i gede ab wiranata - revitalisasi dan reorientasi nilai-nilai atas tanah sebagai objek investasi...

35
REVITALISASI DAN REORIENTASI NILAI-NILAI ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK INVESTASI DALAM PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI DI ERA GLOBAL Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dalam Bidang Ilmu/Mata Kuliah Hukum Perdata (Hukum Bisnis) Diucapkan di hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Lampung, Gedung Serba Guna, Bandarlampung, 10 November 2009 Oleh: Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H. UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2009

Upload: yusri-darmadi

Post on 23-Nov-2015

124 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pidato

TRANSCRIPT

  • REVITALISASI DAN REORIENTASI NILAI-NILAI ATAS

    TANAH SEBAGAI OBJEK INVESTASI DALAM

    PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI DI ERA GLOBAL

    Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Lampung

    dalam Bidang Ilmu/Mata Kuliah Hukum Perdata (Hukum Bisnis)

    Diucapkan di hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Lampung, Gedung Serba Guna,

    Bandarlampung, 10 November 2009

    Oleh:

    Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H.

    UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG

    2009

  • REVITALISASI DAN REORIENTASI NILAI-NILAI ATAS

    TANAH SEBAGAI OBJEK INVESTASI DALAM

    PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI DI ERA GLOBAL

    Oleh:

    Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H.

    UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG

    2009

  • KATA PENGANTAR

    Salah satu bentuk kegiatan ekonomi dalam skala makro adalah terbukanya peluang menanamkan investasi di suatu negara. Keberadaan investasi tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan akan tanah. Pengaruh keberadaan kegiatan penanaman modal/investasi sejalan dengan laju gerak ekonomi global adalah terbukanya peluang terhadap alih fungsi tanah untuk kegiatan investasi.

    Tanah mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terpisahkan dari keberadaan tanah. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis pula karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek filsafat sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan hukum.

    Pengalihan hak-hak atas tanah baik yang dilandasi oleh kepentingan personal maupun dalam konteks yang lebih luas sebagai imbas dari peluang masuknya investasi ke suatu Negara, dilandasi oleh sejumlah faktor pendorong yang mempengaruhinya. Di pihak lain hubungan hukum pengalihan hak yang bersandarkan kepada hubungan keperdataan semata-mata yang memberikan kebebasan yang utama bagi pemilik tanah untuk melakukan pengalihan hak, menimbulkan situasi dilematik. Situasi demikian disebabkan karena jumlah tanah yang tidak bertambah, kebutuhan dasar yang sifatnya kompleks (mengingat tanah memiliki berbagai nilai dan fungsi), serta kegiatan investasi yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu.

    Dalam konteks pembangunan politik hukum, khususnya hukum ekonomi di era global, menghadapi situasi dilematik di atas, maka arah kebijakan politik penyusunan ketentuan hukum khususnya hukum ekonomi di masa depan harus diarahkan ke pemaknaan kembali fungsi tanah, kepastian hak-hak atas tanah, nilai-nilai magis religius atas tanah, serta pencapaian kesejahteraan masyarakat dalam skala makro tanpa mengorbankan fungsi sosial tanah, dan kewenangan negara sebagai institusi tertinggi yang menguasai tanah. Namun di sisi lain, juga tidak mungkin kita menolak investasi hanya karena menyandarkan dampak negatif alih fungsi atas tanah dan kegagalan pengelolaan manajemen investasi selama ini. Perlu ada keseimbangan pemaknaan nilai atas tanah, melalui penyadaran fungsi sosial dan pemberdayaan masyarakat dalam memaknai fungsi ekonomi atas tanah, sehingga tanah kembali kepada maknanya yang hakiki. Dalam konteks inilah revitalisasi dan reorientasi akan menjadi dasar ke arah reformulasi hukum dan sistem hukum menuju era globalisasi dan modernisasi ekonomi.

    Kajian dengan judul "Revitalisasi dan Reorientasi Nilai-nilai Atas Tanah Sebagai Objek Investasi dalam Pembangunan Ekonomi di Era Global" ini disusun sebagai Pidato Ilmiah dalam acara Pengukuhan dan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Mata Kulliah/Bidang Ilmu Hukum Perdata (Hukum Bisnis) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

    Terimakasih kepada berbagai pihak yang telah berpartisipasi aktif dalam membantu terselenggaranya kegiatan ini.

    Bandarlampung, 10 November 2009

    Prof. DR. I Gede A.B Wiranata, S.H., M.H.

  • Yang terhormat; Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat dan Seluruh Anggota Senat Universitas Lampung; Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universitas Lampung; Para Pejabat Pemerintah Kota/Kabupaten; Para Pejabat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Militer; Para Dekan dan Pembantu Dekan di Lingkungan Universitas Lampung; Para Kepala Lembaga dan Ketua UPT di Lingkungan Universitas Lampung; Para Ketua/Sekretaris Bagian, Kepala Laboratorium, Staf Pengajar, dan Staf Administrasi, serta mahasiswa (S1, S2, dan S3), dan Alumni di lingkungan Universitas Lampung; Para Tamu Undangan, Sanak keluarga dan Hadirin yang saya hormati pula. Assalamualaikum Wr.Wb. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua Om Swasti Astu,- Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Widi Wasa, yang telah melimpahkan karunia, kenikmatan, kesehatan dan kelapangan hati kepada kita semua sehingga hari ini Senin, 9 - November 2009 dapat berkumpul di Gedung Serba Guna Unila guna mengikuti acara Sidang Rapat Senat Terbuka Universitas Lampung dalam rangka Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Para hadirin yang terhormat, Mengikuti kebiasaan yang lazim dalam lingkungan perguruan tinggi pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar, dengan segala kerendahan hati perkenankanlah saya dalam kesempatan ini menyampaikan kepada sidang yang mulia, pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang ilmu/mata kuliah Hukum Perdata (Hukum Bisnis) pada Fakultas Hukum Universitas Lampung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 50061/A4.5/KP/2008 Tanggal 31 Juli 2008 Terhitung 1 Agustus 2008 dengan mengetengahkan judul: REVITALISASI DAN REORIENTASI NILAI-NILAI ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK INVESTASI DALAM PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI DI ERA GLOBAL dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan maaf oleh karena dalam waktu hampir lebih dari 1 (satu) tahun sejak ditetapkan sebagai guru besar, baru kali ini sempat menyampaikan pidato oleh karena berbagai hambatan. I. PENDAHULUAN

    Pada hakekatnya, pembangunan merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan terus menerus untuk mencapai suatu tingkat kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Upaya dimaksud dilakukan melalui pemanfaatan potensi yang dimiliki, manusia yang berkualitas, kemampuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan tantangan perkembangan global.

    Kesepakatan nasional tentang paradigma sistem ekonomi seperti apa yang harus kita bangun, telah disusun oleh the founding fathers kita yakni sesuai dengan kententuan konstitusi, khususnya Pembukaan dan Pasal 33 dan 34 juncto Pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4 (empat) kali diamandemen.

    Sejalan dengan perkembangan masyarakat dunia, maka kini sistem ekonomi dan perkembangan ekonomi telah dibayang-bayangi oleh globalisasi. Secara sederhana, istilah globalisasi sebenarnya mengacu kepada makin menyatunya unit-unit ekonomi di berbagai belahan dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia yang besar dan bertumbuh dari waktu ke waktu, tanpa batas, dan memposisikan kebersamaan dalam konsep kesederajatan dan keseimbangan. Kejelasan konsep globalisasi tersebut, senyatanya tidaklah mudah dan

  • gampang sebagaimana realitas yang tergambar. Fenomana globalisasi menjadi kian kompleks dirasakan manakala kita berbicara dalam perspektif makro dimana bertemunya negara satu dengan negara lain, dari suatu benua di belahan dunia lain, dan pelaku ekonominya berasal dari berbagai belahan dunia tanpa batas yang jelas sekat-sekat asal-usul pelakunya.

    Kata globalisasi diambil dari kata global, yang bermakna universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya, sehingga menjadi isu politik akhir-akhir ini neoliberalism. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam

    bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti hukum, politik, sosial, budaya dan agama. Tidak salah bila kemudian muncul pro kontra pemaknaan mengenai globalisasi, ada yang menilai dalam arti sempit dan tunggal, sebaliknya ada yang memaknai sebagai suatu proses universal, sehingga tidak bisa dipungkiri keberadaannya karena menimpa bagian terbesar masyarakat bahkan tingkat dunia sekalipun. Dengan demikian globalisasi mencakup nilai internal dan eksternal kemanusiaan, mencakup konsep material dan immaterial tata nilai sosial kehidupan masyarakat.

    Globalisasi sesungguhnya mencakup arti multi dimensi, sebuah proses kompleks, berlangsung terus menerus dalam berbagai bidang; ekonomi, politik, budaya, teknologi, dan bidang-bidang lainnya termasuk hukum. Pada tataran umum, pemaknaan mengenai globalisasi seringkali berangkat dari konsep dan pandangan subyektif. Ahli ekonomi, misalnya memaknai globalisasi kaitannya dengan keberadaan perkembangan pasar global (di mana di dalamnya berkembang fenomena free market dan free competition). Allan Rugman, adalah salah seorang yang memaknai globalisasi dalam perspektif ini. Globalisasi dinyatakannya sebagai aktivitas multinational enterprise dalam membangun jaringan bisnis dan pembangunan di luar juridiksi wilayah nasionalnya dalam upaya untuk menciptakan nilai (ekonomis) di luar batas-batas nasionalnya. Malcom Waters1 mendefiniskan globalisasi sebagai suatu proses yang melampaui batas-batas dukungan geografi, sosial dan budaya, dan manusia semakin menyadari bahwa kungkungan itu semakin kabur. Waters selanjutnya merinci definisi globalisasi dengan menunjukkan bahwa konsep globalisasi itu menampilkan dirinya dalam 3 (tiga) kategori konsep kehidupan, yakni:

    a. konsep ekonomi: mencakup keseluruhan pengaturan tentang proses produksi, pertukaran, distribusi dan konsumsi barang dan jasa;

    b. konsep politik: mencakup pengaturan sosial dalam pemusatan pelaksanaan kekuasaan khususnya dengan menggunakan kekuatan yang bersifat memaksa (militer, polisi, hukum, dan sebagainya) dan proses transformasi prakteknya sebagai kewenangan, diplomasi yang dapat melahirkan kontrol terhadap rakyat dan wilayah;

    c. konsep budaya: mencakup pengaturan sosial dalam proses produksi, pertukaran dan perwujudan simbol-simbol yang mewakili fakta-fakta, pengaruh, makna, kepercayaan, kecenderungan, selera dan nilai-nilai.

