hifdz al-nafs dalam al-485’a1 : 678di daa0 afi5 ib ‘...
TRANSCRIPT
i
HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN : STUDI DALAM TAFSIR
IBN ‘ÂSYÛR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Eva Muzdalifah
11140340000255
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
の ZИじヽAFS DAL劇 AL口QUR'AN:STUDI DALAM TAFSIR
IBN`ASYUR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas UshuluddinUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
01ch
Eva ⅣIuzdalifahll140340000255
FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAPI NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA144011/2019 ⅣI
1071983031010
PENGESAⅡAN PANITIA UЛ臨N
Skripsi beゴ udul“ 朋″ αJ=Ⅳ″b dalam al…Qur'an:studi dalam TafsI Ibn`Asゴ、r
``telah dttikan dalam sidaIIlg mllnaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas lslam NegeH
SyarifHidayamlah Jakarta pada 14 A〔 孵tus 2019。 Skripsi ini dherima sebagai salah satu
syarat memperolch gelar sttana agama(s.AD padaPrOgraln lhu d― Qur'all dan Taお士.
Jakarta,14 Agustus 2019
Sidang Munaqasyah
Dekan/Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Sidang
ι
Kusmana,Ph.D.MANIP.1965042419950310001
Kusmana,Ph D、 PIA .NIP 19650424 199503 1 0001
Fahrizal Mahdi,Lc.MIRKHNIP.198208162015031004
Anggota:
NI]P.196009081989031
NIP.195
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nalna
NIM
:Eva ⅣIuzdalifall
:11140340000255
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hifdz al-Nafs dalam al-Qur'an:
Studi dalam Tafsir Ibn 'Asyflr adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak
melakukan tindakan plagiat dalam penyusurumnya. Adapun kutrpan yang ada dalam
penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya
bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya
orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat unhrk dipergunakan seperlunya
Jakarta,10 Juli 2019
Eva Muzdalifall
V
v
ABSTRAK
Eva Muzdalifah
Hifdz al-Nafs dalam al-Qur’an: Studi dalam Tafsir Ibn ‘Âsyûr
Keilmuan tafsir jauh berkembang pesat dalam khazanah keilmuan dunia.
Ragam pendekatannya pun semakin melebar, Ibn „Âsyûr seorang ahli pakar tafsir
kontemporer sekaligus pakar maqâsid al-syarî’ah berusaha menafsirkan al-Qur‟an
dengan menggunkan pendekatan tafsir maqâsidi. Tafsir maqâsidi adalah sebagai salah
bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat dalam
lafaz-lafaz al-Qur‟an dengan mempertimbangkan tujuan yang terkandung di
dalamnya. Dalam Skripsi yang berjudul “ Hifdz al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam
Tafsir Ibn „Âsyûr” ini, penulis berusaha untuk mencari relevansi penafsiran ayat-ayat
hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr terhadap maqâsid al-syarî’ah.
Di dalam tafsirnya, Ibn „Âsyûr menafsirkan ayat-ayat tersebut melalui analisis teks,
sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai tujuan hukum. Ibn „Âsyûr
sebagai penerus al-Syâtibî tidak membatasi maqâsid al-syarî’ah pada tataran ushûl al-
khamsah saja, namun juga prinsip fitrah (al-fitrah), toleransi (al-samâhah), maslahat
(al-maslahah), kesetaraan (al-musâwah), kebebasan (al-hurrîyah).
Dalam menafsirkan ayat-ayat hifdz al-nafs dengan tinjauan maqâsid al-
Syarî’ah, prinsip-prinsip yang dipegang dan menjadi landasan berfikir Ibn „Âsyûr
adalah tujuan umum syarî‟at, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Ayat-ayat hifdz al-nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi penafsiran
dengan tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr ialah memelihara pesan universal ayat-ayat al-
qur‟ân, menghasilkan makna alqurân yang mendalam, menghadirkan kehendak
syarî‟at, bukan kehendak manusia, menjelaskan ayat-ayat muhkam mutasyâbih dan
menjelaskan ayat-ayat mujmal-mubayyan.
Kata Kunci : Maqâsid al-Syarî’ah, Ibn ‘Âsyûr, ayat-ayat hifdz al-nafs
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمه الرحيم
Alhamdulilah atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, semoga kita mendapat syafaat Rasulullah di hari kiamat nanti.
Alhamdulilah dengan izin Allah, skripsi ini bisa diselesaikan dengan judul “Hifdz al-
Nafs dalam al-Qur‟an : Studi dalam tafsir Ibn ‟Âsyûr “. Skripsi ini ditulis untuk
memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Islam
program stratasatu (S1) jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama proses studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga penulisan
skripsi ini, banyak kesulitan yang dialami penulis dalam penyusunan skripsi ini dan
penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan
lancar tanpa keterlibatan dari beberapa pihak yang memberikan kontribusi, baik itu
berupa bantuan, motivasi, material, dan spiritual. Pada kesempatan kali ini, penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag, dan bapak Fahrizal, selaku ketua jurusan dan
sekretaris jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dan
administrasi.
4. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesabarannya dalam
memberikan bimbingan dan arahan-arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Dosen penasihat akademik, walid Dr. Ahsin Sakho Muhammad, banyak
memberikan bantuan dan masukan kepada penulis selama studi di kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis.
vii
7. Pimpinan dan staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakan
fakultas Ushuluddin, perpustakaan Imam Jama‟ Lebak Bulus yang telah
memberikan bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi
data-data pada skripsi penulis.
8. Kedua orang tua penulis, Ibunda tercinta Ibu Sukriyah dan Bapak Rifa‟i,
kedua adikku Salsabila dan Fadia yang telah banyak memberikan motivasi
dan do‟a kepada penulis baik dari segi materi maupun jiwa sehingga bisa
menyelesaikan skripsi.
9. Para kiyai dan guru yang telah mendidik penulis agar menjadi orang yang
bermanfaat dan berakhlak baik. Terimakasih kepada segenap keluarga besar
PP. Dar al-Tauhid Arjawinangun, khususnya abah K.H. Abdurahman Ibnu
Ubaidilah Syatori selaku pengasuh PP. dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.
Yang telah memperkenalkan kepada saya dasar-dasar ilmu-ilmu Islam kepada
saya.
10. Sahabat-sahabatku Lailatul Fajriyah, Karlinah, Suci Khasanah, Ulfiyaul
Khoiroh, Teman-teman kosan Dwi Nurul Aini, Faizah Mahda, Riri Anggraini,
Rizkiyatun Khozaitunah, Mega Hasiya, Siti Lutfiyah, Firokhmatillah, ka Ilda,
dan mba ria. Teman-teman KKN “PENTAS” yang selalu memotivasi penulis.
Sedulur-sedulur keluarga persatuan Mahasiswa dan Alumni Pondok Pesantren
Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon( PERMADA) khususnya ka
Atmanegara yang selalu memberikan motivasi dan dorongan, masukan serta
kritikan kepada penulis.
11. yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. Teman
seperjuangan IQTAF 2014 khususnya TH G semoga kalian semua selalu
menebarkan kebaikan dan memberikan semangat satu sama lainnya.
Akhirnya, penulis berharap agar apa yang telah ditulis dapat
bermanfaat bagi semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas
khazanah.
Jakarta, 10 Juli 2019
Penulis
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi dari Keputusan SK Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017.
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih aksara
atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga konsistensi,
aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam
penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
- Tidak Dilambangkan
b Be
t Te
ts te dan es
ix
J Je
ẖ h dengan garis di bawah
kh ka dan ha
d De
dz de dan zet
r Er
z Zet
s Es
sy es dan ye
s es dengan garis di bawah
ḏ de dengan garis di bawah
ṯ te dengan garis di bawah
ẕ zet dengan garis di bawah
ʻ koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha
f Ef
q Ki
k Ka
l El
m Em
n En
x
w We
h Ha
ˋ Apostrof
y Ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin
Keterangan
A Fatẖ ah
I Kasrah
U Ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i
Au a dan u
xi
3. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا- Â a dengan topi di atas
Î i dengan topi di atas ى
و- Û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân, bukan ad-diwân
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setalah kata sandang
yang diikuti oleh hurf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata الضرووة tidak ditulis “ad-
darûrah” melainkan “al-ḏ arūrah”, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯ ah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta matbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 Ṯ arîqah
xii
2 Al-jâmi‟ah al-
islâmiyah
3 Waẖ dat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam aksara
ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimt, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hamîd Al-Ghazâlî,
al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisana nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاذ
tsabata al-ajru ثبت ألجر
xiii
العصرية الحركة al-ẖ arakah al-„asriyyah
asyhadu an lâ ilâha illâ شهد أن ال إله إال اهلل
Allâh
Maulânâ Malik al-Sâlih موالوا ملك الصالح
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak pelru dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd, Mohamad Roem, bukan
Muẖ ammad Rûm, Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Raẖ mân.
xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................ ……………i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................... …………...ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................... …………...iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................. …………...iv
ABSTARAK ......................................................................... …………...v
KATA PENGANTAR .......................................................... …………..vii
DAFTAR ISI ......................................................................... …………...ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... …………...xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................. ……………1
B. Identifikasi Masalah ................................................... ……………5
C. Batasan Masalah .......................................................... ……………6
D. Perumusan Masalah .................................................... ……………6
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................... ……………6
F. Tinjauan kajian terdahulu ........................................... ……………7
G. Metode Penelitian ........................................................ …………...10
H. Sistematika Penulisan .................................................. …………...11
BAB II KONSEP PENDEKATAN MAQÂSID SYARÎ’A DAN TAFSIR
MAQÂSID IBN ÂSYÛR
A. Maqâsid al-Syarî‟ah.. .............................................. …………....13
1. Pengertian……………………………………………………13
2. Sejarah Perkembangan Maqâsid al-Syarî‟ah………………...15
3. Urgensi Maqâsid al-Syarî‟ah………………………………....21
B. Tafsir Maqâsidi………………………………………………....25
1. Pengertian……………………………………………………25
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Maqâsidi……………………..28
3. Urgensi Tafsir Maqâsidi……………………………………..35
C. Hifdz al-Nafs ........................................................... ……………40
1. Pengertian……………………………………………………40
2. Hifdz al-Nafs dalam al-Qur‟an………………………………42
D. Penafsiran ayat-ayat Hifdz al-Nafs ......................... ……………46
1. Tafsir Klasik…………………………………………………46
xv
1.1. Tafsir At-Thabâri………………………………………..46
1.2. Tafsir Ibn Katsir………………………………………...48
1.3. Tafsir al-Buruswi………………………………………..49
2. Tafsir Modern………………………………………………..50
2.1. Tafsir Al-Maraghi……………………………………….51
2.2. Tafsir Fi Zilali Qur‟an…………………………………..53
2.3. Tafsir Al-Misbah………………………………………..54
BAB III IBN ‘ÂSYÛR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. Latar Belakang Sosiokultural ................................. ……………57
1. Riwayat Hidup……………………………………………….58
2. Pendidikan, dan Karir Intelektual……………………………60
B. Karya Dan Pemikiran…………………………………………...62
1. Karya-Karya………………………………………………….63
2. Pemikiran Maqâsid Syarî‟ah Ibn „Âsyûr…………………….64
2.1. Maqâsid al-Syarî‟ah al-„Âmmah………………………..64
2.2. Maqâsid al-Syarî‟ah al-Khassah………………………...73
C. Tafsir Ibn „Âsyûr Dan Tafsir Maqâsidi………………………..79
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Tahrîr wa al-Tanwîr ……...79
2. Karakteristik Tafsir ………………………………………….80
3. Metode Penafsiran…………………………………………....81
4. Sumber Penafsiran……………………………………………82
5. Kontribusi Tafsir Ibn „Âsyûr dalam Pengembangan Tafsir…..84
BAB IV TAFSIR AYAT-AYAT HIFDZ AL-NAFS PERSPE TIF IBN ‘ÂSYÛR
DAN RELEVANSINYA TERHADAP TAFSIR MAQÂSIDI
A. Tafsir QS. al-Isra 31 ............................................. …………....87
B. Tafsir QS. al-Isra 33 ............................................. …………....90
C. Tafsir QS. al-Maidah 32……………………………………….92
D. Tafsir QS. al-An‟am 151………………………………………95
E. Relevansi Penafsiran Pendekatan Tafsir Maqâsidi……………98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................ …………...105
B. Saran ...................................................................... …………...106
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan bacaan umat Islam, kalam Allah SWT yang
tidak ada keraguan di dalamnya1, dokumen dan petunjuk bagi manusia serta
berbagai julukan lainnya. Kendati pun demikian, al-Qur‟an bukanlah seâbuah
risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Eksistensi Tuhan benar-benar
bersifat fungsional, dia adalah pencipta serta pemelihara alam semesta dan
manusia, terutama sekali dialah yang memberi petunjuk kepada manusia nanti,
baik secara individual maupun secara kolektif, dengan keadilan yang penuh
belas-kasih.2
Di samping menelurkan beberapa prinsip kebaikan, al-Qur‟an juga
membicarakan permasalahan terkait konsep yang agung yakni menjaga jiwa.
Istilah tersebut belakangan dalam perspektif Maqâsid al-Syarî’ah disebut
dengan hifz al-nafs. Meski pun al-Qur‟an sudah menggariskan prinsip menjaga
jiwa (hifz al-nafs), pada tataran realitasnya telah terjadi berbagai kasus yang
justru bertentangan dengan asas hifz al-nafs. Sebagaimana yang terekam
dalam QS. al-Baqarah [1]: 94 :
ار اآلخرة عند اللو خالصة من دون الناس ف تمن وا الموت إن كنتم صادقني قل إن كانت لكم الد
Artinya: Katakanlah "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung
akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain,
Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar. Ayat selanjutnya
menegaskan kembali:
مت أيديه م واللو عليم بالظالمني ولن ي تمن وه أبدا با قد
1 Muhammad Abdul „Adzim al-Zarqaniy, Manahilul ‘irfan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid 1 2 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), h. 9
2
Artinya: dan sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu
selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh
tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang
aniaya.
Dua ayat di atas menjelaskan tentang kematian. Perbedaanya, ayat
yang pertama berbicara perihal orang yang menghendaki kematian tanpa
sebab yang jelas. Kemudian ayat selanjutnya menegaskan ayat dengan
memberi gambaran kematian itu disebabkan karena perbuatan manusia itu
sendiri. Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya menjelaskan keinginan
adalah sesuatu yang terpendam di dalam hati. Karena itu, perintah
berkeinginan di atas harus dipahami dalam arti lakukan hal-hal yang
menunjukan secara pasti bahwa mereka ingin. Ayat ini dapat juga menunjukan
bahwa jangankan berbuat atau mengucapkan sesuatu yang menunjukan
keinginan mereka untuk mati, menghadirkan kematian dalam benak mereka
serta membayangkannya pun tidak mereka inginkan. 3
Kata )لن( lan, yang dipakai ayat ini digunakan untuk menafikan sesuatu
untuk selama-lamanya. Allah yang mengetahui isi hati semua makhluk dan
menyelami pikirannya masing-masing, menyampaikan secara pasti bahwa )لن(
lan, yakni sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama-
selamanya. Memang, semua orang ingin hidup lama, tetapi ada yang bersedia
mengorbankan jiwanya untuk meraih sesuatu yang luhur di akhirat kelak.
Sikap mereka yang ingin hidup selama mungkin itu, disebabkan karena
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri,
maksudnya adalah apa yang mereka lakukan selama ini tidak menjadikan
mereka wajar mendapat ganjaran pahala atau terhindar dari siksa, apalagi
Allah maha mengetahui orang-orang yang berlaku aniaya. Bahkan tidak aka
nada di antara mereka yang menginginkan kematian itu, disebabkan karena
perbuatan-perbuatan buruk mereka yang menjadikan mereka takut mati.4
Jika kembali kepada kitab tafsir, penafsiran al-Qur‟an telah
berkembang sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam buku yang ditulis
Abdul Mustaqim yang berjudul “dinamika Sejarah al-Qur‟an”. Periode tafsir
3 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an, (Ciputat:
Lentera Hati,2000), jilid 1, h.270 4 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an, (Ciputat:
Lentera Hati,2000), jilid 1, h. 271
3
dibagi menjadi tiga bagian, yakni mazhab tafsir abad klasik (Abad I-II H/6-7
M), periode pertengahan (Abad III-IX H/ 9-15 M), dan periode modern-
kontemporer (Abad XII-XIV/ 18-21 M). Dapat disimpulkan dari buku yang
ditulis Abdul Mustaqim tersebut, tafsir Ibn Âsyûr termasuk kitab tafsir
modern-kontemporer mengingat munculnya kitab ini adalah di penghujung
abad ke-20. Pemikiran Ibn „Âsyûr dalam tafsirnya merupakan sumbangsih
besar dalam ranah keilmuan, khususnya dalam bidang tafsir.dinamika
penafsiran terus berlanjut.5
Pada era sekarang ini, di samping sumbangsih para ulama dalam
menafsirkan al-Qur‟an, muncul wacana penafsiran secara tekstual-
kontekstual.6 Hal ini bisa diidentifikasi karena beberapa sebab di antaranya
adalah masih banyak orang yang mengadopsi ayat al-Qur‟an secara tekstual-
literal. Sehingga, implikasinya bagi sebagian umat Islam ialah melakukan
aksi-aksi yang menurutnya memiliki landasan teks al-Qur‟an yang sejatinya
hal tersebut bertentangan dengan prinsip menjaga jiwa yang terkandung dalam
al-Qur‟an itu sendiri.7 Contoh riil dalam masalah ini seperti aksi terorisme,
hukuman mati bagi pengguna narkoba, dan kasus pembunuhan orang tua
terhadap anaknya karena takut miskin.8
Kitab karangan Ibn „Âsyûr dengan pendekatan Maqâsidi telah menarik
perhatian akademis muda yang ingin menarik benang merah dari tujuan
syari‟at yang diterapkan dalam Islam, sebagaimana diketahui bahwa semua
hukum yang Allah turunkan dan Allah perintahkan semata-mata memiliki
tujuan masing-masing. Ibn „Âsyûr adalah seorang pakar Maqâsid Syari’ah
penerus Al-Syâtibî, seorang bapak maqâsid syari’ah. Ibn „Âsyûr juga seorang
mufassir yang dikenal dengan karyanya al-Tahrîr Wa al-Tanwîr, dan dengan
5 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an,(Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 1-
10 6Salah satu cendekiawan kontemporer yang membicarakan hal ini ialah Abdullah Saeed. Lihat
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan) 2016. 7 Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. QS.
Al-Maidah [5]: 32. 8QS. Al-Isra [17]:31 Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh
mereka adalah suatu dosa yang besar.
4
latar belakang keilmuan tersebut, tak heran jika kitab tafsirnya memiliki
pendekatan maqâsid syari’ah.
Dalam sejarahnya tafsir ini adalah sesuatu yang relatif baru, terutama
dalam posisinya sebagai pendekatan dalam tafsir. Hal ini berangkat dari
kaidah di kalangan penganut tafsir kontemporer al-ibrah bi maqâsidi al-
syari‟ah. Kaidah ini berusaha mencoba mencari sintesa kreatif ketika
menafsirkan teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyariatkannya sebuah
doktrin. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur‟an harus difahami dari sisi pesan
moral atau maqâsid syari’ahnya.9
Problem urgen dalam penafsiran berkutat dalam dua kaidah dasar,
yakni al-ibrah bi ‘umûmi al-lafzi lâ bi khusûsi al-sababi (ketetapan makna
didasarkan pada universalitas keumuman teks, bukan pada kekhususan sebab),
yakni metode tafsir yang berorientasi tekstual, bertumpu pada kerangka
berpikir verbal-tekstual, serta penjelasannya yang mengandalkan nalar bayâni
(teks) yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah normatif kebahasaan. Kedua,
kaidah al-‘ibrah bi khusûsi al-sababi lâ bi ‘umûmi al-lafzi ( ketetapan makna
didasarkan pada kekhususan sebab, bukan pada keumuman (teks), dikenal
dengan metode tafsir kontekstual yang didasarkan pada kerangka piker yang
berkembang dalam metode sosial kontemporer.
Walaupun pembahasan maqâsid al-syari’ah telah banyak dibahas oleh
ulama, namun jarang sekali yang mencoba melakukan pembahasan bagaimana
sesungguhnya al-Qur‟an berbicara tentang tujuan-tujuan umum (al-maqâsid
al-‘amah). Menurut Ahmad al-Raisuni, mengutip pendapat Abd al-Karim
Hamidi, Tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah:
أحكام القرأن أما المقاصد العامة فهي تلك األغرا ض العليا الاصلة من مموعة
“ Maqâsid ‘ammâh adalah tujuan-tujuan luhur yang diperoleh dari
sekumpulan hukum-hukum al-Qur‟ân”10
Kajian maqâsid al-Qurân sendiri, belum menjadi disiplin ilmu di
kalangan para ulama klasik maupun kontemporer. Walau demikian, term
istilah maqâsid al-Qurân terdapat bertebaran dijumpai di dalam karya-karya
9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta 2010),
h. 64 10 .A.Halil Thahir, “Ijtihad Maqasidi Rekontruksi hukum Islam Berbasis Interkoneksitas
Maslahah “(Yogyakarta:LKIS Pelangi Aksara 2015), h. 20
5
karangan ulama. Beberapa nama yang dapat diidentifikasi sebagai ulama di
bidang maqâsid antara lain,al-Tirmidzi (w.320 H/932 M.), al-Qaffal al-Kabir
(w. 365 H/976 M.), al-„Amiri al-Failasuf (w. 381 H/991 M.), al-Juwaini
(w.478 H/1185 M.), al-Ghazali (w. 505 H/1111 M.), al-Tufi (w.716 H/1318
M), al-Shatibi (w.790 H/1388 M.), Ibn „Âsyûr (w.1393 H/1972 M.) dan „Alal
al-Fasi (w.1394 H/1974 M.).11
Tokoh terakhir di atas yang penulis akan kaji adalah Ibn „Âsyûr.
Sepintas Ibn „Âsyûr merupakan tokoh ulama ahli tafsir sekaligus ulama yang
memiliki keahlian dalam bidang lain yaitu bidang maqâsid al-Syarî’ah.
Dengan melihat posisi dia yang memiliki dua keahlian tersebut, pada
gilirannya penulis tertarik untuk mengkaji kasus yang terjadi pada realitas
dengan menyesuaikan beberapa ayat terkait hifz al-nafs. Kajian itu dibangun
dengan cara meneliti penafsirannya dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.
Instrument yang akan dipaparkan adalah dengan melihat kembali ke teks al-
Qur‟an dan mencari relevansinya dengan realitas sekarang, penulis ingin
menyesuaikan hal tersebut dengan meninjau kembali penafsiran maqâsid
perspektif Ibn „Âsyûr. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji skripsi
dengan judul: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN: STUDI DALAM
TAFSIR IBN ‘ÂSYÛR.
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Permasalahan
Dari uraian yang sudah disebutkan pada latar belakang masalah, dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang muncul sebagaimana berikut:
a. Penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-
Tahrîr Wa al-Tanwîr.
b. Latar belakang yang mendorong Ibn „Âsyûr menggunakan pendekatan tafsir
maqâsidi terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-
Tahrîr Wa al-Tanwîr.
c. Metode dan corak penafsiran Ibn „Âsyûr terhadap penafsiran ayat- ayat hifdz
al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.
11
A.Halil Thahir,“Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi hukum Islam Berbasis Interkoneksitas
Maslahah. h. 29
6
d. Prinsip-prinsip dan kaidah tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr terhadap penafsiran
ayat-ayat hifdz al-nafs.
e. Relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al-syari’ah
terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.
2. Perumusan Masalah
Pemaparan singkat mengenai latar belakang masalah yang telah
disebutkan, perlu dilakukan perumusan terhadap masalah yang akan menjadi
fokus pembahasan penelitian. Rumusan masalah yang hendak diangkat adalah:
1) Bagaimana penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab
al-Tahrîr Wa al-Tanwîr ?s
2) Bagaimana relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al-
syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs ?
