hukum dan etika pers uas

13
1. KODE ETIK JURNALISTIK DAN ASAS-ASASNYA Kode etik jurnalistik berperan untuk membatasi tindakan pers agartidak anarki dan sewenang-wenang. Walaupun kode etik tersebutmembatasi suatu tindakan pers, para pelanggarnya tidak dikenakan sanksiyang konkret. Kode etik ini pun juga tidak berlaku untuk semua kalanganmasyarakat tetapi hanya untuk masyarakat yang mempunyai profesitertentu seperti wartawan. Kode etik hanya diputuskan oleh pihakorganisasi tertentu dan hanya untuk kalangan tertentu. Asas-asas kode etik: Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menganut asas demokrasi(pasal 1,3,11). dalam melaporkan berita pers mengharuskan wartawan menulis berita secara berimbang serta memberi tempat bagi perbedaan pendapat.sehingga menempatkan jurnalis bukan pada pelaku peristiwa tapi pengamat terhadap peristiwa yang terjadi KEJ juga mengandung asas profesionalitas(pasal 2,dan 7) dengan meminta wartawan menyajikan berita yang akurat, faktual, atau membedakan antara fakta dengan opini. Asas moralitas ikut melekat pada KEJ, seperti tidak boleh beritikad buruk, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, atau tidak membuat berita cabul dan sadis. Asas lain yang terkandung dalam KEJ yaitu supremasi hukum(2,3,6). Contohnya, melarang wartawan melakukan plagiat(2), menghormati asas praduga tak bersalah(3), dan tidak menyalahgunakan profesinya(6). Hak Tolak Kode etik mengatur soal hak tolak wartawan. Dengan hak tolak tidak berarti wartawan dapat begitu saja menolak panggilan polisi atau hakim saat terjadi sengketa akibat berita. Sesuai UU No.40/1999 tentang Pers, hak tolak hanya dapat digunakan jika wartawan diminta mengungkap

Upload: sigit-pamungkas

Post on 07-Aug-2015

134 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Dan Etika Pers Uas

1. KODE ETIK JURNALISTIK DAN ASAS-ASASNYAKode etik jurnalistik berperan untuk membatasi tindakan pers agartidak anarki dan sewenang-wenang. Walaupun kode etik tersebutmembatasi suatu tindakan pers, para pelanggarnya tidak dikenakan sanksiyang konkret. Kode etik ini pun juga tidak berlaku untuk semua kalanganmasyarakat tetapi hanya untuk masyarakat yang mempunyai profesitertentu seperti wartawan. Kode etik hanya diputuskan oleh pihakorganisasi tertentu dan hanya untuk kalangan tertentu.

Asas-asas kode etik:

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menganut asas demokrasi(pasal 1,3,11). dalam melaporkan berita pers mengharuskan wartawan menulis berita secara berimbang serta memberi tempat bagi perbedaan pendapat.sehingga menempatkan jurnalis bukan pada pelaku peristiwa tapi pengamat terhadap peristiwa yang terjadi

KEJ juga mengandung asas profesionalitas(pasal 2,dan 7) dengan meminta wartawan menyajikan berita yang akurat, faktual, atau membedakan antara fakta dengan opini. Asas moralitas ikut melekat pada KEJ, seperti tidak boleh beritikad buruk, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, atau tidak membuat berita cabul dan sadis.

Asas lain yang terkandung dalam KEJ yaitu supremasi hukum(2,3,6). Contohnya, melarang wartawan melakukan plagiat(2), menghormati asas praduga tak bersalah(3), dan tidak menyalahgunakan profesinya(6).

Hak TolakKode etik mengatur soal hak tolak wartawan. Dengan hak tolak tidak berarti wartawan dapat begitu saja menolak panggilan polisi atau hakim saat terjadi sengketa akibat berita. Sesuai UU No.40/1999 tentang Pers, hak tolak hanya dapat digunakan jika wartawan diminta mengungkap identitas atau keberadaan narasumber yang dirahasiakannya.

Namun, panggilan dari polisi dapat ditolak jika ditujukan bukan kepada penanggung jawab perusahaan pers. "Yang harus dipanggil adalah penanggung jawab pers," kata Wina.

Wartawan harus berhati-hati menggunakan sumber anonim. Sebab, Wina menegaskan, tanggung jawab dari isi pernyataan sumber anomin ada di redaksi pers.

2. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM PEMBERITAAN PERS uu pers no 40/1999

(Pasal 5 ayat [2] UU Pers) hak jawab

(Pasal 5 ayat [3] UU Pers) hak koreksi

Page 2: Hukum Dan Etika Pers Uas

(pasal 15) ayat[2] c dan d uu pers dan pasal 18 ayat [2 dan 3] uu pers

3. DELIK PERS BESERTA CONTOH

Delik pengertian umumnya adalah perbuatan pidana atau perbuatan melanggar

undang-undang/peraturan dan pelakunya di ancaman hukuman baik hukuman denda

maupun kurungan. Sesuatu tindakan baru disebut sebagai delik apabila ada undang-undang

atau peraturan yang dilanggar. Jadi intinya adalah segala perbuatan yang dilarang oleh UU

dan pelakuknya diancam hukuman.

A. Muis mengatakan bahwa Dari perspektif komunikasi delik pers berarti proses

penyampaian pesan antar manusia melalui pers yang dilarang oleh undang-undang dan

komunikatornya diancam pidana. (A.Muis, 1999, 56)

Delik penyiaran sebenarnya juga masuk dalam kategori ini, karena media penyiaran

merupakan bagian dari pers. Sedangkan dari perspektif hukum, menurut Van Hattum

mengharuskan memenuhi tiga kreteria:

a. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan

b. Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan

c. Dari perumusan delik harus ternyata, bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk

dapat menimbulkan suatu kejahatan, apakah kejahatan tersebut dilakukan dengan

suatu tulisan

Maksudnya ialah delik yang penyelesaianya memerlukan publikasi dengan pers

danmerupakan pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana. Dengan kata lain,

pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang penyelesainnya

membutuhkan publikasi dengan pers. Artinya kejahatan sudah terjadi pada saat surat kabar

yang memuatnya selesai dicetak (terbit). Untuk menentukan ada tidaknya delik ketiga kriteria

tersebut harus ada. Salah satu satu dari ketiga kriteria tersebut hilalng maka gugur pula

sebagai delik pers.

Page 3: Hukum Dan Etika Pers Uas

Pengolangan Delik Pers

Delik pers dapat digolongkan dalam 5 kelompok besar yakni:

1. Delik keamanan negara

Menurut Omar Seno Adji, yang tergolong dalam delik ini adalah melanggar pasal 112 dan

113 KUHP. Pada intinya kedua pasal tersebut memidana barang siapa dengan sengaja

mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya

bahwa harus dirahasiakan (untuk kepentingan negara) atau dengan sengaja memberitahukan

atau memberikan kepada negara asing (pasal 112) atau mengumumkan dan seterusnya,

gambar-gambar peta atau benda yang bersifat rahasia atau bersangkutan dengan kemanan dan

pertahanan negara terhadap serangan dari luar (pasal 113).

2. Delik Penghinaan

a. perorangan termasuk yang telah meninggal dunia

b. Kepala Negara asing yang bersahabat, Kepala perwakilan Asing yang

bersahabat, terhadap pemerintah ataupun terhadap kekuasaan yang sah (lihat

tulisan Menyoal Pasal-pasal Penyebar Kebencian) (142 KUHP)

c. terhadap golongan (group libel 156 KUHP).

d. Pemerintah/ kekuasaan yang sah diindonesia( 154 & 207 KUHP)

Penghinaan disini sebagaimana maksud pasal 310 KUHP adalah menuduhkan menyerang

kehormatan atau nama baik seseorang atau lembaga dimana penghinaan itu dilakukan secara

tertulis dan dilakukan dengan menuduh melakukan hal. Sedangkan yang maksud dalam pasal

315 KUHP adalah penghinaan tanpa adanya pencemaran yang dilakukan terhadap seseorang

atau lembaga. Penghinaan ini dalam terminologi hukum disebut sebagai penghinaan ringan.

Namun, bisa saja penghinaan itu tidak dikategorikan sebagai pencemaran apabila dilakukan

demi untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk melakukan pembelaan diri (pasal

Page 4: Hukum Dan Etika Pers Uas

310 ayat 3). Atau, pada saat ia diberi kesempatan oleh hakim membuktikan tuduhannya dan

mampu membuktikan tuduhan tersebut. Korban-korban pasal 310 KUHP ini banyak sekali,

salah satunya adalah kasus yang menimpa Pemimpin Redaksi Warta Republik, Hoessein

Madilis. Kasus ini bermula saat Madilis menulis laporan di tabloid Warta Republik yang

berjudul Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda di halaman cover dan Cinta

Segitiga Dua Orang Jenderal disertai selembar foto seorang perempuan dan laki-laki —

yang menurut Hosien adalah Nani dan Edy— di halaman 12 yang dimuat pada edisi

01/I/Minggu ke -III November 1998. Namun pada saat persidangan Madilis tidak bisa

membuktikan tuduhannya, dan ia dikenai pidana penjara selama 6 bulan.

