hubungan antara preferensi musik eklektik dan empati pada

22
Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada Mahasiswa Generasi Millennial Stefani Emanuella dan Linda Primana 1. Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia 2. Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Mahasiswa generasi millennial menghadapi tantangan krisis empati di dalam lingkungan dimana teknologi berkembang pesat, ketersediaan informasi begitu kaya, dan berbagai media digital mengelilingi generasi ini. Hal ini menjadikan generasi ini rentan terhadap berbagai tekanan psikologis yang muncul dari pertarungan eksistensi diri intragenerasi dan prasangka dari generasi sebelumnya. Tekanan tersebut dapat dihindarkan dengan membangun individu yang memiliki empati yang baik. Musik memiliki kapasitas untuk memaparkan pendengarnya dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Individu dengan preferensi musik eklektik— mereka yang tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik manapun, melainkan, menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik—merupakan jenis pendengar yang empatik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara preferensi musik eklektik dan empati pada mahasiswa generasi millennial. Penelitian ini dilakukan pada 356 partisipan. Preferensi musik diukur menggunakan Short Test of Music Preferences (STOMP) oleh Rentfrow dan Gosling (2013) yang dimodifikasi, sedangkan Interpersonal Reactivity Index (IRI) milik Davis (1980) digunakan untuk mengukur empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara preferensi musik eklektik dan empati (r= 0,164; p= 0.002, signifikan pada L.o.S 0.01). Penelitian selanjutnya diharapkan memerhatikan karakteristik seperti pengalaman dan kemampuan bermusik responden, metode pengambilan data yang digunakan, serta melakukan elisitasi yang lebih mendalam mengenai budaya musik yang sedang berkembang pada masanya. Kata kunci: empati; preferensi musik; millennial The Relationship Between Eclectic Music Preference And Empathy In College Students Of Millennial Generation Abstract College students of millennial generation are challenged with empathy crisis in an environment with vast development of technology, rich availableness of information, and digital medias surrounding this generation. This circumstances make this generation prone to many psychological pressures which emerge from the battle of self-existance among millennials themselves and prejudice from the previous generations. This pressure can be escaped by equipping each individual with empathy. Music has a capacity to expose its listeners with diverse pespectives. The ones who has an eclectic music preference—whom does not have strong preference to any music cathegory, but showing the flexibility in listening to diverse kind of musics—are the empathetic individuals. This research aims to find the correlation between eclectic music preference and empathy in college students of millennial generation. This research was conducted to 356 participants. Respondents’ music preference was measured by a modified version of Short Test of Music Preferences (STOMP) from Rentfrow and Gosling (2013), and Interpersonal Reactivity Index (IRI) by Davis (1980) was used to measure respondents’ empathy. The result of this research showed that there is a significant correlation between eclectic music preference and empathy (r= 0,164; p= 0.002, significant at L.o.S 0.01). Suggestions for further research is to notice respondents’ characteristics, such as respondents’ background at music education or performing, consider other measurement method, and carry out deeper elicitation about the developing music culture at the current time. Keywords: empathy; music preference; millennial Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada Mahasiswa Generasi Millennial

Stefani Emanuella dan Linda Primana

1. Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia2. Faculty of Psychology, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Mahasiswa generasi millennial menghadapi tantangan krisis empati di dalam lingkungan dimana teknologi berkembang pesat, ketersediaan informasi begitu kaya, dan berbagai media digital mengelilingi generasi ini. Hal ini menjadikan generasi ini rentan terhadap berbagai tekanan psikologis yang muncul dari pertarungan eksistensi diri intragenerasi dan prasangka dari generasi sebelumnya. Tekanan tersebut dapat dihindarkan dengan membangun individu yang memiliki empati yang baik. Musik memiliki kapasitas untuk memaparkan pendengarnya dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Individu dengan preferensi musik eklektik—mereka yang tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik manapun, melainkan, menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik—merupakan jenis pendengar yang empatik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara preferensi musik eklektik dan empati pada mahasiswa generasi millennial. Penelitian ini dilakukan pada 356 partisipan. Preferensi musik diukur menggunakan Short Test of Music Preferences (STOMP) oleh Rentfrow dan Gosling (2013) yang dimodifikasi, sedangkan Interpersonal Reactivity Index (IRI) milik Davis (1980) digunakan untuk mengukur empati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara preferensi musik eklektik dan empati (r= 0,164; p= 0.002, signifikan pada L.o.S 0.01). Penelitian selanjutnya diharapkan memerhatikan karakteristik seperti pengalaman dan kemampuan bermusik responden, metode pengambilan data yang digunakan, serta melakukan elisitasi yang lebih mendalam mengenai budaya musik yang sedang berkembang pada masanya.

Kata kunci: empati; preferensi musik; millennial

The Relationship Between Eclectic Music Preference And Empathy In College Students Of Millennial Generation

Abstract

College students of millennial generation are challenged with empathy crisis in an environment with vast development of technology, rich availableness of information, and digital medias surrounding this generation. This circumstances make this generation prone to many psychological pressures which emerge from the battle of self-existance among millennials themselves and prejudice from the previous generations. This pressure can be escaped by equipping each individual with empathy. Music has a capacity to expose its listeners with diverse pespectives. The ones who has an eclectic music preference—whom does not have strong preference to any music cathegory, but showing the flexibility in listening to diverse kind of musics—are the empathetic individuals. This research aims to find the correlation between eclectic music preference and empathy in college students of millennial generation. This research was conducted to 356 participants. Respondents’ music preference was measured by a modified version of Short Test of Music Preferences (STOMP) from Rentfrow and Gosling (2013), and Interpersonal Reactivity Index (IRI) by Davis (1980) was used to measure respondents’ empathy. The result of this research showed that there is a significant correlation between eclectic music preference and empathy (r= 0,164; p= 0.002, significant at L.o.S 0.01). Suggestions for further research is to notice respondents’ characteristics, such as respondents’ background at music education or performing, consider other measurement method, and carry out deeper elicitation about the developing music culture at the current time.

Keywords: empathy; music preference; millennial

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 2: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Pendahuluan

Generasi millennial adalah mereka yang lahir pada dan setelah tahun 1982 (Strauss &

Howe, 2000) hingga tahun 2002 (Coomes et al., 2004; dalam Green, 2007), generasi ini kini

berada pada tahap remaja dan dewasa muda, dan merupakan generasi yang hidup dengan

paparan teknologi yang tinggi, informasi yang kaya, serta berbagai media digital mengelilingi

mereka. Menurut survey dari We Are Social data pengguna internet di Indonesia pada Januari

2016 mencapai 88,1 juta dengan 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif,

dan hampir 50% penggunanya berada pada rentang usia 13-29 tahun (Rifauddin, 2016). Data

menurut Anderson (2016) menunjukkan bahwa Facebook, sejak pertama kali dibuka bagi

seluruh masyarakat dunia untuk dapat bergabung sejak September 2006, tidak kehilangan

minat dari para penggunanya hingga saat ini. Dibarengi dengan pertumbuhan pesat

Instagram, yang hingga kini berhasil mencapai 400 juta pengguna sejak Juli 2012,

menggantikan posisi Twitter sebagai jejaring sosial terbesar kedua saat ini (Gaudin, 2015;

dalam Anderson, 2016).

Bebagai platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, seakan

mendesak generasi millennial untuk terus menunjukkan eksistensi diri dari waktu ke waktu.

Hal ini dapat berimplikasi negatif karena seperti yang dikatakan oleh Twenge dan Campbell

(2009) bahwa generasi millennial mengalami “epidemi narsisisme”, yaitu kecenderungan

individu untuk membentuk pandangan positif yang berlebihan terhadap diri, biasanya terkait

dengan betapa berkuasa, penting, dan menarik dirinya, dibarengi dengan minat yang rendah

untuk membangun kedekatan emosional dengan orang lain, dan regulasi diri yang tujuan

utamanya untuk meninggikan diri, misalnya dengan mencari perhatian (attention-seeking),

mengakui karya orang lain sebagai miliknya, mengejar status sosial yang tinggi melalui

hubungan romantis, atau berusaha mencari pujian dari publik (seeking public glory).