    1 Malcom Waters, sebagaimana dikutip dari: Yoserwan, Hukum Ekonomi Indonesia dalam Era Reformasi dan Globalisasi. Andalas University Press, Padang, 2006, hlm. 304

  • Berdasarkan ragam paparan pemaknaan globalisasi di atas, terlihat bahwa betapa globalisasi sebagai sebuah proses merupakan konsep yang alamiah sifatnya, namun sekaligus globalisasi juga adalah proses yang secara sengaja dilahirkan dari sebuah aktivitas manusia. Akibatnya, globalisasi adalah keniscayaan, sehingga siapapun tak mungkin dapat menghindar dari proses ini. Sebagai sebuah proses, globalisasi akan terus terjadi, terus bergulir, disukai ataupun tidak; karena memang, penerimaan terhadap makna, konsep dan karakteristik globalisasi hingga saat ini masih pro dan kontra di sebagian besar penstudi/akademisi, dan para pakar. Sebagian dari mereka bahkan tidak meyakini adanya globalisasi. Pasca Putaran GATT 1994 (meskipun dalam pertemuan tersebut tidak semuanya dapat disepakati dari sebelas aspek investasi dalam rangka TRIMs), Indonesia telah melangkah maju antara lain dengan mengambil langkah strategis di bidang politik hukum dan politik ekonominya, antara lain:

    a. menetapkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization;

    b. menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang menghapus persyaratan pemilikan saham lokal mayoritas sehingga aspek pemilikan saham lokal telah dihapus di Indonesia;

    c. menerapkan kebijakan devisa bebas. Dampaknya adalah pembatasan transfer devisa telah dihapuskan dalam sistem hukum di Indonesia;

    d. menetapkan Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1987 mengenai pencabutan terhadap Pembatasan Kapasitas Produksi;

    e. menetapkan ketentuan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual (Paten, Hak Cipta, Merek, Desain Industri, Perlindungan Varietas Tanaman, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Rahasia Dagang).

    Beberapa langkah dan upaya di atas, tentu dapat dimaknai sebagai bagian dari

    skenario besar ke arah implementasi tuntutan ekonomi global dan upaya reposisi Indonesia mengambil peran dalam kancah pergaulan antar bangsa. Memang langkah maju telah digagas melalui media perundingan internasional, dengan antara lain membentuk organisasi internasional yang diberi tugas membangun visi harmonis pergaulan ekonomi antar bangsa. Sebut saja misalnya Organisasi Internasional PBB, institusi regional atau multilateral seperti: ASEAN, AFTA, NAFTA, APEC, IMF, World Bank, WTO, GATT, dan sebagainya. Namun harus pula diakui lembaga-lembaga tersebut masih belum mencapai upaya yang optimal dalam melaksanakan misinya. Tidak jarang akibat tuntutan yang terlalu besar terhadap peran organisasi internasional tersebut, dan sulitnya menemukan titik temu harmonisasi konsep yang dapat diterima semua anggotanya, menjadikan organisasi tersebut diacuhkan oleh sebagian besar anggotanya sendiri. Kegagalan WTO dalam pertemuan di Cancun, misalnya justeru telah dimaknai sebagai kegagalan globalisasi. Secara ekstrim Allan Rugman malah menyebutnya sebagai tamatnya globalisasi. Di sisi lain, Dani Rodrik bahkan secara skeptis menggarisbawahi bahaya modernisasi yang mengintai keberadaan ummat manusia di muka bumi ini, sehingga harus diwaspadai keberadaannya karena telah menimbulkan ketegangan antara globalisasi dan ikatan sosial lainnya (social cohesion)2.

    Kemunculan globalisasi merupakan implementasi ide dari negara-negara maju yang memiliki ambisi besar untuk mengusai dunia. Globalisasi tak ubahnya sebuah kendaraan bagi negara-negara maju untuk mencapai tujuan ekonomi, politik, serta sosial dengan negara-negara berkembang sebagai bahan bakarnya. Dengan pemaknaan globalisasi secara umum pada uraian sebelumnya, maka di bidang ekonomi, globalisasi ekonomi dengan

    2 Dani Rodrik. Has Globalization Gone too Far, Insitute for International Economics. Washington DC. 1997.

  • demikian dapat dinyatakan sebagai perubahan ekonomi dunia yang bersifat mendasar atau struktural, dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat termasuk di dalamnya adalah perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antar negara, tidak hanya dalam perdagangan internasional, tetapi juga dalam investasi, keuangan, dan produksi.3

    Besarnya pengaruh kemajuan teknologi terhadap kehidupan manusia di muka bumi yang mendorong proses globalisasi ekonomi kian pesat, sesungguhnya telah diprediksi oleh Alfin Tofler awal tahun 1980-an. Menurutnya, akibat progres di bidang teknologi, akan terjadi kejutan dan lompatan masa depan yang sangat mungkin akan melahirkan revolusi baru. Apabila dalam abad pertengahan, proses evolusi bercirikan fenomena industri, maka di masa depan teknologi khususnya teknologi informasilah yang akan mendominasi kinerja perkembangan dunia dan masyarakat pada umumnya. Pada akhirnya yang terbentuk adalah masyarakat informasi atau masyarakat global yang lepas dari batas-batas kewilayahan, karena umumnya informasi di masa depan tidak terbatas lagi oleh sekat-sekat wilayah yang bersifat formal.

    Posisi Asia yang strategis, Indonesia antara lain di dalamnya, dengan kinerja ekonominya, sangat menarik perhatian dunia. Dominasi Asia dalam posisi strategis itu pernah pula diramalkan olah futurology terkenal John Naisbitt (1996), yang meramalkan bahwa 50 tahun mendatang akan jelas bahwa perkembangan global dan bagian awal abad ke-21 yang paling penting adalah modernisasi Asia. Asia diramalkan akan menjadi kawasan yang dominan di dunia, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Terlepas bahwa meski akhirnya tidak sepenuhnya ramalan dari futurologi John Naisbitt di atas (karena wilayah Asia diterpa krisis moneter), paling tidak krisis ekonomi 1997-1998 memang terasa luar biasa dampaknya bagi perkembangan ekonomi di kawasan ini. Indonesia adalah satu dari Negara yang terkena imbas ekonomi global akibat merosotnya nilai tukar terhadap dolar. Ditopang olah rapuhnya struktur ekonomi, penegakan hukum yang masih setengah hati, keterpurukan itupun hingga dekade ini belum sepenuhnya dapat teratasi. Benarkah renaissance ala John Naisbitt terwujud di masa depan di kawasan Asia? Yang jelas 8 megatrend Asia yang menggoncang dunia dalam 8 perspektif di bawah ini dapat dijadikan bahan analisis awal:4

    a. dari Negara bangsa ke jaringan; b. dari tuntutan ekspor ke tuntutan konsumen; c. dari pengaruh Barat ke cara Asia; d. dari kontrol pemerintah ke tuntutan pasar; e. dari desa ke metropolitan; f. dari dominasi pria ke munculnya kaum wanita/gender; g. dari Barat ke Timur.

    Prediksi kebangkitan ekonomi juga dimaknai oleh Ohmae (1995). Argumen Ohmae didasarkan pada fakta berakhirnya posisi Negara - bangsa. Menurutnya, sukses suatu industri atau daerah bukan merupakan fungsi dari Negara saja, namun terutama kombinasi antara individu, lembaga, dan budaya dalam industri atau daerah tersebut. Kompetitifnya Jepang, misalnya bukan karena Negara, tetapi di tangan industri-industri Jepang, lebih khusus lagi di tangan sejumlah perusahaan yang dikendalikan oleh para individu dalam industri tersebut.5

    3 Tulus Tambunan, 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta, hlm. 1. 4 Mudrajad, Kuncoro. 2003. Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMP YKPN. Yogyakarta, hlm. 311. 5 Ibid, hlm. 332.

  • Posisi strategis mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dicermati dari berbagai isu utama dalam konteks globalisasi. Beberapa isu utama dimaksud di antaranya:

    a. Rasio peningkatan perdagangan internasional; rasio peningkatan aktivitas perdagangan suatu negara yang dicerminkan dari tingkat rasionalisasi ekspor dan impor produk terhadap PDB-nya;

    b. Aktivitas peran serta negara dalam produk bersama; semakin aktif keterlibatan suatu negara dalam proses produksi bersama maka negara tersebut semakin diperhitungkan sebagai sebuah negara yang memiliki posisi strategis. Sebagai contoh dalam produksi pesawat Boeing, terdapat lebih dari 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat tersebut; Indonesia cukup diperhitungkan sebagai negara yang memiliki potensi besar dalam proses membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat Cessna;

    c. Arus investasi asing yang masuk ke suatu Negara; Negara-negara besar umumnya memiliki posisi dominan yang berpotensi kuat berekspansi memperluas jaringan masuknya ke negara-negara dunia ketiga. Tidak jarang produk investasi negara maju tersebut akhirnya menguasai sebagian terbesar jalur distribusi unit usaha dari hulu hingga ilir; yang dalam perspektif lebih luas menjadikan timbulnya peluang monopoli atas produk, baik sejak tahap produksi maupun jaringan distribusi atas produk. Halwani6 menyebutkan semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan

    ekonomi secara nasional maupun regional yang berbarengan dengan semakin hilangnya kedaulatan suatu pemerintahan Negara, setidaknya dipengarui oleh berbagai sebab, seperti:

    a. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah; b. Lalu lintas devisa yang semakin bebas; c. Ekonomi negara yang semakin terbuka; d. Penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif suatu

    negara; e. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien; f. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seluruh

    dunia; g. Semakin banyaknya industri yang bersifat footlose sebagai akibat kemajuan teknologi

    (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam); h. Semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita; i. Semakin majunya tingkat pendidikan masyarakat dunia; j. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin maju di semua bidang; k. Semakin banyaknya jumlah penduduk dunia.

    Pelaku usaha tentu akan mencatat dalam lembar kelabu bagaimana krisis bulan Juli

    1997 yang dimulai dengan jatuhnya mata uang regional Korea Won. Bulan berikutnya Ringgit Malaysia juga terperosok. Nilai mata uang Rupiah Indonesia bulan berikutnya juga ikut terdepak. Singapura dan Taiwan meski mengalami hal serupa membiarkan nilai mata uangnya terdepresiasi, sementara Hongkong mematok mata uangnya melalui intervensi pasar dengan memanfaatkan cadangan devisanya dengan meningkatkan biaya dana jangka pendeknya. Imbas effek domino yang sama juga dirasakan pasar bursa saham Amerika, Eropa, New Zealand, dan Australia. Meskipun sebagian dari Negara-negara tersebut berupaya sekuat tenaga untuk bangkit, kenyataannya tidak semua Negara mampu. Indonesia merupakan salah satu Negara yang hingga kini belum sepenuhnya mampu bangkit membangun sistem ekonominya.

