hubungan antara preferensi musik eklektik dan empati pada
TRANSCRIPT
Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada Mahasiswa Generasi Millennial
Stefani Emanuella dan Linda Primana
1. Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia2. Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Mahasiswa generasi millennial menghadapi tantangan krisis empati di dalam lingkungan dimana teknologi berkembang pesat, ketersediaan informasi begitu kaya, dan berbagai media digital mengelilingi generasi ini. Hal ini menjadikan generasi ini rentan terhadap berbagai tekanan psikologis yang muncul dari pertarungan eksistensi diri intragenerasi dan prasangka dari generasi sebelumnya. Tekanan tersebut dapat dihindarkan dengan membangun individu yang memiliki empati yang baik. Musik memiliki kapasitas untuk memaparkan pendengarnya dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Individu dengan preferensi musik eklektik—mereka yang tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik manapun, melainkan, menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik—merupakan jenis pendengar yang empatik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara preferensi musik eklektik dan empati pada mahasiswa generasi millennial. Penelitian ini dilakukan pada 356 partisipan. Preferensi musik diukur menggunakan Short Test of Music Preferences (STOMP) oleh Rentfrow dan Gosling (2013) yang dimodifikasi, sedangkan Interpersonal Reactivity Index (IRI) milik Davis (1980) digunakan untuk mengukur empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara preferensi musik eklektik dan empati (r= 0,164; p= 0.002, signifikan pada L.o.S 0.01). Penelitian selanjutnya diharapkan memerhatikan karakteristik seperti pengalaman dan kemampuan bermusik responden, metode pengambilan data yang digunakan, serta melakukan elisitasi yang lebih mendalam mengenai budaya musik yang sedang berkembang pada masanya.
Kata kunci: empati; preferensi musik; millennial
The Relationship Between Eclectic Music Preference And Empathy In College Students Of Millennial Generation
Abstract
College students of millennial generation are challenged with empathy crisis in an environment with vast development of technology, rich availableness of information, and digital medias surrounding this generation. This circumstances make this generation prone to many psychological pressures which emerge from the battle of self-existance among millennials themselves and prejudice from the previous generations. This pressure can be escaped by equipping each individual with empathy. Music has a capacity to expose its listeners with diverse pespectives. The ones who has an eclectic music preference—whom does not have strong preference to any music cathegory, but showing the flexibility in listening to diverse kind of musics—are the empathetic individuals. This research aims to find the correlation between eclectic music preference and empathy in college students of millennial generation. This research was conducted to 356 participants. Respondents’ music preference was measured by a modified version of Short Test of Music Preferences (STOMP) from Rentfrow and Gosling (2013), and Interpersonal Reactivity Index (IRI) by Davis (1980) was used to measure respondents’ empathy. The result of this research showed that there is a significant correlation between eclectic music preference and empathy (r= 0,164; p= 0.002, significant at L.o.S 0.01). Suggestions for further research is to notice respondents’ characteristics, such as respondents’ background at music education or performing, consider other measurement method, and carry out deeper elicitation about the developing music culture at the current time.
Keywords: empathy; music preference; millennial
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Pendahuluan
Generasi millennial adalah mereka yang lahir pada dan setelah tahun 1982 (Strauss &
Howe, 2000) hingga tahun 2002 (Coomes et al., 2004; dalam Green, 2007), generasi ini kini
berada pada tahap remaja dan dewasa muda, dan merupakan generasi yang hidup dengan
paparan teknologi yang tinggi, informasi yang kaya, serta berbagai media digital mengelilingi
mereka. Menurut survey dari We Are Social data pengguna internet di Indonesia pada Januari
2016 mencapai 88,1 juta dengan 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif,
dan hampir 50% penggunanya berada pada rentang usia 13-29 tahun (Rifauddin, 2016). Data
menurut Anderson (2016) menunjukkan bahwa Facebook, sejak pertama kali dibuka bagi
seluruh masyarakat dunia untuk dapat bergabung sejak September 2006, tidak kehilangan
minat dari para penggunanya hingga saat ini. Dibarengi dengan pertumbuhan pesat
Instagram, yang hingga kini berhasil mencapai 400 juta pengguna sejak Juli 2012,
menggantikan posisi Twitter sebagai jejaring sosial terbesar kedua saat ini (Gaudin, 2015;
dalam Anderson, 2016).
Bebagai platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, seakan
mendesak generasi millennial untuk terus menunjukkan eksistensi diri dari waktu ke waktu.
Hal ini dapat berimplikasi negatif karena seperti yang dikatakan oleh Twenge dan Campbell
(2009) bahwa generasi millennial mengalami “epidemi narsisisme”, yaitu kecenderungan
individu untuk membentuk pandangan positif yang berlebihan terhadap diri, biasanya terkait
dengan betapa berkuasa, penting, dan menarik dirinya, dibarengi dengan minat yang rendah
untuk membangun kedekatan emosional dengan orang lain, dan regulasi diri yang tujuan
utamanya untuk meninggikan diri, misalnya dengan mencari perhatian (attention-seeking),
mengakui karya orang lain sebagai miliknya, mengejar status sosial yang tinggi melalui
hubungan romantis, atau berusaha mencari pujian dari publik (seeking public glory).
Belakangan ini, marak kasus terkait selebgram atau selebriti Instagram yang mencari
popularitas dengan mengunggah foto maupun artikel yang kontennya dianggap merusak
moral bangsa, sehingga para orangtua, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) tergerak untuk
mengambil tindakan (inet.detik.com, 2016). Gejala ini menunjukkan adanya karakteristik
narsistik yang ekstrim, namun tak hanya pada para selebgram, karena sesungguhnya upaya
berlomba-lomba membentuk pencitraan diri demi mendapatkan pengakuan dari publik
melalui media sosial merupakan fenomena yang terjadi secara pervasif pada generasi
millennial. Tantangan bagi generasi yang menikmati exposure tinggi akan berbagai hal di
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
dunia maya ini—selain untuk lebih bijak dalam memilah dan bereaksi terhadap informasi
yang tersedia—adalah untuk tetap bertanggung jawab terhadap postingan, baik dalam bentuk
foto, video, atau komentar yang mereka unggah sendiri ke media sosial.
Pola perilaku yang mengkhawatirkan pada generasi ini juga disoroti oleh Metz (2014)
yang menyebutkan bahwa generasi millennial menunjukkan pola sifat lebih narsistik, empati
yang lebih rendah, dan kepedulian yang kurang terhadap orang lain dan lingkungan. Situasi
ini tidak sekadar mengakibatkan tebentuknya skema dan sentimen dari generasi sebelumnya
terhadap generasi millennial, melainkan juga tekanan intragenerasi, di tengah perlombaan
pembuktian eksistensi di dunia maya, berupa perilaku agresif seperti cyberbullying. Pada
tahun 2010, istilah cyberbullying ditambahkan ke dalam Oxford English Dictionary, sebagai
istilah yang merujuk pada penggunaan teknologi informasi untuk menggertak orang lain
dengan mengirim postingan yang bersifat mengintimidasi atau mengancam. Survey global
yang diadakan oleh Latitude News (2016), menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara
dengan kasus cyberbullying tertinggi di dunia setelah Jepang (Kaman, 2016).
Di sisi lain, masa remaja memang merupakan masa penuh dinamika bagi setiap orang,
dimana terjadi transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Papalia, 2012). Alasan
seorang remaja melakukan perilaku agresif, antara lain untuk menunjukkan kemandirian dan
otonomi (Bonneville-Roussy et al, 2013). Oleh sebab itu, perilaku agresif, dalam kasus ini
cyberbullying, tidak cukup ditanggulangi hanya dengan memperketat pengawasan dan
memberlakukan tindakan represif dari orang tua maupun figur otoritas. Selain karena jumlah
situs yang dapat diakses melalui media digital saat ini tidak terbatas jumlahnya untuk
diberikan pengawasan satu per satu, tindakan represif pun terbukti tidak cocok untuk
menangani orang-orang muda yang sedang ingin menunjukkan kemandirian dan otonomi
(Robinson, et al., 2007), justru kecenderungan untuk membangkang (rebelling) akan muncul
jika orang muda merasa terlalu didesak dengan aturan (ter Bogt et al., 2011). Hal yang lebih
efektif untuk melindungi remaja dari berbagai tantangan modern ini terletak pada
pembentukan pribadi remaja itu sendiri, yaitu dengan menumbuhkan sikap empati.
