hipertiroid
DESCRIPTION
referat internaTRANSCRIPT
1
HIPERTIROID DAN TIROTOKSIKOSIS
Oleh
SITI FATIMAH., S.Ked (I11108072)
Pembimbing
dr. Ivan LT, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DOKTER SOEDARSO
PONTIANAK
2014
2
HIPERTIROID DAN TIROTOKSIKOSIS
1. ANATOMI MAKROSKOPIK KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir
bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara branchial
pouch pertana dan kedua. Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, terdiri atas
dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3.
Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada
setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar kearah
kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan klinik
untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher berhubungan dengan kelenjar tiroid
atau tidak.
Setiap lobus tiroid yang berbentuk lonjong berkuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2
cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan masukan
yodium. Pada orang dewas beratnyab berkisar antara 10-20 gram. Vaskularisasi
kelenjar tiroid termasuk amat baik. A tiroidea superior berasal dari a.karotis komunis
atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia dan a.tiroid ima berasal dari
a.brakiosefalik salah satu cabang dari arkus aorta. Ternyata setiap folikel tiroid
diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari
pleksus perifolikular yang manyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior,
lateral dan inferior. Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml/gram
kelenjar/menit, dalam keadaan hipertiroidisme aliran ini akan meningkat sehingga
dengan stetoskop terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
(Snell, Richard,2006; Djokomoeljanto,R, 2007)
3
2. HISTOLOGI KELENJAR TIROID
Sel pada kebanyakan organ endokrin menimbun produk sekresinya di dalam
sitoplasmanya. Kelenjar tiroid adalah organ endokrin unik karena sel-selnya tersusun
membentuk struktur bulat yang disebut folikel, bukan berupa kelompok atau deretan
seperti biasanya. Sel-sel yang mengelilingi folikel, yaitu sel folikel, menyekresi dan
menimbun produknya di luar sel, di dalam lumen folikel sebagai substansi mirip
gelatin yang disebut koloid. Koloid terdiri atas tiroglobulin, yaitu suatu glikoprotein
yang mengandung sejumlah asam amino teriodinasi.
Hormon kelenjar tiroid disimpan di dalam folikel sebagai koloid terikat pada
tiroglobulin. Oleh karena itu, folikel adalah satuan struktural dan fungsional kelenjar
4
tiroid. Selain sel folikel, sel-sel parafolikel yang lebih besar juga terdapat di kelenjar
tiroid. Sel-sel ini terdapat di dalam epitel folikel atau dicelah anatar folikel. Adanya
banyak pembuluh darah di sekitar folikel memudahkan pencurahan hormon ke dalam
aliran darah( Ereschenko, V, 2003).
3. METABOLISME HORMON TIROID
Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang
keduanya harus diserap dari darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino,
disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan kebutuhan
esensial dalam mekanan. Dipihak lain, iodium diperlukan untuk sintesis hormon
tiroid, harus diperoleh dari makanan. Pembentukan, penyimpanan dan sekresi hormon
tiroid terdiri dari langkah-langkah berikut (Sherwood, L, 2001):
3.1. Semua langkah sintesis hormon tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di
dalam koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks Golgi/retikulum
endoplasma sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam molekul tiroglobulin
sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah diproduksi, tiroglobulin yang
mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel ke dalam koloid melalui
eksositosis (langkah 1)
5
3.2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid
melalui suatu pompa iodium yang sangat aktif atau iodine-trapping mechanism,
suatu protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan energi yang terletak di
membran luar sel folikel (langkah 2). Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan
melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid untuk mensisntesis hormon
tiroid. Selain untuk sintesis hormon tiroid, iodium tidak memiliki manfaat lain di
tubuh.
3.3. Di dalam koloid, iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam
molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah iodium ke tirosin menghasilkan
monoiodotirosin (MIT) (langkah 3a). Perlekatan dua iodium ke tirosin
menghasilkan diiodotirosin (DIT) (langkah 3b).
3.4. Kemudian, terjadi proses penggaabungan antara molekul-molekul tirosin
beriodium untuk membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua DIT (masing-
masing mengandung dua atom iodiumir) menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau
tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan empat iodium (langkah 4a).
