hubungan antara komitmen organisasi dengan ......(2013), mengemukakan adanya hubungan antara...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN BURNOUT
DI KANTOR REGIONAL IX BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA (BKN)
JAYAPURA
Oleh:
Christian Andre Rio Hutomo
802011044
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN ORGANISASI DENGAN BURNOUT
DI KANTOR REGIONAL IX BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA (BKN)
JAYAPURA
Christian Andre Rio Hutomo
Berta E. A. Prasetya
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi
dengan burnout di Kantor Regional IX Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jayapura.
Subjek dalam penelitian ini merupakan Pegawai Negeri Sipil yang berjumlah 100
pegawai dengan masa kerja diatas 10 tahun. Teknik pengmabilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan sampel jenuh. Instrumen penelitian ini menggunakan
skala komitmen organisasi yang dikembangkan berdasarkan teori komitmen
oganisasi dari Allen dan Meyer (1997) dan skala burnout merupakan adaptasi dari
skala burnout yang dikembangkan Maslach, Jackson dan Leiter (1996). Hasil uji
korelasi menggunakan korelasi pearson menunjukkan skor korelasi pearson sebesar
0,859 dengan signifikansi 0,000 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
signifikan antara komitmen organisasi dengan burnout pada Pegawai Negeri Sipil
Regional IX di Kantor BKN Jayapura.
Kata Kunci: Komitmen organisasi, burnout, Pegawai Negeri Sipil, BKN,
Jayapura
ii
Abstract
This study aims to determine the relationship between organizational commitment
and burnout in the Governmant Civil Servant IX Regional Office of State
Personnel Agency (BKN) Jayapura. The subject of this study is 100 employees of
the Governmant Civil Servant which has been work for more than 10 years. All of
the population of the Governmant Civil Servant IX Regional Office of State
Personnel Agency (BKN) Jayapura is the sample in this research. The research
instrumen of this study using the organizational commitment scale was developed
based on the theory of commitment oganisasi by Allen and Meyer (1997) and the
burnout scale is an adaptation of a scale developed by Maslach, Jackson and
Leiter (1996). The analyze of correlation using pearson correlation obtained
coefficient correlation at 0,859 with significance at the level 0,000 which shows
that there is a significant positive relationship between organizational
commitment with burnout at the Governmant Civil Servant IX Regional Office of
State Personnel Agency (BKN) Jayapura.
Keywords: Organizational Commitment, Burnout, Governmant Civil Servant,
BKN, Jayapura.
1
PENDAHULUAN
Fenomena persaingan global tersebut menuntut pemberdayaan yang optimal
terhadap sumber daya manusia (SDM) dalam sebuah perusahaan (Schwab, 2011). Di
negara-negara yang miskin sumber daya alamnya seperti Singapura, Jepang dan
Korea, tetapi karena sumber daya manusianya berkualitas, maka tidak heran negara-
negara tersebut maju pesat dalam bidang ekonomi dan teknologi sehingga mampu
bersaing dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang telah lebih dulu
berkembang.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu aset sumber daya manusia
Indonesia. Berdasarkan data dari BKN (Badan Kepegawaian Negara) jumlah PNS
mencapai 1,98 % (persen) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 224 juta
jiwa. Pengertian Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah setiap warga Negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara
lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU
Nomor 43 Tahun 1999).
Bertambahnya jumlah PNS di Indonesia yang mencapai 4.732.472 (empat juta
tujuh ratus tiga puluh dua ribu empat ratus tujuh puluh dua) orang (data BKN per
Mei 2010), belum diimbangi dengan kemampuan PNS yang memadai. Guna
memperbaiki kondisi PNS, diperlukan suatu lembaga yang fungsinya tidak hanya
mendata administrasi tetapi juga mampu mengembangkan kompetensi (competence)
PNS secara optimal untuk mendukung tugas-tugas pembangunan, penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Terkait dengan Rencana Strategis (renstra)
Kepegawaian Nasional. Banyaknya tugas yang dilakukan oleh BKN Pusat untuk
2
menangani urusan kepegawaian para PNS di seluruh Indonesia, menyebabkan kantor
pusat menyadari bahwa diperlukan adanya kantor perwakilan di tiap-tiap provinsi
untuk meringankan beban tugas kantor BKN pusat. Untuk itu, dibentuklah kantor
BKN Regional di tiap provinsi sebagai kantor perwakilan pusat yang menangani
urusan kepegawaian di masing-masing provinsi(Pegawai Senior di BKN).
Salah satu kantor regional tersebut ialah Badan Kepegawaian Negara Kantor
Regional IX Jayapura yang menangani administrasi dan manajemen PNS di wilayah
Papua dan Papua Barat. Berdirinya Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX
Jayapura bertujuan mendekatkan pelayanan kepada PNS di masing-masing daerah
serta sebagai tindak lanjut perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi. Dengan tujuan tersebut, maka melalui Keputusan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor 59/KEP/2001 tanggal 27 Agustus 2001 ditetapkan
struktur organisasi dan tata kerja Kantor Regional BKN di daerah termasuk Badan
Kepegawaian Negara Kantor Regional IX Jayapura.
Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX Jayapura dalam tugasnya,
memberikan pelayanan kepada Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Papua dan Papua
Barat, khususnya Golongan I/a – IV/b (berdasarkan PP No. 9 Tahun 2003), yang
pelayanannya berupa : a) Kartu pegawai, b) Pensiunan PNS, c) Pensiunan Janda /
Duda, d) Pengangkatan PNS lebih 2 Tahun, e) Kartu Istri / Suami, f) Peninjauan
Masa Kerja, g) Pindah Wilayah Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX
Jayapura memiliki 108 (seratus delapan) orang pegawai yang harus melayani
kebutuhan pelayanan administrasi dan manajemen PNS di wilayah kerja Provinsi
Papua dan Papua Barat dengan jumlah PNS yang tersebar sebanyak: 78.682 orang di
wilayah Provinsi Papua dan 32.291 orang di Provinsi Papua Barat (Badan
3
Kepegawaian Negara Kantor Regional IX Jayapura). Hal ini berarti dengan jumlah
108 (seratus delapan) pegawai, Pegawai Badan Kepegawaian Negara Kantor
Regional IX Jayapura harus melayani total 110.973 orang PNS atau bila dirata-
ratakan 1 (satu) orang pegawai Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX
Jayapura harus melayani 1305,56 orang atau 1306 PNS. Pelaksanaan tugas untuk
memberikan pelayanan yang optimal kepada PNS di wilayah Papua dan Papua Barat
mengharuskan pegawai mempunyai kinerja yang maksimal.
