hukum taklifi

19
HUKUM TAKLIFI PEMBAHASAN A. Pengertan Hukum Taklifi Menurut bahasa artinya hukum pemberian beban. Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ padadua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat [1]. Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan [2]. Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir [3]. Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadh’i secara sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi) [4]. Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah,larangan atau pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadisebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib.Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia [5]. Contoh, seperti firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu perbuatan: ﴿ َ ونُ مَ حْ رُ تْ مُ كَ ّ لَ عَ لَ ولُ سَ ّ ر ل ٱ وٱُ ع يِ طَ # ٱَ وَ ةٰ وَ كَ ّ ) ر ل ٱ وٱُ ت ٱَ ءَ وَ ةٰ وَ لَ ّ ص ل ٱ وٱُ م يِ قَ # ٱَ و٥٦

Upload: abdul-aziz-fathoni

Post on 18-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hukum islam

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Taklifi

HUKUM TAKLIFI

PEMBAHASAN

A.   Pengertan Hukum Taklifi

Menurut bahasa artinya hukum pemberian beban. Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi

hukum syara’ padadua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Hukum Taklifi menurut para ahli

Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf,

baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk

memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat [1]. Hukum Taklifi adalah firman Allah yang

menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan [2]. Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah

yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir [3].

Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadh’i secara sekilas. Hal ini

perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i mempunyai hubungan yang sangat erat.

Hukum Wadh’i adalah hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’(sesuatu yang

menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi)[4].

 

Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah,larangan atau pilihan antara

perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya,

jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i menjelaskan

bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadisebab tanda bagi wajibnya seseorang

menunaikan shalat maghrib.Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu

berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i sebagaian ada yang di luar

kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia [5].

Contoh, seperti firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu perbuatan:

﴿ ن� م�و ن� ر� م ر� م� � ن ن� ن� ن� م�و �� ن ٱ� م�وا� ط�ي ن�� ن� ن� وو �ن �ن� ٱ� موا� ن�� ن� ن� وو ن ن� ٱ� م�وا� ط!ي ن�� ٥٦ن� ﴾Artinya : “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi

rahmat.” (QS. An-Nur: 56)

Ayat ini menunjukkan kewajiban shalat, menunaikan zakat dan mentaati Rasul.

B.   Pembagian Hukum Taklifi

Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaanistilah dalam menjelaskan

spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafe’imenggunakan istilah bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul

Uman dkk menggunakan pembagian atau macam-macam hukum taklifi. Sedangkan Satria Efendi lebih

menggunakan kata Pembagian untuk menunjuk spesifikasi hukum taklifi [6]. Akan tetapi apapun istilah yang

digunakan oleh para penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang

disebutdengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenissesuai dengan klasifikasi

masing-masing.Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut dengan

maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:

1.   I jab (mewaj ibkan ) , ya i t u aya t a t au had i t s da l am ben tuk pe r i n t ah yang mengharuskan

untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yangmengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain,

Ijab adalahsesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti firman Allah:

Contohnya solat lima waktu.

Firman Allah SWT :

Page 2: Hukum Taklifi

م�ون� ) ح� ت�ر� ل�ع�ل�ك�م� ول� س� الر� أ�ط�يع�وا و� ك�اة� الز� �ت�وا آ و� ة� ال� الص� أ�ق�يم�وا ) 56و�

"Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah perintah Rasul, mudah-mudahan kamu dirahmati Allah".

( An-Nur : 56)

Ayat di atas menjelaskan bahawa solat dan zakat itu adalah WAJIB kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti

(jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.

Para ulama' mazhab Hanafi membedakan di antara wajib dan fardhu. Jika tuntutan supaya melakukan sesuatu

dalam bentuk pasti (jazmun) berdasarkan al-Quran dan Hadis Mutawatir, maka ia dinamakan FARDHU. Jika

berdasarkan dalil-dalil lain, selain dari al-Quran dan Hadis, maka ia dinamakan WAJIB.

Contohnya, membaca surah dalam solat adalah FARDHU kerana ia berdasarkan dalil qat'i yaitu al-Quran.

Sementara membaca surah al-Fatihah pula adalah WAJIB kerana ia berdasarkan dalil yang zanni yaitu HADIS

AHAD.

Pembagian Wajib

Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :

a.   Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaanya, ada yang Muaqqat (dibatasi waktu) dan ada yang Mutlaq (tidak

dibatasi waktu)

Wajib Muaqqat adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu,

seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat yang lima waktu itu dibatasi waktu tertentu, arrtinya tidak

wajib shalat sebelum waktunya dan mukallaf berdosa jika mengakhirkan shalat dari wkatunya tanpa uzur. Juga

seperti puasa Ramadhan, ia tidak wajib dilaksanakan sebelum bulan Ramadhan dan tidak wajib jika Ramadhan

telah lewat. Demikian juga semua kewajiban yang oleh syar’i ditetpkan waktu pelaksanaanya.