3. Pembatasan Masalah
Kajian pemahaman terhadap ayat-ayat hifdz al-nafs penulis membatasi
analisis pada empat ayat al-Qur‟an dalam tiga surat yaitu Q.S al-Isra 17 :31,
33,Q.S al-Maidah 5: 32, dan Q.S al-An‟am 6:151. Ayat yang dipilih penulis
ini karena merupakan hasil dari analisis awal terhadap pencarian kata dasar al-
Qatlu dalam al-Qur‟an dan keempat ayat tersebut memberikan penekanan
terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-Tahrîr Wa al-
Tanwîr.
Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang akan
diteliti pada masalah di atas, kiranya perlu dikemukakan batasan masalah,
pembahasan akan dibatasi pada poin ke 1. Penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-
ayat hifdz al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr. 2. Prinsip-prinsip dan
kaidah tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr terhadap Penafsiran ayat-ayat hifdz al-Nafs.
3. Relevansi penafsiran Ibn „Asyûr dengan pendekatan maqâsid al-Syari‟ah
terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Melihat dari berbagai masalah yang telah disebutkan di atas,maka dapat
dijelaskan tujuan penulisan skripsi ini diantaranya yaitu:
7
a) Mendeskripsikan bagaimana penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-
nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.
b) Mendeskripsikan bagaimana relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan
pendekatan maqâsid al-syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.
2. Manfaat
Sebagai peneliti, penulis mengharapkan tujuan atas tulisannya untuk bisa
bermanfaat untuk semua orang. Adapun manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini diantaranya:
Kegunaan penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi
keilmuan Islam, khususnya dalam bidang studi ilmu tafsir al-Qur‟an yang
memiliki karakteristik maqâsid al-syari’ah. Adapaun di bidang akademik,
penelitian ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan strata
satu bagi penulis di Fakultas Ushuluddin, Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai ayat-ayat tentang hifz al-nafs banyak dijelaskan dalam
berbagai tulisan-tulisan dan karya-karya, baik secara ringkas maupun detail.
Begitupun penelitian yang telah dilakukan juga memiliki perbedaan yang
mendasar, seperti beberapa tinjauan pustaka sebagai berikut:
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Husni Mubarok pada
tahun 2017 du UIN Sunan Ampel mengenai Nilai-nilai al-Qur’an dalam
Pancasila; pendekatan tafsir maqasidi atas Pancasila sila pertama dan kedua.
dalam skripsinya ia menjelaskan pendekatan tafsir maqasidi dengan
mencantumkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sila pertama dan
kedua yang mana Pancasila menurutnya meiliki kaitan erat dengan Islam,
khususnya dalam tafsir pendekatan maqasidi ini.12
Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nilda
Hayati pada tahun 2014, di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Tafsir maqasidi
12
Moh. Husni Mubarok, “ Nilai-nilai al-Qur‟an dalam Pancasila; pendekatan tafsir maqasidi
atas Pancasila sila pertama dan kedua” skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2017.
8
(Telaah atas penasiran Taha Jabir Al-Alwani terhadap ayat-ayat Riddah).
Dalam skrispi ini menjelaskan bagaimana Taha Jabir Alwani menafsirkan
ayat-ayat riddah dengan pendekatan maqasid al-shari’ah. Beliau tidak
membatasi maqasid al-shari’ah pada usul al-khamsah saja, namun beliau
punya tiga tingkatan maqasidu al-shari’ah, diantaranya; tingkatan pertama
berupa nilai universal yang terdiri dari tauhid tazkiah dan „umran, yang kedua,
nilai keadilan, kebebasan, dan egalitarianisme kemudian tingkatan ketiga
adalah usul al-khamsah yang terdiri dari hifz din, hifz al-‘aql, hifz al-nafs, hifz
al-nasl, dan hifz al-mal. Skripsi ini bersifat tematik yang membahas seputar
ayat-ayat riddah.13
Pada penelitian selanjutnya adalah penelitian yang ditulis oleh Azmil
Mufidah pada tahun 2013, di UIN Sunan Kalijaga berjudul tafsir maqâsid
(pendekatan maqasid al-Shari’ah Tahir Ibn Asyûr dan Aplikasinya dalam
tafsir al-Tahwîr wa al-Tanwîr). Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana
metodologi pendekatan maqâsid al-Shari’ah yang digunakan Ibnu „Âsyûr
dalam menafsirkan al-Qur‟an. Skripsi ini lebih memfokuskan pembahasan
pada aspek maqâsid al-syari’ah yang diterapkan oleh Ibn „Âsyûr dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Ia memberikan kesimpulan bahwa dengan pendekatan
maqâsid al-syari‘ah Ibn „Âsyûr berarti segala hukum yang disyariatkan oleh
Allah mengandung tujuan dan hikmah. Selain itu, pendekatan ini memberikan
pengetahuan baru tentang metodologi pendekatan dalam penafsiran al-Qur‟an,
sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai solusi produk tafsir
yang selama ini tampak ideologis. Akhirnya, tujuan al-Qur‟an sebagai kitab
petunjuk dan problem solver dapat diaplikasikan.14
Pada skripsinya Faridatus Sa‟adah yang berjdul “Tafsir maqâsidi
(Kajian kitab Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ibn al-‘Arabi)”. Dalam
skripsi ini yang sama menjelaskan tafsir maqâsidi meskipun dalam kitab yang
13
Nilda Hayati, “ Tafsir Maqasidi ( Telaah atas penafsiran Taha Jabir Al-Alwani terhadap
ayat-ayat Riddah),” Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. 14 Azmil Mufidah,” Tafsir Maqasidi (Pendekatan Maqasid al-Syari’ah Tahir Ibn ‘Asyur dan
aplikasinya dalam tafsir al-Tahrir wa al- Tanwir)” Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
9
berbeda dengan kajian penulis. Namun, sedikit banyak telah menginspirasi
pemahaman tentang tafsir maqâsidi.15
Abdul Halim dalam skripsinya yang berjudul “ Epistimologi tafsir Ibn
‘Âsyûr dalam kitab tafsir al-Tahrîr Wa al-Tanwîr” Skripsi ini lebih konsen
kepada epistemologi yang digunakan Ibn „Âsyûr dalam kitab al-Tahrîr Wa al-
Tanwîr. Sehingga menyimpulkan bahwa kitab tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, Ibn „Âsyûr juga sangat menjaga
konsistensi metodologinya dalam menyusun karya tafsirnya.16
Mani‟‟Abd Halim Mahmud dalam kitabnya Manhaj al-Mufassirrin ,
yang dialih bahasakan oleh Faisal Saleh dan Syahdianor “ Metodologi Tafsir:
Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir” membahas biografi singkat
Ibn „Âsyûr, sekilas tentang kitab tafsirnya dan contoh penafsirannya.17
Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Anas yang berjudul “Studi
Komparatif Maqâsid Al-Qur’ân Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad Al-
Ghazâli dan Rasyîd Rida” yang sama menjelaskan tafsir maqâsid, baik itu
maqâsid al-Qur’an maupun maqâsid al-syari’ah, meskipun dalam tokoh
maqâsidnya itu berbeda dengan kajian penulis. Namun sedikit banyak telah
membantu memberikan pemahaman banyak tentang tafsir maqâsid. 18
Jurnal karya Dr. Kusmana dengan judul “ Paradigma al-Qur’an:
Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran Kuntowijaya. Pada jurnal ini
menjelaskan perkembangan kajian maqâsid. Dan pula tulisan yang didasarkan
studi kepustakaan ini menemukan bahwa corak tafsirnya dapat dikelompokkan
ke dalam semangat Tafsir Maqâsidi Ilmi dengan kecenderungan untuk
mengkontruksi ilmu pengetahuan inspirasi input qur‟ani.19
15
Faridatus Sa‟adah, “ Tafsir Maqasidi (Kajian Kitab Ahkam al-Qur’an Karya Abu Bakar Ibn
al-„Arabi)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2012. 16 Abdul Halim, “ Epistemologi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-
Tanwir,” Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
Yogtakarta, 2011.
17 Mani‟ „Abd Halim Mahmud, “Metodologi Tafsir : Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir” terj. Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 313. 18
Muhammad Annas, “Studi Komparatif Maqâsid al-Qur’an Abû Hamid Muhammad Ibn
Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018. 19
Kusmana, “Paradigma al-Qur’an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran
Kuntowijaya” Vol.11 No.2(Desember 2015): h. 220 239
10
Secara teoritis, dari literatur yang telah disebutkan di atas sangat
membantu penelitian penulis tentang maqâsid al-syari’ah. Namun secara
praktis, menurut penulis, penelitian tersebut belum menyangkut secara detail
bagaimana bentuk pendekatan maqâsid al-syari’ah jika diterapkan dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an, khususnya dalam kitab al-Tahrîr Wa al-
Tanwîr. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk
memaparkan bagaimana metodologi pendekatan maqâsid al-syari’ah serta
aplikasinya dalam penafsiran al-Qur‟an.
E. Metodologi Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah, dituntut untuk menggunakan metode
yang jelas. Metode ini merupakan cara atau aktifitas analisis yang dilakukan
soleh seorang peneliti dalam meneliti objek penelitiannya. Sebagai panduan
kepenulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan karya
ilmiah yang sesuai dengan keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
nomor 507 tahun 2018. Metode yang digunakan yaitu:
a) Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan library research20
(penelitian
kepustakaan) yakni penelitian yang menggunakan sumber kepustakaan untuk
memperoleh data penelitiannya. Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang
dimaksud, kemudian mengolahnya dengan menggunakan keilmuan tafsir.
Dengan ini, dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat kualitatif.
b) Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua kategori.
pertama, data primer yaitu kitab hasil karya Ibn „Âsyûr dalam bidang
penafsiran al-Qur‟an (al-Tahrîr Wa al-Tanwîr) dan dalam bidang ushul al-fiqh
(Maqâsid al-Syari’ah ).
Kedua, data sekunder yaitu buku al-Maqâsid Untuk Pemula karya Jasser
Auda yang dialihbahasakan oleh „Ali „Abdelmon‟im, Membumikan Hukum
Islam Melalui Maqâsid Syari’ah karya Jasser Auda, Fiqh Minoritas Fiqh Al-
Aqlliyyât dan Evolusi Maqâsid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan karya
Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA, Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam
20
Winarto Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiyah (Bandung:Tarsito,1998), hal. 256-261
11
Berbasis Interkoneksitas Maslahah karya Dr. A. Halil Thahir, MHI, dan
karya-karya yang telah disebutkan pada bagian tinjauan pustaka.
c) Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode penelitian
deskriptif- analitik. Langkah awal yang ditempuh adalah mengumpulkan data-
data, baru kemudian dilakukan klasifikasi dan deskripsi. Metode ini
diaplikasikan ke dalam beberapa langkah berikut: yaitu penelitian yang
berusaha mendeskripsikan dengan jelas gambaran seputar maqâsid syari’ah
yang menjadi landasan bagi tafsir maqâsid. Kemudian, penulis
menggambarkan bagaimana latar belakang kehidupan Ibn „Âsyûr dan
gambaran umum tentang kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr. Dengan dilanjutkan
mendeskripsikan dan menganalisis wujud bentuk penafsirannya yang
menggunakan pendekatan maqâsidi dengan membatasi pada ayat-ayat Hifdz
al-Nafs. Sehingga dihasilkan kesimpulan yang jelas tentang persoalan yang di
teliti.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab:
Bab pertama merupakan pendahuluan dalam penelitian yang meliputi
uraian tentang hal-hal pokok yang mendasari penelitian. Dalam pendahuluan
tersebut terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, penelitian
terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, berisi pemaparan maqâsid syari’ah, tafsir maqâsidi, dan
hifdz al-nafs, berupa pengertian singkat, sejarah perkembangannya, serta
memaparkan tafsir ayat-ayat hifdz al-nafs.
Bab ketiga, membahas tentang Ibn „Âsyûr dan karya tafsirnya kitab
Tahrîr Wa al-Tanwîr. Pembahasan tentang Ibn „Âsyûr meliputi sejarah singkat
riwayat hidup, riwayat pendidikan, karir intelektual, karya-karya tafsirnya al-
Tahrîr Wa al-Tanwîr meliputi deskripsi naskah tafsir, latar belakang
penulisan, karakteristik, metode penafsiran, serta kontribusi tafsir Ibn „Âsyûr
dalam pengembangan tafsir.
12
Bab keempat, memuat analisis komprehensif yang merupakan
kelanjutan dari analisis yang telah dimuat pada bab-bab sebelumnya. Dalam
bab ini diuraikan permasalahan-permasalahan yang diangkat dengan
mencantumkan beberapa ayat al-Qur‟an yang terkait dengan tema hifdz al-
nafs. Langkah pertama yang dilakukan dalam bab ini adalah membahas dan
mengurai pandangan ayat-ayat Hifdz al-Nafs tinjauan tafsir maqâsidî menurut
Ibn „Âsyûr dengan merujuk pada penafsirannya yang termuat dalam kitab al-
Tahrîr wa al-Tanwîr. Setelah itu, dikemukakan pula pandangan dan penafsiran
lain yang dijadikan sebagai perbandingan ataupun perluasan cakupan
pembahasan. Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah menjelaskan
relevansi penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dengan konsep maqâsid al-
syari’ah menurut Ibn „Âsyûr.
Bab kelima, merupakan penutup dari pembahasan yang berupa
kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan
kepada peneliti.
13
BAB II
KONSEP PENDEKATAN MAQÂSID SYARÎ’AH DAN TAFSIR
MAQÂSID IBN ÂSYÛR
Pada bab ini penulis akan menjabarkan beberapa pokok penjelasan
mengenai konsep pendekatan maqâsid syari‟ah dan tafsir maqâsid secara
umum, baik dalam bentuk, macam dan aturan-aturan. Penulis juga menghadirkan
penafsiran-penafsiran baik penafsir klasik maupun modern terhadap term hifdz
al-nafs dalam al-Qur‟an.
A. Maqâsid al-Syarî’ah
1. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah
Ibn „Âsyûr dipandang sebagai tokoh pertama yang memberikan batasan
istilah bagi maqâṣid al-syarî‟ah. Meskipun ia tidak mengemukakan batasan
maqâṣid al-syarî‟ah sebagai satu kesatuan secara khusus dan lugas, tetapi dapat
dipahami dari kategorisasi maqâṣid al-syarîʻah menjadi maqâṣid al-syarîʻah
umum dan maqâṣid al-syarîʻah khusus yang disertai dengan batasan istilah untuk
masing-masing kategori.
Secara etimologi, الشري عةمقاصد (maqâsid al-syarî‟ah) merupakan istilah
gabungan dua kata: مقاصد (maqâsid) dan الشري عة (al-syarî‟ah). Maqâsid adalah
bentuk plural dari مقصد (maqsad), قصد (qashd),1 atau (maqsid) مقصد قصود
(qusûd) yang merupakan derivasi dari kata kerja ي قصد (qasada yaqsudu) قصد
dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil
dan tidak melampaui batas,2 jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan
dan kekurangan. Makna- makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata
qasada dan derivasinya dalam al-qur‟an. Ia bermakna mudah, lurus, dan
1 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari
konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 178 2 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari
konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 179
14
sedang-sedang saja seperti kalimat dalam surat al-Taubah ayat 42: كان لو
قاصدا وسفرا قريبا pertengahan dan seimbang seperti kalimat dalam surat 35 , عرضا
(fâthir) ayat 32: مقتصد هم dan dengan makna slurus seperti kalimat dalam , ومن
surat 16 (al-Nahl) ayat 9 : جائر ها ومن بيل الس قصد اهلل وعلى . Sementara itu, syarî‟ah
yang secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminologi fiqh
berarti hukum-hukum yang disyari‟atkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang
ditetapkan melalui al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi Muhammad yang berupa
perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi. Dalam definisi yang lebih singkat dan
umum, al-Rasyûni menyatakan bahwa syarî‟ah bermakna sejumlah hukum
„amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi
aqidah maupun legislasi hukum-nya.
Secara terminologis, makna maqâsid al-syarî‟ah berkembang dari makna
yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik. Di kalangan ulama
klasik sebelum al-Syâtibî, belum ditemukan definisi yang konkretdan
komprehensif tentang maqâsid al-syarî‟ah. Definisi mereka cenderung mengikuti
makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan makna-nya. Al-Bannânî
memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnâwî mengartikannya dengan tujuan-
tujuan hukum, al-Samarqandi menyamakannya dengan makna-makna hukum,
sementara al-Ghazâlî, al-Âmidî, dan Ibn al-Hâjib mendefinisikannya dengan
menggapai manfaat dan menolak mafsadat.
Sepeninggal al-Syâtibî, kajian maqâsid al-syarî‟ah menemui kebuntuan
sekian lama, terpendam sekitar enam abad dalam kejumudan intelektual, sampai
hadirnya Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr yang mengangkat kembali kajian
maqâsid al-syarî‟ah sebagai disiplin keilmuan yang mandiri. Ibn „Âsyûr
mengatakan bahwa semua hukum syarî‟ah tentu mengandung maksud dari syâr‟I,
yakni hikmah, kemaslahatan, dan manfaat, dan bahwa tujuan umum syari‟at
adalah menjaga keteraturan umat dan kelanggengan kemaslahatan hidup mereka.
Ibn „Âsyûr mendefinisikan maqâsid al-syarî‟ah sebagai berikut: “Makna-makna
dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syâri‟ dalam setiap
bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis
15
hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya sebagai sifat, tujuan
umum, dan makna syari‟ah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di
dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperlihatkan secara keseluruhan
tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum”.
Definisi Ibn „Âsyûr ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih
konkrit dan oprasional. Sebagai penegasnya, dia juga menyatakan bahwa
maqâsid al-syarî‟ah bisa saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan syari‟at
dan juga bisa bersifat khusus, seperti maqâsid al-syarî‟ah yang khusus dalam
bab-bab mu‟amalah. Dalam konteks ini, maqâsid al-syarî‟ah diartikan sebagai
kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara‟untuk menjaga kemaslahatan umum
dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan khusus mereka
yang mengandung hikmah.
Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan dalam mendefinisikan
maqâsid al-syarî‟ah, para ulama ushûl sepakat bahwa maqâsid al-syarî‟ah adalah
tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syari‟at.
2. Perkembangan Konsep Maqâsid al-Syarî’ah
Tidak banyak kitab atau buku yang mengungkap perkembangan maqâsid
al-syarî‟ah secara utuh. Kebanyakan karya tentang maqâsid al-syarî‟ah adalah
parsial dan terfokus pada kajian tokoh. Kalaupun kajiannya pada perkembangan
maqâsid al-syarî‟ah secara umum, biasanya berhenti pada al-Syâtibî sebagai
tokoh terakhirnya. Karena itulah perjalanan maqâsid al-syarî‟ah dari konsep nilai
ke pendekatan tidak tergambar secara utuh sebagai suatu perkembangan yang
berkelanjutan, karena perkembangannya sebagai pendekatan, baru menjadi
gambaran yang lebih jelas pasca al-Syâtibî. Ahmad al-Rasyûnî menyediakan data
kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan maqâsid al-syarî‟ah
sampai pada masa pasca al-Syâtibî, yakni sampai pada kemunculan Muhammad
Thâhir Ibn „Âsyûr.
Al-Rasyûnî menyimpulkan bahwa sepanjang masa perkembangan ushûl
fiqh, maqâsid al-syarî‟ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh
sentral, yaitu Imam al-Haramayn Abû al-Ma‟âlî „Abd Allah al-Juwaynî (w.478
16
H), Abû Ishâq al-Syâtibî (w. 790 H), dan Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr (w.
1379 H/1973 M).3 Penyebutan tiga tokoh ini tentu tidak serta merta
menghilangkan peran Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâsî, al‟Âmiri, al-Ghazâlî, dan
sebagainya yang memiliki andil besar mengawali dan mempertegas konsepsi
maqâsid al-syarî‟ah. Namun, ketiga tokoh di atas menjadi tonggak dan era
penting di mana maqâsid al-syarî‟ah betul-betul tampak mengalami pergesaran
makna.
Setelah Turmudzî al-Hakîm, muncullah al-Qaffâl al-Kabîr yang memiliki
nama asli Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâsî (w. 365 H). Dia dianggap sebagai pengkaji
maqâsid al-syarî‟ah pertama dengan kajian yang lengkap dari sisi cakupan
syari‟atnya. Kitabnya yang berjudul mahâsin al-syarâ‟I fi furû‟ al-shâfi‟iyyah
kitâb fi maqâsid al-syarî‟ah.4 Di halaman pertama manuskrip ini, al-Qaffâl
menyatakan bahwa karyanya ini memang dimaksudkan sebagai jawaban bagi
mereka yang mempertanyakan kebijakan dan keindahan syari‟ah Islam. Istilah
yang digunakan memang mahâsin, tetapi inilah manuskrip tertua yang isinya
adalah persis tentang maqâsid.
Perkembangan berikutnya adalah hadirnya Abû al-Hasan al-„Âmirî (w.
381 H/991 M) dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah. Dia adalah seorang filosof dan
ahli kalam, yang berbeda dengan pengkaji maqâsid al-syaî‟ah sebelumnya yang
rata-rata hanya memiliki expertise (keahlian) dalam bidang fiqh. Dengan
pendekatan filosofisnya, ia menyatakan dalam kitab perbandingan gamanya yang
monumental, al-I‟lâm bi manâqib al-Islâm, bahwa dalam rangka membangun
kehidupan individu dan sosial yang baik dipastikan adanya lima pilar yang harus
ditegakkan, yang tanpanya kemaslahatan tidak akan pernah terealisasi. Lima hal
itu adalah: mazjarah qatl al-nafs (sanksi hukum untuk pembunuhan jiwa),
mazjarah akhdh al-mâl (sanksi hukum untuk pencurian harta), mazjarah hatk al-
satr (sanksi hukum untuk membuka „aib), mazjarah thalb al-„irdh (sanksi hukum
untuk perusakan atau pencelaan kehormatan), dan mazjarah khal‟ al-baydhah
(sanksi hukum untuk pelepasan kehormatan dan ketulusan). Lima poin inilah
yang menjadi cikal-bakal al-dharûriyât al-khams yang menjadi central points
3 Ahmad Rasyûni, “al-Bahts fi maqâsid al-Syarî‟ah”, h. 4-5
4 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari
konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 191
17
kajian maqâsid al-syarî‟ah stelahnya, seperti al-Juwaynî, al-Ghazâlî, dan
sterusnya.
Imâm al-Haramyn „Abd al-Malik Al-Juwaynî, walaupun tidak pernah
menulis kitab dengan tema khusus maqâsid al-syarî‟ah, adalah nama penting
yang harus disebut ketika memperbincangkan maqâsid al-syarî‟ah. Dia adalah
ulama generasi berikutnya yang telah memaparkan dasar-dasar maqâsid al-
syarî‟ah dengan membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan hierakis, yaitu
dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Karyanya yang monumental yang
berkaitan dengan maqâsid al-syarî‟ah adalah al-Burhân fi Ushûl al-fiqh.
Keberhasilan al-Juwaynî mendeskripsikan maqâsid al-syarî‟ah dengan
pemaparan dasar-dasar maqâsid al-syarî‟ah telah mendorong al-Rasyûnî untuk
menganggapnya sebagai pilar awal perkembangan maqâsid al-syarî‟ah sebagai
disiplin keilmuan.