Fenomena yang terjadi dalam lingkup kantor Regional IX Badan Kepegawai
Negara (BKN) melalui wawancara pada tanggal 17 Desember 2014 dengan salah
satu pegawai yang sudah senior di kantor tersebut adalah sebagai berikut: a) PNS
merasa cepat bosan untuk mengerjakan tugas yang telah di berikan dari atasannya
(kepala kantor), b) PNS merasa tertekan dalam mengerjakan tugas yang diberikan
kepadanya, c) PNS dalam mengerjakan pekerjaannya kadang tiba-tiba merasa sakit
kepala, d) PNS terkadang melampiaskan kemarahannya (emosi) atas pekerjaan di
kantor kepada keluarga di rumah.
Fenomena-fenomena yang diperlihatkan oleh karyawan tersebut merupakan ciri-
ciri burnout menurut Maslach dan Leiter (1996). Burnout sendiri merupakan respon
yang berkepanjangan terkait faktor yang disebabkan oleh stres yang terus-menerus
terjadi di tempat kerja di mana hasilnya merupakan perpaduan antara pekerja dan
pekerjaannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Weiten (2010) menjelaskan bahwa
burnout meliputi kelelahan fisik, kelelahan mental, dan emosi yang disebabkan stres
yang berhubungan dengan pekerjaan, yang biasa terjadi pada individu yang bekerja
dalam bidang pelayanan sosial. Berdasarkan hasil penelitian yang diungkapkan oleh
4
Maslach dan Leiter (1996) dikemukakan bahwa burnout memiliki tiga dimensi, yaitu
kelelahan (fisik, mental, dan emosional), sikap cynicism, dan professional efficacy.
Burnout menjadi penting untuk diteliti karena apabila seorang pegawai negeri
mengalami burnout, maka bukan hanya dirinya saja yang terkena dampak yang
ditimbulkan, melainkan lingkungan sekitarnya pun akan ikut terkena dampaknya,
seperti keluarga dan perusahaan tempat ia bekerja (Maslach, dalam Ema, 2004).
Selain itu, kesehatan fisik karyawan akan terganggu ketika mereka mengalami
burnout, sehingga perusahaan akan kehilangan sumber daya manusia yang baik dan
memadai untuk mengejar target yang sudah ditetapkan (Cordes & Dougherty, 1993).
Lebih lanjut, burnout juga memiliki pengaruh terhadap kesehatan mental, emosional,
dan fisik pada yang mengalaminya (Chen & McMurray, 2001).
Salah satu yang di tenggarai dapat menimbulkan burnout pada para karyawan
adalah kurangnya komitmen organisasi yang terdapat pada karyawan. Apabila
komitmen organisasi para karyawan baik atau tinggi kepada perusahaan tempat
mereka bekerja, maka hal tersebut akan dapat mengurangi burnout yang terdapat
pada para karyawan (Marmaya, Hitam, Zawawi & Jody, 2011; Gemilik, Sisman &
Sigri, 2010; Shirazi, 2011). Komitmen organisasi sangat penting bagi sebuah
perusahaan karena dapat membantu perusahaan bekerja secara maksimal dan efektif
(Dessler, dalam Retnaningsih, 2007). Morison (dalam Widodo, 2010) menyatakan
bahwa komitmen organisasi memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan
berupa rasa kecintaan yang baik akan perusahaan sehingga membuat pekerjaan yang
ada tidak menjadi beban bagi karyawan. Atas dasar tersebut komitmen organisasi
dapat menurunkan tingkat turnover pada karyawan dan kinerja karyawan akan
5
meningkat ketika komitmennya tinggi terhadap perusahaan, sehingga fenomena
burnout pada karyawan akan berkurang.
Karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasinya akan tetap
tinggal dalam organisasi, bekerja secara rutin dan penuh, melindungi aset-aset
organisasi, dan mempercayai tujuan organisasi yang akan diraih. Hal tersebut dapat
membuat dirinya merasa terlindungi dari efek negatif yang timbul dalam pekerjaan,
termasuk burnout, karena dirinya telah menemukan arti dari pekerjaan (Pramadani &
Fajrianthi, 2012; Kobasa 1982). Secara spesifik, komitmen organisasi dapat terkait
dengan burnout ditinjau dari aspek-aspek komitmen organisasi itu sendiri, menurut
Alen dan Mayer (1997), yaitu komitmen afektif, komitmen continuance dan
komitmen Normatif.
Komitmen afektif berperan penting dalam menghindarkan karyawan dari burnout
karena karyawan dengan komitmen afektif akan mencintai pekerjaannya dan lebih
mudah menemukan makna dari pekerjaannya. Rasa cinta dan pemaknaan akan
pekerjaan ini dapat membuat karyawan terhidar dari rasa terbebani dan stres saat
bekerja (Kobasa, 1982).
Komitmen continuance terkait dengan burnout karena karyawan tentunya
menginginkan untuk terus dapat berkerja, karena pekerjaan merupakan sumber
pendapatan yang menunjang kehidupan mereka. Oleh sebab itu kenaikan pangkat
atau penempatan posisi yang baik dalam pekerjaan sangat diinginkan pula oleh para
karyawan. Karena keinginan yang kuat tersebutlah, maka para karyawan mulai
membentuk ikatan komitmen organisasi yang kuat di tempat ia berkerja, dan para
karyawan akan mengenyampingkan efek negatif yang akan timbul dari pekerjaannya
seperti burnout. Hal tersebut didukung oleh pendapat Mc Donald dan Makin (2000).
6
Komitmen Normatif terkait dengan burnout karena karyawan dengan komitmen
afektif akan merasa berutang budi dengan perusahaan tempatnya bekerja. Karyawan
yang bersangkutan akan berusaha untuk menoleransi hal-hal negatif yang ada di
tempat kerja atas dasar utang budi yang dirasakanya. Karyawan pada akhirnya akan
meningkatkan ketahanan akan hal-hal negatif sehingga otomatis level burnout-nya
berkurang atau di tekan (Gemilik, Sisman, & Sigri, 2010).