Berbagai perilaku agresif dan antisosial terbukti dapat dicegah dengan menumbuhkan
empati pada diri remaja (Miller & Eisenberg, 1988). Gough (1948; dalam Miller & Eisenberg,
1988) dan Hare (1970; dalam Miller & Eisenberg, 1988) secara konsisten menyatakan bahwa
perilaku antisosial merupakan hasil dari kurangnya kemampuan mengambil perspektif lain,
yang berasosiasi dengan tingkat empati yang rendah. Membiasakan diri untuk berempati
dapat melatih seseorang untuk memiliki pemikiran yang lebih terbuka (Butrus & Witenberg,
2013). Pemikiran yang lebih terbuka dapat membantu seseorang untuk lebih mudah menerima
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
kritik, umpan balik, serta masukan dari orang lain. Tak hanya itu, remaja yang memiliki
empati akan terhindar dari perbuatan ceroboh (reckless behavior), karena saat berempati,
seseorang akan mampu membayangkan sebuah tindakan jika dilihat dari berbagai sudut
pandang (Davis et al., 1996), dari perspektif orang tua, teman, maupun orang lain dari latar
belakang suku, agama, ras, keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Penelitian terdahulu telah
membuktikan bahwa empati merupakan awal dari sikap toleransi (Vogt, 1997; Butrus &
Witenberg, 2013), sikap prososial (Eisenberg et al., 1995), sikap altruistik (van Lange, 2008),
dan berhubungan dengan penurunan agresi interpersonal (Feshbach, 1978).
Sayangnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Konrath et al. (2010) menunjukkan
bahwa mahasiswa yang termasuk ke dalam generasi millennial menunjukkan tingkat empati
yang rendah, yaitu menurun sekitar 48% dibandingkan dengan generasi sebelumnya sekitar
20 hingga 30 tahun sebelumnya. Generasi millennial juga mengalami peningkatan pengunaan
teknologi dan penurunan waktu yang dihabiskan di luar ruangan (Bratman, Hamilton, &
Daily, 2012). Turkle (2011; Dolby, 2014), melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan
bahwa generasi millennial punya kecenderungan untuk menghindar dari intimasi komunikasi
face-to-face. Selhub dan Logan (2012) menemukan hubungan antara penggunaan internet
yang terlalu banyak dengan skor kecerdasan emosional yang rendah, yang berakibat pada
kemampuan membaca isyarat verbal maupun non verbal untuk memonitor keadaan emosional
orang lain berkurang.
Munculnya gejala tersebut pada generasi millennial merupakan hal yang
mengkhawatirkan karena empati sendiri merupakan sebuah karakteristik kunci yang penting
untuk dimiliki. Seseorang dengan kemampuan berempati yang baik dapat menjadi anggota
masyarakat yang lebih bertanggung jawab dan kooperatif (Jones, 2014). Penelitian Jones
(2014) membuktikan bahwa remaja yang memiliki empati dapat menunjukkan keterlibatan
dan komitmen yang lebih baik di dalam kelas, memiliki pencapaian akademis yang lebih
tinggi, keterampilan komunikasi yang lebih baik, kemungkinan lebih rendah melakukan
bullying, lebih tidak agresif, dan menunjukkan hubungan interpersonal yang lebih positif.
Empati juga penting dimiliki oleh generasi millennial yang akan memasuki dunia kerja karena
kecenderungan untuk mencapai kesuksesan karir berhubungan dengan kemampuan untuk
dapat memahami dan bekerja bersama orang lain dengan lebih baik. Selain itu, generasi yang
sebentar lagi juga akan memasuki tahap perkembangan selanjutnya, yaitu intimacy (Erikson,
1980), memerlukan kemampuan menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Empati
juga dipandang sebagai kemampuan yang dapat menyelamatkan hubungan antara suami dan
istri, juga hubungan antara orangtua dengan anak (Cozolino, 2010).
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Masalah yang sering dihadapi dalam menumbuhkan empati pada diri seseorang adalah
kenyataan bahwa orang akan lebih mudah berempati pada orang lain yang memiliki
kemiripan (similiar) atau kedekatan (proximity) dengan dirinya, maka untuk berempati pada
orang dari latar belakang, kepercayaan, dan karakteristik yang berbeda menjadi sebuah
tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, mengamalkan perilaku empatik bukanlah hal yang
mudah karena tidak cukup hanya sampai pada tahap mampu mengubah perspektif sebagai
orang lain, namun diperlukan juga kepedulian dan komitmen untuk benar-benar bertindak
(Jones, 2014).
Salah satu cara yang ditemukan oleh para peneliti untuk meningkatkan empati, yakni
melalui exposure (Cozolino, 2010; dalam Metz, 2014). Studi terdahulu telah menyatakan
bahwa bias implisit, bahkan rasisme, dapat dikurangi dengan memperbanyak kontak dengan
individu dari berbagai budaya (Aberson, Shoemaker, & Tomolillo, 2004; dalam Rudman,
2004). Pada dasarnya, adanya kontak dapat meningkatkan sense of connection (Cwir et al.,
2011), sama halnya dengan membiasakan diri terpapar dengan beragam budaya, kepribadian,
dan sudut pandang dapat menghindarkan seseorang dari sikap tidak empatik. Karya musik
merupakan wadah dimana beragam budaya, kepribadian, dan pandangan diekspresikan.
Musisi menciptakan karya-karya musik untuk menyalurkan emosi dan pemikirannya yang
saling berbeda satu sama lain. Pengarang lagu dan komposer dari genre yang berbeda akan
memiliki gaya dan cara penyampaian pesan melalui musik yang beragam pula. Dengan
demikian, kesediaan seseorang untuk mendengarkan bermacam-macam genre musik yang
berbeda berarti bersedia memaparkan diri dengan keberagaman, dan membangun sense of
connection dengan berbagai jenis karya musik, beserta keberagaman karakteristik
pembuatnya.
Menurut Rentfrow, Goldberg, dan Levitin (2011) terdapat kategori karakteristik musik
yang memiliki atribut musikal maupun atribut psikologis yang saling berbeda dan dapat
diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok. Kategori pertama terdiri dari jenis musik yang tenang
dan syahdu (Mellow), kedua merupakan kelompok jenis musik yang memunculkan kesan apa
adanya atau tidak berpura-pura (Unpretentious), ketiga merupakan jenis musik yang
komposisinya menunjukkan kesan cerdas, rumit, kompleks (Sophisticated), kemudian ada
jenis musik yang memunculkan kesan kuat dan tajam (Intense), dan terakhir jenis musik yang
mencerminkan kebebasan berekspresi sesuai dengan masanya (Contemporary). Kelima
kategori ini mencerminkan ragam jenis karya musik yang mengekspresikan karakteristik yang
berbeda-beda pula. Hal yang menjadi fokus pada penelitian ini terkait seberapa eklektik
preferensi musik seorang pendengar musik. Pendengar yang memiliki preferensi musik
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
eklektik menurut Schwartz dan Fouts (2003) merupakan istilah untuk pendengar musik yang
tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik yang terbatas, melainkan menunjukkan
fleksibilitas dalam mendengarkan musik.
Ketertarikan peneliti untuk meneliti preferensi musik eklektik muncul dari
ketidaksetujuan peneliti terhadap temuan pada penelitian sebelumnya mengenai preferensi
musik dan empati oleh Clark dan Giacomantonio (2013). Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pendengar musik pada kategori preferensi musik tertentu (reflective complex dan
intense rebellious) memiliki empati yang lebih baik dibandingkan dengan pendengar dengan
preferensi musik yang lain (upbeat conventional), bahkan terdapat kategori preferensi tertentu
(energetic rhythmic) yang disimpulkan tidak berhubungan sama sekali dengan empati,
padahal persepsi, intepretasi, dan reaksi seseorang terhadap musik melibatkan komponen
afektif dan kognitif (Schäfer & Sedlmeier, 2010), sama halnya dengan komponen yang
dibutuhkan untuk berempati yang juga terdiri dari komponen afektif dan kognitif (Davis,
1983). Terlebih lagi, menurut peneliti tidak ada preferensi yang salah atau benar. Preferensi
seseorang terhadap sesuatu tidak seharusnya menumbuhkan sikap memandang bahwa
pilihannya lebih baik atau menganggap pilihan orang lain yang berbeda dengan dirinya lebih
buruk. Jika salah satu dimensi empati merupakan kemampuan untuk menghargai berbagai
perspektif, maka melalui seberapa luas seseorang mampu mengapresiasi beragam jenis musik
yang berbeda-beda, justru akan lebih tergambar seberapa mampu seseorang berempati dengan
orang lain dari eklektisitas preferensi musiknya.