Belakangan ini, marak kasus terkait selebgram atau selebriti Instagram yang mencari

popularitas dengan mengunggah foto maupun artikel yang kontennya dianggap merusak

moral bangsa, sehingga para orangtua, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) tergerak untuk

mengambil tindakan (inet.detik.com, 2016). Gejala ini menunjukkan adanya karakteristik

narsistik yang ekstrim, namun tak hanya pada para selebgram, karena sesungguhnya upaya

berlomba-lomba membentuk pencitraan diri demi mendapatkan pengakuan dari publik

melalui media sosial merupakan fenomena yang terjadi secara pervasif pada generasi

millennial. Tantangan bagi generasi yang menikmati exposure tinggi akan berbagai hal di

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 3: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

dunia maya ini—selain untuk lebih bijak dalam memilah dan bereaksi terhadap informasi

yang tersedia—adalah untuk tetap bertanggung jawab terhadap postingan, baik dalam bentuk

foto, video, atau komentar yang mereka unggah sendiri ke media sosial.

Pola perilaku yang mengkhawatirkan pada generasi ini juga disoroti oleh Metz (2014)

yang menyebutkan bahwa generasi millennial menunjukkan pola sifat lebih narsistik, empati

yang lebih rendah, dan kepedulian yang kurang terhadap orang lain dan lingkungan. Situasi

ini tidak sekadar mengakibatkan tebentuknya skema dan sentimen dari generasi sebelumnya

terhadap generasi millennial, melainkan juga tekanan intragenerasi, di tengah perlombaan

pembuktian eksistensi di dunia maya, berupa perilaku agresif seperti cyberbullying. Pada

tahun 2010, istilah cyberbullying ditambahkan ke dalam Oxford English Dictionary, sebagai

istilah yang merujuk pada penggunaan teknologi informasi untuk menggertak orang lain

dengan mengirim postingan yang bersifat mengintimidasi atau mengancam. Survey global

yang diadakan oleh Latitude News (2016), menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara

dengan kasus cyberbullying tertinggi di dunia setelah Jepang (Kaman, 2016).

Di sisi lain, masa remaja memang merupakan masa penuh dinamika bagi setiap orang,

dimana terjadi transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Papalia, 2012). Alasan

seorang remaja melakukan perilaku agresif, antara lain untuk menunjukkan kemandirian dan

otonomi (Bonneville-Roussy et al, 2013). Oleh sebab itu, perilaku agresif, dalam kasus ini

cyberbullying, tidak cukup ditanggulangi hanya dengan memperketat pengawasan dan

memberlakukan tindakan represif dari orang tua maupun figur otoritas. Selain karena jumlah

situs yang dapat diakses melalui media digital saat ini tidak terbatas jumlahnya untuk

diberikan pengawasan satu per satu, tindakan represif pun terbukti tidak cocok untuk

menangani orang-orang muda yang sedang ingin menunjukkan kemandirian dan otonomi

(Robinson, et al., 2007), justru kecenderungan untuk membangkang (rebelling) akan muncul

jika orang muda merasa terlalu didesak dengan aturan (ter Bogt et al., 2011). Hal yang lebih

efektif untuk melindungi remaja dari berbagai tantangan modern ini terletak pada

pembentukan pribadi remaja itu sendiri, yaitu dengan menumbuhkan sikap empati.

Berbagai perilaku agresif dan antisosial terbukti dapat dicegah dengan menumbuhkan

empati pada diri remaja (Miller & Eisenberg, 1988). Gough (1948; dalam Miller & Eisenberg,

1988) dan Hare (1970; dalam Miller & Eisenberg, 1988) secara konsisten menyatakan bahwa

perilaku antisosial merupakan hasil dari kurangnya kemampuan mengambil perspektif lain,

yang berasosiasi dengan tingkat empati yang rendah. Membiasakan diri untuk berempati

dapat melatih seseorang untuk memiliki pemikiran yang lebih terbuka (Butrus & Witenberg,

2013). Pemikiran yang lebih terbuka dapat membantu seseorang untuk lebih mudah menerima

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 4: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

kritik, umpan balik, serta masukan dari orang lain. Tak hanya itu, remaja yang memiliki

empati akan terhindar dari perbuatan ceroboh (reckless behavior), karena saat berempati,

seseorang akan mampu membayangkan sebuah tindakan jika dilihat dari berbagai sudut

pandang (Davis et al., 1996), dari perspektif orang tua, teman, maupun orang lain dari latar

belakang suku, agama, ras, keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Penelitian terdahulu telah

membuktikan bahwa empati merupakan awal dari sikap toleransi (Vogt, 1997; Butrus &

Witenberg, 2013), sikap prososial (Eisenberg et al., 1995), sikap altruistik (van Lange, 2008),

dan berhubungan dengan penurunan agresi interpersonal (Feshbach, 1978).

Sayangnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Konrath et al. (2010) menunjukkan

bahwa mahasiswa yang termasuk ke dalam generasi millennial menunjukkan tingkat empati

yang rendah, yaitu menurun sekitar 48% dibandingkan dengan generasi sebelumnya sekitar

20 hingga 30 tahun sebelumnya. Generasi millennial juga mengalami peningkatan pengunaan

teknologi dan penurunan waktu yang dihabiskan di luar ruangan (Bratman, Hamilton, &

Daily, 2012). Turkle (2011; Dolby, 2014), melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan

bahwa generasi millennial punya kecenderungan untuk menghindar dari intimasi komunikasi

face-to-face. Selhub dan Logan (2012) menemukan hubungan antara penggunaan internet

yang terlalu banyak dengan skor kecerdasan emosional yang rendah, yang berakibat pada

kemampuan membaca isyarat verbal maupun non verbal untuk memonitor keadaan emosional

orang lain berkurang.

Munculnya gejala tersebut pada generasi millennial merupakan hal yang

mengkhawatirkan karena empati sendiri merupakan sebuah karakteristik kunci yang penting

untuk dimiliki. Seseorang dengan kemampuan berempati yang baik dapat menjadi anggota

masyarakat yang lebih bertanggung jawab dan kooperatif (Jones, 2014). Penelitian Jones

(2014) membuktikan bahwa remaja yang memiliki empati dapat menunjukkan keterlibatan

dan komitmen yang lebih baik di dalam kelas, memiliki pencapaian akademis yang lebih

tinggi, keterampilan komunikasi yang lebih baik, kemungkinan lebih rendah melakukan

bullying, lebih tidak agresif, dan menunjukkan hubungan interpersonal yang lebih positif.

Empati juga penting dimiliki oleh generasi millennial yang akan memasuki dunia kerja karena

kecenderungan untuk mencapai kesuksesan karir berhubungan dengan kemampuan untuk

dapat memahami dan bekerja bersama orang lain dengan lebih baik. Selain itu, generasi yang

sebentar lagi juga akan memasuki tahap perkembangan selanjutnya, yaitu intimacy (Erikson,

1980), memerlukan kemampuan menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Empati

juga dipandang sebagai kemampuan yang dapat menyelamatkan hubungan antara suami dan

istri, juga hubungan antara orangtua dengan anak (Cozolino, 2010).

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 5: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Masalah yang sering dihadapi dalam menumbuhkan empati pada diri seseorang adalah

kenyataan bahwa orang akan lebih mudah berempati pada orang lain yang memiliki

kemiripan (similiar) atau kedekatan (proximity) dengan dirinya, maka untuk berempati pada

orang dari latar belakang, kepercayaan, dan karakteristik yang berbeda menjadi sebuah

tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, mengamalkan perilaku empatik bukanlah hal yang

mudah karena tidak cukup hanya sampai pada tahap mampu mengubah perspektif sebagai

orang lain, namun diperlukan juga kepedulian dan komitmen untuk benar-benar bertindak

(Jones, 2014).

Salah satu cara yang ditemukan oleh para peneliti untuk meningkatkan empati, yakni

melalui exposure (Cozolino, 2010; dalam Metz, 2014). Studi terdahulu telah menyatakan

bahwa bias implisit, bahkan rasisme, dapat dikurangi dengan memperbanyak kontak dengan

individu dari berbagai budaya (Aberson, Shoemaker, & Tomolillo, 2004; dalam Rudman,

2004). Pada dasarnya, adanya kontak dapat meningkatkan sense of connection (Cwir et al.,

2011), sama halnya dengan membiasakan diri terpapar dengan beragam budaya, kepribadian,

dan sudut pandang dapat menghindarkan seseorang dari sikap tidak empatik. Karya musik

merupakan wadah dimana beragam budaya, kepribadian, dan pandangan diekspresikan.

Musisi menciptakan karya-karya musik untuk menyalurkan emosi dan pemikirannya yang

saling berbeda satu sama lain. Pengarang lagu dan komposer dari genre yang berbeda akan

memiliki gaya dan cara penyampaian pesan melalui musik yang beragam pula. Dengan

demikian, kesediaan seseorang untuk mendengarkan bermacam-macam genre musik yang

berbeda berarti bersedia memaparkan diri dengan keberagaman, dan membangun sense of

connection dengan berbagai jenis karya musik, beserta keberagaman karakteristik

pembuatnya.

