hukum potong tangan dan pemberlakuannya di...
TRANSCRIPT
HUKUM POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA
DI INDONESIA
(STUDI ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SITI KHODIJAH
NIM : 1110045100038
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436/2015 M
i
ABSTRAK
SITI KHODIJAH, NIM 1110045100038, Judul Skripsi: “HUKUMAN
POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUAN DI INDONESIA (STUDI
ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU)” Konsentrasi
Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hukuman untuk tindak pidana pencurian dalam Islam ialah hukuman
potong tangan, sedangkan dalam KUHP ialah hukuman penjara dan denda. Dalam
Islam harta merupakan salah satu dari lima hal yang harus dijaga, untuk dapat
terpeliharanya harta dalam Islam maka akan dapat terwujud melalui hukuman
yang setimpal, yaitu hukuman potong tangan.
Pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah perbandingan
pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia, yang bertujuan untuk membandingkan pandangan
ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dan
pemberlakuannnya di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kualitatif, sedangkan sumber data yang digunakan yaitu sumber data
primer dari hasil wawancara dengan Ulama Muhammadiyah, dan NU; dan sumber
sekunder yang dihasilkan dari studi kepustakaan. Adapun teknik analisis yang
digunakan adalah analisis perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan
NU tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dan pemberlakuannya di
Indonesia.
Penulis menyimpulkan bahwasanya menurut ulama Muhammadiyah dan
NU, hukuman potong tangan adalah hukuman hudud yang telah ditetapkan oleh
Allah untuk tindak pidana pencurian yang tertulis dalam Qs. Al-Maidah ayat 38.
Ulama Muhammadiyah dan NU menyetuji hukuman potong tangan diberlakukan
di Indonesia, karena hal itu dapat mengurangi tindak kejahatan terutama
pencurian. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman potong tangan jika
diberlakukan di Indonesia tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Karena
menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman potong tangan jauh lebih
efektif dibandingkan dengan hukuman penjara, karena efek jera dari hukuman
potong tangan dapat dirasakan langsung oleh pelaku maupun orang lain.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmannirrahim
Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang
selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh mahluk. Dengan kuasa
dan rahmat-Nya kita senantiasa selalu diberikan kesehatan dan keselamatan serta
nikmat yang tak terkira. Dengan penuh keikhlasan dan kebahagiaan, penulis
bersyukur atas nikmat yang telah diberi Allah SWT.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah
SAW. Nabi terakhir yang telah membawa perubahan kepada umatnya dari zaman
jahiliya ke zaman Islamiyah. Keselamatan dan kesejahteraan semoga selalu
dilimpahkan kepada para keluarga, seluruh sahabat, dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tiadalah
kemampuan daya dan upaya melainkan atas kehendak dan ridho-Nya, sehinggga
penulis dapat menyelesaikan studi dan mencapai gelar (S1) Sarjana Strata Satu di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menghasilkan
sebuah katya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang penulis angkat dengan tema “
HUKUMAN POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA DI
INDONESIA (STUDI ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH
DAN NU)”.
Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan kendala yang
dialami penulis, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan
(data) maupun soal pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat kesungguhan
iii
hati dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari semua pihak, maka semua
kesulitan dan kendala itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
seyogyanyalah penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya
kehadirat Allah Yang Maha Kuasa. Dan meengucapkan terima kasih yang tiada
terhingga serta menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut terlibat
atas terselesaikannya skripsi ini.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Yth:
1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para pembantu Dekan.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M. Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah
Jurusan Kepidanaan Islam, dan kepada Ibu Rosdiana, MA Sekertaris
program Studi Jinayah Siyasah.
3. Bapak Dr. Khamami Zada, MA dan bapak Afwan Faizin, M. Ag., sebagai
dosen pembimbing penulisan skripsi, yang telah banyak memberikan
ilmunya dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan seluruh karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakrta.
5. Kepada kedua orang tua penulis, Abah yakni Alm. H. Amirudin yang telah
berjuang membesarkan, mendidik dengan penuh kasih sayang sampai
akhir hayatnya yang sangat penulis cintai dan sayangi sampai saat ini.
Dan kepada Ibu Hj. Hamdah yang telah berjuang mengasuh, mendidik
iv
dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tulus tanpa keluh kesah apapun
dalam membesarkan anaknya yang sangat penulis cintai dan sayangi
sampai saat ini. Sehingga tanpa hal tersebut sulit kiranya penulis dapat
mencapai apa yang diperoleh saat ini, pengorbanan Abah dan Ibu tak
mungkin bisa penulis balas dengan apapun. Terima kasih Abah dan Ibu ku
tercinta kalian adalah cahaya dan penyemangat ku.
6. Kepada keluarga tercinta kakak-kakak ku dan adikku yaitu: ka Hanafi, ka
Amin, Ka Amanah, ka Hilmi, ka Syarif dan adiku Hambali terima kasih
atas dukungan kalian. kalian adalah penyemangat penulis dalam
menyelesaiakan skripsi ini.
7. Kepada saudara penulis yaitu Fauziyah Tasya yang telah membantu
menemani penulis dalam menyelesaikan penulisan ini, dan juga kepada
teman-teman jurusan Kepidanaan Islam angkatan 2010, Amanah, Azizah,
Izzatulailah, Ika Wahyuni Ayu Safitri, Luthfiah Rahmah, Siska Novrianti,
Reniati Sumanta, Maslahatunnisa, Luluk Husnawati (SS), dan semuanya
yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebaikan kalian
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada perwakilan PP Muhammadiyah Jakarta Pusat yaitu bapak Ma;rifat
Iman, bapak Fahmi Salim, dan bapak Risman Muchtar. dan perwakilan
PBNU Jakarta Pusat yaitu bapak Masdar Fuadi Mas’ud, bapak Arwani
Faisal, dan bapak Cholil Nafis yang telah meluangkan waktunya untuk
penulis wawancarai dan kepada staf-staf PP Muhammadiyah dan PBNU
yang telah membantu penulis dalam wawancara.
v
Segala puji dan rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu penulis
panjatkan kepada Allah SWT, serta diiringi doa semoga amal baik tersebut
di atas diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pembalasan yang
berlipat ganda. Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan
yang terbaik dalam penulisan ini. Penulis sangat menyadari keterbatasan
kemampuan penulis, dan mungkin masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Saran dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan demi
pembenaran dan kessempurnaan skripsi ini dan semoga membawa manfaat
khususnya bagi penulis dan para pembaca semua.
Jakarta, 8 April 2015
Penulis
Siti Khodijah
NIM: 1110045100038
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ............................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 4
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu ............................. 5
E. Metode Penelitian .............................................................. 6
F. Sistimatika Pembahasan .................................................... 7
BAB II HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM PIDANA
ISLAM
A. Pengertian Potong Tangan ................................................. 10
B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian 10
C. Hukuman Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut
Ulama Fiqih ....................................................................... 15
D. Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan ....................... 17
E. Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong Tangan ................. 22
vii
BAB III KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia.................................... 28
B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia ........................ 32
C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia .............. 35
D. Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam ................... 37
BAB IV PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU
TENTANG HUKUMAN POTONG TANGAN DAN
PEMBERLAKUANNYA DI INDONESIA
A. Pandangan Ulama Muhammadiyah Tentang Hukuman
Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia .......... 46
B. Pandangan Ulama NU Tentang Hukuman Potong Tangan
dan Pemberlakuannya di Indonesia ................................... 53
C. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU
Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya
di Indonesia ....................................................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 68
B. Saran .................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah hukum yang paling sempurna, mencakup
semua aspek kehidupan baik mencakup hubungan antara manusia maupun
hubungan antara manusia dan tuhan. Hukum Islam juga memberikan
perlindungan kepada manusia dengan memberikan larangan dan perintah
yang mengatur manusia. Hal ini dapat dilihat dari maksud-maksud hukum
(al-makasid syariah) yang terdapat dalam lima tujuan syariat yaitu:
memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara
kehormatan, dan memelihara harta benda.1
Hukum Islam juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dengan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam dan asas-
asas hukum yang dapat berlaku umum dan dapat diterima oleh masyarakat.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kejahatan pun
semakin berkembang dengan bertambahnya angka kejahatan dan
bertambahnya macam-macam jenis kejahatan. Sedangkan hukum yang ada di
Indonesia adalah hukum peninggalan Belanda yang sudah dapat dikatakan
usang. Kalaupun ada hukum-hukum baru yang ditetapkan pemerintah
merupakan hukum yang bersifat khusus tidak bersifat global. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan mana yang layak digunakan
1 Muhammad Ibn Muhammad Abu Syubhah, Al-Hudud Fi Al-Islam, (Kairo: Amieriyyah-
Kuwait, Dar Al-Qalam, 1990), h. 198.
2
yang khusus (lek speciale) dan global (lex generele).2 Hal ini berakibat pada
pemberian sanksi pidana pada kejahatan.
Pada tahun-tahun terakhir semakin banyak terjadi kejahatan terhadap
harta atau pencurian. Hal ini mungkin disebabkan oleh sanksi hukuman yang
terlalu ringan. Sanksi tindak pidana terhadap harta khususnya dalam hal
tindak pidana pencurian dapat dilihat dalam KUHP.
Dalam hukum Islam,pencurian termasuk salah satu jarimah hudud,
karena secara tegas dan teknisnya sudah diatur dalam nash-nash al-Qur’an
dan hadits.3 Pencurian termasuk cara yang tidak sah dalam mengambil harta
orang ain.4 Untuk itu pencurian dalam hukum pidana Islam diancam dengan
hukuman potong tangan.
Hukuman potong tangan didasarkan atas penyelidikan mental dan
kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukuman tersebut adalah hukuman yang
sesuai dengan perseorangan maupun untuk masyarakat, dan oleh karena itu
merupakan hukuman yang paling baik, sebab bisa mengurangi bilangan
jarimah dan bisa menjamin ketentraman masyarakat.5
Namun, hukum potong tangan bagi pencuri yang telah ditulis dalam
syariat Islam tidak diberlakukan di Indonesia, karena Indonesia mengadopsi
hukum Barat dengan menggunakan KUHP dimana pelaku pencurian tidak
dihukum potong tangan, melainkan dipenjara dan denda.
2 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 2005), h. 193.
3 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 14.
4 Abdurahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h. 62 5 Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Indhill CO, t.th), h. 135.
3
Dengan kaitan inilah, peranan para ulama tidak dapat diragukan lagi
karena sangat penting, baik dalam soal agama maupun dalam soal
politik.6Ulama Indonesia menyadari, kemajemukan dan keragaman umat
Islam dalam pikiran dan paham keagamaan merupakan rahmat bagi umat
yang diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran hakiki.7
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua organisasi Islam
terbesar dan tertua di Indonesia telah berusaha, bahkan sejak sebelum
kemerdekaan, untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum yang
berhubungan dengan Islam, terutama menyangkut kepentingan masyarakat
umum.8 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud menggali
pandangan Muhammadiyah dan NU tentang pemberlakuan hukuman potong
tangan di Indonesia. Karena itu penulis tertarik membahas permasalahan di
atas dengan judul “Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di
Indonesia (Studi atas Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok masalah dalam studi ini adalah perbandingan pandangan
Ulama Muhammadiyahdan NU tentang hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia. Pokok masalah tersebut di atas diuraikan
dalam beberapa pertanyaan berikut ini:
6 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 53. 7 www.mui.or.id
8 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU,(Jakarta:
Universitas Yarsi, 1998), h. 2-3.
4
1. Bagaimana pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang
hukuman potong tangan?
2. Bagaimana pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang
pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia?
3. Bagaimana perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU
tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia?
Perbandingan pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU yang
dijadikan fokus kajian dalam studi ini dibatasi pada hukum potong tangan
bagi pencuri (hudud) dan pemberlakuannya di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, menjelaskan tentang
syariat Islam di Indonesia; kedua,menjelaskan pandangan ulama
Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan:
a. Menjelaskan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU
tentang hukuman potong tangan;
b. Menjelaskan pandangan ulam Muhammadiyah dan NU
tentang pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia;
c. Menjelaskan perbandingan pandangan ulama
Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia.
5
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna dalam menambah
wawasan tentang hukuman potong tangan dalam hukum
pidana Islam.
b. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang
hukuam potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia.
c. Sebagai penambah bahan bacaan dalam kepustakaan dan
sebagai referensi.
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu
Sejauh ini peneliti belum menemukan secara spesifik penelitian yang
membahas tentang hukuman potong tangan, namun banyak penelitian yang
menyinggung tentang hukuman potong tangan, baik mengenai sanksi
potong tangan untuk tindak pidana pencurian maupun hanya
menyinggungnya secara umum mengenai penelitian tersebut. Berikut ini
paparan tinjauan umum tentang karya penelitian tersebut.
