 5). Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, maka
dilakukan uji lanjutan yaitu uji BNT. Dari perhitungan BNT didapatkan bahwa
perlakuan 25 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 50 ekor/liter.
Perlakuan 50 ekor/liter tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 75 ekor/liter.
Perlakuan 25 ekor/liter berbeda nyata terhadap perlakuan 75 dan 100 ekor/liter.
Perlakuan 100 ekor/liter berbeda nyata terhadap perlakuan 25; 50; dan 75
ekor/liter.
34
A.6 Kualitas air
Kualitas air selama pemeliharaan masih dalam batas kelayakan bagi kehidupan
benih ikan patin pasupati. Namun, untuk amonia dan nitrit selama pemeliharaan
terdapat batas nilai amonia dan nitrit yang melebihi batas kelayakan bagi
kehidupan benih ikan patin pasupati. Hasil pengukuran kualitas air selama
pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data hasil pengamatan kualitas air selama pemeliharaan benih ikan patin
Pasupati
Akuarium pH
Suhu (0o
C) DO (mg/L) Amonia (mg/L) Nitrit (mg/L)
A1 7,17 - 8,52 28,6 - 29,9 3,18 - 5,61 0,0578 - 0,3400 0,1118 - 1,9681
A2 7,32 - 8,55 28,6 - 29,7 3,15 - 5,56 0,0353 - 0,4186 0,1246 - 1,1981
A3 7,29 - 8,56 28,6 - 29,9 3,14 - 5,29 0,0327 - 0,3328 0,1597 - 1,7955
B1 7,30 - 8,56 28,6 - 29,7 3,08 - 5,45 0,0304 - 0,4321 0,0703 - 2,4569
B2 7,12 - 8,56 29 - 29,7 3,10 - 5,24 0,0452 - 0,4916 0,0895 - 1,1661
B3 7,21 - 8,55 28,8 - 29,8 3,15 - 5,27 0,0277 - 0,4082 0,0288 - 0,8211
C1 7,25 - 8,49 28,7 - 29,9 3,21 - 5,32 0,0614 - 0,4530 0,1949 - 2,3259
C2 7,35 - 8,58 28 - 29,8 3,12 - 5,42 0,0353 - 0,2914 0,0575 - 1,9105
C3 7,19 - 8,50 28,7 - 29,8 3,14 - 5,45 0,0255 - 0,3841 0,0288 - 0,5879
D1 7,39 - 8,44 28,6 - 29,9 3,02 - 5,07 0,0353 - 0,4267 0,1118 - 0,6840
D2 7,22 - 8,49 28,7 - 29,9 3,04 - 5,05 0,0984 - 0,4874 0,0958 - 1,4952
D3 7,26 - 8,46 28,6 - 29,9 3,08 - 5,02 0,1448 - 0,4885 0,0575 - 3,0160
Keterangan :
A1,A2,A3 = Kepadatan tebar 25 ekor/liter
B1,B2,B3 = Kepadatan tebar 50 ekor/liter
C1,C2,C3 = Kepadatan tebar 75 ekor/liter
D1,D2,D3 = Kepadatan tebar 100 ekor/liter
35
B. Pembahasan
Pertambahan bobot mutlak merupakan selisih antara bobot pada akhir penelitian
dengan bobot pada awal penelitian sedangkan pertambahan panjang mutlak
merupakan selisih antara panjang pada akhir penelitian dengan panjang pada awal
penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, pertambahan bobot mutlak dan
pertambahan panjang mutlak benih ikan patin pasupati terendah adalah pada
kepadatan tebar 100 ekor/liter (Gambar 3 dan 5). Pada kepadatan tebar 25
ekor/liter didapatkan nilai pertambahan bobot mutlak tertinggi dan merupakan
kepadatan tebar yang optimal untuk pertumbuhan. Ini berdasarkan hasil
perhitungan uji BNT bahwa kepadatan tebar 25 ekor/liter berbeda nyata terhadap
kepadatan tebar 50 ekor/liter. Kepadatan tebar 25 ekor/liter memiliki kepadatan
tebar yang rendah sehingga persaingan terhadap makanan lebih rendah dan nafsu
makan ikan lebih tinggi.
Pertumbuhan ikan akan lebih cepat bila dipelihara dengan kepadatan tebar yang
rendah dan sebaliknya akan lambat bila kepadatannya tinggi (Syauqi, 2009).
Berdasarkan analisis ragam didapatkan bahwa tingkat kepadatan tebar yang
berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang dan berat
mutlak benih ikan patin pasupati. Adanya keragaman nilai pertambahan panjang
dan berat mutlak disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak merata akibat adanya
kompetisi dalam mencari makan. Ikan yang berukuran lebih besar berpeluang
mendapatkan pakan yang lebih banyak dibandingkan ikan yang lebih kecil.