Menurut Rentfrow, Goldberg, dan Levitin (2011) terdapat kategori karakteristik musik

yang memiliki atribut musikal maupun atribut psikologis yang saling berbeda dan dapat

diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok. Kategori pertama terdiri dari jenis musik yang tenang

dan syahdu (Mellow), kedua merupakan kelompok jenis musik yang memunculkan kesan apa

adanya atau tidak berpura-pura (Unpretentious), ketiga merupakan jenis musik yang

komposisinya menunjukkan kesan cerdas, rumit, kompleks (Sophisticated), kemudian ada

jenis musik yang memunculkan kesan kuat dan tajam (Intense), dan terakhir jenis musik yang

mencerminkan kebebasan berekspresi sesuai dengan masanya (Contemporary). Kelima

kategori ini mencerminkan ragam jenis karya musik yang mengekspresikan karakteristik yang

berbeda-beda pula. Hal yang menjadi fokus pada penelitian ini terkait seberapa eklektik

preferensi musik seorang pendengar musik. Pendengar yang memiliki preferensi musik

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 6: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

eklektik menurut Schwartz dan Fouts (2003) merupakan istilah untuk pendengar musik yang

tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik yang terbatas, melainkan menunjukkan

fleksibilitas dalam mendengarkan musik.

Ketertarikan peneliti untuk meneliti preferensi musik eklektik muncul dari

ketidaksetujuan peneliti terhadap temuan pada penelitian sebelumnya mengenai preferensi

musik dan empati oleh Clark dan Giacomantonio (2013). Penelitian tersebut menyimpulkan

bahwa pendengar musik pada kategori preferensi musik tertentu (reflective complex dan

intense rebellious) memiliki empati yang lebih baik dibandingkan dengan pendengar dengan

preferensi musik yang lain (upbeat conventional), bahkan terdapat kategori preferensi tertentu

(energetic rhythmic) yang disimpulkan tidak berhubungan sama sekali dengan empati,

padahal persepsi, intepretasi, dan reaksi seseorang terhadap musik melibatkan komponen

afektif dan kognitif (Schäfer & Sedlmeier, 2010), sama halnya dengan komponen yang

dibutuhkan untuk berempati yang juga terdiri dari komponen afektif dan kognitif (Davis,

1983). Terlebih lagi, menurut peneliti tidak ada preferensi yang salah atau benar. Preferensi

seseorang terhadap sesuatu tidak seharusnya menumbuhkan sikap memandang bahwa

pilihannya lebih baik atau menganggap pilihan orang lain yang berbeda dengan dirinya lebih

buruk. Jika salah satu dimensi empati merupakan kemampuan untuk menghargai berbagai

perspektif, maka melalui seberapa luas seseorang mampu mengapresiasi beragam jenis musik

yang berbeda-beda, justru akan lebih tergambar seberapa mampu seseorang berempati dengan

orang lain dari eklektisitas preferensi musiknya.

Rogers (1942; dalam Cozolino, 2010) menyebutkan bahwa mengurangi sikap defensif

juga dapat membantu seseorang berempati, maka dugaan peneliti diperkuat dengan adanya

sikap-sikap empatik yang dapat terasah jika seseorang tidak fanatik terhadap satu jenis musik

saja melainkan menunjukkan fleksibilitasnya menangkap keindahan dari berbagai jenis

musik. Komponen-komponen lain yang disebutkan oleh Cozolino (2010) dapat meningkatkan

empati, seperti memperluas lingkup kepedulian terhadap berbagai macam jenis individu,

mendengarkan orang lain secara lebih mendalam melalui penghayatan terhadap ekspresi,

melihat suatu situasi sosial secara lebih adil, mampu menyadari adanya stereotip dan dapat

menolaknya, terlatih untuk mengatur perasaan-perasaan yang sulit dikendalikan seperti

kesedihan, kemarahan, dan frustrasi, menurut peneliti dapat ditemukan pada pendengar musik

berpreferensi eklektik.

Besarnya peran musik terhadap pembentukan diri seseorang telah tercatat sejak tahun

1985, oleh Davis (dalam Schwartz & Fouts, 2003) yang telah menyebutkan bahwa waktu

yang dihabiskan seseorang di masa remajanya untuk mendengarkan musik, dapat mencapai

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 7: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

10.000 jam atau setara dengan jumlah waktu yang dilaluinya di bangku sekolah sejak SMP

hingga ia lulus SMA. Ditambah dengan temuan McMahon dan Pospisil (2005) yang

menunjukkan bahwa generasi millennial menggunakan laptop sebanyak 58% untuk

mengunduh musik dan video. Rentfrow dan Gosling (2003; dalam Zentner, Grandjean &

Scherer, 2008) pun menyebutkan bahwa kegiatan paling rekreatif, bukan lagi menonton

televisi atau film, atau membaca buku, melainkan mendengarkan musik. Hasil yang serupa

pun terlihat dari survey yang peneliti lakukan pada bulan September 2016 di Jakarta. Dalam

survey tersebut, sebanyak 162 remaja dan dewasa muda dari rentang usia 11–30 tahun

menunjukkan bahwa musik menduduki posisi pertama yaitu sebanyak 28% sebagai kegiatan

menyenangkan (leisure activity) yang paling digemari, diikuti dengan menonton (16%), jalan-

jalan (16%), membaca (14%), bermain game (11%), berolahraga (6%), dan menggunakan

media sosial (5%). Dengan adanya survey tersebut, terlihat begitu besarnya waktu yang

diluangkan seseorang untuk musik, sehingga terbuka kemungkinan pengaruh yang besar pula

dari musik kepada pendengarnya. Besarnya pengaruh musik dalam kehidupan pendengarnya

menunjukkan potensi yang besar pula bahwa musik juga mampu membentuk kemampuan

berempati seseorang.

Generasi millennial akan menempuh tantangan yang berbeda, yang datang dari interaksi

mereka di media sosial yang sebelumnya tidak dialami oleh generasi sebelumnya. Demi

mencapai kesehatan mental dan well-being, generasi ini perlu dibekali dengan karakteristik

kunci yang dapat memampukan mereka berkembang secara sehat. Peneliti tertarik untuk

meneliti ada atau tidaknya pola tertentu yang tergambar dari eklektisitas preferensi musik

yang dimiliki oleh generasi millennial terhadap tingkat empati mereka, karena peneliti melihat

adanya peluang menumbuhkan empati melalui keberagaman musik yang dikonsumsi

seseorang. Lebih jauh lagi, remaja dan orang muda akan menjadi agen perubahan, selain bagi

diri mereka sendiri, juga komunitasnya, sehingga mentalitas dan moralitas yang baik dengan

berbekal empati menjadi hal yang esensial untuk pertahanan dan perkembangan di masa

mendatang, dimana generasi ini akan hidup dengan keberagaman di segala aspek kehidupan.

Melatih kemampuan berempati melalui hal yang disenangi—dalam penelitian ini musik—

dapat menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan.

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 8: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Tinjauan Teoritis

Musik menurut The Oxford Concise Dictionary didefinisikan sebagai seni yang

mengkombinasikan suara, dari suara manusia atau instrumen untuk mencapai keindahan

bentuk dan ekspresi emosi. Van Boven, McGraw, dan Warren (2011) mendefinisikan

preferensi sebagai salah satu bentuk pengambilan keputusan dimana seseorang melakukan

proses perhitungan terkait menilai sesuatu lebih menyenangkan dibandingkan pilihan lain, dan

terdapat expressed preference dan underlying preference. Expressed preference merupakan

hasil proses perhitungan—usaha mengintegrasikan informasi dari memori, observasi, dan

kepercayaan yang dimiliki pengamat—untuk akhirnya mendeklarasikan penilaian terhadap

sesuatu, sedangkan underlying preference merupakan sikap, biasanya terbentuk dari

keputusan yang telah terbentuk sejak lampau, atau berdasarkan insting. Dengan kata lain,

preferensi musik dapat dinyatakan sebagai sebuah penilaian yang dibuat oleh seseorang secara

sadar—berdasarkan informasi memori, observasi, kepercayaan yang terbentuk terhadap

konteks—maupun secara tidak sadar berdasarkan karakteristik psikologis maupun insting

seseorang terhadap karya seni yang mengombinasikan suara, dari suara manusia atau

instrumen untuk mencapai keindahan bentuk dan ekspresi emosi.