Kajian al-Juwaynî tentang maqâsid al-syarî‟ah menjadi novel impulse
(pendorong baru) bagi ulama-ulama setelahnya untuk membahas dan
mengembangkannya. Nama yang paling populer setelahnya adalah sang murid
yang jenius, Abû Hâmid al-Ghazâlî, seorang ulama dengan keahlian
multidisipliner. Nama-nama lainnya yang meramaikan kajian maqâsid al-syarî‟ah
pasca al-Juwaynî adalah Ibn Rusyd, Abû Bakr Ibn „Arabî, Fakhr al-Dîn al-Râzî,
Sayf al-Dîn al-Âmidî, „Izz al-dîn bin „Abd al-Salâm, Shihâb al-Dîn al-Qarâfi,
Najm al-Dîn al-Thûfi, Ibn Taymiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
Al-Ghazâlî menjadi istimewa dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah kaarena
keberhasilannya menjabarkan aspek dharûriyyât menjadi al-dharûriyyât al-
khams, yang tanpanya maslahah dinyatakan tidak ada. Dialah orang pertama
yang memberikan nama al-dharûriyyât al-khams, menjelaskan secara memadai
dan menyusunnya dengan urutan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai
hal-hal yang dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang berjudul al-mustasyfâ fi „Ilm
al-Ushûl menjelaskan tentang hal ini. Dengan penjelasannya yang lengkap
mengenai konsepsi maslahah dan prinsip-prinsip teoritis hukum Islam, al-
Ghazâlî dikukuhkan dalam sejarah ushûl al-fiqh sebagai peletak dasar ilmu ushul
al-fiqh. Sementara itu, al-„Âmidî adalah orang pertama yang menguji susunan al-
dharûriyyât al-khams di atas dan mengambil posisi berbeda dengan al-Ghazâlî
18
ketika ia menempatkan posisi “keturunan” sebelum “akal” seperti yang ditulis
dalam kitab Al-Ihkâm Fi Ushûl al-Ahkâm. Selanjutnya, di kalangan para
maqâsidiyyûn, nama „Izz al-Dîn bin „Abd al-Salâm menjadi populer dengan
kitabnya Qawâid Al-Ahkâm fi Mashalih al-Anâm yang menjelaskan secara detail
tentang mashâlih dan mafâsid, yang kemudian menjadi landasan konseptual
kajian maqâsid al-syarî‟ah.
Kajian maqâsid al-syarî‟ah ini mengalami metamorfosis sempurna oleh
hadirnya al-Syâtibî yang telah dikukuhkan oleh sejarah sebagai pendiri ilmu
maqâsid al-syarî‟ah. Sampai saat ini, tak seorang pun yang membahas maqâsid
al-syarî‟ah tanpa menyebut nama al-Syâtibî, sehingga seakan maqâsid al-
syarî‟ah adalah identik dengan namanya.5 Dua kitabnya yang fenomenal adalah
al- I‟tishâm dan al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‟ah. Al-Muwâfaqât adalah kitab
yang secara luas membahas tentang maqâsid al-syarî‟ah, tidak hanya
menjabarkan definisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi sampai pada
kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam berfikir dengan dasar konsiderasi
maqâsid al-syarî‟ah. Al-Syâtibî berhasil menampilkan wajah baru maqâsid al-
syarî‟ah yang lebih dinamis dan aplikatif.
Menurut Jasser Auda,6 ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al-
Syâtibî dalam mereformasi maqâsid al-syarî‟ah. Pertama, pergeseran maqâsid
al-syarî‟ah dari unrestricted interest (kepentingan yang tidak terbatasi dengan
jelas). Maqâsid al-syarî‟ah yang pada masa-masa sebelumnya dianggap sebagai
bagian yang tidak jelas dan tidak diangap sebagai sesuatu yang fundamental
dibantah oleh al-Syâtibî dengan pernyataannya bahwa justru maqâsid al-syarî‟ah
merupakan landasan dasar agama, hukum, dan keimanan (ushûl al-Dîn, wa
qawâid al-syarî‟ah wa kulliyah al-millah). Kedua, pergesaran dari wisdoms
behind ruling (kebijakan atau hikmah di balik antara hukum) ke bases for the
ruling (dasar bagi pengaturan hukum). Menurutnya, maqâsid al-syarî‟ah itu
bersifat fundamental dan universal (kuliyyah) sehingga tidak bisa dikalahkan oleh
juz‟iyyah (parsial). Padangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional
termasuk madzhab Maliki, yang diikuti oleh al-Syâtibî sendiri, yang menyatakan
5 Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin Muhammad al-Lakhmî
al-syâtibî al-Gharnâthî (w.790 H/1388 M), lihat Fiqh Minoritas, Dr. Ahmad Imam Mawardi, h.193 6 Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosophy of Islamic Law System Approach, h. 20-21
19
bahwa bukti-bukti juz‟iyyat didahulukan dari pada bukti-bukti universal. Lebih
jauh lagi, al-Syâtibî menjadikan ilmu maqâsid al-syarî‟ah sebagai syarat sahnya
ijtihâd dalam segala level. Ketiga, pergesaran dari uncertainty (dzanniyyah) ke
certainty (qath‟iyyah). Baginya, proses induktif yang digunakan dalam aplikasi
maqâsid al-syarî‟ah adalah valid dan bersifat qath‟i (pasti), sebuah kesimpulan
yang menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang
menentang certainty metode induktif. 7
Dari pemaparan di atas jelas bahwa al-Syâtibî mulai menggeser maqâsid
al-syarî‟ah sebagai konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi sebuah landasan
metodologis yang aktif dan dinamis. Maqâsid al-syarî‟ah tidak sekedar alat
justifikasi, tetapi dijadikan juga landsan kerja ijtihad. Kaidah-kaidah maqâsid-
nya disusun dengan baik dan komprehensif. Sayangnya, karya dasar manhaj
maqâsidi ini tidak dilanjutkan dengan bahasan metodologi ushûl al-fiqh
operasional aplikatifnya dalam kaitan maqâsid al-syarî‟ah dengan istinbâth
hukum. Dalam bahasa Ibn „Âsyûr, kajian maqâsid al-syarî‟ah al-Syâtibî dinilai
terlalu bertele-tele dan memiliki kesalahan sehingga tidak sampai pada
bagaimana operasionalisasi maqâsid al-syarî‟ah tersebut dalam realitas
problematika hukum.8
Dalam perkembangannya, muncul pilar ketiga dengan hadir-nya seorang
sarjana bernama Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr (w. 1379 H/1973 M).
Karyanya yang terkenal adalah Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islamiyyah. Ibn „Âsyûr
memang cemerlang dalam pemikirannya tentang maqâsid al-syarî‟ah secara
khusus dan dalam bidang hukum Islam secara umum. Walaupun gagasan
besarnya sama dengan al-Syâtibî, karena sebagaimna pengakuannya, ia memang
berkehendak melanjutkan apa yang telah digagaskan Dan dikembangkan oleh al-
Syâtibî, ada perkembangan baru yang dikemukakan dalam karya Ibn „Âsyûr,
tepatnya tentang posisi keilmuan maqâsid al-syarî‟ah dalam kajian teori hukum
Islam dan cara mengaplikasikannya dalam tataran praktik. Ibn „Âsyûr mampu
menghadirkan contoh yang jelas aplikasi pendekatan maqâsid al-syarî‟ah dalam
beberapa bidang kajian hukum Islam. Lebih dari itu, kalau kajian maqâsid al-
7 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari
konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 194 8 Ibn „Âsyûr, Maqâsid al-syarî‟ah al-Islamiyah, h. 174
20
syarî‟ah sebelumnya memiliki kecenderungan pembahasan secara umum (al-
maqâsid al-„âmmah) atau parsial (juz‟iyyah), Ibn „Âsyûr mengambil jalan tengah
dengan membahas keduanya, yaitu rinci tapi membahas keseluruhan aspek
syari‟at. Sebagai contoh kajian rinci yang belum dilakukan oleh ulama
sebelumnya adalah bagian ketiga dari kitab maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyah. Di
dalamnya ia membahas maqâsid al-Tasyrî‟ al-Khâshshah bi Anwâ‟ al-
Mu‟âmalât bayna al-Nâs yang secara rinci membahas tentang maqâsid al-
syarî‟ah di bidang hukum keluarga, hukum mu‟amalah yang berkaitan dengan
pekerjaan badan, maqâsid al-syarî‟ah di bidang hukum ibadah sosial, maqâsid
al-syarî‟ah di bidang peradilan dan persaksian, dan maqâsid al-syarî‟ah di
bidang pidana.
Hal baru lainnya yang dilakukan oleh Ibn „Âsyûr adalah keberaniannya
meletakan hurriyyah (kebebasan/ freedom yang berbasiskan al-musawâh atau
egalitarianisme), fitrah (kesucian), samâhah (toleransi), al-haq (kebenaran dan
keadilan) sebagai bagian dari aplikasi maqâsid al-syarî‟ah. Kebebasan berbicara,
berpendapat, beragama, dan bertindak merupakan hak asasi manusia yang
dilindungi. Pernyataan seperti ini tentu merupakan pengembangan dari al-
dharûriyyât al-khams yang digagas oleh ulama sebelumnya. Pengembangan ini
bukan hanya dari sisi tambahan kuantitas unsur maqâsid, melainkan juga dari sisi
kualitas efek penetapan unsur-unsur maqâsid al-syarî‟ah itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan maqâsid al-syarî‟ah sebagai metode atau
pendekatan dalam penetapan hukum Islam, menurut komentar al-Hasanî dan al-
Mîsâwî, menyatakan bahwa karya Ibn „Âsyûr maqâsih al-syarî‟ah menjadi
disiplin ilmu yang mandiri, menjadi disiplin yang lengkap secara konseptual,
prinsip, dan metodologinya. Ibn „Âsyûr menyatakan bahwa ushûl al-fiqh yang
ada perlu ditata ulang (rekontruksi) dan maqâsid al-syarî‟ah perlu mendapatkan
perhatian serius karena ia memiliki posisi penting dalam perkembangan hukum
Islam. Ibn „Âsyûr layak dijadikan sebagai pilar ketiga dari perkembangan
maqâsid al-syarî‟ah, karena dialah yang menghidupkan kajian yang telah lama
terhenti sejak masa al-Syâtibî.9 Sejak masa Ibn „Âsyûr ini, mulailah bertebaran
9 Muhammad Sa‟ad bin Ahmad Mas‟ûd al-Yûbî, Maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyah wa
„Alâqatuhâ bi al-Adillah al-syar‟iyyah (Beirut: Dâr al-Hijrah, 1998), h. 70
21
kajian-kajian maqâsid al-syarî‟ah yang lebih menekankan pada metodologi atau
pendekatan daripada kumpulan konsep nilai.10
Pasca Ibn „Âsyûr hingga saat ini, maqâsid al-syarî‟ah menapaki jalan
menuju puncak kejayan, dengan indikator utama dijadikannya maqâsid al-
syarî‟ah sebagai rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagaian besar
persoalan kontemporer, terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas,
persoalan sosial, politik, dan ekonomi global, serta persoalan membangun global
ethics (etika global) dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad
ke-20 dan awal abad ke-21 menjadi saksi semakin meningkatnya perhatian ulama
dan cendekiawan muslim terhadap maqâsid al-syarî‟ah.
3. Urgensi Maqâsid al-Syarî’ah
Menurut Ibnu „Âsyûr kerja mujtahid dalam merumuskan hukum baik
melalui istinbat hukum dari nas maupun istidlâl dengan dalil selain nas seperti
kias, maṣlaḥah mursalah, dan sadd aż-żarî‟ah tidak lepas dari salah satu dari
lima mekanisme berikut: menarik kesimpulan dari nas, meneliti kemungkinan
hal-hal kontradiktif dengan nas-nas yang dipakai sebagai dalil, melakukan
kias, merumuskan hukum kasus baru yang tidak punya rujukan kias, dan
menerima apa adanya suatu hukum tanpa mengetahui hikmah dan maksudnya.
Kelima mekanisme ijtihad tersebut tidak terpisah dari maqâṣid al-syarîʻah.
Dalam proses istinbat hukum dari nas Alqurân maupun Sunnah
mujtahid butuh memahami maqâṣid al-syarîʻah karena analisis semantik Usûl
Fikih semata tidak memadai dan dapat menimbulkan interpretasi yang keliru.
Kekeliruan tersebut merupakan suatu kelumrahan komunikasi, terlepas dari
bahasa apa yang digunakan, karena tiga hal: pertama, sebagian besar kata dan
farasa bersifat ambigu; kedua, perbedaan tingkat kemampuan, teknik dan gaya
menyampaikan yang dimiliki oleh pembicara; ketiga: perbedaan tingkat
kemampuan penerima dalam memahami dan mencerna informasi yang
10
Ibn „Âsyûr mengenalkan lima prinsip dasar sebagai landasan berpikir dengan pendekatan
maqâsid: (1) manhaj tasyrî dengan cara mengubah sesuatu yang salah dan mengumumkan kesalahan
tersebut serta menetapkan yang benar sehingga diketahui oleh manusia; (2) perlunya menganalisis
akibat yang akan terjadi sebelum menetapkan hukum; (3) memperhatikan hal-hal yang didiamkan oleh
syâri‟; (4) memperhatikan kebutuhan masyarakat; dan (5) mempertimbangkan kepentingan primer
yang mendesak untuk direalisasikan. Prinsip dasar ini akan mengantarkan para fuqaha untuk tidak
hanya focus pada teks, tetapi pada konteks kemaslahatan yang akan diwujudkan dengan penetapan
suatu hukum. Lihat, Muhammad Salîm al-„Awwâ, Dawr al-Maqâsid fi al-Tasyrî „ât al-Mu‟asirah
(London: Markaz Dirâsât Maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyyah, 2006), h. 26-37
22
disampaikan. Oleh karena itu pembicara dan penerima suatu informasi harus
memperhatikan hal hal-hal lain di luar makna literal seperti: gaya bahasa,
konteks, dan penjelasan-penjelasan lain jika ada untuk mengeliminasi
interpretasi selain yang dimaksud oleh pembicara meskipun secara kebahasaan
dapat dibenarkan. Pada kenyataannya menerima informasi langsung dari
sumbernya memberi pemahaman yang lebih baik daripada menerimanya
melalui perantara pihak ketiga. Inilah sebabnya para ulama meneliti dan
mengklasifikasikan latar belakang perkataan dan tindakan Rasulullah Saw,
11para tabi‟in dan para tabi‟ tabi‟in memperioritaskan ziarah ke Madinah untuk
menggali informasi yang lebih kaya tentang latar belakang Sunnah Nabi Saw
daripada sekedar riwayat yang telah mereka terima.
Berikutnya sebelum menetapkan kesimpulan awal dari suatu nas
sebagai hasil istinbat hukum, terlebih dahulu harus diteliti secara saksama
kemungkinan adanya dalil lain yang kontradiktif dengan kesimpulan awal dari
nas yang dikaji. Intensitas penelitian untuk membuktikan kesimpulan awal
tidak bertentangan dengan dalil lain dipengaruhi oleh tingkat dugaan
kesesuaian kesimpulan awal. dengan maqâṣid al-syarîʻah. Bilamana
kesimpulan awal dipandang tidak bertentangan dengan maqâṣid al-syarîʻah
yang telah dipahami sebelumnya maka penelitian yang dilakukan biasanya
lebih longgar, sebaliknya upaya yang lebih intens menunjukkan keraguan yang
lebih besar tentang keselarasan kesimpulan awal tersebut dengan maqâṣid al-
syarîʻah. Pemahaman yang baik tentang maqâṣid al-syarîʻah khususnya yang
berkaitan dengan masalah dan nas yang dikaji akan memberikan arahan yang
jelas untuk melakukan penelitian adanya kemungkinan kontradiksi dengan
dalil-dalil yang lain.12
Adapun dalam mekanisme kias pemahaman tentang maqâṣid al-
syarîʻah dibutuhkan untuk menemukan ilat hukum yang ada nasnya agar dapat
dijadikan sebagai maqîs„alaih. Ilat hukum itu sendiri berupa karakter definitif
11
Menurut Ibnu „Âsyûr, mengutip dan menyempurnakan pendapat Syihabuddin Al-Qarâfiy,
setidaknya terdapat dua belas kemungkinan motif yang melatar belakangi perkataan atau perbuatan
Rasulullah Saw, yaitu: tasyrî‟ atau penjelasan syariat, fatwa, vonis peradilan, kepemerintahan, saran,
rekonsiliasi dua pihak bersengketa, bimbingan konsultasi, nasehat, sikap zuhud, motifasi pencapaian
tertinggi, mendidik, dan dorongan alamiah. Ibn „Âsyûr menjelaskan pengaruh masing-masing motif
terhadap hasil istinbâṭ dan implementasinya dengan memberikan contoh dan perbandingan satu dengan
yang lainnya. (lihat: ʻÂsyûr, Maqâṣid, h. 207-230) 12
Ibn „Âsyûr, Maqâsid,h. 185-186
23
yang permanen dan relevan untuk dijadikan alasan penetapan suatu
hukum.Kebutuhan mujtahid terhadap maqâṣid al-syarîʻah paling signifikan
terlihat pada upaya menemukan hukum syariat untuk sesuatu yang sama sekali
baru, tidak ada nas yang menerangkan hukumnya secara langsung maupun nas
yang menerangkan hukum persoalan lain yang dapat dijadikan pijakan kias.
Maqâṣid al-syarîʻah dalam situasi ini menjadi perangkat satu-satunya untuk
menjaga kesinambungan hukum syariat dalam perkembangan zaman dan
perubahan sosial yang dinamis.
Implementasi istinbat hukum dengan landasan maqâṣid al-syarîʻah ini
diaplikasikan dalam sejumlah metode yang berbeda-beda, seperti maṣlaḥah
mursalah, istiḥsân, dan istiṣḥâb. Terakhir, dalam syariat yang bersifat ibadah
ritual, mujtahid tetap tidak dapat menyampingkan keberadaan maqâṣid al-
syarîʻah karena sifat ḥikmah atau kemahabijaksanaan Allah memustahilkan
faal Allah sunyi dari hikmah dan tujuan tertentu. Hanya saja hikmah dan
tujuan dimaksud tidak teridentifikasi secara spesifik oleh keterbatasan akal
manusia. Oleh karena itu dalam hal ini harus diyakini bahwa ritual tersebut
diperintahkan untuk suatu hikmah dan tujuan tertentu yang tidak mesti
diketahui tetapi mesti dipatuhi. Ibn „Âsyûr menyebutnya sebagai maqâṣid
ta‟abbudi.13
Menurut Yusuf Ahmad al-Badawi hanya sebagian kecil ulama
Usûl Fiqh yang menjadikan paham maqâṣid al-syarîʻah sebagai syarat
mujtahid. Tokoh-tokoh sebelum Ibn „Âsyûr antara lain ialah: Imam Al-
Syâfi‟iy, al-Juwainî, al- Ghazâlî, Ibnu Abdis-Salâm, as-Subkî, dan Ibnu
Taimiyyah.14
Sedangkan tokoh-tokoh kontemporer seperti: Abû Zahrah,
Wahbah al-Zuhailî, adalah di antara yang sepaham dengan mereka.
Meskipun demikian pendapat ini terlihat lebih kuat, karena maqâṣid al-
syarîʻah secara praktik pada hakikatnya telah menjadi unsur penting dalam
proses istinbat hukum semenjak era sahabat termasuk dalam
menginterpretasikan hadis-hadis Rasulullah Saw. Imam Malik dalam al-
Muwâṭa` meriwayatkan dalam al-Muwâṭa` perihal Abû Ḥużaifah yang
mengadopsi Sâlim dan memperlakukannya seperti anak kandung. Ketika turun
ayat kelima surah al-Aḥzâb, ud‟ûhum li-âbâ`ihim, istri Abû Ḥużaifah Sahlah
13
Ibn „Âsyûr, Maqâsid,h. 184 14
Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqâṣid al-Syarîʻah ʻinda Ibn Taymiyyah
(Riyâḍ: Dâr aṣ-Ṣumai‟iy lin-nasyr wat-tawzîʻ, 1430H/2009M) h. 102-104.
24
Binti Suhail menghadap Rasulullah Saw dan berkata, “Kami sudah
menganggap Sâlim seperti anak sendiri; dia biasa masuk menemui saya ketika
saya hanya mengenakan satu pakaian, dan kami hanya punya satu ruangan.
Apa pendapat Anda tentang kondisinya [ini]? Maka Rasulullah Saw,
bersabda” رضعات خس Susuilah dia lima kali susuan, maka dia menjadi] أرضعيو
anak susuannya].”15
Maka Sâlim menjadi mahram karena susu yang
diminumnya itu, Sahlah mempersepsikannya sebagai anak susuan. „Â`isyah
raḍiyallâhu „anha berpendapat hadis ini berlaku umum bahkan
mengamalkannya, oleh karena itu meminta orang-orang tertentu meminum
susu saudarinya supaya dapat menjumpainya selayak mahram. Sedangkan
istri-istri Rasulullah Saw yang lain berpandangan itu adalah rukhsah terbatas
untuk Sahlah raḍiyallâhu „anha dalam interaksinya dengan Sâlim, tidak
berlaku umum termasuk untuk mereka.16
Pendapat kedua tidak menyelisihi
teks tetapi interpretasi lain yang didasari oleh paradigma yang berbeda
terhadap latar belakang hadis, di mana sabda Rasulullah Saw dipahami
maksudnya untuk memberikan solusi bagi keluarga ini, berupa rukhsah,
mengingat pola asuh dan pergaulan keluarga Abû Ḥużaifah dengan Sâlim
telah terbentuk secara permanen jauh sebelum tabanni diharamkan sehingga
perubahan yang demikian sangat menyulitkan bagi mereka. Ini menunjukkan
bahwa maqâṣid al-syarîʻah harus diperhatikan dengan saksama dalam
melakukan istinbat hukum, oleh karenanya seorang mujtahid harus memahami
dengan baik konsep dan mekanisme identifikasi maqâṣid al-syarîʻah.
Demikian urgensinya fungsi maqâṣid al-syarîʻah dalam istinbat
hukum, Ibnu „Âsyûr menyesalkan maqâṣid al-syarîʻah tersubordinasikan
dalam pokok-pokok bahasan tertentu dalam Ushûl Fiqh semisal maṣlaḥah
mursalah, qiyâs, istiḥsân. Pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang
maqâṣid al-syarîʻah menurutnya adalah faktor terpenting untuk mencegah
atau setidak mengurangi khilafiah Fikih yang tidak tertanggulangi oleh
kaidah-kaidah semantik Ushûl Fiqh. Oleh karena itu ia mendorong pengkajian
15
Aḥmad Bin Muhammad Bin Hanbal Asy-Syaibâniy, Musnad al-Imâm Aḥmad Bin
Hanbal, (t.t.p.: Mu`assasah ar-Risâlah, 1421H/2001M), j. XLII, h. 435, no. 25659: sanadnya
ṣaḥīḥ 16
Malik bin Anas, al-Muwâṭṭa`, tahkik Muhammad Muṣṭafâ al-Aʻẓamiy (t.t.p.:
Mu`assasah Zayid Bin Sulṭān Ālu Nahyān, 1425H/2004), j. IV, h. 874.
25
maqâṣid al-syarîʻah dijadikan pokok bahasan utama dalam pengkajian Ushûl
Fiqh bahkan untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu mandiri tanpa merusak
bangunan Ushûl Fiqh yang telah ada. Terlepas dari wacana kodifikasi maqâṣid
al-syarîʻah sebagai disiplin ilmu yang mandiri pandangan Ibn „Âsyûr tentang
urgensi maqâṣid al-syarîʻah terlihat mendapat respon positif dengan semakin
populernya pengkajian maqâṣid al-syarîʻah dan karya tulis di bidang ini.