36
Pada Gambar 7 dapat dilihat laju pertumbuhan spesifik terendah adalah pada
kepadatan tebar 100 ekor/liter. Laju pertumbuhan spesifik dapat dilihat
berdasarkan data sampling yang diambil setiap 10 hari sekali (Lampiran 6 sampai
9). Telah diketahui, bahwa pertumbuhan ikan akan menurun seiring dengan
kepadatan yang meningkat (Jobling, 1994). Pada penelitian ini kepadatan tebar
sampai 100 ekor/liter memberikan perbedaan nyata terhadap laju pertumbuhan
spesifik.
Pada umumnya peningkatan kepadatan ikan cenderung akan menurunkan efisiensi
pakan. Persaingan dalam memanfaatkan pakan yang tersedia akan semakin kuat
pada jumlah populasi yang banyak atau padat dan resiko kekurangan pakan
semakin besar pada tingkat kepadatan tinggi. Dengan demikian, fungsi pakan
sebagai salah satu faktor penentu pertumbuhan tidak dapat efektif karena jumlah
pakan yang dapat diperoleh ikan untuk dikonversi menjadi daging sangat terbatas.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian, pemberian pakan berupa pellet
dengan persentase pemberian pakan 15% dari berat total belum dapat digunakan
oleh ikan, terlihat dengan masih adanya ikan mati dalam keadaan sirip tidak
lengkap, diduga karena pemberian pakan kurang tercukupi sehingga terjadi
kanibalisme (Lampiran 16). Ini juga dipengaruhi dengan pemberian pakan yang
dilakukan secara adlibitum untuk pakan alami (Artemia dan tubifex). Pada
penelitian ini, tingkat kepadatan tebar yang berbeda tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap efisiensi pakan (Lampiran 4).
37
Nilai laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak, pertumbuhan berat
mutlak, dan efisiensi pakan semakin menurun, ini diduga dipengaruhi oleh ruang
gerak yang sempit, sehingga peluang untuk memperoleh makanan akan semakin
kecil, walaupun pakan tersedia tetapi ikan tidak akan menjangkau pakan karena
keterbatasan ruang. Ruang gerak yang sempit akan menyebabkan ikan stres dan
akan mengurangi nafsu makan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyanto
(1999) bahwa akibat dari tingginya kepadatan tebar, maka ruang gerak ikan
semakin menyempit serta persaingan terhadap makanan semakin tinggi.
Dalam pendederan benih ikan patin pasupati yang lebih ditekankan adalah nilai
sintasan. Pada penelitian ini didapatkan nilai sintasan yang masih cukup tinggi
yaitu berkisar 45,80% sampai 70,67% (Gambar 9). Sintasan terendah terdapat
pada kepadatan tebar 100 ekor/liter. Dari analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda memberikan pengaruh nyata
terhadap sintasan benih ikan patin pasupati. Berdasarkan hasil uji BNT
(Lampiran 5) didapatkan bahwa kepadatan tebar antara 25 ekor/liter tidak berbeda
nyata dengan kepadatan tebar 50 ekor/liter, jadi kepadatan tebar yang optimal
untuk sintasan benih ikan patin pasupati adalah kepadatan tebar 50 ekor/liter. Ini
berdasarkan juga dari hasil uji BNT pertumbuhan, bahwa kepadatan 50 ekor/liter
adalah kepadatan tebar yang optimal dan tidak menggangu pertumbuhan ikan
patin pasupati. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa semakin meningkat kepadatan
tebar, maka nilai sintasan benih ikan patin pasupati semakin kecil.
38
Kematian pada semua perlakuan banyak terjadi pada minggu pertama tepatnya
hari ke-3. Ini terjadi karena adanya semacam protozoa yang menyerang larva ikan
patin pasupati dalam setiap akuarium. Protozoa ini menyerang bagian tubuh, sirip
dan paling banyak menyerang ekor dari larva (Lampiran 18). Adanya protozoa ini
dimungkinkan karena kualitas air yang mengndung parasit dan masuk dalam
akuarium. Pengobatan dilakukan dengan pemberian garam sebanyak 5 ppt. Benih
ikan patin pasupati seharusnya ditebar ke dalam kolam atau dilakukan
penjarangan lagi setelah ikan berumur 22 hari. Pada umumnya, para pembudidaya
melakukan gradding pada ukuran benih 1 sampai 2 inch. Ini dilakukan untuk
menyeragamkan ukuran sehingga dapat menghindari kanibalisme. Pada penelitian
ini benih ikan patin dibiarkan selama 40 hari di akuarium. Hal ini yang
menyebabkan kematian ikan meningkat saat benih berumur 26 hari. Kematian
tertinggi terjadi pada kepadatan tebar 100 ekor/liter. Ini terjadi karena
berhubungan dengan kepadatan tebar yang tinggi, sehingga ruang gerak ikan
semakin sempit dan menyebabkan nafsu makan ikan menurun. Selain itu,
kematian ikan pada kepadatan 100 ekor/liter disebabkan karena kualitas air dalam
akuarium. Berdasarkan pengamatan kualitas air, didapatkan konsentrasi amonia
dan nitrit yang meningkat pada pagi hari. Boyd (1990) menyatakan bahwa
konsentrasi amonia sebesar 0,12 mg/liter dapat menyebabkan penurunan
pertumbuhan, kerusakan pada insang, meningkatnya konsumsi oksigen pada
jaringan, dan mengurangi kemampuan pengikatan oksigen dalam darah.