Penelitian dengan variabel yang sama pernah dilakukan sebelumnya. William
(2013), mengemukakan adanya hubungan antara komitmen organisasi dan burnout
(r²=-0,809 p < 0,05). Hasil yang sama juga diperoleh oleh Gemilik, Sisma dan Sigri
(2010) hubungan yang negatif antara komitmen organisasi dengan burnout pada
karyawan. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil ketika pada karyawan yang
memiliki komitmen organisasi dengan nilai yang tinggi, maka mereka akan memiliki
kecenderungan burnout yang rendah. Namun hasil yang berbeda ditemukan pada
penelitian Shrinivas (2011) yang tidak menemukan adanya hubungan negatif dan
signifikan antara komitmen organisasi dan burnout pada karyawan. Dalam
penelitiannya didapatkan bahwa justru komitmen organisasi memiliki hubungan
positif dengan burnout dimana ketika seorang karyawan memiliki komitmen yang
tinggi, maka dirinya akan merasa tertekan dan justru menambah burnout pada diri
mereka. Hal yang lain lagi ditemukan pada penelitian (Mathiew & Zajac, 1990;
Shrinivas, 2011) bahwa tidak terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara
komitmen organisasi dan burnout pada karyawan.
Oleh karena masih adanya perbedaan dari hasil penelitian yang sudah ada
sebelumnya, yakni kontradiksi antara ada atau tidak adanya hubungan yang negatif
dan signifikan antara komitmen organisasi dan burnout, ditambah dengan perbedaan
7
iklim organisasi dan subjek penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap hubungan komitmen organisasi
dan burnout di Kantor Regional IX Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jayapura.
Hal lainnya yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini adalah
Kantor Regional IX Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jayapura merupakan kantor
yang turut memberikan manfaat bagi negara dan terus berbenah untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya.
Berdasarkan uraian dalam sub bab latar belakang, maka rumusan identifikasi
masalah penelitian dalam penulisan ini adalah : Apakah terdapat hubungan yang
negatif signifikan antara komitmen organisasi dengan burnout di kantor Regional IX
Badan Kepegawaian Negara (BKN) Jayapura ?
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Burnout
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari
seseorang yang bekerja atau melakukan sesuatu, dengan ciri-ciri mengalami
kelelahan emosional, sikap sinis, dan pengurangan sosialisasi juga penghargaan diri
sendiri (Maslach & Jackson, 1986). Menurut Pines dan Aronson (dalam Sutjipto,
2001), burnout merupakan tahap-tahap kelelahan emosional, fisik dan mental
disebabkan keterlibatan yang lama dalam situasi yang menuntut secara emosional.
Weiten (2010) menjelaskan bahwa burnout meliputi kelelahan fisik, kelelahan
mental, dan emosi yang disebabkan stres yang berhubungan dengan pekerjaan, yang
biasa terjadi pada individu yang bekerja dalam bidang pelayanan sosial. Kelelahan
8
fisik yang terjadi dapat meliputi merasakan berkurangnya tenaga, merasa lemah, atau
kelelahan yang kronis.
Kelelahan mental dapat dimunculkan dengan tingginya sikap negatif pada
seseorang, pekerjaan, dan hidupnya. Kelelahan emosi terkait adanya perasaan tidak
berdaya, tidak berpengharapan, dan merasa terjebak atau terperangkap dalam
pekerjaannya.
Peneliti mengacu definisi burnout berdasarkan teori Maslach dan Jackson
(1986). Hal ini dikarenakan definisi tersebut dapat mencakup pengertian burnout,
serta memberikan pemahaman akan burnout secara jelas dan mudah dimengerti.
Oleh karena itu, burnout ialah keadaan di mana seseorang mengalami kelelahan, baik
fisik, emosional, dan mental, serta rasa rendah diri, dan mengakibatkan
ketidakberdayaan juga penarikan diri dari lingkungannya disebabkan oleh karena
pekerjaannya.
Tahap terjadi burnout
Tiga tahap yang terlibat terjadinya burnout (Cherniss, 1980): 1) Tahap pertama
yang melibatkan pengalaman stres yang timbul dari persepsi individu mengenai
ketidakseimbangan tuntutan dengan sumber daya yang dimiliki, 2) Tahap kedua yang
berupa respon emosional langsung dari adanya kesenjangan antara tuntutan dan
sumber daya yang dimiliki (strain), 3) Tahap ketiga merupakan respon terhadap
strain yang dialami yang mana individu berusaha melakukan sesuatu untuk
mengatasi hal tersebut.
Dimensi-dimensi Burnout
Berikut merupakan dimensi-dimensi burnout berdasarkan teori Maslach, Jakson
dan Leiter (1996):
9
a) Kelelahan emosi (exhaustion): dalam keadaan ini seseorang akan merasa
lelah, baik secara fisik (mual, sakit kepala, tidak bertenaga), mental (gagal,
tidak berharga, tidak bahagia), dan emosional (bosan, sedih, tertekan). Dalam
kondisi ini, rasa lelah muncul begitu saja tanpa sebelumnya didahului oleh
pengeluaran energi yang berarti. Selain itu, rasa lelah ini tidak dapat hilang,
meskipun individu tersebut sudah melakukan istirahat selama beberapa hari.
b) Cynicism: proses dalam melakukan penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan
dan kemampuan individu. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk sinis
terhadap rekan kerja atau orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaan,
kecenderungan untuk menarik diri, serta mengurangi keterlibatan diri dalam
pekerjaan. Perilaku tersebut diperlihatkan untuk melindungi diri dari perasaan
kecewa.
c) Rendahnya hasrat pencapaian diri sendiri (Professional Efficacy): suatu
kondisi ketika individu merasa bahwa dirinya tidak mampu atau tidak puas
melakukan tugas yang dibebankan padanya secara tepat. Biasanya ditandai
dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan
terhadap kehidupan. Selain itu, mereka juga merasa belum melakukan hal-hal
yang bermanfaat dalam hidupnya, sehingga pada akhirnya memicu timbulnya
penilaian rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri.
Perasaan tidak berdaya, tidak mampu melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan terlalu berlebihan sehingga tidak sanggup lagi menerima tugas
yang baru diberikan. Mereka merasa bahwa dunia di luar dirinya menentang
upaya untuk melakukan perbaikan dan kemajuan, sehingga kondisi tersebut
akhirnya membuat mereka merasa kehilangan kepercayaan terhadap
10
kemampuannya sendiri dan juga kehilangan kepercayaan dari orang lain
akibat perilakunya.