Urgensi maqâṣid al-syarîʻah menurut Ibn „Âsyûr terbatas pada
kalangan fakih mujtahid, sedangkan mukalaf awam kapasitas mereka hanya
sebatas menjalankan syariat tanpa harus mengetahui maqâṣid al-syarîʻah
karena dia tidak mampu mengenal dan memfungsikan maqâṣid dengan baik,
sehingga cukup besar kemungkinan ia keliru dan justru kemudian melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan maqâṣid itu sendiri. Al-Badawi menolak
pandangan Ibn „Âsyûr ini kecuali jika mukalaf awam dimaksud dengan
berbekal pengetahuan tentang maqâṣid al-syarîʻah diberi kebebasan
melakukan istinbat hukum sendiri; tentu tidak demikian. Mengutip sejumlah
sumber al-Badawi menyebutkan lima alasan mengapa orang awam, selain
fakih mujtahid, juga perlu mengenal maqâṣid al-syarîʻah, yaitu: 1)
Meningkatkan keimanan kepada Allah dan keyakinan terhadap akidah dan
syariat Islam; 2) Membentengi diri dari pengaruh gazwul-fikri; 3) Meluruskan
niat dan maksud agar sesuai dengan maqâṣid al-syarîʻah; 4) Optimalisasi
penghambaan diri kepada Allah; 5) Bahan utama dalam menyiarkan atau
mendakwahkan Islam.17
B. Tafsir Maqâsidi
1. Pengertian Tafsir Maqâsidi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tafsir bermakna: keterangan
atau penjelasan tentang ayat-ayat Alqurân agar mudah dipahami. 18
Namun
pada dasarnya kata tafsir tidak berakar dari bahasa Indonesia murni, tetapi dari
bahasa Arab yang berarti al-idâhah (menerangkan) dan al-tabyin
17
Muzâbanah secara kebahasaan berarti penolakan; sedangkan secara peristilahan menurut
jumhur ialah: jual beli barter kurma yang masih di pohonnya dengan kurma yang telah dipanen dengan
menaksir takaran kurma yang masih di pohon tersebut. (lihat: Al-Mausûʻah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah, j. IX, h. 139) 18
www.kbbi.web.id, diakses pada kamis 12 Maret 2019, pukul 12.10
26
(menjelaskan). Asal usul kata tafsir bisa berasal dari kata al-Fasr atau al-
Tafsarah. Kata al-Fasr sendiri berarti bisa bermakna al-Kasyf (menyingkap)
dan al-izhar (menampakkan). Sedangkan kata al-Tafsarah merupakan istilah
untuk sesuatu yang diperiksa oleh seorang d-okter dari pasiennya.19
Sedangkan dalam kamus besar al Munawwir, dikatakan bahwa tafsir
merupakan bentuk masdar “tafsirotun” dari fi„il fassara-yufassiru yang
memiliki banyak arti, diantaranya: menerangkan, menjelaskan, memberi
komentar, menerjemahkan atau mentakwilkan.20
Adapun secara terminologis, definisi tafsir sangat banyak. Menurut
Quraish Shihab, pengertian yang ada paling sedikit memenuhi tiga unsur, yaitu
penjelasan, maksud firman Allah, dan sesuai dengan kemampuan manusia.
Ada konsekuensi yang lahir akibat unsur tersebut. Pertama, menafsirkan harus
dilakukan dengan kesungguhan dan dilakukan terus-menerus. Kedua,
menafsirkan berarti menyingkap kemuskilan teks Al-Qur‟an. Ketiga,
kebenaran tafsir bersifat nisbi.21
Menurut Az-Zarkâsy, mendefinisikan tafsir adalah ilmu untuk
memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga
untuk menjelaskan makna-maknanya, mengungkap hukum-hukum dan
hikmah-hikmah yang terkandung dalamnya didasari dengan ilmu bahasa,
nahwu, tasrif, bayan, ushul fiqh, ilmu qira‟ath dan juga pengetahuan terhadap
asbab al-nuzul dan nasikh wa al-mansukh.22
Sementara kata maqâsidi (maqâsidi) merupakan kata bentukan dari
maqâsid yang memiliki tambahan yâ‟ nisbah yang bersandar padanya.
Maqâsid merupakan bentuk jamak dari kata maqsad yang bermakna maksud,
sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.23
19
Ibn Manzûr, Lisân al-„Arab, ditahqiq oleh Amir Ahmad Haidar, cet. Ke-2, jilid V (Beirut:
Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 2009), 64-65. 20
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), 1054. 21
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur‟an, cet. ke-2 (Tangerang: Lentera Hati, 2013., h. 10. 22 Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi, al-Burhan fî „Ulum al-Qur`an, juz ke-1 (Beirut: Dar
al-Ma„rifah, 1957), h. 15 23
Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, terj. Rosidin dan Ali Abd
Mun„im, (Bandung: Mizan, 2015), h.32
27
Sedangkan maqâsid menurut Ibn „Âsyûr dalam Jâsser Auda 24
berasal
dari Bahasa Arab مقاصد (maqâsid), yang merupakan bentuk jamak kata مقصد
(maqsad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.
Menurut sejumlah teoretikus hukum Islam, maqâsid adalah pernyataan
alternatif untuk mashalih atau „kemaslahatan-kemaslahatan‟. Misalnya, „Abd
Malik al-Juwainî (w.478H/1185 M), salah seorang kontributor paling awal
terhadap teori maqâsid menggunakan istilah al-maqâsid menggunakan istilah
al-maqâsid dan al-masâlih al-„âmmah (kemaslahatan-kemaslahatan umum)
secara bergantian.25
Pada dasarnya, kata maqâsid sering disandingkan dengan kata al-
syarî‟ah yang membentuk susunan maqâsid al-syarî‟ah. Namun dalam
perkembangannya, kata maqâsid tidak jarang disandingkan dengan kata al-
Qurân yang membentuk frase maqâsid al-Qurân. Frase ini menurut sebagian
peneliti dianggap sebagai bentuk evolusi maqâsid, akibat beberapa
keterbatasan cakupan maqâsid al-syarî‟ah sebagai frase lama yang tidak
digali langsung secara holistik pada sumber pertama syariat.26
Sementara
maqâsid Alqurân yang memuat seluruh teks Alqurân, memiliki cakupan
wilayah maqâsid yang tidak hanya terbatas pada persoalan hukum fiqih saja,
melainkan menyentuh apa saja yang dapat dikatakan sebagai perintah dan
larangan tuhan, baik dalam tataran tingkah laku manusia maupun dalam
akidah dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia.27
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa maksud dari pada term maqâsid al-Qur‟an
adalah tujuan-tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-hukum al-
Qur‟an.28
Dengan demikian al-tafsir al-maqâsidi merupakan tafsir alQurân yang
berorientasi pada realisasi tujuan baik tujuan syariat (maqâsid al-syarî‟ah)
24
Jâsser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 32 25
Jâsser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 33
26
Munawir, Pandangan Dunia Al-Qur‟an; Telaah Terhadap PrinsipPrinsip Universal al-
Qur‟an, Penelitian Individual, (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2015), h. 57 27 Halil Thahir, Ijtihad Maqâsidi; Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkonesitas
Maslahah (Yogyakarta: LKiS, 2015), h.16
28
Abdul Karim Hamidi, Al Madkhal ila Maqâsid al-Qur‟an, (Riyadh: Maktabah ar Rusyd,
2007), h.21
28
secara khusus maupun tujuan Alqurân (maqâsid al-Qur‟an)29
secara umum
dengan pola memperhatikan makna terdalam dari ayat-ayat al-Qur‟an dalam
bentuk hikmah, sebab hukum, tujuan dan segala nilai yang bisa menjadi
kemaslahatan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya dan
menyelesaikan problem-problem di setiap masa.
2. Sejarah Perkembangan Tafsir Maqâsidi
Dalam literatur klasik, disini penulis belum menemukan penjelasan
yang pasti tentang siapa pertama kali berbicara tentang maqâsid al-Qur‟an
dan kapan kajian itu dimulai secara ilmiah. Dari data yang penulis temukan
pertama kali yang mengkaji maqâsid al-Qur‟an adalah al-Imâm al-Juwainî
dalam kitab al-Burhân. Dalam kitab tersebut al-Juwainî (w. 478 H)
mengemukakan bahwa tujuan al-Qur‟an ada lima, yaitu, al-darûriyât, al hâ
jiyyât, al-tahsîniyyât, tatimmah mandhûbah,dan mukarramah. Kemudian
ditemukan pembahasan Maqâsid al-Qur‟an di dalam buku Jawâhir al-
Qur‟ân wa Duraruhû karya Abû Hâmid al-Ghazâli (w.505 H). Pada bab
kedua dalam buku ini al-Ghazâlî memberi sub judul “Maqâsid”. Meskipun
tidak ada keterangan yang manyatakan buku ini pertama membahas tentang
Maqâsid al-Qur‟ân, namun setelah ditelusuri tidak ditemukan buku yang
memuat tentang Maqâsid al-Qur‟ân sebelum buku al-Burhân al-Juwainî.
Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa yang pertama kali
29 Beberapa ulama kontemporer yang memiliki rumusan maqâsid alQur„an, diantaranya: Tahir
Ibn Asyur mengusulkan. Maqâsid umum al-Qur‟an adalah mengajarkan dan memperbaiki akidah,
mengajarkan nilai-nilai akhlak, menetapkan hukum syari‟at, mengatur dan menunjukan jalan kepada
umat Islam (Siyasah al-Ummah), memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa
terdahulu, pengajaran syari„at sesuai dengan perkembangan zaman, al-Targhib wa al-Tarhib,
membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad. Lihat. Tahir Ibn Asyur, Muqaddimah al Tahrir wa
al Tanwir, vol 1, (Tunisia: Daar al-Tunusiyyah li al-nasyr, 1984), h.40-41. al-Ghazali menyimpulkan
maqâsid al-Qur‟an terdiri dalam dua kategori,yaitu tujuan penting (muhimmah)dan tujuan
penyempurna (mughniyah, mutimmah). Sedangkan tujuan pokok dalam al-Qur‟an mencakup tiga hal:
pertama memperkenalkan Tuhan yang berhak untuk disembah (ta‟arif al-mad‟u ilayh), yaitu Allah
swt.: kedua memperkenalkan jalan yang lurus (ta‟rif al-sirat al-mustaqim), yaitu syari‟at Islam;Ketiga,
memperkenalkan kondisi manusia ketika bertemu dengan Allah (ta‟rif al-wusul ilayh), yaitu hari
kiamat. Lihat Dr.A.Halil Thahir, MHI. Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis
Interkoneksitas Maslahah, (Yogtakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara,2015)Cet 1,h.29. Sementara Ibn
„Abd al-Salam merumuskan maqâsid al-Qur‟an terdiri dari pada satu kaidah, upaya untuk mewujudkan
berbagai kemaslahatan berikut sebab-sebabnya serta menolak segala bentuk
mafsadah(kerusakan)berikut sebab-sebabnya.Lihat Lihat Dr.A.Halil Thahir, MHI. Ijtihad Maqâsidi
Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah, (Yogtakarta: PT. LKIS Pelangi
Aksara,2015)Cet 1, h. 30
29
berbicara tentang Maqâsid al-Qur‟ân atau paling tidak yang pertama
membahas secara luas adalah al-Juwainî, dan kemudian dilanjutkan oleh al-
Ghazâlî. Menurut al-Ghazâlî, rahasia, intisari dan maksud al-Qur‟an adalah
menyeru hamba menuju Tuhan-Nya yang Maha Esa. 30
Dalam bidang ilmu Tafsir, Maqâsid al-Qur‟ân diperkenalkan untuk
pertama kali oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H). Ia membahasnya dalam
konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah al-Qur‟an (wihdah
maudû‟iyyah li al-suwar). Menurut Quraish Shihab, prinsip kesatuan tujuan
surah al-Qur‟an untuk pertama kali dimunculkan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî
dalam tafsirnya, Tafsîr Mafâtih al-Ghaîb.31
Terkait dengan hal ini, seperti
dikutip Quraish Shihab. Fakhr al-Dîn al-Râzî mengatakan siapa yang
memperhatikan susunan ayat-ayat al-Qur‟an di dalam satu surah. Ia akan
mengetahui bahwa di samping merupakan mukjizat dari aspek kefasihan
lafal-lafal serta keluhuran kandungannya. Al-Qur‟an juga merupakan
mukjizat dari aspek susunan dan urutan ayat-ayatnya. Setiap surah,
menurutnya, mempunyai tujuan dan tema utama.
Al-Tafsir al-maqâsid adalah wacana baru yang muncul dalam
diskursus ilmu tafsir. Namun secara genealogi, sejarah perkembangannya
dapat dilacak berdasarkan perkembangan ilmu maqâsid. Berdasarkan sejarah
ide tentang maksud atau tujuan tertentu yang mendasari perintah Alquran dan
Sunnah, sabagaimana yang dipriodesasikan oleh Jâser Auda bahwa sejarah
tersebut dapat dilacak hingga masa sahabat Nabi.32
Sebagai contoh, salah
30
Jâser Auda, al-Maqâsid untuk pemula,Yogyakarta:Suka Press, 2013, h. 38-40 31
Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Vol. 1, ( Jakarta: penerbit Lentera Hati, Cet, ke-2, 2004),
xxiii. 32 Jâser Auda berusaha menyusun sejarah perkembangan ide maqâsid berdasarkan pada masa
munculnya pemikiran tokoh tentang maqâsid. Dia mengklasifikasikan masa tersebut menjadi empat
periodesiasi yaitu; pertama, periode pada masa sahabat, melalui ijtihad sahabat Nabi. kedua, periode
permulaan muncul teori maqâsid (sebelum abad ke 5 H). ketiga, masa para imam penggagas teori
maqâsid dalam balutan kajian ushul fikih (antara abad ke 5 H – 8 H),keempat, periode kontemporer.
lihat Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari‟ah,h. 41-60. Berbeda dengan
Auda, Ahmad al-Raysuni membagi sejarah perkembangan maqâsid berdasarkan pada perkembangan
dari makna satu konsep maqâsid ke konsep yang lain. Dia menghabiskan 3 tokoh sentral yang
berpengaruh atas perkembangan konsep maqâsid, yaitu Imam al Haramain Abu al Ma„ali Abd Allah al
Juwayni (w. 478), Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790) dan Muhammad al Tahir ibn Asyur (w. 1379 H / 1973
M). lihat Ahmad al Raysuni, Al Bahs fi Maqâsid al-syari‟ah, h.4-5, dalam Ahmad Imam Mawardi,
30
satu kasus yang populer adalah tentang shalat asar di Banī Quraizah‟.
Dimana Nabi Saw mengirim sekelompok sahabat ke Banī Quraizah,33
dan
memerintahkan mereka salat Asar di sana. Batas waktu salat Asar hampir
habis sebelum para sahabat tersebut tiba di Banî Quraizah. Lalu, para
sahabat terbagi menjadi dua pendapat yang berbeda: pendapat pertama
bersikukuh salat Asar di tempat itu apa pun yang terjadi, sedangkan pendapat
kedua, bersikukuh tetap berpegang pada intruksi nabi Saw, yaitu tidak
melaksanakan salat Asar di perjalanan (sebelum waktu salat Asar habis).
Alasan kelompok pertama untuk segera melaksanakan salat, karena
mempertimbangankan maksud dan tujuan dari perintah Nabi agar supaya
bergegas dalam perjalanan, bukan bermaksud menunda salat Asar.
Sedangkan kelompok lain memahaminya secara lahir sebagaimana bunyi
istruksi Nabi untuk melaksanakan shalat di tempat tujuan. Setelah kembali ke
kota Madinah, para sahabat melaporkan cerita tersebut kepada Nabi, sedang
Nabi meneguhkan kebenaran kedua pandangan para sahabatnya.
Dalam kasus lain yang menunjukan penerapan pendekatan berbasis
maqâsid terhadap perintah Nabi Saw, sebagaimana yang terjadi pada masa
Khalifah „Umar bin Khattab ketika para sahabat memintanya untuk
membagikan harta rampasan (ghanimah) yang diperoleh dari perang, dengan
didasarkan pada ayat-ayat al-Qur‟an yang secara jelas membolehkan para
tentara mujahid memperoleh ghanimah. Akan tetapi, Khalifah Umar menolak
usulan para sahabat tersebut, dengan berpedoman pada ayat Alquran lainnya
yang lebih umum yang menyatakan maksud Allah SWT untuk tidak
menjadikan harta kekayaan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja.34
Oleh karena itu, „Umar dan para pendukung pendapatnya memahami ayat
Fiqhi Minoritas; Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqâsid al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan
(Yogyakarta: LKiS, 2010) h. 190
33 Sekitar tahun ke-7 H. Lokasinya beberapa mil dari Madinah. 34 Sebagaimana disebutkan dalam QS. Hasyr: 7, yang terjemahannya: Apa saja harta rampasan
(fai„) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya‖.
31
khusus tentang ganimah dalam konteks maqâsid hukum khusus yaitu
mengurangi kesenjangan ekonomi.35
Ijtihad pada kasus-kasus di atas, yang menceritakan pemahaman dan
pengalaman maqâsid di era para sahabat, memiliki signifikansi penting .
Signifikansinya adalah para sahabat tidak selalu menerapkan „dalalah
lafal‟(dilâlah al-lafz) dalam istilah para pakar Ushûl Fikih, „dalalah
lafal‟yaitu implikasi langsung dari suatu bunyi bahasa atau nas, akan tetapi
para sahabat menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada „dalalah
maksud (dilâlah al-maqsid). Implikasi tujuan ini memungkinkan fleksibilitas
yang lebih besar dalam memahami teks (lafz)dan meletakannya dalam
konteks situasi dan kondisi.36
Setelah masa sahabat, teori dan konsepsi mengenai maqâsid mulai
berkembang. Akan tetapi, meski perkembangannya belum terlalu signifikan
dan belum menjadi subjek (topik) karya ilmiah tersendiri, hingga tiba masa
para ahli ushûl fikh belakangan, yaitu antara abad ke-5 H sampai dengan
abad ke-8 H. Meski demikian, selama ke-3 abad H pertama, gagasan tentang
tujuan/ maksud, atau yang dikenal dengan istilah hikmah, „ilal, munasabât,
atau ma‟ânî,, telah muncul di dalam berbagai metode berfikir yang
digunakan oleh para imam klasik hukum Islam.37
Istilah-istilah yang
menandai adanya pemikiran al-maqâsid ini muncul pada penerapan metode-
metode fikih seperti kias, istihsân dan pertimbangan kemaslahatan.
Dalam kurung waktu ke 5 H hingga 8 H, ide maqâsid mulai dibahas
dalam beberapa karya ulama (baca: ushul al-fiqh), sekalipun pembahasannya
belum begitu jelas dan terkesan dikesampingkan, akibat penolakan mazhab
teologi atas peranan akal dalam memahami nash. Namun dalam kurun waktu
ini, tepatnya dipenghujung abad ke delapan, ide maqâsid mengalami proses
metamorfosis sempurna dengan hadirnya Abû Ishaq al-Syâtibî. Dalam kitab
al-Muwafaqat, dia berhasil menampilkan wajah baru konsep maqâsid yang
lebih dinamis dan aplikatif, termasuk penyusunan teori-teorinya secara
35 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h.41-42 36
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h.44 37
Jaser „Auda, Al-Maqâsid untuk pemula, penerjemah : „Ali „Abdoelmon‟im, (Yogyakarta:
Suka press, 2013 h, 29-30
32
lengkap, sistematis dan jelas. Dengan demikian, ulama-ulama ushul kemudian
sepakat menjadikannya sebagai bapak atau pendiri maqâsid al syarî‟ah.
Beberapa ulama yang termasuk dalam periode ini sebelum
disempurnakan oleh al-Syâtibî,38
diantaranya; Imam al-Haramain Abû al-
Ma„âlî al-Juwainî (w. 478), meskipun dia tidak pernah menulis kitab yang
spesifik membahas teori maqâsid, namun beliau berhasil dalam
mendeskripsikan dasar-dasar teori maqâsid. Dalam kitab al-Burhân fî Ushûl
al-Fiqh (Dalil-dalil Nyata dalam ushul fikih) dia menyebutkan adanya lima
jenjang dalam maqâsid yaitu: al-darûrât (keniscayaan), al-hâjah al-„âmmah
(kebutuhan publik), al-makrumât (perilaku moral), al-mandûbât (anjuran-
anjuran) dan apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus. 39
Upaya Imam al-Juwainî kemudian dilanjutkan oleh salah seorang
muridnya, Abû Hâmid al-Ghazâlî (W.505 H/ 1111 M). Dia berhasil dalam
mengelaborasi kajian maqâsid Imam al-Juwainî yaitu dengan menjabarkan
konsep al-daruriyat yang diperkenalkan oleh gurunya menjadi al-darûriyyât
al-khams dengan mengurutkannya menjadi; keniscayaan keimanan, jiwa,
akal, keturunan, dan harta dengan menambahkan istilah al-hifz (pelestarian)
pada keniscayaan itu. Dia memprioritaskan bahwa kebutuhan yang urutannya
lebih tinggi (lebih dasar) harus memiliki prioritas atas kebutuhan yang
memiliki nilai urutan yang lebih rendah apabila pertentangan dalam
penerapan keduanya. 40
Selain dua tokoh diatas, beberapa tokoh lainnya yang memiliki
kontribusi terhadap perkembangan teori maqâsid, diantaranya; al-„Izz Ibn
„Abd al-Salâm (W. 660 H/1209 M) al-Izz menulis dua buku tentang maqâsid,
dalam nuansa hikmah di balik hukum Islam, yaitu maqâsid al-salâh
(maqâsid salat) dan maqâsid al-sawm (maqâsid puasa). Tetapi, kontribusi
signifikannya terhadap perkembangan teori maqâsid dalam kitab Qawâ‟id al-
Ahkâm fî Masâlih al-Anâm (kaidah-kaidah Hukum bagi Kemaslahatan Umat
38
Menurut Jâser „auda, al-Syâtibî telah mengembangkan teori maqâsid dalam tiga cara
substansial berikut: Pertama, maqâsid yang semula sebagai bagian dari “Kemaslahatan Mursal”(al-
masâlih al-mursalah) menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam. Kedua, dari hikmah di balik
hukum menjadi dasar bagi hukum. Ketiga, dari ketidakpastian (zanniyyah) menuju kepastian
(qat‟iyyah). Lihat Jâser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, H. 55 39
Jâser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 50 40
Jâser Auda, al-maqâsid untuk pemula, (Yogyakarta: SUKA –press , 2013), h. 40-41
33
Manusia) beliau telah menginvestigasi secara ekstensif tentang konsep
maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah (Kemudaratan) Secara ringkas
menurut dia, kemaslahaan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan
sebagaimana kemafsadatan yang ada didalamnya juga tida boleh didekati
walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijma, nash dan qiyas yang
khusus.41
Syihâb al-Dîn al-Qarâfî (w.684 H/1285 M) dalam kitab al-Furûq
telah menulis tentang pembukaan sarana untuk meraih kemaslahatan (fath al-
zarâ‟), bahwa apabila sarana yang mengarahkan pada tujuan haram harus
ditutup, maka sarana yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya
dibuka. 42
Terakhir ada Syams al-Dîn Ibn al-Qayyim (w. 748 H/1347 M)
dengan metodologi yuridisnya berdasarkan hikmah‟ dan kesejahteraan
manusia‟. Menurutnya, syarî‟ah didasarkan pada kebijaksanaan demi meraih
keselamatan manusia di dunia dan di akhirat, dengan demikian syarî‟ah
seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan dan
kebaikan. 43
Pasca kemunculan al-Syâtibî dengan karya monumnetalnya al-
Muwafaqat, ide dan konsep maqâsid mengalami kebuntuan sekian lama,
terpendam sekitar 6 abad dalam kejumudan intelektual, sampai hadirnya
Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr yang menjadikan ilmu maqâsid sebagai
disiplin ilmu yang mandiri, sekaligus menjadikan disiplin ilmu yang lengkap
secara konseptual, prinsip dan metodologinya. 44
Bersamaan dengan
itu,beberapa cendekiawan kontemporer lainnya berhasil melakukan
perbaikan dan perluasan jangkauan mengingat berbagai wujud kritikan
terhadap klasifikasi dan konsep maqâsid yang telah ada dan berkembang
pada masa sebelumnya.45
41 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 52 42
Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 53 43
Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 54 44
Dr. Ahmad Imam Mawardi, ” Fiqh Minoritas, fiqh al-Aqalliyyat dan evolusi Maqâsid al-
Syari‟ah dari konsep ke pendekatan”(Yogyakarta: LKIS,2010 ), cet.1, h. 182 45
Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 37
34
Beberapa alasan perlunya dilakukan reformasi konsep maqâsid
tradisional sebagaimana berikut: Pertama, jangkauan maqâsid tradisional
meliputi seluruh hukum Islam, namun tidak memasukan maksud khusus dari
suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topik fiqh tertentu. Kedua,
Maqâsid tradisional lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga,
masyarakat, atau umat manusia. Ketiga, klasifikasi maqâsid tradisional tidak
memasukan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
Keempat, Maqâsid tradisional didedukasi dari kajian „literatur fiqh‟,
ketimbang sumber-sumber syariat (al-Qur‟an dan Sunnah). 46
Perbaikan pada
ruang lingkup maqâsid diharapkan agar jangkauan orang yang diliputi oleh
maqâsid dapat menjangkau wilayah yang lebih luas. Sehingga nantinya dari
perluasan jangkauan ini akan merubah titik tekan dari kinerja maqâsid, dari
titik tekan maqâsid lama sekedar protection (perlindungan) dan preservation
(penjagaan), mengarah pada titik tekan maqâsid baru pada development
(pengembangan) dan right (hak-hak).47
Demikian halnya perbaikan pada sumber induksi maqâsid diharapkan
dapat menjadi amunisi terbaru dalam merespon tantangan zaman, dengan
memposisikan maqâsid tidak hanya berfokus pada pemahaman atas ayat
hukum yang sebagian besar digali dari literatur fiqh dalam mazhab-mazhab
fiqh, tetapi meluas pada penggalian secara langsung pada keseluruhan teks-
teks suci keislaman, yaitu al-Qur‟ân dan hadis Nabi SAW. Terlebih persoalan
hukum hanya menempati sebagian dari ruang yang tersedia dalam Islam.