    6 Tulus Tambunan, Op.Cit. hlm. 2.

  • Sebelum terjadi krisis ekonomi, perkembangan investasi di Indonesia menunjukkan peningkatan terutama PMDN yaitu sebesar $US 119,873 juta pada tahun 1997 dan $US 33,833 juta untuk PMA. Selama krisis, jumlah investasi terus merosot tajam hingga pada tahun 2000 diperkirakan hanya $US 6,087 juta (PMA) dan $US 17,497 juta (PMDN). Beberapa faktor yang menyebabkan keadaan tersebut di atas terutama disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan belum pulihnya kepercayaan investor terhadap penanganan resiko tinggi terhadap investasi. Dalam kondisi demikian, keberadaan peran pemerintah untuk menciptakan iklim yang kondusif mendorong PMA dan PMDN semakin dibutuhkan. Khusus perkembangan realisasi investasi periode 2002-2009 tampak sebagaimana tabel di bawah ini.

    Tabel 1. Realisasi Investasi Periode (data per 28/2/2009)

    Sumber: http://www.bkpm.go.id

    Penanaman modal, khususnya penanaman modal secara langsung (direct investment) memberi kontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, berimplikasi pula kepada keberadaan alih teknologi, penciptaan lapangan kerja baru, termasuk di sisi lain meningkatkan daya beli masyarakat.7 World Investment Report 2004 menempatkan Indonesia pada urutan ke 139 dari 144 negara yang saat ini menjadi tujuan investasi di dunia. Kondisi itu ternyata hanya sedikit lebih baik dari beberapa Negara di Amerika Tengah serta Suriname, sementara Negara yang menduduki peringkat atas yang menjadi sasaran untuk melakukan investasi adalah Belgia, Luxemburg, dan Brunei Darussalam8. Terlepas dari pro dan kontra hasil survey di atas, harus diakui bersama, bahwa globalisasi, makna, konsep maupun faktualnya merupakan suatu hal yang riil, dan eksis, suka atau tidak suka, siap ataupun tidak siap, globalisasi selalu menjadi topik diskusi dan tidak jarang menimbulkan ketegangan. Pertanyaannya adalah sejauh mana keberadaan globalisasi akan memiliki makna, dalam hal apa saja dia hadir, siapa yang menginginkannya, siapa yang menikmatinya, siapa yang dapat menarik kemanfaatannya. Bila globalisasi adalah sebuah perguliran proses, maka renungan terdalam yang kemudian muncul dalam bentuk pertanyaan yang harus ditemukan jawabannya adalah, apa hasil dari globalisasi itu, dus juga apa konsekwensi yang ditimbulkannya? Bagaimana pula implikasinya terhadap manajemen investasi harus dilakukan? Bagaimana dengan kontribusi nilai-nilai dan kearifan lokal suatu wilayah, bangsa, dan Negara dimana investasi itu dibangun? Beberapa pertanyaan itulah yang antara lain kini menyisakan sebuah perenungan

    7 Secara lebih spesifik laju pertumbuhan sektor ekonomi riil Indonesia dapat ditelaah dalam laporan bank Dunia, (World Bank, World Development Report 2005, a Better Investement Climate for Everyone, 2004, hlm. 24-30). Laporan ini juga mencantumkan keterkaitan antara investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. 8 Ibid.

    Tahun PMA PMDN NILAI PMA (US$, JUTA)

    NILAI PMDN (RP. MILYAR)

    2002 435 103 3.085.20 12.029.30

    2003 570 119 5.450.40 11.890.00

    2004 544 129 4.601.10 15.264.70

    2005 909 214 8.914.60 30.665.00

    2006 867 164 5.796.90 20.788.40

    2007 983 159 10.341.10 34.878.70

    2008 1.138 239 14.871.40 20.363.40

    2009 176 29 1.970.9 2.628.3

  • dan pemaknaan agar ketika globalisasi dan harmonisasi itu tiba, semuanya; pelaku usaha, pemerintah dan siapapun pelaku ekonomi pada umumnya mempunyai kesiapan mental untuk menghadapinya. II. TANAH, DIMENSI NILAI DAN KONTRIBUSINYA DALAM KEGIATAN INVESTASI

    Tanah mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia

    hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terpisahkan dari keberadaan tanah. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis pula karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek filsafat sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan hukum. Secara filosofi, misalnya masyarakat Jawa pada umumnya memiliki falsafah: sedhumuk bathuk senyari bumi, pecahing dodo, wutahing ludira, thumekaning pathi - yang bila diterjemahkan secara bebas bermakna segumpal tanah itu memiliki kedudukan yang sangat strategis, sangat berarti, yang dengan segala daya upaya akan dipertahankan termasuk pertumpahan darah, bahkan nyawa akan dikorbankan demi mempertahankan hak milik atas tanah.

    Oleh karena fungsi tanah mempunyai kedudukan sangat vital dalam kehidupan manusia, maka manusia dengan tanah mempunyai hubungan emosional yang sangat kuat. Hal demikian misalnya dapat diamati, pada sekelompok masyarakat eks penghuni daerah aliran sungai yang kini sudah menjadi waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, ketika menjelang bulan Romadhon tiba, apalagi bertepatan musim kemarau, mereka yang sudah dipindahkan ke pemukiman transmigrasi di Jambi, kembali pulang ke kampung halamannya. Meskipun sudah sekian tahun berlalu, mereka kembali melaksanakan ritual keagamaan nyekar menghaturkan sesaji kembang menyan sebagai penghormatan terhadap leluhur yang telah dikuburkan di areal Kedung Ombo. Fenomena ini berlanjut hingga kini, sekedar tentu kita bisa menerka seberapa jauh keterikatan emosional manusia terhadap tanah leluhurnya.

    Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti dan merupakan eksistensi seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, simbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya.9

    Dalam tataran masyarakat yang bersifat komunal, termasuk masyarakat sederhana pada umumnya, pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat individualisme semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat penghormatan terhadap hak perorangan. Di dalam hukum adat, antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya terdapat hubungan yang erat sekali. Hubungan erat ini bersumber pada pandangan yang bersifat religio magis. Hubungan ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya, serta berburu binatang-binatang yang hidup di situ.10

    9 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi & Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku

    Kompas, 2001, hlm. 159. Hal ini dikatakan juga oleh John Nonggor, dalam Resolving Conflict in Customary Law and Western Law in Natural Resource Development Papua New Guinea, Paper for Willington Congress on Legal Pluralisme, 1992, p. 3. 10

    Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan R. Ng. Soebekti Poesponoto, Jakarta; Pradnya

    Paramita, 1978, hlm. 98.

  • Keragaman aspek tanah, bermuara pada nilai yang melekat pada tanah. Multiple value tanah setidaknya terdiri dari 6 (enam) jenis nilai, yaitu: (1) nilai religius, (2) nilai lingkungan, (3) nilai sosial budaya, (4) nilai politik, (5) nilai ekonomi, serta (6) nilai hukum. Sumber daya tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai tanah mencakup keenam nilai tersebut. Meskipun tanah mempunyai nilai yang berbeda-beda, akan tetapi pemilik tanah pada umumnya cenderung menggunakan tanah miliknya untuk tujuan-tujuan yang memberikan manfaat tertinggi bagi dirinya sendiri.11 Nilai ekonomi (economic value) tanah ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan pemilik atau yang mengusahakannya. Aspek ini meliputi tanah untuk pertanian maupun nonpertanian. Oleh karena itu, tanah dipandang sebagai aset ekonomi sekaligus juga sebagai dasar nilai, terkait dengan belief system suatu masyarakat. Dari konsep melekat eratnya keberadaan tanah dalam dimensi pemikiran masyarakat, dimensi hubungan magis religious-nya, maka dapat dimaknai bahwa realitas hubungan antara tanah dan pemiliknya seakan-akan menyatu menuju ke arah taken for grented - menyatunya cipta, rasa, dan karsa yang seolah-olah otomatis menjadi satu kesatuan yang utuh.

    Pengelolaan tanah di Indonesia mempunyai landasan konstitusional yang kuat. Landasan tersebut tercantum dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang rumusannya sebagai berikut:

    Bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan

    dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

    Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Selain memuat Kebijakan Pertanahan Nasional (National Land Policy) dan menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia, undang-undang ini sekaligus merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang diharapkan merupakan alat untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat. UUPA dipandang sebagai reformasi hukum agraria di Indonesia. Dimaknai demikian, karena undang-undang ini bertujuan untuk mempersatukan (dan dengan demikian sekaligus menghilangkan) sistem ganda dari undang-undang agraria yang sebelumnya didasarkan atas Undang-Undang Agraria Kolonial tahun 1870-an. Hadirnya UUPA merupakan suatu bukti bahwa bangsa Indonesia bisa melepaskan diri dari pengaruh sistem hukum yang diciptakan oleh pemerintah penjajah Belanda. Namun lahirnya undang-undang baru itu dalam pelaksanaannya tidaklah berjalan secara mulus sebagaimana dibayangkan semula. Terdapat banyak persoalan-persoalan baru yang muncul dalam rangka politik agraria di Indonesia.

    Persoalan utama yang merupakan hasil dari politik agraria di masa lampau adalah konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam (SDA). SDA meliputi bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Konflik ini diawali dengan pemberian hak-hak baru oleh pemerintah pusat secara sektoral di atas tanah dan sumber daya alam tanpa adanya persetujuan secara sukarela oleh penduduk/pemilik atas pengalihan hak itu. Dengan dimensi konflik seperti itu, konflik agraria dan pengelolaan SDA terkait erat dengan: (1) hilangnya akses masyarakat terhadap tanah dan SDA lainnya; (2) kerusakan struktur sosial masyarakat, yang didasari atas struktur agraria yang timpang; dan (3) kerusakan kualitas SDA yang berkait langsung dengan turunan kualitas manusia yang hidup dengan SDA yang rusak.

    Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria, upaya penyelesaian

    terhadap kasus-kasus sengketa agraria di 19 provinsi di Indonesia tahun 1990 2000 dilakukan dengan cara: penganiayaan (38), pembunuhan (14), penembakan (21), penculikan

    11

    Muwarti B. Rahardjo & Sukardi Rinakit, Pemberdayaan Masyarakat Petani, dalam Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Penyunting Onny S. Projono dan AMW. Pranarka, Jakarta; CSIS, 1996, hlm. 158.

  • (7), penangkapan (73), pembakaran/perusakan rumah (25), pembabatan/pembakaran tanaman (27), teror (153), intimidasi (198), pemerkosaan (1) dan lain-lain (87).12

    Bila dicermati, masalah-masalah pertanahan yang timbul di atas, umumnya berakar pada:

    a. Pilihan model pembangunan yang tidak selaras dengan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia;

    b. Perbedaan pemaknaan, perlakuan dan kepentingan atas tanah yang secara fungsional/diametral bertolak belakang (di satu pihak tanah dimaknai sebagai aset ekonomi yang memiliki fungsi sosial, sementara di pihak lain dimaknai semata-mata sebagai barang komoditi dan modal untuk mencetak nilai lebih);

    c. Benturan kepentingan semakin diperparah oleh ketiadaan tata aturan yang jelas, tegas, tidak kontradiktif, komprehensif, dan sesuai dengan kepentingan sebagian besar rakyat - tentang bagaimana benda yang disebut tanah itu dikuasai, dimiliki, digunakan, dikelola dan dimanfaatkan. Sekurang-kurangnya ada lima masalah yang berhubungan dengan tanah dewasa ini.

    Pertama, masalah penciutan lahan pertanian karena didesak oleh bidang industri. Konflik pertanahan berpotensi menjadi ledakan sosial. Kalau lahan pertanian terus didesak oleh kepentingan-kepentingan bisnis, ledakan sosial bisa terjadi. Para petani merupakan mayoritas penduduk Indonesia.13 Persoalan tanah sangat terkait dengan hak-hak tanah dan pemilikan tanah yang sudah menjadi permasalahan yang begitu kompleks sifatnya. Dari perspektif historis tampak bahwa persoalan ketidakadilan pada kasus-kasus tanah menjadi ciri khasnya. Kedua, masalah krisis pemilikan tanah. Konsentrasi pemilikan tanah oleh orang-orang kota yang mempunyai modal tampak memunculkan dampak negatif di bidang ekonomi maupun sosial masyarakat pedesaan. Kasus-kasus pembebasan tanah di kawasan terpencil dengan ganti rugi yang tidak memadai dan tidak adilpun terjadi.14 Ketiga, masalah penggusuran tanah yang dilakukan demi pembangunan dan/atau kepentingan umum.

    Keempat, masalah pemeliharaan tanah. Tanah, hutan, sungai, serta daratan dieksploitasi secara besar-besaran demi industri tanpa memperhatikan persoalan ekologi/lingkungan. Secara umum telah terjadi krisis penggunaan tanah. Kelima, petani tidak selalu berada dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara, dan mengembangkan tanah pertanian miliknya, entah karena peraturan daerah atau karena pencemaran industri.

    Bila ditelusuri secara lebih mendalam, kompleksitas permasalahan dalam bidang pertanahan dan berbagai faktor penyebab sehingga membawa dampak secara legal formal, akan tampak sebagaimana diuraikan di bawah ini.

    a. Belum harmonisnya regulasi yang ada; Terdapat beberapa peraturan tentang izin lokasi dan hak atas tanah yang saling bertentangan. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) Pasal 22 disebutkan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota merupakan pedoman bagi pemerintah untuk mengeluarkan izin lokasi dan juga merupakan pedoman untuk mengeluarkan izin penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat di Kabupaten/Kota. Ini berarti secara tidak langsung UUPR menyebutkan bahwa izin lokasi diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Undang-undang ini sekarang sudah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan juga menyebutkan bahwa kewenangan pemerintah di bidang pertanahan berkaitan dengan izin lokasi, dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di mana proyek itu berada. Namun pengaturan berbeda dinyatakan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (Permenag) Nomor 2 Tahun

    12 Harian Umum Kompas, 25 Juni 2004. 13 Harian Umum Kompas, 27 September 2004 14 Anton Lucas, Land Disputes in Indonesia: Some Current Perspectives, dalam: Indonesia 53.

  • 1993 dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (Kepmenag) Nomor 22 Tahun 1993. Pada Permenag dan Kepmenag tersebut disebutkan bahwa pihak yang berwenang untuk mengeluarkan izin lokasi adalah Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten/Kota. Ketidaksinkronan juga dapat dicermati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) dan Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keduanya sama-sama menyebutkan bahwa kewenangan bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota. Ini berarti segala bentuk pengeluaran dan pemasukan ditanggung oleh Pemerintah Daerah walaupun ada beberapa perkecualian. Pada Kepmen Nomor 16 Tahun 1997 dan Kepmen Nomor 6 Tahun 1998 mengenai konversi hak atas tanah disebutkan bahwa setiap pemohon yang melakukan konversi hak harus membayar sejumlah uang kepada Negara. Walaupun tidak ada penjelasan khusus bahwa Negara itu merupakan Pemerintah Pusat tetapi pada UUPA disebutkan bahwa Negara memiliki kesamaan karakteristik dengan Pemerintah Pusat. Dengan demikian terlihat jelas pertentangannya. Di satu sisi Pemerintah Kabupaten/Kota harus mengurusi bidang pertanahan yang berarti memerlukan dana operasional, tetapi pendapatan yang akan diperolehnya justru diambil oleh Pemerintah Pusat.

    b. Interpretasi yang berbeda-beda; Interpretasi yang berbeda-beda merupakan konsekuensi dari banyaknya regulasi yang tidak disertai dengan aturan pelaksanaan yang lebih bersifat operasional. Keadaan ini menyebabkan setiap orang melakukan interpretasi berdasarkan keinginan dan kebutuhannya sendiri. Keadaan yang paling jelas adalah mengenai hak atas tanah. Dari sekian banyak hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA hanya 3 yang sudah diberikan regulasi penjelasnya. Ketiga hak tersebut yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Hak-hak lainnya hingga kini belum tersentuh oleh regulasi, sehingga potensial menimbulkan konflik. Interpretasi yang kurang baik juga terlihat dari munculnya asumsi yang salah di masyarakat awam. Masyarakat menganggap bahwa setiap pihak yang memiliki izin lokasi juga memiliki hak untuk menguasai tanah yang ada di wilayah yang termasuk dalam izin lokasi tersebut. Anggapan ini menyebabkan pihak yang memiliki izin lokasi begitu powerful dan memiliki bargaining power yang kuat. Padahal izin lokasi hanya merupakan izin untuk memperoleh tanah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah dan bisa juga digunakan sebagai izin pemindahan hak.

    c. Aturan pelaksanaan belum operasional; Aturan pelaksanaan yang belum operasional terlihat jelas pada pemanfaatan hak atas tanah. Seperti telah disebutkan sebelumnya dari sekian banyak hak atas tanah, baru tiga yang sudah dilengkapi dengan aturan penjelas. Keadaan ini akan membuat petugas di lapangan bingung dan masyarakat kembali menjadi pihak yang dirugikan. Selain hak atas tanah, aturan tentang konversi hak atas tanah juga tidak semuanya dijabarkan dalam aturan penjelas. Aturan tersebut hanya beberapa saja yang dijabarkan kembali. Padahal UUPA memungkinkan pemegang hak atas tanah untuk melakukan konversi hak atas tanah. Dalam melakukan konversi hak atas tanah, satu hal yang pasti adalah pemohon harus membayar sejumlah uang kepada negara. Dengan tidak adanya aturan penjelas, maka pemerintah baik pusat maupun daerah akan merugi karena masyarakat akan malas melakukan konversi sepanjang aturannya tidak jelas. Aturan pelaksanaan yang tidak operasional juga terlihat pada aturan terhadap tanah yang sudah dan tanah yang belum diperoleh.

    d. Tidak mengakomodasi keinginan masyarakat; Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya aturan mengenai spekulasi tanah dan juga mengenai penjualan izin lokasi yang dilakukan oleh pemohon lama kepada pemohon baru. Masyarakat awam sendiri sebenarnya mengharapkan agar para spekulan tanah yang juga merupakan makelar tanah bisa dibasmi. Pemerintah Daerah sendiri sebagai pihak yang berwenang seharusnya mengontrol proses yang terjadi ketika pemilik izin lokasi

  • mulai melakukan pembebasan tanah. Sayangnya, kedua harapan tersebut tak pernah terakomodasi dalam kebijakan pertanahan selama beberapa dekade.

    Kompleksitas masalah di bidang pertanahan di atas, mendorong perlunya dilakukan

    pemikiran kembali relasi manusia dengan tanah. Semua harus peduli dan memperhatikan apa yang terjadi dengan tanah. Ketidakpedulian terhadap tanah akan menjauhkan manusia dengan tanah sebagai penghasil makanan pokok.

    Arus masuknya investasi ke suatu negara termasuk Indonesia, memerlukan keberadaan tanah sebagai objek yang memungkinkan seluruh kegiatan investasi dapat dilaksanakan secara maksimal. Ketentuan mengenai pemakaian tanah dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 tertuang pada Pasal 14 sebagai berikut:

    Untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai menurut peraturan perundangan yang berlaku. Menurut penjelasan Pasal 14 Undang-Undang Penanaman Modal Asing dinyatakan

    bahwa: 1) Ketentuan pasal ini yang memungkinkan diberikannya tanah kepada perusahaan-

    perusahaan yang bermodal asing bukan saja dengan hak pakai, tetapi juga dengan hak guna bangunan dan hak guna usaha, merupakan penegasan dari apa yang ditentukan di dalam Pasal 55 Ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria, berhubungan dengan Pasal 10, 62 dan 64 Ketetapan M.P.R.S. Nomor XXIII/MPRS/1966.