Wajib yang Mutlaq (tidak dibatasi waktu) adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan secara

pasti tetapi tidak ditentukan waktu pelaksanaanya. Seperti denda yang wajibatas orang yang

bersumpahkemudian melanggar sumpah, pelaksanaan denda ini tidak ditentukan waktunya, jika ia menghendaki

bisa saja dilakukan langsung setelah melanggar sumpah atau ia tidak melaksanakan langsung pada saat itu. Juga

seperti naik haji bagi orang yang mampu, pelaksanaan kewajiban ini tidak ditentukan pada taun yang mana ia

harus menunaikan.

Diantara cabang dari pembagian wajib yang dibatasi waktu dan yang mnutlaq adalah bahwa wajib yang

ditentukan waktunya, maka seorang mukallaf berdosa jika menunda wajib itu dari wktunya tanpa uzur. Karena

wajib yang dibatasi waktu itu adalah dua kewajiban, yakni wajib dilakukan dan dilakukan pada waktunya.

Seseorang yang menunaikan wajib setelah waktunya, berarti telah menunaikan salah satu kewajiban, yaitu

menunaikan kewajiban dan meninggalkan kewajibaan yang lain, yaitu dilakukan tidak pada waktunya. Maka

mukallaf berdosa dengan meninggalkan kewajiban ini tanpa uzur.

Sedangkan wajib yang mutlak, maka tidak ada waktu tertentu dalam menunaikannya. Sehingga mukallaf

boleh menunaikan pada waktu mana saja yang ia kehendaki dan tidak berdosa di waktu manapun.

b.   Wajib ditinjau daru tuntutan menunaikan, terbagi menjadi wajib ‘aini (wajib ain) dan wajib kifa’i (wajib

kifayah)

Wajib ain adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing mukallaf. Tidak cukup

seorang mukallaf menjadi wakil yang lain, seperti shalat, zakat, haji, menepati janji, menjauhi minuman khamer

dan judi.

Wajib Kifayah adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh kelompok mukallaf, tidak oleh

masing-masing mukallaf. Artinya jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka kewajiban itu sudah ditunaikan

dan gugurlah dari dosa mukallaf yang lain. Jika tidak dilakukan oleh seorang mukallaf pun maka semua

mukallaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Seperti amar ma’ruf (perintah berbuat baik) dan nahi

Page 3: Hukum Taklifi

munkar (larangan berbuat mungkar), shalat jenazah, membuat rumah sakit,menyelamatkan orang yang

tenggelam, memadamkan kebakaran.

Apabila seseorang telah pasti melakukan wajib kifayah maka hal itu menjadi wajib ain baginya. Misalnya,

jika yang menyaksikan orang tenggelam dan minta tolong itu hanya orang yang pandai berenang , yang melihat

suatu peristiwa hanya seorang yang mengaku sebagai saksi, dalam suatu negeri hanya ada satu dokter yang bisa

memberikan pertolongan, maka secara pasti mereka itu harus melakukan wajib kifayah, dan kewajiban iitu bagi

mereka adalah wajib ain.

c.    Wajib ditinjau dari ukurannya terbagi menjadi wajib muhaddad (yang dibatasi) dan ghairu muhaddad (yang

tidak dibatasi

Wajib muhaddad adalah kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya. Yakni tanggungan

mukallaf atas kewajiban ini tidak hilang sebelum dilakukan sebaimana yang telah ditetapkan syar’i, seperti

shalat lima waktu, zakat dan hutang piutang. Setiap shalat fardhu yang lima menjadi beban mukallaf sampai

shalat fardhu itu dilaksanakan sesuai jumlah rakaat, rukun dan syaratnya. Zakat adalah kewajiban yang menjadi

beban mukallaf sampai zakat itu dikeluarkan sesuai ukuran dan diberikan kepada yang berhak. Seseorang yang

bernazar mengeluarkan suatu ukkuran terttentu, maka kewajiban sebab nadzar itu disebut wajib yang

muhaddad.

Sedangkan wajib yang tidak dibatasi adalah kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya oleh syar’i, tetapi

mukallaf dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang tidak terbatas. Seperti infak di jalan Allah, tolong

menolong pada kebaikan, bersedekah kepada para kafir, memberi makan orang yang kelaparan dan kewajiban

lain yang tidak dibatasi oleh syari.

d.   Wajib ditinjau dari sifatnya, terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib mukhayyar (pilihan)

Wajib mu’ayyan adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ dengan sendirinya, seperti shalat, puasa dan

mengembalikan sesuatu yang digasab. Tanggungan mukallaf tidak hilang, kecuali dengan melakssanakan

kewajiban itu dengan sendirinya.

Wajib mukhayyar adalahsalah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut oleh syar’i, seperti salah satu

bentuk denda tebusan. Allah swt mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makan

sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Yang wajib adalah salah satu

diantara tiga hal tertentu tersebut. Pilihan bagi mukallaf adalah menentukan salah satu untuk dilaksanakan,

sehungga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan salah satunya.

2.   Mandub (Sunnah ( , y a i t u t un tu t an un tuk me laksanakan sua tu pe rbua t an yang tidak

bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.