Menurut Pines dan Aronson (1988) terdapat 3 dimensi dalam burnout yakni.
a) Kelelahan fisik, yaitu kelelahan yang timbul pada taraf fisik seseorang,
seperti demam, sulit tidur, sakit kepala, mual-mual, dan lainnya.
b) Kelelahan emosional, yakni kelelahan yang berhubungan dengan perasaan
emosional seseorang, dapat ditandai dengan perasaan pribadi yang ditandai
dengan depresi dan perasaan tidak berdaya, seperti merasa tidak berharga,
benci, rasa gagal, selalu menyalahkan orang lain, dan sebagainya.
c) Kelelahan mental, yakni kondisi kelelahan yang terjadi pada seseorang yang
terwujud seperti rendahnya penghargaan diri sendiri dan depersonalisasi,
seperti bosan, mudah tersinggung, putus asa, dan tidak perduli dengan orang
lain.
Dalam penelitian kali ini penulis akan menggunakan dimensi-dimensi burnout
berdasarkan teori Maslach, dkk (1996), untuk mengukur tinggi dan rendahnya
burnout pada Pegawai Negeri Sipil di Kantor Regional IX Badan Kepegawaian
Negara (BKN) Jayapura, karena memiliki pengertian yang lebih lengkap, sesuai
dalam penelitian kali ini. Selain itu dimensi yang ada telah digunakan dan menjadi
acuan yang telah diakui dan digunakan secara luas.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Burnout
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pines dan Aronson (1988)
ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya burnout. Faktor-faktor
tersebut yakni:
11
1. Faktor eksternal meliputi:
a) Lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, apabila dalam lingkungan
pekerjaan seorang pegawai mendapatkan situasi yang kurang baik, seperti
selalu dibentak, mendapat perlakuan kasar, dan lainnya, maka akan
mempercepat munculnya burnout pada pegawai.
b) Kurangnya kesempatan untuk promosi, yakni apabila dalam sebuah
perusahaan seorang pekerja tidak mendapat kejelasan akan jenjang karirnya,
maka kecemasan yang dialami oleh karyawan akan meningkat, sehingga
membuat burnout yang ada semakin nyata dalam diri karyawan.
c) Imbalan yang diberikan tidak mencukupi, gaji, atau upah yang menjadi hak
bagi pegawai yang sudah menyelesaikan pekerjaan lemburanya, apabila tidak
diberikan tentu saja akan membuat para pegawai menjadi tertekan dan burnout
akan menimpa para pegawai.
d) Kurangnya dukungan sosial dari atasan, bentuk dukungan sosial akan sangat
ositif dalam dunia kerja, apalagi bila terwujud daripihak atasan, sehingga
apabila ini tidak terjadi, maka burnout pada karyawan akan meningkat.
e) Tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang selalu meningkat, dan target yang harus
dicapai membuat para pekerja akan tertekan dan dalam proses berkelanjutan
dapat menyebabkan burnout pada karyawan.
f) Komitmen organisasi, apabila seorang karyawan memiliki komitmen yang
tinggi dalam perusahaan tempat ia bekerja, maka burnout yang akan terjadi
pada karyawan tersebut akan berkurang.
12
2. Faktor internal meliputi:
a. Usia, yang mana seorang pegawai yang sudah bekerja cukup lama dan
memiliki usia yang relatif muda akan memiliki tingkat burnout yang relatif
lebih tinggi.
b. Jenis kelamin, perbedaan culture budaya untuk merespon, dan pandangan
lingkungan membuat fenomena burnout pada pria dan wanita akan berbeda.
c. Harga diri, yang mana harga diri yang ada pada seseorang akan turut
menentukan burnout burnout yang ada pada dirinya. Ketika ia memiliki harga
diri yang tinggi, maka akan berkorelasi positif terhadap burnout.
d. Karakteristik kepribadian, yang mana hal ini merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi burnout karena cara merespon dan bertindak dalam pekerjaan
akan membuat tingkat burnout pada seseorang berbeda-beda.
B. Pengertian Komitmen Organisasi
Menurut Blau dan Boal (dalam Riyanto, 2008), komitmen organisasi adalah
keadaan seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-
tujuannya, serta memelihara keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Loyalitas
atau kesetiaan terhadap organisasi adalah keinginan yang kuat untuk menjadi
anggota organisasi tempat ia bekerja(Resmi, 2007). Karyawan akan mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi karena karyawan merasa bahwa dirinya adalah
bagian dari organisasi yang tidak terpisahkan.
Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan
kepuasan dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja Pengertian komitmen
organisasi yang diacu adalah pengertian komitmen organisasi berdasarkan pendapat
13
Allen dan Meyer (1997). Hal tersebut dikarenakan pengertian tersebut memiliki
pengertian yang tepat dengan penelitian yang akan dilakukan, dan dapat menjelaskan
dengan baik komitmen organisasi. Oleh karena itu, maka komitmen organisasi ialah
keadaan seseorang karyawan untuk terus bekerja dan merasa dirinya menjadi bagian
dari sebuah organisasi, sehingga dirinya akan bekerja secara loyal dan berusaha
menjalankan perannya dalam organisasi. Berdasarkan keadaan tersebut, maka
karyawan dapat membuat pilihan dan keputusan apakah ia akan keluar atau tetap
bertahan di dalam sebuah organisasi.
Dimensi-dimensi Komitmen Organisasi
Berikut merupakan dimensi-dimensi dalam komitmen organisasi menurut Allen
dan Meyer (1997).
a) Affective commitment
Karyawan/pegawai yang memiliki komitmen ini berada dalam perusahaan
karena mereka memang menginginkannya. Karyawan yang berada dalam
perusahaan karena memiliki komitmen ini adalah karyawan yang memiliki
tujuan dan nilai yang sama dengan perusahaannya.
b) Continuance commitment
Karyawan/pegawai yang berada di perusahaan karena memiliki komitmen ini
adalah karyawan yang berada di perusahaan karena mereka
membutuhkannya. Hal ini wajar terjadi, karena karyawan akan melihat dan
mempertimbangkan resiko dan dampak ketika ia meninggalkan
perusahaannya. Lalu karyawan yang berada di perusahaan atas dasar
komitmen ini memiliki ketertarikan akan gaji atau pendapatan yang ia terima
dari perusahaannya.
14
c) Normative commitment
Karyawan/pegawai yang berada di perusahaan karena memiliki komitmen ini
adalah karyawan yang merasa mereka harus berada di dalam perusahaan
tersebut. Karyawan yang memiliki komitmen ini akan dipandu oleh kebiasaan
bekerja, loyalitas, dan perasaan untuk bertugas kepada perusahaannya.
