hutan rawa gambut tugas pak hardiansyah

6
HUTAN RAWA GAMBUT Oleh : Isri Fariatmi (A2C212011) Hatta Gani (A2C212007) A. Pendahuluan Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic formation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada daerah- daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol. Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua. B. Ciri-ciri Ekologi Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun jauh di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau di sekitar sungai atau danau (Wetlands International - Indonesia Programme, 1997). Aliran air yang berasal dari hutan gambut bersifat asam dan berwarna hitam atau kemerah-merahan, sehingga di kenal dengan nama ‘sungai air hitam’. Sungai-sungai air hitam yang ada di hutan rawa gambut memiliki jenis fauna relatif sedikit, karena kemasaman airnya kurang sesuai bagi sebagian besar fauna air. Keterbatasan nutrien pada lahan gambut, terutama pada bagian tengah kubah gambut, menjadikan hutan rawa gambut memiliki struktur yang khas. Pada bagian tepi umumnya didominasi jenis-jenis tumbuhan yang tinggi dengan diameter

Upload: m-al-fatih-habibi-hasri

Post on 01-Dec-2015

112 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hatta tugas kuliah s2 biologi UNLAM Banjarmasin

TRANSCRIPT

Page 1: Hutan Rawa Gambut Tugas Pak Hardiansyah

HUTAN RAWA GAMBUT

Oleh :Isri Fariatmi (A2C212011)Hatta Gani (A2C212007)

A. Pendahuluan

Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic formation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antara hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol.

Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan Papua.

B. Ciri-ciri Ekologi

Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun jauh di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau di sekitar sungai atau danau (Wetlands International - Indonesia Programme, 1997).

Aliran air yang berasal dari hutan gambut bersifat asam dan berwarna hitam atau kemerah-merahan, sehingga di kenal dengan nama ‘sungai air hitam’. Sungai-sungai air hitam yang ada di hutan rawa gambut memiliki jenis fauna relatif sedikit, karena kemasaman airnya kurang sesuai bagi sebagian besar fauna air.

Keterbatasan nutrien pada lahan gambut, terutama pada bagian tengah kubah gambut, menjadikan hutan rawa gambut memiliki struktur yang khas. Pada bagian tepi umumnya didominasi jenis-jenis tumbuhan yang tinggi dengan diameter yang besar yang serupa dengan hutan dataran rendah lainnya berubah menjadi pohon-pohon dengan diameter yang lebih kecil di pusat kubah. Kekayaan jenis juga semakin menurun ke arah pusat kubah.

Kuniyasu and Tetsuya (2002) dari studi di Kerumutan, Riau, membagi zonasi vegetasi di hutan rawa gambut Sumatera sebagai berikut :

Tipe vegetasi Kedalaman Genera yang dominan Gambut

Hutan rawa gambut campuran < 2m Koompassia, DurioHutan Meranti paya 2 – 5 m Shorea, SwintoniaHutan padang suntai > 5m Palaquium, Swintonia

Beberapa species tumbuhan dapat beradaptasi dengan baik di daerah rawa bergambut. Di Indonesia, ada beberapa species indikator yang mencirikan suatu hutan rawa gambut antara lain : Ramin (Gonystylus bancanus), Suntai (Palaquium burckii), Semarum (Palaquium microphyllum), Durian burung (Durio carinatus), Terentang (Camnosperma auriculata) dan Meranti Rawa (Shorea spp.)

Page 2: Hutan Rawa Gambut Tugas Pak Hardiansyah

C. Konservasi Hutan Rawa Gambut

Menurut Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional-RTRWN, kawasan tanah gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut. Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut.

Kubah gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m merupakan satu kesatuan dengan bagian tepinya yang dangkal (ketebalan kurang dari 3 m). Oleh karena itu, pembukaan lahan gambut di bagian tepi, meskipun tidak melanggar Keppres No 32/1990, akan berdampak buruk bagi kubah gambut karena kegiatan di lahan gambut dangkal, misalnya pertanian, sulit untuk tidak melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan. Pembakaran untuk penyiapan lahan sering kali lepas kendali sehingga api menjalar ke wilayah kubah gambut dan menimbulkan kebakaran hebat. Di samping itu, drainase yang berlebihan juga menyebabkan gambut menjadi kekeringan dan mudah terbakar pada musim kemarau.

Pengelolaan lahan rawa gambut perlu menerapkan pendekatan konservasi, yang meliputi perlindungan, pengawetan, dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya wilayah rawa dibedakan ke dalam: (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan nonbudi daya, sedangkan kawasan reklamasi disebut kawasan budi daya.

Wilayah rawa yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah: (1) kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan sungai; (4) kawasan sekitar danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman hayati. Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau dipreservasi dengan status sebagai kawasan non-budi daya.

Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan suaka alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi. Demi pengamanan kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai dengan batas-batas alami yang jelas, walau di dalamnya terdapat juga lahan nongambut dan ketebalan gambut kurang dari 3 m.

Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan rawa gambut sebagai kawasan tampung hujan dan sumber air. Sebagai sumber air, rawa (gambut) pedalaman sangat menentukan keadaan air daerah pinggiran atau hilirnya. Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa atau rawa pedalaman perlu dipertahankan sebagai kawasan non-budi daya, yang berfungsi sebagai kawasan penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air bagi daerah pertanian di sekitarnya.

Kawasan penampung hujan sebaiknya berada pada lahan gambut. Gambut memiliki daya menahan air yang tinggi, 300-800% bobotnya, sehingga daya lepas airnya juga besar.

Page 3: Hutan Rawa Gambut Tugas Pak Hardiansyah

Gambut dalam (lebih dari 3m), telah dinyatakan sebagai kawasan non-budi daya dengan luas minimal 1/3 dari luas total lahan gambut di wilayah daerah aliran sungai tersebut. Banjir merupakan kendala yang perlu diatasi, terutama dalam pengelolaan rawa lebak. Rawa lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai penampung luapan banjir.

D. Ancaman

Selain ancaman langsung pembangunan, ternyata sumber daya hutan rawa rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya. Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan daerah aliran sungai yang serampangan dan meningkatnya pencemaran hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hidrologi.

Dampak buruk yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen endapan di lingkungan hutan rawa adalah kematian masal (dieback) bakau yang tidak terhindarkan lagi karena lentiselnya tersumbat oleh sedimen tersebut.

Pada umumnya jenis-jenis bakau dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu bakau untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora sp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.

Melihat wacana masyarakat yang berkembang, ancaman yang paling serius bagi hutan rawa adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap bakau merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi bakau berasal dari pemikiran bahwa lahan bakau jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan hutan rawa dan juga bakau akan menjadi sangat suram.

E. Mengatasinya

Agar rakyat tetap mampu menjadikan hutan rawa sebagai sumber mata pencahariannya, maka perlu pengelolaan ekosistem hutan rawa secara berkelanjutan. Dasar yang dapat dijadikan pijakan dalam pengelolaan SDA hutan rawa secara berkelanjutan adalah karena pengelolaan SDA hutan rawa mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya.

Agar terciptanya ekosistem yang produktif maka pengelolaan SDA hutan rawa harus diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Sehingga manfaat yang diperoleh dapat maksimal dan tentunya secara terus menerus. Karena dalam pengelolaan hutan rawa yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang.

Oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya. Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA hutan rawa yang berkelanjutan jelas untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi, karena telah hidup berjuta asa di hutan rawa.

Berdasarkan fungsinya, lahan rawa gambut dibedakan ke dalam kawasan lindung, kawasan pengawetan, dan kawasan reklamasi. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan preservasi atau non-budi daya, sedangkan kawasan reklamasi sebagai kawasan budi daya. Lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m termasuk dalam kawasan non-budi daya, dan sebaiknya tidak dibuka untuk pengembangan pertanian.

Menurut Keppres No.32 tahun 1990, kawasan lahan rawa gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat pada bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut, dan ditujuan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, sebagai penambat air dan pencegah banjir. Lahan gambut sangat dangkal (<50 cm) dapat digunakan untuk

Page 4: Hutan Rawa Gambut Tugas Pak Hardiansyah

sawah, gambut dangkal <200 cm untuk tanaman palawija dan hortikultura, serta gambut sedang (2-<3 m) untuk perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan sagu, dengan perencanaan dan penerapan teknologi yang sesuai.

F. Permasalahan

Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Keberhasilan pengembangan lahan gambut di suatu wilayah tidak menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan berhasil pula. Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah.

Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu lahan pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar.

Hutan rawa gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. Jika ekosistemnya terganggu maka intensitas dan frekuensi bencana alam akan makin sering terjadi; bahkan lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga gas rumah kaca lainnya seperti metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O).

Dalam Wikipedia, Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (Bahasa Inggris: biodiversity) adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis. Dengan demikian dari berbagai pengertian diatas dapat kita simpulkanpengertian biodiversitas atau yang kita kenal dengan keanekaragaman hayatiadalah keanekaragaman makhluk hidup dan hal-hal yang berhubungan dengan ekologinya, dimana makhluk hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan yaitu:

1. Keanekaragaman genetik, merupakan keanekaragaman yang paling hakiki, karena keanekaragaman ini dapat berlanjut dan bersifat diturunkan. Keanekaragaman genetik ini berhubungan dengan keistimewaan ekologi dan proses evolusi.

2. Keanekareagaman jenis, meliputi flora dan fauna. Beraneka ragam jenis memiliki perilaku, strategi hidup, bentuk, rantai makanan, ruang dan juga ketergantungan antara jenis satu dengan yang lainnya. Adanya keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap.

3. Keanekaragaman Ekosistem, tercakup di dalamnya genetik, jenis beserta lingkungannya. Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks.

Konservasi lahan:Merupakan upaya untuk mempertahankan atau mengawetkan kualitas lahan dari bahaya kerusakan