Misalnya, surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT berfirman

م# م$و م% �ر ن'ٱ م��ى ن* م�+ ل, ن. ن�� وى ى ن� ط�0 ل1 ر2 ن3 ط4 م%� ن2ن ن�3 ن ن�6 ط�0 ا� ىو من ن+ ن�� ن1 ط27 �� ن ٱ ن9ا م�2 ن�ا ون2 ىArtinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang

ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (Al-Baqarah: 282).

Lafaz di atas menunjukkan lafaz tuntutan yang pasti (jazmun) tetapi terdapat qarinah ….

ن+1 ن� ن� ن3 ون9 ن�: ٱ� م�وا� م% ر� ن ن>ا ن� م<ۥ 4� ن ن? ن< � ن ٱ� ط@ %� ن ني ر� ن� م<ۥ ن% نن ون+ ن�� ن1 ط� م Aر ٱ ط7ى ن�� ٱ Cد Eن مي ر ن' مFا ر� ن4 م�� Fم ر� ن4 ن1 ط+ ن�� ر� ط0ا ن' Gة Iن م$و Jر +� ن ة1 Kون ط� ن' م$ا ط ن�ا م�3ا� Lط ن ر� ن� ن� ل� Mن ن� وى ن Nن ر� م% م�ن ط��0 ن� ﴿ ة� ط ي Nن ن� م و ن� ر� ن ن�ا ط4 م< � ن ن�ٱ� م<ۥ م$ ر ن! ة� Oط ن�� م<ۥى P� ن ط0ا ن' ن9ا ر� م% ر� ٢٨٣ن2 ﴾

Artinya : Dan jika kamu berada dalam musafir (lalu kamu berhutang atau memberi hutang yang bertempoh),

sedang kamu tidak mendapati jurutulis, maka hendaklah diadakan barang gadaian untuk dipegang (oleh

orang yang memberikan hutang). Kemudian kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang

Page 4: Hukum Taklifi

(dengan tidak payah bersurat , saksi dan barang gadaian), maka hendaklah orang (yang berhutang) yang

dipercayai itu menyempurnakan bayaran hutang yang diamanahkan kepadanya, dan hendaklah ia bertakwa

kepada Allah dan Tuhannya. Dan janganlah kamu (wahai orang-orang yang menjadi saksi) menyembunyikan

perkara yang dipersaksikan itu. Dan sesiapa yang memyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang

yang berdosa hatinya. Dan (ingatlah), Allah sentiasa Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah :

283)

Nas al-Quran di atas (al-Baqarah : 283) menunjukkan bahawa tuntutan untuk menulis/mencatat hutang adalah

Sunat (Mandub( bukannya Wajib.

Pembagian Sunnah :

Sunnah dibagi menjadi tiga bagian :

a.   Sunnah yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan. Orang yang meninggalkan sunnah ini tidak

mendapat siksa melainkan mendapat celaan.

Diantara sunah-sunah ini adalah perbuatan yang oleh syara’ dianggap sebagai penyempurna kewajiban,

misalnya adzan, melakukan shalat lima waktu secara berjamaah. Juga termasuk diantaranya adalah segala

sesuatu yang ditekuni oleh Rasulullah Saw yang berupa masalah-masalah agama dan beliau tidak pernah

meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali untuk menunjukkan ketidak pastiannya, seperti berkumur dalam

berwudhu dan membaca surat atau ayat setelah bacaan surat Al-fatihah dalam shalat. Bagian ini disebut sunnah

muakaddah atau sunnah huda.

b.   Sunnah yang dianjurkan oleh syara’ untuk dikerjakan, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkan

tidak disiksa maupun dicela.

Diantara sunnah ini adalah sesuatu yang tidak ditekuni oleh Rasulullah Saw hanya beberapa kali dikerjakan dan

hanya beberapa kali ditinggalkan. Diantaranya adalah bersedekah kepada fakir, puasa hari Kamis dalam setiap

minggu, atau shalat beberapa rakaat sebagai tambahan shalat fardhu dan sunnah muakadah. Bagian ini disebut

zaa-idah aatau naafilah

c.    Sunnah tambahan, artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf.

Diantaranya adalah mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam hal kebiasaan beliau sebagai manusia, seperti makan,

minum, berjalan, tidur dan berpakaian menurut sifat yang dilakukan oleh Rasullullah Saw. Mengikuti jejak

Rasulullah dalam hal tersebut sifatnya adalah penyempurna, dan dianggap sebagai kebaikan dari mukallaf karen

menunjukkan kecintaanyya kepada Rasul. Tetapi bagi orang yang tidak mengikuti Rasul dalam hal tersebut

tidak dianggap orang yang jahat, karena hal itu tidak termasuk syariat Rasul. Bagian ini disebut mustahab, adab

dan fadhilah.

3.   Muharram (Haram(

Haram ialah tuntutan syara’ supaya meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun).

Sekiranya seseorang mukallaf itu melakukannya, dia akan berdosa. Sebaliknya jika ditinggalkan berdosa.

