hiv aids lagi

Upload: amalinanadiah

Post on 13-Oct-2015

35 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

HIV aids

TRANSCRIPT

arsip kuliah satria Kamis, 10 November 2011askep HIV BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIlmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan telah membawa manusia menuju suatu babak baru dalam kehidupan yang lebih maju. Namun, kemajuan ini ternyata juga telah menuntun manusia ke kehidupan yang lebih bebas. Sebagai contoh adalah adanya kasus seks bebas dan penggunaan narkoba. Jika kedua kasus tersebut meningkat, berarti terjadi pula peningkatan risiko penyebaran penyakit infeksi yang saat ini menjadi fenomena di dunia. Salah satu penyakit infeksi yang menyebar melalui perilaku seks bebas dan penggunaan narkoba adalah infeksi HIV/AIDS. Penyakit ini sampai sekarang masih menjadi isu kesehatan publik di dalam komunitas di seluruh dunia (Smeltzer & Bare, 2002).Berdasarkan data Departemen kesehatan (Depkes) pada periode Juli-September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang (Media Indonesia, 2006). HIV/AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan obat yang dapat memulihkannya hingga saat ini. Menderita HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan di sekeliling penderita.Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian.Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama. Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien kontrol ke rumah sakit menunjukkan adanya perbedaan respons imunitas (CD4). Hal tersebut menunjukkan terdapat faktor lain yang berpengaruh, dan faktor yang diduga sangat berpengaruh adalah stres.Perawat merupakan faktor yang berperan penting dalam pengelolaan stres, khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya. Selain itu, perawat juga berperan dalam pemberian dukungan sosial berupa dukungan emosional,informasi, dan material.1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum Mahasiswa mengetahui Rencana Tindakan Keperawatan pada Klien HIV/AIDS. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Respons Biologis (Aspek Fisik) pada pasien HIV/AIDS. b. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Respons Adaptif Psikologis. c. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Respons Sosial. d. Mahasiswa mengetahui Keperawatan Respons Spiritual

1.3 Metode Penulisan Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

1.4 Sistematika PenulisanMakalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :1. BAB I : Pendahuluan, terdiri dari : latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.2. BAB II : Tinjauan teoritis terdiri dari : Pengkajian dan Masalah Keperawatan, Diagnosis Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS, Respon Spesifik pada Penderita HIV/AIDS, Intervensi Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV (PHIV), Asuhan Keperawatan Respons Biologis (Aspek Fisik), Asuhan Keperawatan Respons Adaptif Psikologis (Strategi Koping), Asuhan Keperawatan Respons Sosial (Keluarga dan Peer Group), Asuhan Keperawatan Respons Spiritual.3. BAB III : Penutup: terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB IITINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengkajian dan Masalah KeperawatanPerjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya diikuti oleh adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.

MasalahFisikMasalahPsikisMasalahSosialMasalah Ketergantungan

1. Sistem pernafasan: Dispnea, TBC, dan pneumonia2. Sistem pencernaan: Nausea-Vomiting, Diare, Dysphagia, dan BB turun 10persen/3 bulan.3. Sistem persyarafan: letargi, nyeri sendi, dan encepalopathy.4. Sistem integumen: Edema yang disebabkan Kaposis Sarcoma, lesi dikulit atau mukosa, dan alergi.5. Lain-lain: Demam dan risiko menularkan.1. Integritas ego: perasaan tidak berdaya/putus asa2. Faktor stress: baru/lama3. Respon psikologis: menyangkal, marah, cemas dan mudah tersinggung

1. Perasaan minder dan tidak berguna di masyarakat2. Interaksi sosial: peraaan terisolasi atau ditolakPerasaan membutuhkan pertolongan orang lain

Tabel 2.1 Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS (menurut Teori Adaptasi) Terjadinya penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stressor psikososial. Reaksi yang pertama kali yang ditunjukkan setelah seseorang didiagnosis mengidap HIV adalah penolakan dan terkejut/syok atau tidak percaya. Pasien beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan HIV merupakan penderitaan sepanjang hidup mereka.