Rogers (1942; dalam Cozolino, 2010) menyebutkan bahwa mengurangi sikap defensif
juga dapat membantu seseorang berempati, maka dugaan peneliti diperkuat dengan adanya
sikap-sikap empatik yang dapat terasah jika seseorang tidak fanatik terhadap satu jenis musik
saja melainkan menunjukkan fleksibilitasnya menangkap keindahan dari berbagai jenis
musik. Komponen-komponen lain yang disebutkan oleh Cozolino (2010) dapat meningkatkan
empati, seperti memperluas lingkup kepedulian terhadap berbagai macam jenis individu,
mendengarkan orang lain secara lebih mendalam melalui penghayatan terhadap ekspresi,
melihat suatu situasi sosial secara lebih adil, mampu menyadari adanya stereotip dan dapat
menolaknya, terlatih untuk mengatur perasaan-perasaan yang sulit dikendalikan seperti
kesedihan, kemarahan, dan frustrasi, menurut peneliti dapat ditemukan pada pendengar musik
berpreferensi eklektik.
Besarnya peran musik terhadap pembentukan diri seseorang telah tercatat sejak tahun
1985, oleh Davis (dalam Schwartz & Fouts, 2003) yang telah menyebutkan bahwa waktu
yang dihabiskan seseorang di masa remajanya untuk mendengarkan musik, dapat mencapai
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
10.000 jam atau setara dengan jumlah waktu yang dilaluinya di bangku sekolah sejak SMP
hingga ia lulus SMA. Ditambah dengan temuan McMahon dan Pospisil (2005) yang
menunjukkan bahwa generasi millennial menggunakan laptop sebanyak 58% untuk
mengunduh musik dan video. Rentfrow dan Gosling (2003; dalam Zentner, Grandjean &
Scherer, 2008) pun menyebutkan bahwa kegiatan paling rekreatif, bukan lagi menonton
televisi atau film, atau membaca buku, melainkan mendengarkan musik. Hasil yang serupa
pun terlihat dari survey yang peneliti lakukan pada bulan September 2016 di Jakarta. Dalam
survey tersebut, sebanyak 162 remaja dan dewasa muda dari rentang usia 11–30 tahun
menunjukkan bahwa musik menduduki posisi pertama yaitu sebanyak 28% sebagai kegiatan
menyenangkan (leisure activity) yang paling digemari, diikuti dengan menonton (16%), jalan-
jalan (16%), membaca (14%), bermain game (11%), berolahraga (6%), dan menggunakan
media sosial (5%). Dengan adanya survey tersebut, terlihat begitu besarnya waktu yang
diluangkan seseorang untuk musik, sehingga terbuka kemungkinan pengaruh yang besar pula
dari musik kepada pendengarnya. Besarnya pengaruh musik dalam kehidupan pendengarnya
menunjukkan potensi yang besar pula bahwa musik juga mampu membentuk kemampuan
berempati seseorang.
Generasi millennial akan menempuh tantangan yang berbeda, yang datang dari interaksi
mereka di media sosial yang sebelumnya tidak dialami oleh generasi sebelumnya. Demi
mencapai kesehatan mental dan well-being, generasi ini perlu dibekali dengan karakteristik
kunci yang dapat memampukan mereka berkembang secara sehat. Peneliti tertarik untuk
meneliti ada atau tidaknya pola tertentu yang tergambar dari eklektisitas preferensi musik
yang dimiliki oleh generasi millennial terhadap tingkat empati mereka, karena peneliti melihat
adanya peluang menumbuhkan empati melalui keberagaman musik yang dikonsumsi
seseorang. Lebih jauh lagi, remaja dan orang muda akan menjadi agen perubahan, selain bagi
diri mereka sendiri, juga komunitasnya, sehingga mentalitas dan moralitas yang baik dengan
berbekal empati menjadi hal yang esensial untuk pertahanan dan perkembangan di masa
mendatang, dimana generasi ini akan hidup dengan keberagaman di segala aspek kehidupan.
Melatih kemampuan berempati melalui hal yang disenangi—dalam penelitian ini musik—
dapat menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan.
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Tinjauan Teoritis
Musik menurut The Oxford Concise Dictionary didefinisikan sebagai seni yang
mengkombinasikan suara, dari suara manusia atau instrumen untuk mencapai keindahan
bentuk dan ekspresi emosi. Van Boven, McGraw, dan Warren (2011) mendefinisikan
preferensi sebagai salah satu bentuk pengambilan keputusan dimana seseorang melakukan
proses perhitungan terkait menilai sesuatu lebih menyenangkan dibandingkan pilihan lain, dan
terdapat expressed preference dan underlying preference. Expressed preference merupakan
hasil proses perhitungan—usaha mengintegrasikan informasi dari memori, observasi, dan
kepercayaan yang dimiliki pengamat—untuk akhirnya mendeklarasikan penilaian terhadap
sesuatu, sedangkan underlying preference merupakan sikap, biasanya terbentuk dari
keputusan yang telah terbentuk sejak lampau, atau berdasarkan insting. Dengan kata lain,
preferensi musik dapat dinyatakan sebagai sebuah penilaian yang dibuat oleh seseorang secara
sadar—berdasarkan informasi memori, observasi, kepercayaan yang terbentuk terhadap
konteks—maupun secara tidak sadar berdasarkan karakteristik psikologis maupun insting
seseorang terhadap karya seni yang mengombinasikan suara, dari suara manusia atau
instrumen untuk mencapai keindahan bentuk dan ekspresi emosi.
LeBlanc (1982) mendefinisikan preferensi musik sebagai sebuah keputusan untuk
menyukai karya musik, atas penilaian yang terbentuk kepada karya musik tersebut, yang
dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar pendengar, untuk kemudian disaring oleh karakteristik
pendengar. Penilaian seseorang terhadap karya musik yang dimaksud muncul dengan
mempertimbangkan kompleksitas karya musik tersebut, makna dari karya tersebut bagi
pendengar, dan kualitas penampilan pemusik yang membawakan karya tersebut. Selain itu,
lingkungan sekitar pendengar musik yang dimaksud terdiri dari peers, keluarga, guru, dan
proses conditioning seperti repetisi dan familiaritas, sedangkan karakteristik pendengar terdiri
dari kemampuan bermusik, kepribadian, jenis kelamin, kelompok etnis, dan kedewasaan
pendengar. Schwartz dan Fouts (2003) mendefinisikan preferensi musik eklektik sebagai
istilah untuk pendengar musik yang tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik
yang terbatas, melainkan menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik.