Contohnya :

نز�ير ل�خ� م� ل�ح� و� لد�م� و� ي�ت�ة� ل�م� ع�ل�ي�ك�م� م�ت� ر+ ٱح� ٱ ٱ ...�

Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi....” (Q.S Al-Maidah:3)

Atau larangan berbuat itu disertai dengan sesuatu yang menunjukan kepastian, seperti firman Allah

Swt :

﴿ مRا ط$ي ن� ن� ىا ن� ن� Gم ن: Sط ون' ن� ن�ا م<ۥ P� ن ط�0 وى ى Pن �د ٱ� م4وا� ن� Jر ن ن>ا ٣٢ن� ﴾

Page 5: Hukum Taklifi

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan

yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’ :32)

Pembagian Haram

Haram terbagi menjadi dua :

a.           Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinyua bahwa hukum syara’ telah

mengharamkan keharaman itu sejak permulaan; seperti zina, mencuri, shalat tanpa bersuci, mengwini salah

satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya, menjual bangkau dan lain-lain yang diharamkan secara

nyata karena di dalamnya terkandung kerusakan dan bahaya. Maka keharaman itu datang sejak permulaan atas

perbuatan itu sendiri.

b.           Haram karena sesuatu yang baru. Artinya, suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum

syara’ sebagai suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang

menjadikannya haram; seperti jual beli yang mengandung unsur penipuan, puasa yang terus menerus (siang dan

malam) dan lain-lain yang mengandung keharaman karena sesuatu yang baru, bukan haram pada realitas

perbuatannya melainkn unsur dari luar perbuatan itu. Artinya, perbuatan itu pada dasarnya tidak menunjukkan

kerusakan dan bahaya, tetapi ada sesuatu yang menyertainya yang dapat menimbulkan kerusakan dan bahaya.

4.   Makruh

Makruh adalah ketentuan larangan yang lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan.

Contohnya:-Memakan makanan berbau seperti pete ketika akan bergaul dengan orang lain.- Berjualan

ketika azan Jum’at.

 Contoh lainnya :

�ل�وا أ ت�س� إ�ن� و� ؤ�ك�م� ت�س� ل�ك�م� ت�ب�د� إ�ن� ي�اء� أ�ش� ع�ن� �ل�وا أ ت�س� ال� ن�وا �م� آ ال�ذ�ين� ا �ي7ه� أ ي�ا

ل�يم8 ) ح� ور8 غ�ف� الل�ه� و� ا ع�ن�ه� الل�ه� ا ع�ف� ل�ك�م� ت�ب�د� آ�ن� ر� ال�ق� ل� ي�ن�ز� ين� ح� ا ) 101ع�ن�ه�

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan

kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan

diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyantun.  (Q.S.Al-Maidah : 101. )

 Qarinah daripada hukum Haram kepada hukum Makruh berdasarkan..

Dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah

memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.  (Al-Maidah : 101.  )

Hukum Makruh ialah pembuatnya tidak berdosa, tetapi hanya dicela. Sesiapa yang meninggalkannya (tidak

membuat perkara tersebut) akan mendapat pahala dan pujian drp Allah SWT.

5.   Mubah

Mubah adalah sesuatu yang oleh syara’ seseorang mukallaf diperintah untuk memilih antara

melakukannya atau meninggalkannya. Syar’i tidak menuntut agar mukallaf berbuat dan tidak juga menuntut

agar mukallaf meninggalkannya.

Dikerjakan atau ditinggalkan,pelakunya tidak akan mendapat pahala,dan tidak pula dianggap

berdosa.Contohnya:-Memakan berbagai jenis makanan halal,seperti nasi,sayur-mayur,dan buah-buahan.-

Memilih warna pakaian untuk menutup aurat.-Berusaha mencari rezeki dengan jalan berdagang.

Kadang-kadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash syara’, seperti jika syar’i

menetapkan bahwa tidak berdosa berbuat ini, maka hal ini menunjukkan kebolehan. Seperti firman Allah Swt :

اء� لن+س� ط�ب�ة� خ� م�ن� ب�ه� ت�م ض� ع�ر� ا يم� ف� ع�ل�ي�ك�م� ن�اح� ج� ٱو�ال� ۦ ...

Page 6: Hukum Taklifi

Artinya : “Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran...” (Q.S.