Mardani dalam bukunyaKejahatan Pencurian Dalam Hukum
Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan Di Nanggroe
Aceh Darussalam,menjelaskan bahwa hukuman potong tangan merupakan
hukuman yang sangat asas (mendasar) dalam pencurian. Oleh karena itu,
hukuman potong tangan tidak bisa dibatalkan walaupun adanya pemaafan
baik dari korban maupun dari penguasa, dan hukuman ini tidak boleh
6
diganti dengan hukuman lain yang lebih ringan dari hukuman potong
tangan.
Siti Katijah Binti Salleh menulis skripsi yang berjudul Pelaksanaan
Hukum Pidana Pencurian Enakmen Kesalahan Jinayah Syariah Di
Terengganu. Inti dari kesimpulan skripsi tersebutialah bahwa hukuman
pidana potong tangan tidak dapat dilaksanakan di Terengganu karena
halangan yang dihadapi dari pihak Pemerintah Federal yang tidak bisa
menerima hukum hudud.
Hidayatullah menulis skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam
dan Hukum Positif Terhadap Pencurian Uang Melalui Internet Banking. Isi
dari skripsi tersebut tidak terlalu menyinggung tentang hukuman potong
tangan namun dapat diambil kesimpulan bahwa hukuman potong tangan
diperintahkan Allah SWT, sebagai hukuman kepada pencuri, baik laki-laki
maupun perempuan.
Penelitian di atas baru sebatas mengkaji hukum potong tangan di
Aceh dan Terengganu. Karena itu penulis bermaksud membahas pandangan
ulama Muhammadiyah dan NU teetntang pemberlakukan hukuman potong
tangan bagi pidana pencurian di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang berdasarkan data-data wawancara yang berkaitan
dengan penelitian yang ditulis. Adapun bentuk dari penelitian ini adalah
7
bersifat deskriptif yaitu menggambarkan masalah, menyusun,
mengumpulkan data penelitian.
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber yang digunakan adalah sumber primer yaitu hasil
wawancara dengan Ulama Muhammadiyah, dan NU; dan sumber
sekunder yaitu literatur/karya ilmiah dan data-data yang diperoleh dari
buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah yang akan diteliti.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis perbandingan,yaitu
membandingkan pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU tentang
hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia.
Adapun mengenai teknik penulisan, penulis menggunakkan
buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2012.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika yang disajikan untuk mempermudah pembaca dalam
memahami materi yang dibahas dalam penelitian ini, penulis membagi
dalam 4 (empat) bab. Bab pertama bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab
ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini,
yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) Latar Belakang
Masalah, (2) Pembatasan dan Perumusan Masalah, (3) Tujuan dan Manfaat
8
Penelitian, (4) Tinjauan Pustaka, (5) Metode Penelitian, dan (6) Sistematika
Pembahasan.
Bab kedua berjudul“Hukuman Potong Tangan dalam Hukum Pidana
Islam”. Di dalam bab ini menyajikan uraian tentang hukuman potong tangan
bagi pencuri dalam hukum pidana Islam. Bab ini terdiri atas 5 (lima) sub-
bab utama, yaitu (1) Pengertian Potong Tangan, (2) Dasar Hukum Potong
Tangan bagi Tindak Pidana Pencurian, (3) Hukuman Potong Tangan bagi
Tindak Pidana Pencurian Menurut Ulama Fiqih, (4) Teknis Eksekusi
Hukuman Potong Tangan, dan (5) Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong
Tangan.
Bab ketiga berjudul “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum di Indonesia”. Bab ini menyajikan bagaimana kedudukan hukum
Islam dalam hukum positif di Indonesia. Bab ini terdiri atas empat (4) sub-
bab utama, yaitu (1) Sejarah Hukum Islam di Indonesia, (2) Hukum Islam
dalam Konstitusi Indonesia, (3) Hukum Islam dalam Undang-Undang
Indonesia, dan (4) Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Bab keempat yaitu “Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU
Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia”.
Dalam bab ini diuraikan analisis perbandingan pandangan para ulama
tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia. Bab ini
menyajikan tiga (3) sub-bab utama yaitu: (1). Pandangan Ulama
Muhammadiyah tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di
Indonesia (2). Pandangan UlamaNU tentang Hukuman Potong Tangan dan
9
Pemberlakuannya di Indonesia (3). Perbandingan Pandangan Ulama
Muhammadiyah dan NU tentang Hukuman Potong Tangan dan
Pemberlakuannya di Indonesia.
Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan
rekomendasi. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok/ inti temuan penelitian
yang dihasilkan. Selain itu, dimuat juga saran terkait tindak lanjut atas
temuan penelitian.
10
BAB II
HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Pengertian Potong Tangan
Secara bahasa, potong tangan dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata,
yaitu طعق dan انذ. Kata قطع merupakan isim masdar dari lafadz قطع-قطع-قطع
yang berarti (memotong atau memutuskan),1sedangkan kataانذ merupakan
isim dari lafadh ذ( : انكفانزساع .yang berarti (tangan, lengan) انذ )ا2Secara
istilah potong tangan berarti memotong atau memutuskan tangan mulai dari
telapak tangan sampai pergelangan.
Definisi di atas sama dengan definisi menurutempat Imam Madzhab,
Ulama Zahiriyah, dan Syi‟ah Zaidiyah, yang mendefinisikan hukuman potong
tangan yaitu memotong tangan pelaku pencurian mulai dari telapak tangan
sampai pergelangan tangan.3 Karena menurut mereka batas minimal dari
tangan ialah mulai dari jari sampai pergelangan tangan.
B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian
Potong tangan adalahhukuman yang sangat asasi dalam pencurian.
Oleh karenanya tidak hapus dengan adanya pemaafan, baik dari korban
maupun dari penguasa. Hukuman ini tidak boleh diganti dengan hukuman
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, t.t), h. 348.
2 Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, h. 1697
3 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid V, (Bogor: Kharisma Ilmu,
t.th), h. 179
11
lain atau yang lebih ringan dari padanya.4 Allah berfirman di dalam al-Qur‟an
surah al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:
ب جزاء ذ ا أ انسبسقت فبقطع ب انسبسق ى. ب زحك اهلل عز اهلل كسبب كبال ي
)3)انبئذة:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagiapa yang mereka kerjakan dan
sebagaisiksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana”.5
Asbab Al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat ini disebutkan
dalamsebuah riwayat dalam sebuah peristiwa pencurian pada masa Nabi
SAW. Seorang laki-laki mencuri sekarung gandum milik tetangganya,
mengambil dan menyimpannya di rumah seseorang. Karena karung itu sobek,
maka ia dapat dilacak. Sementara itu, si empunya mengadu kepada Nabi
SAW tentang barangnya yang dicuri serta mencurigai tetangganya yang
ternyata benar. Nabi SAW tak menyukai hal ini bahwa ia mencurigai
tetangganya yang muslim melakukan pencurian. Namun tatkala benar-benar
terbukti bahwa karung tersebut dicuri oleh tetangganya itu, maka ia lari ke
4 Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam (Jakarta: Indhill CO, t.th),h. 119. 5 Lihat Tafsir Al-Mishbah Juz 3 halaman 93. Dijelaskan tentang peletakan kata pada Qs.
Al-Maidah ayat 38 dan Qs. An-Nur ayat 2. Pada Qs. Al-Maidah ayat 38, kata (انسبسق) as-sariqu/
pencuri laki-laki disebutkan terlebih dahulu atas kata (انسبسقت) as-sariqatu/ pencuri perempuan.
Mengisyaratkan bahwa laki-laki lebih berani mencuri dari pada perempuan, di samping itu laki-
laki mempunyai kewajiban mencari nafkah. Sedangkan pada Qs. An-Nur ayat 2, menyebutkan
kata (ت az-zani/ laki-laki pezina. Ini (انز) az-zaniyah/ perempuan pezina terlebih dahulu atas (انز
disebabkan karena bukti perzinahan dapat nampak dengan jelas pada perempuan akibat
kehamilannya, atau dampak negatif yang diakibatkan oleh perempuan ketimbang lelaki.
Kebanyakan dari perempuan itu menampakan hiasan mereka, yang dapat merangsang terjadinya
perzinahan. Lihat Tafsir Al-Mishbah Juz 3 halaman 93.
12
semak belukar dan mati. Ayat Al-Qur‟an di atas diturunkan setelah peristiwa
ini terjadi.6
Firman Allah dalam Qs. Al-Maidah pada lafadz ا فبقطع
“potonglah”,bermakna al-ibanah (penjelasan) dan al-izaalah (penghilangan).
Penghilangan atau pemotongan ini tidak diwajibkan kecuali dengan
terpenuhinya beberapa syarat yang perlu diperhitungkan keberadaannya, pada
orang yang melakukan pencurian, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang
dicuri.7 Pada lafadz ب ذ ب tangan keduanya”, Allah tidak berfirman“أ ذ
(harfiyah: kedua tangan mereka berdua).Terjadi perbedaan pendapat oleh para
pakar bahasa Arab membahas masalah tersebut.
Ibnu Al-Arabi berkata, “para fukaha memperkuat apa yang
dikemukakan oleh para pakar bahasa Arab itu, karena sangkaan baik terhadap
mereka. Al- Khalil bin Ahmad dan Al-Farra‟ berkata, “setiap sesuatu yang
ada pada tubuh manusia, apabila sesuatu itu disebutkan untuk dua orang,
maka sesuatu itu harus dijamakkan”. Oleh karena itu Allah berfirman, ا فبقطع
ب ذ ,harfiyah: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri)أ
potonglah tangan-tangan keduanya), dan tidak berfirman: ا ذ بفبقطع
(harfiyah: potonglah kedua tangan keduanya). Maksudnya adalah, potonglah
tangan kanan si ini dan tangan kanan si itu. Namun demikian, menurut aturan
bahasa Arab, diperbolehkan mengungkapkan بفبقطع ا ذ (harfiyah:
potonglah kedua tangan keduanya), sebab kalimat ini merupakan asal.
6 Abdurahman I Doi. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakrta: Rineka Cipta, 1992),
h. 63. 7 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 400.
13
Ibnu Al-Arabi berkata, “ini berdasarkan (pendapat yang menyatakan)
bahwa yang boleh dipotong hanyalah tangan kanan, padahal tidak demikian.
Akan tetapi, yang boleh dipotong itu tangan-tangan dan kaki-kaki. Dengan
demikian, firman Allah: ب ذ itu kembali kepada empat perkara, yang أ
terhimpun pada dua perkara (yaitu tangan dan kaki). Sebab lafadzh ب adalah
tatsniah. Dengan demikian pula, firman Allah itu dikemukakan secara fasih.8
Rasulullah sendiri, seperti yang telah dikemukakan oleh Ibnu
Abdulbar, pernah mengeksekusi potong tangan terhadap seorang wanita yang
bernama Fatimah binti al-Aswad bin Abdul „Asadal-Makhzumi yang mencuri
harta seseorang. Seperti ditegaskan Awdah, hukuman potong tangan yang
seperti ditegaskan dalam Al-Qur‟an tidak boleh ditukar dengan bentuk
hukuman lain yang lebih ringan.9
Sejak zaman para sahabat, hukuman potong tangan telah ditetapkan
untuk tindak pidana pencurian. Orang pertama yang memberi keputusan
hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah
memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Laki-laki
pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah SAW karena mencuri
adalah Al-Khiyar bin Abdi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pertama
yang dihukum potong tangan karena mencuri adalah Murrah binti sufyan bin
Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu Bakar pernah memotong tangan kanan
seorang pencuri kalung dan umar memotong tangan Ibnu Samurah, saudara
8 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, h. 415-416.
9Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, dan
Tantangan, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h, 124.
14
Abdurrahman bin Samurah. Hal ini telah disepakati bersama. Sepintas ayat
ini bersifat umum, setiap pencuri harus dihukum potong tangan. Akan tetapi
ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda Rasulullah SAW, tangan
pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar
atau lebih. Jadi jelaslah hukumanini hanya berlaku pada sebagian pencuri,
bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena
hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits,Al-Syafi‟i, dan
Abu Saur. Imam Malik berkata,”tangan pencuri dipotong juga karena mencuri
seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri sesuatu seharga dua dirham
yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya, tangan pencuri
tersebut tidak boleh dipotong”.10
Dengan demikian, ayat tentang potong
tangan harus dihubungkan dengan hadis Nabi. Berikut ini versi lengkap dari
hadis tersebut.
ش أب ع اب ى إبشا إسحبق ب ب ح ب ح -حذث أب -انهفظ ن قبل اب
ق ب, ش: حذث ع شة, ع ع , ع ش ت عبنز ع ب ب : اخبشب سف بل االخشا
بس صه اهلل عه سهى قطع انسبسق ف سبع د سسنبنه عبئشت قبنج: كب
فصبعذا.
