hukum pidana internasional dan hukum hak asasi manusia ... pidana internasional.pdf · di dalam...
TRANSCRIPT
HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA1
PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,SH,LL.M.2
PENGANTAR
Hukum pidana Internasional dan Hak Asasi Manusia(HAM)
berkaitan erat satu sama lain.Selain itu, Hukum Pidana dan hukum
pidana internasional bersifat komplementaritas satu sama
lain,sekalipun keduanya dapat dibedakan. Hukum pidana
internasional telah mengatasi kelemahan-kelemahan hukum
pidana yang merupakan hukum positif khususnya menghadapi
kejahatan lintas batas territorial. Hukum tentang hak asasi
manusia yang merupakan hukum dasar untuk memahami hak-hak
sipil dan politik serta hak-hak ekonomi dan hak social, telah
menanamkan dan memberikan semangat serta jiwa baru yang
tidak pernah disentuh di dalam sejarah perkembangan hukum
pidana klasik sejak abad ke 18 yang lampau.
Semangat dan jiwa baru tersebut adalah, bahwa proses
legislasi dan implementasi hukum pidana perlu ditingkatkan, tidak
hanya mempersoalkan wewenang penguasa dalam konteks
hubungan hukum dengan warga masyarakatnya; melainkan harus
dilihat juga dalam perspektif apakah hubungan hukum tersebut di
atas membawa keadilan dan kesejahteraan bagi warga
1 BAHAN PELATIHAN HUKUM HAM;DISELENGGARAKAN OLEH PUSHAM UII YOGYAKARTA TANGGAL 23 SEPTEMBER 2005 2 GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
1
masyarakatnya baik di dalam bidang hukum,social, ekonomi
maupun dalam bidang politik.
Dalam konteks mikro, semangat dan jiwa baru tersebut juga
adalah bahwa hukum pidana harus merupakan norma tingkah
laku yang patut dan tidak patut dilakukan serta sekaligus
memelihara hubungan yang harmonis antara pemegang
kekuasaan (negara) dengan masyarakatnya. Yang dimaksud
dengan hubungan hukum yang harmonis adalah, bahwa
pembentukan norma-norma hukum pidana tersebut sejauh
mungkin tidak bertentangan dengan hak-hak dasar anggota
masyarakatnya baik di bidang hukum, politik, ekonomi maupun di
bidang social sehingga hukum pidana bukan lagi merupakan
ancaman terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya
sendiri.
Sebaliknya hukum pidana diharapkan berfungsi sebagai
pengayom yang berwibawa dalam konteks hubungan tersebut.
Bagaimana bisa hukum pidana berfungsi sedemikian? Jawaban
atas pertanyaan tsb selalu negative karena tidak ada satu
negarapun di dunia saat ini yang memiliki hukum pidana yang
memiliki fungsi sedemikian. Sifat hukum pidana sejak awal
kelahirannya tetap memiliki fungsi represif di samping fungsi
preventif dalam arti yang prospektif. Hukum pidana adalah hukum
pidana prospektif; hukum pidana untuk pedoman tingkah laku
manusia di masa yang akan datang. Di manakah letak fungsi
pengayomannya? Hukum pidana harus menjaga agar selalu
terdapat keseimbangan antara hak-hak dasar manusia dan
kewajiban asasi manusia.3 Kedua semangat dan jiwa yang
3 Hukum pidana dengan fungsi represif khusus adalah Undang-undang Nomor 11 tahun 1963 tentang Subversi yang sudah dicabut dan sebagian substansinya dimasukkan ke dalam
2
diberikan kepada perkembangan hukum pidana itu merupakan cirri
khas /karakteristik model hukum pidana abad 21.
Timbul pertanyaan kemudian, apakah perkembangan hukum
pidana abad 21 sudah berubah dari pendekatan, “daad-dader
strafrecht” kepada, “daad-dader-victim strafrecht”. Jawaban atas
pertanyaan tersebut harus dijawab benar adanya karena, di
beberapa negara barat terutama Perancis, hukum pidana dan
hukum acara pidana telah memasukkan ketentuan untuk
melindungi hak pihak ketiga (korban kejahatan) untuk melakukan
proses “civil litigation”, disamping proses penuntutan yang
dilakukan oleh jaksa penuntut umum selama ini.4
Ketentuan Pasal 35 Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN
Convention Against Corruption,2003) dengan judul,
“Compensation for Damage” telah memasukkan hak pihak
korban(pihak ketiga) karena tindak pidana korupsi untuk
melakukan tuntutan perdata sebagaimana dinyatakan sebagai
berikut:
“Each State Party shall take such measures as may be necessary in accordance with principles of its domestic law, to ensure that entities or persons who have suffered damage as a result of an act of corruption have the right to initiate legal proceedings against those responsible for that damage in order to obtain compensation”.