    2) Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 35, Pasal 29 dan Pasal 41, maka hak guna bangunan tersebut dapat diberikan dengan jangka waktu yang paling lama 30 tahun, yang mengingat keadaan perusahaan dan bangunannya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak guna usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 25 tahun. Kepada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan macam tanaman yang diusahakannya memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha dengan jangka waktu hak guna usaha tersebut dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Hak pakai diberikan dengan jangka waktu menurut keperluannya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan bagi hak guna bangunan dan hak guna usaha tersebut di atas. Pada masa pemerintahan Orde Baru, telah dicanangkan Rencana Pembangunan Lima

    Tahun (Repelita) I dengan menekankan peningkatan hasil-hasil pertanian. Tanah-tanah pertanian harus dibuat lebih produktif. Hal ini kemudian memang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya penghasilan para petani. Pada tahapan Repelita berikutnya, orientasi pengembangan memang tetap berorientasi kepada tanah, namun dengan membuka peluang pengembangan industri yang berbasiskan tanah sebagai modal usaha. Hal ini membawa perubahan orientasi dan pemaknaan tanah yang semula sebagai objek peningkatan pendapatan melalui olah tanah, beralih kepada pengalihan hak atas tanah untuk dijadikan objek investasi. Pengusahaan lahan-lahan pertanian untuk kepentingan investasi, pada kenyataannya ternyata tidak mampu mengangkat derajat kesejahteraan para petani atau masyarakat. Keadaan demikian malah menimbulkan kecemburuan sosial sebagai akibat ketidakadilan dan ketimpangan penguasaan serta pemilikan tanah. Selain itu munculnya alih fungsi lahan akibat masuknya investor besar dalam bidang perkebunan dan pertanian menciptakan kerawanan-kerawanan sosial yang dapat berkembang menjadi permasalahan lain yang lebih besar.

    Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 jo. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjadikan sistem pemerintahan di daerah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Daerah kini memiliki kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab namun lebih proporsional. Perubahan ini juga memberikan implikasi

  • dalam hal kewenangan melakukan penataan dan pemanfaatan tanah di daerah. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 25/2000 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pertanahan hanya tinggal 5 (lima) kewenangan saja, yaitu dalam hal:

    a. Penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah; b. Penetapan persyaratan landreform; c. Penetapan standar administrasi pertanahan; d. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; e. Penetapan kerangka dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan pengukuran

    kerangka dasar Kadastral Nasional Orde I dan II. Sedangkan 4 (empat) kewenangan kegiatan di bidang pertanahan yang telah didesentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu:

    a. Pengelolaan tata-guna-tanah (land-use); b. Pengaturan penguasaan tanah (land-tenure); c. Pengaturan hak atas tanah (land rights/titling); dan d. Pengelolaan pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran bidang tanah (land registration).

    Sejalan dengan perkembangan ekonomi global, bercermin dari tuntutan dunia usaha

    dan keberadaan Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional, maka dilakukan amandemen atas Undang-Undang Penanaman Modal melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dasar pertimbangan amandemen undang-undang ini bersandarkan kepada:

    a. mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara;

    b. amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi;

    c. mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

    d. menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional;

    Untuk meningkatkan masuknya investor, undang-undang ini (Pasal 22) memberikan

    amanat pemberian hak atas tanah berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun

    dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;

    b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan

    c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

  • Hak atas tanah sebagaimana dimaksud di atas dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

    Lahirnya undang-undang ini memperoleh reaksi yang cukup keras hanya beberapa saat setelah RUU ini ditetapkan oleh DPR menjadi UU, yang berakibat diajukannya Yudisial Review melalui Mahkamah Konstitusi RI oleh Sebelas LSM: Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI), Serikat Tani Nasional (STN), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YBDS), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Suara Hak Asasi Manusia (SHMI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

    Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007, pasal-pasal yang berkaitan dengan pengalihan hak atas tanah di atas dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Meski sudah diputuskan melalui Mahkamah Konstitusi, tetap saja kritik terlontar dari berbagai elemen terkait dengan implementasi undang-undang ini.15

    III. PERSPEKTIF HUKUM PENGATURAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN INVESTASI DI ERA GLOBALISASI

    Pembangunan hukum adalah konsep yang berkesinambungan dan tidak pernah

    berhenti sehingga penegakan hukum tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditetapkan dan berlaku. Selain tidak bijaksana, hal tersebut pada gilirannya akan berpotensi mengingkari kepastian hukum itu sendiri. Salah satu persoalan mendasar, dalam membangun hukum nasional yang demokratis, adalah:

    15 Institute for Global Justice, misalnya menulis: Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak sebagian besar dari tuntutan para penggugat dalam proses Yudisial Review UU No. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal UUPM), tidak mencerminkan suatu putusan yang ditujukan untuk melindungi rakyat Indonesia sesuai konstitusi dasar negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945 dari serangan imperialisme asing dan neoliberalisme. Putusan yang hanya mengabulkan sebagian kecil dari gugatan, yaitu menyangkut jangka waktu penguasaan tanah dan cara perpanjangan waktu penguasaan tahah dalam kegiatan penanaman modal, tidak berkaitan dengan substansi yang menjadi tuntutan mayoritas rakyat Indonesia yaitu buruh, petani dan kaum miskin. Hal yang menyangkut jangka waktu penguasaan tanah dan cara perpanjangan waktu penguasaan tidak mencerminkan perlindungan pemerintah atas sistem penguasaan lahan saat ini. Jika bercermin pada fakta sejarah, maka UU No. 25 Tahun 2007 tampak merupakan suatu mata rantai penjajahan ekonomi dan politik. Undang-undang ini tidak lain adalah suatu landasan yang lebih maju bagi imperialisme di Indonesia dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan Undang-undang penanaman modal yang baru tersebut pihak asing dengan kekuatan modal yang dimilikinya dapat melanjutkan dominasi ekonomi dan politiknya yang telah berangsung di Indonesia selama lebih dari empat abad lamanya. Putusan MK yang membatalkan Pasal 22 UUPM yang memberikan hak kepada penguasaha/penanaman modal untuk memperoleh hak penguasaan tanah melalui perpanjangan pengusaan tanah (HGU selama 95 tahun, HGB selama 80 Tahun dan HPL selama 70 tahun) dimuka sekaligus dan sekaligus dimuka, hanyalah pembatalan pasal yang menyangkut tata cara pengusaha melakukan perpanjangan pengusaan tanah, sementara substansinya adalah bahwa hak penguasaan tanah oleh penguasaha dapat diperoleh dalam jangka waktu yang sangat lama sesuai dengan kebutuhan pengusaha. (http://www.globaljust.org/index.php?option=com_content&task=view&id=112&Itemid=117 diakses 2 Oktober 2009)

  • bagaimana membuat sistem hukum yang kondusif bagi keberagaman sub-sistem, keberagaman substansi, pengembangan bidang-bidang hukum yang dibutuhkan masyarakat, juga kondusif bagi terciptanya kesadaran hukum masyarakat, dan kebebasan untuk melaksanakan hak-hak, dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku.

    Dimensi keberagaman pada berbagai masyarakat suku bangsa, khususnya di daerah Nusantara Indonesia sesungguhnya merupakan mutiara manikam yang tak ternilai harganya, karena pada hakekatnya menjadi pondasi pembangunan hukum itu yang mengedepankan keserasian, makna magis religious, kearifan lokal. Sejarah telah mencatat, bahwa di dalam hukum adat, antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya terdapat hubungan yang erat sekali. Hubungan erat ini bersumber pada pandangan yang bersifat religio magis. Hubungan ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya, serta berburu binatang-binatang yang hidup di situ.16 Meski demikian, tanah menurut hukum adat tidak/kurang bermakna ekonomis. Hal ini disebabkan kewenangan penguasaan tanah tergantung dari struktur kekeluargaan masyarakat adat. Berdasarkan struktur kekeluargaan yang ada, maka tanah umumnya akan dikuasai oleh pemimpin masyarakat adat yang bersangkutan. Anggota masyarakat adat hanya berhak memungut hasil dari tanah tersebut sebagai sumber kehidupan dan penghidupannya. Fenomena ini menggambarkan sistem hukum pertanahan menurut hukum adat mempunyai kekuatan nilai magis di mana konsepsi terang (nyata) diusahakan atau bukan diusahakan, tetap melekat pada anggota masyarakat yang bersangkutan. Tidak jarang, tanah yang belum diusahakan oleh salah satu anggota masyarakat adat tidak dapat diusahakan oleh anggota lain sebelum mendapat izin dari pemimpin masyarakat adat. Dalam konteks demikian ini, dapat ditengarai adanya sejumlah nilai-nilai dasar yang bersifat luhur dalam orientasi mengenai tataran kehidupan termasuk tanah di dalamnya.

    Di kalangan masyarakat Lampung, tanah pada awalnya dikuasai oleh pimpinan kelompok kerabat (kebuayan) yang berdasarkan genealogis. Konsep genelogis menuntut adanya hubungan atas dasar kesamaan keturunan/hubungan darah. Konsep ini pudar setelah pemerintah penjajah Belanda menerbitkan aturan Domein Verklaring. Menurut aturan ini, tanah yang telah dikuasai oleh masyarakat beralih menjadi tanah milik penjajah. Kondisi ini menimbulkan konsep pembagian hak, seperti hak eigendoom, hak erfacht, hak opstal dll. Bila diteliti secara mendalam, konsep yang disusun oleh pemerintah penjajah Belanda ini semata-mata bertujuan mengelabui masyarakat bumi putera untuk mendukung perpajakan mereka dan memuluskan usaha Belanda memberikan hak guna usaha (hak erfacht) kepada pengusaha Belanda, Jerman, Inggris dan Cina. Hak-hak versi pemerintah kolonial Belanda inilah yang kemudian diadopsi oleh UUPA.17

    16 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan R. Ng. Soebekti Poesponoto, Jakarta; Pradnya

    Paramita, 1978, hlm. 98. 17

    Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi & Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 159. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai eksistensi seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, simbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya. Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai eksistensi seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, simbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya. Hal yang sama dipaparkan Sunaryati Hartono Sunario, dalam pidato pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tanggal 1 Agustus 1991

    .......................... Hukum nasional yang demokratis setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir sebagai berikut:

  • Para hadirin yang saya hormati,

    Sebagai implementasi dari upaya ke arah pembangunan hukum, maka hukum nasional, lebih mengkhusus lagi hukum ekonomi, harus mengabdi kepada kepentingan nasional, dan menjadi pilar demokrasi untuk tercapainya kesejahteraan rakyat dan secara sosiologis menjadi sarana untuk tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat. Tujuan dari hukum yang demokratis tidak saja hanya tercapainya keadilan, akan tetapi juga terciptanya ketertiban (order). Hukum harus berfungsi menciptakan keteraturan sebagai prasyarat untuk dapat memberikan perlindungan bagi rakyat dalam memperoleh keadilan, keteraturan dan ketenangan dan bukan untuk menyengsarakannya. Pembangunan hukum nasional yang demokratis, harus meminimalisisasi pemberlakuan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru.