Konsentrasi amonia selama pemeliharaan mencapai 0,4885 mg/liter, sesuai
dengan pernyataan Boyd bahwa nilai konsentrasi amonia sebesar 0,12 mg/liter
dapat menyebabkan kematian. Kematian yang terjadi juga diduga karena adanya
39
ruang gerak yang semakin menyempit, sehingga menyebabkan terjadinya
persaingan hidup yang meliputi persaingan mencari pakan dan mendapatkan
oksigen yang cukup. Akibat dari persaingan ini, ikan akan mengalami stres
sehingga akan menurunkan nafsu makan kemudian ikan akan mati. Ciri-ciri ikan
yang mati selama penelitian adalah keadaan tubuh yang tidak lengkap, hal ini
dikarenakan di makan oleh patin pasupati lainnya. Bagian tubuh yang sering
dimakan adalah bagian sirip ekor (Lampiran 16). Keadaan ini diakibatkan karena
adanya perbedaan ukuran yang tidak sama dan tidak dilakukan gradding,
sehingga terjadi kanibalisme.
Dalam budidaya ikan, kualitas air merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan suatu usaha budidaya. Dari hasil pengukuran kualitas air terlihat
bahwa nilai kualitas air mengalami perubahan seiring dengan waktu
pemeliharaan. Konsentrasi amonia paling tinggi didapatkan pada kepadatan tebar
100 ekor/liter (Tabel 2). Dari penelitian ini suhu berkisar 28,6o C sampai 29,9
o C.
Boyd (1990), menyatakan ikan tropis dan subtropis tidak tumbuh dengan baik saat
temperatur air dibawah 26o C atau 28
o C dan saat temperatur dibawah 10
o C atau
15o C akan menimbulkan kematian. Fluktuasi suhu air sangat kecil, berkisar
antara 1o C sehingga tidak mengganggu proses metabolisme ikan. Menurut
Effendi (2003), perubahan suhu melebihi 3 sampai 4o C akan menyebabkan
perubahan metabolisme yang mengakibatkan kejutan suhu, meningkatkan
toksisitas kontaminan yang terlarut, menurunkan DO, dan kematian pada ikan.
Dengan demikian, suhu dan fluktuasi suhu pada penelitian ini dalam kisaran yang
optimal untuk kehidupan ikan patin pasupati.
40
Menurut Boyd (1990), kelarutan oksigen merupakan faktor pembatas dalam
budidaya ikan intensif. Konsentrasi oksigen untuk setiap perlakuan dan ulangan
didapatkan nilai yang berbeda. Adanya perbedaan konsentrasi oksigen
dikarenakan perbedaan biomassa untuk masing-masing perlakuan. Kandungan
oksigen selama pemeliharan berkisar 3,02 mg/liter sampai 5,61 mg/liter. Nilai
oksigen 3 mg/liter merupakan kisaran oksigen yang masih dapat ditoleransi oleh
ikan. Namun, nilai kelarutan oksigen tersebut tidak semua ikan dapat
memanfaatkan dengan cukup. Ini terlihat dari kematian ikan yang dicirikan
dengan perut yang mengembung (Lampiran 15). Jika ikan mengalami ciri
tersebut, maka ikan ini mengalami kematian karena kekurangan oksigen.
Kekurangan oksigen ini juga dikarenakan semakin meningkatnya konsentrasi
amonia dalam wadah pemeliharaan sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat.
Menurut Sularto, et al (2007), pH yang cocok untuk ikan patin pasupati berkisar 6
sampai 8,5. Dalam penelitian ini nilai pH berkisar 7,17 sampai 8,5 yang berarti
masih sesuai dan cocok untuk kehidupan ikan patin pasupati. Dalam budidaya
intensif, amonia merupakan faktor pembatas dan bersifat racun terhadap ikan.
Seiring dengan waktu pemeliharaan kadar amonia yang terdapat pada masing-
masing wadah meningkat.
Nilai amonia paling tinggi terdapat pada perlakuan 100 ekor/liter (Tabel 2).
Selama pemeliharaan amonia pada kepadatan 100 ekor/liter berkisar 0,1448
sampai 0,4885 mg/liter. Nilai amonia meningkat seiring meningkatnya kepadatan
tebar, maka akumulasi dari hasil buangan metabolisme akan semakin tinggi juga.
Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar amonia pada perairan tawar sebaiknya
41
tidak melebihi 0,1 mg/liter karena bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan.
Konsentrasi amonia melebihi 0,1 mg/liter dapat menurunkan kapasitas darah
untuk membawa oksigen sehingga jaringan akan kekurangan oksigen yang dapat
mengakibatkan kematian pada ikan. Dalam kolom perairan amonia
terdekomposisi oleh bakteri aerob menjadi nitrit yang kemudian diubah menjadi
nitrat. Dalam proses dekomposisi diperlukan oksigen sehingga konsumsi oksigen
akan meningkat.
Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan nilai nitrit dari semua perlakuan dan
ulangan (Tabel 2). Nilai nitrit meningkat seiring dengan waktu pemeliharaan. Jika
amonia meningkat, maka nitrit juga akan meningkat. Nitrit yang tinggi
menyebabkan kematian pada ikan untuk tiap harinya. Nilai nitrit dari semua
perlakuan selama pemeliharaan berkisar 0,0288 sampai 3,0160 mg/liter. Menurut
Sularto, et al (2007), kisaran nilai nitrit yang baik dan masih dapat ditolerir oleh
ikan patin pasupati adalah lebih besar dari 0,1 mg/liter.
42
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan tebar yang
optimal untuk pertumbuhan benih ikan patin pasupati adalah kepadatan tebar 25
ekor/liter. Namun, dalam pendederan benih ikan patin pasupati yang lebih
ditekankan adalah sintasan, sehingga kepadatan tebar 50 ekor/liter merupakan
kepadatan tebar yang optimal. Peningkatan kepadatan tebar mengakibatkan
menurunnya parameter kualitas air, terutama amonia dan nitrit.
B. SARAN
Dari hasil penelitian ini disarankan kepada pembudidaya benih ikan patin
pasupati, bahwa kepadatan tebar 50 ekor/liter merupakan kepadatan tebar yang
optimal. Selain itu, disarankan untuk melakukan penelitian seperti pemeliharaan
larva dengan sistem resirkulasi dan dalam pendederan benih ikan patin pasupati
diperlukan penjarangan setelah umur 22 hari, melakukan gradding, dan
pencegahan terhadap penyakit sehingga didapatkan pertumbuhan dan sintasan
ikan patin pasupati yang optimal.
43
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K. 2008. Pengendalian Sifat Kanibal. http://books.google.co.id. Situs
diakses pada tanggal 19 Mei 2010, pukul 13.00 WIB.
Amri, K. dan Susanto, H. 2007. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.
5-9 hlm.
Ariyanto, D. , Tahapari, E. , Ginadi, B. 2008. Optimasi Padat Penebaran Larva
Ikan Ptin Siam (Pangasius hypopthalmus) Pada Pemeliharaan Sistem
Intensif. Jurnal Penelitian. LRPTBPAT. Sukamandi. Subang – Jawa Barat.
158-166 hlm.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Pond Aquaculture. Alabama : Birmingham
Publising Co. 482 hlm.
Effendi, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor.
92-100 :130-132 hlm.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka
Cipta Jakarta. 179 hlm.
Gufran, M. 2004. Budidaya Ikan Patin. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
43 hlm.
Hepher, B. 1978. Nutrition of Fishes. England. Cambridge University Press.
Irliyandi, F. 2008. Pengaruh Kepadatan Tebar 60, 75 dan 90 Ekor/liter Terhadap
Produksi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Ukuran 1 Inci Up (3 Cm)
Dalam Sistem Resirkulasi. IPB. Bogor. 13 hlm.
Jobling, M. 1994. Fish Bioenergetics. Champman & Hall, London. 309 hlm.
Khairuman. 2006. Budidaya Patin Super. Agromedia Pustaka. Jakarta. 134 hlm.
44
Kusdiarti, H. Mundriyanto, M. Yunus, I. Insan, N. Shenda dan T. H. Prihadi.
2003. Penentuan Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Umur dan Ukuran Ikan
Patin Jambal (Pangasius djambal). Prosiding Seminar Hasil Riset
LRPTBPAT. Sukamandi. Subang – Jawa Barat. 21-34 hlm.
Legendre, M. , J. Slembrouck, J. Subagja and A. H. Kristanto. 1998. Effect of
variying latency period on the in vivo survival after ovaprim and HCG
induced ovulation in the asian catfish pangasius hipopthalmus. In :
Legendre, M. And A. Parisele (eds) The biological diversity and
aquaculture of clariid and Pangasiid in South-East Asia. Proceedings of
the mid-term workshop of the “catfish Asia Project”. Cantho, Vietnam,
11-15 may 1998. 97-102 hlm.
Mattjik, AA. , dan Sumertajaya, I, M. 2002. Perancangan Percobaan. IPB Press.
Bogor. 282 hlm.
Nur, E. 2008. Manajemen Kematian Ikan. http://one.indoskripsi.com. Situs ini
diakses pada tanggal 29 Januari 2009. Pukul 14.00 WIB
Nurhamidah, D. 2007. Pengaruh Kepadatan Tebar Pada Kinerja Pertumbuhan
Benih Ikan Patin (Pangasis hypopthalmus) dengan sistem resirklasi.
Skripsi pada Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
37 hlm.
Perangin angin, K. 2003. Benih Ikan Jambal Siam. Kanisius. Jakarta. 44 hlm.