rancangan KUHP baru. Undang-undang Kepailitan, Pasar Modal, dan UU Pencucian Uang selain memiliki fungsi pengaturan (regulative) juga memiliki kedua fungsi baik preventif maupun represif. UU tentang Pemberantasan Terorisme, merupakan UU yang memiliki fungsi lebih represif atau dekat kepada fungsi represif khusus di bandingkan dengan UU tentang Pemberantasan Korupsi. 4 Di dalam Perubahan Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Perancis (Code d’ Instrution Penale tanggal 31 Mei tahun 2002, perubahan atas UU lama tahun 1808 dan 1958; telah dimasukkan hak tersangka dan Korban dengan menggunakan pendekatan “keseimbangan” atau asas proposionalitas. Pasal 1 ayat I UU tersebut menegaskan: “The Criminal Procedure must be fair and give due hearing to the parties and preserve balance between parties’ rights. “ Pasal 2 dan 3 UU tsb menyatakan bahwa, penuntutan dapat dilakukan bukan hanya oleh Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga oleh korban atau kuasa hukumnya, melalui suatu yang disebut “Civil Action”.(lihat dan baca, Catherine Elliot,”French Criminal Law”;page 12, 32-33;Willan Publishing; 2001)
3
Di dalam proes peradilan terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat (gross violation of human rights), berdasarkan
Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court) telah tercantum ketentuan tentang kompensasi, restitusi
dan rehabilitasi di bawah judul “Reparation to Victims” (Pasal 75). 5
Bab VI Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur ketentuan
tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi, karena disusun
atas dasar tiga paradigma (Triangle Paradigm) yaitu, Perlindungan
NKRI, Perlindungan terhadap Korban, dan Perlindungan terhadap
Tersangka.6
Hukum pidana internasional memasukkan pendekatan
aspek hukum internasional ke dalam pengkajian hukum pidana
nasional antara lain masalah yurisdiksi 7untuk menjangkau
berlakunya hukum pidana nasional terhadap setiap kejahatan
yang melampaui batas territorial atau kejahatan transnasional8
atau dikenal “extraterritorial jurisdiction”; pengembangan asas-
asas hukum pidana baru yang relevan dengan sifat transnasional
dan internasional dari suatu kejahatan tertentu seperti asas au
dedere au punere dan asas au dedere au judicare; asas
5 Pasal 75 (ayat 1) berbunyi: “The Court shall establish principles relating to reparations to, or in respect of, victims, including restitution, compensation and rehabilitation”. 6 Baca Romli Atmasasmita, “Latar Belakang dan Paradigma Pemberantasan Terorisme berdasarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 (Percetakan Negara tahun 2002). 7 lihat dan perdalam ketentuan Pasal 2 sd Pasal 8 KUHP, dan baca Remmelink, Hukum Pidana;PT Gramedia Jakarta, 2003; halaman 368 sd halaman 395. 8 Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000 menegaskan sifat/karakter transnasional dari kejahatan transnasiional dapat diukur dari 4(empat) hal, pertama, locus delicti terjadi pada lebih dari satu negara; kedua, locus delicti di satu negara tetapi perencanaan, pengendalian dan pengarahan dilakukan di negara lain; ketiga, locus delicti di satu negara akan tetapi melibatkan organisasi kejahatan yang bergerak dalam kejahatan di lebih dari satu negara; dan keempat, dilakukan di satu negara akan tetapi berdampak di negara lain( dikutip dari, “Legislative Guide For The Implementation of The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Ptotocol Thereto”; UNODC,tanpa tahun).
4
komplementaritas; asas non-retroaktif terbatas; asas non bis in
idem terbatas;dan asas primacy.9
Hukum pidana internasional dalam arti praktis adalah
cabang hukum baru yang dapat memberikan solusi hukum yang
tepat terhadap timbulnya sengketa yurisdiksi kriminal antara dua
negara atau lebih. Bahkan lebih jauh perkembangan hukum
pidana internasional telah menuntut para ahli hukum pidana untuk
selalu membuka diri, tidak bersikap konservatif serta harus
bersikap proaktif mengantisipasi perkembangan internasional
dalam setiap kejahatan yang melibatkan yurisdiksi dua negara
atau lebih atau melibatkan dua kewarganegaraan yang berbeda.10
Hukum Pidana Internasional: cabang baru ilmu hukum pidana= hukum pidana kontemporer= hukum pidana modern. Tiga pertanyaan pokok dan penting yang dapat diajukan
untuk mengetahu selukbeluk hukum pidana internasional. Ketiga
pertanyaan tsb adalah, pertama, apakah hukum pidana
internasional itu; kedua, mengapa hukum pidana internasional;
dan ketiga, bagaimana posisi hukum pidana internasional dalam
konteks pohon ilmu hukum (teoritik), dan dalam fungsi
komplementer dalam penerapan hukum pidana (praktis).
