hubungan kemiringan lereng dan morfologi … 20090302.pdf · eksplorasi pada pulau gee dan pulau...
TRANSCRIPT
JTM Vol. XVI No. 3/2009
149
HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DAN MORFOLOGI
DALAM DISTRIBUSI KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA
ENDAPAN NIKEL LATERIT : STUDI KASUS ENDAPAN NIKEL
LATERIT DI PULAU GEE DAN PULAU PAKAL, HALMAHERA
TIMUR, MALUKU UTARA
Syafrizal1, M. Nur Heriawan1, Sudarto Notosiswoyo1, Komang Anggayana1, Jogi F. Samosir2
Sari Endapan nikel laterit merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan ultramafik pembawa Ni-Silikat, dan umumnya
terdapat pada daerah dengan iklim tropis sampai dengan subtropis. Proses pembentukan endapan nikel laterit
dikendalikan oleh beberapa faktor, antara lain jenis batuan dasar, iklim, topografi, airtanah, stabilitas mineral,
mobilitas unsur, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkat kelarutan mineral. Untuk dapat
memberikan kontribusi yang lebih berarti dalam kegiatan eksplorasi maka dilakukan pemodelan dari data
eksplorasi pada Pulau Gee dan Pulau Pakal, Halmahera Timur, sehingga diperoleh suatu hipotesa tentang
kondisi yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit. Pada studi ini digunakan data hasil
pemboran Pulau Gee dan Pulau Pakal. Dari sisi geomorfologi dan geologi struktur terlihat bahwa pada daerah
dengan kemiringan yang sangat landai, horizon yang akan terbentuk adalah top soil serta dijumpai perulangan
profil. Pada daerah dengan kondisi topografi yang sangat terjal, sedikit sekali ditemukan keberadaan laterit yang
disebabkan oleh intensifnya pengikisan profil laterit oleh erosi air. Morfologi daerah yang paling ideal sebagai
tempat pembentukan endapan nikel laterit adalah daerah dengan kondisi kemiringan topografi antara 35%
sampai 52%.
Kata Kunci : nikel laterit, morfologi, kemiringan topografi, profil laterit.
Abstract
Laterite nickel deposit is the product of advance weathering of Ni-silicate bearing ultramafic rocks, where in
general deposited within the tropical to sub-tropical area. The process on laterite nickel deposition involved some
factors, i.e. type of bedrock, climate, topographic, groundwater, mineral stability, element mobility, and the
environmental condition which influenced the rate of mineral solubility. In order to give more significant
contribution to the exploration activity, then a hypothesis about the most ideal condition of the deposition place of
nickel laterite is discussed, with the case study for nickel laterite deposit at Pakal and Gee Islands, East
Halmahera. The result on exploration drilling from both locations is used for this study. The aspects on
geomorphology and structural geology showed that at the particularly flat area, the produced horizon was top soil
followed by profile recurrence. At the area with extremely steep slope, the laterite layer did not exist due to
intensive water erosion. The most ideal morphology for the depositional of nickel laterite was the area with
topographical slope about 35% to 52%.
Keywords: laterite nickel, morphology, topographic slope, laterite profile.
1) Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi (KK-ESDB), FTTM ITB
E_mail : [email protected] 2) Program Studi Teknik Pertambangan, FTTM ITB
I. PENDAHULUAN
Endapan nikel laterit merupakan produk dari
proses pelapukan lanjut pada batuan ultramafik
pembawa Ni-Silikat, umumnya terdapat pada
daerah dengan iklim tropis sampai dengan
subtropis. Indonesia dikenal sebagai salah satu
negara utama penghasil bahan galian di dunia,
termasuk nikel. Berdasarkan karakteristik
geologi dan tatanan tektoniknya, beberapa
lokasi endapan nikel laterit yang potensial di
Indonesia umumnya tersebar di wilayah
Indonesia bagian timur, antara lain : Pomalaa
(Sulawesi Tenggara), Sorowako (Sulawesi
Selatan), Gebe (Halmahera), Tanjung Buli
(Halmahera), dan Tapunopaka (Sulawesi
Tenggara). Sedangkan beberapa lokasi yang
diperkirakan juga memiliki potensi endapan
nikel laterit dan hingga saat ini sedang
dilaksanakan kegiatan eksplorasi terdapat di
pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Halmahera,
antara lain Pulau Obi, Pulau Gee, dan Pulau
Pakal.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan data-data
eksplorasi dan data-data pengamatan lapangan
yang diperoleh dari Pulau Gee dan Pulau
Pakal, Halmahera Timur, Propinsi Maluku
Utara (Gambar 1). Daerah penelitian ini
merupakan bagian dari Kuasa Pertambangan
(KP) Eksplorasi PT. Aneka Tambang. Tbk.