Al-Baqarah:235)

Serta :

ل�ك�م� Fل ح� ال�ك�ت�اب� أ�وت�وا ال�ذ�ين� و�ط�ع�ام� الط�ي+ب�ات� ل�ك�م� ل� أ�ح� ال�ي�و�م�

ن� م� ن�ات� ص� ال�م�ح� و� ن�ات� ؤ�م� ال�م� م�ن� ن�ات� ص� ال�م�ح� و� م� ل�ه� Fل ح� ك�م� و�ط�ع�ام�

غ�ي�ر� ن�ين� ص� م�ح� ه�ن� ور� أ�ج� �ت�ي�ت�م�وه�ن� آ �ذ�ا إ ب�ل�ك�م� ق� م�ن� ال�ك�ت�اب� أ�وت�وا ال�ذ�ين�

ل�ه� ع�م� ب�ط� ح� د� ق� ف� �يم�ان� ب�اإل� ر� ي�ك�ف� و�م�ن� Nد�ان أ�خ� ذ�ي ت�خ� م� و�ال� ين� اف�ح� م�س�

ر�ين� ) اس� ال�خ� م�ن� ة� ر� �خ� اآل� ف�ي و� ) 5و�ه�

 Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu

halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga

kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara

orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan

maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan

ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Al-Maidah ; 5)

ف�ي أ�ك�ن�ن�ت�م� و�أ� اء� الن+س� ط�ب�ة� خ� م�ن� ب�ه� ت�م� ض� ع�ر� ا ف�يم� ع�ل�ي�ك�م� ن�اح� ج� و�ال�

إ�ال� ا Rر س� د�وه�ن� ت�و�اع� ال� ل�ك�ن� و� ن� ون�ه� ت�ذ�ك�ر� س� �ن�ك�م� أ الل�ه� ع�ل�م� ك�م� س� �ن�ف� أ

ال�ك�ت�اب� ي�ب�ل�غ� ت�ى ح� الن+ك�اح� د�ة� ع�ق� ت�ع�ز�م�وا و�ال� ا Vوف ع�ر� م� Vو�ال ق� ول�وا ت�ق� أ�ن�

أ�ن� اع�ل�م�وا و� وه� ذ�ر� اح� ف� ك�م� س� �ن�ف� أ ف�ي ا م� ي�ع�ل�م� الل�ه� أ�ن� اع�ل�م�وا و� ل�ه� أ�ج�

ل�يم8 ) ح� ور8 غ�ف� ) 235الل�ه�

  Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu

menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan

menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara

rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam

(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui

apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyantun. (Al-Baqarah : 235)

ر�يض� ال�م� ع�ل�ى و�ال� ج8 ر� ح� ج� �ع�ر� األ� ع�ل�ى و�ال� ج8 ر� ح� �ع�م�ى األ� ع�ل�ى ل�ي�س�

و� � أ �ب�ائ�ك�م� آ ب�ي�وت� و�

أ� ب�ي�وت�ك�م� م�ن� ت�أ�ك�ل�وا أ�ن� ك�م� س� �ن�ف� أ ع�ل�ى و�ال� ج8 ر� ح�

ب�ي�وت� و�أ� ات�ك�م� و� أ�خ� ب�ي�وت� و�

أ� ان�ك�م� و� إ�خ� ب�ي�وت� و�أ� ات�ك�م� ه� م�

أ� ب�ي�وت�

ا م� و�أ� ت�ك�م� اال� خ� ب�ي�وت� و�

أ� ال�ك�م� و� أ�خ� ب�ي�وت� و�أ� ات�ك�م� ع�م� ب�ي�وت� و�

أ� ك�م� ام� أ�ع�م�

و� � أ يعVا م� ج� ت�أ�ك�ل�وا أ�ن� ن�اح8 ج� ع�ل�ي�ك�م� ل�ي�س� ك�م� د�يق� ص� و�

أ� ه� ات�ح� ف� م� ل�ك�ت�م� م�

الل�ه� ن�د� ع� م�ن� Vي�ة ت�ح� ك�م� س� �ن�ف� أ ع�ل�ى ل+م�وا ف�س� ب�ي�وتVا ل�ت�م� د�خ� إ�ذ�ا ف� ت�اتVا أ�ش�

ل�ون� ) ت�ع�ق� ل�ع�ل�ك�م� �ي�ات� اآل� ل�ك�م� الل�ه� ي�ب�ي+ن� ك�ذ�ل�ك� Vط�ي+ب�ة Vك�ة ب�ار� ) 61م�

Page 7: Hukum Taklifi

 Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak

(pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu,

dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah

saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-

laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya[1051] atau dirumah kawan-

kawanmu. tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu

memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang

berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi

baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (An-Nuur : 61

C.  Kedudukan dan Fungsi Hukum Taklifi

Kedudukan dan fungsi hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran Islam, karena hukum

taklifi membahas sumber hukum Islam yang utama , yaitu Al-Qur’an dan Hadis dari segi perintah-perintah

Allah SWT dan rasul-Nya yang wajib dikerjakan,larangan-larangan Allah SWT dan rasul-Nya yang harus

ditinggalkan serta berbentuk pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.

D. Penerapan Hukum Taklifi dalam Kehidupan Sehari-hari

Seorang muslim/muslimah yang menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari tentu selama

hidup dialam dunia ini akan senantiasa melaksanakan perintah-Nya yang hukumnya wajib, meninggalkan

segala larangan Allah SWT yang hukumnya haram dan lebih baik lagi kalau mengerjakan anjuran Allah SWT

dan Rosul-Nya yang hukumnya sunnah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya yang hukumnya

makruh.Sedangkan hal-hal yang hukumnya mubah seorang muslim/muslimah boleh mengerjakannya dan boleh

tidak,karena baginya tidak ada pahala dan tidak ada dosa .

Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.

Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai perbuatan yang

boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain

Page 8: Hukum Taklifi

HUKUM WADH’I

PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Wadh’i

Hukum wadh’I ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau

syarat atau halanganb dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’I

sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuka sebab(sabab), sehingga melahirkan akibat

(musabbab) suatu huum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya

(masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi

tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’I pembahsan

yangber kaitan dengan’azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan).

Ash-shihhah (sah) dan al-buthlan(batal) . Degan demikian, pembahasa tentang hukum wadh’iberkaiatan dengan

tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, azimah, rukhsah, ash-shihhah. Dan al-buthlan. Untuk jelasnya.

Dibawah ini diuraikan secara lebih terperinci

a. Sabab

sebab (al_sabab) menurut Jumhur Ulama adalah : Sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasnya , yang oleh Allah

(al-syari, Pembuat hukum)) dijadikan sebagau tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan define ini, ada dua

esensi yang terkandung didalamnya.

Pertama suatu tidak sah dijadikan sebagai sabab kecuali Allah (Syari’) sendiri yang menjadikannya saebagai

sebab. Karena hukum-taklifi merupakanpembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani adalah Allah

SWT. Dan jika yang membebani adalah penmbuat hukum (Syari), maka Dialah menjadikan sebab-sebab

sebagai dasar hukum-hukumnya.

Kedua: bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan

tetapi meruapakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu. Dalam hal ini Asy-Syathiby mengatakan, bahwa

“sebab” bukanlah pelaku aktif denngan sendirinya, ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau

hukum), bukan yang menyebabkannya

Pembagian sabab

1)Sabab hukum yang bukan pembuatan mukallaf

Sabab yang merupakan membuatatan mukallaf ialah pembuatan mukallaf yang ditetapkan asy Syari

sebagai pengenal/penanda adaaanya musabbab akibat dalam bentuk hukum syara.

2) Sabab hukum yang bukan merupakan pembuatan mukallaf

Sebab hukum yang bukan pembuatan mukallaf ialah, sesuatu yang asy-Syari menjadikannya sebagai

penanda pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab. Sedangkan ia bukan pembuatan mukallaf. Pada

umumnya, sabab yang kedua ini merpaka fenomena alam yang dijadikan sebagai sabab bagi waktu-

waktupelaksaan ibadah.

b. Asy-Syarth

1( Pengertian Asy-Syarth

Asy-Syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat

berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Adappun perbedaan antara

syarat dengan sabab adalah : bahwa ditemukan adanya (syarat) itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh

karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syaratnya shalat menentukan/ tidak mengakibatkan wajibnya

shalat. Dan adanya dua orang saksi tidak menentukan /tidak mengakibatkan adanya akad nikah, meskipun

Page 9: Hukum Taklifi

keadaannya dua orang saksi meruapakan syarat sanya akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa

adanya wudhu’, dan akad nikah menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi

2( Pembagian syarth

a( syarth asy-syar’iyyah

Yang dimaksud dengan syarth asy-syar’iyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh asy syari(pembuat

hukum) dijadikan sebagai syarat untuk memenuhi sebab, atau untuk memenuhi musabbab.

b( Syarth ja’liyyah

Adapun yang di maksud dengan Syarth ja’liyyah ialah, syarth yang ditetapkan oleh muhallaf sebaga

hubungan kausal yang diakui oleh syara memilki efek hukum syara’, Syarth bentuk kedua ini tidak boleh

bertentangan engan hukum syara’ agar efek (akibat ; musabbab)-nya dapat diakui oleh asy-Syari sebagai hukum

syara’. Contohnya , seorang suaami yang mengaitkan kejtuhan talaknya dengan suatu syarat, dengan

mengatakan kepada istrinya: “jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka taakmu jatuh satu”

c. Al-Mani

1( Pengetian al-Mani

Al-Mani ( penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh

sebab atau hukum. Oleh karena itu asy-Syathiby menganggapnya sebagai sebab yang merintangi ter hadap

sebab yang meruapakan tanda ujudnya hukum, atau sebai sebab yang merintangi zat hukum. Karena asy-

Asyathiby mendefinisikan mani’ sebagai : sebab yang metetapkan hukum lain karena adanya ‘illa yamg

menafikan hikmahnya hukum

2( Pembagian Al-Mani’

Sebagaimana halnya syarth, ulama ushul fiqih juga membagi mani’ dengan meninjaunya dari beberapa segi,

tetapi tinjauan yang terpenting ialah penbagian mani ditinjau dari segi objeknya. Dalan hal ini, mani’ dibagi

menjadi dua, yaitu :

A) Mani’ yang menghalangi adanya hukum:

b) Mani’ yang menghalangi adanya hubungan kausal sabab.

Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adannya hukum ialah, ketetapan asy-Syari’ yang

menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum.