Penggabungan satu MIT (dengan satu iodium) dan sati DIT (dengan dua iodium)
menghasilkan triiodotironin atau T3 (dengan tiga iodium) (langkah 4b).
Penggabungan tidak terjadi antara dua molekul MIT.
Pengaluaran hormon-hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik memerlukan
proses yang agak rumit karena dua alasan. Pertama, sebelum dikeluarkan T4 dan T3
tetap terikat ke molekul tiroglobulin. Kedua, hormon-hormon ini disimpan di tempat
ekstrasel pedalaman, lumen folikel, sebelum dapat memasuki pembuluh darah yang
berjalan di ruang interstisium, mereka harus diangkut menembus folikel. Proses
sekresi hormon tiroid pada dasarnya melibatkan “penggigitan” sepotong koloid oleh
sel folikel sehingga molekul tiroglobulin terpecah menjadi bagian-bagiannya dan
“peludahan” T4 dan T3 bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang
sesuai untuk mengeluarkan hormon tiroid, sel-sel folikel memasukan sebagian dari
kompleks hormon tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid (langkah 5).
Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan lisosom, yang
6
enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormon tiroid aktif secara biologid, T4 dan
T3 serta iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT (langkah 6).
Hormon-hormon tiroid, karena sangat lipofilik, dengan mudah melewati membran
luar sel folikel dan masuk ke dalam darah (langkah 7a). MIT dan DIT tidak memiliki
nilai endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim yang sangat cepat
mengeluarkan iodium dari MIT dan DIT, sehingga iodium yang dibebaskan dengan
didaur ulang untuk sintesis lebih banyak hormon (langkah 7b) enzim yang sangat
spesifik ini akan mengeluarkan iodium hanya dari MIT dan DIT, yang tidak berguna,
bukan dari T4 dan T3.
Sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian diubah menjadi T3, atau
diaktfkan, melalui proses pengeluaran satu iodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3
dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran iodium di
jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara
bilogis aktif ditingkat sel, walaupun tiroid mengeluarkan lebih banyak T4 (Sherwood,
L, 2001).
Setelah dikeluarkan di dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik dengan
cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang daro
0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikar (bebas). Keadaan ini memang luar
biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki
akses ke reseptor sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek. Terdapat tiga
protein plasma yang penting dalam pengikat hormon tiroid : globulin pengikat
tiroksin (thyroxine-binding globulin) yang secra selektif mengikat hormon tiroid
(55%) dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi, walaupun namanya hanya
menyebutkan secara khusus “tiroksin” (T4) ; albumin yang secara non selektif
mengikat banyak hormon lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3 dan
thyroxine-binding prealbumin yang mengikat sisa 35% T4 (Sherwood, L, 2001).
7
4. EFEK METABOLIK HORMON TIROID
Hormon tiroid memang satu hormon yang dibutuhkan oleh hampir semua proses
tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme
berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya antara alin seperti di bawah
ini (Sherwood, L, 2001):
4.1. Termoregulasi (jelas pada miksedema atau koma miksedema dengan
temperatur sub-optimal) dan kalorigenik.
4.2. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik.
8
4.3. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabeto-genik, karena resorpsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
dan degradasi insulin meningkat.
4.4. Metabolisme lipid. Meski t4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
sehingga pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidsm
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
4.5. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidsme dapat dijumpai karotenemia, kulit
kekuningan.
4.6. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatinin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defisiensi besi dan hipertiroidsm.
5. EFEK FISIOLOGIK HORMON TIROID
Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari. Efek genomnya
menghasilkan panas dan konsumsi oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak
dan susunan saraf yang melibatkan Na+K+ATPase sebagian lagi karena reseptor beta
adrenergik yang bertambah. Tetapi ada juga efek yang nongenomik misalnya
meningkatnya transpor asam amino dan glukosa, menurunnya enzim tipe-2 5’-
deyodinasi di hipofisis. Efek fisilogi dapat berupa (Sherwood, L, 2001):
5.1. Pertumbuhan Fetus. Sebelum mi 11 tiroid fetus belum bekerja, juga TSHnya.
Dalam keadaan ini karena DIII tinggi di plasenta hormon tiroid bebas yang masuk
fetus amat sedikit, karena di inaktivasi di plasenta. Meski amat sedikit krusial,
tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan lahirnya bayi kretin (retardasi
mental dan cebol).