3 Delik Ponografi

Pornografi dalam KUHP diatur dalam pasal 282-283, 532-533 KUHP. Memang kata yang

ditemukan disana tidak secara eksplisit menyebut pornografi. Yang tertera di sana kata

“melangar kesusilaan.”

Pasal 282; “barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan .....” Batasan

mengenai “melanggar kesusilaan” diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk

menterjemahkannya. Namun pengertian itu selalu ikembalikan atau didasarkan pada

pandangan masyarakat setempat atau sebagian besar masyarakat suatu bangsa. Di banyak

negara penentuan batasan melanggar kesilaan memang selalu dikembalikan pada hakim. Di

Amerika Serikat misalnya, batasan obscene (melanggar kesusilaan), oleh Mahkamah Agung

(supreme court) AS diserahkan kepada contemporary community standard atau standar

masyarakat.

Hal yang sama terjadi pula di Inggris. Obscene Publicatin Act 1959 yang kemudian menjadi

The obscene Publications Act 1964 juga tampaknya tidak meninggalkan pandangan

masyarakat yang ada dalam menterjemahkan kata obscene. Untuk itu, hakim perlu memiliki

pandangan yang arif dalam menentukan kriteria malanggar kesusilaan berdasarkan

pandangan masyarakat atau sebagian besar masyarakat suatu bangsa. Tentang perlunya hakim

memahami pandangan masyarakat setempat atau sebagian besar masyarakat suatu bangsa

Page 5: Hukum Dan Etika Pers Uas

dalam menentukan batasan melanggar kesusilaan terlihat pada kasus Nono Rintiarno,

Pemimpin Redaksi majalah Matra pada tahun 2002 silam.

4. Delik Agama

Delik agama sebagaimana yang maksud dalam pasal 156 dan 156a KUHP adalah

memidanakan barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut (b) dengan maksud agar supaya orang tidak

menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Korban pasal ini tercatat kasus Ahmad Welson di Solo. Kasus ini bermula dari talkshow yang

disiarkan langsung oleh Radio PTPN Rasitania, pada 24 Februari 2000. Acara rutin yang

disiarkan secara langsung tiap Kamis pukul 21.00-22.00 WIB itu mengangkat tema: “Upaya

Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama”. Acara yang rencananya dihadiri oleh beberapa

narasumber akhirnya berlangsung dengan pembicara tunggal, yaitu Ahmad Welson -seorang

mantan pendeta. Dalam acara dialog interaktif itu Welson mengeluarkan pernyataan

kontroversial bahwa Muhammad itu sebelum diangkat sebagai Nabi dan Rasul adalah

memeluk agama Nasrani. Kontan, pernyataan tersebut menuai protes, secara langsung pada

radio PTPN Rasitania maupun melalui media cetak.

Puncaknya, pada 2 Maret 2000, ratusan orang yang tergabung dalam Front Pemuda Islam

Surakarta (FPIS) mendemo Radio Rasitania. FPIS menuntut PTPN meminta maaf kepada

masyarakat lewat siarannya, ataupun media cetak yang ada di Jawa Tengah selama tujuh hari

berturut-turut. Tak cukup sampai di situ, melalui pengacara Mohammad Taufik dari LBH

Nurani, FPIS melaporkan Wilson, Zarkoni alias Jeffri Ohio (penyiar) dan pimpinan PTPN

Budiyono ke kepolisian dengan alasan pernyataan Welson dalam dialog intersktif tersebut

dianggap berpotensi menimbulkan konflik SARA. Welson pun diajukan ke pengadilan. 3 Juli

2000 Pengadilan Negeri Surakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara pada Achmad

Welson. Pengadilan mendakwa Welson berdasarkan pasal 156a KUHP.

5. Delik Kabar Bohong (Penghasutan)

Page 6: Hukum Dan Etika Pers Uas

Delik khabar bohong diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946. Inti pasal 14:

memidanakan penyiaran kabar bohong, dengan sengaja menimbulkan keonaran di kalangan

rakyat, penyiaran berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran

dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu

adalah bohong. Sedangakan pasal 15: menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang

berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat

menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran. Menurut

buku yang berjudul Delik Pers dalam Hukum Pidana yang diterbitkan oleh Dewan Pers dan

Lembaga Informasi Nasional, 2002, yang dimaksud dengan “menyiarkan berita atau kabar

dalam dua pasal diatas sesungguhnya tidak secara khusus ditujukan kepada pers atau

wartawan melainkan berlaku untuk siapa saja. Meskipun demikian, dalam prakteknya pers

sering menjadi korban penerapan pasal ini. Salah satu contoh kasus tuntutan atas “penyebaran

kabar bohong” yang pernah diajukan ke pengadilan adalah yang menimpa harian Berita

Buana pada tahun 1989. Redaktur Pelasana harian tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara (November 1989) karena dinilai telah

menyiarkan kabar bohong mengenai makanan kaleng yang mengandung lemak babi.