Alqurân selain mengandung persoalan hukum, juga berisi penjelasan tentang
hari akhir, etika, fenomena alam, kisah umat terdahulu dan penjelasan
tentang sifat-sifat Allah.48
Berdasarkan dari perbaikan kedua aspek diatas, yaitu ruang lingkup
dan sumber induksi, ulama kontemporer disamping berhasil merumuskan
klasifikasi baru tentang maqâsid,49
juga telah menjadikan ilmu maqâsid
46
Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 36 47
Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h.56-57 48
Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqâsidi, Jurnal Rausyan Fikr, Vol.13No.2 Desember 2012,
h.336 49 pada era kontemporer, klasifikasi maqâsid terbagi menjadi tiga, yaitu; pertama, Maqâsîd
umum (al-maqâsid al-„âmmah) maqâsid ini yang dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti
35
sebagai salah satu media intelektual dan metodologi masa kini yang
terpenting untuk reformasi Islami, karena maqâsid merupakan representasi
sudut pandang masing-masing cendekiawan untuk mereformasi dan
mengembangkan hukum Islam.50
Sebagai pendekatan metodologis, maqâsid kemudian menjadi trend
baru yang diminati oleh banyak cendekiawan kontemporer, khususnya dalam
bidang penafsiran Alqurân. Seperti Ibn Âsyûr, Qardhâwi, Muhammad al-
Ghazâlî, Mahmud Syalthut, Rasyîd Ridhâ, dan lain sebagainya.Berbagai
seminar dan kajian juga diselenggarakan di berbagai daerah, seperti seminar
yang membahas tentang bagaimana Alqurân dan Hadis bisa ditafsir ulang
dengan menggunakan realitas kontemporer sebagai pertimbangan dan upaya
mempromosikan tujuan syariat yang berpihak pada kedamaian, keadilan dan
kemajuan umat Islam. 51
3. Urgensi Tafsir Maqâsidi
Dalam menemukan titik urgensi tafsir yang berbasis maqâsid, hal itu
dapat terlihat dari pengkajian urgensi antara tafsir dengan kajian maqâsid.
Secara mendasar, kebutuhan akan tafsir Alqurân terasa sangat besar,
mengingat tidak semua ayat Alqurân memiliki ungkapan yang bisa dipahami
langsung oleh akal manusia. Diantaranya ada yang memiliki lafaz yang
samar (mutashâbih) sehingga terbuka untuk beberapa kemungkinan
penafsiran, ada yang memiliki kandungan yang bersifat global (mujmal)
sehingga diperlukan perincian lanjutan untuk memahaminya. Terlebih
dengan perbedaan dan perkembangan situasi dan kondisi pada era
kontemporer ini, suatu keharusan bagi ulama tafsir untuk menafsirkan
keniscayaan dan kebutuhan tersebut seperti „keadilan‟ dan „kemudahan‟. kedua, maqâsid khusus (al-
maqâsid al-khâssah): maqâsid ini dapat diobservasikan di seluruh isi „bab‟ hukum Islam tertentu,
seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga, perlindungan dari kejahatan dalam hukum criminal;
dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi. ketiga, maqâshid parsial (al-maqâsid al-
juz‟iyyah); „maksud-maksud‟ di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud mengungkapkan
kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud
meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa. Lihat di Jâser Auda h.
36-37 50 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 40 51
Imam Mawardi, “ Fiqh Minoritas fiqh al-Aqalliyyât dan evolusi maqâsid al-syarî‟ah dari
konsep ke pendekatan”, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 202
36
Alqurân yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat yang selalu
dinamis, termasuk menawarkan metode baru dalam penafsiran Alqurân.52
Sedangkan titik urgensisitas kajian maqâsid dapat dilacak berdasarkan
proses perkembangannya, mulai dari masa klasik hingga kontemporer yang
telah menjadikan maqâshid sebagai satu metode berfikir dan beragama.
Berawal dikalangan para imam mazhab, kajian yang memiliki nafas maqâsid
sangat intens diterapkan dalam penggalian hukum Islam. Seperti, mazhab
Hanafi dengan metode istihsan, Maliki dengan maslahah al-mursalah dan
Hanbilah dengan sad al-zara‟i,53
sementara dari kalangan Syafi„iyah lebih
cenderung memiliki pandangan yang sama dengan pendukung mazhab
Zahiriyyah yang memandang esensi syariat hanya beredar pada teks
normatif; Alqurân, Hadits, Ijma„ dan dalam metode qiyas. 54
Selanjutnya periode pasca imam mazhab, diantarannya Imam al-
Juwainî yang memandang kajian maqâsid sebagai prinsip-prinsip
fundamental yang menjadi dasar pijakan bagi seluruh hukum Islam, sangat
penting untuk diaplikasikan, karena tanpanya akan menyebabkan terjadinya
benturan keras di kalangan ulama, bahkan mereka para fakih dan mazhab
mazhab fikih yang tidak mengindahkan prinsip tersebut pada akhirnya akan
lenyap di bumi.55
Imam Al-Ghazâlî sebagai murid al-Juwainî
mengembangkan teori gurunya dengan menitiberatkan pada perlindungan
(hifz) lima unsur pokok yang dikenal dengan ushûl al-khamsah, yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta sebagai prinsip fundamental.
Hanya saja al-Ghazâlî masih terpengaruh oleh mazhab Syafi‟i yang tidak
memperhitungkan maqâsid sebagai salah satu metode ijtihad yang sah,
sehingga terkesan tidak profesional karena menolak memberikan hujjah atau
legitimasi independen bagi maqâsid apa pun yang ia tawarkan.56
Selanjutnya ada tokoh Imam al-„Izz Ibn „Abd al-Salâm yang secara
tegas menghubungkan validitas hukum dengan maqâsid-nya, ia mengatakan
52
Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqâsidî”, Rausyan Fikr, Vol.13, No.02(Desember,2017), h.
337-338 53
Abdullah bin Bahyyah, 'Alaqah Maqâsid al-syarî‟ah bi Ushûl al-Fiqh (London: al-Furqan
Islamic Heritage Foundation, 2006), h.45 54 Abdullah bin Bahyyah, 'Alaqah Maqâsid al-syarî‟ah bi Ushûl al-Fiqh (London: al-Furqan
Islamic Heritage Foundation, 2006), h. 44 55
Al-Juwayni dalam Jaser Auda, h.51 56 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syarî‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 51
37
bahwa setiap amal yang mengabaikan maqâsid-nya adalah batal. Barang
siapa yang memperhatikan maqâsid syarî‟at, yaitu dalam upaya
mendatangkan maslahah dan menolak mafsadat, ia akan memperoleh
keyakinan dan pengetahuan yang mendalam bahwa maslahah tidak boleh
diabaikan dan mafsadat tidak boleh didekati, kendatipun tidak ada ijmak,
teks maupun qiyas yang khusus membahasnya.57
Imam Syihâb al-Dîn al-
Qarâfî mengembangkan teori fath al-zarâ‟i dengan teori saddal-zarâ‟i,
bahwa apabila saran yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya
dibuka.58
Ibn Syams al-Dîn Ibn al-Qayyim di dalam kitabnya I‟lam al-
Muwaqqi‟in „an Rabb al-„Alamin menyatakan bahwa seorang tidak akan
mengetahui mana qiyas yang benar dan mana qiyas yang salah tanpa
mengetahui rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan syari„at.59
Urgensi maqâsid semakin terang dengan hadirnya Imam al-Syâtibî
yang menjadikan pemahaman terhadap maqasid al-syarî‟ah sebagai syarat
untuk berijtihad.60
Dalam artian, seseorang tidak mungkin mencapai derajat
ijtihad jika tidak mengetahui maqâsid al-syarî‟ah secara sempurna dan
menjadikannya sebagai metode penggalian dan penetapan hukum, termasuk
penggalian terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak
ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya dapat dianalisis melalui
metode maqâsid tersebut.61
Hanya saja tawaran konsep maqâsid al-Syâtibî masih menyisahkan
celah bagi generasi berikutnya untuk melakukan kritik dan perbaikan.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Syâtibî dalam membahas kemaslahatan,
disamping masih bertumpu pada pemeliharaan lima unsur pokok setiap
individu, juga hanya berkutat pada hiraki kekuatannya, yakni maslahah
daruriyyat (mendesak, primer), maslahah hajiyyât (dibutuhkan, sekunder),
dan maslahah tahsiniyyat (keindahan, tersier). Pengabaian aspek daruriyyat
dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan.
57 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 52 58 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 53 59 Ibn al-Qayyim, dalam Imam Mawardi. Fiqh Minoritas (Yogyakarta: LKiS, 2010), h.184 60 Al-Syatibi, dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâsid al-Syarî‟ah Menurut al-Syatibi,
(Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 129 61
Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqâsidî”, Rausyan Fikr, Vol.13, No.02(Desember,2017), h.
339-340
38
Tidak terwujudnya aspek hajiyyât tidak sampai merusak keberadaan lima
unsur pokok, akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia
sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan aspek tahsiniyyat
yang terabaikan hanya membuat pemeliharaan lima unsur pokok tidak
sempurna.62
Oleh karena itu, pada masa kontemporer, dimensi kemaslahatan tidak
hanya bersifat proteksi dan pelestarian tetapi lebih bersifat pengembangan
dan pemuliaan, sebagaimana tidak hanya diarahkan pada kepentingan
individu melainkan dapat menjangkau kepentingan manusia yang lebih luas,
yaitu masyarakat, bangsa bahkan umat manusia. Seperti meliputi prinsip-
prinsip utama yang lebih memiliki cakupan luas, misalnya keadilan,
kebebasan berekspresi dan lain-lain.63
Kemaslahatan juga tidak cukup diukur
berdasarkan hirarki kekuatannya, tetapi meniscayakan adanya upaya
interkonseksitas dan keterkaitan antar maslahah.64
Dengan begitu dimensi
kemaslahatan yang menjadi ruh dari maqâsid al-syarî‟ah semakin terlihat
perannya setelah dilakukan berbagai perbaikan dan perluasan cakupan
maqâsid, hingga akhirnya di era kontemporer ini, maqâsid telah berevolusi
menjadi sebuah metode berfikir dan beragama.
Salah satunya adalah metode yang dikembangkan ulama kontemporer
dalam menafsirkan Alqurân dengan mempertimbangkan sisi maqâsid ayat,
yang dikenal dengan al Tafsir al-Maqâsidî. Metode tafsir ini merupakan
salah satu terobosan baru atas fenomena keterbatasan dan kekurang
objektifan metode penafsiran yang telah ada.
Suatu penafsiran dianggap memiliki keterbatasan bilamana diyakini
bahwa apa pun yang dikemukakan oleh umat Islam awal tentang tafsir
merupakan pembacaan yang paling sah dan otoritatif, sehingga segala hasil
penafsiran mereka harus diikuti pada zaman modern tanpa memperhatikan
kondisi yang telah berubah.65 Akibatnya, pemahaman yang muncul
62 Al-Syatibi, dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâsid al-Syarî‟ah Menurut al-Syatibi,
(Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h.72 63
Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syarî‟ah”, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 37 64
Halil Thahir, “Ijtihad Maqâsidî rekontruksi hukum Islam berbasis interkoneksitas
maslahah”,(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,2015), h. 78 65
Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al-Qur‟an,
terj. Lien Iffah (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2015), h. 99
39
cenderung tekstualis-literalis dan memiliki fungsi yang terbatas pada proses
kontekstualisasi.
Sementara kontekstualiasi yang ditawarkan oleh para penafsir
kontekstual dengan berusaha mempertimbangkan isu kemanusiaan dan titik
kesejarahannya, meliputi sosial, politik dan budaya masyarakat, dianggap
tidak dapat mempertanggung jawabkan secara objektif ketika terjadi
pertentangan antara konteks manusia dengan teks syariat.66
Bahkan produk
metode ini dinilai terlalu over subjektif, sehingga tak jarang mengantarkan
pada sikap narsisistik bahwa pandangan subjektif manusia adalah pusat
segala hal.Tanpa ada kontrol dan tolak ukur kebenaran, setiap kali paradigma
seperti ini mengantarkan pada sikap arbitrer (sewenang-wenang) dalam
menafsirkan Alqurân.
Dengan demikian, usaha untuk menghadirkan metode dan cara
pandang baru yang tidak hanya mengandalkan pemahaman umat Islam awal
atas teks dengan ciri pendekatan linguistik yang ketat, begitupun tidak
menjadikan perkembangan zaman dan pengalaman manusia sebagai tolak
ukur yang final, adalah merupakan suatu kebutuhan sekaligus menjadi
alternaif baru dalam menafsirkan Alqurân. Cara pandang maqâsidi yang
menekankan pada pencarian makna terdalam ayat-ayat Alqurân dalam bentuk
hikmah, sebab hukum, ketentuan hukum, dan segala aspek yang bisa
mengantarkan pada pembentukan nilai mashlahat, serta menjadikan
kehendak dan ketentuan syara„ bukan kehendak dan tujuan manusia sebagai
patokan dan tolak ukuran kemaslahatan tersebut, dapat menjadi alternatif
dalam merespon keterbatasan paradigma penafsiran yang ada. Model
penafsiran ini berusaha memelihara pesan universal Alqurân, sehingga dapat
lebih sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman (salihun li kulli zaman wa
makan) dengan cara mengalihkan arah pandangan dengan melakukan
pencarian pada maqâṣhid Alqurân yang universal.67
Nilai universal yang melekat pada maqâsid Alqurân merupakan nilai
yang menjadikan Alqurân mampu berjalan seiring dengan semangat zaman
yang melingkupinya, serta tidak mengenal batas teritorial dan sekat-sekat
66
Ahmad al-Raysuni, “Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial”, terj. Ibnu
Rusydi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.32 67
Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Al Maqâsidi; Pendekatan Sistem Interpretasi
journal Suhuf, vol 9, No 2, Desember 2016. h.297
40
kemanusiaan. Dengan demikian, Alqurân sebagai kitab hidayah mampu
menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, baik personal maupun kolektif,
demikian halnya dengan penerapan hukum syariat, tak lekang oleh perubahan
waktu dan tempat akibat penerapan nilai-nilai universal sebagai hasil terapan
dari maqâsid alqurân.
C. Hifz al-Nafs
1. Pengertian
Hifz an-Nafs, yang secara literal bermakna menjaga jiwa, berasal dari
gabungan dua kata bahasa Arab, yaitu حفظyang artinya menjaga,68
dan فس الن
yang maknanya jiwa/ruh.69
Sementara secara terminologi, makna hifz an-nafs
adalah mencegah melakukan hal-hal buruk terhadap jiwa, dan
memastikannya tetap hidup.70
Hifz an-Nafs merupakan salah satu dari tujuan
diadakannya syariat Islam (maqâhsid al-syariah al-islamiyyah).71
Hal ini
berlandaskan bahwa sejak empat belas abad yang lalu, Islam yang dibawah
oleh Nabi Muhammad Saw memiliki visi yang agung, yaitu menghormati
hak-hak asasi manusia secara komprehensif, dan yang paling utamanya
adalah agama Islam sangat memperhatikan hak hidup manusia. Sehingga
jiwa manusia dalam rangkaian tujuan syariat Allah tersebut – sangat
dihormati dan dimuliakan.72
Dalam khazanah Islam, an-Nafs memiliki banyak pengertian, bisa
berarti jiwa, nyawa, dan juga dapat bermakna pribadi. Potensi-potensi yang
terdapat dalam nafs sendiri bersifat potensial, namun juga dapat teraktualkan
jika manusia mengupayakannya. Dan, potensi-potensi tersebut dapat
68
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia, (Ypgyakarta:
Pustaka Progresif, 1996), h. 279 69
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia, h. 1446. 70
Nuruddun Al-Mukhtar Al-Khadimi, Al-Munasabah Al-Syar‟iyyah wa Tatbiquha Al-
Mu‟asirah, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2006), h. 77 71
Yusuf Ahman Muhammad Al-Badawi, Maqâsid Al-Syarî‟ah Inda Ibn Taimiyyah, (t.tp: Dar
An-Nafais, t.th), h. 127 72
Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia,
(Yogyakarta: Aksara Books, 2017), hal. 31-32
41
membentuk kepribadian, yang perkembangannya dapat dipengaruhi oleh
faktor internal maupun faktor eksternal.73
Jaminan keselamatan jiwa (hifz an-Nafs) sendiri merupakan jaminan
keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia bagi setiap manusia. Di
mana termasuk dalam cakupan pengertian umum atas jaminan ini ialah
jaminan keselamatan nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan
kemanusiaan. Mengenai yang terakhir ini, meliputi keterbatasan memilih
profesi, kebebasan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat, kebebasan
berbicara dan memilih tempat tinggal.74
Untuk dapat melestarikan jiwa, Islam mensyariatkan perkawinan untuk
keberlangsungan jenis manusia. Dan untuk menjaga jiwa juga, Islam
mensyariatkan hukuman qishas atau hukuman setimpal, diyat, denda, kafarat
atau tebusan bagi orang-orang yang menganiaya jiwa.75
Rangkaian syariat
Islam tersebut memberi penegasan bahwa menjaga jiwa merupakan perilaku
mulia.
Penjelasan di atas memberikan gambaran kepada umat manusia –
khususnya umat Islam untuk memelihara jiwa diri dan orang lain dengan
memperlakukannya secara baik sebagaimana Nabi Muhammad Saw telah
mencontohkannya secara maksimal. Sebaliknya, umat Islam tidak ditolerir
melakukan kejahatan kepada jiwa-jiwa manusia, apalagi sampai
membunuhnya. Hal demikian juga sebagaimana apa yang dinyatakan oleh
Abdul Qadir Jawaz, bahwa karena Islam mengajarkan untuk menjaga jiwa,
maka Allah mengharamkan pembunuhan dan pertumpahan. Islam melarang
pembunuhan secara tidak halal, dan hukuman membunuh jiwa adalah
hukuman mati.76
Imam al-Ghazâlî, sebagaimana dikutip oleh Masdhar Farid Mas‟udi,
juga menyatakan, bahwa hifz an-nafs yang merupakan salah satu dari prinsip
al-Kulliyyat al-Maqâshid al-Khamsah, merupakan ketentuan dasar dalam
agama Islam yang bermuara pada perlindungan hak-hak manusia. Dimana
73
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 46 74
Muhammad Abu Zahra, Ushûl Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010), h. 425 75
Miftahul Arifin, Ushûl Fiqh: Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra
Media, 1997), h. 250 76
Yazid Bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Depok: PT.
Niaga Swadaya, 2016), h. 126
42
menurutnya, hukum apapun, jika berlandaskan pada tujuan untuk menjaga
jiwa maka dipastikan benar dan merupakan hukum syariat Islam.77
Hifz an-Nafs, berdasarkan peringkat kepentingan dapat dibedakan
menjadi tiga perangkat78
, yaitu sebagai berikut:
1. Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyyat, seperti misalnya memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Yang, jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan mengakibatkan terancamnya jiwa manusia
dari kelemahan, bahkan pada tingkat kematian.
2. Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu dan
menikmati makanan lezat. Yang mana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi
sebenarnya tidak akan terjadi apapun, bahkan jika ada indikasi memaksakan,
akan mempersulit hidupnya.
3. Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat, seperti ditetapkannya tata cara
makan dan minum. Hal demikian itu hanya bersifat kesopanan, dan sama
sekali tidak akan mengancam jiwa manusia ataupun mempersulitnya.
2. Hifz al-Nafs dalam al-Qur‟an
Berkenaan dengan hifz an-nafs, Ibnu Taimiyyah memberikan dalil
naqliyyah dalam Al-Quran dan Al-Hadis yang mendukung agar umat manusia
dapat memelihara jiwa. Ayat Al-Quran yang ia gunakan sebagai bukti bahwa
memmelihara jiwa merupakan keharusan agama. QS. Al-Furqan: ayat 68 yang
berbunyi:
بالق فسالتحرماللوإل ولي زنونومن والذينليدعونمعاللوإلاآخرولي قت لونالن
.ي فعلذلكي لقأثاما
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah( membunuhnya
)kecuali dengan( alasan )yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat( pembalasan )dosa( nya )
77
Masdar F. Masudi, Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Alvabet, 2010), h. 141 78
Sapiuddin Shidiq, Ushûl Fiqh, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), h. 228
43
Ayat Al-Qurân yang lain yang menjadi dalil untuk penjagaan jiwa
yaitu :
QS. Al-Baqarah: 191
منالقتلولت نةأشد قاتلوىمواق ت لوىمحيثثقفتموىموأخرجوىممنحيثأخرجوكموالفت
ي قاتلوكمفيوفإنقات لوكمفا الكافرينعندالمسجدالرامحت كذلكجزاء ق ت لوىم
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih
besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka
di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
Sedangkan salah satu hadis yang ia kurip dari Sahih al-Bukhari yaitu
berbunyi:
هاابدامنت ردىمنجبلف قتلن فسوف هوفنا رجهنمي ت ردىخالداملدافي
Barang siapa turun dari gunung dan kemudian ia membunuh dirinya
maka akan masuk neraka jahannam, ia akan turun di neraka dalam keadaan
langgesng dan selama-lamanya.79
QS. Al-Baqarah: 85
با عليهم تظاىرون ديارىم من منكم فريقا وترجون أن فسكم ت قت لون ىؤلء أن تم وإنث والعدوان إلث
عليك مرم وىو ت فادوىم أسارى جزاءيأتوكم فما بب عض وتكفرون الكتاب بب عض أف ت ؤمنون إخراجهم م
العذاب أشد إل ي ردون القيامة وي وم ن يا الد الياة ف خزي إل منكم ذلك ي فعل امن عم بغافل اللو وما
نت عملو
79 Ibnu Taymiyah, Maqâsid Al-Syarî‟ah, (t.tp: Dar An-Nafais, t.th), h. 64
44
“ kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa)
dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu
bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan;
tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka,
Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman
kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat”.
QS. Al-baqarah: 178
والعبد بالر الر لى فالقت عليكمالقصاص كتب آمنوا الذين أي ها فمنعفييا باألن ثى واألن ثى بالعبد
ورحة ربكم من تفيف ذلك بإحسان إليو وأداء بالمعروف فات باع شيء أخيو من ب عدلو اعتدى فمن
.ذلكف لوعذابأليم
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah
(yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya
siksa yang sangat pedih”.
Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak
dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang
terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran
diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang
membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik.
45
QS. Al-Nisa: 74
عن تارة تكون أن إل بالباطل نكم ب ي أموالكم تأكلوا ل آمنوا الذين أي ها ت قت لوايا ول منكم ت راض
كانبكمرحيما اللو .أن فسكمإن
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu,80
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.