    Oleh karena itu sudah sangat mendesak untuk melakukan evaluasi atau bahkan deregulasi di bidang pertanahan. Di samping itu, mengingat makin ketatnya perbenturan kepentingan serta terjadinya peralihan fungsi tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan, rasanya perlu segera dilakukan semacam crash program untuk menerbitkan perangkat peraturan pelaksanaan UUPA melalui mana diharapkan bisa mengurangi terjadinya penyalahgunaan fungsi tanah, komersialisasi tanah dan terlindunginya golongan ekonomi lemah terhadap golongan ekonomi kuat dalam masalah pertanahan.

    Undang-Undang Pokok Agraria sebagai bidang hukum yang mengatur kepentingan dan pola interaksi sosial berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah sesungguhnya mengandung muatan realita sosial yang berkembang pada saat pembentukannya dan yang diinginkan di masa yang akan datang. Realitas sosial yang mendasarinya antara lain dimuatnya nilai-nilai gotong royong, diakuinya pengaruh hukum adat masyarakat, ciri kehidupan agraris pada sebagian besar masyarakat Indonesia, serta kondisi politik pemerintahan yang menuntut perlunya Negara berperan serta dalam pengelolaan tanah dalam bentuk Hak Menguasai Negara. Termasuk yang paling esensiil adalah pengakuan fungsi sosial atas tanah danpengakuan terhadap komunitas masyarakat adat (meskipun dengan catatan sejauh pada dasarnya masih ada!).

    Pemikiran mengenai bagaimanakah hukum berkerja di tengah-tengah masyarakatnya harus dikembalikan kepada konsep bahwa hukum itu tidak otonom. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) di dalam suatu masyarakat. Hukum bahkan dapat dikatakan merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Jadi, hukum yang hidup merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.18 Dengan demikian mudah dipahami bahwa hukum merupakan konkretisasi dari nilai yang sudah baku. Nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi dalam masyarakat, oleh karena itu melalui satu dan lain cara ia akan diamankan (sanctified).

    Kaidah merupakan pencerminan normatif dari nilai-nilai tersebut. Melalui transformasinya ke dalam kaidah, maka nilai-nilai menemukan jalannya untuk diterapkan

    a. Hukum nasional dibuat sesuai dengan cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur

    berdasar falsafah negara; b. Hukum nasional dirancang untuk mencapai tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang

    di dalam Pembukaan UUD 1945;

    c. Hukum nasional harus menjamin integrasi bangsa dan negara baik teritori maupun ideologi, mengintegrasikan prinsip demokrasi dan nomokrasi, artinya pembangunan hukum harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; dan berorientasi pada pembangunan keadilan sosial; dan menjamin hidupnya toleransi beragama yang berkeadaban.

    18 William M Evan, Values, Norms, Roles, Organization, dalam Social Structure and Law, Newbury Park London New Delhi; Sage Publications, The International Professional Publishers, 1990, p. 47.

  • dalam masyarakat. Karena dikaidahkan, maka nilai-nilai akhirnya tidak bersifat abstrak lagi, melainkan konkret dan dapat diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Suatu kaidah akan menentukan bagaimana setiap anggota masyarakat harus bertindak dalam hubungan mereka satu sama lain serta bagaimana proses-proses dalam masyarakat itu harus disalurkan.

    Hubungan masyarakat dengan hukum dapat dipahami melalui adagium yang dikemukakan oleh Marcus Tullius Cicero Ubi Societis, Ibi Ius. Adagium ini menyatakan gambaran riil mengenai adanya hubungan hukum dengan perkembangan masyarakatnya. Tiada masyarakat tanpa hukum, dan tiada hukum tanpa masyarakat. Hukum diadakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan, masyarakat hukum masyarakat. Hukum dibentuk oleh, dan diberlakukan untuk masyarakat. Adagium ini dibenarkan oleh kenyataan kehidupan dari berbagai ragam tipe masyarakat. Keberadaan hukum adat dalam masyarakat pedesaan yang masih hidup dalam strukturnya yang sederhana, hukum nasional suatu bangsa dan hukum internasional dalam masyarakat internasional, semuanya itu merupakan bukti pembenar dari adagium ini.19

    Masyarakat

    Hukum

    Masyarakat

    HukumProses Hukum

    Output Input

    Feedback

    Ragaan 3. Konstruksi Sistem Hukum Berdasarkan Adagium Ubi Societas Ibi Ius Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan materi hukum dengan

    tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global20.

    Dalam upaya menempatkan hukum sebagai instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi, khususnya di era global, nampaknya perlu diketahui peran apa yang dikehendaki oleh bidang ekonomi dari keberadaan hukum di masyarakat. Beberapa pakar ekonomi mengharapkan agar pembangunan hukum ekonomi harus diarahkan untuk menampung dinamika kegiatan ekonomi, dengan menciptakan kegiatan

    19 Lili Rasjidi dan I.B Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung; CV Mandar Maju, 2003, h. 146. Demikian juga sebagaimana dinyatakan oleh Von Savigny: (das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke) mempertegas dengan menyatakan bahwa hukum pada suatu masyarakat/bangsa merupakan Volkgeist atau jiwa dari suatu bangsa. Adanya gesstesstructur masyarakat membedakan kebudayaan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sehingga dengan demikian juga sebagai suatu ciri dari kebudayaan masyarakat, dan keberadaan gesstesstructur pada masing-masing masyarakat akan menjelmakan hukum yang mandiri dan berbeda pada masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Ini menjadikan timbulnya karakteristik hukum yang berbeda pada setiap masyarakat berbagai suku bangsa. Karakteristik sistem hukum yang akan terbentuk itu dipastikan akan banyak diwarnai cara pandang anggota masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan unsur-unsur universal pada suatu suku bangsa bersangkutan. 20 Sebagaimana tertuang dalam Lampiran Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, pada bagian Mewujudkan Bangsa yang Berdaya Saing huruf E No.34.

  • yang efisien dan produktif, dan mengandung daya prediktibilitas.21 Dalam konteks ini, tanah sebagai objek investasi memiliki kedudukan yang strategis dalam kegiatan investasi. Strategisnya kedudukan tanah itu ditunjukkan oleh adanya sejumlah-hak-hak atas tanah yang bersifat dominan yang dimiliki oleh pemilik tanah. Hak-hak tersebut memberikan peluang kepada pemilik tanah untuk melakukan aktivitas penatagunaan tanah, termasuk peluang untuk mengalihkannya kepada pihak lain dalam rangka memperoleh manfaat tertentu. Peluang pengalihan hak atas tanah ini menjadikan timbulnya sejumlah daya tarik bagi investor dalam menanamkan modal usahanya.

    Faktor-faktor yang pada umumnya menjadi daya tarik bagi investor tersebut dapat dibedakan antara faktor dominan ekonomi dan faktor dominan non ekonomi. Faktor dominan ekonomi terkait antara lain faktor tenaga kerja dan produktivitas, faktor potensi ekonomi daerah, faktor struktur ekonomi daerah dan tersedianya infra struktur usaha. Faktor dominan non ekonomi, meliputi faktor kelembagaan, faktor sosial politik dan budaya serta faktor infra struktur daerah. Sistem hukum memang mengandung komponen nilai di dalamnya, yang kemudian ditransformasikan menjadi kaidah dan dijalankan melalui pengorganisasian, termasuk pengembangan peran-peran di dalamnya. Suatu sistem hukum memang tidak bebas nilai, terutama bila sudah menyangkut substansi pengaturannya. Oleh karena itu, secara empirikal desakan maupun tuntutan yang berasal dari berbagai kalangan untuk segera melakukan langkah-langkah kongkret mewujudkan pembaharuan hukum di bidang pertanahan khususnya tanah sebagai objek investasi, perlu segera diwujudkan. Menghadapi penyusunan itu, diperlukan keberanian untuk menggugat asas-asas yang telah dianggap mapan dan mengajukan gagasan alternatif dengan misalnya menggugat kemapanan doktrin rule of law menjadi rule of moral atau rule of justice. Hubungan kepemilikan dan pengelolaan tanah dengan investasi mempunyai korelasi yang signifikan. Dalam konteks penyusunan hukum investasi dengan tanah sebagai objeknya di masa-masa mendatang, belajar dari pengalaman sejarah yang hanya mengedepankan paradigma ekonomi, perlu menekankan supremacy of moral/justice selain supremacy of law. Hal ini akan membuka perspektif baru dalam membangun hukum di Indonesia setidak-tidaknya memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada pembangunan hukum atas dasar aspek perundang-undangan semata-mata.

    Pemerintah harus mampu menjalankan fungsinya sebagai pejabat dan aparatur negara untuk mengikutsertakan partisipasi aktif seluruh warga masyarakat. Berkaitan dengan timbulnya perselisihan di bidang pertanahan, disebabkan oleh kompleksitas nilai yang terkandung pada tanah, maka hukum bukanlah satu-satunya upaya untuk menyelesaikannya. Dalam konteks demikian, maka pendekatan yang bottom up, responsive dan populis harus segera dilakukan. Landasan mendasar diajukannya pemikiran tersebut adalah agar berhasil terciptanya keadilan bagi seluruh masyarakat pada umumnya, dan pemilik tanah pada khususnya. Tanah tidak boleh diperlakukan dan dialihkan sebagai komoditi dalam arti barang dagangan semata, karena tanah mempunyai fungsi sosial yang strategis dan unik. Jadi yang penting adalah bagaimana tanah diperlakukan sebagai komoditas yang layak, sehingga harus diatur kepemilikan dan penggunaannya, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, sehingga benar-benar dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan menunjang pembangunan daerah di bidang ekonomi;

    Pemerintah perlu mengaktualisasikan asas dekonsentrasi di bidang pertanahan. Dalam konteks demikian, pemerintah pusat harus tulus dan memiliki itikad baik dalam pelepasan hak dan kewenangan pengaturan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah. Untuk menghindari tarik ulur kewenangan pengelolaan di bidang pertanahan, perlu

    21 Menurut Hernado de Soto, hukum yang baik adalah hukum yang menjamin bahwa kegiatan ekonomi dan sosial yang diaturnya dapat berjalan dengan efisien, sedangkan hukum yang buruk adalah hukum yang mengacaukan atau justru menghalangi kegiatan usaha sehingga menjadi tidak efisien. (Hernado de Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Negara Ketiga, terjemahan oleh Masri Maris, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991)