Artinya: Diceritakan dari Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, dan
Ibnu Abu Umar menyampaikan kepada kami dengan lafadz milik Yahya-
Ibnu Abu Umar menggunakan lafadz haddatsana, sedangakan dua perawi
yang lain menggunakan lafadz akhbarana-dari az-Zuhri, dari Amrah
10
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 103. 11
Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shohih Muslim,
(Bairut-Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1972), h. 667.
15
bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah saw memotong tangan pencuri yang
mencuri seperempat dinar atau lebih”.
عبذاهلل ب ذ ب ز ذ, ع يح : حذثب عبذانعزز ب انحكى انعبذ حذث بششب
عج ب س عبئشت أ شة, ع ع ذ, ع يح أب بكشب بد, ع صه اهلل عه ان انب
بس فصبعذا. سبع د ل: الحقطع ذ سبسق إنبف سهى ق
Artinya: Diceritakan dari Bisyr bin al-Hakim al-Abddi
menyampaikan kepadaku dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari Yazid bin
Abdullah bin al- Had, dari Abu Bakar bin Muhammad, dari Amrah, dari
Aisyah yang mendengar Nabi saw bersabda, “tangan pencuri tidak
dipotong kecuali jika dia mencuri sebanyak seperempat dinar atau lebih”.
C. Hukuman Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut
Ulama Fiqih
Ulama Syafi‟iyah menyatakan bahwa hukuman potong tangan
dijatuhkan untuk pencurian yang sempurna.13
Hukuman potong tangan, yang
sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau
sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung
literaturnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks.14
Pada dasarnya hukuman potong tangan tidak dijatuhkan dalam tidak
pidana pencurian jika pencuri tidak berhasil mengeluarkan barang curian dari
12
Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shohih Muslim,h. 667. 13
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008),
h. 91. 14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 82.
16
tempat penyimpanannnya.15
Ada beberapa pendapat madzhab mengenai
penjatuhan hukuman potong tangan bagi pencuri yang hanya ikut membantu
mengawasi dalam hal pencurian.
Pertama,menurut Imam Malik, hukuman potong tangan tidak dapat
dijatuhkan kepada seseorang yang hanya ikut membantu mengawasi dalam
pencurian baik dari dalam maupun dari luar rumah.
Kedua,menurut Imam Abu Hanifah, orang yang membantu tidak
wajib dijatuhi hukuman potong tangan, kecuali jika barang yang diambil
masing-masinng pencuri dan yang membantu mencapai satu nisab. Jika
setelah dibagi dua nilai barang masing-masing tidak mencapai satu nisab,
keduanya tidak dikenakan hukuman potong tangan.
Ketiga,menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hukuman potong tangan
harus dijatuhkan bagi mereka yang melakukan pencurian atau hanya ikut
membantu dalam pencurian jika nilai yang ia keluarkan mencapai satu nisab,
hukuman potong tangan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan atau yang
membantu dalam pencurian.
Keempat,menurut Imam Syafi‟i, hukuman potong tangan atas orang
yang membantu pencurian hanya berlaku dengan dua syarat. Pertama,
membantu pencuri mengeluarkan barang-barang curian dari rumah. Kedua,
setelah barang curian ditotal dan dibagi rata, setiap pencuri mendapat satu
nisab. Mazhab Syi‟ah Zaidiyah sepakat dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
15
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 92.
17
Hukuman potong tangan harus dijatuhkan kepada mereka yang membantu
pencurian, baik dari dalam maupun dari luar rumah.16
Pada dasarnya hukuman potong tangan akan tetap diberlakukan
kepada siapa saja, baik oleh si pelaku langsung maupun oleh mereka yang
hanya ikut membantu dalam pencurian. Namun, dalam hal ini hukuman
potong tangan tersebut dijatuhkan apabila barang yang dicuri mencapai satu
nisab.Apabila barang yang dicuri tidak mencapai satu nisab, maka
hukumannya bukanlah hukuman potong tangan tetapi hukuman ta‟zir.
D. Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan
Ulama al-Mazahib al-Arba‟ah berbeda pendapat dalam menetapkan
teknis eksekusi potong tangan pada diri pencuri.Menurut Hanafiyah dan
Hanabilah, yang dipotong tangan itu tangan kanan dan kaki kiri. Dipotong
tangan kanan pada pencurian yang pertama dan kaki kiri pada pencurian
yang kedua kali. Jika terjadi pencurian yang ketiga kalinya, maka tidak
dipotong tapi dipenjara selama waktu tidak ditentukan, sampai meninggal
dunia atau sampai nampak taubatnya.17
Mereka berargumentasi pada amal
sahabat Ali bin Abi Thalib R.A:
قبل: حضشث عه أب س ع قب ذ ان سع أب ذب سع يعشش ع ب أب حذث
طبنب سض انشجم قذ سشق فقبل فقبل ب أب عت انذ أح بشجم يقط اهلل ع
انقخم،ب إرايب عه . فقخه ؤي شان بأي اقطع زا؟ قبن ف يبحش نبصحبب أ
16
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 95-96. 17
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 132
18
ء أكم انطعبو، بأ ش جببت، بب ء غخسم ي ش انضأ انصالة، بب ء خ ش
إن ا فشد و عه حبجخ ء ق ش أبيب فأخشج سا انبق((.نسج3
Artinya:
Telah menceritakan kepada Abu Mu’syir dari Said bin Abi Said Al
Maqbiri dari ayahnya, ia berkata: “ Aku telah menghadiri Ali bin Abi
Thalib membawa seorang laki-laki yang putus sebelah tangan dan
kakinya, yang pernah mencuri. Ia (Ali) bertanya kepada sahabatnya,
bagaimana pendapat kalian tentang hal ini. Mereka menjawab, potong ya
Amirul Mu’minin. Ali R.A. berkata: “Aku bunuh dia jika kudapati dia
membunuh. Sebab dengan apa dia memakan makanan, dengan apa dia
berwudhu untuk shalat, dengan apa bersuci dari junub, dengan apa ia
berdiri untuk keperluannya. Maka Ali R.A. memasukan dia ke penjara
selama beberapa hari, kemudian mengeluarkannya.
Sedangkan menurut Imam yang lainnya, yaitu Imam Malik, Imam
Syafi‟i dan Imam Ahmad, pencuri yang mencuri untuk ketiga kalinya yaitu
dikenai hukuman potong tangan kirinya. Apabila ia mencuri untuk ke empat
kalinya maka dipotong kaki kanannya. Apabila ia masih mencuri untuk
kelima kalinya maka ia dikenai hukuman ta‟zir dan dipenjara seumur hidup
(sampai ia mati) atau sampai ia bertobat.19
Sebagaimana hadits di bawah ini:
ب يح ثببج حذث يصعب ب بجذ ع : حذث الن م ان عق ذ ب عب ب عبذانه ذب
قبل: جء عبذانه جببش ب كذس, ع ان ذ ب يح , ع شب انزب ب عبذانه ب
ب بسبسق إن انب ! إ ل انه صه اهلل عه سهى فقبل: ))اقخه((, فقبنا: بسس
18
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam,juz 2, (Bandung: Dahlan, tt), h.
29. 19
Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, h. 91.
19
ت فقبل: ))اقخه((: فقبنا: انثب ((, قبل: فقطع, ثى جء ب سشق, فقبل: ))اقطع
ب سشق, فقبل: ))اقطع ! إ ل انه انثبنثت فقبل: بسس ((,قبل فقطع, ثى جء ب
ب ((,قبل فقطع, ثى أح ب سشق, فقبل: ))اقطع ! إ ل انه ))اقخه((: فقبنا: بسس
! إ ل انه انشابعت فقبل: ))اقخه((: فقبنا: بسس ((, فأح ب سشق, فقبل: ))اقطع
فأنق , ثى اجخشسب ب فقخه ب ب طهق انخبيست فقبل: ))اقخه((, قبل جببش: فب ف ب ب
انحجبسة. ب عه سي بئش
Artinya: Muhammad binAbdullah bin Ubaid bin Aqil al-Hilali
menyampaikan kepada kami dari kakeknya, dari Mush’ab bin Tsabit bin
Abdullah bin az-Zubair, dari Muhammad bin al-Munkadir bahwa Jabir
bin Abdullah berkata, “seorang pencuri dihadapkan kepada Nabi saw,
lantas beliau bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah,
dia hanya mencuri, Rasulullah saw menjawab, potonglah (tangan
kanannya). Lalu, tangan laki-laki itu dipotong. Beberapa waktu kemudian
laki-laki itu dihadapkan untuk kedua kalinya, belaiu bersabda , bunuhlah
dia. Mereka berkata wahai Rasulullah dia hanya mencuri. Beliau
bersabda, potonglah (kaki kirinya). Kaki laki-laki itu ppun dipotong.
Kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk ketiga kalinya. Beliau bersabda,
bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah dia hanya mencuri.
Rasulullah menjawab, potonglah (tangan kirinya). Lalu tangan laki-laki
itu dipotong. Lalu laki-laki itu dihadapkan untuk keempat kalinya. Beliau
bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah dia hanya
mencuri. Beliau menjawab, potonglah (kaki kanannya). Kaki laki-laki itu
pun dipotong. Kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk kelima kalinya.
Beliau bersabda, bunuhlah dia. “Jabir melanjutkan, “lalu kami membawa
laki-laki itu dan membunuhnya. Kami melemparkannya ke sumur dan
melemparinya dengan batu”.(4410)
20
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (t.tk-Darul
Fikr, tt), h. 142.
20
Adapun batas pemotongan menurut ulama yang empat, yaitu Imam
Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad adalah dari
pergelangan tangan. Sedangkan menurut Khawarij pemotongan dari pundak.
Alasan jumhur ulama adalah karena pengertian minimal dari tangan itu
adalah telapak tangan dan jari. Alasan Khawarij adalah karena pengertian
tangan itu mencakup keseluruhan dari sejak ujung jari sampai batas pundak.21
Perbedaan pendapat tentang batasan tangan ini terjadi karena semua batasan
yang mereka sebutkan termasuk ke dalam cakupan makna االذ tangan; baik
jari, pergelangan, siku, maupun sampai bagian pundak.22
Setelah dipotong, tangan pencuri harus mendapatkan tindakan medis.
Yaitu bisa dengan ditempelkan pada besi yang sudah dipanaskan dengan api
atau cara-cara lainnya agar darahnya berhenti. Dengan demikian, orang yang
dipotong tangannya tidak mengalami kondisi kritis yang bisa berakibat pada
kehilangan nyawa dan kematian. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW,
mendapat ajuan seorang pencuri yang telah mencuri mantel. Mereka berkata,
wahai Rasulullah, orang ini telah mencuri. Rasulullah SAW, bertanya, “aku
menduga dia tidak mencuri?” pencuri berkata, benar, aku telah mencuri,
wahai Rasulullah. Beliau bersabda, sabda beliau merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh Hakim dari hadits Abu Hurairah.
21
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. h. 92. 22
M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 111.
21
، بوا ب : ) اذ بمعىاي، وقال في ريرة، فساق الحاكم مه حديث أبي أخرج
البسار أيضا، وقال : لا بأش بإسىاديفاقطعوي، ثم احسموي ( وأخرج
“Hakim meriwayatkannya dari hadits Abu Hurairah ra, ia
meriwayatkan hadits tersebut dengan makna yang sama, (bawalah dia dan
potonglah tangannya, kemudian bakarlah (bekas potongan
tangannya))”.24
Al-Bazzar juga meriwayatkan dan ia berkata sanadnya
tidak ada yang berkomentar.
Setelah dilaksanakan hukuman potong tangan, orang itu dibawa
menghadap beliau lantas bersabda, “bertaubatlah kepada Allah.” Dia
menjawab, aku telah bertaubat kepada Allah. Beliau bersabda, “ ya Allah
berilah taubat taubat kepadanya.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga
kali (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Nasa‟i).25
Sebagai pelajaran bagi pencuri dan tindakan untuk menimbulkan efek
jera bagi yang lainnya, syariat memerintahkan agar tangan pencuri yang telah
dipotong digantungkan dilehernya. Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi
meriwayatkan, serta mengatakan hasan gharib, dari Abdullah bin Mahiriz,
bahwa dia mengatakan, aku bertanya kepada Fudhalah tentang
penggantungan tangan pencuri di lehernya, apakan tindakan ini termasuk
sunnah? Dia menjawab, seorang pencuri dihadapkan kepada Rasulullah
23
Al-Hafidz Ahmad Bin Hajr Al-Atskolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Sarikat
Bengkulu Indah, tt), h. 277. 24
Maksud dari membakar bekas potongan tangan tersebut yaitu dilakukan tindakan medis
kepada pelaku agar darahnnya berhenti mengalir. 25
Al-Hafidz Ahmad Bin Hajr Al-Atskolani, Bulughul Maram, h. 277.