QS. Al-Nisa: 66
قليلمن إل ف علوه ما دياركم اخرجوامن أو أن فسكم اق ت لوا أن عليهم نا كتب أنا ولو ولو ماهم أن همف علوا
ت ثبيتا رالموأشد .يوعظونبولكانخي
“dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:
"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka
tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan
Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada
mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih
menguatkan (iman mereka),”
QS. Al-Baqarah: 72
كنتمتكتمونوإذق ت لتمن فسافادارأتفيها .واللومرجما
“ dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu
saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang
selama ini kamu sembunyikan”.
80
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. lihat QS.
Al-Nisa ayat 29
46
D. Penafsiran Ayat-ayat Hifz al-Nafs
1. Tafsir Klasik
Pada masa tafsir klasik, penafsiran al-Qur‟an telah melewati proses
sejarah yang amat panjang yang dimulai sejak Nabi masih hidup. paradigm
penafsiran klasik dibangun atas dasar penafsiran yang bersifat retrospektif,
tekstual, dan al-„ibrah bi umum al lafzh la bi khusus al-sabab.81
Sehingga
dalam perkembangan tafsir klasik tersebut menggunakan metode tafsir bi al-
Ma‟tsur82
Seperti penafsiran Al-Qurtubî83
dalam tafsirnya tidak hanya
membahas ayat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an, melainkan
mengulas al-Qur‟an secara menyeluruh.
Selain tafsir al-Qurtûbî, ada juga tafsir lain yang juga tergolong
kedalam tafsir klasik yaitu tafsir at-Thabari84
. Penulis memilih al-Qurthubi
karena tafsir ini tergolong tafsir klasik yang banyak menjadi rujukan untuk
mengetahui hukum-hukum sosial di dalam kehidupan masyarakat dulu dan
penulis menggunakan tafsir at-Thabari untuk melihat situasi dan kondisi
masyarakat dulu dalam bentuk tafsir klasik.
1.1 Jami Al-Bayan Karya Imam At-Tabari
QS. Al-Isra: 17/31
Ayat ini merupakan larangan Allah Swt kepada orang tua untuk
membunuh anak-anak mereka. Hal itu menjadi bukti bahwa Allah Swt lebih
mengasihi anak-anak mereka dari pada orang tuanya sendiri. Sebagaimana
orang-orang jahiliah yang suka dengan membunuh anak-anak perempuan
81 Hadi Mutamam, Analisis Kritik atas Kontribusi Tafsir Kontemporer,Jurnal: Al-Fikr, Vol 7
nomor I tahun 2013, h. 154 82
Tafsir bi al-Ma‟tsur yaitu penafsiran yang dilakukan ayat dengan ayat, ayat dengan
keterangan rosul, ayat dengan keterangan sahabat nabi atau juga penafsiran ayat dengan penafsiran
para tabi‟in 83
Nama lengkap al-Qurtubi adalah al-Imâm Âbû „Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abû
Bakar Farh al-Ansârî al-Khazrajî al-Andalusi al-Qurtubî al-Mufassir. Lahir di Andalusia/Spanyol pada
tahun 580 H/ 1148 M dan meninggal dunia di Mesir pada tahun 671 H di kota el-Meniya, di timur
sungai Nil.(lihat: Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern,
diterbitkan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, h. 19) 84
Nama lengkap at-Thabari adalah Âbû Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin
Ghâlib at-Thabari.(lihat: tafsir jami al-bayan an Ta‟wil ayi al-Qur‟an, Kairo: Dar as-Salam,2007)
Dilahirkan di Amul, nama daerah di Thâbaristan pada 224 H/839 M.(lihat: Faizah Ali Syibromalisi dan
Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern, diterbitkan: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah,h.1). Ia wafat pada usia 86 tahun yaitu pada tahun 310 H.(lihat: M.Hasbi Ash-Shiddiqy,
Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang 1972, h.222.)
47
mereka dikaenakan takut akan memberikan beban lebih dalam hidupnya.
Dalam ayat ini Allah mendahulukan rizki kepada anak-anak dari pada orang
tuanya, sebagai bukti bahwa Allah lah sebagai pemberi kepastian rizki-rizki
mereka.85
QS. Al-Isra: 17/33
Sementara ayat ke-33 ini merupakan larangan dari Allah untuk
membunuh jiwa manusia. Karena membunuh satu jiwa manusia sama halnya
dengan membunuh semua manusia dan sama dengan membuat kerusakan di
alam dunia.86
QS. Al-Ma‟idah: 5/32
Ayat ini merupakan peringatan keras kepada Bani Israil yang telah
melakukan pembunuhan secara keji kepada jiwa-jiwa manusia. Ayat tersebut
juga merupakan peringatan kepada mereka untuk tidak melakukan kerusakan
di buka bumi, dengan meneror Allah dan Rasul-Nya atau meneror di jalan-
jalan. Menurut At-Tabari pemaknaan bahwa membunuh jiwa manusia seperti
membunuh semua manusia ialah jikamana yang dibunuh adalah nabi atau
orang-orang yang beriman. Hal itu sebab utusan-utusan Allah dan atau orang-
orang yang beriman memiliki pengarus yang besar di tengah kehidupan
masyarakat. Oleh sebab itu siapa yang membunuh dalam bentuk demikian itu
harus dibunuh juga sebagai balasan yang setimpal. Balasan qishas ini juga
berlaku untuk orang-orang yang membuat kegaduhan di muka bumi.87
QS. Al-An‟am: 6/151
Setelah Allah menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua
orang tua, Allah menyuruh untuk berbuat baik kepada anak-anak dan cucu.
Perilaku membunuh anak sama dengan perilaku zaman jahiliyyah, di mana
masyarakat membunuh anak-anak perempuannya dan menghinakan anak laki-
laki yang enggan mau bekerja keras. Pemnbunuhan kepada anak-anak mereka
85
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 3, h.
316. 86
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 5, h.
242-244. 87
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, h. 761-
763.
48
dilatarbelakangi oleh takutnya tidak diberi rizki. Oleh itu dalam ayat ini Allah
mengakhirinya dengan mengedepankan pemberian rizki kepada anak-anak
dibandingkan dengan orang tuanya.88
1.2 Ibnu Katsir Karya Ibnu Katsir
QS. Al-Isra: 17/31
Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut di atas merupakan bukti kasih
sayang Allah kepada anak manusia lebih besar dari pada kasih sayang seorang
ibu kepada anak kandungnya, sehingga Allah melarang untuk membunuh
manusia. Ayat tersebut turun karena pada masa jahiliyah ada orang yang
enggan memberikan harta waris kepada anak perempuan karena takut
miskin.89
QS. Al-Isra: 17/33
Sedangakan ayat ini maknanya bahwa Allah bermaksud melarang
umat manusia untuk melakukan pembunuhan tanpa dasar yang dibenarkan
oleh syari‟at Islam. Dengan mengutip hadis yang disebutkan dalam as-Sunan,
ia menegaskan bahwa hilangnya dunia di sisi Allah lebih ringan dibandingkan
dengan terbunuhnya seorang muslim.90
QS. Al-Ma‟idah: 5/32
Ayat ini turun ketika ada sekelompok orang dari „Ukl yang hendak
berbaiat dengan Rasulullah untuk masuk Islam. Namun sesampainya di
Madinah mereka sakit karena tidak cocok dengan kondisi cuaca di Madinah.
Akhirnya Rasulullah bertanya kepada mereka, “mengapa kalian tidak pergi
dengan penggembala unta, sehingga kalian bisa meminum air kencing dan
susu untanya?”. Akhirnya sekelompok itu pergi bersama para penggembala
unta. Mereka meminum air kencing dan air susu unta dan merekapun sembuh
dari penyakitnya. Namun setelah sembuh, mereka malah membunuh
penggembala unta yang telah menolongnya. Sekelompok orang itu kemudian
88
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, h. 651. 89
Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1419), jilid 5, h. 242-243. 90
Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 5, h. 244.
49
dihadapkan kepada Rasulullah, dan akhirnya ia memotong tangannya dan
mencongkel matanya.91
Ayat ini merupakan larangan untuk membunuh sesama manusia tanpa
sebab apapun yang dibenarkan oleh syariat, seperti qishas atau membuat
kerusakan di muka bumi. Pembunuhan kepada seorang manusia diibaratkan
seperti membunuh semua manusia, karena manusia satu sama lainnya
memiliki kesamaan. Hal demikian itu pernah terjadi manakala sekelompok
Bani Quraidah, Nadzih dan Qainuqa‟ membunuh orang-orang Aush dan
Khazraj, dan kemudian mereka menebusnya dengan diyat.92
QS. Al-An‟am: 6/151
Ayat tersebut turun karena orang-orang jahiliyah terbiasa untuk
membunuh anak-anak perempuannya dan sebagian anak laki-lakinya
disebabkan takut akan kemiskinan. Padahal menurutnya, membunuh anak
karena takut tidak bisa memberi makan adalah termasuk dosa besar. Ayat
tersebut diakhiri dengan kalimat “nahnu narzukukum”, memberi penegasan
bahwa Allah akan selalu memberikan rizki kepada orang tua yang mau untuk
mengurus anak-anaknya.93
1.3 Ruh Al-Bayan Karya Al-Buruswi
QS. Al-Isra: 17/31
Sebagaimana para mufasir lainnya, Al-Buruswi menyatakan bahwa
ayat tersebut merupakan larangan Allah untuk membunuh anak-anak yang
dilakukan oleh masyarakat Arab. Hal demikian itu merupakan dosa besar.
Padahal rizki itu sudah ditanggung oleh Allah dan Allah pastikan untuk
memenuhinya.94
QS. Al-Isra: 17/33
Sedangkan ayat ke 33 adalah larangan untuk membunuh jiwa manusia
baik itu Islam, kafir dzimmi atau kafir mu‟ahad. Diperbolehkan membunuh
91
Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 2, h. 72. 92
Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 2, h. 72-73. 93
Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 3, h. 320.-321. 94
Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islami, 1114),
Jilid 5, h. 154.
50
jika hanya karena tiga hal, yaitu kafir setelah iman, melakuka zina setelah
muhsan, dan membunuh orang yang bukan budak dengan secara sengaja.
Membunuh jiwa tanpa tiga alasan tersebut merupakan dosa besar.95
QS. Al-Ma‟idah: 5/32
Menurut Al-Buruswi, ayat ini merupakan larangan untuk membunuh
manusia. Ayat ini menjelaskan juga perihal penindakan tegas kepada pelaku
pemunuhan, karena perilaku demikian merupakan perilaku yang amat buruk.
Orang yang telah membunuh manusia sama saja dengan memperkosa
keharaman darah, memunculkan kebiasaan pada orang lain untuk membunuh
dan ujungnya menarik murka Allah untuk datang kepadanya. Oleh itu untuk
melerai semua itu Allah datangkan Nabi yang membawa ayat-ayat Al-Quran
guna menjelaskan secara jelas.96
QS. Al-An‟am: 6/151
Sebagaimana mufasir lainnya, Al-Buruswi menyatakan bahwa ayat ini
merupakan larangan umat manusia untuk membunuh putra-putrinya dalam
keadaan hidup-hidup yang dilatar belakangi karena habisnya uang belanja
keluarga. Demikian itu sungguh telah merusak bangunan yang telah Allah
bangun. Sama seperti halnya pohon yang telah ditanam dari kecil, namun
ketika besar dan endak berbuah pohon itu dipotong dan dirobohkan. Hal itu
merupakan dosa yang besar kepada ketetapan Allah Swt.97
2. Tafsir Modern
Kemunculan tafsir modern sedikit banyaknya bisa disebabkan karena
adanya ketidakpuasan para mufasir modern terhadap karya mufasir
sebelumnya. Dimana para mufasir modern telah beranggapan bahwa dalam
karya tafsir yang ditulis pada masa periode awal dianggap sebelum menyentuh
pada permasalahan umat secara keseluruhan. Jadi bisa disimpulkan bahwa
95
Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, Jilid 5, h. 155. 96
Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, jilid VI, h. 307-308. 97
Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, jilid VIII, h. 140.
51
perkembangan tafsir berikutnya adalah kritik atas tafsir atau penyempurnaan
penafsiran sebelumnya.98
Salah satu perkembangan corak penafsiran modern adalah corak adab
ijtima‟i dengan metode bi ra‟yi99
seperti tasir al-Marâghî dan tafsir al-Misbah.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa kedua tafsir diatas bercorak adabi
ijtima‟i, demikian ini sangat cocok untuk digunakan penulis dalam
penelitiannya yang menggunakan pendekatan sosial masyarakat.
2.1. Tafsir Al-Marâghî Karya Mustafa Al-Marâghî
QS. Al-Isra: 17/31
Ayat ini merupakan larangan Allah kepada umat Islam untuk
mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang dilatarbelakangi karena
takut melarat. Hal itu bermula dari pengalaman orang-orang jahiliyah yang
sering membunuh dan mengubur anak perempuan mereka dikarenakan tidak
mampu bekerja sebagaimana laki-laki yang mampu untuk merampas,
merampok atau mendapatkan harta-harta dari para Kabilah tertentu. Atas
demikian itu Allah menyatakan bahwa janganlah seseorang takut akan
anaknya tidak diberikan rizki. Karena sumber rizki ada pada Kami, bukan
pada kamu (orang tua). Karena takut tidak mendapatkan rizki adalah sama saja
dengan berburuk sangka kepada Allah Swt. Disamping itu, membunuh adalah
perbuatan yang dihitung sebagai dosa besar karena dua alasan, pertama karena
memutus keturunan, dan kedua, karena melawan takdir Allah dalam bentuk
menghilangkan pewujudan alam yang sudah Allah ciptakan.100
QS. Al-Isra: 17/33
Ayat ini merupakan larangan Allah untuk membunuh jiwa manusia
dengan tanpa sebab apapun yang dibolehkan oleh syariat Islam, seperti
98
Tantri Setyo Ningrum, Wecana Istri Sebagai Pencari Nafkah Pemahaman Husein
Muhammad Atas Penafsiran Q.S An- Nisa 4:34 Dan At-Thalaq 64:6-7(Skripsi), Jakarta:UIN Syarif
Hidayatullah, 2019, h. 42-43. 99
Tafsir bi ra‟yi yaitu tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya atau maksudnya,
mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan juga di dasarkan
kepada logikanya sendiri. (lihat: Manna Khalil Qahthan, fi „ulûm al-Qur‟ân, Kairo: Maktabah Wahbah,
h. 440) 100
Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar At-Turats Al-Islami,
t.th), jilid xiii, h. 75-76.
52
membunuh kafir setelah mereka beriman atau berbuat zina setelah ihsan.
Dilarangnya membunuh jiwa manusia tanpa alasan yang dibenarkan syariat
karena pembunuhan akan mengakibatkan kerusakan dan mendatangkan
marabahaya pada masyarakat.101
QS. Al-Ma‟idah: 5/32
Ayat tersebut merupakan larangan pembunuhan sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Kemudian, ayat tersebut menjadi
landasan larangan membunuh kepada Bani Israil. Selain larangan
pembunuhan, ayat tersebut juga menjelaskan akan larangan berbuat kerusakan
di muka bumi yang menyebabkan kematian. Perilaku demikian itu sama saja
dengan membunuh semua orang, karena dosanya yang sangat besar.
Sementara itu barang siapa yang menyelamatkan nyawa manusia dari
pembunuhan maka seakan ia telah menyelamatkan semua orang yang ada di
muka bumi. Dilarangnya manusia untuk membunuh jiwa manusia yang lain
adalah karena hak kemanusiaan. Jiwa manusia harus dihormati setinggi-
tingginya karena merupakan ciptaan Allah.102
QS. Al-An‟am: 6/151
Menurut Al-Marâghi, ayat ini merupakan penjelasan terkait prinsip-
prinsip agama Islam, yang mencakupi larangan musyrik, berbakti kepada
orang tua, larangan untuk membunuh jiwa dan larangan untuk mengkonsumsi
apa-apa yanng telah larang. Dalam penjelasan soal pembunuhan jiwa Allah
mengutuk keras perbuatan tersebut. Dalam ayat ini adalah larangan
pembunuhan seorang ayah kepada anaknya karena disebabkan takut tidak bisa
memberikan nafkah kepada anak-anaknya itu. Demikian itu Allah jawab
bahwa Ia akan menanggung semua rizki orang tua dan anak-anaknya.
Menurut-Nya rizki tidaklah datang dari kamu, akan tetapi dari kami. Sehingga
tidak perlu khawatir akan hal tersebut di atas. Pelarangan Allah untuk
membunuh karena manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang harus
101
Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid xiii, h. 78-79. 102
Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 4, h. 86-88.
53
dihormati. Karena sesungguhnya menjaga jiwa adalah bentuk kemanusiaan
yang dilandasi oleh Al-Quran.103
2.2. Fi Zilal Al-Quran Karya Sayyid Qutb
QS. Al-Isra: 17/31
QS. Al-Isra ini merupakan larangan untuk membunuh anak yang
disebabkan oleh ketakutan tidak dapat memebrikan rizki. Dalam ayat ini
disebutkan “nahnu narzukuhum wa iyyakum..”, dengan mendahulukan
menyebutkan kata ganti untuk anak-anak mereka, karena memang yang
dihawatirkan adalah anak-anak, bukan orang tua, sebagaimana dalam QS. Al-
An‟am yang menyebutkan kata gantu “kum” untuk orang tua dan
mengakhirkan “hum” untuk anak-anak. Hal itu sebab yang dihawatirkan
adalah kemiskinan menimpa kepada orang tua. Dalam pandangan Sayyid
Qutub, munculnya peristiwa pembunuhan kepada anak-anak disebabkan
karena buruknya ideologi yang dianut sehingga berakibat buruk kepada
perilaku masyarakatnya.104
QS. Al-Isra: 17/33
Ayat ini memeberi penjelasan secara tegas bahwa membunuh adalah
perbuatan dosa besar disebabkan yang dapat mamberi kehidupan adalah Allah.
Oleh karena itu Allah melarang manusia untuk membunuh membunuh
manusia lain, karena itu merupakan hak Allah dengan ketentuan-ketentuan
syariat-Nya. Orang yang telah membunuh harus dihukum dengan pembunuhan
kembali sebab dengan itu akan merasakan pembalasan yang setimpal atas apa
yang telah diperbuatnya. Selanjutnya, dengan qishas, ada kehidupan masa
depan, artinya dengan diberlakukanya qishas maka akan ada nyawa-nyawa
yang terjaga dari pembunuhan karena ada efek jera dan pelajaran bagi orang
lain untuk tidak melakukannya. Selain itu, dengan qishash juga dapat menjaga
spiritual masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal serupa dan lebih
103
Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 1, h. 278. 104
Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, (Beirut: Dar AL-Syuruq,
1312), jilid 7, h. 252.
54
memperbaiki kehidupannya dalam berhubungan dengan Allah ataupun dengan
manusia.105
QS. Al-Ma‟idah: 5/32
Dalam pandanagn Sayyid Qutb, ayat ini memberi maksud membunuh
seorang muslim dengan disamakan seperti membunuh semua manusia, dan
juga membuat kerusuhan di muka bumi, sebab dalam pada itu sesungguhnya
telah menciderai kemanusiaan. Seorang muslim yang seharusnya diperlakukan
damai, santun dan cinta namun dibunuh dengan tanpa sebab yang dibolehkan
dalam Islam, seperti qishas. Menurutnya pula, hukum demikian hanya berlaku
dalam dar al-islam (Negara Islam), dan tidak berlaku dalam dar al-harb
(negara perang). Orang yang telah melakukan demikian itu maka juga harus
dijatuhi hukum bunuh (qishas).106
QS. Al-An‟am: 6/151
Menurut Qutb, ayat ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada
orang tua dan anak-anak. Allah lebih kasih sayang kepada mereka berdua,
dibandingkankan dengan kasih sayang satu sama lain di antara mereka. Oleh
itu, sudah seharusnya orang tua maupun anak untuk saling mencintai dan
mengasihi, dan tidak boleh membunuhnya. Allah melarang pembunuhan
dengan alasan takut kelaparan, karena sesungguhnya Allah memberi rizki pada
orang tua ketika sudah masa tua dan kepada anak-anak saat masa kecil. Allah
pula yang akan memberikan rizki pada saat mereka kelaparan.107
2.3. Al-Mishbah Karya Quraish Shihab
QS. Al-Isra: 17/31
Ayat ini menjelaskan akan kebiasaan masyarakat jahiliyah yang tidak
henti-hentinya membunuh anak-anak mereka, baik perempuan (dan ini
mayoritas) ataupun laki-laki, mereka dibunuh dalam keadaan hidup-hidup
yang disebabkan karena tidak adanya rizki untuk menafskahi anak-anaknya.
Penjelasan ini berbeda dengan penjelasan ayat Al-Quran yang mirip yaitu pada
QS. Al-An‟am 151 , perbedaannya, jika dalam ayat ini disebutkan dhomir
105
Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 7, h. 251-252. 106
Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 3, h. 212-213. 107
Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 4, h. 243.
55
“hum” untuk anak, yang mengindikasikan bahwa Allah sudah menanggung
rizki anak-anak, sehingga para orang tua tak perlu khawatir akan anak-
anaknya ketik adalam masa kekurangan. Sementara dalam QS. Al-An‟am
disebutkan “kum” terlebih dahulu, yang menunjukkan kepada orang-tua,
karena yang dimaksudkan lebih utama dalam ayat tersebut ialah bahwa Allah
sudah memastikan rizki untuk orang tua.108
QS. Al-Isra: 17/33
Sementara ayat 33 merupakan peringatan Allah kepada semua manusia
untuk tidak membunuh jiwa manusia dengan modus apapun kecuali ada alasan
yang dibenarkan oleh syariat Islam. Tidak bolehnya manusia membunuh
manusia berlaku baik membunuh jiwanya sendiri atau jiwa orang lain. Dalam
Islam dibolehkan membunuh tapi dengan tiga syarat, pertama karena alasan
qishas, kedua alasan untuk menghilangkan keburukan seperti telah melakukan
zina, dan ketiga karena menjadi pelajaran agar keburukan si pelaku
pembunuhan tidak ditiru oleh orang lain.109
QS. Al-Ma‟idah: 5/32
Menurut Quraish Shihab, ayat ini turun karena di masyarakat Bani
Israil telah marak peristiwa pembunuhan yang disebabkan oleh alasan yang
tidak berasaskan syariat Allah. Ayat tersebut memberi warning kepada Bani
Israil untuk tidak lagi mengulang apa yang telah dilakukannya. Menurut
Shihab, penggunaan kata “ajli” mengindikasikan akan adanya pembunuhan di
masa yang akan datang manakala Allah tidak memperingati dan tidak
menurunkan hukuman bagi pelaku pembunuhan. Apalagi apa yang sudah
dilakukan Bani Israil ialah membunuh utusan-utusan Allah.110
Ayat ini
menyatakan bahwa pembunuhan manusia sama halnya dengan membunuh
semua manusia, ialah jika dipandang dalam kacamata sosiologi atau psikologi.
Karena dalam kacamata keduanya, setiap manusia memiliki kemanusiaan
yang sama. Ayat tersebut juga sekaligus meberi penegasan untuk
108
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran
(Tangerang: Lentera Hati, 2003), jilid 7, h. 454-455. 109
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 7, h.
457-458. 110
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 6, h.
81.
56
memperlakukan semua orang dengan sama, dan melepas perbedaan apapun
yang melatar belakangi seseorang, baik ras, suku, atau agama.111
QS. Al-An‟am: 6/151
Ayat ini merupakan panduan dari Allah Swt kepada manusia untuk
memperhatikan beberapa hal, pertama dan yang paling utama adalah tidak
mensekutukan Allah dengan suatu apapun. Kedua, tidak durhaka dengan
orang tua karena mereka yang telah susah payah mengurus kita sejak kecil.
Ketiga, larangan untuk membunuh anak-anak yang lahir dengan alasan takut
kekurangan harta. Keempat, larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang keji. Dan kelima, larangan membunuh jiwa-jiwa yang Allah haramkan
dalam syariat-Nya.