Dimensi-dimensi komitmen organisasi berdasarkan pendapat Steers (1988)
yakni:
a) Identifikasi dengan organisasi
Penerimaan tujuan organisasi, di mana penerimaan ini merupakan dasar
komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui
kebijaksanaan organisasi kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi,
rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi.
b) Keterlibatan
Adanya kesediaan untuk berusaha sungguh-sungguh pada organisasi.
Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi
tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir
semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan padanya.
c) Loyalitas
Adanya keinginan yang kuat untuk menjaga keanggotaan di dalam organisasi.
Loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta
adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai.
Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa
memiliki terhadap organisasi.
15
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dimensi komitmen organisasi yang
dikeluarkan oleh Allen dan Meyer (1990), dimana di dalamnya terdapat dimensi
komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif. Dimensi
tersebut dipilih karena berdasarkan observasi yang dilakukan, terdapat tiga dimensi
komitmen organisasi tersebut di Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX
Jayapura, dimensi ini cakupannya lebih baik, dimensi tersebut sesuai tujuan dari
organisasi untuk menjaga hubungan yang baik dengan pegawai dan mendapatkan
hasil yang maksimal.
Dimensi yang ada juga dapat menjelaskan fenomena komitmen organisasi yang
ada secara tepat, selain itu dimensi tersebut selalu dikembangkan dan telah menjadi
acuan yang telah diakui secara internasional.
Dampak Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi memiliki dampak atau efek bagi para karyawan yang
bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Dampak yang ditimbulkan terhadap para
karyawan yakni menurunkan tingkat turnover yang terjadi pada para karyawan, serta
meningkatkan kinerja para karyawan tersebut. Pendapat tersebut berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Morison (dalam Widodo, 2010).
Dampak lainnya yang dapat ditimbulkan dari komitmen organisasi terhadap
perusahaan adalah komitmen organisasi dapat membantu perusahaan bekerja secara
maksimal dan efektif secara umum. (Dessler, dalam Retnaningsih, 2007). Terhadap
burnout, komitmen organisasi memiliki hubungan yang negatif.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa apabila salah satu variabel tersebut
memiliki nilai yang tinggi, maka nilai variabel lainnya akan menunjukan angka
16
sebaliknya. Apabila seseorang karyawan memiliki komitmen organisasi yang tinggi,
maka karyawan tersebut akan memiliki burnout yang rendah. Hal tersebut muncul
karena memiliki nilai dan tujuan yang sama dengan tempat ia bekerja, sehingga tidak
timbul ketegangan, dan kejenuhan terhadap pekerjaan yang dia lakukan (Pramadani
& Fajrianthi, 2012).
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori-teori yang ada dan penelitian yang mendahului yang telah
dipaparkan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan negatif
dan signifikan antara komitmen organisasi dan burnout.” Artinya semakin tinggi
komitmen organisasi maka semakin rendah burnout. Begitupun sebaliknya apabila
semakin rendah komitmen organisasi maka semakin tinggi burnout.
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti oleh peneliti yaitu:
Variabel Bebas : Komitmen Organisasi
Variabel Terikat : Burnout
B. Populasi dan Sampel
Populasi merupakan kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil
penelitian (Azwar, 2008). Sedangkan menurut Moehnilabib (2003) populasi adalah
semua subjek atau objek sasaran penelitian. Dalam penelitian kali ini populasinya
adalah para pegawai di Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX Jayapura
yang berjumlah 100 (seratus) pegawai. Adapun karakteristik populasinya adalah
sebagai berikut:
17
1. Merupakan Pegawai tetap Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional IX
Jayapura
2. Mengabdi atau memiliki masa kerja minimal 10 tahun, dikarenakan
berdasarkan hasil penelitian Lambert (2001) yang mengindikasikan adanya
pengaruh masa kerja, di mana semakin lama masa kerja maka akan membuat
semakin nyata burnout yang ada pada karyawan.
Sedangkan sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih dengan
menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya
(Sugiarto, 2003). Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
Sampling jenuh adalah teknik sampling yang menggunakan seluruh anggota pupulasi
sebagai sampel subjek penelitian. Biasanya dilakukan jika populasi dianggap kecil
atau kurang dari 100.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif, yaitu
data yang merepresentasikan realitas yang disimbolkan secara numerik, hal ini sesuai
dengan pernyataan Simamora (dalam Azwar, 2012). Metode yang digunakan oleh
penulis dalam mengumpulkan data penelitian kali ini adalah dengan menggunakan
alat ukur skala psikologi. Skala dapat mengungkap hal-hal yang sifatnya pribadi
seperti perasaan tertekan, keinginan-keinginan, prasangka-prasangka dan yang
semacamnya, serta perbuatan dimasa lampau (Hadi, 1989). Skala psikologi sendiri
merupakan teknik dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan
seperangkat pernyataan atau pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab
(Sugiyono, 2003).
18
Skala Komitmen Organisasi
Skala pengukuran komitmen organisasi dalam penelitian ini mengacu pada alat
ukur yang dikembangkan oleh Allen dan Meyer (2004) yang kemudian dimodifikasi
oleh peneliti dan memiliki tiga dimensi komitmen organisasi yaitu Affective
commitment, Normative commitment, Continuance commitment. Skala tersebut
bernama Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) yang tersusun dari 18
Item pertanyaan dalam bentuk skala Likert.
Skala tersebut memiliki nilai reliabilitas atau Alpha sebesar: 1) Affective
commitment (0,75), 2) Continuance commitment (0,59), 3) Normative commitmen
(0,75) menurut hasil uji oleh Brown (2003). Meskipun skala tersebut memiliki nilai
reliabilitas yang tinggi, namun pengukuran alat ukur tersebut dilakukan di luar
Indonesia, dan mungkin memiliki tipe subjek yang berbeda. Oleh karena itu peneliti
memilih melakukan modifikasi dan kembali mengukur daya diskriminasi item dan
reliabilitas item agar alat ukur yang digunakan dapat benar-benar bermanfaat.