  • segera disusun peraturan perundangan yang sesuai dengan filosofi Otonomi Daerah baik yang menyangkut kewenangan maupun standarisasi di bidang pertanahan. Menuju ke arah pencapaian itu, perlu dilakukan pengkajian yang intensif terhadap kebijakan Pemerintah di bidang pertanahan, mengingat banyaknya peraturan perundangan yang disusun selama ini cenderung saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Pertentangan ini antara lain dilatarbelakangi oleh adanya unsur konflik kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah;

    Sesuai dengan amanat dari Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka Keppres Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan jo. Keppres Nomor 62 Tahun 2001 jo. Keppres Nomor 103 Tahun 2001 jo. Keppres Nomor 34 Tahun 2003 harus dicabut dan Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan harus dikembalikan sesuai dengan Tap MPR IX/ 2001, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000;

    Tuntutan pembaharuan agraria melalui usul perubahan/amandemen UUPA beserta peraturan pelaksanaan yang akan disusun, perlu mencermati keberlakuan tata nilai masyarakat lokal di satu daerah yang pada kenyataannya masih hidup dan dipertahankan. Harus disadari bahwa hak ulayat dan karakteristik nilai tanah yang ada pada suatu wilayah tertentu masih tetap ada. Kenyataan ini membawa implikasi pada adanya keharusan untuk merancang program pembaharuan agraria yang lebih kontekstual. Memang kebijakan pembaruan agraria merupakan kebijakan nasional yang sifatnya umum, tetapi implementasi dan operasionalisasinya mutlak disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing. Diletakkan dalam kerangka ini, lahirnya kebijakan otonomi daerah khususnya di bidang pertanahan paling tidak secara teoritis bisa diarahkan untuk mendukung upaya tersebut;

    Pemerintah perlu menyusun kebijakan di bidang investasi yang bersifat komprehensive sehingga mampu menarik minat investor melakukan penanaman modal usahanya. Di antara kebijakan tersebut antara lain melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Penanaman Modal dengan mencantumkan upaya-upaya kongkret salah satunya berupa proteksi dalam bentuk sanksi hukum tertentu bagi pemilik tanah yang mengalihkan hak atas tanah maupun alih fungsi tanah dengan tidak semestinya. Sejalan dengan politik hukum pelimpahan kewenangan otonomi kepada daerah, pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah perlu melakukan inventarisasi kewenangan yang bersifat strategis di bidang investasi yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, daerah mempunyai kekuatan dan kewenangan hukum dalam pengaturan dan pengelolaan investasi di daerah;

    Pemerintah Daerah sudah saatnya perlu segera menetapkan ketentuan hukum mengenai realisasi pengaturan investasi sesuai dengan kewenangan otonomi daerah. Lahirnya ketentuan hukum tersebut akan dapat menciptakan suasana kondusif iklim penanaman modal di daerah sehingga dapat menggairahkan iklim investasi yang pada akhirnya akan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah melalui peningkatan APBD sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Meski konsep otonomi daerah perlu dikedepankan, namun mengingat tanah memiliki fungsi sosial dan keberadaan negara c/q pemerintah pusat sebagai pemegang amanat undang-undang untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat pada umumnya, maka pemerintah daerah seyogyanya dalam menyusun ketentuan di bidang investasi tetap bersandar kepada eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    Perlu diperluas dan diperdalam studi dan penelitian/kajian tentang tanah, yang tidak hanya terfokus pada masalah konflik tanah, melainkan juga pada masalah-masalah hubungan agraria pada umumnya di level lokal. Pola-pola studi demikian ini akan menemukan nilai-nilai yang hidup, cara pandang serta model pengelolaan tanah. Dengan

  • demikian, akan tergambar bagaimana kaitan kepentingan, motif, dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat dalam hubungan agraria. Selain dapat menambah pemahaman atas peta persoalan agraria yang lebih mendalam dan kompehensif, model studi demikian ini juga berguna sebagai bahan masukan untuk merancang dan merumuskan solusi dari kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik agraria pasca pelaksanaan pembaharuan agraria.

    Investasi dan pembangunan politik hukum khususnya hukum ekonomi di era global harus diarahkan ke pemaknaan kembali fungsi tanah, kepastian hak-hak atas tanah, nilai-nilai magis religius atas tanah, serta pencapaian kesejahteraan masyarakat dalam skala makro tanpa mengorbankan fungsi sosial tanah, dan kewenangan negara sebagai institusi tertinggi yang menguasai tanah. Namun di sisi lain, juga tidak mungkin kita menolak investasi hanya karena menyandarkan dampak negatif alih fungsi atas tanah dan kegagalan pengelolaan manajemen investasi selama ini. Perlu ada keseimbangan pemaknaan nilai atas tanah, melalui penyadaran fungsi sosial dan pemberdayaan masyarakat dalam memaknai fungsi ekonomi atas tanah, sehingga tanah kembali kepada maknanya yang hakiki. Dalam konteks inilah revitalisasi dan reorientasi akan menjadi dasar ke arah reformulasi hukum dan sistem hukum menuju era globalisasi dan modernisasi ekonomi. IV. PENUTUP Hadirin serta para undangan yang saya mulyakan,

    Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat saya kemukakan dalam rangkaian penerimaan jabatan guru besar ini. Rangkaian pemikiran yang seyogyanya akan dan harus saya pedomani dalam mengemban amanah dalam jabatan sebagai guru besar, dan akhirnya harus dipertanggungjawabkan bilamana saatnya tiba di akhir masa jabatan saya kelak.

    Sebelum saya mengakhiri paparan pidato ini, dihadapan hadirin sekalian perkenankan saya menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mengantarkan saya pada perolehan jenjang profesionalisme tertinggi pada jabatan akademik di lingkungan perguruan tinggi sebagaimana di bawah ini.

    Kepada Pemerintah RI c/q Menteri Pendidikan Nasional RI Bpk. Prof. Dr. Bambang Soedibyo, yang telah memberikan anugerah dan kepercayaan dalam mengemban amanah jabatan profesional tertinggi di bidang kajian mata kuliah Hukum Perdata (Hukum Bisnis); suatu jenjang jabatan yang tidak setiap dosen akhirnya sampai pada jenjang ini;

    Kepada Prof. Dr. Ir. R. Margono Slamet, mantan Rektor Unila yang dua puluh tahun yang lalu telah bersedia memberikan kesempatan kepada saya mendedikasikan pengabdian akademik sebagai dosen. Dengan visi dan misinya beliau telah membesarkan Unila dengan menerima sejumlah staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi di Jawa termasuk saya dari sebuah perguruan tinggi yang bernama Universitas Katolik Atmajaya di Yogyakarta. Kepemimpinan beliau digantikan Alhusniduki Hamim, S.E., M.Sc, MADE. Visi dan misinya sebagai salah satu pendiri Unila telah pula memberikan kesempatan bagi saya untuk mendedikasikan jiwa pengabdian kepada masyarakat melalui pengelolaan Kuliah Kerja Nyata, sehingga memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal karakteristik di hampir sebagian terbesar masyarakat desa di Provinsi Lampung. Sayang beliau telah mendahului kita kepangkuan-Nya. Semoga keabadian melingkupi beliau dalam istirahat panjangnya.

    Kepada Prof. Dr. Ir. Muhadjir Utomo, M.Sc, mantan Rektor Unila, beserta Pembantu Rektor khususnya Dr. Ir. Mintarsih Adimihardja, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Tirza Hanum, M.S. yang memberikan respon cukup baik dalam proses pengajuan usul guru besar saya. Berlanjut hingga masa kepemimpinan Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., proses pengusulan jabatan guru besar ini berlanjut dan dengan dukungan dan rekomendasi seluruh anggota Senat Guru Besar terutama Prof. SSP. Pandjaitan, M. Sc., Ph.D. Kepada beliau

  • beserta seluruh jajaran anggota Senat Universitas Lampung untuk kesempatan ini saya menghaturkan ribuan terima kasih.

    Kepada Ibu Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H., dan Ibu Prof. Dr. Etty Sulistyowati, S.H., M.H. keduanya Guru Besar FH Undip Semarang, saya haturkan terima kasih karena telah berkenan merekomendasikan kelayakan dalam usulan guru besar melalui penilaian atas sejumlah karya-karya akademik saya. Khusus kepada Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H. beserta Prof. Drs. Hartono Kasmadi, M.Sc. (Alm.) beserta keluarga besar, terima kasih dan sujud syukur ananda haturkan, karena telah melimpahkan begitu banyak perhatian, dorongan dan tegur sapa sejak saya mengikuti kuliah S2 dan sebagai promotor pada jenjang S3. Saya sangat bangga karena merupakan satu dari sekian anak didik yang akhirnya meraih kesempatan mengakhiri jenjang studi tertinggi berkat kerja keras dan arahan Ibu, dan saat ini masih ada beberapa teman-teman lain yang masih tertatih-tatih di Kampus Pleburan menunggu perjalanan panjang menyelesaikan studinya. Dari mimbar ini perkenankan saya menyapa ibu, dan mengenangkan kembali masa-masa pergaulan yang sarat dengan humanisme yang dibangun di antara para sahabat dalam keseharian di bawah cemara kampus Pleburan; masih segar dalam ingatan saya akan wejangan ibu dalam pidato pelepasan ketika mengakhiri studi program doktor:

    Pada hari ini adalah merupakan satu hari di mana titik balik saudara untuk memberikan kembali kepada siapa saja yang ingin menimba ilmu dari mu, karena sebelumnya kamu memperoleh ilmu dari siapa saja. Oleh karena itu jangan takut memberi, tapi juga jangan takut menerima. Ini adalah sikap yang menurut saya cukup sempurna bagi manusia di dalam pergaulan antar manusia. Saya minta selalulah merunduk agar kita tetap mampu memberi dengan rela hati. Pakailah ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Menjadi makin rendah hati, karena tanpa orang lain kita bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa.

    Ibu bersama dengan Prof. Dr. Paulus Hadi Suprapto, S.H., M.H. selaku Promotor II, telah menorehkan gagasan teoritik dan metodik dalam proses penyusunan disertasi. Semoga Tuhan senantiasa berkenan melimpahkan rakhmat dan hidayah-Nya.

    Kepada teman-teman S3 Ilmu Hukum Undip yang pernah dan sedang dalam proses bimbingan disertasi dengan Prof. Dr. Sri Redjeki antara lain: Prof. Dr. Joni Emirzon, S.H., M.Hum., Prof. Dr. I Putu Gelgel, S.H., M.H., Prof. Dr. Ali Mansyur, S.H., M.H., C.N., Dr. Suparnyo, S.H., M.H., Dr. Budi Santoso, S.H., M.H., Firman Muntako, S.H., M.Hum., Dr. K. Martono, S.H., M.H., Dr. Elfrida Gultom, S.H., M.H., Raditia Permana, S.H., M.H., Bambang E.T., S.H., M.H., saya berharap masing-masing dari kita senantiasa mampu meningkatkan profesionalisme masing-masing hingga membesarkan nama baik almamater dan clan Sri Redjeki.