5.2. Efek pada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas. Kedua
peristiwa diatas dirangsang oleh T3 lewat Na+K+ATPase disemua jaringan
kecuali otak, testis dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid
9
menurunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal bebas anion superoksida
meningkat.
5.3. Efek Kardiovaskular. T3 menstimulasi a). Transkripsi miosin hc-B dan
menghambat miosin hcB, akibatnya kontraksu otot miokard menguat. b).
Transkripsi Ca2+ ATPase di retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diatolik.
c). Mengubah konsentrasi protein G,b reseptor adrenergik, sehingga akhirnya
hormon tiroid ini punya efek yonotropik positif. Secara klinis terlihat sebagai
naiknya curah jantung dan takikardi.
5.4. Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot
skelet, lemak dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor
adrenergik alfa miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi pada
hipertiroidsme dan sebaliknya pada hipotiroidsme.
5.5. Efek hematopoetik. Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidsme
menyebabkan eritopoesis dan produksi eritopoetin meningkat. Volume darah
tetap namun red cell turn over meningkat.
5.6. Efek Gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang
ada diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung melambat.
Hal ini dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.
5.7. Efek pada skelet. Turn over tulang meningkat resprbsi tulang lebih
terpengaruh dari pada pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan
osteopenia. Dalam keadaan berat mampu menghasilkan hiperkalsemia,
hiperkalsiuria dan penanda hidroksiprolin dan cross-link piridium.
5.8. Efefk neuromuskular. Turn over meningkat juga menyebabkan miopati
disamping hilangnya otot. Dapat terjadi kreatinuria spontan. Kontraksi serta
relaksasi otot meningkat (hiperfleksia).
5.9. Efek Endokrin. Hormon tiroid meningkatkan metabolik turn-over banyak
hormon serta bahan farmakologik. Contoh : waktu paruh kortisol adalah 100
menit pada orang normal tetapi menurun jadi 50 menit pada pada hipertiroidsme
10
dan 150 menit pada hipotiroidsme. Untuk ini perlu diingat bahwa hipertiroidsme
dapat menutupi (masking) atau memudahkan unmusking kelainan adrenal.
6. PENGATURAN FAAL KELENJAR TIROID
Ada 3 dasar pengaturan faal tiroid yaitu oleh(Sherwood, L, 2001) :
6.1. Autoregulasi
Seperti disebutkan di atas, hal ini lewat terbentuknya yodolipid pada pemberian
yodium banyak dan akut, dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Efek ini bersifat
selflimiting. Dalam beberapa keadaan mekanisme escape ini dapat gagal dan
terjadilah hipotiroidisme
6.2. TSH
TSH disintesis oleh sel tirotrop hipofisis anterior. Efek pada tiroid akan terjadi
dengan ikatan TSH dengan reseptor TSH (TSHr) di membran folikel. Sinyal
selanjutnya terjadi lewat protein G (khusus Gsa). Dari sinilah terjadi perangsangan
protein kinase oleh cAMP untuk ekspresi gen yang penting untuk fungsi tiroid seperti
pompa yodium, Tg, pertumbuhan sel tiroid dan TPO, serta faktor transkripsi TTF1,
TTF2 dan PAX8. Efek klinisnya terlihat sebagai perubahan morfologi sel, naiknya
produksi hormon, folikel dan vaskularisasinya bertambah oleh pembentukan gondok
dan peningkatan metabolisme.
T3 intratirotrop mengendalikan sintesis dan keluarnya (mekanisme umpan balik)
sedang TRH mengontrol glikosilasi, aktivitas dan keluarnya TSH. Beberapa obat
bersifat menghambat sekresi TSH : somatostatin, glukokortikoid, dopamin, agonis
dopamin (misalnya bromokriptin), juga berbagai penyakit kronik dan akut.
Pada morbus Graves, salah satu penyakit autoimun, TSHr ditempati dan
dirangsang oleh imunoglobulin, antibodi-anti-TSH (TSAb = thyroid stimulating
antibody, TSI = thyroid stimulat-ing immunoglobulin), yang secara fungsional tidak
dapat dibedakan oleh TSHr dengan TSH endogen. Rentetan peristiwa selanjutnya
juga tidak dapat dibedakan dengan rangsangan akibat TSH endogen.