Royce, W. F. 1973. Introduction to Fishery Sciences. Academic press. New York.
315 hlm.
Subagja, J. , J. Slembrouck, L. T. Hung and M. Legendre. 1998. Analysis of
Precocious Mortality of Pangasius hypopthalmus Larvae (Siluriformes,
Pangasidae) During the Larva Raering and Proporsition of Appropriate
Treatments. Proceeding of the midterm workshop of the “Cathfish asia
Project”11-15 May, 1998, Cantho, Vietnam. 102-106 hlm.
Sularto, Hafsaridewi , R, dan Tahapari, E. 2007. Petunjuk Teknis Pembenihan
Ikan Pasupati. LRPTBPAT Sukamandi. Subang-Jawa Barat. 2 hlm.
Suyanto, S. R. 1999. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta. 105 hlm.
Stickney, RR. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture. John Wiley and
Sons. Inc. A:Wiley. Interscience Publication. New York. USA. 375 hlm.
Syauqi, A. 2009. Kelangsungan Hidup Benih Bawal Air Tawar Colossoma
macropomum Cuvier. Pada Sistem Pengangkutan Tertutup dengan Padat
Penebaran 43, 86 dan 129 ekor/liter.
45
Tahapari, E. 2007. Riset Ikan Patin Dalam Mendukung Pengembangan Budidaya
Ikan Patin. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air
Tawar. Sukamandi.
Tahapari, E. , Sularto, dan Hadie, W. 2009. Evaluasi Pertumbuhan Patin Pasupati
(Pangasionodon hypopthalmus x Pangasius djambal) Pada Lingkungan
Budidaya Yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Perikanan.
LRPTBPAT. Sukamandi. Subang – Jawa Barat. 78-84 hlm.
Usni, A. 2008. Budidaya Ikan Patin. Dikutip dari : http://usniarie. blogspot.
com/2008/04/budidaya -ikan-patin. htmal. google. com, pada tanggal 15
Maret 2009, pukul 18.45 WIB.
Zonneveld N, Huisman E A, Bonn JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 hlm.
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1. Tabel RAL dan analisis ragam pertambahan bobot mutlak benih ikan
patin pasupati
Kepadatan tebar Ulangan ke- Total Average Stdev
(ekor/liter) 1 2 3
25 1,62 2,99 2,27 6,88 2,29 0,68
50 1,40 1,73 1,43 4,56 1,52 0,18
75 1,28 1,61 0,71 3,60 1,20 0,46
100 0,64 1,09 0,64 2,37 0,79 0,26
Total 4,94 7,42 5,05 17,40 5,80 1,40
FK = Y..2
r.t
= 17,402
4.3
= 25,24
JKT = Y.r2 - FK
= 30,44 – 25,24
= 5,20
JKP = Y.i2 _ FK
t
= 86,66 – 25,24
3
= 3,64
JKG = JKT – JKP
= 5,20 – 3,64
= 1,55
KTP = JKP = 3,64 = 1,21
r – 1 4 - 1
KTG = JKG = 1,55 = 0,19
r(t – 1) 4 (3 – 1)
F hit = KTP = 1,21 = 6,26
KTG 0,19
Tabel SK 95%
Sumber Keragaman db JK KT Fhit Ftab
Perlakuan 3 3,64 1,21 6,26 4,07
Galat 8 1,55 0,19
Total 11 5,19
Kesimpulan : Pada selang kepercayaan 95%, F hitung > F tabel menunjukkan
perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda berpengaruh
terhadap pertambahan bobot mutlak benih ikan patin pasupati
48
Uji lanjut BNT :
BNT = t α / 2, db Galat x (Sy – y)
(Sy – y)= rKTG2
=
= 0,31
BNT = t (0,025 , 8) x 0,31
= 2,306 x 0,310
= 0,71
Selisih nilai rataan pertambahan bobot mutlak tiap perlakuan :
Kepadatan tebar (ekor/10 liter)
100 75 50 25
0,79 1,20 1,52 2,29
0,41 0,73* 1,5*
0,32 1,09*
0,77*
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan tanda * adalah berbeda nyata
pada uji BNT 5%
4
19 , 0 2 x
49
Lampiran 2. Tabel RAL dan analisis ragam pertambahan panjang mutlak benih
ikan patin pasupati
Kepadatan tebar Ulangan ke- Total Average Stdev
(ekor/liter) 1 2 3