LeBlanc (1982) mendefinisikan preferensi musik sebagai sebuah keputusan untuk

menyukai karya musik, atas penilaian yang terbentuk kepada karya musik tersebut, yang

dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar pendengar, untuk kemudian disaring oleh karakteristik

pendengar. Penilaian seseorang terhadap karya musik yang dimaksud muncul dengan

mempertimbangkan kompleksitas karya musik tersebut, makna dari karya tersebut bagi

pendengar, dan kualitas penampilan pemusik yang membawakan karya tersebut. Selain itu,

lingkungan sekitar pendengar musik yang dimaksud terdiri dari peers, keluarga, guru, dan

proses conditioning seperti repetisi dan familiaritas, sedangkan karakteristik pendengar terdiri

dari kemampuan bermusik, kepribadian, jenis kelamin, kelompok etnis, dan kedewasaan

pendengar. Schwartz dan Fouts (2003) mendefinisikan preferensi musik eklektik sebagai

istilah untuk pendengar musik yang tidak memiliki preferensi yang kuat pada jenis musik

yang terbatas, melainkan menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik.

Terdapat beberapa kategori karakteristik genre musik yang dikelompokkan oleh

Rentfrow, Goldberg, dan Levitin (2011) ke dalam 5 kategori yang membentuk akronim

MUSIC, yaitu Mellow, Unpretentious, Sophisticated, Intense, dan Contemporary. Kategori

karakteristik Mellow biasanya merupakan musik-musik yang setelah didengarkan memberi

efek menenangkan. Konser-konser dimana karakteristik genre ini ditampilkan dapat membuat

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 9: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

pendengarnya berdansa atau ikut bernyanyi bersama musisi yang membawakan karya musik

(Greenberg, Rentfrow, & Baron Cohen, 2015). Kategori ini terdiri dari genre RnB, Soul, lagu

religi/rohani, dan New Age. Kategori kedua, yaitu kategori karakteristik Unpretentious, terdiri

dari genre Blues, Country, Keroncong, Campursari, Dangdut, lagu daerah, lagu nasional, dan

lagu anak. Ketiga, kategori karakteristik Sophisticated terdiri dari segala jenis musik yang

komposisinya menunjukkan kesan berpengalaman, kecerdasan komposisi, rumit, dan tidak

sederhana. Terdiri dari genre jazz, swing, klasik instrumental, opera, Broadway, marching

band, soundtrack/theme songs, dan Disney. Kategori karakteristik Intense merupakan segala

jenis musik yang memunculkan kesan kuat dan tajam. Sesuai untuk dinyanyikan atau

diteriakkan bersama kerumunan, dimana para penggemarnya dapat melompat, mendorong,

maupun menggendong satu sama lain saat konser dengan karakteristik genre musik ini

diadakan (Greenberg, Rentfrow, & Baron Cohen, 2015). Terdiri dari genre punk, heavy metal,

alternative rock, dan rock. Terakhir, kategori karakteristik Contemporary merupakan segala

jenis musik yang mencerminkan kebebasan berekpresi sesuai dengan zamannya. Dapat berupa

hasil eksperimen dari genre lain yang lebih murni. Terdiri dari pop, rap/hiphop, reggae, pop

rock, K-Pop, EDM, samba, dan indie.

Berbagai karakteristik musik yang berbeda-beda tersebut biasanya juga memiliki

penggemar dengan karakteristiknya tersendiri, namun pendengar dengan preferensi musik

eklektik merupakan istilah untuk kelompok pendengar musik yang tidak memiliki preferensi

yang kuat pada jenis musik dengan karakteristik yang terbatas saja, melainkan menunjukkan

fleksibilitas yang tinggi untuk mendengarkan banyak jenis musik tergantung mood, konteks,

dan kebutuhan pada waktu-waktu yang berbeda (Schwartz dan Fouts, 2003). Kelompok

pendengar yang memiliki preferensi musik eklektik akan mampu menunjukkan apresiasi pada

beragam macam musik dengan karakteristik yang berbeda-beda, baik jenis musik Mellow,

musik Unpretentious, musik Sophisticated, musik Intense, maupun musik Contemporary

(Rentfrow, Goldberg, & Levitin, 2011). Dalam penelitian ini preferensi musik eklektik

didefinisikan sebagai akumulasi intensitas preferensi seseorang pada kelima jenis kategori

karakteristik Mellow, Unpretentious, Sophisticated, Intense, dan Contemporary.

Preferensi musik menurut Schäfer dan Sedlmeier (2010) terdiri dari preferensi yang

sifatnya jangka pendek, yaitu saat pendengar memberi penilaian terhadap satu karya musik

tertentu pada satu konteks pada satu waktu saat musik itu didengar, dan preferensi jangka

panjang, yang melibatkan penilaian yang lebih konsisten dan menetap seiring waktu terhadap

karya musik tertentu. Beberapa parameter yang akan memengaruhi preferensi jangka panjang

seorang pendengar musik dipengaruhi oleh beberapa hal dari faktor karya musik maupun

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 10: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

faktor pendengar. Faktor musik terdiri dari fitur musik seperti tempo, ritme, pitch, harmoni,

dan volume, segala hal yang membentuk persepsi pendengar kepada karya musik yang

didengar (Finnäs, 1989; dalam Schäfer & Sedlmeier, 2010). Selain itu, menurut Peretz,

Gaudreau, dan Bonnel (1998; dalam Schäfer & Sedlmeier, 2010) preferensi juga dapat

muncul karena faktor repetisi dan familiaritas, seperti pada saat seseorang berulang kali

mendengar musik yang sama, musik yang tidak segaja terdengar sebagai latar sambil

melakukan pekerjaan lain, tanpa sadar dapat mengenali lagu yang biasanya didengarkan oleh

orangtua atau teman, atau berulang kali melatih lagu yang sama saat harus menampilkan

karya musik itu sendiri, biasanya membuat seseorang lebbih menyenangi karya musik

tersebut.

Selanjutnya faktor pendengar terdiri dari faktor kognitif, faktor emosional, faktor

fisiologis, faktor sosial budaya, dan faktor karakteristik pendengar. Penelitian terdahulu oleh

Bleich, Zillman, dan Weaver (1991, dalam Rentfrow, Goldberg, dan Levitin, 2011) yang

melaporkan bahwa, remaja menggunakan musik sebagai pengalih perhatian dari masalah-

masalah mereka, sebagai sarana mood management, dan untuk mengurangi rasa kesepian.

Musik juga sering digunakan untuk mengekpresikan identitas dan nilai dari sebuah budaya

atau negara (Christenson & Roberts, 1998; dalam Schäfer & Sedlmeier, 2010). Menurut

Perkins (2008), persepsi identifikasi terhadap kelompok (group identification) juga

memengaruhi bagaimana seseorang menentukan preferensi musiknya. Remaja dan dewasa

muda, cenderung akan mendengarkan musik yang juga didengarkan oleh teman-teman

mereka, hal ini berkontribusi dalam mendefinisikan identitas sosial dan berpengaruh dalam

pembentukan selera dan preferensi musik seseorang (Creed & Scully, 2000, dalam Rentfrow,

Goldberg, dan Levitin, 2011). Karakteristik pendengar yang berpengaruh antara lain berupa

usia (Bonneville-Rousy et al., 2013), gender (Greenberg, Rentfrow, & Baron Cohen, 2015),

kepribadian (Rentfrow & Gosling, 2003), nilai (Boer et al., 2011), self-concept pendengar

(Perkins, 2008) serta kemampuan dan pengalaman bermusik (LeBlanc, 1982).

Terdapat beberapa definisi mengenai empati dari berbagai ahli. Empati, dari sudut

pandang kognitif, menekankan pada usaha intelektual seseorang untuk membayangkan sudut

pandang orang lain tanpa mengalami reaksi afektif dalam dirinya (Hogan, 1969). Caruso dan

Mayer (1998; dalam Hoffman, 2008) menjabarkan empati kognitif sebagai kemampuan untuk

mengintepretasikan dan memahami pengalaman dan perasaan dari orang lain. Kohlberg

(1976; dalam Davis et al., 1996) melihat empati sebagai kemampuan untuk memahami

perasaan orang lain. Bentuk lain empati, berupa empati afektif menurut Mehrabian dan

Epstein (1972; dalam Davis, 1983) merupakan tendensi seseorang untuk merespon secara

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 11: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

emosional pada pengalaman orang lain yang diobservasi. Hoffman (2001) menjabarkan

empati sebagai bentuk respon afektif dimana seorang pengamat menyesuaikan perasaannya ke

dalam situasi yang sedang dialami orang lain melebihi situasi yang dialami dirinya sendiri.