    Kepada para guru saya sejak di Sekolah Dasar No. 1 Tuakilang, Sekolah Menengah Pertama No. 1 Tabanan, dan Sekolah Menengah Atas No. 1 Tabanan, Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta Angkatan 1981, Program Pascasarjana Magister Hukum Unila Angkatan I TA 1999, dan Peserta Angkatan IX PDIH Undip 2003 beserta pengelola dan para guru besar yang amat terpelajar pada program Doktor Ilmu Hukum Undip. Secara khusus kepada Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. yang amat terpelajar (dimana saya pernah memperoleh kesempatan melakukan pencarian, pencerahan, dan pembebasan melalui gagasan hukum progresif-nya), dan Prof. Dr. Liek Wilardjo, M.Sc., DEA. dengan pemahaman filsafat ilmunya telah membukakan wacana ilmiah, saya haturkan terima kasih.

    Kepada Pimpinan Fakultas Hukum Unila, dimana saya selama ini mengabdi sejak kepemimpinan Dekan Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H., M. Pulung, S.H. (Alm.), Makmun Bharawi, S.H. (Alm.), Prof. Dr. Sanusi Husin, S.H., M.H., Thomas Adyan, S.H., M.H. (Alm.), hingga Adius Semenguk, S.H., M.S. beserta jajaran Pembantu Dekan, tidak sedikit kontribusinya dalam pengembangan karir akademik saya.

    Seluruh staf dan pengelola Bagian Hukum Keperdataan, Prof. Rasyid M. Akrabie, S.H., Buya Rizani Puspawidjaja, S.H., (terima kasih, karena dari selembar kecil konsep mengenai eksistensi masyarakat dan dimensinya dalam konteks pemilikan dan makna tanah

  • akhirnya Disertasi bisa saya rampungkan) beserta para sahabat yang telah purna bakti Ibu Asliah Hatta, S.H, Bpk. Rochim Hasan, S.H, Bpk. Damiri Thoyib, S.H., M.H., Bpk. Drs. M. Sofhie Akrabi, M.A., Abang Soleman B. Taneko, S.H. (Alm.), Idrus Kreansyah, S.H. Khusus kepada ayahnda Prof. Hi. Hilman Hadikusuma, S.H., (Alm.) tak terperi kebahagiaan yang saya rasakan karena engkau telah mengajarkan tata pergaulan dan keteladanan serta dorongan untuk mengabdi. Saya memang belum mampu memberikan sesuatu yang bermakna, bahkan menyampaikan terima kasih pun belum sempat, karena sang khalik telah memanggil ke peristirahatan panjang-Nya. Semoga dalam alam kedamaian di sisi-Nya engkau masih melihat keberhasilan ini. Pada hari ini pula saya ingin merenungkan kembali dan menghimpun sejumlah pemikiran Ayahnda dalam sebuah buku kecil sebagai kenang-kenangan kepada para hadirin; mudah-mudahan mampu menjadikan kilas balik pemikiran kepada kita semua di balik pembangunan hukum di negeri ini dan memaknai bahwa Engkau pernah hadir mengukir prestasi membangun Kampus Hijau ini bersama para pendahulu yang telah abadi dalam peristirahatan-Nya). Juga kepada Prof. Hi. Abdulkadir Muhammad, S.H., terlalu besar kebanggaan yang saya rasakan, karena berkat bimbingan, arahan, dan kritikan pedas bapak telah menyadarkan saya melalui tuntunan cara menulis yang baik, serta selalu menjadi sahabat dalam berbagi. Semoga keteladanan yang telah diberikan akan mampu mengantarkan saya kepada perilaku yang semestinya sebagaimana layaknya pribadi profesional yang dituntut dalam etika akademik dan etika ilmiah. Penantian panjang lahirnya generasi penerus hari ini telah saya wujudkan, meski ada jeda waktu karena bapak telah purna bakti beberapa waktu yang lalu.

    Staf administrasi di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Lampung khususnya sdr. Bambang, di lingkungan Universitas Lampung Sdr. Drs. Riyanto, Drs. Amdan, M.H., serta sdr. Sarjo saya ucapkan terima kasih karena telah membantu kelancaran proses pengusulan administrasi kepangkatan dan kepegawaian saya hingga jenjang Guru Besar.

    Kepada para kollega Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Unila saya berharap kiranya teruslah berjuang ke arah peningkatan profesionalisme melalui pengembangan karier akademik, profesionalisme profesi dan peningkatan kualitas diri. Jenjang profesionalisme jabatan guru besar adalah jenjang tertinggi yang harus diraih, dan bukan jenjang struktural. Kalaupun itu tidak mungkin, saya berharap peningkatan profesionalisme melalui metode pembelajaran progresif hendaknya diupayakan. Kita harus berani membuat terobosan pembelajaran melalui penggunaan teknologi informasi selain pembelajaran oral yang selama ini sudah mapan. Kita juga harus berani membuka diri melalui pembelajaran belajar mendengar dari anak-anak kita. Harus kita biasakan mereka belajar kritis memaknai perkembangan hukum dan pembangunan hukum. Untuk menopang profesionalisme itu, telah saya rintis dengan melakukan karya nyata yang saya harap dapat dipertahankan keberlangsungannya. Selain penerbitan jurnal penelitian secara berkala, sejumlah koreksi atas beberapa naskah karya akademik buku yang telah saudara buat baik secara mandiri maupun terbimbing, telah saya hantarkan sebagai bukti kepedulian kepada sesama. Harapan saya, akan lahir profesionalisme-profesionalisme baru di masa mendatang di lingkungan Fakultas Hukum. Pada hari ini saya persembahkan sejumlah buku-buku tersebut kepada Dekan Fakultas Hukum Unila untuk selanjutnya diserahkan kepada Rektor Uinla sebagai wujud tuntutan akademik yang tampaknya mulai mereka sadari harus dikembangkan. Satu buku khusus karya Saudari Yulia Kusumawardani, S.H., L.L.M. (yang dahulu pernah menjadi mahasiswa saya dan kini menjadi sahabat di Bagian Hukum Keperdataan) diterbitkan dalam bahasa Jepang dalam status studi lanjut S3-nya di Gakuen University. Saya sangat bangga karena karya-karya tersebut didedikasikan dan diluncurkan bersamaan dengan acara yang sangat terhormat ini. Kepada berbagai pihak, khususnya pimpinan Fakultas dan Universitas, kiranya karya ini dapat diapresiasi dan dikembangkan menjadi karya yang lebih memadai dalam rangka peningkatan proses pembelajaran di masa-masa mendatang.

    Kepada para mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum dan non Hukum, pada program Strata 1, Strata 2, maupun Strata 3, saya sarankan tingkatkanlah olah pikir saudara

  • melalui analitis kritis. Jangan terlalu mudah menerima paradigma teori yang nota bene diciptakan pada belahan dunia lain, yang belum tentu bisa diaplikasikan di bumi Indonesia. Kearifan lokal dan keluhuran nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tertanam di bumi Nusantara ini tidaklah kalah bila dibandingkan dengan yang ada pada berbagai belahan masyarakat dunia. Teruslah mencari sumber belajar lain, selain yang telah diberikan para dosen. Selama ini, saya sudah memberikan alternatif, dengan mengajak kalian berdialog, mendiskusikan berbagai fenomena berhukum kita. Selalu saya ingatkan, hukum kita sesungguhnya saat ini sedang kita tuliskan bersama-sama. Tugas kita mengambil peran maksimal dalam memberikan makna, menyusun disain dan mewarnainya dengan substansi, struktur, dan budaya kita. Saya tahu, semula sangat berat bagi anda dengan metode tersebut, berbagai tugas saya paksakan, tetapi berdasarkan informasi yang disampaikan oleh kakak-kakak saudara setelah mereka terjun ke masyarakat, ternyata pola pembelajaran dengan memperpadukan dimensi teknologi informasi yang saya terapkan, menurut mereka sangat besar kontribusinya terhadap pengembangan diri pribadi mereka. Di sela-sela kesibukan saudara menuntut ilmu, kembangkanlah juga peningkatan profesionalitas melalui lembaga-lembaga kemahasiswaan yang ada. Lembaga tersebut sangat berperan dalam membentuk daya nalar dan kreativitas saudara. Yakinlah, bahwa keteguhan prinsip melalui kedisiplinan selama mengikuti proses pembelajaran yang selama ini saya terapkan adalah demi kesiapan kalian memasuki dunia kerja dan persaingan di era global yang sarat dengan kompetisi dimana kalian harus mulai mempersiapkan diri untuk masa depan; suatu masa di mana nanti saya akan sangat berbangga dengan keberhasilan kalian mengibarkan panji-panji Unila.

    Kepada para sahabat dosen, karyawan, panitia penyelenggara, Mahasiswa, dan berbagai pihak yang telah membantu penyelenggaraan acara Pengukuhan Guru Besar ini saya haturkan terima kasih.

    Terhadap Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, PT. Genta Press Yogyakarta, Refika Aditama Bandung, dan Penerbit Universitas Lampung, saya haturkan ribuan terima kasih karena telah menerbitkan naskah akademik dan karya ilmiah saya mudah-mudahan kerjasama yang terbangun dapat terus dipertahankan.

    Kepada Yayasan Bung Hatta Padang, melalui Ketua Program Magister Ilmu Hukum Dr. Uning Pratimaratri, S.H., M.H., Dekan Fakulta Hukum Boy Yendra, S.H., M.H., beserta Rektor Prof. Dr. Hafrizal Syandri, saya haturkan terima kasih karena telah dipercaya seluas-luasnya dalam pembinaan dan proses pembelajaran. Mudah-mudahan kerjasama ini dapat tetap dipertahankan. Harapan yang sama juga disampaikan kepada Yayasan Administrasi Lampung dan keluarga besar Universitas Bandarlampung serta beberapa universitas, yayasan, dan program studi yang mempercayakan pengembangan bidang akademik serta para dosennya kepada saya.

    Akhirnya, saya harus pula menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada keluarga besar saya. Ayahnda I G.A Widjaja, yang telah menanamkan kedisiplinan yang luar biasa sejak saya kecil. Juga kepada ibunda Ni Ketut Nadri (Alm). Beliau adalah wanita