25 4,48 5,48 5,00 14,96 4,99 0,50
50 4,09 4,48 4,08 12,65 4,22 0,23
75 3,99 4,01 3,09 11,09 3,70 0,53
100 3,18 3,48 2,99 9,65 3,22 0,25
Total 15,74 17,45 15,16 48,35 16,12 1,19
FK = Y..2
r.t
= 48,352
4.3
= 194,81
JKT = Y.r2 - FK
= 201,64 – 194,81
= 6,45
JKP = Y.i2 _ FK
t
= 599,93 – 194,81
3
= 5,17
JKG = JKT – JKP
= 6,45 – 5,17
= 1,28
KTP = JKP = 5,17 = 1,72
r – 1 4 - 1
KTG = JKG = 1,28 = 0,16
r(t– 1) 4 (3 – 1)
F hit = KTP = 1,72 = 10,77
KTG 0,16
Tabel SK 95%
Sumber Keragaman db JK KT Fhit Ftab
Perlakuan 3 5,17 1,72 10,77 4,07
Galat 8 1,28 0,16
Total 11 6,45
Kesimpulan : Pada selang kepercayaan 95%, F hitung > F tabel menunjukkan
perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda berpengaruh
terhadap pertambahan panjang mutlak benih ikan patin pasupati
50
Uji lanjut BNT :
BNT = t α / 2, db Galat x (Sy – y)
(Sy – y)= rKTG2
=
= 0,28
BNT = t (0,025 , 8) x 0,28
= 2,306 x 0,28
= 0,65
Selisih nilai rataan pertambahan panjang mutlak tiap perlakuan
Kepadatan tebar (ekor/10 liter)
100 75 50 25
3,22 3,70 4,22 4,99
0,48 1,00* 1,77*
0,52 1,29*
0,77*
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan tanda * adalah berbeda nyata
pada uji BNT 5%
4
16 , 0 2 x
51
Lampiran 3. Tabel RAL dan analisis ragam laju pertumbuhan spesifik benih ikan
patin pasupati
Kepadatan tebar Ulangan ke- Total Average Stdev
(ekor/liter) 1 2 3
25 35,87 38,03 35,08 108,98 36,33 1,53
50 32,35 33,84 32,07 98,26 32,75 0,95
75 31,45 35,27 30,52 97,24 32,41 2,52
100 31,01 30,64 29,70 91,35 30,45 0,68
Total 130,68 137,78 127,37 395,83 131,94 5,32
FK = Y..2
r.t
= 395,832
4.3
= 13056, 78
JKT = Y.r2 - FK
= 13130, 76 – 13056,78
= 73,98
JKP = Y.i2 _ FK
t
= 39332, 11– 13056,78
3
= 53,92
JKG = JKT – JKP
= 73, 98 – 53,92
= 20,06
KTP = JKP = 73,98 = 17,98
r – 1 4 - 1
KTG = JKG = 20,06 = 2,51
r(t – 1) 4 (3 – 1)
F hit = KTP = 17,98 = 7,17
KTG 2,51
Tabel SK 95%
Sumber Keragaman db JK KT Fhit Ftab
Perlakuan 3 53,92 17,97 7,17 4,07
Galat 8 20,06 2,51
Total 11 73,98
Kesimpulan : Pada selang kepercayaan 95%, F hitung > F tabel menunjukkan
perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan spesifik benih ikan patin pasupati
52
Uji lanjut BNT :
BNT = t α / 2, db Galat x (Sy – y)
(Sy – y)= rKTG2
=
= 1,12
BNT = t (0,025 , 8) x 1,12
= 2,306 x 1,12
= 2,58
Selisih nilai rataan laju pertumbuhan spesifik tiap perlakuan
Kepadatan tebar (ekor/10 liter)
100 75 50 25
30,45 32,41 32,75 36,33
1,96 2,3 5,88*
0,34 3,92*
3,58*
Keterangan : Angka-angka diikuti dengan tanda * adalah berbeda nyata
pada uji BNT 5%
4
51 , 2 2 x
53
Lampiran 4. Tabel RAL dan analisis ragam efisiensi pakan benih ikan patin
pasupati
Kepadatan tebar Ulangan ke- Total Average Stdev
(ekor/ liter) 1 2 3
25 83,58 91,97 102,26 277,81 92,60 9,36
50 103,68 76,94 91,14 271,76 90,59 13,38
75 89,30 88,01 85,24 262,55 87,52 2,07
100 69,09 97,33 92,88 259,30 86,43 15,18
Total 345,65 354,25 371,52 1071,42 357,14 13,17
FK = Y..2
r.t
= 1071,422
4.3
= 95661,73
JKT = Y.r2 - FK
= 96736,37 – 95661,73
= 1074,63
JKP = Y.i2 _ FK
t
= 287200,89 – 95661,73
3
= 71,89
JKG = JKT – JKP
= 95661,73 – 95661,73
= 1002,74
KTP = JKP = 71,89 = 23,96
r – 1 4 - 1
KTG = JKG = 1002,74 = 125,34
r(t – 1) 4 (3 – 1)
F hit = KTP = 23,96= 0,19
KTG 125,34 Tabel SK 95%