Temuan dari McWhirter et al. (2002) menunjukkan bahwa empati memiliki hubungan positif

dengan emotional coping, yaitu kemampuan untuk menerima dan mengekspresikan respon

emosional yang beragam, dan social coping, yaitu kemampuan membangun hubungan sosial

yang mendukung (supporting social networks) dengan teman sebaya, orang tua, guru, dan

komunitas, sehingga remaja yang memiliki empati akan menunjukkan kecenderungan untuk

dapat berkembang dengan cara yang positif dan sehat. Carl Rogers mengatakan bahwa empati

merupakan sebuah cara yang dilakukan seseorang untuk hadir bagi orang lain, dimana pada

saat tersebut, untuk sementara, segala nilai dan pandangan yang dimiliki oleh orang tersebut

dikesampingkan dan mencoba memasuki dunia orang lain tanpa berprasangka (Rogers, 1975;

dalam Metz, 2014). Davis (1983; dalam Davis, 1996) menjabarkan empati sebagai konstruk

multidimensional yang menyertakan komponen kognitif maupun afektif di dalamnya, sebagai

sebuah kesatuan konstruk yang menghubungkan respon dari seorang individu terhadap

pengalaman yang dialami oleh individu lain, yang mencakup empat dimensi.

Dimensi pertama merupakan dimensi perspective taking yang merupakan satu-satunya

dimensi kognitif dari empati, yaitu kemampuan individu untuk mengadaptasi perspektif dan

sudut pandang psikologis orang lain. Kemampuan perspective-taking yang baik secara

konsisten berhubungan dengan keberfungsian sosial yang lebih baik, Piaget (1932; dalam

Davis, 1983) menyatakan bahwa kemampuan mengambil perspektif lain sebagai keterampilan

sosial yang fundamental. Hal ini disebabkan karena orang yang dapat mengambil perspektif

orang lain lebih mampu mengantisipasi perilaku dan reaksi dari orang lain secara lebih baik,

sehingga mampu menjalin hubungan interpersonal yang lebih baik pula (Feshbach, 1978).

Dimensi kedua, fantasy, disebut juga sebagai empati imajinatif oleh Frías-Navarro (2009),

merupakan kecenderungan seseorang untuk merasa terhubung atau membayangkan dirinya

menjadi salah satu karakter fiksi di dalam buku, film, atau sandiwara yang disaksikan. Sejauh

mana seorang individu mampu menempatkan dirinya ke dalam perasaan dan tindakan

karakter tersebut merupakan inti dari dimensi ini. Ketiga, empathic concern mencakup sejauh

mana seorang individu mampu merasa iba dan peduli terhadap orang lain atas kejadian yang

menimpa mereka. Empathic concern merupakan kecenderungan seseorang untuk merasakan

kehangatan (warmth), kasih sayang (compassion), dan kekhawatiran (concern) terhadap orang

lain, terlebih atas peristiwa negatif yang dialaminya. Pada empathic concern terlihat respon

emosional seseorang kepada orang lain. Terakhir, dimensi personal distress menunjukkan

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 12: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

sejauh mana seorang individu merasakan kegelisahan dan ketidaknyamanan atas hasil dari

pengalaman buruk yang menimpa orang lain. Personal distress berkorelasi negatif dengan

keberfungsian sosial seseorang. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya kecemasan yang

dialami seseorang dalam situasi interpersonal yang menegangkan (tense interpersonal

setting), maka akan lebih sulit ia mengandalikan dirinya, terlebih lagi untuk membangun

maupun mempertahankan hubungan sosial yang efektif dengan orang lain. Keempat aspek

tersebut merupakan dimensi-dimensi yang membentuk empati menurut Davis (1980).

Dimensi-dimensi tersebut terbentuk dari stimulasi lingkungan terhadap aspek kognitif dan

afektif individu.

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi empati seseorang adalah jenis kelamin.

Beberapa penelitian terdahulu oleh Eisenberg dan Strayer (1987) menunjukkan bahwa

perempuan lebih empatik dibandingkan dengan laki-laki karena sifat ingin mengasuh

(nurturance) yang sudah menjadi bawaan pada perempuan dalam sejarah evolusi manusia

yang esensial untuk berhasil memenuhi perannya dalam survival. Selain itu, penelitian

Howard (1983; dalam Eisenberg & Strayer, 1987) menunjukkan bahwa feminitas pada

perempuan juga membuatnya mampu untuk memberikan respon verbal yang empatik pada

kesulitan yang dialami orang lain. Hal ini berkaitan dengan temuan dari Deutsch (1944; dalam

Eisenberg & Strayer, 1987) yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kepedulian

eksternal yang berorientasi pada orang lain, lebih dari laki-laki yang kepedulian internal yang

berorientasi pada dirinya sendiri lebih besar. Selanjutnya usia juga mempengaruhi

kemampuan berempati, karena kemampuan ini meningkat seiring jalannya waktu telah

disebutkan oleh Feshbach (1978) berkaitan dengan perubahan perkembangan dalam

keterampilan kognitif seseorang. Kecanggihan kognitif, seperti kemampuan bermetakognisi,

dimana seseorang berlatih untuk dapat melihat dirinya secara lebih objektif, bahwa ia bukan

sekadar tokoh pasif dalam hidupnya, namun merupakan seorang pemegang kendali juga

melatih kemampuan perspective taking. Kemampuan untuk sementara terlepas dari perasaan,

masalah yang sedang dihadapi, maupun perilaku yang biasanya ditampilkan, dan

mengevaluasi diri sendiri secara lebih rasional (Cozolino, 2010). Seiring bertambahnya usia

seseorang, pengalaman dan referensi situasi-situasi sosial yang dimilikinya akan semakin

bertambah, meskipun hal ini juga sangat bergantung pada penghayatan dan kedewasaan

seseorang (Eisenberg & Mussen, 1989).

Sebuah generasi merupakan sebuah cohort yang kurang lebih memiliki karakteristik

yang serupa, biasanya dalam rentang 20 tahunan. Generasi millennial merupakan generasi

yang lahir pada dan setelah tahun 1982 (Strauss & Howe, 2000) hingga tahun 2002 (Coomes

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 13: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

et al., 2004; Green, 2007). Mayoritas generasi ini kini berada pada tahap remaja dan dewasa

muda. Generasi millennial merupakan generasi yang hidup dengan paparan teknologi yang

tinggi, informasi yang kaya, dan dikelilingi oleh media digital (Strauss & Howe, 2000).

Terdapat karakteristik tersendiri dari generasi ini millennial. Menurut Oblinger (2003),

beberapa karakteristik yang dimiliki generasi millennial adalah bahwa generasi millennial

dibiasakan untuk dapat bekerja dalam sebuah tim sejak dini melalui institusi-institusi

pendidikan yang mereka dapatkan (Lowe et al., 2008; dalam Wolff, 2010). Tuntutan yang

besar untuk dapat bekerja secara elaboratif ini dibarengi dengan kecenderungan tingkat

empati yang masih rendah pada generasi millennial, padahal keterampilan berempati

merupakan salah satu keterampilan sosial yang esensial untuk dapat berkinerja dengan sehat

dalam sebuah lingkungan yang mengedepankan performa kelompok. Kuantitas informasi

yang bisa didapatkan oleh generasi ini sangat tidak terbatas karena mudahnya akses yang

tersedia. Hal ini berimplikasi pada parameter yang lebih tepat digunakan untuk generasi ini

adalah kepada keterampilan bukan lagi wawasan. Lahir pada masa dimana perkembangan

teknologi mengalami perkembangan yang pesat membuat generasi ini tidak takut untuk

mempelajari teknologi baru. Fakta bahwa generasi ini hidup di lingkungan yang semakin

multikultur di segala lini kehidupan, sehingga sikap empati penting untuk membentuk

individu yang siap menghormati dan bekerja bersama sesamanya yang memiliki karakteristik

yang berbeda-beda dengan dirinya.

Metode Penelitian

Teknik pengambilan sampel adalah dengan accidental sampling yang juga dikenal

dengan incidental sampling atau convenience sampling. Accidental sampling merupakan jenis

non-probability sampling, sehingga peneliti menggunakan sampel yang diambil dari bagian

populasi terdekat atau yang paling mudah diakses (Kumar, 2005). Teknik ini dipilih dengan

mempertimbangkan kemudahan mengakses sampel. Teknik accidental sampling juga

memungkinkan peneliti untuk mendapatkan jumlah sampel yang relatif besar dalam waktu

singkat.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen Short Test of Music

Preferences (STOMP) dari Rentfrow, Goldberg, dan Levitin (2011) sebagai alat untuk

mengukur preferensi musik responden. Alat ukur ini terdiri dari 32 item four-point-Likert-

scale dengan pillihan jawaban dari nilai 1 (sangat tidak menyukai), 2 (tidak menyukai), 3

(menyukai), 4 (sangat menyukai), dan 0 (tidak mengetahui). Selanjutnya, alat ukur

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 14: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Interpersonal Reactivity Index (IRI) dari Davis (1983) peneliti gunakan untuk mengukur

empati responden. Alat ukur ini terdiri dari 19 item yang juga menggunakan skala Likert 4

poin, dan responden diminta untuk memberikan nilai antara 1 (sangat tidak sesuai), 2 (tidak

sesuai), 3 (sesuai), hingga 4 (sangat sesuai) pada setiap item pernyataan. Penelitian ini

menggunakan teknik pengisian kuesioner dalam pengambilan data (Kumar, 2005).

Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang dilakukan secara offline

maupun online.

Hasil Penelitian

Responden dalam penelitian ini merupakan mahasiswa yang sedang atau baru

menjalani pendidikan S1 berusia 17-24 tahun. Data yang terkumpul sebanyak dapat

digunakan dalam pengolahan adalah sebanyak 269. Berikut merupakan uraian masing-masing

gambaran responden berdasarkan karakteristik demografisnya.

Tabel 1. Gambaran Umum Responden berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia

Karakteristik Responden Data Responden Frekuensi Persentase Jenis Kelamin Laki-Laki 101 61,3

Perempuan 165 37,5 Total 269 100

Usia 17 tahun 5 1,9 18 tahun 43 16,0 19 tahun 58 21,6 20 tahun 64 23,8 21 tahun 55 20,4 22 tahun 29 10,8 23 tahun 10 3,7 24 tahun 5 1,9

Total 269 100

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa mayoritas responden berjenis kelamin

perempuan dengan presentase sebesar 61,3%. Berdasarkan usia, responden berusia 20 tahun

mendominasi, yaitu sebanyak 23,8%.

Tabel 2. Gambaran Umum Responden berdasarkan Pendidikan Terakhir dan Pekerjaan Orang Tua

Karakteristik Responden Data Responden Frekuensi Persentase

Frekuensi mendengarkan musik dalam seminggu

2 – 4 kali 99 28% 5 – 7 kali 173 49% 8 – 10 kali 56 16% lebih dari 10 kali 23 6% Tidak mengisi 5 1%

Durasi mendengarkan musik dalam sehari

Kurang dari 30 menit 42 11% 30 menit – 2 jam 60 17% 2 – 4 jam 46 13%

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 15: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Lebih dari 4 jam 208 59%

Alasan mendengarkan musik

Iringan 222 62% Hobi 213 60% Idola 105 29% Memperbaiki suasana hati 252 71% Pergaulan 31 9% Lain-lain 63 18%

Waktu untuk mendengarkan musik

Sendiri 295 83% Perjalanan 226 63% Bersama teman 125 35% Sebelum tidur 240 67% Belajar 163 46% Berolahraga 74 21% Bersiap-siap 150 42% Lain-lain 20 6%

Berdasarkan Tabel 2. Berdasarkan data pada tabel, dapat dilihat bahwa mayoritas

responden mendengarkan musik sebanyak 5–7 kali dalam seminggu (49%), dengan durasi

lebih dari 4 jam dalam sehari (59%). Alasan responden mendengarkan musik paling banyak

untuk memperbaiki suasana hati (71%), diikuti dengan menjadikan musik sebagai iringan

sambil melakukan hal lain (62%), alasan mendengarkan musik karena hal tersebut

menyenangkan atau dianggap sebagai hobi (60%), sebanyak 29% responden mendengarkan

musik karena dibawakan oleh artis/penyanyi/pemusik idolanya, dan hanya sebesar 9% yang

mendengarkan musik sebagai identitas sosial atau pergaulan. Waktu yang paling sering

digunakan oleh responden untuk mendengarkan musik adalah saat sendiri (83%), sebelum

tidur (67%), dan dalam perjalanan atau sambil menyetir kendaraan (63%). Tabel 3. Gambaran Gambaran Preferensi Musik Responden

Eklektisitas Jumlah Responden Persentase Eklektik Tidak Eklektik

Total

269 87

356

75,8% 24,2% 100%

Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa responden yang memiliki preferensi musik

eklektik sebesar 75,8%, atau hanya sebanyak 269 orang responden memiliki preferensi musik

eklektik. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah memiliki preferensi musik

eklektik, atau dengan kata lain sebanyak 269 responden tidak memiliki preferensi yang kuat

pada jenis musik tertentu saja dan menunjukkan fleksibilitas dalam mendengarkan musik dari

berbagai jenis karakteristik yang berbeda-beda.

Tabel 4. Gambaran Deskriptif Preferensi Musik Eklektik

Nilai Minimum Nilai Maximum Mean Standar Deviasi

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 16: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Kategori Eklektik 10,1 17,9 12,51 1,52

Nilai untuk kategori eklektik berkisar antara 10,1 sampai 17,9 dengan rata-rata 12,51

(SD=1,52), artinya responden penelitian memiliki preferensi musik yang eklektik. Angka ini

didapatkan dari 269 responden yang memiliki nilai akumulasi rata-rata dari kelima kategori

preferensi musik yang sebelumnya disebutkan (mellow, unpretentious, sophisticated, intense,

dan contemporary) lebih dari 10.

Tabel 5. Gambaran Persebaran Skor berdasarkan Kategori

Skor Total Empati Jumlah Partisipan Persentase Di atas rata-rata 140 52% Di bawah rata-rata 129 48%

Total 269 100% Berdasarkan Tabel 5. terlihat bahwa lebih banyak responden (52%) yang memiliki

nilai total empati di atas rata-rata, dengan 129 orang responden memiliki skor empati

keseluruhan di bawah rata-rata.

Tabel 6. Gambaran Persebaran Skor berdasarkan Kategori Skor Total Empati Jumlah Partisipan Persentase

Di atas rata-rata 140 52% Di bawah rata-rata 129 48%

Total 269 100% Tabel 6. menunjukkan bahwa lebih banyak responden (52%) yang memiliki nilai total

empati di atas rata-rata, dengan 129 orang responden memiliki skor empati keseluruhan di

bawah rata-rata.

Tabel 7. Gambaran Persebaran Skor Total Empati Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Usia

Karakteristik Responden N F Sig. Keterangan

Jenis Kelamin Laki-laki 101 2,583 0,109 Tidak Signifikan Perempuan 165

Usia

17 tahun 7

0,680 0,689 Tidak Signifikan

18 tahun 56 19 tahun 75 20 tahun 80 21 tahun 68 22 tahun 46 23 tahun 12 24 tahun 6

Dari data yang tertera pada tabel 7. terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan skor rata-

rata empati secara keseluruhan yang signifikan antara partisipan dengan jenis kelamin

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 17: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

perempuan dan partisipan dengan jenis kelamin laki-laki. Selain itu, dapat diketahui juga

bahwa berdasarkan usia responden, perbedaan yang signifikan juga tidak ditemukan.

Berikut merupakan analisis hubungan antara emosi malu, emosi bersalah dan

ketidakjujuran akademis menggunakan Multiple Regression untuk mengetahui besarnya

proporsi variabel ketidakjujuran akademis yang berhubungan atau dijelaskan oleh variabel

emosi malu dan emosi bersalah. Tabel 8. Hasil AnalisisMultiple Regression pada Ketidakjujuran Akademis

Preferensi Musik Eklektik r r2

Perspective Taking 0,165** 0,027 Fantasy 0,099 0,009 Empathic Concern 0,108 0,011 Personal Distress Total Empati

0,060 0,162**

0,003 0,0262

*p < 0,05, two-tailed Berdasarkan data pada tabel 8. dapat disimpulkan bahwa skor total empati responden

berpreferensi musik eklektik (N = 269) memiliki koefisien korelasi r = 0,162 dan p = 0,002

signifikan pada L.o.S 0,01. Artinya, semakin tinggi eklektisitas preferensi musik seseorang,

akan diikuti oleh peningkatan pada skor empati total yang dimilikinya. Nilai coefficient of

determination menunjukkan nilai r2 = 0,027, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa 2,62%

varians skor empati seseorang dapat dijelaskan dengan eklektisitas preferensi musiknya,

sedangkan 97,38% varians lainnya dijelaskan melalui faktor-faktor lain. Berdasarkan hasil

yang signifikan tersebut, hipotesis nol pertama (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif pertama

(Ha) diterima, yaitu secara signifikan terdapat korelasi positif antara skor eklektisitas pada

alat ukur STOMP dengan skor empati keseluruhan pada alat ukur IRI pada mahasiswa

generasi millennial.