11
6.3. TRH
TRH melewati median eminence, tempat ia disimpan dan dikeluarkan lewat
sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis. Akibatnya TSH meningkat.
Meskipun tidak ikut menstimulasi keluarnya growth hormone dan ACTH, tetapi TRH
menstimulasi keluarnya prolaktin, kaddang-FSH dan LH. Apabila TSH naik dengan
sendirinya kelenjar tiroid mengalami hiperplasi dan hiperfungsi.
Sekresi hormon hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme umpan
balik), TSH, dopamin, hormon korteks adrenal dan somatostatin, serta stres dan sakit
berat (non thtoidal illness).
Kompensasi penyesuaian terhadap proses umpan balik ini banyak memberi
informasi klinis, sebagai contoh, naiknya TSH serum sering menggambarkan
produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid yang kurang memadai, sebaliknya respon
yang rata (blunted response) TSH terhadap stimulasi TRH eksogen menggambarkan
supresi kronik ditingkat TSH karena kebanyak hormon, dan sering merupakan tanda
dini bagi hipertiroidisme ringan atau subklinis.
7. HIPERTIROID DAN TIROTOKSIKOSIS
7.1. Definisi
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar
tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan
hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis
tirotoksikosis (Djokomoeljanto,R, 2007).
7.2. Etiologi
Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter
miltinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves
adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada
goiter multinodular toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri.
12
Berikut table mengenai berbagai penyebab tirotokskosis (Fauci, Anthony S, et al,
2008):
7.3. Epidemiologi
Penyakit Graves menyumbang 60-80% dari tirotoksikosis. Prevalensi bervariasi
antara populasi, tergantung terutama pada asupan yodium (asupan yodium yang
tinggi berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit Graves). Penyakit
Graves terjadi 2% dari wanita. Gangguan tersebut jarang dimulai sebelum masa
remaja dan biasanya terjadi antara 20 dan 50 tahun, tetapi juga terjadi juga pada usia
tua (Fauci, Anthony S, et al, 2008).
7.4. Patofisiologi
Kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor genetik, termasuk polimorfisme di
HLADR, CTLA-4, dan PTPN22 (gen regulasi sel T), berperan terhadap kerentanan
penyakit Graves. Kerentanan penyakit Graves pada kembar monozigot adalah 20-
30%, dibandingkan dengan <5% pada kembar dizigot. Merokok merupakan faktor
risiko minor untuk penyakit Graves dan faktor risiko utama untuk komplikasi
ophthalmopathy. Peningkatan asupan yodium secara mendadak dapat memicu
penyakit Graves dan ada peningkatan tiga kali lipat pada postpartum.
13
Hipertiroidisme penyakit Graves disebabkan oleh thyroid stimulating
immunoglobulin (TSI) yang disintesis dalam kelenjar tiroid serta dalam sumsum
tulang dan kelenjar getah bening. Antibodi tersebut dapat dideteksi dengan bioassay
atau dengan menggunakan TBII tes. Positifnya tes TBII pada pasien dengan
tirotoksikosis menunjukkan keberadaan TSI dan tes ini berguna dalam memantau
pasien Graves dengan kehamilan yang dengan kadar TSI yang tinggi yang dapat
melewati plasenta dan menyebabkan tirotoksikosis neonatal.
Pada penyakit graves, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen-antigen
ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel
tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan
pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan
penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari,
namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa faktor yang
mendorong respon imun pada penyakit graves ialah kehamilan, kelebihan iodida,
khusus di daerah defisiensi iodide, infeksi bakterial atau viral dan stres dapat
mencetus suatu episode penyakit Graves.
Sitokin tampaknya memainkan peran utama dalam tiroid terkait ophthalmopathy.
Dalam hal ini, terjadi infiltrasi otot-otot ekstraokular yang mengaktifkan sel-sel T ,
pelepasan sitokin seperti IFN-a, TNF, dan IL-1 yang mana berperan dalam aktivasi
fibroblast dan peningkatan sintesis glikosaminoglikan yang dapat menyerap air,
sehingga menyebabkan penmbengkakan otot. Peningkatan lemak merupakan
penyebab tambahan ekspansi jaringan retrobulbar yang dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intraorbital berupa proptosis diplopia dan optik
neuropati (Fauci, Anthony S, et al, 2008).