22
SAW, lantas tangannya dipotong. Setelah itu beliau menyuruh agar tangan
pencuri itu digantungkan di lehernya. 26
E. Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong Tangan
Salah satu yang dibanggakan oleh manusia adalah harta. Ajaran Islam
bukan matereialisme, melainkan Islam mengajarkan kepada umat Islam
untuk berusaha sekuat tenaga sesuai kemampuan untuk mencari harta. Syariat
Islam yang ditetapkan oleh Allah swt, dan Muhammad Rasulullah saw
memuat seperangkat aturan dalam hal memperoleh harta. Memperoleh harta
dengan cara yang haram seperti berbuat curang, merugikan orang lain,
mencari keuntungan yang berlebihan, dan lain-lain harus dihindari oleh umat
Islam. Mengganggu dan merusak sistem nilai yang berkaitan dengan bidang
ekonomi. Asas-asas pembinaan dan pengembangan perekonomian yang
ditetapkan oleh syariat Islam berlandaskan atas prinsip suka sama suka, tidak
merugikan sepihak, jujur, transparan, dan lain-lain. Sebagai konsekuensi dari
sistem tata aturan tentang bagaimana cara memperoleh dan/atau mendapatkan
harta, maka syariat Islam menetapkan aturannya.
Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan
potong tangan bagi para pencuri, menunjukan bahwa pencuri dikenai sanksi
hukum potong tangan adalah pencuri yang profesional, bukan pencuri iseng,
atau bukan karena keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman bagi
pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut:
26
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Bandung: Alma‟arif, 1977), h. 377.
23
1. Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadipencurian,
mengingat hukumannya yang berat.
2. Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan
untuk kali berikutnya.
3. Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan
menghormati hasil jerih payah orang lain.
4. Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.27
Hikmah dan tujuan pemberian hukuman potong tangan bagi pencuri
dilaksanakan dalam rangka mencegah agar ia tidak melakukan pencurian,
sebagai balasan atas tindak pidana yang ia lakukan, dan gambaran bagi orang
lain agar tidak mengikuti perbuatan itu.28
Hukuman potong tangan didasarkan
atas penyelidikan mental dan kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukum
tersebut adalah hukuman yang sesuai untuk perseorangan maupun untuk
masyarakat, dan oleh karena itumerupakan hukuman yang paling baik, sebab
bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa menjamin ketentraman
masyarakat.29
Akan tetapi keadaan tersebut tidak diterima oleh mereka yang
mengatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman yang kejam.
Pandangan ini tidak tepat, karena kalau tidak berisi kekejaman dan hanya
berisi kelemahan serta kelunakan, maka namanya bukanhukuman lagi. Dalam
hukum positif itu sendiri beberapa macam pencurian dihukum dengan kerja
27
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam. (Jakarta: sinar Grafika, 2009), h. 67-68. 28
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 117. 29
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 135.
24
berat seumur hidup atau hukuman kerja berat sementara. Tentunya hukuman
pemotongan tangan membuat lebih ringan daripada kalau ia diletakan dalam
selnya selama umurnya, bagaikan hewan dalam kandangnya atau bagaikan
mayat dalam kuburnya, dengan terampas kemerdekaannya dan jauh pula dari
keluarga serta sanak saudaranya. Kalau hukuman mati berakibat hilangnya
nyawa dan hancurnya seluruh badan, sedang hukuman mati diterima oleh
hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan
terlebih-lebih dapat diterima, kalau ia hanya berakibat hilangnya sebagian
anggota badan.30
Pada prinsipnya, tujuan ditetapkannya syariat adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, baik kemaslahatan jangka pendek
maupun jangka panjang. Objek perwujudan kemaslahatan tersebut terdapat
dalam lima perkara pokok, yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.31
Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana
manusia tidak akan bisa terpisah darinya.
بىون زيىت الحيوةالدويا الما ل والا
Artinya:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-
Kahfi (18): 46).32
30
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 135-136. 31
Abdul Mughits, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta : Artha Rivera, t.t), h. 118-119. 32
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 167.
25
Al-Maziri mengatakan, Allah menjaga harta benda dengan
menetapkan hukum potong tangan dan potong kaki bagi pencuri. Allah
mengkhususkan hukum untuk pencurian, karena jika dibandingkan tingkat
kriminal lain yang hampir sejenis dengan pencurian sangat kecil dan mudah
didatangkan atau didapatkan buktinya, seperti merampas dan meng-ghasab.
Amanah yang mulia adalah yang paling mahal
Sedang amanah termurah adalah hinanya khianat
Maka pahamilah hikmah sang maha pencipta.33
Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat
Islam adalah:
a. Pencegahan (انزجش (انشدع
Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar
ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-
menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku,
pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku
agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia juga bisa
mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan
dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang
sama.
Oleh karenanya tujuan hukuman adalah pencegahan maka
besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan
tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang
33
Ibid., h. 195.
26
diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam
menjatuhkan hukuman. Tujuan yang pertama ini sangat jelas efeknya
adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya
pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman,
tentram, dan damai. Meskipun demikian, tujuan yang pertama ini ada
juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya
jarimah maka pelaku akan selamat dan ia terhindar dari penderitaan
akibat dari hukuman itu.34
b. Perbaikan dan pendidikan ( ذ انخ بانئصالح )
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik
pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari
kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syariat Islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan
timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah
bukan karena takut akan hukuman, melainkan akan kesadaran diri dan
kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida
dari Allah swt.35
Hukuman yang diberikan ditujukan untuk memberikan efek
jera dan dapat mengurangi tindakan kejahatan, terutama kejahatan
pencurian. Karena pada akhir-akhir ini kejahatan pencurian marak
terjadi, sehingga membuat masyarakat menjadi resah dan terancam.
34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 137-138. 35
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 138.
27
Dengan adanya hukuman potong tangan diharapkan dapat mencegah
tindakan kejahatan dan membuat pelaku atau orang lain tidak
melakukan tindakan-tindakan kejahatan selanjutnya.
28
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM
DI INDONESIA
A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Islam masuk ke
Indonesia dalam waktu yang tidak serentak. Perkembangan agama Islam di
Indonesia makin luas penyebarannya melalui jalan perdagangan dan
pelayaran.1 Proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan melalui
jalur perdagangan dan perkawinan, secara tidak langsung memberikan andil
bagi tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.2
Sebelum kedatangan Belanda, hukum Islam sebenarnya telah
mempunyai kedudukan tersendiri di Indonesia. Hal ini terbukti dari beberapa
fakta. Misalnya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah salah
seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV
Masehi. Melalui kerajaan ini, hukum Islam madzhab Syafi‟i disebarkan ke
kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan nusantara.3
Islam tetap memiliki eksistensinya di Indonesia sampai datangnya
para penjajah di bumi Indonesia. Sebelum kedatangan orang-orang Belanda
pada tahun 1596 di Indonesia, hukum-hukum yang berlaku di daerah-daerah
Indonesia pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis yang disebut
1 Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998). h. 7-8. 2 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005). h. 45.
3 Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1998), h. 69
29
hukum adat. Dalam sistem hukum adat tidak dikenal pemisahan hukum
pidana dan hukum privat. Di berbagai daerah hukum adat tersebut
dipengaruhi oleh agama Islam (Aceh, Palembang, ujung pandang) dan agama
Hindu.4
Pemerintah kolonial Belanda, yang menghadapi rakyat Indonesia
dengan mayoritasnya sebagai pemeluk agama Islam, perlu memusatkan
perhatian terhadap agama Islam.5 Melihat keberadaan hukum Islam di masa
kerajaan Islam, yang telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh
pemeluknya sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai
agama yang diyakininya telah mendorong pihak kolonial Belanda untuk
mengakui eksistensi hukum Islam. Kemudian pada tanggal 25 Mei 1760
dikeluarkanlah Resolutie der Indische Regeering yang berisi ketentuan
diberlakukannya sekumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum
kewarisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC
bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan Compendium Freijer dan
sekaligus dapatlah dikatakan sebagai legislasi hukum Islam pertama di
Indonesia.6
Kemudian muncul teori Receptie In Complexu, yang berarti bahwa
orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam
keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan, atau dengan kata lain hukum
4 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta:
Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1986). h. 43. 5 Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda -cet.3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009). h.56 6 Mohammad Idris Ramulyo, Azaz-Azaz Hukum Islam Sejarah Timbul dan
Berkembangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997). h. 49
30
mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama
Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.7 Bahkan pemberlakuan hukum
Islam semakin luas, yaitu melalui pasal 78 RR dalam Stbl Hindia Belanda
1855 : 2 ayat (2). 8
Karena kolonial Belanda takut akan berkembangnya hukum Islam,
maka Belanda melakukan penyempitan dengan teori Receptie. Pemerintah
Belanda melakukan upaya penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam.
Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat
mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku bagi umat Islam apabila
telah diresepsi oleh hukum adat. Hukum adatlah yang menentukan ada
tidaknya hukum Islam.9 Hukum Islam mempunyai peran dalam kehidupan
masyarakat pada waktu itu, meskipun hanya masalah perdata dan
pemberlakuannya yang dipersempit pada waktu itu.
Setelah kolonial Belanda hengkang dari Indonesia dan disusul dengan
kedatangan bangsa Jepang, bangsa Indonesia tetap dapat melakukan kegiatan
keislamannya. Meskipun tujuan utama Jepang adalah politik, namun Jepang
tetap melakukan pendekatan dengan Islam karena melihat masyarakat
Indonesia yang patuh terhadap Islam. 10
7 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 219. 8 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).h. 39. 9 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. h. 20 10
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985). h. 99.
31
Secara berangsur-angsur Jepang mengakui organisasi-organisasi Islam
yang dibentuk oleh bangsa Indonesia.11
Terbentuknya pengajian-pengajian
baik di langgar, masjid, maupun di lapangan, biasanya mendatangkan kiai
terkenal. Pelaksanaan pengajian-pengajian itu tanpa ada pengawassan yang
ketat dari pihak Jepang, karena Jepang memberikan kebebasan kepada rakyat
Indonesia meskipun itu merupakan salah satu siasat Jepang agar mendapat
dukungan dari rakyat Indonesia untuk melawan sekutu. 12
Hukum Islam pada
masa Jepang mendapatkan ruang yang terbuka bagi masyarakat Indonesia
untuk melakukan kegiatan keislamannya.
Setelah Jepang kalah, Jepang memberikan janji kepada bangsa
Indonesia yaitu memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Kemudian Jepang membentuk BPUPKI, dalam sidang BPUPKI yang
membicarakan tentang dasar negara, di mana para tokoh muslim dan tokoh
nasionalis memperdebatkan masalah dasar negara. Kubu muslim
menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, namun kaum
nasionalis menginginkan Indonesia tidak berdasarkan Islam.
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama akhirnya para kubu
muslim dan nasional sepakat merumuskan lima dasar yang menjadi dasar
negara dengan nama Pancasila. Sila pertama dirumuskan “Ketuhanan Yang
Maha Esa” walaupun rumusan tersebut awalnya adalah “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Demi
11
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987). h. 23 12
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia. h. 83-84.
32
menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, keberadaan hukum Islam
tetap diperhatikan dan mendapat ruang di hati bangsa Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, dan dipimpin oleh Soekarno dan Moh
Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, hukum Islam kurang mendapat
perhatian khusus dari pemerintah atau hukum Islam mengalami masa suram
pada waktu itu. 13
Begitupun pada masa pemerintahan Soeharto atau Orde Baru,
kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru sungguh sangat
tidak memihak kepada aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk
negara Indonesia, yang juga berjasa besar dalam setiap perjuangan bangsa.
Islam tidak mendapatkan ruang yang luas seperti yang diharapkan kaum
muslimin di Indonesia. Ini sama halnya seperti mendaur ulang apa yang
dilakukan pemerintah Orde Lama terhadap Islam. 14
B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia
Indonesia dikenal dengan negeri muslim terbesar di dunia.15
Sebagai
negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945.16
Konstitusi menjadi konsep dan kajian utama
ilmu-ilmu kenegaraan (ilmu administrasi negara, politik, pemerintahan,
13
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, h. 108. 14
M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai
Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan ”Islam politik” di Indonesia Era 1970-an
dan 1980-an, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya (Anggota IKAPI), 1999), h. 119. 15
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 97. 16
Ibid., h. 63.