Terdapat beberapa kategori karakteristik genre musik yang dikelompokkan oleh
Rentfrow, Goldberg, dan Levitin (2011) ke dalam 5 kategori yang membentuk akronim
MUSIC, yaitu Mellow, Unpretentious, Sophisticated, Intense, dan Contemporary. Kategori
karakteristik Mellow biasanya merupakan musik-musik yang setelah didengarkan memberi
efek menenangkan. Konser-konser dimana karakteristik genre ini ditampilkan dapat membuat
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
pendengarnya berdansa atau ikut bernyanyi bersama musisi yang membawakan karya musik
(Greenberg, Rentfrow, & Baron Cohen, 2015). Kategori ini terdiri dari genre RnB, Soul, lagu
religi/rohani, dan New Age. Kategori kedua, yaitu kategori karakteristik Unpretentious, terdiri
dari genre Blues, Country, Keroncong, Campursari, Dangdut, lagu daerah, lagu nasional, dan
lagu anak. Ketiga, kategori karakteristik Sophisticated terdiri dari segala jenis musik yang
komposisinya menunjukkan kesan berpengalaman, kecerdasan komposisi, rumit, dan tidak
sederhana. Terdiri dari genre jazz, swing, klasik instrumental, opera, Broadway, marching
band, soundtrack/theme songs, dan Disney. Kategori karakteristik Intense merupakan segala
jenis musik yang memunculkan kesan kuat dan tajam. Sesuai untuk dinyanyikan atau
diteriakkan bersama kerumunan, dimana para penggemarnya dapat melompat, mendorong,
maupun menggendong satu sama lain saat konser dengan karakteristik genre musik ini
diadakan (Greenberg, Rentfrow, & Baron Cohen, 2015). Terdiri dari genre punk, heavy metal,
alternative rock, dan rock. Terakhir, kategori karakteristik Contemporary merupakan segala
jenis musik yang mencerminkan kebebasan berekpresi sesuai dengan zamannya. Dapat berupa
hasil eksperimen dari genre lain yang lebih murni. Terdiri dari pop, rap/hiphop, reggae, pop
rock, K-Pop, EDM, samba, dan indie.
Berbagai karakteristik musik yang berbeda-beda tersebut biasanya juga memiliki
penggemar dengan karakteristiknya tersendiri, namun pendengar dengan preferensi musik
eklektik merupakan istilah untuk kelompok pendengar musik yang tidak memiliki preferensi
yang kuat pada jenis musik dengan karakteristik yang terbatas saja, melainkan menunjukkan
fleksibilitas yang tinggi untuk mendengarkan banyak jenis musik tergantung mood, konteks,
dan kebutuhan pada waktu-waktu yang berbeda (Schwartz dan Fouts, 2003). Kelompok
pendengar yang memiliki preferensi musik eklektik akan mampu menunjukkan apresiasi pada
beragam macam musik dengan karakteristik yang berbeda-beda, baik jenis musik Mellow,
musik Unpretentious, musik Sophisticated, musik Intense, maupun musik Contemporary
(Rentfrow, Goldberg, & Levitin, 2011). Dalam penelitian ini preferensi musik eklektik
didefinisikan sebagai akumulasi intensitas preferensi seseorang pada kelima jenis kategori
karakteristik Mellow, Unpretentious, Sophisticated, Intense, dan Contemporary.
Preferensi musik menurut Schäfer dan Sedlmeier (2010) terdiri dari preferensi yang
sifatnya jangka pendek, yaitu saat pendengar memberi penilaian terhadap satu karya musik
tertentu pada satu konteks pada satu waktu saat musik itu didengar, dan preferensi jangka
panjang, yang melibatkan penilaian yang lebih konsisten dan menetap seiring waktu terhadap
karya musik tertentu. Beberapa parameter yang akan memengaruhi preferensi jangka panjang
seorang pendengar musik dipengaruhi oleh beberapa hal dari faktor karya musik maupun
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
faktor pendengar. Faktor musik terdiri dari fitur musik seperti tempo, ritme, pitch, harmoni,
dan volume, segala hal yang membentuk persepsi pendengar kepada karya musik yang
didengar (Finnäs, 1989; dalam Schäfer & Sedlmeier, 2010). Selain itu, menurut Peretz,
Gaudreau, dan Bonnel (1998; dalam Schäfer & Sedlmeier, 2010) preferensi juga dapat
muncul karena faktor repetisi dan familiaritas, seperti pada saat seseorang berulang kali
mendengar musik yang sama, musik yang tidak segaja terdengar sebagai latar sambil
melakukan pekerjaan lain, tanpa sadar dapat mengenali lagu yang biasanya didengarkan oleh
orangtua atau teman, atau berulang kali melatih lagu yang sama saat harus menampilkan
karya musik itu sendiri, biasanya membuat seseorang lebbih menyenangi karya musik
tersebut.
Selanjutnya faktor pendengar terdiri dari faktor kognitif, faktor emosional, faktor
fisiologis, faktor sosial budaya, dan faktor karakteristik pendengar. Penelitian terdahulu oleh
Bleich, Zillman, dan Weaver (1991, dalam Rentfrow, Goldberg, dan Levitin, 2011) yang
melaporkan bahwa, remaja menggunakan musik sebagai pengalih perhatian dari masalah-
masalah mereka, sebagai sarana mood management, dan untuk mengurangi rasa kesepian.
Musik juga sering digunakan untuk mengekpresikan identitas dan nilai dari sebuah budaya
atau negara (Christenson & Roberts, 1998; dalam Schäfer & Sedlmeier, 2010). Menurut
Perkins (2008), persepsi identifikasi terhadap kelompok (group identification) juga
memengaruhi bagaimana seseorang menentukan preferensi musiknya. Remaja dan dewasa
muda, cenderung akan mendengarkan musik yang juga didengarkan oleh teman-teman
mereka, hal ini berkontribusi dalam mendefinisikan identitas sosial dan berpengaruh dalam
pembentukan selera dan preferensi musik seseorang (Creed & Scully, 2000, dalam Rentfrow,
Goldberg, dan Levitin, 2011). Karakteristik pendengar yang berpengaruh antara lain berupa
usia (Bonneville-Rousy et al., 2013), gender (Greenberg, Rentfrow, & Baron Cohen, 2015),
kepribadian (Rentfrow & Gosling, 2003), nilai (Boer et al., 2011), self-concept pendengar
(Perkins, 2008) serta kemampuan dan pengalaman bermusik (LeBlanc, 1982).
Terdapat beberapa definisi mengenai empati dari berbagai ahli. Empati, dari sudut
pandang kognitif, menekankan pada usaha intelektual seseorang untuk membayangkan sudut
pandang orang lain tanpa mengalami reaksi afektif dalam dirinya (Hogan, 1969). Caruso dan
Mayer (1998; dalam Hoffman, 2008) menjabarkan empati kognitif sebagai kemampuan untuk
mengintepretasikan dan memahami pengalaman dan perasaan dari orang lain. Kohlberg
(1976; dalam Davis et al., 1996) melihat empati sebagai kemampuan untuk memahami
perasaan orang lain. Bentuk lain empati, berupa empati afektif menurut Mehrabian dan
Epstein (1972; dalam Davis, 1983) merupakan tendensi seseorang untuk merespon secara
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
emosional pada pengalaman orang lain yang diobservasi. Hoffman (2001) menjabarkan
empati sebagai bentuk respon afektif dimana seorang pengamat menyesuaikan perasaannya ke
dalam situasi yang sedang dialami orang lain melebihi situasi yang dialami dirinya sendiri.
Temuan dari McWhirter et al. (2002) menunjukkan bahwa empati memiliki hubungan positif
dengan emotional coping, yaitu kemampuan untuk menerima dan mengekspresikan respon
emosional yang beragam, dan social coping, yaitu kemampuan membangun hubungan sosial
yang mendukung (supporting social networks) dengan teman sebaya, orang tua, guru, dan
komunitas, sehingga remaja yang memiliki empati akan menunjukkan kecenderungan untuk
dapat berkembang dengan cara yang positif dan sehat. Carl Rogers mengatakan bahwa empati
merupakan sebuah cara yang dilakukan seseorang untuk hadir bagi orang lain, dimana pada
saat tersebut, untuk sementara, segala nilai dan pandangan yang dimiliki oleh orang tersebut
dikesampingkan dan mencoba memasuki dunia orang lain tanpa berprasangka (Rogers, 1975;
dalam Metz, 2014). Davis (1983; dalam Davis, 1996) menjabarkan empati sebagai konstruk
multidimensional yang menyertakan komponen kognitif maupun afektif di dalamnya, sebagai
sebuah kesatuan konstruk yang menghubungkan respon dari seorang individu terhadap
pengalaman yang dialami oleh individu lain, yang mencakup empat dimensi.