Selanjutnya, pada tiga dimensi empati, yaitu fantasy (r = 0,099, p = 0,106, p>0,05),

empathic concern (r = 0,108, p = 0,075, p>0,05), dan personal distress (r = 0,060, p = 0,329,

p>0,05), tidak berkorelasi secara signifikan dengan eklektisitas preferensi musik. Artinya,

perubahan pada masing-masing dimensi fantasy, empathic concern, maupun personal distress

tidak ditentukan oleh skor eklektiksitas preferensi musik, namun, pada dimensi perspective

taking ditemukan korelasi positif dengan eklektisitas preferensi musik dengan r = 0,165 yang

signifikan pada L.o.S 0,01. Dengan kata lain, sebesar 2,7% varians skor dimensi perspective

taking dapat dijelaskan dari eklektisitas preferensi musik, sedangkan 97,3% varians sisanya

dijelaskan melalui faktor lain-lain.

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 18: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan interpretasi data, ditemukan hubungan positif yang

signifikan antara preferensi musik eklektik dengan empati pada mahasiswa generasi

millennial, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima. Semakin tinggi eklektisitas

preferensi musik, maka semakin tinggi pula empati seseorang. Selanjutnya, selain pada

dimensi perspective taking, tidak terdapat hubungan antara eklektisitas preferensi musik

dengan dimensi-dimensi lain pada empati seperti fantasy, empathic concern, dan personal

distress.

Pembahasan

Rata-rata dalam seminggu paling tidak waktu yang digunakan untuk mendengarkan

musik mencapai 28 jam, alasan responden mendengarkan musik paling banyak untuk

memperbaiki suasana hati. Hal ini menunjukkan fungsi musik yang paling dicari oleh generasi

millennial adalah musik sebagai media untuk regulasi emosi sesuai dengan teori yang

diungkapkan oleh Schäfer dan Sedlmeier (2010) bahwa alasan untuk mendengarkan musik

dapat dikarenakan kemampuan yang dimiliki musik untuk memunculkan, mengekspresikan,

mengubah, memperkuat, atau mengubah emosi yang sedang dirasakan pendengarnya.

Musik paling banyak didengarkan saat sendiri, berarti fungsi musik sebagai sarana

pergaulan tidak terlalu berpengaruh pada generasi millennial. Hal ini berbeda dengan temuan

dari Inglefield (1972) pendengar musik di usia remaja dan dewasa muda cenderung

menunjukkan konformitas dalam musik yang mereka pilih untuk didengarkan, demi

penerimaan kelompok. Atau hasil ini juga dapat mengindikasikan bahwa preferensi musik

seseorang dapat berbeda saat mereka mendengarkannya sendiri, dengan saat bersama teman

atau orang lain.

Tidak ditemukan perbedaan skor total empati yang signifikan berdasarkan jenis

kelamin. Hal ini berbeda dengan temuan terdahulu oleh Lennon dan Eisenberg (1987) yang

menunjukkan bahwa perempuan lebih empatik dibandingkan laki-laki. Selain itu, juga tidak

ditemukan perbedaan yang signifikan antara usia responden dengan tingkat empati yang

dimiliki dapat dikarenakan rentang usia yang homogen. Selain itu, pemahaman mengenai

klasifikasi genre di Indonesia masih tergolong rendah sehingga kesalahan persepsi responden

terhadap genre yang disebutkan sangat besar.

Hasil statistik deskriptif dari penelitian ini juga menunjukkan jumlah responden yang

memiliki skor empati di atas rata-rata sedikit lebih banyak (51,1%) dibandingkan dengan

responden yang memiliki skor rata-rata empati di bawah rata-rata, dibarengi dengan jumlah

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 19: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

responden yang memiliki preferensi musik eklektik lebih banyak (75,8%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki preferensi musik yang tidak eklektik.

Saran

1) Proses pengambilan data pada penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan metode

penelitian lain, seperti eksperimen dimana responden mendengarkan langsung cuplikan

musik dengan berbagai karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk

meminimalisasi variabel pengganggu berupa perbedaan persepsi saat responden hanya

membaca nama genre musik tanpa mengetahui dengan tepat terdengar seperti apa genre

tersebut.

2) Melakukan elisitasi yang lebih mendalam mengenai budaya musik yang sedang

berkembang di Indonesia karena literatur yang aktual mengenai budaya musik di

Indonesia masih sangat terbatas.

3) Melakukan penelitian pada partisipan dengan karakteristik lain, seperti menambahkan

karakteristik pengalaman bermusik atau latar belakang pendidikan musik yang dimiliki

responden.

4) Hasil temuan dari penelitian ini dapat digunakan oleh institusi pendidikan dan orang tua

dapat disarankan untuk lebih giat memperkenalkan ragam karakteristik musik yang

seluas-luasnya sejak dini kepada generasi yang lebih muda

5) Sekolah dapat memperkenalkan mengenai beragam genre yang ada, dengan cara

memperdengarkan berbagai contoh jenis musik yang beragam, serta menceritakan

sejarah di balik berbagai jenis musik sambil menghindari melakukan stereotip.

6) Secara umum kepada masyarakat penikmat musik, disarankan untuk tidak menutup diri

dengan fanatisme pada satu genre tertentu saja, melainkan membuka diri untuk

mencoba memahami keindahan dari genre-genre yang berbeda.

Daftar Referensi Anderson, K. E. (2016). Getting acquainted with social networks and apps: Instagram’s instant appeal. Library

Hi Tech News, 33(3). Aiken, L. R., & Groth-Marnat, G. (2006). Psychological assessment and assessment. Bratman, G. N., Hamilton, J. P., & Daily, G. C. (2012). The impacts of nature experience on human cognitive

function and mental health. Annals of the New York Academy of Sciences, 1249(1), 118-136. Butrus, N., & Witenberg, R. T. (2013). Some personality predictors of tolerance to human diversity: The roles of

openness, agreeableness, and empathy. Australian Psychologist, 48(4), 290-298. Boer, D., Fischer, R., Strack, M., Bond, M. H., Lo, E., & Lam, J. (2011). How shared preferences in music create

bonds between people: Values as the missing link. Personality and Social Psychology Bulletin, 0146167211407521.

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 20: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Bonneville-Roussy, A., Rentfrow, P. J., Xu, M. K., & Potter, J. (2013). Music through the ages: Trends in musical engagement and preferences from adolescence through middle adulthood. Journal of personality and social psychology, 105(4), 703.

Caravita, S., Di Blasio, P., & Salmivalli, C. (2009). Unique and interactive effects of empathy and social status on involvement in bullying. Social development, 18(1), 140-163.

Chauhan, M., & Rai, P. K. (2013). Impact of self-talk and personality on empathy. Indian Journal of Health and Wellbeing, 4(8), 1497.

Clark, S. S., & Giacomantonio, S. (2013). Music preferences and empathy: Toward predicting prosocial behavior. Psychomusicology: Music, Mind, and Brain, 23(3), 177.

Cozolino, L. (2010). The neuroscience of psychotherapy: Healing the social brain (2nd ed.). New York, NY, US: W W Norton & Co.

Cwir, D., Carr, P. B., Walton, G. M., & Spencer, S. J. (2011). Your heart makes my heart move: Cues of social connectedness cause shared emotions and physiological states among strangers. Journal of Experimental Social Psychology, 47(3), 661-664.

Davis, M. H. (1980). A multidimensional approach to individual differences in empathy. Davis, M. (1983). Measuring individual differences in empathy: Evidence for a multidimensional approach.

Journal of Personality and Social Psychology, 44(1), 113-126. Davis, M. H., Conklin, L., Smith, A., & Luce, C. (1996). Effect of perspective taking on the cognitive

representation of persons: a merging of self and other. Journal of personality and social psychology, 70(4), 713.

Decety, J., & Jackson, P. L. (2004). The functional architecture of human empathy. Behavioral and cognitive neuroscience reviews, 3(2), 71-100.

Dolby, N. (2014). The Future of Empathy: Teaching the Millennial Generation. Journal of College and Character, 15(1), 39-44.

Duan, C., Wei, M., & Wang, L. (2008). The role of individualism-collectivism in empathy: An exploratory study. Asian Journal of Counselling, 15(1), 57-81.

Eisenberg, N. (1995). Prosocial development: A multifaceted model. Moral development: An introduction, 401-429.

Eisenberg, N., Carlo, G., Murphy, B., & Van Court, P. (1995). Prosocial development in late adolescence: A longitudinal study. Child Development, 66, 1179–1197.