33
hukum tata negara dan ilmu negara sendiri).17
Indonesia sebagai negara
dengan jumlah muslim terbesar tentu mempunyai hubungan erat dengan
agama. Agama sebagai refleksi atas iman tidak hanya terbukti dalam ucapan,
keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman
itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Kesadaran akan iman atas ajaran
agama (Islam) yang dipeluknya di dalam jaringan realitas dunia yang
menyangkut seantero hidup dan kehidupan pribadi dan masyarakat.18
Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi Negara
Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945). UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan
yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan
bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana
tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam
UUD 1945 merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. 19
Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap
eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum Islam sebagai hukum
yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pembukaan, pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin
17
Inu Kencana Syafi‟i, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2003), h. 97. 18
Muhammad Said, Peranan Islam Dalam Penghayatan, Pengamalan dan Pengamanan
Pancasila, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), h. 46. 19
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 150-152.
34
atas pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber
pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut
penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan
terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan hukum Islam. Peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi
umat masing-masing agama bersangkutan.20
Selanjutnya mengenai Islam
dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945
memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama
Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam.
Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang
Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat (1) yaitu
“Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.
Lebih lanjut pada pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga dapat
disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang tinggi yang
berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan
sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti
setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar
nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan
20
M. Sularno, “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, Al-
Mawardi, XVI, (2006), h. 211-212.
35
yang baik di masa nanti. Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat
keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama
sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam,
terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.21
C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia
merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya. Sebagaimana
halnya dengan agama Islam yang universal sifat-sifatnya itu. Hukum Islam
berlaku bagi orang Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya.
Agama Islam misalnya, adalah agama yang mengandung hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat. Dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas
penduduknya beragam Islam seperti Indonesia, unsur hukum agama harus
benar-benar diperhatikan. Tentang kedudukan hukum Islam dalam
pembangunan hukum nasional, menurut Menteri Kehakiman Ali Said (1981-
1983) pada upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata
Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, di samping hukum adat
dan hukum eks-Barat, hukum Islam merupakan salah satu komponen tata
hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan
hukum nasional.22
21
Al-Yasa‟ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), h. 84. 22
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 266-268.
36
Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum
nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika
masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Hukum Islam
mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nash
qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang
berakar pada nash zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan
kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh
umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor
sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.
Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam,
sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat
parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan
haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum
positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan
tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang
berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta
komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.23
Karena Indonesia adalah mayoritas penduduk beragama Islam maka
perlunya dibentuk perundang-undangan yang berdasarkan asas-asas Islam,
dimana undang-undang tersebut memiliki tempat yang diakui oleh
masyarakat, seperti Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang
23
M. Sularno, “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, Al-
Mawardi, XVI, (2006), h. 211-212.
37
Penyelenggaraan Ibadah Haji24
yang merupakan perubahan atas Undang-
Undang No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat25
merupakan
perubahan atas Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-undang
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,26
dan Instruksi Presiden RI
No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.27
Baik dalam Undang-Undang tersebut diatas atau dalam Kompilasi
Hukum Islam, terdapat eksistensi hukum Islam di Indonesia. Karena dilihat
banyaknya hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam menangani
sesuatu yang khusus terutama masalah hukum perdata Islam, maka
pemerintah perlu membuat undang-undang tersebut. Kompilasi hukum Islam
sendiri merupakan kumpulan dari hukum-hukum Islam. Dengan demikian,
keberadaan hukum Islam di Indonesia ikut mewarnai berlakunya hukum
positif di Indonesia.
D. Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia
yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan
masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat
sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh. Akhirnya pemerintah
24
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 25
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. 26
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 27
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
38
pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 tahun 1999 yang antara lain
mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk mengatur tentang
pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000.
Perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
menyatakan bahwa seluruh aspek syariat akan diterapkan, termasuk yang
berhubungan dengan „aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan
dan dakwah agama; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana
bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur
peradilan, peradilan pidana dan warisan, membentuk wilayatu al-hisbah
(WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat, tetapi tidak ada
perincian mengenai bagaimana ia berfungsi.
UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU
PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal
25 – 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar‟iyah NAD yang
merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional. Mahkamah Syar‟iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari
pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk
agama Islam.
Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang
lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir
sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang
39
dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat
Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga),
mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk
pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama
hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang
sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga
kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli;
permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam;
penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan;
pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam
bentuk infaq dan sedekah.28
Aceh juga mengatur kehidupan masyarakat dalam bidang jinayah
yang diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan
Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun
No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).29
Dalam qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar dan sejenisnya, di
dalamnya mengatur larangan tentang mengkonsumsi minuman khamar dan
sejenisnya. Minuman khamar (minuman keras) dalam hukum Islam sangat
dilarang bahkan diharamkan, karena sifatnya yang dapat merusak akal dan
28
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos,
2003), Cet. I, h. 152. 29
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13
Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
40
merusak kesehatan manusia dan menggannggu kemaslahatan dan ketertiban
masyarakat.30
Bagi yang melanggar peraturan tersebut maka akan dikenakan
hukuman sebagaimana yang tertera pada pasal Pasal 26
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, diancam dengan „uqubat hudud 40 (empat
puluh) kali cambuk.
2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud
dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan „uqubat ta‟zir
berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3
(tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,-
(tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,-
(dua puluh lima juta rupiah).
3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 adalah jarimah hudud.
4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah ta‟zir. 31
Pelarangan mengkonsumsi minuman khamar ini terdapat pada pasal 3
yang bertujuan melindungi masyarakat dari perbuatan yang merusak akal,
mencegah masyarakat dari perbuatan-perbuatan negatif akibat dari
mengkonsumsi minuman khamar, dan meningkatkan peran serta masyarakat
dalam mencegah dan memberantas perbuatan minuman khamar.
30
Lihat Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003
No. 25 Seri D No. 12 31
Lihat Bab VII Ketentuan Uqubat Pasal 26 Qanun No. 12 tahun 20003 tentang
Minuman Khamar dan sejenisnya.
41
Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), qanun ini
mengatur tentang larangan berjudi. Pada Bab I Pasal 1 angka 20 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan maisir adalah kegiatan dan/atau perbuatan
yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang
mendapatkan bayaran.32
Adapun ketentuan meteriil tentang larangan maisir
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pasal 4: Maisir hukumnya haram.
2) Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan maisir.
3) Pasal 6:
(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang
menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang
yang akan melakukan perbuatan maisir;
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang
menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.
4) Pasal 7 : Instansi pemerintah dilarang member izin usaha
penyelenggaraan maisir.
5) Pasal 8 : Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat
berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir.
Ruang lingkup larangan maisir dalam qanun ini adalah segala bentuk
kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan
32
Bab I Pasal I angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir.
42
dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan
orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.33
Pelarangan terhadap segala bentuk aktifitas yang berhubungan dengan
maisir ini ditujukan agar:34
a. Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan;
b. Mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang
mengarah kepada maisir;
c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat
kegiatan dan/atau perbuatan maisir;
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan perbuatan maisir.
Pelarangan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan
kegiatan maisir (judi) menimbulkan konsekwensi berupa sanksi terhadap
setiap pelanggaran. Adapun ancaman pidana perbuatan maisir adalah:
Pasal 23:35
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 diancam dengan ‟uqubat cambuk di depan umum paling
banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.
2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha non instansi
pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan Pasal 7, diancam dengan ‟uqubat atau denda paling
33
Pasal 2 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir. 34
Pasal 3 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir 35
Pasal 23 Qanun No. 13Tahun 2003 Tentang Maisir
43
banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit
Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).
3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 adalah jarimah ta’zir.
Hukuman yang diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan
tindak pidana perjudian akan dipidana dengan pidana cambuk di depan umum
paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.
Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum), mengatur
tentang larangan perbuatan berdua-buaan dengan lawan jenis yang belum
mahram. Pasal 4 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat ( Mesum)
menjelaskan bahwa Khalwat/Mesum hukumnya haram. Dalam Pasal 5 Setiap
orang dilarang melakukan khalwat/mesum. Selanjutnya dijelaskan dalam
Pasal 6 bahwa Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur
pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan kemudahan dan/atau
melindungi orang melakukan khalwat/mesum.
Ketentuan pidana khalwat diatur dalam Pasal 22 Qanun Nomor 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat ( Mesum), yaitu:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 diancam dengan „uqubat ta‟zir berupa dicambuk
paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali
dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000,- (dua juta Lima ratus ribu
rupiah).
44
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksu
dalam Pasal 5 diancam dengan „uqubat ta‟zir berupa kurungan
paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah),
paling sedikit Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta‟zir.
Tujuan dilarangnya khalwat/mesum yang diatur dalam Qanun No. 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat, terdapat dalam pasal 3:
a. menegakkan Syari‟at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang merusak kehormatan;
c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina;
d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan
memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum;
e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
Peraturan yang dibuat pemerintah Aceh yang berkaitan dengan Qanun
No 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13
Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun No. 14 Tahun 2003
tentang Khalwat, dibuat dalang rangka melindungi kehidupan manusia dari
perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan masyarakat. Qanun-qanun
45
tersebut diatas berkaitan dengan lima hal yang sangat dijaga dalam syariat
Islam yang disebut dengan maqashid syariah (melindungi agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta). Peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Aceh
dimaksudkan dalam rangka menjalankan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001
Tentang OTSUS NAD yang diberikan khusus oleh pemerintah pusat kepada
Aceh sebagai daerah Istimewa.
46
BAB IV
PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU TENTANG
HUKUMAN POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA
DI INDONESIA
A. Pandangan Ulama Muhammadiyah Tentang Hukuman Potong Tangan
dan Pemberlakuannya di Indonesia
Hudud adalah hukum Allah yang tidak berdiri sendiri bahkan berada
dalam satu sistem hukum Islam yang komprehensif, saling melengkapi antara
satu komponen dengan komponen yang lain. Hudud merupakan salah satu
komponen dari Islam, kaedah pelaksanaan dan tujuan pencegahannya dibuat
karena Allah dan bukan dengan tujuan-tujuan lain.1Hukuman potong tangan
merupakan bagian dari hukuman hudud terhadap tindak pidana pencurian, di
mana hukuman potong tangan tersebut merupakan hukuman yang sangat
mendasar dalam syariat Islam.
Ada beberapa pandangan mengenai hukuman potong tangan dalam
syariat Islam menurut para ulama Muhammadiyah di Indonesia. Menurut
Ma’rifat Iman (Sekertaris Majlis Tarjih Muhammadiyah), hukuman potong
tangan dalam syariat Islam yaitu hukuman untuk pencuri baik laki-laki
maupun perempuanyang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 38, dan
hukuman potong tangan tersebut adalah hukuman yang paling maksimal dan
1 Wahbah Zuhaili, Fikih Imam Syafi’i, (Terbitan Al-Mahira, Cet 1, 2010), h. 259.
48
tentunya hukuman tersebut memberikan efek jera terhadap pelaku dan orang
lain agar tidak melakukan pencurian atau kejahatan lagi.2
Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, FahmiSalim (Anggota
Malis Tarjih Muhammmadiyah) berpendapat, hukuman potong tangan
merupakan bagian dari sistem hukum pidana Islam yanng diatur oleh syariat
berdasarkan nash-nash al-Qur’an, hadits dan ijma ulama. Menurutnya
hukuman potong tangan dalam Islam termasuk jenis sanksi yang qath’i,
karena telah diatur di dalam nash-nash al-Quran, hadits dan ijma ulama.
Hukuman ini memilki dua unsur, pertama; sebagai efek jera (zawajir), dan
kedua; sebagai jawabir. Jawabir ini adalah konsep dalam Islam di mana jika
hukuman pidana itu ditegakan di dunia, maka akan menghapus siksaan di
akhirat nanti.3
Risman Muchtar(Anggota PP Muhammadiyah) juga berpendapat,
hukuman potong tangan termasuk ke dalam hukum syariat yang ditetapkan
Allah swt. Hukuman potong tangan merupakan hukuman yang terbaik untuk
manusia. Oleh karena itu hukuman tersebut sangat efektif diberikan untuk
tindak pidana pencurian, karena Allah yang menciptakan manusia dan Allah
lebih mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya4.