Dimensi pertama merupakan dimensi perspective taking yang merupakan satu-satunya
dimensi kognitif dari empati, yaitu kemampuan individu untuk mengadaptasi perspektif dan
sudut pandang psikologis orang lain. Kemampuan perspective-taking yang baik secara
konsisten berhubungan dengan keberfungsian sosial yang lebih baik, Piaget (1932; dalam
Davis, 1983) menyatakan bahwa kemampuan mengambil perspektif lain sebagai keterampilan
sosial yang fundamental. Hal ini disebabkan karena orang yang dapat mengambil perspektif
orang lain lebih mampu mengantisipasi perilaku dan reaksi dari orang lain secara lebih baik,
sehingga mampu menjalin hubungan interpersonal yang lebih baik pula (Feshbach, 1978).
Dimensi kedua, fantasy, disebut juga sebagai empati imajinatif oleh Frías-Navarro (2009),
merupakan kecenderungan seseorang untuk merasa terhubung atau membayangkan dirinya
menjadi salah satu karakter fiksi di dalam buku, film, atau sandiwara yang disaksikan. Sejauh
mana seorang individu mampu menempatkan dirinya ke dalam perasaan dan tindakan
karakter tersebut merupakan inti dari dimensi ini. Ketiga, empathic concern mencakup sejauh
mana seorang individu mampu merasa iba dan peduli terhadap orang lain atas kejadian yang
menimpa mereka. Empathic concern merupakan kecenderungan seseorang untuk merasakan
kehangatan (warmth), kasih sayang (compassion), dan kekhawatiran (concern) terhadap orang
lain, terlebih atas peristiwa negatif yang dialaminya. Pada empathic concern terlihat respon
emosional seseorang kepada orang lain. Terakhir, dimensi personal distress menunjukkan
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
sejauh mana seorang individu merasakan kegelisahan dan ketidaknyamanan atas hasil dari
pengalaman buruk yang menimpa orang lain. Personal distress berkorelasi negatif dengan
keberfungsian sosial seseorang. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya kecemasan yang
dialami seseorang dalam situasi interpersonal yang menegangkan (tense interpersonal
setting), maka akan lebih sulit ia mengandalikan dirinya, terlebih lagi untuk membangun
maupun mempertahankan hubungan sosial yang efektif dengan orang lain. Keempat aspek
tersebut merupakan dimensi-dimensi yang membentuk empati menurut Davis (1980).
Dimensi-dimensi tersebut terbentuk dari stimulasi lingkungan terhadap aspek kognitif dan
afektif individu.
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi empati seseorang adalah jenis kelamin.
Beberapa penelitian terdahulu oleh Eisenberg dan Strayer (1987) menunjukkan bahwa
perempuan lebih empatik dibandingkan dengan laki-laki karena sifat ingin mengasuh
(nurturance) yang sudah menjadi bawaan pada perempuan dalam sejarah evolusi manusia
yang esensial untuk berhasil memenuhi perannya dalam survival. Selain itu, penelitian
Howard (1983; dalam Eisenberg & Strayer, 1987) menunjukkan bahwa feminitas pada
perempuan juga membuatnya mampu untuk memberikan respon verbal yang empatik pada
kesulitan yang dialami orang lain. Hal ini berkaitan dengan temuan dari Deutsch (1944; dalam
Eisenberg & Strayer, 1987) yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kepedulian
eksternal yang berorientasi pada orang lain, lebih dari laki-laki yang kepedulian internal yang
berorientasi pada dirinya sendiri lebih besar. Selanjutnya usia juga mempengaruhi
kemampuan berempati, karena kemampuan ini meningkat seiring jalannya waktu telah
disebutkan oleh Feshbach (1978) berkaitan dengan perubahan perkembangan dalam
keterampilan kognitif seseorang. Kecanggihan kognitif, seperti kemampuan bermetakognisi,
dimana seseorang berlatih untuk dapat melihat dirinya secara lebih objektif, bahwa ia bukan
sekadar tokoh pasif dalam hidupnya, namun merupakan seorang pemegang kendali juga
melatih kemampuan perspective taking. Kemampuan untuk sementara terlepas dari perasaan,
masalah yang sedang dihadapi, maupun perilaku yang biasanya ditampilkan, dan
mengevaluasi diri sendiri secara lebih rasional (Cozolino, 2010). Seiring bertambahnya usia
seseorang, pengalaman dan referensi situasi-situasi sosial yang dimilikinya akan semakin
bertambah, meskipun hal ini juga sangat bergantung pada penghayatan dan kedewasaan
seseorang (Eisenberg & Mussen, 1989).
Sebuah generasi merupakan sebuah cohort yang kurang lebih memiliki karakteristik
yang serupa, biasanya dalam rentang 20 tahunan. Generasi millennial merupakan generasi
yang lahir pada dan setelah tahun 1982 (Strauss & Howe, 2000) hingga tahun 2002 (Coomes
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
et al., 2004; Green, 2007). Mayoritas generasi ini kini berada pada tahap remaja dan dewasa
muda. Generasi millennial merupakan generasi yang hidup dengan paparan teknologi yang
tinggi, informasi yang kaya, dan dikelilingi oleh media digital (Strauss & Howe, 2000).
Terdapat karakteristik tersendiri dari generasi ini millennial. Menurut Oblinger (2003),
beberapa karakteristik yang dimiliki generasi millennial adalah bahwa generasi millennial
dibiasakan untuk dapat bekerja dalam sebuah tim sejak dini melalui institusi-institusi
pendidikan yang mereka dapatkan (Lowe et al., 2008; dalam Wolff, 2010). Tuntutan yang
besar untuk dapat bekerja secara elaboratif ini dibarengi dengan kecenderungan tingkat
empati yang masih rendah pada generasi millennial, padahal keterampilan berempati
merupakan salah satu keterampilan sosial yang esensial untuk dapat berkinerja dengan sehat
dalam sebuah lingkungan yang mengedepankan performa kelompok. Kuantitas informasi
yang bisa didapatkan oleh generasi ini sangat tidak terbatas karena mudahnya akses yang
tersedia. Hal ini berimplikasi pada parameter yang lebih tepat digunakan untuk generasi ini
adalah kepada keterampilan bukan lagi wawasan. Lahir pada masa dimana perkembangan
teknologi mengalami perkembangan yang pesat membuat generasi ini tidak takut untuk
mempelajari teknologi baru. Fakta bahwa generasi ini hidup di lingkungan yang semakin
multikultur di segala lini kehidupan, sehingga sikap empati penting untuk membentuk
individu yang siap menghormati dan bekerja bersama sesamanya yang memiliki karakteristik
yang berbeda-beda dengan dirinya.
Metode Penelitian
Teknik pengambilan sampel adalah dengan accidental sampling yang juga dikenal
dengan incidental sampling atau convenience sampling. Accidental sampling merupakan jenis
non-probability sampling, sehingga peneliti menggunakan sampel yang diambil dari bagian
populasi terdekat atau yang paling mudah diakses (Kumar, 2005). Teknik ini dipilih dengan
mempertimbangkan kemudahan mengakses sampel. Teknik accidental sampling juga
memungkinkan peneliti untuk mendapatkan jumlah sampel yang relatif besar dalam waktu
singkat.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen Short Test of Music
Preferences (STOMP) dari Rentfrow, Goldberg, dan Levitin (2011) sebagai alat untuk
mengukur preferensi musik responden. Alat ukur ini terdiri dari 32 item four-point-Likert-
scale dengan pillihan jawaban dari nilai 1 (sangat tidak menyukai), 2 (tidak menyukai), 3
(menyukai), 4 (sangat menyukai), dan 0 (tidak mengetahui). Selanjutnya, alat ukur
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Interpersonal Reactivity Index (IRI) dari Davis (1983) peneliti gunakan untuk mengukur
empati responden. Alat ukur ini terdiri dari 19 item yang juga menggunakan skala Likert 4
poin, dan responden diminta untuk memberikan nilai antara 1 (sangat tidak sesuai), 2 (tidak
sesuai), 3 (sesuai), hingga 4 (sangat sesuai) pada setiap item pernyataan. Penelitian ini
menggunakan teknik pengisian kuesioner dalam pengambilan data (Kumar, 2005).
Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang dilakukan secara offline
maupun online.