Pada saat ini, aktivitas penambangan di Pulau
Gee masih terus berlangsung, dimana kegiatan
eksplorasi telah selesai dilakukan sejak
beberapa tahun yang lalu. Sementara itu,
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir
150
kegiatan eksplorasi di Pulau Pakal masih terus
dilaksanakan secara intensif dengan aktivitas.
utama berupa pemboran eksplorasi dengan
spasi 25 x 25 meter.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah
identifikasi keberadaan profil umum (zona)
endapan laterit, yaitu zona top soil, zona
limonit, zona low saprolit ore zone (LSOZ),
zona high saprolit ore zone (HSOZ) dan zona
bedrock. Selanjutnya dilakukan analisis untuk
mengetahui pola hubungan antar parameter
utama yang mempengaruhi pembentukan
endapan nikel laterit khususnya morfologi
(pola topografi), struktur lokal (dalam hal ini
rekahan), iklim, vegetasi dan yang tidak kalah
pentingnya adalah pola hubungan kadar.
Masing-masing parameter tersebut
diperkirakan berkaitan erat satu sama lain dan
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,
sehingga dengan mempelajari pola hubungan
antar elemen ini diharapkan dapat diketahui
kontrol utama pembentukan nikel laterit
sehingga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan
eksplorasi.
II. KONDISI GEOLOGI
Sebagian Halmahera Timur merupakan batuan
ultrabasa yang merupakan batuan asal (bed
rock) yang kemudian mengalami pelapukan
dan terakumulasi menjadi endapan nikel
laterit. Komplek batuan ultrabasa ini terdiri
dari serpentinit, piroksen, dan dunit (Apandi &
Sudana, 1980).
Mendala geologi Halmahera Timur terutama
dibentuk oleh satuan batuan ultrabasa (Ub).
Batuan sedimen berumur Kapur (Kd) dan
Paleosen-Eosen (Tped, Tpec, dan Tpel)
diendapkan tidak selaras di atas batuan
ultrabasa. Sejak Eosen Akhir hingga Oligosen
Awal terjadi aktivitas gunung api dan
membentuk material-material vulkanik sebagai
Formasi Bacan (Tomb). Bersamaan dengan itu
terbentuk batugamping Formasi Tutuli (Tomt).
Setelah itu terbentuk cekungan yang luas yang
berkembang sejak Miosen Atas sampai
Pliosen. Di dalam cekungan tersebut,
diendapkan batupasir berselingan dengan
napal, tufa, konglomerat sebagai Formasi
Weda (Tmpw), batuan konglomerat (Tmpc),
dan batugamping Formasi Tingteng (Tmpt).
Pada bagian barat Halmahera, terendapkan
batuan gunungapi Oligo-Miosen Formasi
Bacan (Tomb). Batuan sedimen dan karbonat
berumur Miosen-Pliosen tersebar luas, dimana
kebanyakan batuan sedimen tersebut bersifat
tufaan. Selain itu, pada bagian utaranya
ditemukan batuan gunungapi Kuarter (Qpk dan
Qht). Menurut Apandi & Suandi (1980),
struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin
terlihat pada Formasi Weda (Tmpw) yang
berumur Miosen Tengah-Pliosen Awal.
Struktur sesar yang terdiri dari sesar normal
dan sesar naik, umumnya berarah utara-selatan
dan barat laut-tenggara. Kegiatan tektonik
kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan
Tersier Awal, ditandai dengan adanya
komponen batulempung yang berumur Kapur,
serta batuan ultrabasa di dalam konglomerat
yang membentuk Formasi Dorosagu (Tped).