2.2 Diagnosis Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS Pada pasien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif, antara lain: 1. Resiko komplikasi/infeksi sekuder.2. Wasting sindrom, sarcoma kaposi, dan limfoma.3. Meningitis, infeksi oportunistik (misalnya Kandidiasis, Sitomegalovirus, Herpes, Pneumocystis carinii pneumonia)Menurut NANDA (North American Nursing Diagnosis) Internasional Taksonomi II, Diagnosis keperawatan yang kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS antara lain:1. Intoleransi aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, efek samping pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran gas (sekunder terhadap infeksi paru atau keganasan).2. Bersihan jalan nafas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan energy, kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru, dan pneumothoraks.3. Kecemasan adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.4. Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis, alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan sexsual.5. Ketegangan peran pemberi perawatan (actual atau resiko) berhubungan dengan keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak dapat diprediksi atau ketidak stabilan dalam perawatan kesehatan penerima perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai dan rekreasi bagi pemberi perawatan, serta kompleksitas dan jumlah tugas perawatan.6. Konfusi (akut atau kronis). Berhubungan dengan infeksi susunan saraf pusat (misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma,dan perkembangan HIV.7. Koping keluarga berkaitan dengan ketidak mampuan untuk berhubungan dengan informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat tentang, penyakit kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara kronis.8. Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam situasi krisis (misalnya penyakit terminal).9. Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi.10. Kurangnya aktivitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau lamanya pengobatan medis, perawatan dirumah sakit dalam waktu yang lama, bedrest yang lama. 11. Kelelahan, berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan psikologis dan emosional yang sangat banyak.12. Takut, berhubungan dengan ketidak berdayaan, ancaman yang nyata terhadap kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, dan kemungkinan kematian.13. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder terhadap lesi oral dan diare.14. Berduka disfungfional/diantisipasi, berhubungan dengan: kematian atau perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan penampilan dan ditinggal mati oleh orang yang berarti (orang terdekat).15. Perubahan pemeliharan rumah, berhubungan dengan system pendukung yang tidak adekuat, kurang pengetahuan, dan kurang akrab dengan sumber-sumber komunitas.16. Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan prognosis yang buruk.17. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi seluler.18. Resiko injury (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan, perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuscular.19. Pengelolaan pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan kompleksitas dengan bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang penyakit, obat, dan sumber komunitas, depresi, sakit, malaise.20. Ketidakseimbangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan dengan kesulitan menguyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan esophagus, malabsorbsi gastrointestinal, dan infeksi oportunistik (kandidiasis dan herpes).21. Nyeri akut, berhubungan dengan: pekembanngan penyakit, efek samping pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap infeksi SPP (Sistem Saraf Pusat), neuropati perifer, dan mialgia parah.22. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.23. Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental, makan/ minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/ kronis.24. Harga diri rendah (kronis dan situasional), berhubungan dengan penyakit kronis dan krisis situasional.25. Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan dengan kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan penglihatan akibat infeksi CMV.26. Pola seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang lebih aman, takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks, impoten sekunder akibat efek obat.27. Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan jarinagn sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi premium eskunder akibat diare dan lesi (kandidiasis dan herpes), dan kerusakan mobilitas fisik.28. Perunahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam hari, obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi dan putus obat (heroin dan kokain).29. Isolasi social, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral, budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan gambaran diri.30. Distress spiritual, berhubungan dengan tantangan system keyakinan dan nilai dan tes keyakinan spiritual.31. Adanya resiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti adanya ide bunuh diri akibat rasa keputusasaan

2.3 Respon Spesifik pada Penderita HIV/AIDSSelain berdasarkan diagnosis keperawatan, terhadap tanda-tanda lain pada penderita HIV/AIDS. Mereka umumnya memiliki respons yang spesifik yakni:2.3.1 Respons Biologis (Imunitas)Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limposit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan anti gen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan ko-reseptor nya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membrane sel dan bagian intinya masuk kedalam sel membrane. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polymerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polymerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polymerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000).Kode genetic DNA berupa untai ganda serta terbentuk, maka akan masuk keinti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA kopi dari virus di sispkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 yang mengalami sitolisis ( Stewart,1997).Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, magrofag, sel-sel microglia diotak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans dikulit. Efek infeksi pada sel epitel usus adalah diare yang kronis(stewart, 1997).Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/l sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/l setelah terinfeksi 2-10 tahun (stewart 1997).2.3.2 Respon adaptif psikososial-spiritualPengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi steress, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi terhadap penyakit.

ReaksiProses PsikologisHal-hal yang Biasa Dijumpai

1. Shock (kaget, goncangan batin)Merasa bersalah, marah, dan tidak berdayaRasa takut, hilang akal, frustasi rasa sedih, susah, acting out

2. Mengucilkan diriMerasa cacat, tidak berguna, dan menutup diriKhawatir menginfeksi orng lain, murung

3. Membuka status secara terbatas Ingin tau reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin dicintaiPenolakan, strees, dan konfronntasi

4. Mencari orang lain yang HIV positfBerbagi rasa, pengenalan, kepercayaan, penguatan dan dukungan sosialKetergantungan, canpur tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya

5. Status khususPerubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi hal yang istimewa, dibutuhkan oleh yang lainnyaKetergantungan, dikotomi kita dan mereka (semua orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspons seperti itu), over identification.