Hasil Penelitian
Responden dalam penelitian ini merupakan mahasiswa yang sedang atau baru
menjalani pendidikan S1 berusia 17-24 tahun. Data yang terkumpul sebanyak dapat
digunakan dalam pengolahan adalah sebanyak 269. Berikut merupakan uraian masing-masing
gambaran responden berdasarkan karakteristik demografisnya.
Tabel 1. Gambaran Umum Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Karakteristik Responden Data Responden Frekuensi Persentase Jenis Kelamin Laki-Laki 101 61,3
Perempuan 165 37,5 Total 269 100
Usia 17 tahun 5 1,9 18 tahun 43 16,0 19 tahun 58 21,6 20 tahun 64 23,8 21 tahun 55 20,4 22 tahun 29 10,8 23 tahun 10 3,7 24 tahun 5 1,9
Total 269 100
Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa mayoritas responden berjenis kelamin
perempuan dengan presentase sebesar 61,3%. Berdasarkan usia, responden berusia 20 tahun
mendominasi, yaitu sebanyak 23,8%.
Tabel 2. Gambaran Umum Responden berdasarkan Pendidikan Terakhir dan Pekerjaan Orang Tua
Karakteristik Responden Data Responden Frekuensi Persentase
Frekuensi mendengarkan musik dalam seminggu
2 – 4 kali 99 28% 5 – 7 kali 173 49% 8 – 10 kali 56 16% lebih dari 10 kali 23 6% Tidak mengisi 5 1%
Durasi mendengarkan musik dalam sehari
Kurang dari 30 menit 42 11% 30 menit – 2 jam 60 17% 2 – 4 jam 46 13%
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Lebih dari 4 jam 208 59%
Alasan mendengarkan musik
Iringan 222 62% Hobi 213 60% Idola 105 29% Memperbaiki suasana hati 252 71% Pergaulan 31 9% Lain-lain 63 18%
Waktu untuk mendengarkan musik
Sendiri 295 83% Perjalanan 226 63% Bersama teman 125 35% Sebelum tidur 240 67% Belajar 163 46% Berolahraga 74 21% Bersiap-siap 150 42% Lain-lain 20 6%
Berdasarkan Tabel 2. Berdasarkan data pada tabel, dapat dilihat bahwa mayoritas
responden mendengarkan musik sebanyak 5–7 kali dalam seminggu (49%), dengan durasi
lebih dari 4 jam dalam sehari (59%). Alasan responden mendengarkan musik paling banyak
untuk memperbaiki suasana hati (71%), diikuti dengan menjadikan musik sebagai iringan
sambil melakukan hal lain (62%), alasan mendengarkan musik karena hal tersebut
menyenangkan atau dianggap sebagai hobi (60%), sebanyak 29% responden mendengarkan
musik karena dibawakan oleh artis/penyanyi/pemusik idolanya, dan hanya sebesar 9% yang
mendengarkan musik sebagai identitas sosial atau pergaulan. Waktu yang paling sering
digunakan oleh responden untuk mendengarkan musik adalah saat sendiri (83%), sebelum
tidur (67%), dan dalam perjalanan atau sambil menyetir kendaraan (63%). Tabel 3. Gambaran Gambaran Preferensi Musik Responden
Eklektisitas Jumlah Responden Persentase Eklektik Tidak Eklektik
Total
269 87
356
75,8% 24,2% 100%
Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa responden yang memiliki preferensi musik
eklektik sebesar 75,8%, atau hanya sebanyak 269 orang responden memiliki preferensi musik
eklektik. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah memiliki preferensi musik
eklektik, atau dengan kata lain sebanyak 269 responden tidak memiliki preferensi yang kuat
pada jenis musik tertentu saja dan menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik dari
berbagai jenis karakteristik yang berbeda-beda.
Tabel 4. Gambaran Deskriptif Preferensi Musik Eklektik
Nilai Minimum Nilai Maximum Mean Standar Deviasi
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Kategori Eklektik 10,1 17,9 12,51 1,52
Nilai untuk kategori eklektik berkisar antara 10,1 sampai 17,9 dengan rata-rata 12,51
(SD=1,52), artinya responden penelitian memiliki preferensi musik yang eklektik. Angka ini
didapatkan dari 269 responden yang memiliki nilai akumulasi rata-rata dari kelima kategori
preferensi musik yang sebelumnya disebutkan (mellow, unpretentious, sophisticated, intense,
dan contemporary) lebih dari 10.
Tabel 5. Gambaran Persebaran Skor berdasarkan Kategori
Skor Total Empati Jumlah Partisipan Persentase Di atas rata-rata 140 52% Di bawah rata-rata 129 48%
Total 269 100% Berdasarkan Tabel 5. terlihat bahwa lebih banyak responden (52%) yang memiliki
nilai total empati di atas rata-rata, dengan 129 orang responden memiliki skor empati
keseluruhan di bawah rata-rata.
Tabel 6. Gambaran Persebaran Skor berdasarkan Kategori Skor Total Empati Jumlah Partisipan Persentase
Di atas rata-rata 140 52% Di bawah rata-rata 129 48%
Total 269 100% Tabel 6. menunjukkan bahwa lebih banyak responden (52%) yang memiliki nilai total
empati di atas rata-rata, dengan 129 orang responden memiliki skor empati keseluruhan di
bawah rata-rata.
Tabel 7. Gambaran Persebaran Skor Total Empati Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Usia
Karakteristik Responden N F Sig. Keterangan
Jenis Kelamin Laki-laki 101 2,583 0,109 Tidak Signifikan Perempuan 165
Usia
17 tahun 7
0,680 0,689 Tidak Signifikan
18 tahun 56 19 tahun 75 20 tahun 80 21 tahun 68 22 tahun 46 23 tahun 12 24 tahun 6
Dari data yang tertera pada tabel 7. terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan skor rata-
rata empati secara keseluruhan yang signifikan antara partisipan dengan jenis kelamin
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
perempuan dan partisipan dengan jenis kelamin laki-laki. Selain itu, dapat diketahui juga
bahwa berdasarkan usia responden, perbedaan yang signifikan juga tidak ditemukan.
Berikut merupakan analisis hubungan antara emosi malu, emosi bersalah dan
ketidakjujuran akademis menggunakan Multiple Regression untuk mengetahui besarnya
proporsi variabel ketidakjujuran akademis yang berhubungan atau dijelaskan oleh variabel
emosi malu dan emosi bersalah. Tabel 8. Hasil AnalisisMultiple Regression pada Ketidakjujuran Akademis
Preferensi Musik Eklektik r r2
Perspective Taking 0,165** 0,027 Fantasy 0,099 0,009 Empathic Concern 0,108 0,011 Personal Distress Total Empati
0,060 0,162**
0,003 0,0262
*p < 0,05, two-tailed Berdasarkan data pada tabel 8. dapat disimpulkan bahwa skor total empati responden
berpreferensi musik eklektik (N = 269) memiliki koefisien korelasi r = 0,162 dan p = 0,002
signifikan pada L.o.S 0,01. Artinya, semakin tinggi eklektisitas preferensi musik seseorang,
akan diikuti oleh peningkatan pada skor empati total yang dimilikinya. Nilai coefficient of
determination menunjukkan nilai r2 = 0,027, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa 2,62%
varians skor empati seseorang dapat dijelaskan dengan eklektisitas preferensi musiknya,
sedangkan 97,38% varians lainnya dijelaskan melalui faktor-faktor lain. Berdasarkan hasil
yang signifikan tersebut, hipotesis nol pertama (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif pertama
(Ha) diterima, yaitu secara signifikan terdapat korelasi positif antara skor eklektisitas pada
alat ukur STOMP dengan skor empati keseluruhan pada alat ukur IRI pada mahasiswa
generasi millennial.
Selanjutnya, pada tiga dimensi empati, yaitu fantasy (r = 0,099, p = 0,106, p>0,05),
empathic concern (r = 0,108, p = 0,075, p>0,05), dan personal distress (r = 0,060, p = 0,329,
p>0,05), tidak berkorelasi secara signifikan dengan eklektisitas preferensi musik. Artinya,
perubahan pada masing-masing dimensi fantasy, empathic concern, maupun personal distress
tidak ditentukan oleh skor eklektiksitas preferensi musik, namun, pada dimensi perspective
taking ditemukan korelasi positif dengan eklektisitas preferensi musik dengan r = 0,165 yang
signifikan pada L.o.S 0,01. Dengan kata lain, sebesar 2,7% varians skor dimensi perspective
taking dapat dijelaskan dari eklektisitas preferensi musik, sedangkan 97,3% varians sisanya
dijelaskan melalui faktor lain-lain.