III. PENENTUAN HORIZON LATERIT
Pada penelitian ini, penentuan zona laterit pada
endapan nikel laterit didasarkan atas komposisi
kadar Ni dan Fe dengan asumsi sebagai
berikut: top soil (kadar Ni < 1% dan Fe <
30%), zona limonit (kadar 1,0% < Ni < 1,4%
dan Fe > 40%), low saprolit ore zone (LSOZ,
kadar 1,4% < Ni < 1,8% dan Fe < 40%) serta
high saprolit ore zone (HSOZ, kadar Ni >
1,8% dan Fe < 30%).
Basis data yang digunakan dalam studi ini
adalah data-data pemboran eksplorasi yang
telah diverifikasi dan diolah dengan
menggunakan teknik komposit. Distribusi data
kadar Ni dan Fe pada masing-masing lokasi
studi dapat dilihat pada Gambar 2, 3, 4, dan 5.
Histogram kadar Ni terhadap semua data assay
memperlihatkan distribusi data kadar pada
Pulau Gee dan Pulau Pakal yang mengumpul
pada kadar kecil dari 4% Ni.
Histogram kadar Fe secara umum terlihat
adanya 2 populasi, yaitu populasi kadar Fe
rendah dan populasi kadar Fe tinggi. Populasi
Fe kadar tinggi diinterpretasikan merupakan
zona limonit yang didominasi oleh mineral-
mineral yang kaya akan Fe, misalnya goethite,
hematite, dan magnetit. Berdasarkan
karakteristik endapan nikel laterit tipe Mg-
silicate, kadar Fe akan semakin berkurang pada
zona saprolit.
Pembuatan komposit kadar dilakukan terhadap
data awal yang berupa data individual dengan
interval 1 meter, yang kemudian dilakukan
konstruksi zona-zona laterit berdasarkan
optimasi komposit data secara sistematik.
Ketebalan zona top soil di Pulau Pakal
mencapai hingga lebih dari 30 m dan
terdistribusi baik hingga ketebalan top soil
mencapai 17 m. Zona top soil di Pulau Pakal
lebih tebal daripada zona top soil di Pulau Gee
yang hanya mencapai ketebalan maksimum 9
m.
Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit
151
Sedangkan pada zona limonit, zona LSOZ dan
zona HSOZ secara umum kedua pulau
memiliki distribusi ketebalan yang mirip. Pada
zona limonit dan LSOZ tebalnya berkisar
antara 1 m hingga 10 m dengan data
mengelompok pada ketebalan rendah.
Sedangkan zona HSOZ data terdistribusi
secara merata hingga ketebalan 20 m untuk
Pulau Gee dan 25 m untuk Pulau Pakal.
Distribusi kadar Ni pada zona top soil menjadi
sangat rendah akibat mengalami mobilisasi dan
berpindah pada zona dibawahnya. Distribusi
kadar Ni pada zona bedrock terkumpul pada
kadar 0,6% - 1% untuk Pulau Gee dan 0,4% -
1% untuk Pulau Pakal. Sedangkan populasi
kadar Ni yang tinggi (Ni > 1%) terjadi akibat
batas antara zona saprolit dengan zona bedrock
yang eratik dan perubahannya terjadi secara
gradual. Distribusi kadar Fe pada masing-
masing zona akan mengalami pergeseran
dimana pada zona top soil kadar Fe akan lebih
tinggi dari pada kadar Fe di zona limonit dan
demikian seterusnya hingga pada zona bedrock
akan memiliki kadar Fe paling rendah
dibandingkan dengan zona lainnya.
IV. PROFIL HORIZON LATERIT
Profil nikel laterit Pulau Pakal memiliki tebal
zona top soil hampir 3 kali lipat ketebalan zona
top soil Pulau Gee, dan bedrock Pulau Pakal
juga lebih dalam dibandingkan dengan di
Pulau Gee, hal ini disebabkan tingkat
pelapukan yang lebih tinggi di Pulau Pakal.
Profil nikel laterit ini dapat dilihat pada
Gambar 6.
Selain itu kadar Fe pada endapan nikel laterit
di Pulau Gee lebih tingggi daripada kandungan
Fe di Pulau Pakal. Model kadar nikel laterit
untuk Pulau Gee memperlihatkan bahwa Fe
lebih banyak terakumulasi pada lapisan
limonit. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena zona top soil yang tipis sehingga iron
cap terletak di daerah perbatasan zona top soil
dengan limonit. Pada zona limonit ini
terakumulasi mineral-mineral yang kaya akan
Fe, misalnya magnetit, goethite, dan hematite,
sehingga secara kuantitatif menyebabkan zona
limonit menjadi kaya akan Fe.