Sumber Keragaman db JK KT Fhit Ftab
Perlakuan 3 71,89 23,96 0,19 4,07
Galat 8 1002,74 125,34
Total 11 1074,63
Kesimpulan : Pada selang kepercayaan 95%, F hitung < F tabel menunjukkan
perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda tidak berpengaruh
terhadap efisiensi pakan benih ikan patin pasupati
54
Lampiran 5. Tabel RAL dan analisis ragam sintasan benih ikan patin pasupati
Kepadatan tebar Ulangan ke- Total Average Stdev
(ekor/liter) 1 2 3
25 64,40 70,70 76,90 212,00 70,67 6,25
50 71,10 52,50 62,60 186,20 62,07 9,31
75 63,90 58,90 53,90 176,70 58,90 5,00
100 41,87 50,25 45,27 137,39 45,80 4,21
Total 241,27 232,35 238,67 712,29 237,43 4,59
FK = Y..2
r.t
= 237,432
4.3
= 42279,75
JKT = Y.r2 - FK
= 43574,84 – 42279,75
= 1295,09
JKP = Y.i2 _ FK
t
= 129713,13 – 42279,75
3
= 958,03
JKG = JKT – JKP
= 1295,09 – 958,03
= 337,06
KTP = JKP = 958,03 = 319,34
r – 1 4 - 1
KTG = JKG = 337,06 = 42,13
r(t – 1) 4 (3 – 1)
F hit = KTP = 319,34 = 7,58
KTG 42,13
Tabel SK 95%
Sumber Keragaman db JK KT Fhit Ftab
Perlakuan 3 958,03 319,34 7,58 4,07
Galat 8 337,06 42,13
Total 11 1295,09
Kesimpulan : Pada selang kepercayaan 95%, F hitung > F tabel menunjukkan
perlakuan tingkat kepadatan tebar yang berbeda berpengaruh
terhadap sintasan benih ikan patin pasupati
55
Uji lanjut BNT :
BNT = t α / 2, db Galat x (Sy – y)
(Sy – y)= rKTG2
=
= 4,58
BNT = t (0,025 , 8) x 4,58
= 2,306 x 4,58
= 10,56
Selisih nilai rataan tingkat kelangsungan hidup tiap perlakuan :
Kepadatan tebar (ekor/10 liter)
100 75 50 25
45,80 58,90 62,07 70,67
13,10* 16,30 * 24,90 *
3,20 11,80*
8,60
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan tanda * adalah berbeda nyata
pada uji BNT 5%
4
13 , 42 2 x
56
Lampiran 6. Data pengamatan panjang dan bobott benih ikan patin pasupati pada
sampling 1
Perlakuan Bobot rata-rata-rata
(gram) Panjang rata-rata
(cm)
A1 0,11 1,70
2 0,11 1,90
3 0,09 1,73
average 0,10 1,78
B1 0,06 1,56
2 0,07 1,71
3 0,05 1,61
average 0,06 1,62
C1 0,05 1,40
2 0,06 1,49
3 0,05 1,52
average 0,05 1,47
D1 0,05 1,42
2 0,05 1,43
3 0,04 1,48
average 0,05 1,44
Ket : A : Perlakuan kepadatan tebar 25 ekor/liter
B : Perlakuan kepadatan tebar 50 ekor/liter
C : Perlakuan kepadatan tebar 75 ekor/liter
D : Perlakuan kepadatan tebar 100 ekor/liter
1,2,3 : Ulangan perlakuan
57
Lampiran 7. Data pengamatan panjang dan bobot benih ikan patin pasupati pada
sampling 2
Perlakuan Bobot rata-rata-rata
(gram) Panjang rata-rata
(cm)
A1 0,32 2,68
2 0,59 3,28
3 0,34 2,79
average 0,42 2,91
B1 0,21 2,30
2 0,26 2,51
3 0,24 2,48
average 0,23 2,43
C1 0,20 2,22
2 0,52 3,21
3 0,21 2,83
average 0,31 2,75
D1 0,17 2,15
2 0,20 2,30
3 0,20 2,26
average 0,19 2,24
Ket : A : Perlakuan kepadatan tebar 25 ekor/liter
B : Perlakuan kepadatan tebar 50 ekor/liter
C : Perlakuan kepadatan tebar 75 ekor/liter
D : Perlakuan kepadatan tebar 100 ekor/liter
1,2,3 : Ulangan perlakuan
58
Lampiran 8. Data pengamatan panjang dan bobot benih ikan patin pasupati pada
sampling 3
Perlakuan Bobot rata-rata-rata
(gram) Panjang rata-rata
(cm)
A1 0,84 3,90
2 1,58 4,60
3 1,11 4,10
average 1,17 4,20
B1 0,67 3,50
2 0,82 3,80
3 0,79 3,70
average 0,76 3,67
C1 0,58 3,30
2 1,94 4,80
3 0,36 2,90
average 0,96 3,67
D1 0,28 2,60
2 0,32 2,70
3 0,36 2,90
average 0,32 2,73