Mengenai pernah atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan
Indonesia, ketiga ulama tersebut diatas menyatakan bahwa hukuman potong
tangan tidak pernah diberlakukan di Indonesia. Menurut Ma’rifat, hukuman
potong tangan tersebut tidak pernah diberlakukan dan bahkan tidak akan
2 Wawancara dengan Ma’rifat Iman, pada 23 Desember 2014 di Jakarta.
3 Wawancara dengan Fahmi Salim, pada 07 Januari 2015 di Jakarta.
4 Wawancara dengan Risman Muchtar, pada 03 Desember 2014 di Jakarta.
49
mungkin bisa diberlakukan sampai saat ini. Karena undang-undang potong
tangan tidak ada di Indonesia.5Apalagi Fahmi berpendapat bahwa, hukum
pidana Indonesia mengacu kepada KUHP. Dalam KUHP sendiri tidak
menempatkan hukum pidana Islam dan tidak ada hukuman potong tangan,
karena memang tidak ada di dalam undang-undang pidana.6
Adapun Risman berpendapat, di Indonesia hukum yang berlaku
adalah hukum nasional, bukan hukum Islam. Pemberlakuan hukuman potong
tangan, sejauh ini belum pernah dipraktikan di Indonesia, karena memang
Indonesia bukanlah negara yang memberlakukan hukum Islam.7
Untuk pemberlakuan hukuman potong tangan, Fahmi dan Risman
menyatakan setuju jika hukuman tersebut diberlakukan di Indonesia. Menurut
Fahmi jika hukuman potong tangan tersebut disepakati untuk diberlakukan,
maka ia menyetujui hukuman tersebut diberlakukan asalkan negara yang
menjalankan bukan individual, dan harus memenuhi syarat-syaratnya dan
harus melihat kondisi si pencuri tersebut.Apabila terdapat syubhat, maka
tidak bisa dijalankan hukuman potong tangan tersebut.8
Menurut Risman,jika hukuman potong tangan tersebut diberlakukan di
Indonesia, maka Indonesia akan terhindar dari berbagai musibah yang dapat
merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena ketika hukuman bagi
pencurian atau sejenisnya hanya diberikan hukuman yang ringan seperti
dipenjara maka tidak akan membuat si pelaku merasa takut dan jera, malah
5 Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
6 Wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
7 Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta.
8 Wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
50
sebaliknya mereka merasa termotivasi untuk melakukan tindak pidana
kejahatan tersebut. Apabila hukuman potong tangan itu diberlakukan, maka
akan mengurangi tindak pidana kejahatan dan mencegah perbuatan-perbuatan
yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.9
Namun menurut Ma’rifat, bukan masalah setuju atau tidak hukuman
potong tangan diberlakukan di Indonesia, akan tetapi kita harus melihat ada
atau tidaknya undang-undang yang menetapkan hukuman potong tangan.
Apabila undang-undang potong tangan tersebut ada, ia menyatakan setuju,
sebaliknya jika undang-undang tersebut tidak ada, maka harus dibuatkan
terlebih dahulu undang-undang tentang potong tangan.10
Hukuman potong tangan jika diberlakukan di Indonesia menurut
ketiga ulama Muhammmadiyahtidaklah bertentangan dengan ideologi negara,
UUD dan KUHP. Menurut ketiganya, dalam Pancasila yaitu pada sila
pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” terdapat nilai-nilai agama yang sangat
mendukung dalam kehidupan bernegara, bahkan dalam pembentukan hukum
nasional sendiri harus mengacu pada hukum Islam. Begitupun di dalam
KUHP, hukuman potong tangan tidaklah bertentangan. Karena di dalam
KUHP, hukuman untuk tindak pidana kejahatan kurang adanya penegasan,
karena KUHP dianggap sangat multi tafsir.11
Namun dalam hal ini Ma’rifat
9 Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta.
10 Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
11 Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta, wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
51
menegaskan, setiap hukuman itu harus ada undang-undang yang berlaku agar
semuanya menjadi lebih jelas dalam pelaksanaannya.12
Indonesia adalah negara hukum, di mana semua perkara yang
berkaitan dengan hukum haruslah diserahkan kepada yang berwenang. Ketiga
ulama tersebut (Ma’rifat, Fahmi dan Risman) menyatakan bahwa yang berhak
menjatuhkan hukuman potong tangan adalah pemerintah melalui lembaga
kehakiman, dan tentunya harus berdasarkan undang-undang yang berlaku.13
Cara pemberlakuan hukuman potong tangan, ketiga ulama sepakat
bahwa hukuman tersebut harus melalui lembaga peradilan. Lembaga
peradilanlah yang berhak mengadili, dan tentunya harus sesuai dengan apa
yang telah diperbuat oleh si pelaku.14
Dalam penjatuhan hukuman, tidaklah melihat hukuman tersebut berat
atau tidaknya. Dalam hal ini, hukuman potong tangan bukanlah termasuk
hukuman pribadi, tetapi termasuk hukum publik. Menurut Fahmi dan Risman,
hukuman tersebut tidaklah berat, berat bagi pelaku kriminal karena dia yang
akan merasakan mudaratnya. Menurut keduanya, hukuman potong tangan
bukanlah hukuman yang berat dibandingkan hukuman penjara yang
kebanyakan tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku kriminal. Hukuman
potong tangan membawa kemaslahatan.Salah satunya ialah efek jera dan
mencegah dari tindakan kejahatan selanjutnya, dan hukuman potong tangan
12
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta. 13
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta, wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta. 14
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta, wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta.
52
ini sifatnya dapat menghilangkan anggota badan.15
Hal ini sejalan dengan
pendapat Ma’rifat, menurutnya, berat atau tidaknya hukuman itu bukanlah
persoalan, karena semua hukuman itu sifatnya memberikan efek jera.16
Mengenai perlindungan terhadap pelaku yang dijatuhi hukuman
potong tangan, menurut Fahmi dan Risman, orang tersebut berhak
mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang adil. Begitupun terhadap si
pelaku yang dijatuhi hukuman potong tangan, mereka semua berhak
mendapatkan perlindungan dari pemerintah.17
Begitupun dengan Ma’rifat,
menurutnya juga setiap orang berhak mendapatkan perlindungan. Karena
bagaimana pun juga pelaku tersebut adalah warga negara yang berhak
mendapatkan perlindungan dari pemerintah.18
Indonesia adalah negara yang penduduknya beragama Islam. Di
samping itu, ada juga agama lain yang diakui kedudukannya. Hukuman
potong tangan adalah salah satu hukuman hudud dalam syariat Islam. Jika
hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi hukum negara,maka hukuman
tersebut mengikat bagi siapa saja yang ada di dalamnya. Begitupun menurut
Ma’rifat dan Risman, hukuman potong tangan akan tetap berlaku untuk siapa
saja, baik orang muslim maupun non muslim. Karena hukum pidana itu
menyangkut hukum publik. Jadi, bagi siapa saja yang berada dalam wilayah
15
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta. 16
Wawancara dengan Ma’rifat Imandi Jakarta. 17
Wawancara dengan Risman Muchtar di Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di
Jakarta 18
Wawancara dengan Ma’rifat Imandi Jakarta.
53
tertentu,mereka akan terikat oleh hukum yang telah disepakati.19
Namun
dalam hal ini, Fahmi lebih menekankan hukuman potong tangan kepada
orang muslim, karena hukuman potong tangan ini merupakan ajaran bagi
orang muslim.20
Karena Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim,
maka menurut ketiga ulama Muhammadiyah, ada kemungkinan hukuman
potong tangan dapat diberlakukan di daerah tertentu seperti Aceh.21
Hukum
potong tangan bisa diberlakukan di daerah Aceh, sesuai dengan UU No 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam22
yang telah diberikan
kebebasan dalam melaksanakan peraturan daerahnya sendiri.
Untuk menghindari kekeliruan dalam pelaksanaan hukuman potong
tangan, menurut ketiga ulama Muhammadiyah perlu adanya penafsiran
kembali tentang hukuman potong tangan, meskipun di daerah Aceh. Hal ini
dilakukan untuk lebih mempertegas pelaksaan hukuman tersebut. Karena
tidak semua kejahatan pencurian dapat di hukum potong tangan, dan
hukuman tersebut bisa disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.23
Menurut ketiga ulama Muhammadiyah juga, hukuman potong tangan
tidak bisa diganti dengan hukuman lain seperti penjara. Karena hukuman
19
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta. 20
Wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta. 21
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta. 22
UU No 18 Tahun 2001 Tentang OTSUSNAD 23
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
54
penjara tidak terlalu memberikan efek jera kepada pelaku, bahkan hukuman
penjara dianggap membebani pengeluaran negara untuk menghidupi banyak
orang di dalam penjara.24
Setiap hukuman tentu akan ada hikmah dan tujuannya, begitupun
hukuman potong tangan yang merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh
Allah swt. Menurut ketiganya, hikmah dan tujuan dari hukuman potong
tangan ialah untuk kemaslahatan masyarakat, agar masyarakat merasa tentram
dan terlindungi dari tindak kejahatan, dan dapat meringankan dosa si pelaku
kelak di akhirat nanti.25
B. Pandangan Ulama NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan
Pemberlakuannnya di Indonesia
Seperti halnya ulama Muhammadiyah, ulama NU pun mempunyai
pandangan tersendiri mengenai hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia.Masdar Fuadi Mas’ud (Rois Suriah Nahdlatul
Ulama) berpendapat, hukuman potong tangan adalah hukuman untuk tindak
pidana pencurian yang telah diatur dalam Qs. Al-Maidah ayat 38 yaitu pada
kalimat فاقطعوا أيديهما yang diartikan potonglah tangan keduanya, memotong
tangan keduanya yaitu memotong potensi untuk mengambil atau mencuri
kepunyaan orang lain agar pencuri merasa jera, sehingga orang tersebut tidak
lagi perlu untuk mengambil kepunyaan orang lain secara tidak sah.
24
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta. 25
Wawancara dengan Ma’rifat Iman di Jakarta, wawancara dengan Risman Muchtar di
Jakarta, wawancara dengan Fahmi Salim di Jakarta.
55
Menurutnya, hukuman tersebut merupakan hukuman preventif agar pelaku
dan orang-orang yang akan melakukan hal yang sama merasa takut dan tidak
akan melakukan hal yang serupa.26
Sependapat dengan pemikiran di atas,Muhammad Cholil Nafis (Wakil
Ketua Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama) berpendapat, hukuman
potong tangan adalah langkah untuk memberikan rasa takut atau efek jera
dan membuat orang antisipasi untuk tidak melakukan kejahatan pencurian.
Menurutnya, hukuman itu bukan untuk menyakiti, tetapi hukuman itu bersifat
preventif atau pencegahan.27
Dengan adanya hukuman potong tangan
tersebut, membuat si pelaku atau calon pelaku kejahatan akan ketakutan
untuk melakukan hal yang diancamkan dengan hukuman potong tangan
tersebut.
Arwani Faisal (Wakil Lajnah Bahtsaul Masail Nahdlatul Ulama)juga
berpendapat, hukuman potong tangan itu adalah hukuman yang jelas (sharih),
dan hukuman potong tangan itu ialah memotong tangan mulai dari jari sampai
siku. Menurutnya lafad Qat’u/Faqta’u itu tidak mutlak harus memotong
tangan, tetapi bisa juga diartikan memutus atau menutup perbuatan jahat
tersebut, dan hukuman potong tangan itu adalah hukuman yang efektif untuk
tindak pidana pencurian. Pencurian yang dijatuhi hukuman potong tangan
dalam hal ini terdapat tiga klasifikasi pencurian, pertama, pencurian karena
profesi atau pekerjaan. Untuk pencurian ini, maka si pelaku mutlak dijatuhi
hukuman potong tangan. Kedua, pencurian karena kebiasaan atau karena ada
26
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud, pada 19 Desember 2014 di Jakarta. 27
Wawancara dengan Cholil Nafis padal 03 Desember 2014 di Jakarta.
56
kesempatan, pencurian seperti ini juga harus dipotong tangan. Ketiga,
pencurian sesekali atau karena ada faktor yang mendesak, untuk pencurian
yang ketiga ini hukuman bisa diringankan, karena pada masa Umar ra, ketika
terjadi pencurian karena faktor mendesak, maka pelaku tersebut hanya
mendapat hukuman pukulan dengan pelepah kurma. 28
Mengenai pernah atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan
di Indonesia, ketiga ulama NU di atas menyatakan bahwa sejauh ini
hukuman potong tangan belum pernah diberlakukan di Indonesia, karena
hukum Islam belum pernah menguasai hukum di Indonesia, dan Indonesia
bukan lah negara Islam tetapi negara yang berdasarkan kesatuan.29
Untuk pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia, Masdar
menyetujui jika hukuman potong tangan diberlakukan, apalagi untuk tindak
pidana pencurian dengan kekerasan. Namun jika hanya mencuri dan barang
yang dicuri tidak mencapai nisab yang ditentukan, maka itu harus dilakukan
peninjauan kembali. Menurutnya juga, hukuman potong tangan dianggap
sangat tepat dan tidak terlalu membuang biaya dibandingkan dengan pidana
penjara.30
Begitupun dengan Cholil, yang menyetujui jika hukuman potong
tangan diberlakukan di Indonesia,karena menurutnya hukuman tersebut dapat
memberikan efek jera terhadap si pelaku.31
Namun tidak dengan Arwani,
Arwani menyatakan tidak setuju. Karena menurutnya, jika hukuman potong
tangan diberlakukan di Indonesia itu akan menimbulkan mafsadat yang
28
Wawancara dengan Arwani Faisal, pada 11 Desember 2014 di Jakarta. 29
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 30
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta. 31
Wawancara dengan Cholil Nafisdi Jakarta.