Model distribusi kadar pada masing-masing
horizon laterit ini dapat dilihat pada Gambar 7
dan Gambar 8.
V. HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG
DENGAN PROFIL HORIZON
LATERIT
Pada kondisi kemiringan topografi berbeda
akan terbentuk ketebalan endapan yang
berbeda-beda. Perilaku ini disebabkan oleh
kondisi lingkungan pembentukan yang berbeda
akibat perbedaan kemiringan topografi.
Hubungan persen lereng dengan ketebalan
zona endapan laterit memperlihatkan bahwa
ketebalan zona limonit akan berbanding
terbalik dengan kondisi kemiringan topografi.
Hal ini dikarenakan oleh aktivitas utama yang
terjadi pada daerah dengan kemiringan
topografi terjal adalah pengikisan (erosi)
sehingga unsur-unsur penyusun limonit tidak
akan terakumulasi melainkan tererosi sehingga
zona limonit tidak akan terbentuk. Kondisi
yang sama terjadi pada LSOZ dan HSOZ
dimana ketebalan zona ini akan berbanding
terbalik dengan kondisi kemiringan topografi.
Pembentukan masing-masing zona pada
endapan nikel laterit berada pada daerah
dengan kemiringan lereng yang moderat.
Histogram persen lereng (Gambar 9 dan
Gambar 10) memperlihatkan bahwa pada
daerah dengan kemiringan lereng yang sangat
landai (0% - 35%) besar kemungkinan tidak
akan terbentuk zona yang umum terdapat pada
endapan nikel laterit, walau tidak menutup
kemungkinan terbentuknya horizon ini.
Artinya pada daerah dengan kemiringan lereng
yang berkisar antara 0% sampai 35% dapat
terbentuk masing-masing zona namun dapat
pula tidak ditemukan adanya zona-zona umum
yang berada pada endapan nikel laterit.
Sementara untuk daerah dengan kemiringan
yang berkisar antara 18% sampai 52% maka
sangat besar kemungkinan terbentuknya zona-
zona yang terdapat pada endapan nikel laterit
(Gambar 9 dan Gambar 10).
Sehingga untuk dapat menentukan kemiringan
topografi yang paling prospek sebagai tempat
pembentukan endapan nikel maka dilakukan
dengan cara mengiriskan batasan kemiringan
dimana zona endapan nikel laterit tidak
terbentuk dan kemiringan dimana zona
endapan nikel laterit akan terbentuk.
Hal ini dilakukan sebagai solusi yang diambil
mengingat ditemukannya kenyataan bahwa
pada kemiringan yang berkisar antara 0%
sampai 35% dapat terbentuk endapan nikel
laterit, namun dapat pula tidak ditemukan
endapan nikel laterit. Sebagai hasil dari irisan
ini maka didapatkan suatu kemiringan
topografi sebagai tempat yang paling ideal
untuk terbentuknya suatu endapan nikel laterit
yakni pada kemiringan antara 35% sampai
52%.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir
152
VI. KONDISI PEMBENTUKAN
ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA
TOPOGRAFI LANDAI
Endapan nikel laterit akan terbentuk pada
daerah yang pada permukaan tanahnya tidak
mengalir air permukaan yang cukup kencang,
karena bila hal ini terjadi maka besar
kemungkinan bahwa air tidak memiliki waktu
yang cukup lama untuk dapat melakukan
penetrasi kearah bawah. Penetrasi inilah yang
menyebabkan unsur - unsur mobile akan
terbawa bersama aliran air dan akhirnya akan
terakumulsi pada suatu tempat yang cukup
ideal.
Namun bila aliran air permukaan cukup kecil,
maka air permukaan yang dapat berasal dari air
hujan akan memiliki waktu yang cukup banyak
untuk dapat melakukan penetarasi ke arah
bawah. Bersamaan dengan aktivitas penetrasi
tersebut maka unsur - unsur mobile yang
cukup penting sebagai unsur pembentuk
endapan nikel laterit dapat terakumulsi pada
suatu tempat yang cukup ideal.