Ket : A : Perlakuan kepadatan tebar 25 ekor/liter
B : Perlakuan kepadatan tebar 50 ekor/liter
C : Perlakuan kepadatan tebar 75 ekor/liter
D : Perlakuan kepadatan tebar 100 ekor/liter
1,2,3 : Ulangan perlakuan
59
Lampiran 9. Data pengamatan panjang dan bobott benih ikan patin pasupati pada
sampling 4
Perlakuan Bobot rata-rata-rata
(gram) Panjang rata-rata
(cm)
A1 1,62 4,80
2 2,99 5,80
3 2,27 5,30
average 2,29 5,30
B1 1,40 4,40
2 1,73 4,80
3 1,43 4,40
average 1,52 4,53
C1 1,28 4,30
2 1,61 4,01
3 0,71 3,40
average 1,20 3,90
D1 0,64 3,50
2 1,09 3,80
3 0,64 3,30
average 0,79 3,53
Ket : A : Perlakuan kepadatan tebar 25 ekor/liter
B : Perlakuan kepadatan tebar 50 ekor/liter
C : Perlakuan kepadatan tebar 75 ekor/liter
D : Perlakuan kepadatan tebar 100 ekor/liter
1,2,3 : Ulangan perlakuan
60
Lampiran 10. Perhitungan laju pertumbuhan spesifik sampling ke-1
Rumus laju pertumbuhan spesifik :
α = 1tWoWt x 100%
Keterangan :
α : Laju pertumbuhan spesifik (%)
Wt : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-t (gram)
Wo : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-0 (gram)
t : Waktu pemeliharaan (hari)
A1=0,000850
0,11- 110
; Ex100%= 62,63
A2=0,000860
0,1110 - 1
; Ex100%= 62,44
A3=0,000840
0,0910 - 1
; Ex100%= 59,58
B1=0,000860
0,0610 - 1
; Ex100%= 52,88
B2=0,000840
0,0710 - 1
; Ex100%= 55,62
B3=0,000860
0,0510 - 1
; Ex100%= 50,12
C1=0,000850
0,0510 - 1
; Ex100%= 50,29
C2=0,000840
0,0610 - 1
; Ex100%= 53,24
C3=0,000860
0,0510 - 1
; Ex100%= 50,12
D1=0,000840
0,05- 110
; Ex100%= 50,47
D2 =0,000860
0,05- 110
; Ex100%= 50,12
D3 =0,000840
0,0410 - 1
; Ex100%= 47,15
61
Lampiran 11. Perhitungan laju pertumbuhan spesifik sampling ke-2
A1 =0,000850
0,3220 - 1
; Ex100%= 34,52
A2 =0,000860
0,5920 - 1
; Ex100%= 38,62
A3 =0,000840
0,3420 - 1
; Ex100%= 35,00
B1 =0,000860
0,2120 - 1
; Ex100%= 31,64
B2 =0,000840
0,2620 - 1
; Ex100%= 33,21
B3 =0,000860
0,2420 - 1
; Ex100%= 35,52
C1 =0,000850
0,2020 - 1
; Ex100%= 31,39
C2 =0,000840
0,5220 - 1
; Ex100%= 37,91
C3 =0,000860
0,2120 - 1
; Ex100%= 31,64
D1 =0,000840
0,1720 - 1
; Ex100%= 34,41
D2 =0,000860
0,2020 - 1
; Ex100%= 31,32
D3 =0,000840
0,2020 - 1
; Ex100%= 31,47
62
Lampiran 12 . Perhitungan laju pertumbuhan spesifik sampling ke-3
A1 =0,000850
0,8430 - 1
; Ex100%= 25,55
A2=0,000860
1,5830 - 1
; Ex100%= 28,44
A3=0,000840
1,1130 - 1
; Ex100%= 26,76
B1=0,000860
0,6730 - 1
; Ex100%= 24,57
B2=0,000840
0,8230 - 1
; Ex100%= 25,50
B3=0,000860
0,7930 - 1
; Ex100%= 25,25
C1=0,000850
0,5830 - 1
; Ex100%= 24,03
C2=0,000840
1,9430 - 1
; Ex100%= 29,19
C3 =0,000860
0,3630 - 1
; Ex100%= 22,04
D1=0,000840
0,2830 - 1
; Ex100%= 21,13
D2=0,000860
0,3230 - 1
; Ex100%= 21,57
D3=0,000840
0,3630 - 1
; Ex100%= 22,14
63
Lampiran 13. Perhitungan laju pertumbuhan spesifik sampling ke-4
A1 =0,000850
1,6240 - 1
; Ex100%= 20,78
A2=0,000860
2,9940 - 1
; Ex100%= 22,61
A3=0,000840
2,2740 - 1
; Ex100%= 21,84
B1=0,000860
1,4040 - 1
; Ex100%= 20,31
B2=0,000840
1,7340 - 1
; Ex100%= 21,02
B3=0,000860
1,4340 - 1
; Ex100%= 20,37
C1=0,000850
1,2840 - 1
; Ex100%= 20,07
C2=0,000840
1,6140 - 1
; Ex100%= 20,79
C3 =0,000860
0,7140 - 1
; Ex100%= 18,28
D1=0,000840
0,6440 - 1
; Ex100%= 18,04
D2=0,000860
1,0940 - 1
; Ex100%= 19,55
D3=0,000840
0,6440 - 1
; Ex100%= 18,04