Sebagai Contoh hukum Syara’ yang umunm menyatakan, wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki

maupum wanita. Akan tetapi,syara’ juga menetapakan, haid dan nifas menjadi penghalang bagi wanita untuk

dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalt yang tidak dilaksanakan selama haid dan nifas.

Adapun yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi hubungan kausal sabab ialah , ketetapan Asy-

Syari’ yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi lahirnya musabbab/akibat hukum dari suatu

sabab syara’ yang berlaku umum. Sebagai Contoh, ketentuan syara’ yang umum menyatakan, jumlah harta yang

mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama sestahun (haul) merupakan sabab bagi kewajiban

mengeluarkan zakat. Akan tetapi ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan

menghalang bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat

d. Al-‘Azimah dan ar-rukhshah

1( Pengertian Al-‘Azimah dan ar-rukhshah

Al-‘Azimah dan ar-rukhshah adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama ushul fiqih dimasukan

kepada kelompok pembahasan hukum wadh’I Alasan mereka. Pada hakikatnya ketentuan azimah berkaitan erat

dengan keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara’ uyang umum bagi

Page 10: Hukum Taklifi

mukallaf. Sementara kireteria rukhshah pada umumnya berkaitan ert dengan keadaan tertentu yang menjadi

sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan huhum.

Dalam pada hali itu, sebagian ulama menbicarakan ‘azimah dan rukhshah dalam kelompok hukum taklfi.

Alasan mereka, pembicaraan ‘azimah dan rukhshah berkaitan langsung dengan cara penerapan hukum taklifi.

Bagaimanapun juga, penulis cenderung pada alasan ulama kelompok pertama, sehingga dalam uruusan ini,

pembahasan ‘Azimah dan Rukhshah ditempatkan dalam hukum wadh’i.

Kedua definisi tersebut diatas hanya berbeda dari segi redaksinya saja, namun maksudnya sama, bahwa

yang dmaksuud dengan ‘azimah dan adalah, ketentuan syariat yang ditetapkan untukberlaku secara umum,

dalam keadaan normal, bukan dalam keadaan dan situasi tertentu yang bersifat khusus, bagi seluruh mukallaf,

bukan untuk mukallaf tertentu yang bersifat khusus.

2( Pembagian ar-Rukhshah

a) Berdasarkan segi bentuk hukum yang berlaku umum

Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai

berikut.

(1)`Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menuurut ketentuan syariat yang umum diharamkan, karena

darurat atau hajah.

(2)Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum diwajibkan, Karena

kesulitan melaksanakannya.

b) Berdasarkan segi bentuk rukhshah (keinginan)

e. Ash-Shihhah, aaal-Buthlan, dan Al-Fasad

Yang dimaksud dengan ash-shihhah ialah, suastu perbuatan yang telah memiliki sabab, memenuhi

berbagai rukun dan perssyaratan syara’, Dan terdapat mani’ padanya.

Dalam pada itu, suatu sabab yang disebut suatu sah ialah, sabab yang menimbulkan musabab atau dampak

hukum. Adapun yang dimaksud dengan Albuthlan(batal) ialah, kebalikan dari pengertian sah, yaitu, suatu

perbuatan yang tidak memenuhi semua kireteria yang dituntut oleh syara’. Dan syarat-syarat ja’liyyah yang

rusak (fasad) akan menjadikan sebab rusaknya akad pada pembagian keadaan. Sepeti halnya akad-akad maliyah

(transaksi barang) menjadi rusak disebabkan rusaknya syarat pada saat tukar-menukar. Tapi dalam keadaan

syarat-syarat yang rusak (fasad ) tidak menjadikan rusaknya suatu akad.

Page 11: Hukum Taklifi

HUKUM WADH’I DAN PENERAPANNYA DALAM ISLAM

A.  Pengertian

Hukum wad’I adalah khitab syar’I yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau

penghalang dari sesuatu yang lain. Ketentuan hukum ini di kenal dengan istilah lain sebagai pertimbangan

hukum. Hukum wad’I juga bisa dikatakan hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang

mengandung persyaratan sebab atau mani’.

B.  Macam-Macam Hukum Wad’i

Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam yaitu ;

1.     Sebab

Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud

atau tujuan. Secara bahasa Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan leh nash al-qur’an

atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab

merupakan pertanda keberadaan suatu hukum. Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6].

Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu, tergelincirnya matahari

menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.

2. Syarat

Syarat ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka

hukum pun tidak ada. Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi

orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi

syarat diwajibkannya haji.

3. Mani’

Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada sebab.

Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan. Contoh

mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang

tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).”

Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah

terhadap perbuatan yang sah.

4. Sah dan Batil

Lafadz sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperlah pahala

dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan

syara’ dan akan mendatangkan pahala di akhirat.

Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di

dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.

5. Aziman dan Rukhsah

Aziman dan rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak semula.

Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga seluruh makhluk wajib mengikuti

sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya: jumlah rakaat sholat dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat

ini ditetapkan Allah sejak semula dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat

sholat dzuhur, hukum tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada

Page 12: Hukum Taklifi

dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat seperti

orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.

Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azîmah bukan termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi

masuk dalam hukum taklîfîe adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan

(iqtidhâ`) dalam hukum ‘azîmah dan kebebasan memilih (takhyîr) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat

yang menganggap bahwa ‘azîmah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’îe dan bukan termasuk

dalam hukum taklîfîe mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syâri’ sebagai

sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan ‘azîmah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang

menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.

Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fâsid tidak termasuk dalam hukum wadh’îe

akan tetapi bagian dari hukum taklîfie, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syâri’

untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabî’ (barang yang dijual) oleh pihak

pembeli. Sebaliknya al-buthlân adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabî’

jika akad jual beli batal atau tidak sah.

C.  Contoh Hukum Wad’I

Contoh hukum wad’I menurut firman Allah swt.dan sunah Rasulullah saw.berikut

1.     Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Sebab yang Lain

Allah swt.berfirman dalam Surah al-Isra’ Ayat 78

( : 0ا���� ( <� ��:�س ��3وك �� Rا� �!��78(Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrâ`: 78)

Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.

ط1 ري ن$ ر� ن� ر� � ن�ى ط�0 ر� م� ن م. ر? ن�� ن� ر� م� ط� م�� م� ط4 مSو� ن* ر+ ن�� ط@ ط' ن�� ن� ر� � ن�ى ط�0 ر� م� ن2 ط3 ر2 ن�� ن� ر� م� Kن م.و م� م و� ط* Vر ن'ا ط� نRا ن� �� ن�ى ط�0 ر� م% ر� م! ن�6 ط�0 منو� ن+ ىن� ن1 ط27 �� ن � ن9ا م�2 ن�� ن2ام� ا ن+ � � م3 Lط ن ر� ن ن' ن� ا ن* دن � � م� م% ر* ان+ ن> ر� ن�� Wط Xط ا Yن ر� � ن1 ط+ ر� م� رن ط+ ة3 ن� ن�� ن� ا ن. ر� ن�� ل� Mن ن� ى ن Nن ر� ن�� ى Iن ر� ن+ ر� م% رن �م ر� ط�0 ن� � � م� ن�9 ن�� ا ن' ا م$ من م. ر� م% رن �م ر� ط�0 ن�

م< ن% ن� ر� Pط �� ن ط% مي ط� ن� ر� �م ن� د9 Zن مي ط� م3 ط�2 م2 ر1 ط� ن� ن� ل] ن� ن� ر1 ط+ ر� م� ري ن Nن ن, ن� Lر ني ط� م< � ن �� م3 ط�2 م2 ن+ا م< رن ط+ ر� م� ط23 ر2 ن�� ن� ر� م� Kط م.و مو ط4 مSو� ن* ر+ ن'ا م$ا دي ن� م�3 ط�ي ن\ م�و� ن�� ني ن% ن'ن� م�� م� ر: ن ر� م� � ن ن� ن� ر� م� ري ن Nن

Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu

dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,

dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat

buang air (kakus) atau menyentuh [404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah

dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak

menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya

kamu bersyukur”

2.     Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Syarat yang Lain

Allah berfirman dalam Surah an-Nisa Ayat 6

Setelah memperhatikan contoh di atas, di sana tidak ditemukan kesesuaian yang tampak antara adanya al-sabab

dan munculnya suatu hukum syariat, kecuali yang diketahui oleh Syâri’ sendiri. Dalam hal seperti ini para

ulama ushûl menyebutnya sebagai al-sabab dan al-‘illah, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya al-

Page 13: Hukum Taklifi

sabab saja dan bukan al-‘illah, karena menurut pandangan mereka al-‘illah adalah yang mempunyai kesesuaian

yang cocok antara hukum syariat dan al-‘illah.

3.     Khitab Rasullulah saw.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Penghalang (Mani’(.

Rasulullah saw.bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya :

“Tidak ditulis sebagai dosa dari tiga hal, yaitu dari orang gila sampai ia sembuh (berakal), dari orang tidur

sampai bangun, dan dari anak kecil sampai dia dewasa. ( H.R. Abu Dawud dari Ibnu Abbas : 3823)”

Hadits diatas menggambarkan bahwa gila menjadi penghalang terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi

penghalang (Man’i) terhadap perbuatan yang sah. Selain hadits diatas, terhadap pula hadits yang lain, yang

artinya :

“Orang islam tidak mewarisi orang fakir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam. ( H.R. al-Bukhari

dari Usamah bin Zaid : 6267 dan Muslim : 3027)”

Berlainan agama antara orang yang mewariskan hartanya dan orang yang mewarisi menjadi penghalang

seseorang untuk menerima harta waris.

Berdasarkan ketentuan dan contoh-contoh tersebut, hukum wad’I pada dasarnya sebagai petunjuk dalam

melaksanankan hukum taklifi. Mengenai hukum wad’I para ulama berpendapat bahwa hukum wad’I tidak

hanya mengandung lima hal diatas, tetapi juga mengandung rukhsah (kemurahan), dan sihah (sah).