Namun dari hasil analisis lainnya diperoleh
suatu kesimpulan bahwa pada daerah dengan
kemiringan lereng yang cukup kecil/landai
maka endapan nikel laterit juga tidak terbentuk
secara optimal.
Pada kondisi topografi yang berkisar antara 0
% - 35 % endapan nikel laterit tidak dapat
terbentuk. Penyebab utama yang sangat
mempengaruhi adalah bagaimana kemampuan
air untuk dapat melakukan penetrasi kebagian
bawahnya. Komposisi tanah penutup (top soil)
yang sebahagian besar didominasi oleh
material berupa lempung mengindikasikan
bahwa proses laterisasi berlangsung intensif
pada kuantitas air yang cukup, sehingga
menyebabkan terbentuk akumulasi lempung.
Hal ini didukung oleh sebaran titik bor dengan
ketebalan top soil yang beragam yang terdapat
pada Pulau Pakal dan Pulau Gee. Dari sebaran
titik bor ini didapatkan kenyataan bahwa titik
bor yang mengandung top soil sebahagian
besar tersebar pada daerah yang bertopografi
landai sampai sedang di Pulau Gee dan Pulau
Pakal (Gambar 10 dan 11).
VII. PERULANGAN PROFIL LATERIT
Pada kegiatan eksplorasi di lapangan seringkali
ditemukan profil endapan nikel laterit yang
tidak terbentuk secara ideal dan sempurna,
artinya pada satu lubang bor tidak ditemukan
profil yang berurut dari top soil sampai bed
rock. Pada banyak lubang bor ditemukan suatu
profil yang berulang, dimana berdasarkan
aktivitas pembentukan yang terjadi maka tidak
mungkin terbentuk profil yang berulang.
Sebagai contoh: Pada bagian atas suatu log bor
ditemukan profil limonit, selanjutnya pada
bagian bawah terbentuk profil low saprolit ore
zone. Namun setelah profil low saprolit ore
zone ini ditemukan kembali profil yang berupa
limonit.
Berdasarkan proses pembentukannya maka
kasus ini tidak mungkin terjadi, karena profil
yang terbentuk pada endapan nikel laterit
seharusnya berurut dari top soil sampai
bedock. Sedangkan pada kenyataanya kondisi
ideal seperti ini tidak selalu ditemukan di
lapangan. Besar kemungkinan bahwa daerah
yang dibor ini merupakan endapan hasil
transportasi dari berbagai tempat. Setelah
endapan limonit diendapkan selanjutnya dari
daerah lain diendapkan pula low saprolit ore
zone. Namun setelah endapan low saprolit ore
zone ini diendapkan, limonit yang merupakan
hasil transportasi dari daerah lain kembali
diendapkan. Hal inilah yang sering membuat
terjadinya kerancuan deskripsi profil pada
endapan nikel laterit dan kasus ini dapat terjadi
pada semua profil/ zona yang terdapat pada
endapan nikel laterit.
Bila dilihat dari sebaran titik bor dimana
terbentuk perulangan profil maka sebagian
besar sebarannya akan terakumulasi pada
daerah dengan topografi landai di Pulau Gee
dan Pulau Pakal seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 12 dan 13.
Hal ini disebabkan pada daerah landai
terakumulasi semua jenis horizon yang berasal
dari daerah lain melalui proses transportasi.
Walaupun berada pada elevasi yang cukup
tinggi namun daerah tersebut merupakan
daerah dengan kondisi kemiringan topografi
yang sangat landai. Kondisi ini akan berlaku
sama baik pada Pulau Gee maupun pada Pulau
Pakal, sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa lubang bor yang menunjukkan
perulangan akan terletak pada daerah dengan
kondisi topografi yang sangat landai dan
horizon yang terbentuk bukan merupakan
endapan insitu melainkan hasil akumulasi dan
sedimentasi pada saat proses pembentukannya.
VIII. IDENTIFIKASI KONTROL
STRUKTUR
Pada beberapa lubang bor ditemukan kadar Ni
yang relatif sangat tinggi dibandingkan dengan
kadar Ni yang ada pada lubang bor di
sekitarnya. Keberadaan kadar Ni yang relatif
sangat tinggi ini diperkirakan akibat intensitas
keberadaan mineral garnierit.
Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit
153
Rekahan yang terdapat pada Pulau Gee
menunjukkan suatu pola kelurusan. Pada zona
rekahan kadar Ni yang terkandung sangat
besar karena pada zona ini banyak terdapat
garnierit yang memiliki kandungan Ni yang
sangat besar. Rekahan yang terdapat pada
Pulau Pakal lebih banyak dibandingkan pada
Pulau Gee. Tentu saja hal ini akan
mengakibatkan kadar Ni yang cukup tinggi
akan lebih banyak tersebar pada Pulau Pakal.
Seperti telah diketahui bahwa batuan beku
memiliki porositas dan permeabilitas yang
kecil sekali sehingga penetrasi air akan sangat
sulit. Oleh karena itu dengan hadirnya
rekahan-rekahan akan lebih memudahkan
masuknya air dan mengakibatkan proses
pelapukan akan lebih intensif. Selain itu
struktur yang ada (terutama rekahan) akan
menjadi tempat terakumulasinya unsur-unsur
Ni sehingga akan mengakibatkan terbentuknya
mineral-mineral garnierit.
Unsur-unsur Ni yang mengalami pencucian
(leaching) akan bergerak dari atas menuju arah
bawah sampai pada suatu kondisi yang paling
ideal dimana unsur-unsur Ni yang tertransport
tadi akan terakumulasi membentuk mineral
garnierit [(Ni,Mg)6Si4O10(OH)6]. Selain
garnierit, pada rekahan juga akan terbentuk
banyak mineral krisopras. Unsur-unsur Si yang
mengalami sedikit pencucian dari atas
kebawah akan terendapkan berupa Si dengan
ukuran yang sangat halus dan membentuk
mineral krisopras. Unsur-unsur Si yang
mengalami pelarutan akan kembali
terakumulasi pada rekahan berupa material
pengisi (filling material) dan selanjutnya
membentuk krisopras.
Secara umum, bila pada suatu daerah
ditemukan mineral dengan kadar unsur Ni
yang sangat tinggi maka kemungkinan besar
mineral tersebut adalah garnierit, karena
kandungan unsur Ni yang terdapat pada
mineral garnierit bisa mencapai 10%.
Sementara mineral-mineral pembawa unsur Ni
yang berupa hasil leaching dari mineral-
mineral serpentin dan peridotit tidak akan
memiliki kandungan unsur Ni yang sangat
besar seperti yang terdapat pada garnierit.
Dengan kata lain kehadiran mineral garnierit
akan membuat rentang kadar Ni yang terdapat
pada daerah penelitian akan semakin besar,
sehingga bila rekahan ini terdapat pada suatu
lubang bor maka akan mengakibatkan data
yang muncul/diperoleh akan menjadi sangat
eratik.
IX. KESIMPULAN
Semakin besar persen lereng (kemiringan)
suatu daerah maka ketebalan endapan yang
terbentuk akan semakin tipis, sebaliknya bila
besar persen lereng suatu daerah lebih kecil
(landai) maka ketebalan endapan yang
terbentuk akan semakin besar (tebal).
Sementara kondisi kemiringan lereng yang
paling ideal sebagai tempat pembentukan
endapan nikel laterit berada pada daerah
dengan kemiringan lereng yang sedang, artinya
tidak terlalu landai dan juga tidak terlalu terjal
(antara 35% - 52%).
Semakin banyak jumlah kekar (baik kecil
maupun besar) maka sebaran kadar dan
ketebalan endapan yang terbentuk pada daerah
tersebut akan semakin besar, karena pada
daerah kekar maka mineral-mineral garnierit
yang memiliki unsur Ni yang sangat tinggi
akan banyak terendapkan.
Profil berulang yang banyak ditemukan pada
daerah penelitian merupakan lokasi dimana
terjadi pengendapan secara silih berganti oleh
profil laterit yang sebelumnya sudah terbentuk
pada tempat lain, sehingga sering muncul
urutan yang berulang (tidak sesuai dengan
proses pembentukan endapan nikel laterit yang
terjadi pada umumnya).