Pada skala komitmen organisasi ini terdapat dua bentuk pernyataan, yaitu
pernyataan mendukung (favorable), maupun pernyataan yang tidak mendukung
(unfavorable). Dalam skala ini disediakan empat alternatif jawaban, yaitu: SS =
Sangat sesuai; S = sesuai; TS = Tidak sesuai; STS = Sangat tidak sesuai. Skor yang
diberikan pada setiap alternatif jawaban dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1
Skor Alternatif Jawaban Komitmen Organisasi
Pilihan Jawaban Favorabel Unfovorabel
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai (S) 3 2
19
Tidak S (TS) 2 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4
Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi komitmen organisasi
yang dimiliki karyawan. Demikian juga sebaiknya, semakin rendah skor yang
diperoleh maka semakin rendah pula komitmen organisasinya.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala Komitmen
Organisasi yang terdiri dari 17 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 4 item, sisa
item yang tidak gugur sebanyak 13 item setelah pengujian dua putaran, dengan
koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,517-0,713. Sedangkan teknik
pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha
Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala Komitmen Organisasi
sebesar 0,909. Koefisien ini dikartagorikan dalam reliabel yang cukup (Azwar,
1997). Hal ini berarti Skala Komitmen Organisasi mempunyai reliabilitas yang baik.
Skala Burnout
Skala burnout yang diacu dalam penelitian ini adalah skala yang disusun oleh
Maslach, Leiter dan Jackson (1996) dan kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Skala
tersebut dikenal dengan nama Maslach burnout index General (MBI-GS) yang
tersusun sebanyak 16 item pertanyaan, berupa skala Likert, dapat digunakan untuk
mengukur burnout pada karyawan secara umum, tidak hanya pada para pekerja
sosial saja. Skala psikologi MBI-GS memiliki 3 aspek di dalamnya, yakni
Professional efficacy, exhaustion, dan Cynicism. Tingkat reliabilitas skala psikologi
MBI-GS adalah sebesar (0,76) hal tersebut dilakukan setelah dilakukan pengujian
oleh Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2002). Lalu tingkat reliabilitas per aspek
20
adalah Professional efficacy (0,79), Exhaustion (0,86), dan Cynicism (0,80)
(Richardson & Martinussen, 2005). Meskipun skala psikologi tersebut memiliki nilai
reliabilitas yang baik, namun pengujian tersebut dilakukan di luar Indonesia, dengan
karakteristik subjek yang mungkin berbeda. Oleh karena itu peneliti memilih
melakukan modifikasi dan pengujian kembali daya diskriminasi dan reliabilitas skala
burnout agar alat ukur tersebut dapat bermanfaat dengan baik dan sesuai dengan
penelitian yang ada.
Pada skala burnout dalam penelitian ini terdapat dua bentuk pernyataan, yaitu
pernyataan mendukung (favorable), maupun pernyataan yang tidak mendukung
(unfavorable). Dalam skala ini disediakan empat alternatif jawaban, yaitu: SS =
Sangat sesuai; S = sesuai; TS = Tidak sesuai; STS = Sangat tidak sesuai. Skor yang
diberikan pada setiap alternatif jawaban dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.2
Skor Alternatif Jawaban Burnout
Pilihan Jawaban Favorabel Unfovorabel
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai (S) 3 2
Tidak S (TS) 2 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4
Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi burnout yang dimiliki
karyawan. Demikian juga sebaiknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka
semakin rendah pula burnout yang dimiliki.
21
Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas kelompok Burnout yang terdiri dari
17 item, diperoleh 3 item yang gugur, sehingga tersisa 14 item yang dapat di
gunakan setelah dua kali putaran, dengan koefisien korelasi item total bergerak
antara 0,503-0,681, dan koefisien Alpha pada kelompok Burnout sebesar 0,902 yang
artinya kelompok tersebut reliabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, standar
deviasi dan interval (menurut Hadi, 2000) dari komitmen organisasi pada Pegawai
Negeri Sipil Kantor Regional IX dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.5
Komitmen Organisasi
Interval Kategori F % Mean SD
44,2 ≤ x ≤ 52 Sangat Tinggi 3 3 %
29,060
7,317 36,4 ≤ x < 44,2 Tinggi 13 13%
28,6 ≤ x < 36,4 Sedang 45 45%
20,8 ≤ x < 28,6 Rendah 28 28%
13 ≤ x < 20,8 Sangat Rendah 18 18%
Jumlah 100 100%
Maximum = 46
Minimum = 13
Dari tabel 1.5 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar Pegawai memiliki
komitmen organisasi yang berada pada kategori sedang yaitu 45 Pegawai atau
sebesar 45%. Kemudian juga pegawai yang memiliki komitmen organisasi pada
kelompok yang sangat tinggi yaitu 3 pegawai atau sebesar 3%. Lalu pada pegawai
dengan tingkat komitmen organisasi yang tinggi yaitu 13 pegawai atau sebesar 13%.
22
Kemudian di tingkat komitmen organisasi yang rendah pada pegawai sebesar 28
pegawai atau sebesar 28 %. Dan yang terakhir dalam kelompok yang sangat rendah
pada komitmen organisasi pada pegawai sebanyak 18 pegawai atau sebesar 18%.
Skor paling rendah adalah 13, skor paling tinggi adalah 46, dan rata-ratanya sebesar
29,060 dengan standar deviasi 7,317.
Tabel 1.6
Kategori Burnout
Interval Kategori F % Mean SD
47,6 ≤ x ≤ 56 Sangat Tinggi 2 2 %
30,2800
7,247 39,2 ≤ x < 47,6 Tinggi 8 8%
30,8 ≤ x < 39,2 Sedang 39 39%
22,4 ≤ x < 30,8 Rendah 35 35%
14 ≤ x < 22,4 Sangat Rendah 16 16%
Jumlah 100 100%
Maximum = 50
Minimum = 14
Dari tabel 1.6 di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar Pegawai memiliki
Burnout yang berada pada kategori sedang yaitu 39 Pegawai atau sebesar 39%.
Kemudian juga pegawai yang memiliki burnout pada kelompok yang sangat tinggi
yaitu 2 pegawai atau sebesar 2%. Lalu pada pegawai dengan tingkat burnout yang
tinggi yaitu 8 pegawai atau sebesar 8%. Kemudian di tingkat burnout yang rendah
pada pegawai sebesar 35 pegawai atau sebesar 35 %. Dan yang terakhir dalam
kelompok yang sangat rendah pada burnout pada pegawai sebanyak 16 pegawai atau
sebesar 16%. Skor paling rendah adalah 14, skor paling tinggi adalah 50, dan rata-
ratanya sebesar 30,2800 dengan standar deviasi 7,247.
23
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini:
Tabel Skala 1.7 Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Komitmen Organisasi Burnout
N 100 100
Normal Parametersa Mean 29.0600 30.2800
Std.