57
sangat besar, dan apabila hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia
tentu itu akan memakan waktu yang sangat lama untuk mensosialisasikannya
ke masyarakat.32
Menurut ketiga ulama NU di atas, hukuman itu tidak ada yang
bertentangan, baik dengan ideologi negara, maupun dengan UUD. Karena
pada prinsipnya hukuman itu bagaimana membuat si pelaku jera dan orang
lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Begitupun dengan KUHP,
hukuman potong tangan tidaklah bertentangan. Karena hukuman yang
terdapat di dalam KUHP itu bersifat sementara yaitu hanya penjara dan denda
saja, sedangkan kebanyakan para pelaku tidak merasa takut dan jera dengan
hukuman penjara.33
Untuk pelaksanaan hukuman potong tangan tersebut, tentunya harus
ada pihak-pihak yang berwenang untuk menjatuhkan hukuman tersebut.
Dalam hal ini ketiga ulama NU di atas menyatakan bahwa yang berhak untuk
menjatuhkan hukuman potong tangan adalah pemerintah yaitu hakim, karena
memang hakim lah yang mempunyai wewenang dalam menjatuhkan setiap
perkara. Namun, tentunya hal tersebut harus berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang berlaku.34
Mengenai cara pemberlakuanhukuman potong tangan, ketiga ulama
NU di atas menyatakan haruslah melalui lembaga peradilan. Karena lembaga
peradilanlah yang akan memproses setiap perkara, dan hukuman itu bukan
32
Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 33
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 34
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
58
semata-mata bebas diberlakukan oleh siapa saja, tetapi harus ada penanganan
khusus dalam tata cara pemberlakukannya.35
Untuk berat atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan di
Indonesia, menurut Cholil hukuman potong tangan tidaklah berat jika
hukuman tersebut dipilih menjadi hukum nasional. Karena sesuai dengan apa
yang mereka perbuat dan sesuai dengan syariat, apalagi hukuman tersebut
tidak bertentangan dengan semangat berbangsa dan bernegara. Karena itu
adalah nilai-nilai Islam yang menjadi hukum nasional.36
Menurut Masdar bukan persoalan berat atau tidaknya, akan tetapi
harus dilihat dari perbuatan itu sendiri. Jika memang perbuatan itu
mengharuskan hukuman potong tangan, maka hukuman potong tangan
tidaklah berat. Tetapi jika sebaliknya, maka tentunya hukuman itu dianggap
terlalu berat.37
Menurut Arwani juga bukan karena hukuman itu berat, Arwani setuju
dengan hukuman berat. Akan tetapi yang menjadi persoalan Arwani adalah
umat Islam berada diantara umat yang lain, dan mereka merasa keberatan
dengan hukuman itu, khawatir umat Islam akan pindah dari Islam karena
menganggap hukuman potong tangan terlalu berat jika diberlakukan di
Indonesia.38
Mengenai perlindungan terhadap pelaku yang dijatuhi hukuman
potong tangan, menurut Masdar dan Cholil orang tersebut berhak
35
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 36
Wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta. 37
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta. 38
Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
59
mendapatkan perlindungan dari pemerintah, bahkan sebelum dihukum pun
masyarakat tidak boleh menghakiminya atau menganiaya si pelaku tersebut.39
Namun pendapat keduanya dibantah oleh Arwani, menurut Arwani seorang
pelaku tindak kejahatan tidak dianggap mendapat perlindungan dari
pemerintah.40
Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbanyak, namun
di samping itu ada juga agama lain yang diakui kedudukannya. Hukuman
potong tangan adalah salah satu hukuman hudud dalam syariat Islam. Jika
hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi hukum negara, maka
hukuman tersebut mengikat bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Ketiga
ulama NU di atas menyatakan bahwa jika hukuman itu telah disepakati
menjadi hukum yang berlaku di Indonesia, maka hukuman itu harus mengikat
kepada siapa saja tanpa terkecuali baik muslim maupun non muslim, karena
setiap hukuman yang telah dibuat adalah untuk kemaslahatan bersama.41
Menurut ketiga ulama NU juga, kemungkinan besar hukuman potong
tangan dapat diberlakukan di daerah Aceh. Karena kita ketahui bahwa Aceh
adalah daerah istimewa yang mendapatkan otonomi khusus untuk
menjalankan peraturannya sendiri. Karena ketentuan yang belum ada secara
tekstual maka tidak dianggap bertentangan, tetapi jika ketentuan hukuman itu
telah ada secara tekstual barulah hukuman itu dianggap bertentangan.
39
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis
di Jakarta. 40
Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 41
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis
di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta.
60
Apabila hukum itu belum termaktub di Indonesia, kemungkinan ada cela
untuk dilegalisasikan.42
Menurut ketiganya juga, meskipun hukuman itu diberlakukan di
daerah Aceh tetap perlu diadakan penafsiran kembali. Dari penafsiran itu,
maka akan diketahui ketentuan batas minimal dan maksimal serta alasan
seseorang itu melakukan perbuatan yang diancamkan hukuman potong
tangan.43
Hukuman potong tangan merupakan hukuman hudud yang
ketentuannya sudah diatur di dalam al-Qur’an. Menurut ulama NU jika
hukuman itu sudah tertera di dalam al-Quran dan telah ada batas-batasnya
serta ada yang melaksanakannya, maka hukuman potong tangan harus
dilaksanakan dan tidak bisa diganti dengan hukuman yang lain seperti
penjara.44
Setiap hukuman tentu akan ada hikmah dan tujuannya, begitupun
hukuman potong tangan yang merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh
Allah swt. Menurut ketiga ulama NU di atas, hikmah dan tujuan hukuman
potong tangan yaitu untuk kemaslahatan umum dan memberikan efek jera
dan rasa takut kepada si pelaku atau kepada orang lain, dan masyarakat akan
merasa terlindungi dengan adanya hukuman yang pasti.45
42
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 43
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 44
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis
di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 45
Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di
Jakarta, wawancaradengan Arwani Faisal di Jakarta.
61
C. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah Dan Nu Tentang
Hukuman Potong Dan Pemberlakuannya Di Indonesia
Di atas telah dipaparkan masing-masing pandangan ulama
Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan
pemberlakuannya di Indonesia. Pada bagian ini penulis akan membandingan
kedua pendapat ulama Muhammadiyah dan NU, sebagai berikut:
Pertama, hukuman potong tangan dalam syariat Islam. Ulama
Muhammadiyah dan NU menyatakan bahwa hukuman potong tangan adalah
hukuman bagi tindak pidana pencurian yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah
ayat 38. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU hukuman potong tangan
sangat tepat diberikan kepada tindak pidana pencurian.
Pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong
tangan di atas, merujuk pada konsep fiqih yang menyebutkan bahwa hukum
potong tangan diberlakukan bagi pelaku pencurian yang telah terpenuhi
syarat-syaratnya.Dalam kitab Kifayatul Akhyar dikemukakan enam syarat
untuk dapat diberlakukan hukuman potong tangan, yaitu sebagai berikut:46
(1) Baligh,
(2) Berakal,
(3) Mencapai satu nisab, yaitu seperempat dinar,
(4) Harta itu milik orang lain,
(5) Harta tersebut tidak terdapat kesyubhatan,
46
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz I, (Semarang:
Maktabah Wamutba’ah Putra Semarang, tt), h. 188-192.
62
(6) Tangan kanan pencuri dipotong dibatas pergelangan. Kalau ia
mencuri yang kedua kalinya, kaki kirinya dipotong. Kalau ia
mencuri ketiga kalinya, tangan kirinya dipotong. Kalau ia
mencuri yang keempat kalinya, kaki kanannya dipotong. Kalau
ia mencuri lagi setelah itu, maka ia ditakzir.
Dalam Islam, pencurian merupakan salah satu jarimah hudud, di mana
hudud ialah hukuman yang didalamnya terdapat hak Allah yang disyariatkan
untuk kemaslahatan masyarakat. Jika hukuman yang di dalamnya terdapat
hak Allah, maka hukuman tersebut harus dilaksanakan sesuai yang
diperintahkan.47
Meskipun hukuman potong tangan dianggap sangat tidak manusiawi
bagi mereka yang menentangnya, hal itu tidaklah seperti yang mereka
fikirkan. Karena pada perakteknya hukuman potong tangan dilaksanakan
berdasarkan konteks yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah ayat 38.48
Hukuman
potong tangan lebih efektif dibandingkan dengan hukuman lain seperti
penjara, karena hukuman potong tangan dampaknya dapat dirasakan lagsung
baik oleh pelaku maupun orang lain.
Kedua, tujuan hukuman potong tangan menurut ulama
Muhammadiyah dan NU ialah sebagai efek jera terhadap pelaku atau
terhadap orang lain. Efek jera yang dimaksud ialah agar mereka merasa takut
terhadap hukuman yang diancamkan dan dapat mengurangi tindak kejahatan.
47
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam,(Jakarta:Indhil CO, t.th), h. 19. 48
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 82
63
Tujuan hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan
NU diatas tidak berbeda jauh dengan salah satu teori pemidanaan, yaitu teori
penjeraan (Detterence, afschrikking). Menurut teori penjeraan ini ditujukan
terhadap pelanggar hukum yang diwujudkan dalam bentuk pemidanaan.
Alasan teori ini dilandasi oleh pemikiran yang menyatakan bahwa ancaman
pidana yang dibuat oleh pemerintah akan mencegah atau membatasi
terjadinya kejahatan. 49
Dari teori penjeraan tersebut maka dengan sendiri
akan timbul tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap pelaku dan orang lain.
Pencegahan yang dimaksud dalam hal ini ialah menahan pelaku dan orang
lain agar tidak melakukan perbuatan jarimah. sedangkan perbaikan ditujukan
agar pelaku menjadi orang yang lebih baik dan menyadari kesalahannya.50
Dari teori pemidanaan di atas, jelas sekali bahwa pemidanaan yang
diberikan kepada pelaku tindak kejahatan bukan untuk menyakiti, tetapi
semata-mata dilakukan agar pelaku tindak kejahatan dan masyarakat umum
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Dengan demikian, akan terwujudlah rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh
seluruh masyarakat.
Ketiga, dalam pelaksanaan hukuman potong tangan, ulama
Muhammadiyah dan NU menyatakan hal yang sama yaitu pelaksanaannya
dilakukan oleh hakim melalui lembaga peradilan. Karena menurut keduanya,
hakim ialah orang yang mempunyai wewenang dalam menjatuhkan setiap
49
S.R. Sianutri dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penetensia di Indonesia, (Jakarta:
Alumni AHAEM –PETEHAEM, 1996), h. 25. 50
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 137-138.
64
hukuman, dan lembaga peradilan dalam tugasnya ialah mengadili setiap
perkara berdasarkan keputusan hakim.
Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah, bahwa yang
berhak melaksanakan hukuman hudud adalah penguasa atau para hakim yang
diberi kekuasaan oleh penguasa.51
Begitupun dalam perundang-undangan
Indonesia, hakim mempunyai wewenang dalam pelaksanaannya berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Negara Republik
Indonesia yang terdapat pada BAB IX pasal 24 yang terdiri dari dua ayat
sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan Kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan undang-undang.52
Menurut UUD 1945, setiap instansi atau lembaga atau jawatan yang
disebut pengadilan adalah aparat atau bagian pelaksanaan dari kekuasaan
kehakiman.53
Hakim dan lembaga peradilan merupakan dua elemen yang
saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Karena semua ketentuan yang
telah diatur di dalam undang-undang maka dalam pelaksanaannya tidak bisa
dilakukan oleh perorangan dan di luar ketentuan yang berlaku.
Keempat, ulama Muhammadiyah dan NU setuju jika hukuman potong
tangan diberlakukan di Indonesia. Menurut keduanya ada kemungkinan besar
51
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma Ilmu, t.th),h.
180 52
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 53
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 50.
65
hukuman potong tangan dapat diberlakukan di Aceh, mengingat Aceh adalah
daerah istimewa yang diberi wewenang dalam melaksanakan peraturan
daerahnya sendiri.