Perbedaan ketebalan yang paling terlihat antara
masing-masing horizon adalah top soil, dimana
perbedaan ketebalan top soil antara Pulau
Pakal dan top soil Pulau Gee menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan. Sementara
horizon lainnya tidak memiliki perbedaan
ketebalan yang cukup signifikan (kurang dari
satu meter). Hal ini juga dapat merefleksikan
intensitas pelapukan yang lebih intensif dan
didukung oleh keberadaan kelurusan-kelurusan
anomali kadar Ni yang tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM) atas dukungan dana untuk pelaksanaan
kegiatan Riset KK No.: 044/K01.08/SPK/2008 ini.
Juga penghargaan kami sampaikan kepada Unit
Geomin PT. Aneka Tambang, Tbk. atas dukungan
yang diberikan selama anggota tim peneliti
melaksanaan kegiatan lapangan serta izin yang
diberikan kepada kami untuk menggunakan salah
satu wilayah eksplorasi sebagai daerah studi dalam
Riset KK ini. Juga terimakasih kami sampaikan
kepada seluruh pihak-pihak lain yang telah
memungkinkan terlaksananya aktivitas penelitian
ini dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apandi, T. dan Sudana, D., 1980. Peta
Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
2. Ashock, 2004. The Past and Future of
Nickel Laterites, PDAC International
Convention.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo,
154
3. Freyssinet, Ph., Butt, C.R.M., Morris,
R.C. and Piantone, P., 2005. Ore Forming
Processes Related to Lateritic
Weathering, Economic Geology
Anniversary Volume.
4. Gleeson, S.A., Butt, C.R.M. and
M., 2003. Nickel Laterites: A Review,
Society Economic Geologist
Newletter Number 54.
5. Golightly, J.P., 1981. N
Laterite Deposits, Economic Geology
75th Anniversary Volume.
Gambar 2. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Gee.
, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir
., Butt, C.R.M., Morris,
Ore Forming
Processes Related to Lateritic
Weathering, Economic Geology 100th
, S.A., Butt, C.R.M. and Elias,
Nickel Laterites: A Review,
Society Economic Geologist (SEG)
Nickeliferous
Laterite Deposits, Economic Geology
6. Guilbert, J.M. and Park, C.F.,
Geology of Ore Deposit, W.H. Freeman
and Company.
7. Mackenzie, W.S. and Guilford, C.,
Atlas of Rock Forming Mineral in Thin
Section, Longman Scientific and
Technical.
8. Heinrich, E.W., 1975. Microscopic
Identification of Mineral, McGraw Hill
Book Company.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Gee.
., 1986. The
W.H. Freeman
Guilford, C., 1994.
Atlas of Rock Forming Mineral in Thin
Scientific and
Microscopic
McGraw Hill
Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit
155
Gambar 3. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Pakal.
Gambar 4. Distribusi kadar Fe pada keseluruhan data Pulau Gee.
Gambar 5. Distribusi kadar Fe pada keseluruhan data Pulau Pakal.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir
156
Gambar 6. Perbandingan profil laterit Pulau Gee (kiri) dan Pulau Pakal (kanan).
Gambar 7. Model distribusi kadar Ni dan Fe pada masing-masing horizon laterit
di Pulau Gee.
Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit
157
Gambar 8. Model distribusi kadar Ni dan Fe pada masing-masing horizon laterit
di Pulau Pakal.
Gambar 9. Histogram yang memperlihatkan frekuensi kemunculan horizon High Saprolit (HSOZ) di
Pulau Gee.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir
158
Gambar 10. Histogram yang memperlihatkan frekuensi kemunculan horizon High Saprolit (HSOZ) di
Pulau Pakal.
Gambar 11. Distribusi titik bor dengan ketebalan horizon top soil > 2 di Pulau Gee.
Hubungan Kemiringan Lereng dan Morfologi dalam Distribusi Ketebalan Horizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit
159
Gambar 12. Distribusi titik bor dengan ketebalan horizon top soil > 2
di Pulau Pakal.
Gambar 13. Distribusi titik bor dengan indikasi perulangan profil laterit di Pulau Gee.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana, Jogi F. Samosir
160
Gambar 14. Distribusi titik bor dengan indikasi perulangan profil laterit di Pulau Gee.
Studi Distribusi Ukuran Butir Elektrum dan Asosiasi Mineralisasi Emas pada
Urat Ciurug, Pongkor, Indoensia
161