Deviation 7.31792 7.24754
Most Extreme
Differences
Absolute .114 .124
Positive .114 .124
Negative -.068 -.097
Kolmogorov-Smirnov Z 1.139 1.239
Asymp. Sig. (2-tailed) .149 .093
a. Test distribution is Normal.
Pada Tabel Skala 1.7 pada kelompok Komitmen Organisasi diperoleh nilai K-S-
Z sebesar 1,139 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,149 (p>0,05).
Kelompok Burnout nilai K-S-Z sebesar 1,239 dengan probabilitas (p) atau
signifikansi sebesar 0,93. Dengan demikian kedua kelompok berdistribusi normal.
Korelasi Komitmen Organisasi dan Burnout
Korelasi Komitmen Organisasi dan Burnout dapat di lihat pada tabel di
bawah ini :
24
Tabel Skala 1.8 Uji Korelasi
Correlations
Komitmen organisasi Burnout
Komitmen
Organisasi
Pearson
Correlation 1 .859**
Sig. (1-tailed) .000
N 100 100
Burnout Pearson
Correlation .859** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Pada skala 1.4 di atas dapat di definisikan bahwa korelasi antara Komitmen
Organisasi dengan Burnout adalah 0,859 dan tingkat signifikan antara keduanya
adalah 0,000 pada populasi 100. Kemudian korelasi Burnout dengan Komitmen
Organisasi adalah 0,859 dan tingkat signifikan antara keduanya adalah 0,000 pada
populasi 100. Jadi, hipotesis dalam penelitian ini di tolak.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai Hubungan Komitmen
Organisasi dengan Burnout pada Pegawai Negeri Sipil di Kantor Regional IX Badan
Kepegawai Negara (BKN) dengan menggunakan program SPSS versi 16.0,
diperoleh korelasi antara Komitmen Organisasi dengan Burnout adalah r=0, 859,
P<0,05. Dapat di simpulkan bahwa ada hubungan positif signifikan antara Komitmen
Organisasi dengan Burnout pada Pegawai Negeri Sipil di Kantor Regional IX Badan
kepegawai Negara (BKN) Jayapura Papua artinya semakin tinggi pegawai yang
25
berkomitmen dengan kantor maka semakin tinggi pula nilai burnout yang pegawai
itu rasakan. Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian William (2013),
penelitian Weinreich (2014) maupun penelitian Gemilik, dkk (2010), yang
menemukan adanya hubungan yang negatif signifikan antara komitmen organisasi
dan burnout.
Hasil penelitian ini lebih mendukung terhadap penelitian penelitian Shrinivas
(2011) yang tidak menemukan adanya hubungan negatif dan signifikan antara
komitmen organisasi dan burnout pada karyawan. Dalam penelitiannya didapatkan
bahwa justru komitmen organisasi memiliki hubungan positif dengan burnout
dimana ketika seorang karyawan memiliki komitmen yang tinggi, maka dirinya akan
merasa tertekan dan justru menambah burnout pada diri mereka.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 5 Mei 2015 dengan beberapa
pegawai di kantor tersebut penulis mendapatkan informasi bahwa saat pegawai
terlihat sebagai pegawai yang rajin bekerja berkomitmen, pegawai tersebut biasanya
mendapat tambahan beban kerja dari atasan untuk menanggulangi pekerja yang
semakin banyak, yang tidak dikerjakan oleh pegawai yang kurang memiliki
komitmen terhadap pekerjaannya.
Mengingat hal di atas, adanya korelasi posif antara Komitmen Organisasi
dengan Burnout mungkin terjadi karena : pertama pegawai yang benar-benar
berkomitmen terhadap organisasi itu justru beban kerjanya di tambahkan karena
atasan (kepala kantor) mempercayai pegawai-pegawai yang berkomitmen dengan
organisasi tersebut dari sini pegawai tersebut merasa nilai burnoutnya tinggi
(pegawai merasa tertekan, mengalami bosan, dan juga sering mengalami mengalami
sakit kepala dalam mengerjakan tugas yang telah di tambahkan oleh atasannya
26
tersebut). Gejala tersebut termasuk burnout secara emosional menurut Maslach dkk
(1996). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Xioming, dkk (2014) yang menemukan bahwa beban kerja yang didapatkan individu
merupakan salah satu faktor pemicu munculnya burnout yang mereka rasakan.
Pegawai yang kurang mempunyai komitmen terhadap Organisasi seperti datang ke
kantor tidak sesuai dengan peraturan kantor justru tidak mendapatkan tambahan
pekerjaan dari atasan (kepala kantor) karena kurang mendapatkan kepercayaan dari
atasan, sehingga mereka justru memiki nilai burnout rendah mereka tidak
mendapatkan beban kerja yang banyak. Hal yang lain, Pegawai-pegawai yang
komitmen oganisasi tinggi berkeinginan untuk menambah kredit poin terhadap
dirinya agar supaya dapat mendapat rekomendasi kenaikan pangkat/golongan ke
jenjang yang lebih tinggi lagi (pencapaian diri sendiri), sehingga keinginan untuk
melakukan yang terbaik bagi organisasinya justru memberikan tekanan lebih besar,
beban lebih besar yang justru menimbulkan burnout.
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa dari hasil ini penulis melihat bahwa pegawai yang
sangat berkomitmen dengan Organisasi (Kantor) cenderung mengalami burnout yang
tinggi namun sebaliknya Pegawai yang kurang atau bahkan tidak berkomitmen
terhadap organisasi (Kantor) cenderung tidak mengalaami burnout yang semakin
tinggi. Hal ini dapat terlihat dari Sumbangan efektif dari Komitmen Organisasi
dalam burnout sebanyak 73,7% dari seluruh sumbangan efektif yang ada (100%)
sementara 26,3% berasa dari faktor lainnya seperti: lingkungan kerja, isi pekerjaan,
hubungan interpersonal, kurangnya dukungan sosial, (Pines & Aroson, 1988).
27
Saran
1. Adanya support sistem dari atasan baik itu kepala kantor sampai dengan
kepala seksi yang dapat mensuport pegawai-pegawai yang nilai komitmennya
tinggi.
2. Adanya pembagian tugas yang merata kepada setiap pegawai yang bekerja di
Kantor Regional IX Badan Kepegawai Negara (BKN) Jayapura.
3. Harus adanya komputer yang mengaudit tentang segala sesuatu yang
mengenai PNS baik pangkat, dll.
4. Atasan dalam hal ini kepala kantor harus mengadakan liburan-liburan untuk
dapat membuat pegawai rileks dan sejenak melupakan tugas dan tanggung
jawab di kantor.