Pertanyaan pertama, merujuk kepada definisi hukum pidana
internasional11 yang sudah ditulis banyak ahli hukum pidana
9 lebih jauh baca, Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional; halaman 14). 10 Uraian lengkap tentang teori yurisdiksi dilihat dari aspek hukum internasional dapat dipelajari dari kepustakaan hukum internasional,seperti Oscar Schacter, Starke, Brownlie, Bassiouni, Harris, dan David Gerber. Uraian tentang perluasan asas territorial dalam konteks tindak pidana narkotika transnasional diuraikan dalam suatu disertasi oleh Romli Atmasasmita, “Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia”, yang diterbitkan oleh Penerbit Citra Aditya Bhakti,Bandung. 11 Dalam buku Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional” (cetakan kedua, Juni 2003) halaman 19 sd 39; diuraikan 6(enam) pendapat ahli hukum pidana internasional; diantaranya pendapat Cherrif Bassiouni seorang Ahli hukum pidana internasional warga negara AS keturunan Mesir yang berjasa merumuskan ketentuan Statuta Roma atau Statuta
5
internasional. Para Ahli hukum memiliki perbedaan pandangan
tentang definisi hukum pidana internasional dan tergantung dari
latar belakang keahliannya12. Diantara beberapa definisi tersebut
Bassiouni telah mengemukakan satu definisi sebagai berikut:
“International Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are:the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law”. Aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional
merujuk kepada konvensi-konvensi internasional tentang
kejahatan13; aspek hukum internasional terhadap hukum pidana
nasional merujuk kepada prosedur penerapan konvensi
internasional ke dalam hukum nasional atau penegakan hukum
pidana internasional14.
Keterkaitan dua aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek
yang sama menyebabkan Bassiouni mengatakan bahwa, hukum
pidana internasional sebagai, “ a complex legal discipline” yang
terdiri dari beberapa komponen yang terikat oleh hubungan
fungsional masing-masing disiplin tersebut di dalam mencapai
satu nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni, disiplin
hukum tersebut adalah, hukum internasional, hukum pidana International Criminal Court (berlaku efektif 1 Juli tahun 2002). Bassiouni berhasil mendefiniskan hukum pidana internasional ke dalam dua pendekatan yaitu pendekatan hukum nasional dan pendekatan hukum internasional dengan mengembangkannya menjadi dua bagian penting yaitu hukum pidana substantive ( aspek pidana terhadap hukum internasional), dan hukum acara pidana yang merupakan aspek internasional dari hukum pidana (nasional). 12 Kajian teoritik mengenai perkembangan hukum pidana internasional menemukan 6(enam) definisi tentang pengertian hukum pidana internasional. Satu diantara definisi tersebut yang cocok dengan perkembangan hukum internasional masa kini adalah dari Bassiouni(lihat buku Romli Atmasasmita, Bab II). 13 Bassiouni meneliti dan menemukan kurang lebih 22 (dua puluh dua)Konvensi internasional yang memuat tentang kejahatan2 transnasional dan kejahatan internasional. 14 Bassiouni membedakan antara “direct enforcement system” dan “indirect enforcement system”.
6
nasional, perbandingan hukum dan prosedur, serta hukum
humaniter internasional dan regional. 15
Aspek pidana dari hukum internasional bersumber pada
kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum hukum
internasional sebagaimana dimuat dalam Pasal 38 International
Court of Justice (ICJ) termasuk: kejahatan internasional; unsure-
unsur pertanggungjawaban pidana internasional ; aspek prosedur
penegakan hukum langsung(direct enforcement system); dan
aspek prosedur penegakan hukum tidak langsung (indirect
enforcement system). Aspek internasional dari hukum pidana
nasional meliputi: norma-norma yurisdiksi ekstrateritorial; konflik
yurisdiksi kriminal baik antar negara maupun antara negara dan
badan-badan internasional di bawah naungan PBB; dan
penegakan hukum tidak langsung.16
Bassiouni mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter
hukum pidana internasional maka disiplin hukum ini pada intinya
merupakan “cross fertilization” aspek pidana dari hukum
internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.
Remmelink mengemukakan pendapat yang berbeda dengan
Bassiouni dengan mengatakan sebagai berikut:
“Karena dalam hal seperti ini ( pemberlakuan hukum pidana atau yurisdiksi atau Straftaanwendingsrecht/Strafanwendungsrecht atau strafmachtsrecht) ..berurusan dengan pemberlakuan hukum pada persoalan yang mengandung unsure asing, bagian hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum pidana internasional, sekalipun tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial sebenarnya bagian dari hukum nasional.Hanya objek kajiannya yang bersifat internasional”.17 15 M.Cheriff Bassiouni, “Introduction to International Criminal Law”;Transnational Publisher Inc.,New York; 2003, p. 4-7 16 Bassiouni, ibid 17 Jan Remmelink; “Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia; Gramedia tahun 2003, halaman 368
7
Selain hukum pidana yang membahas soal yurisdiksi negara lain
(unsure asing) juga ada bagian hukum pidana yang membahas
implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang
dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional atau bagian
hukum pidana internasional substantive.18
Pendapat Remmelink menegaskan bahwa hukum pidana
internasional esensinya adalah hukum (pidana)nasional, bukan
hukum internasional, dan sering diterjemahkan sebagai hukum
antar bangsa antara lain dengan pembentukan Mahkamah
Tribunal di Nuremberg dan Tokyo.
Bassiouni masih belum secara tegas mengatakan hukum
pidana internasional adalah bagian dari hukum internasional atau
dari hukum nasional melainkan menegaskan sebagai “cross
fertilization” dari banyak komponen yang merupakan hubungan
fungsional (functional relationship). Namun jika diteliti pendapat
Bassiouni mengenai disiplin hukum terkait yang merupakan hukum
pidana internasional: hukum internasional; hukum pidana nasional;
perbandingan hukum pidana dan hukum acara pidana; dan hukum
humaniter internasional dan regional; maka esensinya
mencerminkan bahwa disiplin hukum internasional lebih dominant
daripada hukum nasional. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Bassiouni bahwa, aspek substantive dari hukum pidana
internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional
tentang kejahatan transnasional dan internasional.