Eisenberg, N., & Mussen, P. H. (1989). The roots of prosocial behavior in children. Cambridge University Press. Erikson, E. H. (1980). Elements of a psychoanalytic theory of psychosocial development. The course of life:

Psychoanalytic contributions toward understanding personality development, 1, 11-61. Feshbach, N. D. (1978). Studies of empathic behavior in children. Progress in experimental personality

research, 8, 1-47. Frías-Navarro, D. (2009). Davis' Interpersonal Reactivity Index (IRI). Manuscript no published. Universidad de

Valencia. Spain. Retreieved April 2016, from http://www.uv.es/~friasnav/unidinves.html Fountain, A. G., & Lyons, W. B. (2003). Century to millennial scale climate change and ecosystem response in

Taylor Valley, Antarctica. Climate Variability and Ecosystem Response at Long-Term Ecological Research Sites, 319-340.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences. Belmont, CA: Wadsworth Cenage Learning.

Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2013). Statistics for the behavioral sciences. Cengage Learning. Green, C. (2007). Millennial Generation Students: Parental Involvement, Responsibility, and Entitlement

(Doctoral dissertation, Westminster College). Greenberg, D. M., Rentfrow, P. J., & Baron-Cohen, S. (2015). Can music increase empathy? Interpreting

musical experience through the empathizing–systemizing (ES) theory. Empirical Musicology Review, 10(1-2), 80-95.

Gürgen, E. T. (2015). Musical preference and music education: Musical preferences of Turkish university students and their levels in genre identification. International Journal of Music Education, 0255761415619390.

Hargreaves, D. J., North, A. C., & Tarrant, M. (2015). How and why do musical preferences change in childhood and adolescence?. The Child as Musician: A Handbook of Musical Development, 303.

Hays, T. & Minichiello, V. (2005). The meaning of music in the lives of older people: A qualitative study. Psychology of Music, 33(4), 437–451.

Hoffman, M. L. (2001). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. Cambridge University Press.

Hoffman, M. L. (2008). Empathy and prosocial behavior. Handbook of emotions, 3, 440-455. Hogan, R. (1969). Development of an empathy scale. Journal of consulting and clinical psychology, 33(3), 307.

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 21: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Holbrook, M. B., & Schindler, R. M. (1989). Some exploratory findings on the development of musical tastes. Journal of Consumer Research, 16(1), 119-124.

Inglefield, H. G. (1972). Conformity behavior reflected in the musical preference of adolescents. Contributions to Music Education, 56-67.

Jones, S. M., Weissbourd, R., Bouffard, S., Kahn, J., & Ross, T. (2014). How to build empathy and strengthen your school community. Cambridge, MA: Harvard Graduate School of Education.

Kaman, C. (2016). What country has the most bullies? Retrieved October 11, 2016, from http://www.latitudenews.com/story/what-country-has-the-most-bullies-2/

Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Foundations of Behavioral Research: Wadsworth, Thomson Learning. Northridge, CA.

Konrath, S. H., O'Brien, E. H., & Hsing, C. (2010). Changes in dispositional empathy in American college students over time: A meta-analysis. Personality and Social Psychology Review.

Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: SAGE. Kumar, R. (2011). Research methodology: A step-by-step guide for beginners (3rd ed.). London: SAGE. Leary, M. R., Twenge, J. M., & Quinlivan, E. (2006). Interpersonal rejection as a determinant of anger and

aggression. Personality and Social Psychology Review, 10(2), 111-132. LeBlanc, A. (1982). An interactive theory of music preference. Journal of Music Therapy, 19(1), 28-45. Lennon, R. & Eisenberg, N. (1987). gender and age differences in empathy and sympathy. In N. Eisenberg & J.

Strayer (Eds.), Empathy and its development. Cambridge studies in social and developmental development (hal. 195-217). New York: Cambridge University Press.

Livingstone, R. S., & Thompson, W. F. (2009). The emergence of music from the Theory of Mind. Musicae Scientiae, 13(2 suppl), 83-115.

McMahon, M., & Pospisil, R. (2005). Laptops for a digital lifestyle: Millennial students and wireless mobile technologies. Proceedings of the Australasian Society for Computers in Learning in Tertiary Education, 421-431.

McWhirter, B. T., Besett-Alesch, T. M., Horibata, J., & Gat, I. (2002). Loneliness in high risk adolescents: The role of coping, self-esteem, and empathy. Journal of Youth Studies, 5(1), 69-84.

Metz, A. L. (2014). Back to nature: the impact of nature relatedness on empathy and narcissism in the millennial generation.

Miller, P. A., & Eisenberg, N. (1988). The relation of empathy to aggressive and externalizing/antisocial behavior. Psychological bulletin, 103(3), 324.

Muslimah, S. (2016). KPAI Lapor Kominfo Soal Heboh Akun Awkarin dan Anya Geraldine. Retrieved October 11, 2016, from http://inet.detik.com/read/2016/09/20/133029/3302125/398/kpai-lapor-kominfo-soal-heboh-akun-awkarin-dan-anya-geraldine

Oblinger, D. (2003). Boomers gen-xers millennials. EDUCAUSE review, 500(4), 37-47. Papalia, D. E. & Feldman R. D. (2012). Experience Human Development, 12th edition. New York:

McGraw-Hill Perkins, S. (2008). Personality and Music: An Examination of the Five-Factor Model in Conjunction with

Musical Preference. Rentfrow, P. J., Goldberg, L. R., & Levitin, D. J. (2011). The structure of musical preferences: a five-factor

model. Journal of personality and social psychology, 100(6), 1139. Rentfrow, P. J., & Gosling, S. D. (2003). The do re mi's of everyday life: the structure and personality correlates

of music preferences. Journal of personality and social psychology, 84(6), 1236. Rentfrow, P. J. & Gosling, S. D. (2013). Short Test of Music Preferences (STOMP). Measurement Instrument

Database for the Social Science. Retrieved from www.midss.ie Rifauddin, M. (2016). Fenomena cyberbulling pada remaja. Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan

Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 4(1), 35-44. Rabinowitch, T. C., Cross, I., & Burnard, P. (2013). Long-term musical group interaction has a positive

influence on empathy in children. Psychology of Music, 41(4), 484-498. Robinson, R., Roberts, W. L., Strayer, J., & Koopman, R. (2007). Empathy and Emotional Responsiveness in

Delinquent and Non-deliquent Adolescents. Social Development, 16(3), 555-579. Rudman, L. A., & Goodwin, S. A. (2004). Gender differences in automatic in-group bias: Why do women like

women more than men like men?. Journal of personality and social psychology, 87(4), 494. Schäfer, T., & Sedlmeier, P. (2010). What makes us like music? Determinants of music preference. Psychology

of Aesthetics, Creativity, and the Arts, 4(4), 223. Schwartz, K. D., & Fouts, G. T. (2003). Music preferences, personality style, and developmental issues of

adolescents. Journal of youth and adolescence, 32(3), 205-213. Selhub, E. M., & Logan, A. C. (2012). Your brain on nature: The science of nature's influence on your health,

happiness and vitality. John Wiley & Sons. Simpson, J. A., Weiner, E. S., & Proffitt, M. (1993). Oxford English dictionary. Oxford: Clarendon Press.

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016

Page 22: Hubungan Antara Preferensi Musik Eklektik Dan Empati Pada

Staum, M. J., & Brotons, M. (2000). The effect of music amplitude on the relaxation response. Journal of Music Therapy, 37(1), 22-39.

Strauss, W., & Howe, N. (2000). Millennials rising: The next great generation. New York: Vintage. ter Bogt, T. F., Delsing, M. J., van Zalk, M., Christenson, P. G., & Meeus, W. H. (2011). Intergenerational

continuity of taste: parental and adolescent music preferences. Social Forces, 90(1), 297-319. Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The narcissism epidemic: Living in the age of entitlement. Simon and

Schuster. Van Boven, L., McGraw, A. P., & Warren, C. (2011). Values and Preferences: Defining Preference Contruction.

Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science, 2, 193-205. Van Lange, P. A. (2008). Does empathy trigger only altruistic motivation? How about selflessness or justice?

Emotion, 8(6), 766. Wolff, E. W., Chappellaz, J., Blunier, T., Rasmussen, S. O., & Svensson, A. (2010). Millennial-scale variability

during the last glacial: The ice core record. Quaternary Science Reviews, 29(21), 2828-2838. Wöllner, C. (2012). Is empathy related to the perception of emotional expression in music? A multimodal time-

series analysis. Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts, 6(3), 214. Zentner, M., Grandjean, D., & Scherer, K. R. (2008). Emotions evoked by the sound of music: characterization,

classification, and measurement. Emotion, 8(4), 494.

Hubungan antara ..., Stefani Emanuella, FPSI UI, 2016