6. Perilaku mementingkan orang lainKomitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan memberi dan membagi, perasaan sebagai kelompokPemadaman, reaksi, dan konpensasi yang berlebihan

7. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara kepentinggan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorangApatis dan sulit berubah

Tabel 2.2 Reaksi Psikologis Pasien HIV

2.3.3 Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap PenyakitKubler ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit yaitu :a. Pengingkaran (denial)Pada tahap pertama, pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal dapat memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dara diagnosis. Pengingkaran dapat di sebabkan karena tidak di ketahuan pasien pada sakitnya atau sudah mengetahui dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat di nilai dari ucapan pasien saya di sini istirahatpengingkaran dapat dapat yang berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada aapa yang di terima bahwa alat yang tidak berfungi dengan baik kesalahan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kopenten. Penginkatan diri yang mencolok tanmpak menimbulkan kecemasan. Peningkatan ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan. Pengingkaran sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyatan ( Achir, Yani 1999).b. Kemarahan (anger)Apabila pengingkaran tidak daapat di pertahan kan lagi maka fase pertama menjadi kemarahan. Perilaku pasien secra kareteristik yang di hubungkan dengan marah dan rasa bersalah pasen akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Biasannya kemarahan di arahkan kepada dirinya sendiri timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan perawat. Semua tindakan perawat menjadi serba salah. Pasien menjadi banya penuntut, cerewet cemberut tida bersahabat, kasar, menentang, tidak mau kerjasama, mudah tersinggung meminta banyak perhatian jika keluarga mengunjungin mereka sikap menolak sehingga mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini menyebabkan keagresipan ( hudak dan gallo, 1996).c. Sikap tawar menawar (bargaining)Setelah fase memarah-marah berlalu, pasien akan berpikir dan merasakan bahwa protesnya tidak berarti. .pasien mulai timbul rasa bersalah dan mulai membina hubungan ,pasien berdoa, meminta dan berjanji pada tuhan, tindakan ini merupakan ciri yang jelas, yaitu pasien menyanggupi aakan menjadi lebih baik bila jika dia dapat sembuh (Aher Yani 1990).d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/berkabung mengesampingkan dan sikap pertahananya, serta mulai mengatasi kehilangan secara kontrukstif pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan waktu. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian, dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Prilaku fase ini termasuk didalamnya adalah ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).

e. Penerimaan dan partisipasiSeiring dengan berlalunya waktu pasien mulai beradaptasi, kepedihan yang menyakitkan berkurang, dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan karena penyakitnya sebagai seorang yang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak dan Gallo, 1996) 2.3.4 Respon Adaptif Spiritual Respons adaptif spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman dan Nipan (2003). Respon adaptif spiritual, meliputi :1) Harapan yang realistis2) Tabah dan sabar3) Pandai mengambil hikmah2.3.4 Respons adaptif sosial Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 hal, yaitu:1. Stigma social dapat memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri pasien.2. Diskriminasi terhadap oaring yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien homoseksuaal, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurangnya dukungan social, hal ini akan memperparah strees pasien.3. Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan strees yang dialami.

2.4 Intervensi Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV (PHIV)Tujuan asuhan keperawatan pasien terinfeksi HIV (PHIV) adalah untuk mengubah perilaku ketika berada dalam masa perawatan dan dalam rangka meningkatkan respon imunitas PHIV melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual dilakukan oleh perawat agar dapat menurunkan stresor.Perawat memiliki peran penting dalam asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS. Ada dua hal yang penting yang harus dilakukan perawat yakni:A. Menfasilitasi strategi koping:1. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respon penerimaan sesuai tahapan dari Kubler-Ross.2. Teknik kognitif, dapat berupa upaya untuk membantu penyelesaian masalah, memberikan harapan yang realitis, dan mengingatkan pasien agar pandai menganbil hikmah.3. Teknik perilaku, dilakukan dengan cara mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan, seperti: kontrol dan minum obat teratur, konsumsi nutrisi seimbang, istirahat dan aktivitas teratur, dan menghindari konsumsi atau tindakan yang dapat menambah parah sakitnya.B. Dukungan sosial:1. Dukungan emosional, agar pasien merasa nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan.2. Dukungan informasi, untuk meningkatkan pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya.3. Dukungan material, untuk bantuan/kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien.

2.5 Asuhan Keperawatan Respons Biologis (Aspek Fisik)Aspek fisik pada PHIV adalah pemenuhan kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik meliputi:(a) Universal precautions(b) Pengobatan infeksi sekunder dan pemberian ARV (Antiretroviral)(c) Pemberian nutrisi(d) Aktivitas dan istirahat.2.5.1 Universal PrecautionsSelama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluarga, dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV. Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:1. Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila menangani cairan tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung tangan, masker, kacamata pelindung, penutup kepala, apron, dan sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuaikan dengan jenis tindakan yang dilakukan.2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk setelah melepas sarung tangan.3. Dekontaminasi cairan tubuh pasien.4. Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua alat kedokteran yang dipakai (tercemar). Tidak memakai jarum suntik lebih dari satu kali, dan tidak memasukkannya kembali ke dalam penutup jarum atau dibengkokkan.5. Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.6. Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar dan aman (Depkes RI, 1997).2.5.2 Peran perawat dalam Pemberian ARVPenggunaan obat ARV kombinasi:1. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah: a. Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi. b. Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila virus mulai resisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa memakai kombinasi lain.2. Efektivitas obat ARV kombinasi: a. ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat saja. b. Kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila pasien lupa minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi. c. Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.3. Saat memulai menggunakan ARVMenurut WHO (2002), penggunaan ARV bisa dimulai pada orang dewasa berdasarkan kriteria sebagai berikut :1) Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan pada:a. Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4.b. Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total