Indonesia memang bukan negara muslim, tetapi Indonesia adalah
negara yang beragama. Dasar keagamaan Indonesia terdapat pada Pancasila,
dan dalam pembentukan hukum nasional di Indonesia nilai-nilai keagamaan
sangat diperlukan di dalam undang-undang. Untuk itu para ulama diatas
sangat menyetujui jika hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia.
Meskipun hukum pidana Islam tidak secara utuh diberlakukan di
Indonesia, namun dalam hal ini pemerintah memberikan wewenang kepada
Aceh untuk menjalankan peraturan daerahnya sendiri, begitupun dalam
penegakan syariat Islam. Seperti yang disampaikan oleh para ulama
Muhammadiyah dan NU, bahwa daerah Aceh adalah daerah istimewa yang
dipercayai oleh pemerintah pusat untuk menjalankan peraturan daerahnya
sendiri. Keistimewaan daerah Aceh terdapat pada Undang-Undang No. 18
tahun 2001 tentang OTSUS NAD.54
Dalam undang-undang tersebut
sebagaimana pada Bab III pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Kewenangan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini
adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus”.55
Di daerah
Aceh sudah dibuat qanun-qanun yang memberlakukan hukum pidana Islam,
seperti:Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya,
Qanun No. 13 tahun 2003 tentang maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang
54
Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OTSUS NAD 55
Lihat BAB III Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OTSUSNAD
66
khalwat.56
Qanun-qanun tersebut dibuat untuk menjalankan undang-undang
otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah. Untuk itu, Aceh mempunyai
potensi untuk memberlakukan hukum potong tangan di daerahnya,
berdasarkan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh.
Kelima, dalam hubungannya hukuman potong tangan dengan ideologi
negara, UUD 1945 dan KUHP menurut ulama Muhammadiyah dan NU
tidaklah bertentangan. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman
potong tangan dengan ideologi dan UUD 1945 ada kaitannya. Karena dalam
Pancasila yang menjadi dasar negara terkandung nilai-nilai keagamaan, yaitu
pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Begitu pun dengan UUD
1945 di mana pada Bab XI yang berjudul “AGAMA” pasal 29 ayat (1) yang
menyatakan, “kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”.57
Adapun dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan merupakan sendi pokok
dari agama. Dalam hal ini, secara konstitusional, beragama dan beriman
dijamin oleh negara.58
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila merupakan
dasar negara yang tidak menganut sekulerisme, sehingga dimungkinkan
hukum pidana Islam diberlakukan di Indonesia, karena nilai-nilai agama
termasuk agama Islam sangat dibutuhkan dalam pembentukan hukum
nasional.
56
Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya,Qanun No. 13
tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat. 57
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 58
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 215.
67
Namun dalam kaitannya dengan KUHP, hukuman potong tangan
sesungguhnya bertentangan dengan KUHP. Karena di dalam KUHP hukuman
untuk tindak pidana pencurian bukanlah hukuman potong tangan, tetapi
hukuman penjara dan hukuman denda. Dalam KUHP jenis perumusan sanksi
pidananya menggunakan dua pilihan yaitu “penjara” dan “denda” yang
merupakan rumusan pokok, adapun hukuman mati dan lainnya merupakan
hukuman alternatif.59
Meskipun memang dalam pelaksanaannya hukuman
berdasarkan KUHP tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan, tetapi KUHP
telah menjadi undang-undang yang berlaku pada saat ini.
Keenam, dalam sistem pemberlakuan hukuman potong tangan,
menurut ulama Muhammadiyah dan NU hukuman potong tangan tersebut
harus berlaku bagi siapa saja baik muslim maupun non muslim yang berada
di dalam lingkungan yang telah menjadikan hukuman potong tangan menjadi
hukum nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama (Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) dan Imam Abu Yusuf, bahwa hukum
Islam berlaku atas jarimah yang dilakukan di negeri yang memberlakukan
hukum pidana Islam baik oleh penduduk muslim maupun non muslim yang
menetap yang terikat dalam perjanjian dan peraturan yang berlaku di wilayah
tertentu.60
Dalam KUHP pun dinyatakan ketentuan yang sama, yaitu pada Pasal
2 yang berbunyi: Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Republik
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia
59
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
& Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 189. 60
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 55.
68
melakukan suatu tindak pidana.61
Menurut pasal ini, setiap orang yang
melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia, baik ia penduduk
Indonesia maupun orang asing, maka harus dikenakan hukuman yang berlaku
di Indonesia. Begitupun jika hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi
hukum nasional maka kedudukan semua warga negara disamakan, namun
sangat disayangkan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum
nasional bukan hukum Islam.
Dari perbandingan ulama Muhammadiyah dan NU di atas, penulis
tidak menemukan perbedaan pendapat dari keduanya. Menurut penulis ulama
Muhammadiyah dan NU sangat mendukung jika hukuman potong tangan
diberlakukan di Indonesia.
61
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011).
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukuman potong tangan merupakan hukuman yang sangat mendasar
dalam hukum Islam, sebagaimana telah tertulis dalam Qs. Al-Maidah
ayat 38. Hukuman potong tangan dijatuhkan untuk pencurian yang telah
mencapai nisab tertentu dan terpenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Hukuman potong tangan tersebut dijatuhkan bukan semata-
mata untuk kepentingan pribadi, tetapi hukuman tersebut dijatuhkan
untuk kemaslahatan bersama.
2. Hukuman potong tangan menurut pandangan ulama Muhammadiyah dan
NU ialah hukuman untuk tindak pidana pencurian sebagaimana yang
telah diatur di dalam al-Quran, hadits dan ijma para ulama. Hukuman
potongan tangan dijatuhkan bagi tindak pidana pencurian yang semata-
mata bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memberikan pencegahan
dan efek jera kepada pelaku atau orang lain.
3. Sejauh ini hukuman potong tangan belum pernah diberlakukan di
Indonesia, tetapi ulama Muhammadiyah dan NU menyatakan setuju jika
hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia. Hukuman potong
tangan dianggap lebih efektifdibandingkan dengan hukuman penjara,
karena hukuman potong tangan dapat memberikan efek langsung baik
70
kepada pelaku maupun kepada orang lain, dan hukuman potong tangan
diyakini dapat mengurangi tindak kejahatan terutama pencurian.
4. Khusus di Aceh, menurut ulama Muhammadiyah dan NU, hukuman
potong tangan ada potensi besar dapat diberlakukan di Aceh, mengingat
Aceh adalah daerah yang mempunyai keistimewaan khusus dalam
menjalankan peraturan daerahnya sendiri. Meskipun hukuman potong
tangan tersebut diberlakukan di Aceh, namun tetap perlu dilakukan
penafsiran kembali guna menghindari kekeliruan dalam pelaksanaan
hukuman potong tangan. Tetapi dalam hal ini, hukuman potong tangan
tidak bisa diganti dengan hukuman lain seperti penjara. Karena memang
hukuman potong tangan adalah hukuman yang sangat mendasar dan
sudah diatur di dalam al-Qur’an, maka hukuman potong tangan harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ada.
5. Hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan NU tidak
bertentangan dengan ideologi negara, UUD dan KUHP. Karena hukum
Islam merupakan salah satu sumber dalam pembentukan hukum nasional,
dan nilai-nilai agama sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan hukuman
yang salah satunya terdapat dalam pancasila sila yang pertama
“Ketuhanan yang Maha Esa”.
6. Hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan NU
tidaklah dianggap berat jika diberlakukan di Indonesia, karena pada
prinsipnya setiap hukuman adalah untuk memberikan efek jera dan
memberikan kemaslahatan bagi semuanya. Hukuman potong tangan akan
71
mengikat kepada semuanya tanpa terkecuali, jika hukuman tersebut telah
disepakati bersama menjadi hukum nasional.
B. Saran
1. Kepada Pemerintah dan DPR diharapkan agar meninjau kembali
hukuman yang ada pada KUHP, karena jika dilihat dari hukuman yang
terdapat dalam pasal-pasal KUHP hukuman-hukuman tersebut tidak
menimbulkan efek jera kepada pelaku kejahatan taupun masyarakat
umum.
2. Kepada pemerintah dan DPR diharapkan untuk segera melegalisasikan
hukuman potong tangan menjadi undang-undang. Mengingat akhir-akhir
ini angka kriminalitas semakin tinggi, hal itu disebabkan kurang adanya
pengaturan hukum yang tegas. Untuk itu hukuman potong tangan lebih
efektif dalam mencegah tindak kejahatan terutama pencurian.
3. Kepada Intelektual dan Sarja Muslim Indonesia diharapkan untuk lebih
mengembangkan ilmu hukum pidana Islam di Indonesia, agar masyarakat
lebih mengenal dan memahami bahwa hukum pidana Islam sangatlah
tepat jika diterapkan di Indonesia.
72
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
Abu Bakar, Al-Yasa’, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005.
Abu Syubhah, Muhammad Ibn Muhammad, Al-Hudud Fi Al-Islam, Kairo:
Amieriyyah-Kuwait, Dar Al-Qalam, 1990.
Al-Atskolani, Al-Hafidz Ahmad bin Hajr, Bulughul Marom, Surabaya: Sarikat
Bengkulu indah, tt.
Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, juz I, Semarang:
Maktabah Wamutba’ah Putra Semarang, tt
Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Subulus as-Salam,juz 2, Bandung: Dahlan, tt
Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
An-Nisaburi, Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi, Shohih
Muslim, Bairut-Libanon: Dar Al-Kitab Al-ilmiyah, 1972.
Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
As-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi, Sunan Abu Dawud, t.tk-
Darul Fikr, tt
Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid I, Bogor: Kharisma
Ilmu, 2008.
Audah, Abdul Qodir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid III, Bogor: Kharisma
Ilmu, 2008.
73
Audah, Abdul Qadir, Ensik Lopedi Hukum Pidana Islam, jilid IV, Bogor:
Kharisma Ilmu, 2008.
Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid V, Bogor: Kharisma
Ilmu, 2008.
Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip
dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah
dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, 2007.
Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang 2005.
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Hidayatullah, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pencurian
Uang Melalui Internet Banking, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. Skripsi (tidak diterbitkan).
I Doi, Abdurahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,
1992.
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Irfan, Muhammad Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah,
2013.
Irfan, Muhammad Nurul dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah, Jakarta: Amzah, 2009.
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU,
Jakarta: Universitas Yarsi, 1998.
Karim, M Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik: suatu Kajian Mengenai
Implikasi Kebijakan pembangunan Bagi Keberadaan ”Islam politik” di
Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
(Anggota IKAPI), 1999.
Kutoyo, Sutrisno, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah,
Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan
Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta: Indhill
CO, t.t.
74
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Inis, 1993.
Mughits, Abdul, Ushul Fikih Bagi Pemula, Jakarta : Artha Rivera, tt.
Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam, Jakarta: Logos, 2003.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987.
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho, Sejarah Nasional Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda -cet.3, Jakarta: Balai
Pustaka, 2009.
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.
Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
Ramulyo, Mohammad Idris, Azaz-Azaz Hukum Islam Sejarah Timbul dan
Berkembangnya, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 4, Bandung: Alma’arif, 1977.
Said, Muhammad, Peranan Islam Dalam Penghayatan, Pengamalan dan
Pengamanan Pancasila, Jakarta: Departemen Agama RI, 1985.
Salleh, Siti Katijah Binti, Pelaksanaan Hukum Pidana Pencurian Enakmen
Kesalahan Jinayah Syariah Di Terengganu, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010. Skripsi (tidak diterbitkan).
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System & Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya.
Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1986.
Sianutri, S.R. dan Panggabean, Mompang L., Hukum Penetensia di Indonesia,
Jakarta: Alumni AHAEM –PETEHAEM, 1996.
75
Sularno, M., “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di
Indonesia”, Al-Mawardi, XVI, (2006).
Suma, Muhammad Amin, dkk, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
Syafi’i, Inu Kencana, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2003.
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Prenada Media Group, 2010.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OTSUS NAD.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Wawancara pribadi dengan Arwani Faisal, pada 11 Desember 2014 pukul 16: 00
di Jakarta.
Wawancara pribadi dengan Cholil Nafis padal 03 Desember 2014 pukul 14:30 di
Jakarta.
Wawancara pribadi dengan Fahmi Salim, pada 07 Januari 2015 pukul 11:30 WIB
di Jakarta.
Wawancara pribadi dengan Ma’rifat Iman, pada 23 Desember 2014 pukul 12:30
WIB di Jakarta.
Wawancara pribadi dengan Masdar Fuadi Mas’ud, pada 19 Desember 2014 pukul
15: 30 di Jakarta.
Wawancara Pribadi dengan Risman Muchtar, pada 03 Desember 2014 pukul
15:30 WIB di Jakarta.
76
www.mui.or.id
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, tt.
Zuhaili, Wahbah, Fikih Imam Syafi’i, Terbitan Al-Mahira, Cet 1, 2010.