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan dan interpretasi data, ditemukan hubungan positif yang
signifikan antara preferensi musik eklektik dengan empati pada mahasiswa generasi
millennial, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima. Semakin tinggi eklektisitas
preferensi musik, maka semakin tinggi pula empati seseorang. Selanjutnya, selain pada
dimensi perspective taking, tidak terdapat hubungan antara eklektisitas preferensi musik
dengan dimensi-dimensi lain pada empati seperti fantasy, empathic concern, dan personal
distress.
Pembahasan
Rata-rata dalam seminggu paling tidak waktu yang digunakan untuk mendengarkan
musik mencapai 28 jam, alasan responden mendengarkan musik paling banyak untuk
memperbaiki suasana hati. Hal ini menunjukkan fungsi musik yang paling dicari oleh generasi
millennial adalah musik sebagai media untuk regulasi emosi sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Schäfer dan Sedlmeier (2010) bahwa alasan untuk mendengarkan musik
dapat dikarenakan kemampuan yang dimiliki musik untuk memunculkan, mengekspresikan,
mengubah, memperkuat, atau mengubah emosi yang sedang dirasakan pendengarnya.
Musik paling banyak didengarkan saat sendiri, berarti fungsi musik sebagai sarana
pergaulan tidak terlalu berpengaruh pada generasi millennial. Hal ini berbeda dengan temuan
dari Inglefield (1972) pendengar musik di usia remaja dan dewasa muda cenderung
menunjukkan konformitas dalam musik yang mereka pilih untuk didengarkan, demi
penerimaan kelompok. Atau hasil ini juga dapat mengindikasikan bahwa preferensi musik
seseorang dapat berbeda saat mereka mendengarkannya sendiri, dengan saat bersama teman
atau orang lain.
Tidak ditemukan perbedaan skor total empati yang signifikan berdasarkan jenis
kelamin. Hal ini berbeda dengan temuan terdahulu oleh Lennon dan Eisenberg (1987) yang
menunjukkan bahwa perempuan lebih empatik dibandingkan laki-laki. Selain itu, juga tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan antara usia responden dengan tingkat empati yang
dimiliki dapat dikarenakan rentang usia yang homogen. Selain itu, pemahaman mengenai
klasifikasi genre di Indonesia masih tergolong rendah sehingga kesalahan persepsi responden
terhadap genre yang disebutkan sangat besar.
Hasil statistik deskriptif dari penelitian ini juga menunjukkan jumlah responden yang
memiliki skor empati di atas rata-rata sedikit lebih banyak (51,1%) dibandingkan dengan
responden yang memiliki skor rata-rata empati di bawah rata-rata, dibarengi dengan jumlah
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
responden yang memiliki preferensi musik eklektik lebih banyak (75,8%) dibandingkan
dengan responden yang memiliki preferensi musik yang tidak eklektik.
Saran
1) Proses pengambilan data pada penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan metode
penelitian lain, seperti eksperimen dimana responden mendengarkan langsung cuplikan
musik dengan berbagai karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisasi variabel pengganggu berupa perbedaan persepsi saat responden hanya
membaca nama genre musik tanpa mengetahui dengan tepat terdengar seperti apa genre
tersebut.
2) Melakukan elisitasi yang lebih mendalam mengenai budaya musik yang sedang
berkembang di Indonesia karena literatur yang aktual mengenai budaya musik di
Indonesia masih sangat terbatas.
3) Melakukan penelitian pada partisipan dengan karakteristik lain, seperti menambahkan
karakteristik pengalaman bermusik atau latar belakang pendidikan musik yang dimiliki
responden.
4) Hasil temuan dari penelitian ini dapat digunakan oleh institusi pendidikan dan orang tua
dapat disarankan untuk lebih giat memperkenalkan ragam karakteristik musik yang
seluas-luasnya sejak dini kepada generasi yang lebih muda
5) Sekolah dapat memperkenalkan mengenai beragam genre yang ada, dengan cara
memperdengarkan berbagai contoh jenis musik yang beragam, serta menceritakan
sejarah di balik berbagai jenis musik sambil menghindari melakukan stereotip.
6) Secara umum kepada masyarakat penikmat musik, disarankan untuk tidak menutup diri
dengan fanatisme pada satu genre tertentu saja, melainkan membuka diri untuk
mencoba memahami keindahan dari genre-genre yang berbeda.
Daftar Referensi Anderson, K. E. (2016). Getting acquainted with social networks and apps: Instagram’s instant appeal. Library
Hi Tech News, 33(3). Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological assessment and assessment. Bratman, G. N., Hamilton, J. P., & Daily, G. C. (2012). The impacts of nature experience on human cognitive
function and mental health. Annals of the New York Academy of Sciences, 1249(1), 118-136. Butrus, N., & Witenberg, R. T. (2013). Some personality predictors of tolerance to human diversity: The roles of
openness, agreeableness, and empathy. Australian Psychologist, 48(4), 290-298. Boer, D., Fischer, R., Strack, M., Bond, M. H., Lo, E., & Lam, J. (2011). How shared preferences in music create
bonds between people: Values as the missing link. Personality and Social Psychology Bulletin, 0146167211407521.
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Bonneville-Roussy, A., Rentfrow, P. J., Xu, M. K., & Potter, J. (2013). Music through the ages: Trends in musical engagement and preferences from adolescence through middle adulthood. Journal of personality and social psychology, 105(4), 703.
Caravita, S., Di Blasio, P., & Salmivalli, C. (2009). Unique and interactive effects of empathy and social status on involvement in bullying. Social development, 18(1), 140-163.
Chauhan, M., & Rai, P. K. (2013). Impact of self-talk and personality on empathy. Indian Journal of Health and Wellbeing, 4(8), 1497.
Clark, S. S., & Giacomantonio, S. (2013). Music preferences and empathy: Toward predicting prosocial behavior. Psychomusicology: Music, Mind, and Brain, 23(3), 177.
Cozolino, L. (2010). The neuroscience of psychotherapy: Healing the social brain (2nd ed.). New York, NY, US: W W Norton & Co.
Cwir, D., Carr, P. B., Walton, G. M., & Spencer, S. J. (2011). Your heart makes my heart move: Cues of social connectedness cause shared emotions and physiological states among strangers. Journal of Experimental Social Psychology, 47(3), 661-664.
Davis, M. H. (1980). A multidimensional approach to individual differences in empathy. Davis, M. (1983). Measuring individual differences in empathy: Evidence for a multidimensional approach.
Journal of Personality and Social Psychology, 44(1), 113-126. Davis, M. H., Conklin, L., Smith, A., & Luce, C. (1996). Effect of perspective taking on the cognitive
representation of persons: a merging of self and other. Journal of personality and social psychology, 70(4), 713.
Decety, J., & Jackson, P. L. (2004). The functional architecture of human empathy. Behavioral and cognitive neuroscience reviews, 3(2), 71-100.
Dolby, N. (2014). The Future of Empathy: Teaching the Millennial Generation. Journal of College and Character, 15(1), 39-44.
Duan, C., Wei, M., & Wang, L. (2008). The role of individualism-collectivism in empathy: An exploratory study. Asian Journal of Counselling, 15(1), 57-81.
Eisenberg, N. (1995). Prosocial development: A multifaceted model. Moral development: An introduction, 401-429.
Eisenberg, N., Carlo, G., Murphy, B., & Van Court, P. (1995). Prosocial development in late adolescence: A longitudinal study. Child Development, 66, 1179–1197.