14
7.5. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis umumnya memburuk tanpa pengobatan; mortalitas adalah 10-
30% sebelum mendapat terapi yang tepat. Beberapa pasien dengan penyakit Graves
ringan sering mengalami kekambuhan spontan. Sekitar 15% dari pasien yang
mencapai remisi setelah pengobatan dengan obat antitiroid mengalami kondisi
hipotiroidisme. Berikut merupakan table mengenai evaluasi tirotoksikosis:
15
7.6. Pemeriksaan penunjang
Pada penyakit graves terjadi supresi TSH dan kadar hormon tiroid total dan
terikat meningkat. Pada 2-5% dari pasien (dan lebih di daerah dengan intake yodium
borderline), hanya T3 meningkat (T3 toksikosis). Keadaan kebalikan dari T4
toksikosis ditandai dengan kadar T4 terikat yang tinggi dan tingkat kadar T3 normal,
misalnya pada hipertiroidisme yang diinduksi oleh kelebihan intake yodium, dimana
dalam hal ini terjadi penyediaaan substrat untuk sintesis hormon tiroid yang banyak.
Pengukuran antibodi TPO berguna untuk diferensial diagnosis. Pengukuran dari TBII
atau thyroid stimulating immunoglobulin (TSI ) akan mengkonfirmasi diagnosis tetapi
tidak diperlukan secara rutin.
16
7.7. Penatalaksanaan
Hipertiroidisme pada penyakit Graves dapat diatasi dengan mengurangi
sintesis hormon tiroid menggunakan obat antitiroid, mengurangi jumlah hormone
tiroid di jaringan dengan radioiodine (131I), ataupun dengan tiroidektomi. Obat
antithyroid merupakan terapi yang paling banyak digunakan di Eropa dan Jepang ,
sedangkan radioiodine lebih sering digunakan di Amerika Utara. Perbedaan ini
membuktikan bahwa tidak ada pengobatan pasti yang optimal dan pasien mungkin
memerlukan kombinasi pengobatan untuk mencapai remisi.
a. Obat Antitiroid
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-
4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling
iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.
Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih
panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka
waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi
spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
17
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen
umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-200 mg setiap 6-8 jam. Setelah
4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-100 mg. Propylthiouracil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga
efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves
Fauci, Anthony S, et al, 2008).
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama
1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari. Ada juga pendapat
ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis,
tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode
ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila
respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari
dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis
eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai
dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti
ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis (Djokomoeljanto,R, 2007; Rani,
A, 2009).
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping,
yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih
kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga
perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi
alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan
sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
18
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular
toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,
sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah
dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki
kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain
seperti 131I atau operasi.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti
dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah
penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi
pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan
biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai
respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis
diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan
eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi
yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat
Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
- Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
- Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid
dosis rendah.
- Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar
TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah
keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan,
nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.
19
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic
state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada
reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga
dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap
konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari. Di
samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja
lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan
metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan
propranolol (Djokomoeljanto,R, 2007).
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek
samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan
depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien
asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi
atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan
ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat
Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu
pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan
pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau
respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
20
c. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma
yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah
menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita
masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit
Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
d. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50
tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local
pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya.
Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu
terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam
waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan
sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula
terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara
pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik
21
ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari
ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui.
Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu
dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas,
tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan
umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat
diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat
penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif
terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor
imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.
22
DAFTAR PUSTAKA
Djokomoeljanto,R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme
dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2007
Ereschenko, V. Atlas Histologi di Fiore. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta .
2003.
Fauci, Anthony S, et al. Disorder of the Thyroid Gland in Harrison’s Principal of
Internal Medicine,17th.chapter 335 :2233-2247. 2008.
Rani, A. Panduan Pelayanan Medik. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. 2009
Sherwood, L .Fisiologi Manusia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.2001
Snell, Richard. Anatomi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran.Jakarta. 2006