Mengapa hukum pidana internasional disebut sebagai
cabang baru ilmu hukum pidana? jawaban atas pertanyaan
tersebut adalah, bahwa telah terjadi perkembangan hukum pidana
18 Remmelink op\.cit. hal 369
8
yang signifikan pasca Mahkamah Militer di Nuremberg (1946) dan
di Tokyo (1948).
Perkembangan yang signifikan dimaksud adalah bahwa,
pertama, untuk pertama kalinya telah dilaksanakan penerapan
ketentuan hukum pidana secara retroaktif, sejak asas legalitas
diperkenalkan oleh Anselm Von Feuerbach pada awal abad abad
19 yang mennganut aliran klasik dan dipengaruhi oleh
Montesquieu.19 Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut
merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam
perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua;
sekalipin telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli
hukum pidana di seluruh dunia. Dalam perkembangan hukum
pidana tersebut telah muncul pandangan para ahli hukum
internasional yang telah membuka celah hukum pemberlakuan
hukum secara retroaktif sebagai wujud dari praktik hukum
internasional atau pengembangan hukum kebiasaan internasional.
Pandangan tersebut mengakui pertimbangan-pertimbangan
pemberlakuan retroaktif yang telah dilaksanakan dalam
pengadilan Nuremberg dan Tokyo pasca Perang Dunia ke II
terhadap kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan terhadap
keamanan serta genosida.sebagai sebagai prinsip hukum
internasional baru yang berkembang dalam praktik, yang
kemudian telah diakui sebagai Piagam Nuremberg oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perkembangan signifikan kedua, yaitu diperkenalkannya jenis kejahatan baru dalam kepustakaan hukum pidana yaitu yang disebut sebagai atau digolongkan sebagai “gross violation of human rights” atau “pelanggaran hak asasi manusia yang berat
19 J.Remmelink, 2003; op. cit., halaman 356.
9
(Pasal 5,6,7,dan 8 Statuta ICC).20 Jenis kejahatan baru tersebut berdampak terhadap pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan memunculkan asas-asas baru dalam penegakan hukum terhadap kejahatan dimaksud. Dampak terhadap masalah pertanggungjawaban pidana yaitu, tidak dikenal atau diakui lagi pertanggung-jawaban pidana yang bersifat kolektif, melainkan hanya diakui pertanggung-jawaban yang bersifat individual(Pasal 25 Statuta ICC)); dan dalam pertanggung-jawaban tersebut “kedudukan dan jabatan” dalam pemerintahan tidak dipertimbangkan lagi baik dalam jabatan dan kedudukan sebagai sipil maupun militer(Pasal 27 Statuta ICC). Dampak terhadap asas hukum pertanggungjawaban pidana telah diakui asas non-impunity kecuali untuk anak di bawah usia 18 tahun. Pengakuan terhadap asas non-impunity tersurat dalam aline ke lima Mukadmimah Statuta ICC, “To put end to impunity for the pertrators of these crimes(terrcantum dalam pasal 5 sd pasal 8,penulis) and thus to contribute to the prevention of such crimes”.
Dampak atas pengakuan terhadap asas “individual criminal
responsibility(Pasal 25) dan asas “non-impunity” mendorong
terbentuknya pertanggungjawaban Komandan atau Atasan lainnya
(Pasal 28) dan Irelevansi Kapasitas Jabatan (Pasal 27).
Dampak terhadap pemberlakuan hukum pidana, terdapat
kecenderungan untuk memberlakukan prinsip universal
(Universality principle) terutama terhadap perkembangan jenis
kejahatan baru, yaitu kejahatan yang bersifat transnasional dan
internasional. Penerapan asas universal mulai dipertimbangkan
secara serius oleh masyarakat internasional untuk diperluas tidak
terbatas kepada kejahatan-kejahatan konvensional yang telah ada
seperti pembajakan dan pemalsuan mata uang.21
20 Perkembangan kriminalisasi jenis kejahatan baru tersebut disebabkan dua factor, yaitu pertama, kekejaman yang terjadi selama perang dunia II yang dilakukan oleh tentara Nazi Jerman dan sekutunya dan pelanggaran terhadap hukum humaniter; dan kedua, merupakan realisasi dari Hak-hak Asasi Manusia sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Universal HAM PBB (Universal Decalaration on Human Rights, 1948) 21 Perkembangan penerapan asas universal untuk kejahatan klasik seperti pemalsuan mata uang dan pembajakan (piracy) sudah berlangsung sejak lama akan tetapi tidak mengalami perkembangan signifikan sampai dengan munculnya proses peradilan Nuremberg dan Tokyo;
10
Perkembangan tuntutan pemberlakuan asas universal
terhadap kejahatan-kejahatan yang digolongkan ke dalam
“Threaten to the Peace and Security of Mankind” (Chapter VII
Piagam PBB)22, masih belum dapat disetujui sepenuhnya oleh
terutama negara-negara berkembang sehubungan dengan masih
lekat dan kuatnya pandangan konservatif banyak negara tentang
prinsip kedaulatan negara. Disamping itu masih ada kekhawatiran
dari negara-negara berkembang terhadap itikad baik negara maju
dalam penerapan prinsip universal tersebut.