Sifat Delik Pers

Terdapat dua jenis delik pers.

1. Delik Aduan.

Delik aduan artinya tidak ada suatu perkara kalau tidak ada yang mengadu. Dengan kata lain,

hanya akan ada kasus atau perkara yang diakibatkan adanya pemberitaan pers, kalau pihak

yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tersebut mengadu kepada pihak yang berwajib.

Pihak penyidik (polisi atau jaksa) tidak bisa melakukan inisiatif penyidikan tanpa adanya

aduan dari seseorang atau lembaga. Sekalipun ia mengetahui terjadinya pelanggaran. Yang

tergolong sebagai delik aduan adalah: pasal 310, 311, 315, 316, 317, 320 dan 321 KUHP.

2. Delik Biasa

Delik biasa artinya tidap perlu ada pengaduan. Bila aparat berwajib mengetahui terjadi

pelanggaran/kejahatan maka mereka berinisiatif melakukan mengusutan. Pasal-pasal yang

Page 7: Hukum Dan Etika Pers Uas

terkait dengan delik biasa adalah pasal 112,113 134, 137, 142, 143, 144, 154, 155, 156, 157,

156a, 160, 161, 162, 163 207, 208, 282, 532 dan 533.

5. MEKANISME PENYELESAIAN PERSOALAN PERS yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

1. Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya.

Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan itu tidak benar.

Implementasi pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru), yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.

2. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers

3. Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.

Page 8: Hukum Dan Etika Pers Uas

Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.

 

Pada praktiknya, penggunaan hak jawab ini dinilai berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, sebagaimana terdapat dalam artikel Hak Jawab Dimuat, Hendropriyono Tak Akan Tuntut The Jakarta Post . Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana. Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli ("SEMA 13/2008"). Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No. 13 Tahun 2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.

Penerapan Hukum Apabila Terdapat Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan Oleh Jurnalis Dalam Pemberitaannya. Apabila terjadi pelanggaran hukum dalam pemberitaan yang dilakukan jurnalis maka penerapan hukum yang dipakai dalam penyelesaiannya mengggunakan tiga penerapan hukum yang diantaranya:

1. penerapan hukum secara administrasi

2. penerapan hukum secara hukum pidana

3. penerapan hukum secara hukum perdata

Di dalam penerapan hukum secara administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya yang dimaksudkan agar perbuatan pelanggar itu dihentikan, sifat sanksinya adalah reparatoir artinya memulihkan keadaan semula. Sanksi administrasi dapat diterapkan tanpa melalui prosedur peradilan.2 Adapun sanksi-sanksi administrasi yang khas antara lain :

a. Bestuursdwang (Paksaan Pemerintahan)

b. Penarikan kembali keputusan

(ketetapan) yang menguntungkan

(izin, pembayaran, subsidi)

Page 9: Hukum Dan Etika Pers Uas

c. Pengenaan denda administratif

d. Pengenaan uang paksa oleh

pemerintah

SYARAT HAK JAWAB ADALAH:

1. berisi sanggahan atau tanggapan dari pihak yang dirugikan.

2. diajukan secara tertulis (termasuk digital) dan ditujukan kepada penanggung jawab pers bersangkutan atau menyampaikan langsung kepada redaksi dengan menunjukkan identitas diri.

3. pihak yang mengajukan Hak Jawab wajib memberitahukan informasi yangdianggap merugikan dirinya, baik bagian perbagian atau secara keseluruhan dengan data pendukung.

Hak jawab wajib dilayani dengan

ketentuan :

1. hak jawab atas pemberitaan atau karya jurnalistik yang keliru dan tidak akurat dilakukan baik pada bagian atau perbagian atau secara keseluruhan dari informasi yang dipermasalahkan.

2. hak jawab dilayani pada tempat atau progam yang sama dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipermasalahkan, kecuali disepakati lain oleh para pihak.

3. hak jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dengan format ralat, wawancara, profil, features, liputan, talk show, pesan berjalan, komentar media siber atau format lain tetapi bukan dalam format iklan.