5. Kantor harus membuka formasi penerima pegawai yang dapat memahami
konseling, agar dapat setiap ada masalah seperti ini pegawai yang mempunyai
masalah bisa di konseling.
28
DAFTAR PUSTAKA
Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedents of affective,
continuance and normative commitment to the organization. Journal of
Occupational Psychology, 63(1), 1–18.
Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1997). Affective, continuance, and normative
commitment to the organization: examination of construct validity. Journal of
Vocational Behavior, 49(3), 252-76.
Azwar, S. (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chen, S. M., & McMurray, A. (2001) “Burnout” in intensive care nurses. J Nurs Res,
9, 152-164.
Cherniss, C. (1980). Professional burnout in the human service organizations. New
York: Praeger.
Cordes, C. L., & Dougherty, T. W. (1993). A review and an integration of research
on job burnout. Academy of Management Review, 18(4), 621–656.
Cropanzano, R., Rupp, D.E., & Byrne Z. S. (2003). The relationship of emotional
exhaustion to work attitudes, job performance ratings, and organizational
citizenship behaviors. Journal of Apllied Psychology, 88(1), 160-169.
Ema, A. (2004). Peranan dimensi-dimensi birokrasi terhadap burnout pada perawat
rumah sakit di Jakarta. Jurnal Psyche, 1(1). 23-45
Gemilik, N., Sisman, F.A., & Sigri, U. (2010). The relationship between burnout and
organizational commitment among health sector staff in Turkey [DX Reader
version]. Journal of Global Strategic Management, 8, 137-149.
Hadi, S.(1989). Metodologi research Yogyakarta : Penerbit Andi
Kobasa, S. C. (1982). The hardy personality: Toward a social psychology of stress
and health. In G. Sanders & J. Suls
Lambert, R. G., McCarthy, C. J., & Abbott-Shim, M. (2001). Classroom appraisal of
resources and demands, school-aged version. Atlanta: Head Start Quality
Research Center.
Marmaya, N.H.B., Zawawi, N., Hitam, M., & Jody, J.M. (2011). Organizational
commitment and job burnout among employees in Malaysia [DX Reader
version]. International Conference on Business and Economics Research,
1,185-187.
Maslach, C., & Jackson, S. E. (1986). Maslach burnout inventory (2nd ed). Palo
Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
29
Maslach, C., & Leiter, M.P. (1997) The truth about burnout: How organization
cause personal stress and what to do about it. San Francisco: Jossey-Bass.
Maslach, C., Jackson, S. E., & Leiter, M. (1996). Maslach burnout inventory:
Manual (3rd ed.). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Mathieu, J. E., & Zajac, D. M. (1990,April). A review and meta-analysis of the
antecedents, correlates, and consequences of organizational commitment.
Psychological Bulletin, 108,171-194.
McDonald, D. J., & Makin, P. J. (2000). The psychological contract, organisational
commitment and job satisfaction of temporary staff. Leadership and
Organization Development Journal, 21(2), 84-91.
Meyer, J. P., Allen, N. J., & Smith, C. A. (1993). Commitment to organizations and
occupations: Extension and test of a three-component conceptualization. Journal
of Applied Psychology, 78, 538–551.
Meyer. J., & Allen, N. (1997). Commitment in the workplace: Theory, research,
and application. Sage Publications
Moehnilabib (2003) Perbedaan kecendrungan Burnout pada terapis anak
Berkebutuhan khusus berdasarkan jenis kelamin.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human development (10th ed).
New York: McGraw Hill.
Pines, A. M. & Aronson, E. (1988). Career bumout: Causes and cures. New York:
Free Press.
Pramadani, A. B &Fajrianthi. (2012). Hubungan antara komitmen organisasi dengan
kesiapan untuk berubah pada karyawan divisi enterprise service (DES) telkom
Ketintang Surabaya. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 1(2), 102-109.
Retrivied from http://journal.unair.ac.id/filerPDF/110810026_7v.pdf
Retnaningsih, S. (2007). Analisis pengaruh keadilan kompensasi, peran
kepemimpinan, dan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi dalam
meningkatkan kinerja karyawan (Studi kasus: Pada sentral pengolahan pos
Semarang).Tesis tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro: Semarang.
Riyanto, M. (2008). Faktor-faktor yang memengaruhi keinginan karyawan berpindah
kerja [DX Reader version]. Ragam, 8, 26-36.
Schwab, K. (2011). The global competitiveness report. Gnewa: World Economic
Forum
Shirazi, R. R. (2011). Study of the relationship between organizational commitment
and job burnout among physical education teachers of Golestan province, Iran.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 5, 1379-1384.
30
Sopiah. (2008). Perilaku organisasional. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Srinivas, S. (2011). Organizational Commitment and Job burnout among employees
of non-profit organization. Pomona: California State Polytechnic University.
Steers, R.M. (1997). Antecedents and outcomes of organizational commitment.
Administrative Science Quarterly, 22, 46-56.
Sugiarto. (2003). Teknik sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 0
Sutjipto. (2009). Apakah anda mengalami burnout. Retrivied from
http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/32/ (diakses pada 15 Februari 2013)
Sutjipto. (2009). Apakah anda mengalami burnout. Retrivied from
http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/32/ (diakses pada 15 Februari 2013)
Tatang A. M. (2011). Populasi dan sampel penelitian 4 : Ukuran sampel rumus
slovin. Artikel. Retvied from www.tatangmanguny.wordpress.com
Weinreich, T. (2014). Burnout and work engagement among elementary teachers: -
Are there differences among teachers? A Cross Sectional study. Thesis:
Univeriteit Twente
Weiten, W. (2010). Psychology: Themes and variations (8th ed). California:
Wadworth.
Widodo, R. (2010). Analisis pengaruh keamanan kerja dan komitmen organisasional
terhadap turnover intention serta dampaknya pada kinerja karyawan
outsourcing: Studi pada PT. PLN Persero APJ. Tesis tidak diterbitkan
Universitas Diponegoro, Semarang.
William, S. (2013) Hubungan komitmen organisasi dan Burnout pada karyawan PT.
GGP Lampung Skripsi Universitas Kristen Satya Wacana
Xiaoming, Y., Ma, B. J., Chang, C. L., & Shieh, C. J. (2014). Effects of Workload on
Burnout and Turnover Intention of Medical Staff: A. Study. Ethno Med, 8(3):
229-237