Perkembangan signifikan ketiga dari perkembangan hukum
pidana internasional adalah, bahwa tuntutan solidaritas dan
kerjasama internasional23 semakin diyakini merupakan solusi
alternative dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan
yang kemudian dilanjutkan dengan proses peradilan di Rwanda(1996) dan Yugoslavia (1993). Maccedo, setelah memperhatikan perkembangan peradilan atas Diktator Chilli, Augusto Pinochet yang belum jelas proses penuntutannya dan ada semacam tarik-tarikan kepentingan politik antara Inggeris dan Chili dan Sepanjol; kasus Henry Kissinger selama dalam jabatan Penasehat Keamanan telah melakukan kekejaman dan pembunuhan sera pemboman di Kamboja juga terhambat masalah jurisdiksi sehingga ia mengatakan bahwa, diperlukannya pemberlakuan asas universal untuk dapat menyelesaikan sengketa (politik) yurisdiksi ini dalam bingkai pemerintahan yang mandiri. Selanjutnya Macedo menyatakan bahwa, “Universal Jurisdiction is playing a growing role in the emerging regime of international accountability for serious crimes. The challenge is to define that role and to clarify when and how universal jurisdiction can be exercised responsibly”.( Stephen Macedo,”Universal Jurisdiction:National Courts and the Prosecution of Serious Crimes under International Law;University of Pennsylvania Press;Philadelphia;2004). 22 Mahkamah Tetap Pidana Internasional (Permanent International Criminal Court) –ICC-, memiliki yurisdiksi terhadap 4(empat) jenis Pelanggaran Ham Yang Berat yaitu: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Untuk kejahatan agresi, Statuta ICC memberikan kelonggaran pemberlakuan secara efektif 7(tujuh) tahun sejak Statuta ICC berlaku efektif pada tanggal 17 Juli 2002. Pertimbangan penundaan pemberlakuan tsb dilatarbelakangi oleh kuatnya resistensi tertutama Amerika Serikat terhadap diberlakukannya serta merta yurisdiksi ICC terhadap agresi tsb. Resistensi tersebut secara politis beralasan karena sampai saat berlaku efektifnya Statuta ICC sampai saat ini masih belum jelas status ICC sebagai lembaga baru di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB). 23 Isu Kerjasama Internasional dan Regional merupakan isu terpenting memasuki perkembangan penegakan hukum lintas batas territorial sejak abad 20 . Matti Joutsen menguraikan perkembangan internasionalisasi penegakan hukum domestic memasuki penegakan hukum antar negara, dan menegaskan pula masih terjadi kelambanan-kelambanan dalam kerjasa sama investigasi dan penuntutuan perkara pidana dibandingkan dengan kerjasama peradilan dalam perkara perdata. Kelambanan-kelambanan ini diantisipasi oleh PBB dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters(dikutip dari 119th International Training Course Visiting Experts’ Papers).
11
transnasional dan kejahatan internasional disamping solusi
penegakan hukum represif yang mengutamakan pendekatan
legalistik semata-mata yang telah lama diterapkan di banyak
negara.
Solusi alternative dalam penegakan hukum tersebut
terhadap kejahatan yang bersifat transnasional dilandasi oleh
keyakinan seluruh negara peserta konvensi bahwa, penegakan
hukum terhadap kejahatan tersebut tidak dapat dilaksanakan
secara optimal dan berhasil jika hanya dilakukan satu negara saja.
Solusi alternative penegakan hukum tersebut merupakan strategi
baru dengan penerapan prinsip, “No Save Haven” ditujukan
untuk mempersempit ruang gerak aktivitas pelaku-pelaku
kejahatan transnasional.24
Tuntutan solidaritas dan kerjasama internasional untuk
mencegah dan memberantas kejahatan transnasional dan
internasional tersebut merupakan pendekatan baru dalam era
globalisasi karena dengan tuntutan baru tersebut telah
mencerminkan adanya “pemaksaan” secara kolektif terhadap
setiap negara untuk melaksanakan proses kriminalisasi secara
komprehensif terhadap perkembangan jenis kejahatan baru dalam
era globalisasi ini.
Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Abad 21, Laporan High-level Panel on “Threats,Challenges and
Change” di bawah petunjuk Sekjen PBB tahun 2004 antara lain
menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6(enam)
kelompok Ancaman terhadap penduduk Dunia yaitu: (a) ancaman 24 Pengakuan atas prinsip tersebut telah dicantumkan dalam berbagai Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Terorisme sejak tahun 1937 sampai dengan tahun 1999 ; Konvensi Internasional Menentang Korupsi tahun 2003(Konvensi Merida); Konvensi Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000(Konvensi Palermo) beserta Protokol Tambahannya; dan Statuta ICC tahun 1998 /2002 (Statuta Roma)
12
social dan ekonomi, termasuk kemiskinan,penyakit berbahaya dan
kemerosotan lingkungan; konflik antar-negara; konflik internal,
termasuk, perang saudara (civil war), genosida dan malapetaka
dalam bentuk yang luas; senjata nuklir, radiology,kimia dan
biologis; terorisme; dan kejahatan transnasional terorganisasi.25
Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman
tersebut di atas, maka prinsip-prinsip “non-intervention”, dan
“state-souvereignty”,tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk
menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut bertanggung
jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu
negara manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok
masalah tersebut di negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat
Tinggi Sekjen PBB menegaskan antara lain:” There is a growing
recognition that the issue is not the “right to intervene” of any
State, but the “responsibility to protect” of every State when it
comes to people suffering from avodable catastrophe-mass
murder and rape, ethnic cleansing by forcible expulsion ,
deliberate starvation and exposure to disease”.26
Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap
pengakuan dan penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana
diuraikan di atas menunjukkan bahwa perkembangan hukum
internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah
memasuki abad “integrated world of community” di dalam
menghadapi tantangan dan ancaman sebagaimana diuraikan di
atas dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara cultural, etnis, geografis maupun factor sistem politik 25 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23 26 UNITED NATIONS, loc cit.,p. 65
13
yang berkembang di negara ybs. Dalam kondisi dan pengaruh
perubahan pandangan dunia mutakhir seperti itu maka negara
dalam masa kini dan lima atau sepuluh tahun kedepan akan
mengalami suatu proses “de-limitasi, de-kulturasi, de-etnocentris,
dan de-stattisasi, untuk mewujudkan yang disebut “WORLD
NATION STATE”.
Pengakuan terhadap perubahan pandangan “The
Responsibility to Protect” atau yang saya sebut sebagai prinsip
“Limited Non-Intervention” , sebagai lawan prinsip “non-
intervention”, telah menumbuhkan ketentuan baru dalam hukum
internasional tentang “Collective-Security-Responsibility to Protect”(CSRPt). Pengakuan atas ketentuan hukum baru ini
dikemudian hari secara evolusioner akan melemahkan arti dan
sifat kedaulatan (hukum) bagi suatu negara secara signifikan,
sesuatu yang selama ini menguasai secara dominan dan dianut
banyak negara di dunia hampir seratus tahun lamanya. Dalam
kondisi perkembangan pandangan internasional seperti ini maka
penerapan prinsip universal (universality principle) semakin
dirasakan penting, relevan dan mendesak dalam mewujudkan
prinsip “Collective-Security-Responsibility to Protect” dalam
kerangka menciptakan satu dunia baru yang bebas dari Enam
Kelompok Ancaman dan Tantangan sebagaimana telah diuraikan
di atas.
Perkembangan signifikan keempat, yaitu dalam proses
pembentukan perjanjian internasional menghadapi kejahatan
transnasional, pengaruh kepentingan politik negara pihak dalam
14
perjanjian ikut mewarnai atau mempengaruhi karakter dari
perjanjian dimaksud.27
Perkembangan signifikan sebagaimana diuraikan di atas
termasuk pembentukan ICC pada tahun 1998 menunjukkan
bahwa hukum pidana internasional telah memenuhi criteria
sebagai salah satu cabang baru ilmu hukum pidana sejak abad 20
sampai saat ini. Perkembangan signifikan dimaksud dalam praktik
menuntut sikap terbuka dari para ahli hukum yang konservatif
(pendekatan legalistik normative) terhadap masuknya unsure-
unsur asing (asas retroaktif khusus; asas –asas hukum yang
berkembang dalam yurisdiksi kriminal dll) dan dipertimbangkannya
pendekatan ilmu politik dan hubungan luar negeri ke dalam skema
besar (grand strategy) pencegahan dan pemberantasan kejahatan
transnasional/internasional dalam lingkup hukum baru yaitu hukum
pidana internasional.
Pengakuan atas cabang baru ilmu hukum pidana tersebut
berdampak terhadap perlu adanya perobahan kurikulum
pendidikan hukum pidana yang selama ini telah berlaku yaitu
dimasukkan mata kuliah hukum pidana internasional sebagai mata
kuliah yang berdiri sendiri dan harus memasukkan pendidikan ilmu
politik khususnya politik luar negeri sebagai Ilmu bantu (Ancillary
Science) hukum pidana internasional.28
27 Sebagai contoh sekalipun lahirnya Resolusi DK PBB yang menyangkut pemberantasan terhadap kegiatan terorisme telah memperoleh dukungan negara pemegang hak veto (DK PBB) namun demikian dalam impelementasinya baik bilateral maupun regional sangat kental pengaruh kepentingan politik negara-negara ybs. Draft Asean Convention on Combating Terrorism yang diajukan pihak Indonesia dimana penulis ketika itu menjadi “focal Point” Asean Legal Officer Meeting(ASLOM), tetap menghadapi hambatan-hambatan yang cukup serius dari negara anggota Asean lainnya. 28 Fakultas Hukum UNPAD di mana penulis sebagai Gurubesar Tetap di lembaga ini, telah mulai mengajarkan hukum pidana internasional baik pada tingkat strata 1 maupun strata 2 sejak tahun 1993, dan telah menyusun kurikulum hukum pidana internasional (lihat Pengantar Hukum Pidana Internasional bagian kesatu,edisi kedua, 2003;lampiran di halaman 76). Kini sudah ada tiga Universitas yang memasukkan mata kuliah Hukum pidana Internasional ke dalam kurikulumnya yaitu, Unpad, Undip (Semarang), Universitas
15
Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia. Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru
dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan
berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia
(HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua
saudara kembar, memiliki ketergantungan yang kuat
(interdependency), sinergis, dan berkesinambungan. Ketiga sifat
saudara kembar tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya
jenis kejahatan baru dalam dimensi internasional
(genosida,kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi)
yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan
peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu
proses ilmu baru yang disebut hukum pidana internasional.
Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan
Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi, 2000)
dalam dimensi internasional telah membentuk kriminalisasi
tentang perdagangan orang khususnya wanita dan anak-anak;
penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu
perkembangan kejahatan transnasional dan internasional telah
membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas hukum, “au
dedere au punere”(Grotius), “au dedere au judicare(Bassiouni) dan
asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup
pembahasan hukum pidana internasional.
Perkembangan dimensi baru kejahatan yang bersifat
transnasional dan internasional tersebut telah terjadi dalam bingkai
periodisasi peningkatan promosi dan perlindungan hak asasi
Surabaya(Surabaya), dan Universitas Tanjung Pura di Pontianak di mana penulis duduk sebagai Pembina mk tsb.
16
manusia sejak pasca perang dingin (berakhirnya Perang Dunia ke
II dan runtuhnya Negara Uni Soviet).
Apakah yang menjadi tujuan utama hak asasi manusia itu?
Michael Ignatieff menegaskan bahwa, tujuan hak asasi manusia
adalah,
“to protect human agency and therefore to protect human agents against abuse and oppression. Human protects the core of negative freedom,freedom from abuse,oppression, and cruelty”.29
Dalam konteks tujuan hak asasi manusia tersebut, Ignatieff,
mengemukakan bahwa, selain “negative freedom”, masih ada lagi
hak yang lain yang disebutnya sebagai “the right to subsistence”,
seperti juga masalah kemiskinan merupakan inti dari hak asasi
manusia. Ignatieff hendak menegaskan bahwa tujuan hak asasi
manusia bersifat “serba guna”(multipurpose) sehingga mencakup
juga bukan saja “negative rights” (sifat perlakuan diskriminatif dan
penyalahgunaan) semata-mata akan tetapi juga mencakup
kemiskinan yang merupakan akibat alam maupun tindakan
manusia.
Keterkaitan hukum hak asasi manusia dalam pandangan
Ignatieff dan perkembangan hukum pidana internasional jelas
memberikan cakrawala baru bahwa, tindak pidana (ordinary
crimes) atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross
violation of human rights) bukan saja harus bersifat tindakan
manusia secara aktif (abuse and oppression) melainkan dapat
berupa tindakan manusia yang bersifat pasif seperti halnya
contoh, kemiskinan, sebagaimana disebutkan oleh Ignatieff.
29 Michael Ignatieff, “Human Rights as Politics and Idolatry”;Princeton University Press; 2001;page ix
17
Hubungan erat disiplin ilmu hukum pidana internasional dan
hukum HAM akan selalu terjalin dan berkembang sejajar dan akan
selalu mendominasi percaturan dan kompleksitas hubungan
internasional untuk masa lima dan sepuluh tahun kedepan.
Perkembangan pembentukan ius consitutendum dalam kedua
bidang hukum tersebut merupakan tuntutan zaman dan tidak
dapat dielakkan.Ius constitutum yang tengah berjalan saat ini tidak
dapat lagi secara optimal digunakan untuk menganalisis dan
menemukan solusi hukum yang tepat untuk mencegah dan
mengatasi peristiwa Pelanggaran HAM yang berat termasuk
sengketa yurisdiksi dua atau lebih negara terhadap satu objek
hukum yang sama yakni kejahatan lintas batas territorial.
Masalah pokok yang selalu menghadang adalah seberapa
jauh penegakan hukum Hak Asasi Manusia berjalan efektif? Sekali
lagi Ignatieff menegaskan bahwa, penegakan hak asasi manusia
dalam fora internasional tidak memberikan jaminan perlindungan
efektif atas hak asasi setiap individu atau kesejahteraan individu.
Mengapa demikian?, karena menurut Ignatieff, tujuan hak asasi
manusia itu intinya adalah berkaitan dengan moralitas, sehingga
baik pemerintah maupun organisasi non-pemerintah jangan
mencoba-coba memperluas lingkup dari hak asasi manusia
dengan mengatakan sebagai berikut::
“Proliferation of human rights to include rights that are not clearly necessary to protect the basic agency or needs or dignity of persons cheapens the purpose of human rights and correspondingly weakens the resolve of potential enforcers”30.
Kebenaran pendapat Ignatieff masih harus diuji coba dalam
praktik penegakan hak asasi manusia. Satu kebenaran yang dapat
30 Ignatieff, page x
18
ditarik dari pendapat Ignatieff di atas adalah, bahwa masalah hak
asasi manusia adalah masalah moralitas, dan masalah moralitas
bersifat kontekstual sesuai dengan budaya, geographis, dan etnis.