Menurut Quraish Shihab, larangan membunuh anak-anak yang baru
lahir merupakan kesalahan besar, sebab beawal dari asumsi bahwa mereka
sendirilah yang menjamin harta anak-anaknya, padahal penjamin
sesungguhnya adalah Allah Swt, meskipun dengan syarat tetap berusaha untuk
mendapatkan rizki yang halal.112
Sementara itu larangan membunuh jiwa-jiwa manusia bukanlah hal
baru perihal larangan Allah Swt. Jiwa manusia terhormat di sisi Allah ,
sehingga tidak boleh tersentuh hingga mengakibatkan darahnya
mengalir/tebunuh. Hal demikian itu merupakan dukungan terhadap Hak Asasi
Manusia yang juga didukung oleh Al-Quran.113
111
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 6, h.
82. 112
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qura, jilid 6, h.
86. 113
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , jilid 6, h.
343
57
BAB III
IBN ‘ÂSYÛR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. Latar Belakang Sosiokultural
Tunisia, negara kelahiran Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr merupakan
negara Arab Muslim di Afrika Utara, terletak di pesisir Laut Tengah berbatasan
dengan Aljazair di sebelah barat, dan Libya di selatan dan timur. Di antara
negara-negara yang terletak di gugusan Pegunungan Atlas, Tunisia termasuk yang
paling timur dan terkecil. 40% wilayahnya berupa padang pasir sahara, sisanya
tanah subur. 1 Lebih dari separo luasnya merupakan dataran rendah (200 meter di
atas permukaan laut), dengan ketinggian rata-rata 300 meter di atas permukaan
laut. Bandingkan dengan Maroko yang memiliki ketinggian ratarata 800 m, dan
tetangganya Aljazair dengan ketinggian rata-rata 900 m.2 Tunisia memiliki letak
strategis karena berada di pesisir Laut Mediterania yang menjadi titik temu tiga
benua: Asia, Afrika, dan Eropa.
Etnis pertama yang dikenal mendiami Tunisia ialah bangsa Barbar,
diperkirakan telah mendiami pedalaman Afrika Utara semenjak zaman Batu Tua.
Mereka diduga berasal dari Kaukasia Utara. Orang Punisia, sebutan untuk bangsa
Venesia yang datang dari daerah pesisir Asia Kecil (sekarang Libanon)
merupakan masyarakat sejarah pertama yang bermigrasi ke sana (1100 SM).
Mereka membawa peradaban zaman logam yang lebih maju daripada peradaban
Barbar yang saat itu masih berupa peradaban batu muda. Orang-orang Punisia itu
membaur dengan masyarakat setempat membangun peradaban pesisir yang
direpresentasikan oleh kerajaan Kortago (814-149 SM) di pesisir laut Tengah
(Mediterania). Berikutnya orang-orang Romawi bermigrasi ke sana setelah
menghancurkan Kortago pada tahun 146 SM. Mereka juga memasukkan orang-
orang Negro.
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Tunisia, diunduh tanggal 07 Maret 2018, pukul 16.11
2 Muhammad al-Hâdi al-Syarîf, Târîkh Tûnus: Mâ Yajibu an Tu‟raf „an Târîkh Tûnus min „Uṣûr
mâ Qabla at-Târîkh ilâ al-Istiqlâl (t.t.p.: Dâr as-Sirâs li an-Nasyr, 1993, cet. 3) h. 9.
58
1. Riwayat Hidup Ibn ‘Âsyûr
Ibn „Âsyûr memiliki nama lengkap Muhammad al-Thâhîr Ibn Muhammad
al-Thâhir Ibn „Âsyûr. Keturunan keluarga „Âsyûr yang terkenal di Tunis, karena
memiliki posisi ilmiah dan jabatan di pemerintahan.
Ibn „Âsyûr lahir di kota al-Marasî pinggiran ibu kota Tunisia pada bulan
Jumâd al-„ûlâ tahun 1296 H bertepan pada bulan September tahun1879 M, beliau
lahir di rumah kakek yang berasaldari ibunya. Kakek Ibn „Âsyûr yang bersal dari
ibunya adalah Muhammad al-„Azîz seorang perdana Menteri sedangkan kakek
yang berasal dari Ayahnya seorang „Ulama‟, beliau berasal dari keluarga yang
mempunyai akar kuat dalam „ilmu dan nasab bahkan keluarga membangsakan
dengan ahl al-bait Nabi Muhammad.3
Keluaraga Ibn „Âsyûr berasal dari Andalusia kemudian pindah ke kota
Sala di Maroko (Maghrib) setelah itu baru menetap di Tunisia. 4 Ibn „Âsyûr
tumbuh dalam asuhan kakek (yang berasal dari ibunya) notabenya adalah seorang
perdana menteri dan kedua orang tuanya, orang tuanya menginginkan kelak (Ibn
„Âsyûr II) menjadi seperti kakeknya dalam keilmuan dan kepandaiannya (Ibn
„Âsyûr I)5 untuk selalu menjaganya dan bersemangat agar kelak ia menjadi
penggantinya baik dalam keilmuan, kekuasaan dan kedudukanya (sebagai perdana
mentri).6
Ibn „Âsyûr mulai belajar alqur‟an sejak usia 6 tahun. Ia kemudian
menghafal matan al-jurûmiyyah dan Bahasa Perancis. Baru pada usia 14 tahun,
3 Manî‟ „Abd al-Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, ,terj. Faisal Saleh Syahdianur, (Jakarta: PT. Karya Grafindo, 2006), 33. 4 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi ‟ al-A‟ẓam Muhammad aṭ-Ṭâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa
Âṡâruh. Beirut: Dâr Ibn Ḥazm‟, h. 35. 5 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi Shaikh al-Jâmi ‟ al-A‟ẓam Muhammad aṭ-Ṭâhir Ibn „Âsyûr:
Ḥayâtuh wa Âṡâruh. Beirut: Dâr Ibn Ḥazm‟ ‟, 35. 6 Manî‟ „Abd al-Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir, 313
59
Ibn „Âsyûr tercatat sebagai murid pada Universitas Az-Zaitunah (1310 H/ 1893
M).7 Di sana ia belajar ilmu syariah (fiqh dan ushul fiqh), Bahasa Arab, Hadis,
sejarah, dan lain-lain. Setelah belajar selama 7 tahun di Universitas Azzaitunnah
Ibn „Âsyûr berhasil menempuh gelar sarjana, tepatnya pada tahun 1317 H/ 1899
M).
Sekian banyak ilmu yang didapat dari Universitas Azzaitunnah
nampaknya belum memenuhi dahaganya dalam menuntut ilmu. Di waktu
luangnya, Ibn „Âsyûr menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku
tafsir, buku-buku al-Milal wa al-Nihal, menghafal hadis-hadis, syair-syair Arab
dari masa pra-Islam hingga sesudahnya, membaca buku-buku sejarah, dan lain-
lain.
Semua ilmu yang diperolehnya dari Az-zaitûnnah dan aktivitas
keilmuannya telah ikut andil membentuk kepribadian dan intelektualitasnya yang
tinggi. Di samping itu perhatian ayah dan kakeknya yang menanamkan akhlak
mulia kepada Ibn „Âsyûr telah memberikan pengaruh pada pribadinya yang
bersahaja sebagai seorang ulama di Tunis. Ibn „Âsyûr wafat pada 1393 H/ 1973
M.
2. Riwayat Pendidikan
Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr tumbuh di tengah keluarga yang
memiliki tradisi keilmuan yang baik; kakek dari pihak ayah adalah Hakim Agung
sedangkan kakek dari pihak ibu Wazir Agung. Ia sudah hafal Alqurân dengan
baik semenjak dini seperti layaknya anak-anak seusianya di masa itu, kemudian
menghafal sejumlah matan ilmiah di kuttâb sebagai persiapan untuk menempuh
pendidikan di Perguruan az-Zaitunah, seperti matan al-Âjurumiyah, matan Ibn
„Âsyir dan lain sebagainya. Pada usia tujuh tahun (1886M) dia masuk perguruan
Zaitūnah dan menempuh pendidikan dasar di sana selama tujuh tahun, kemudian
melanjutkan ke jenjang senior di institusi yang sama.
7 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,(Ciputat:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h.103-104
60
Ia memiliki semangat dan kesungguhan dalam belajar serta mendapatkan
dukungan penuh serta arahan dari ayah dan kakek dari pihak ibu serta guru-
gurunya. Ia terbiasa menerima mata kuliah yang diajarkan tidak begitu saja, tetapi
menganalisis dengan kritis dan melakukan berbagai perbandingan. Mata kuliah
yang diterimanya antara lain: Nahwu, Balagah, Lugah, Mantik, Ilmu Kalam,
Fikih, Faraid, Usul Fikih, Hadis, Sirah, dan Tarikh. Ia menyelesaikan
pendidikannya tujuh tahun kemudian (1317H/ 1899M).
3. Karir Intelektual Ibn „Âsyûr
Menelusuri jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah
akademik merupakan aspek penting dalam kajian seorang tokoh sebelum melihat
produk-produk akademik yang dihasilkannya, baik dalam bentuk buku, makalah-
makalah, dan lain-lainnya.
Setelah 8 tahun mengenyam ilmu pengetahuan di Universitas
Azzaitunnah, Ibn „Âsyûr diangkat sebagai guru pada tahun 1320 H/ 1903 M di al-
Zaitunah. Karirnya terus meningkat dalam bidang pengajaran sehingga ia terpilih
menjadi tenaga pengampu di sekolah Assodiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M.
Berikutnya ia diangkat sebagai anggota di bidang akademis pada sekolah yang
sama pada tahun 1326 H/ 1909 M. 8
Sebagai penghargaan atas kepakarannya dalam bidang ilmu-ilmu
keislamaan dan Bahasa Arab tahun 1940, Ibn „Âsyûr diangkat sebagai salah
seorang anggota lembaga Bahasa Arab di Cairo dan anggota koresponden
lembaga ilmiah di Damaskus tahun 1955.
Dalam perjalanan karirnya Ibn „Âsyûr pernah menjabat sebagai ketua
majlis Auqaf, dan sebagai qadhi pada tahun 1331 H/ 1913 M. Pada saat yang sama
Ibn „Âsyûr juga terpilih sebagai mufti dari mazhab Maliki 1341 H/ 1933 M, suatu
gelar yang bergengsi yang jarang bias dicapai orang lain.
8 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,(Ciputat:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 104-105
61
4. Guru-Guru
Ketinggian ilmu dan keluasan wawasan yang dianugerahkan Allah kepada
Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr tidak lepas dari jasa dan pengaruh guruguru yang
juga tokoh-tokoh penting dan berpengaruh pada masanya. Sosok yang lebih
menonjol di antara mereka ialah: Muhammad al-Khiyâriy yang membimbingnya
menghafal Alqurân, Ahmad Bin Badr al-Kâfiy guru tata bahasa Arab pertama
yang mengajarnya. Selain mereka berdua ada: Muhammad al- „Azîz Bû‟atûr,
Umar Bin Syaikh atau lebih dikenal dengan Sidi Umar, Sâlim Buḥâjib, Saleh al-
Syarîf, dan Muhammad an-Nakhaliy.
Muhammad al-„Azîz Bin Muhammad al-Ḥabîb Bin Muhammad aṭ-Ṭayyib
Bin Muhammad Bin Muhammad Bû‟atûr (1825/1907M), kakek Bin „Âsyûr dari
pihak ibu, juga alumnus Universitas Zaitûnah. Di antara guru Muhammad Bû‟atûr
ialah Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyur yang memberikan perhatian dan bimbingan
lebih karena bakat dan ketekunan yang dimilikinya. Predikatnya sebagai
pembelajar istimewa menarik perhatian sejumlah pejabat pemerintah kemudian
merekrutnya. Berbagai jabatan penting terutama di bidang kesekretariatan pernah
dijabatnya, di antaranya menjadi kepercayaan Wazir Agung (Perdana Mentri)
Khairuddin yang kemudian menjuknya menjadi Mentri Koordinator pada 1290 H.
Terakhir menjadi Wazir Agung menggantikan Mustafa Bin Ismail. Ia memegang
jabatan tersebut hingga meninggal dunia pada tahun 1325H/1907M. Ia adalah
seorang sosok reformis meskipun berada pada masa dan rezim yang sedang
terlibat krisis. Hal tersebut dapat dilihat dari sejumlah pembenahan yang
dilakukannya, antara lain: pembenahan sistem pendidikan di Universitas
Zaitûnah; mengasisteni Perdana Menteri Khairuddin mendirikan Sekolah Aṣ-
Ṣâdiqiyah; mendirikan badan wakaf; pembenahan sistem peradilan syariat; dan
lain-lain. Muhammad al-„Azîz Bû‟atûr mencurahkan perhatian besar terhadap
cucunya, ia menulis sendiri sejumlah kitab di antaranya matan Ṡaḥîḥ Bukharî
untuk dipelajari sang cucu.
Umar Bin Syekh (1239H-1329H), lengkapnya Umar Bin Ahmad Bin Ali
Bin Hasan Bin Ali Bin Qâsim, tetapi lebih sering dipanggil Ibnu Syekh atau Sidi
Umar. Berguru kepada sejumlah ulama besar termasuk Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin
62
„Âsyûr senior. Ia mengajarkan sejumlah mata kuliah, tetapi yang paling dinanti
ialah penjabaran kitab Mawâqif-nya „Aḍuddîn al-Îjiy, bahkan mata kuliah ini
dipandang sebagai mata kuliah terpopuler Universitas Zaitûnah saat itu.
Kuliahnya pernah dihadiri oleh Muhammad Abduh dan ia memujinya. Hanya saja
dia tidak aktif menulis, kuliah-kuliahnya hanya dibukukan oleh mahasiswanya.
Sâlim Bûḥâjib (1243-1343H/1827-1927M) seorang tokoh yang memiliki
pengaruh luas di kalangan ulama dan politisi. Dikenal cerdas, teguh pendirian dan
mudah diterima di mana saja, pernah terpilih menjadi anggota majelis agung
(semacam lembaga negara semi parlemen), dan menjadi delegasi pemerintah ke
Italia dan Prancis. Ia menjadi pendidik di Universitas Zaitûnah tidak kurang dari
tiga puluh tahun, memiliki perhatian besar terhadap Biologi, dan dikagumi oleh
Muhammad Abduh. Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr mempelajari kitab-kitab
Sunnah darinya. Ia sangat menghormatinya, terutama karena membimbingnya
secara khusus dalam pengkajian hadis baik dirâyah maupun riwayah dan secara
konsisten mengoreksi karya tulisnya yang berkenaan dengan hadis. Dari gurunya
ini pula Bin „Âsyûr banyak belajar tentang sistematika berpikir yang teliti,
visioner, dan bercakrawala luas.
Ṣâliḥ al-Syarîf adalah guru yang menginspirasi Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin
„Âsyûr untuk mendalami tafsir. Ia mengasuh mata kuliah Tafsir dan Akidah.
Metode dan pendekatan yang digunakannya dalam mengupas kitab az-
Zamakhsyari agaknya yang menginsipirasi Bin „Âsyûr untuk mendalami dan
menulis tafsirnya. Ia termasuk guru yang pertama-tama mengajarnya di
Universitas Zaitûnah.
5. Murid-Murid
Menjadi pendidik senior yang mengabdi dalam jangka waktu yang
panjang di Universitas Zaitûnah membuat Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr turut
berjasa menghasilkan tokoh-tokoh penting di Tunisia dan Aljazair termasuk
kalangan menteri dan penulis-penulis besar. Di antara mereka ialah: dua orang
putranya sendiri, masing-masing Muhammad al-Fâḍil dan Abdul Malik,
Muhammad al-Ḥabîb Bin al-Khaujah, dan Abdul Ḥamîd Bin Badîs, juga sejumlah
cucu Ibn „Âsyûr sendiri menjadi profesor di Universitas Zaitûnah.
63
Muhammad al-Fâḍil (1909-1970M) ialah seorang pujangga, orator, tokoh
pergerakan dan reformasi Tunisa, pengajar di Zaitûnah merangkap hakim, pernah
menjabat sebagai dekan Fakultas Syariah dan Fakultas Usuludin, dan mufti
negara. Sering memberi perkuliahan di Sorbone Prancis, Istambul, dan India.
Aktif di berbagai seminar internasional dan muktamar studi ketimuran. Ia
menghasilkan sejumlah karya tulis di berbagai bidang antara lain: ensiklopedi
tokoh, sastra, dan pemikiran.
Putra Ibn „Âsyûr yang lain, Abdul Malik, seorang pengawai umum tetapi
aktif menulis makalah-makalah ilmiah di berbagai media massa, juga
mengkodifikasi tulisan-tulisan ayahnya, Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr, yang
tersebar di berbagai media massa.
Muhammad al-Ḥabîb Bin al-Khaujah (1922-2012), profesor-doktor di
Zaitûnah, pernah jadi dekan di sana, mufti resmi pemerintah Tunisia, sekretaris
umum Lembaga Fikih Islam. Juga penulis aktif dengan banyak karya tulis di
bidang Ilmu Keislaman dan Bahasa Arab.
Abdul Ḥamîd Bin Bâdîs (1889-1940) ulama besar mazhab Maliki dan
tokoh pembaharu Aljazair, pendiri Jam‟îyah al-Ulamâ` al-Muslimîn al-
Jazâ`îriyyîn (Persatuan Ulama Muslim Aljazair). Ia gigih menentang penjajahan
dan upaya mem-Prancis-kan Aljazair. Gagasannya tentang perlawanan terhadap
penjajahan tercermin dari ungkapannya, “kita perangi penjajahan dengan
memerangi kebodohan” Ibn „Âsyûr adalah gurunya semasa menimba ilmu
Zaitûnah, ia menjadi menjadi murid sekaligus lawan diskusi bagi Ibn „Âsyûr.
B. Karya dan Pemikiran
1. Karya-Karya
Dengan latar belakang rasio cultural yang kuat, kecintaan terhadap ilmu,
ketekunan dan keikhlasan, di samping komitmen pada pendidikan dan
kewara‟annya semua memotivasi Ibn „Âsyûr untuk mengabdikan diri pada ilmu,
menjadi pengajar, tokoh agama, waktunya dihabiskan untuk mengajar dan
menulis buku. Dua buku yang fenomenal, yaitu tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr dan
Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah menjadi rujukan utama bagi para mufassir.
64
Adapun karya-karya Ibn „Âsyû antara lain:
a. Dalam bidang ilmu keislaman
1) Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr
2) Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah
3) Ushûl an- Nadzhâm al- Ijtimâ‟iy fi al-Islam
4) Alaîsa al-Subhu bi Qarîb
5) Uṣû al-Insyâ` wa al-Khiṭâbah
6) At-Tauḍîḥ wa at-Taṣḥîḥ fî Uṣhûl al-Fiqh
7) Ḥâsyiah „alâ at-Tanqîḥ lil Qarâf
8) Al-Waqfu wa Âṡâruh fî al-Islâm
9) Kasyfu al-Mugaṭṭâ min al-Ma‟ânî wa al-Alfâẓ al-Wâqi‟ah fî al-Muwaṭṭâ‟
10) Ta‟âlîq „alâ al-Maṭûl wa Ḥâsyiah as-Sayâlakûtî
b. Dalam bidang Bahasa dan sastra
1) Ushûl al-Insya Wa al-Khithâbah
2) Wajîz al-Balâghah
3) Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyah li syarh al-Imâm al-Marzûqi Ali
Diwân al-Hamashah li Abi Tamâm.
4) Sariqât al-Mutanabbi
5) Taḥqîq Fawâ`id al-„Iqyân li al-Fatḥ Bin Khâqân ma‟a Syarḥ Dîwân Ibn
Zâkûr
6) Tarâjum li Ba‟ḍ al-A‟lâm
7) Taḥqîq Kitâb al-Iqtiṣâb li al-Baṭliyûsiy ma‟ Syarḥ Kitâb Adab al-Kâtib,
8) Taḥqîq Muqaddimah fî an-Naḥw li Khalif al-Aḥmar
9) Jam‟ wa Syarḥ Dîwân Suḥaim, Syarḥ Mu‟allaqât Imr al-Qays,
10) Taḥqîq li Syarḥ
Ia juga aktif menyampaikan fatwa dan pemikiran pembaharuannya di
berbagai media massa dan jurnal ilmiah. As-Sa‟âdah al-„Uẓmâ, az-Zaitûnah,
Hudâ al-Islâm, Nûr al-Islâm, al-Hidâyah al-Islâmiyah, Majallah Mujammaʻ
al-Lugah al- „Arabiyyah, Majallah al-Mujammaʻ al-„Ilmiy, al-Manâr, ar-
Risâlah adalah namanama majalah ilmiah di mana Ibn „Âsyûr menjadi
kontributor pentingnya. Sejumlah surat kabar juga rajin memuat artikel Ibnu
65
„Âsyûr, seperti: surat kabar az-Zahrah, an-Nahḍah, al-Wazîr, aṣ-Ṣabâḥ, al-
Fajr.9
2. Pemikiran Maqâsid al-Syarî’ah Ibn ‘Âsyûr
Mayoritas sarjana maqâsid modern sepakat bahwa pendefinisian
Maqâsid al- Syarî‟ah secara jelas dan komprehensif-protektif (jamî‟-mani‟)
baru dilakukan di tangan sarjana maqâsid modern, yakni Ibn „Âsyûr. Berbeda
dengan konsep maqâsid al-syarî‟ah yang dicetuskan oleh ulama sebelumnya
seperti al-Ghazâlî dan al-Syâtibî, Ibn „Âsyûr menyebutkan poin-poin maqâsid
al-syarî‟ah yang dikehendaki oleh syara‟ melalui pelaksanaan syariah Islam,
serta membaginya menjadi dua kelompok penting, yakni maqâsid al-syarî‟ah
„âmmah dan maqâsid al- syarî‟ah khâṣṣah. Berikut akan dibahas mengenai
pemikiran maqâsid yang dimaksudkan.
2.1. Maqâsid al-Syarî‟ah al-„Âmmah
Menurut Ibn „Âsyûr, yang dimaksud dengan maqâsid al-syarî‟ah al-
„âmmah adalah sasaran dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan
kemaslahatan manusia secara umum, seperti melestarikan sebuah system yang
bermanfaat, menjaga kemaslahatan, menghindari kerusakan, merealisasikan
persamaan hak antar manusia, dan melaksanakan syariat sesuai aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Allah.
Definisi Ibn „Âsyûr tersebut tampaknya bukan lagi definisi yang
sifatnya normatif, tetapi sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih konkrit
dan operasional. Ia menegaskan bahwa maqâsid al-syarî‟ah memiliki dua
sifat, yakni sifat umum yang meliputi keseluruhan syari‟ah dan sifat khusus
seperti maqâsid al-syarî‟ah yang khusus dalam bab-bab fiqh, seperti hukum
keluarga dan hukum mu‟amalah lainnya. Dalam konteks inilah maqâsid al-
syarî‟ah dimaknai sebagai suatu kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh shara‟
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga
9 Al-Gâliy, Syaikh al-Jâmi‟ al-A‟ẓam Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayûâtuh wa Âṡâruh.
Beirût: Dâr Ibn Ḥazm, 1417H/1996M., h. 71
66
kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-
perbuatan khusus yang mengandung hikmah.10
Gagasan tentang maqâsid al-syarî‟ah, sebagai sebuah nilai, prinsip,
dan paradigma telah dikenal sejak permulaan Islam. Namun, secara
konseptual, pemikiran tentang maqāṣid al-syarī‟ah baru terkonstruksi secara
sistematis oleh al Syātibî (w. 790 H) melalui bukunya al-Muwâfaqât fî Uṣûl
al-Syarî‟ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas Syariat. Atas jasanya itulah
al-Syâtibî digelari sebagai Bapak Perumus maqâṣid al-syarî‟ah Pertama.
Melalui karyanya itu, al-Syâtibî mengembangkan teori al-maqâsid dengan
melakukan tiga transformasi penting.11
Pertama, transformasi al-maqâsid dari sekadar al-masâliḥ al-
mursalaḥ (maslahat-maslahat lepas) ke ushûl al-dîn wa qawâ‟id al-syarî‟ah
wa kulliyât almillah (asas-asas agama, kaidah-kaidah syariat, dan pokok-
pokok kepercayaan dalam agama Islam).