Eisenberg, N., & Mussen, P. H. (1989). The roots of prosocial behavior in children. Cambridge University Press. Erikson, E. H. (1980). Elements of a psychoanalytic theory of psychosocial development. The course of life:
Psychoanalytic contributions toward understanding personality development, 1, 11-61. Feshbach, N. D. (1978). Studies of empathic behavior in children. Progress in experimental personality
research, 8, 1-47. Frías-Navarro, D. (2009). Davis' Interpersonal Reactivity Index (IRI). Manuscript no published. Universidad de
Valencia. Spain. Retreieved April 2016, from http://www.uv.es/~friasnav/unidinves.html Fountain, A. G., & Lyons, W. B. (2003). Century to millennial scale climate change and ecosystem response in
Taylor Valley, Antarctica. Climate Variability and Ecosystem Response at Long-Term Ecological Research Sites, 319-340.
Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences. Belmont, CA: Wadsworth Cenage Learning.
Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2013). Statistics for the behavioral sciences. Cengage Learning. Green, C. (2007). Millennial Generation Students: Parental Involvement, Responsibility, and Entitlement
(Doctoral dissertation, Westminster College). Greenberg, D. M., Rentfrow, P. J., & Baron-Cohen, S. (2015). Can music increase empathy? Interpreting
musical experience through the empathizing–systemizing (ES) theory. Empirical Musicology Review, 10(1-2), 80-95.
Gürgen, E. T. (2015). Musical preference and music education: Musical preferences of Turkish university students and their levels in genre identification. International Journal of Music Education, 0255761415619390.
Hargreaves, D. J., North, A. C., & Tarrant, M. (2015). How and why do musical preferences change in childhood and adolescence?. The Child as Musician: A Handbook of Musical Development, 303.
Hays, T. & Minichiello, V. (2005). The meaning of music in the lives of older people: A qualitative study. Psychology of Music, 33(4), 437–451.
Hoffman, M. L. (2001). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. Cambridge University Press.
Hoffman, M. L. (2008). Empathy and prosocial behavior. Handbook of emotions, 3, 440-455. Hogan, R. (1969). Development of an empathy scale. Journal of consulting and clinical psychology, 33(3), 307.
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Holbrook, M. B., & Schindler, R. M. (1989). Some exploratory findings on the development of musical tastes. Journal of Consumer Research, 16(1), 119-124.
Inglefield, H. G. (1972). Conformity behavior reflected in the musical preference of adolescents. Contributions to Music Education, 56-67.
Jones, S. M., Weissbourd, R., Bouffard, S., Kahn, J., & Ross, T. (2014). How to build empathy and strengthen your school community. Cambridge, MA: Harvard Graduate School of Education.
Kaman, C. (2016). What country has the most bullies? Retrieved October 11, 2016, from http://www.latitudenews.com/story/what-country-has-the-most-bullies-2/
Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Foundations of Behavioral Research: Wadsworth, Thomson Learning. Northridge, CA.
Konrath, S. H., O'Brien, E. H., & Hsing, C. (2010). Changes in dispositional empathy in American college students over time: A meta-analysis. Personality and Social Psychology Review.
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: SAGE. Kumar, R. (2011). Research methodology: A step-by-step guide for beginners (3rd ed.). London: SAGE. Leary, M. R., Twenge, J. M., & Quinlivan, E. (2006). Interpersonal rejection as a determinant of anger and
aggression. Personality and Social Psychology Review, 10(2), 111-132. LeBlanc, A. (1982). An interactive theory of music preference. Journal of Music Therapy, 19(1), 28-45. Lennon, R. & Eisenberg, N. (1987). gender and age differences in empathy and sympathy. In N. Eisenberg & J.
Strayer (Eds.), Empathy and its development. Cambridge studies in social and developmental development (hal. 195-217). New York: Cambridge University Press.
Livingstone, R. S., & Thompson, W. F. (2009). The emergence of music from the Theory of Mind. Musicae Scientiae, 13(2 suppl), 83-115.
McMahon, M., & Pospisil, R. (2005). Laptops for a digital lifestyle: Millennial students and wireless mobile technologies. Proceedings of the Australasian Society for Computers in Learning in Tertiary Education, 421-431.
McWhirter, B. T., Besett-Alesch, T. M., Horibata, J., & Gat, I. (2002). Loneliness in high risk adolescents: The role of coping, self-esteem, and empathy. Journal of Youth Studies, 5(1), 69-84.
Metz, A. L. (2014). Back to nature: the impact of nature relatedness on empathy and narcissism in the millennial generation.
Miller, P. A., & Eisenberg, N. (1988). The relation of empathy to aggressive and externalizing/antisocial behavior. Psychological bulletin, 103(3), 324.
Muslimah, S. (2016). KPAI Lapor Kominfo Soal Heboh Akun Awkarin dan Anya Geraldine. Retrieved October 11, 2016, from http://inet.detik.com/read/2016/09/20/133029/3302125/398/kpai-lapor-kominfo-soal-heboh-akun-awkarin-dan-anya-geraldine
Oblinger, D. (2003). Boomers gen-xers millennials. EDUCAUSE review, 500(4), 37-47. Papalia, D. E. & Feldman R. D. (2012). Experience Human Development, 12th edition. New York:
McGraw-Hill Perkins, S. (2008). Personality and Music: An Examination of the Five-Factor Model in Conjunction with
Musical Preference. Rentfrow, P. J., Goldberg, L. R., & Levitin, D. J. (2011). The structure of musical preferences: a five-factor
model. Journal of personality and social psychology, 100(6), 1139. Rentfrow, P. J., & Gosling, S. D. (2003). The do re mi's of everyday life: the structure and personality correlates
of music preferences. Journal of personality and social psychology, 84(6), 1236. Rentfrow, P. J. & Gosling, S. D. (2013). Short Test of Music Preferences (STOMP). Measurement Instrument
Database for the Social Science. Retrieved from www.midss.ie Rifauddin, M. (2016). Fenomena cyberbulling pada remaja. Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan
Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 4(1), 35-44. Rabinowitch, T. C., Cross, I., & Burnard, P. (2013). Long-term musical group interaction has a positive
influence on empathy in children. Psychology of Music, 41(4), 484-498. Robinson, R., Roberts, W. L., Strayer, J., & Koopman, R. (2007). Empathy and Emotional Responsiveness in
Delinquent and Non-deliquent Adolescents. Social Development, 16(3), 555-579. Rudman, L. A., & Goodwin, S. A. (2004). Gender differences in automatic in-group bias: Why do women like
women more than men like men?. Journal of personality and social psychology, 87(4), 494. Schäfer, T., & Sedlmeier, P. (2010). What makes us like music? Determinants of music preference. Psychology
of Aesthetics, Creativity, and the Arts, 4(4), 223. Schwartz, K. D., & Fouts, G. T. (2003). Music preferences, personality style, and developmental issues of
adolescents. Journal of youth and adolescence, 32(3), 205-213. Selhub, E. M., & Logan, A. C. (2012). Your brain on nature: The science of nature's influence on your health,
happiness and vitality. John Wiley & Sons. Simpson, J. A., Weiner, E. S., & Proffitt, M. (1993). Oxford English dictionary. Oxford: Clarendon Press.
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016
Staum, M. J., & Brotons, M. (2000). The effect of music amplitude on the relaxation response. Journal of Music Therapy, 37(1), 22-39.
Strauss, W., & Howe, N. (2000). Millennials rising: The next great generation. New York: Vintage. ter Bogt, T. F., Delsing, M. J., van Zalk, M., Christenson, P. G., & Meeus, W. H. (2011). Intergenerational
continuity of taste: parental and adolescent music preferences. Social Forces, 90(1), 297-319. Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The narcissism epidemic: Living in the age of entitlement. Simon and
Schuster. Van Boven, L., McGraw, A. P., & Warren, C. (2011). Values and Preferences: Defining Preference Contruction.
Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science, 2, 193-205. Van Lange, P. A. (2008). Does empathy trigger only altruistic motivation? How about selflessness or justice?
Emotion, 8(6), 766. Wolff, E. W., Chappellaz, J., Blunier, T., Rasmussen, S. O., & Svensson, A. (2010). Millennial-scale variability
during the last glacial: The ice core record. Quaternary Science Reviews, 29(21), 2828-2838. Wöllner, C. (2012). Is empathy related to the perception of emotional expression in music? A multimodal time-
series analysis. Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts, 6(3), 214. Zentner, M., Grandjean, D., & Scherer, K. R. (2008). Emotions evoked by the sound of music: characterization,
classification, and measurement. Emotion, 8(4), 494.
Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016