Atas dasar pendapat ini maka sangat relevan pernyataan Ignatieff
tentang masalah ini dan peringatannya untuk tidak
mengembangkan hak asasi manusia itu sedemikian rupa sehingga
pada gilirannya kontra produktif terhadap tujuan hak asasi
manusia itu sendiri. Dalam kaitan ini saya sependapat tentang
pembedaan hak asasi manusia yang bersifat absolut (non-
derogable rights) dan hak asasi manusia yang bersifat relative
(derogable rights).31
Penegakan Hak Asasi Manusia dalam fora internasional
tidak sefektif diperkirakan banyak pihak sekalipun sudah ada
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan serta Komisi
Hak Asasi Manusia di dalamnya. Tidak efektifnya perangkat
organisasi di bawah naungan PBB menunjukkan kelemahan
mendasar dalam mewujdukan kehendak masyarakat internasional
untuk memperjuangkan perlindungan HAM. Bahkan sebaliknya,
telah terjadi, di mana negara-negara miskin dan berkembang
menjadi ajang objek eksperimen untuk suatu proses peradilan
HAM yang dituntut oleh negara maju. Disini kita menyaksikan
terjadinya kontroversi dan kontradiksi baik dalam tataran
konseptual dan praksis tentang apakah yang dimaksud dengan
pelanggaran HAM dan penegakan HAM itu. Dalam tataran
konseptual telah terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian
31 Pembedaan ini secara universal tampaknya kurang jelas diartikulasikan ke dalam pedoman atau sosialisasi tentang HAM sehingga menimbulkan keadaan tanpa prioritas dan mengeneralisasikan seluruh tindakan pelanggaran ham digolongkan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang absolut. Contoh, merampas hak atas tanah rakyat oleh penguasa disamakan dengan genosida; menyamakan penyiksaan dan diskriminasi dengan penjatuhan hukuman mati.
19
HAM dalam perspektip dan pandangan universalistik dan
partikularistik.32 Dalam tataran praksis kita bersama-sama
menyaksikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) yang telah ditandatangani oleh Presiden RI dan Presiden
Timor Leste pada tanggal 9 Maret 200533 dan Perjanjian bilateral
antara pemerintah Amerika dan 35 negara lain untuk menunda
hak suatu negara menyerahkan (surrender) seseorang tersangka
pelanggar Ham berat kepada ICC sesuai dengan bunyi Pasal 98
Statuta ICC.34 Masalah ektsradisi Hendra Rahardja, Hambali, dan
proses peradilan Corby juga tidak lepas dari kaitan kepentingan
politik di samping masalah hukum yang terkait di dalamnya.
Hukum pidana internasional dalam konteks hukum tentang
Hak Asasi Manusia memiliki peranan strategis dan signifikan
untuk melakukan analisis hukum terhadap suatu pelanggaran hak
asasi manusia tertentu dan kejahatan transnasional dan
internasional tertentu yang bersifat universal atau melibatkan
kepentingan nasional maupun kepentingan internasional.35 Hukum
32 Pandangan Universalistik pada intinya menghendaki baik secara konseptual maupun secara operasional, hak asasi manusia haruslah sama untuk seluruh bangsa di dunia; sedangkan pandangan partikularistik, lebih mengutamakan kondisi objektip suatu bangsa dalam pengakuan dan implementasi HAM dengan memperhatikan sisi geographis dan kultur suatu bangsa. 33 Di dalam TOR tentang KKP antara kedua pemerintah telah disetujui antara lain: alinea 10, menegaskan sebagai berikut: “ Different countries with their respective experience have chosen different means in confronting their past. Indonesia and Timor Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process. True Justice can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the pertrators, but it might not necessarily lead to the truth and promote reconcialition”. 34 Pasal 98 ayat 2 Statuta ICC menegaskan : “ The Court (ICC) may not proceed with a request for surrender which would require the requested State to act inconsistently with its obligation under international agreements pursuant to which the consent of a Sending State is require to surrender a person of that State to the Court, unless the Court can first obtain the cooperation of the Sending State for the giving of consent for the surrender”. 35 Istilah kepentingan nasional (national interest) dan kepentingan internasional (international interest) lebih cocok dibandingkan dengan aspek nasional dan aspek internasional karena dalam praktik hubungan internasional, kepentinngan terbukti lebih menonjol daripada sekedar aspek. Dengan menonjolkan istilah kepentingan (interest) maka secara teoritik, komunitas
20
pidana internasional dalam konteks praksis, tidak akan
sepenuhnya menggunakan pisau analisa hukum melainkan juga
menggabungkannya dengan pisau analisa diplomatic(politik)
karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan praktik
berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah
kompleksitas masalah yang menyentuh kepentingan dua negara
atau lebih baik kepentingan hukum, politik, ekonomi, social dan
budaya.
akademik di bawa memasuki dan berorientasi kawasan pragmatisme di dalam menimba ilmu hukum pidana internasional; sedangkan istilah aspek lebih menggambarkan sifat statis yang belum jelas “kepentingannya”. Dalam pertarungan analisis yang melakukan kajian tentang yurisdiksi kriminal negara mana yang lebih kuat, sudah tentu pendekatan dari sudut kepentingan (politik), perlu dipertimbangkan secara porposional bersamaan dengan pendekatan hukum (legal aspect).
21