Kedua, transformasi al-maqâsid dari „hikmah di balik aturan‟ kepada
„dasar aturan‟. Berdasarkan pemahaman ini al-Syâtibî menarik kesimpulan
bahwa aturan mana pun yang dibuat atas nama syariat tidak dapat melangkahi
al-maqâsid. Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan transformasi kedua ini,
pengetahuan akan al-maqâsid adalah syarat utama bagi keahlian ijtihad pada
segala tingkatan.
Ketiga, transformasi al-maqâsid dari „ketidaktentuan‟ menuju
„keyakinan‟; dari ẓanniy menuju qaṭ‟iy. Yakni keyakinan akan hasil proses
induksi yang dilakukannya terhadap ayat-ayat Alqurân untuk menarik
kesimpulan tentang al maqâsid.
Sementara Ibn „Âsyûr, melalui bukunya Maqâsid al-Syarî‟ah al-
Islâmiyyah, mengelaborasi al-maqâsid lebih holistik lagi dengan
mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqâsid al-syarî‟ah-nya al-
Syâtibî. Bahkan, Ibn „Âsyûr telah mengindependensikan maqâsid al-syarî‟ah
10
Muhammad Thahir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, (Amman: Dar al-Nafais,
2001), h. 51 11
Jâser„Audah,al-Maqâṣid untuk Pemula, penerjemah „Ali‟Abdelmon‟im,(Yogyakarta:SUKA-
Press, 2013), h. 46-48
67
sebagai disiplin ilmu tersendiri. Karenanya, Ibnu „Âsyûr dijuluki “guru
kedua” (al-mu‟allim al-ṡanī) setelah al-Syâtibî sebagai “guru pertama”.
Pada bagian ini akan dibahas bagian-bagian dari maqāshid al-
sharī‟ah al-„âmmah sebagai berikut:
a. Fitrah
Artinya bahwa ajaran Islam atau syariat Islam yang diturunkan oleh
Allah untuk kemaslahatan manusia sesungguhnya sangat sesuai dengan
karakter asas manusia itu sendiri. Begitu juga, dalam pandangan Ibn „Âsyûr,
fitrah adalah sifat dasar manusia (al-khilqah) dalam artian sebuah sistem
tertentu (al-niẓām) yang telah Allah swt tanamkan atau ciptakan pada setiap
ciptaannya, baik bersifat lahiriah (yang terlihat) maupun batiniah (tidak
terlihat). Ibn „Âsyûr menyebutkan dalam kitab at-Tahrîr Wa al-Tanwîr,
ن وع اإلنسان ىي ما الفطرة ىي النظام الذي أوجده اهلل يف كل ملوق, والفطرة الت تص
يا خلقو اهلل عليو جسداوعقال, فمشي اإلنسان برجليو فطرة جسدية, وماولتو أن ي ت ن او اأ
من أسبابا والنتائج من مقد ماتا فطرة عقلية, برجليو خالف الفطرة السدية, واستنتاج المسببات
وماولة استنتاج أمر من غي سببو خالف الفطرة العقلية
Fitrah ialah sistem yang diciptakan Allah pada setiap makhluk.
Sedangkan fitrah yang dikhususkan untuk spesies manusia ialah apa-apa yang
seperti itulah Allah menciptakan manusia secara jasmani dan akli. Oleh karena
itu, berjalan dengan kedua kaki adalah fitrah jasmani; upaya mengambil segala
sesuatu dengan kaki menyimpang dari fitrah jasmani, menyimpulkan adanya
faktor penyebab berdasarkan suatu sebab adalah fitrah akal, demikian juga
dengan menarik kesimpulan berdasarkan premis tertentu. Sebaliknya menarik
kesimpulan tanpa premis tertentu adalah bentuk menyimpang dari fitrah akal.12
Islam adalah agama fitrah karena prinsip-prinsip dasarnya tidak
bertentangan dengan kodrat dasar jasmani, akli, dan rohani manusia.
12
Ibn „Âsyûr, Kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr, j. XXI, h. 90
68
Prinsipprinsip dasar tersebut kemudian melahirkan kaidah-kaidah dan furuk-
furuk hukum yang juga mudah diterima. Kefitrahan Islam membuatnya relatif
terbuka untuk dibawa ke ranah diskusi ilmiah, dan secara objektif lebih mudah
diterima. Allah swt berfirman,
13
Menafsirkan ayat ini Ibnu „Âsyûr mengemukakan bahwa kata fiṭrah
adalah badal dari ḥanîfa yang memliki dua opsi ikrab: Pertama, ḥâl dari ḍamîr
mustatir dalam fiil aqim, dan sebagai badal maka fiṭrata juga memliki fungsi
yang sama. Dengan demikian ayat tersebut diartikan: maka hadapkanlah
wajamu kepada agama Allah (Islam) dengan lurus dan dengan fitrah Allah
yang Dia ciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Kedua, ḥâl dari al-dîn
(Islam) dan fiṭrata dengan sendirinya juga menerangkan keadaan al-dîn,
sehingga ayat tersebut diartikan: maka hadapkanlah wajamu kepada agama
Allah (Islam) yang berada dalam keadaan lurus dan fitrah Allah yang Dia
ciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Penafsiran kedua, menurut Ibnu
„Âsyûr lebih tegas menunjukkan Islam sebagai agama fitrah.14
Demikian pun
penafsiran pertama tidak keluar dari koridor Islam sebagai agama fitrah. Ayat
ini memerintahkan supaya mukalaf menerima perintah agama dengan hati yang
bersih sesuai fitrah agar ia dapat mengimani dan mematuhinya karena Islam itu
bersifat fitrah.
Ibn „Âsyûr membagi fitrah ke dalam dua macam, yaitu “fiṭrah
„aqliyyah” (akal jernih) dan “fiṭrah nafsiyyah”. Dengan fitrah yang pertama,
manusia bisa merasakan adanya zat yang patut diimani serta menyadari urgensi
13
Q.S. ar-Rûm/30: 30. 14 Ibn „Âsyûr, Kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr, j. XXI, h. 47
69
aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan manusia.15
Sementara fitrah
yang kedua adalah naluri dan keinginan yang diciptakan Allah kepada manusia
untuk memenuhi keinginan-keinginan secara baik dan terarah. Contohnya,
naluri atau fitrah ingin menikah, berinteraksi dengan sesama, dan sebagainya.16
b. Al-Samâhah (toleransi)
Secara kebahasaan samâḥah adalah masdar fiil samuḥa- yasmaḥu
samâḥah, yang berarti murah hati, suka berderma. Menurut Ibn „Âsyûr
samâhah bermakna al-„adl atau al-tawassut (dalam bahasa hukum artinya
posisi antara kesempitan dan kemudahan, moderat, atau seimbang). Ibn „Âsyûr
menyatakan bahwa al-samâhah merupakan awal dari sifat-sifat syarî‟ah dan
maqâsid terbesarnya.17
Al-samâhah yang kemudian dimaknai secara
terminologis oleh Ibn „Âsyûr sebagai “kemudahan yang terpuji atas sesuatu
yang orang lain menganggap sulit”, disifati sebagai hal yang menghilangkan
bahaya dan kerusakan. Dikatakan sebagai “kemudahan yang terpuji” karena
dalam kemudahan yang dimaksud tidak mengandung unsur kemudharatan.
Menurutnya, Allah memberi sifat kepada kaum muslimin sebagai “ummatan
wasaṭan” karena kaum muslimin mempunyai kewajiban untuk selalu
menegakkan syariah Islam, sedangkan di dalam syariah tersebut terkandung
doktrin al-samâhah.18
Islam adalah agama samâḥah, syariatnya bersifat mudah, toleran, dan
moderat. Syariat Islam bertujuan menjadikan pemeluknya menjadi pribadi dan
umat yang berada pada dimensi pertengahan (moderat), Allah Swt berfirman,
لك جعلناكم أمة وسطا وكذ , dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat
15
Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al Nafais,
2001), h. 259
16 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, h. 261-262 17 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais,
2001), h. 60 18
Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais,
2001), h. 61
70
yang pertengahan,19
tidak bertujuan untuk menimpakan kesulitan mukalaf, وما
ين من حرج dan tidaklah Dia sekalikali menjadikan atas kamu , جعل عليكم ف الد
dalam agama suatu kesempitan.20
Pengaturan dan pembatasan perilaku
individual dan sosial oleh syariat tidak dimaksudkan untuk mengekang dan
mempersulit gerak para mukalaf.
Ibn „Âsyûr mengatakan bahwa hikmah adanya al-samâhah dalam
syariah Islam adalah karena Allah menjadikan agama ini (Islam) sebagai
agama fitrah. Dan fitrah mengantarkan manusia kepada sifat atau keadaan
dimana jiwa manusia merasa mudah untuk menerima keadaan tersebut. Dan
Allah menghendaki syariah Islam sebagai syariah yang mudah dilaksanakan
oleh umat manusia. Karena adanya sifat al-samâhah dalam Islam menjadikan
kecenderungan orang untuk menerima Islam dan syariahnya, karena sifat
tersebut merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan rahmat dan kasih
sayang di alam semesta. Sehingga secara induktif, dapat diketahui bahwa al-
samâhah dan kemudahan adalah bagian dari maqâsid agama.21
c. Al-Musâwah (kesetaraan)
Islam memandang bahwa semua manusia dalam suatu wadah
persaudaraan global, dinyatakan dalam Alqurân “ االمؤمن ون إخوة إن ” Orang-
orang beriman itu sungguh bersaudara”.22
Di antara substansi persaudaraan
ialah kesetaraan dan persamaan hak masing-masing individu –dengan segala
perbedaan yang ada di antara mereka –dengan memiliki hak-kewajiban yang
sama terhadap syariat. Kesetaraan dimaksud harus dilandasi oleh fitrah sebagai
karakter fundamental syariat Islam dan maqâṣid-nya. Kesetaraan dan
persamaan yang sesuai fitrah, menuru Ibn „Âsyûr ialah kesetaraan dan
perlakuan yang sama terhadap seluruh individu meskipun memiliki berbagai
19 Q.S. al-Baqarah/02: 143. 20
Q.S. al-Ḥajj/22: 78. 21 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais,
2001), h. 61
22 Q.S. al-Ḥujurāt/49: 10
71
perbedaan, sepanjang perbedaan dimaksud tidak mempengaruhi kontribusi
masing-masing dalam upaya mewujudkan kemaslahatan kolektif. Dengan
demikian kesetaraan dan persamaan hak dan kewajiban diberlakukan dalam
hal-hal yang mana fitrah menghendaki adanya kesetaraan dan persamaan,
sebaliknya dalam perkara kesetaraan dan perlakuan yang sama bertentangan
dengan fitrah maka syariat tidak memaksakannya. Bagi Ibn „Âsyûr, al-
musâwah sangat penting diterapkan terutama terhadap lima prinsip dasar yang
menjadi tujuan syariat Islam (al-ḍarûriyyât al-khamsah), yaitu hifz al-dîn
(menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-„aql (menjaga akal), hifz
al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mâl (menjaga harta). Dalam hal ini
Ibn „Âsyûr berpijak pada firman Allah surah al-Nisa ayat 135:
غنيا يكن إن واأق ربي الوالدين أو أن فسكم على ولو للو هدا بالقسط ق وامي كونوا آمنوا الذين أي ها يا
خبيا ت عملون با كان اللو فإن ت عرضوا أو ت لووا وإن ت عدلوا أن الوى ت تبعوا فال بما أول فاللو فقيا أو
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran.23
Dengan firman-Nya yang lain,
وكال ب عد وقات لوا ال يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من
.وعد اللو السن واللو با ت عملون خبي
tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sebelum penaklukkan (Makkah) mereka lebih tinggi derajatnya dari
orang-orang yang menafkahkan hartanya dan berperang setelah itu. Allah
23
Q.S. an-Nisâ`/04: 135.
72
menjanjikan kepada masing-masing mereka (imbalan) terbaik, dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.24
Pada ayat pertama mukalaf diperintahkan dalam menegakkan keadilan
dan memberi kesaksian untuk bertindak seadil-adilnya tidak membiarkan
relasinya dengan para pihak dan keadaan para pihak yang bersengketa
mempengaruhi keputusan atau kesaksiannya; siapapun adanya mereka, harus
diperlakukan dengan cara yang sama.25
Adapun ayat kedua menerangkan perbedaan kedudukan di antara
individu-individu umat berdasarkan nilai kontribusinya terhadap kemaslahatan
umat.26
d. Hurriyah (kebebasan)
Al-ḥurriyah (kebebasan) secara denotatif adalah antonim „ubūdiyah
(perbudakan), dan secara konotatif digunakan sebagai lawan kata terbelenggu
dan tercekal, yaitu hak bertindak sesuai hukum untuk diri sendiri seperti yang
dikehendaki tanpa terhalang.27 Al-ḥurriyah dengan kedua maknanya, denotatif
dan konotatif, menurut Ibnu „Âsyûr merupakan bagian dari Maqâṣid al-
Syarîʻah al-„âmah sebagaimana dipahami dari analisis terhadap sejumlah
hukum syariat.
Al-ḥurriyah dengan makna denotatif sebagai Maqâṣid al-Syarîʻah
dipahami dari berbagai hukum yang menunjukkan upaya intensif Islam
mengentaskan perbudakan. Berbagai faktor perbudakan sebelum kedatangan
Islam diharamkan dengan menyisakan orang kafir tertawan dalam perang
sebagai satu-satunya faktor diperbudakkan, sebaliknya berbagai cara dijadikan
sebagai jalan pemerdekaan budak, seperti: salah satu tempat penyaluran zakat
mal;28
24
Q.S. al-Ḥadîd/57: 10. 25
„Âsyûr, at-Taḥrîr, wa al-Tanwîr, j. V. h. 224-227. 26
Asyur, tahrir wa al-tanwir wa al-Tanwîr, j. XXVII, h. 376. 27
Pemakaian kata ḥurriyah dengan makna ini menurut Ibn „Âsyûr pertama kali oleh Arab
keturunan pada awal abad ketiga belas hijriyah seiring terjadinya revolusi Prancis. („Âsyûr, Uṣhûl al-
Niẓâm, h. 160). 28
Lihat Q.S. at-Taubah/09: 60.
73
Di samping itu dituntut perlakuan yang lebih manusiawi terhadap budak
dan dilarang mempekerjakan mereka di luar kemampuan dan dengan cara yang
dapat mencelakakan. Fenomena ini menunjukkan kehendak syariat untuk
menghapuskan perbudakan secara persuasif bukan dengan mengharamkan
secara spontan, guna menghindari mafsadat yang lebih besar daripada
perbudakan itu sendiri, mengingat pada saat itu ketergantungan terhadap
tenaga budak sangat tinggi bahkan dapat dikatakan telah menjadi kebutuhan
pokok rumah tangga pada umumnya. Larangan yang diturunkan secara
sekaligus akan menimbulkan gejolak sosial yang buruk dan berdampak luas.
Adapun perbudakan yang tetap dilegalkan terbatas terhadap orang-orang kafir
yang menjadi tawanan perang merupakan sanksi yang setimpal dengan upaya
mereka memerangi agama Allah.
Adapun al-ḥurriyah dengan makna konotatif, sejumlah fenomena hukum
dalam syariat Islam menjadi indikator eksistensinya sebagai Maqâṣid al-
Syarîʻah. Fenomena-fenomena dimaksud berkaitan erat dengan fundamental
aspek keyakinan, perkataan, dan perbuatan dengan konklusi bahwa setiap
individu di bawah naungan pemerintah Islam bebas beraktivitas melakukan
segala sesuatu yang diizinkan secara syariat menurut ketentuan dan aturan
syariat, tidak dibenarkan seseorang dibebani lebih dari itu. Kebebasan
berkeyakinan ditunjukkan dengan mengecam dan membatalkan ajaran yang
memaksakan suatu kepercayaan tanpa berusaha memahamkan, tanpa
argumentasi dan dalil, sebaliknya memerintahkan untuk menyampaikan fakta
dan argumentasi yang kuat dalam mendakwahkan akidah Islam; berdialog
dengan cara yang baik dengan pihak-pihak yang menentang; berupaya
membawa mereka kepada kebenaran dengan penuh hikmah, nasehat yang
tulus, dan berdebat dengan cara terbaik jika diperlukan bukan dengan
pemaksaan. Keanekaragaman mazhab Fikih menunjukkan pengakuan dan
perlindungan Islam terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan
pendapat.
Setiap individu, untuk keperluan pribadi, pada dasarnya bebas melakukan
tindakan hukum yang diperkenankan syariat dengan atau tanpa memanfaatkan
74
sumber daya yang diperbolehkan, baik bersifat yang terbatas maupun yang
bersinggungan dengan kepentingan individu lain selama tindakan dimaksud
tidak merugikan kepentingan lain dimaksud. Dalam hal tindakan hukum
individu berdampak terhadap kepentingan dan kebebasan individu lain maka
syariat mengatur sedemikian rupa agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Legitimasi syariat terhadap tindakan hukum oleh mukalaf yang secara sadar
melepaskan hak dan kepentingannya kepada pihak lain berupa sedekah, wakaf,
hibah, hadiah, dan sebagainya merupakan bagian dari aturan dimaksud yang
mengindikasikan kebebasan bertindak sebagai Maqâṣid Syarîʻah, sebagaimana
diindikasikan juga oleh larangan melakukan perbuatan yang merugikan pihak
lain baik individu maupun umum, disertai dengan sanksi yang setimpal dan
kewajiban mengganti kerugian yang ditimbulkan dengan yang sepadan.
Penjatuhan sanksi dan ganti rugi yang diwajibkan tersebut diatur oleh syariat
agar tetap selaras dengan maqâṣid syarîʻah kebebasan bertindak individual
melalui mekanisme peradilan dan menyerahkan kewenangan eksekusi kepada
pemerintah yang sah, bukan kepada pihak yang dirugikan guna menghindari
tindakan balas dendam dan melampaui batas.
2. 2.Maqâsid al- Syarî‟ah al-Khâssah
Definisi maqâsid al-syârîah al-khâssah menurut Ibn „Âsyûr adalah:
tujuan syariat yang khusus, yakni tentang muamalat, yang di dalamnya
mengupas berbagai isu maqâsid al-syarî‟ah, misalnya maqâsid al-syarî‟ah
hukum keluarga, maqâsid al-syarî‟ah penggunaan harta, maqâsid al-syarî‟ah
hukum perundang-undangan dan kesaksian. Pada masing-masing kelompok
hukum terdapat maqâṣid al-syarîʻah khusus yang menjadi acuan seluruh
hukum parsial yang tercakup dalam masing-masing rumpun dimaksud. Inilah
ruang lingkup pembahasan maqâṣid al-syarîʻah khusus ini.
1) Maqâṣid Syarîʻah Hukum Perkeluargaan
Menurut Ibn „Âsyûr Maqâṣid Syarîʻah hukum-hukum kekeluargaan
merujuk kepada empat maqâṣid utama, yaitu: mengukuhkan ikatan pernikahan,
mengukuhkan ikatan nasab kekerabatan, mengukuhkan ikatan persemendaan,
dan tata cara melepaskan ikatan-ikatan tersebut dalam situasi tertentu.
75
a) Mengukuhkan Ikatan Pernikahan
Syariat Islam mengukukuhkan ikatan dan tata cara pernikahan
sebagaimana diatur dalam syariat Islam menjadi satu-satunya tata cara
pernikahan yang sah, serta membatalkan bentuk-bentuk pernikahan jahiliah
lainnya. Dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pernikahan
dimaksud, menurut Ibn „Âsyûr, terdapat dua substansi yang menjadi Maqâṣid
Syarîʻah-nya, yaitu: Pertama: menunjukkan perbedaan antara esensi
pernikahan, dan perbuatan zina, pelacuran. Dalam tata cara penyelenggaraan
pernikahan itu sendiri setidaknya terdapat tiga ketentuan yang menunjukkan
perbedaan pernikahan dengan perzinaan: Pertama, adanya wali nikah bagi
wanita sebagai syarat sah akad nikah, menurut jumhur.
Keterwakilan wanita oleh walinya dalam pelaksanaan ijab-kabul
menunjukkan bahwa kecendrungan menerima si laki-laki sebagai pasangan
hidup tidak semata motif pribadi tetapi diketahui dan didukung oleh wali dan
kerabatnya; hal mana secara umum tidak dijumpai dalam perbuatan zina dan
pelacuran. Kedua, Mahar yang disepakati sebagai salah satu syarat sah akad
nikah yang telah dikenal dalam tradisi pernikahan sebelum kedatangan Islam.
Mahar diberikan kepada wanita terhormat (bukan pelacur) sebagai bentuk
penghormatan dan ungkapan kasih sayang suami kepadanya bukan kompensasi
atas segala sesuatu yang diberikannya. karena mahar adalah hak istri bukan
orang tua dan keluarganya. Ketiga, menyiarakan pernikahan minimal dengan
dua orang saksi dalam akad nikah sebagai syarat sah, serta syariat walimah
yang menurut jumhur sangat dianjurkan (sunnah mu`akkadah). Kedua,
delegitimasi pembatasan masa berlaku. Klausul pemberlakuan masa berlaku
untuk waktu tertentu tidak dibenarkan dalam akad nikah karena
menyerupakannya dengan akad sewa-menyewa sehingga menghilangkan itikad
baik suami istri untuk melanggengkan pernikahan yang menjadi fundamen
sistem kekerabatan.
b) Mengukuhkan Hubungan Nasab
Hubungan nasab adalah ikatan paling dasar dalam hubungan
kekerabatan. Ia menjadi motif dasar bagi seseorang untuk loyal dan berbakti
76
kepada kepada orang tua dan generasi di atasnya, dan di sisi lain bertanggung
jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak dan generasi di bawahnya.
Kondisi yang demikian memungkinkan keharmonisan dan ketentraman
berkeluarga berdiri pada pijakan bertumbuh yang kondusif. Sebaliknya jika
keautentikan nasab diragukan maka kasih sayang dan ketentraman dalam
keluarga terancam sirna, besar kemungkinan akan timbul konflik yang
melibatkan sejumlah pihak hingga pengabaian hak-hak anak yang masih
memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang tua. Dengan demikian
aturan-aturan yang memberikan kepastian hukum tentang keautentikan
hubungan nasab dalam suatu keluarga menjadi suatu kebutuhan yang
fundamental.
Salah satu maqâṣid Syarîʻah utama aturan-aturan hukum kekeluargaan
dalam Syariat Islam ialah meneguhkan ikatan nasab dari hal-hal yang dapat
menimbulkan praduga yang meragukan keautentikan nasab. Maqâṣid ini secara
implisit dipahami dari sejumlah aturan dalam hukum kekeluargaan, di
antaranya ialah: larangan poliandri;29
larangan laki-laki merdeka menikahi
wanita budak kecuali dalam kondisi darurat;30 perbedaan hukum hubungan
antara budak perempuan dengan majikan laki-laki dan majikan wanita dengan
budak lakilakinya di mana laki-laki diperbolehkan menggauli budak
perempuannya tetapi tidak demikian dengan wanita yang memiliki budak laki-
laki; larangan bagi wanita meninggalkan rumah tanpa izin suami. Substansi
dari ketentuan-ketentuan hukum dimaksud menurut Ibn „Âsyûr ialah mencegah
hal-hal yang dapat menimbulkan praduga yang meragukan keabsahan nasab
anak sang istri kepada suaminya.
Maqâṣid Syarîʻah terpenting lainnya dari hukum-hukum kekeluargaan
dalam syariat Islam ialah mengatur dan menetapkan tata cara pemutusan ikatan
pernikahan, nasab, dan persemendaan bilamana masing-masing ikatan tersebut
karena sebab tertentu tidak mendatangkan maslahat yang diharapkan,
29
Q.S. an-Nisâ`/04: 24. Ayat dimaksud menyampaikan larangan menikahi wanita muḥṣanah, yaitu
yang telah terlindungi oleh pernikahannya dengan laki-laki lain. (lihat at-Taḥrīr, j. V, h. 5 30
Yaitu dalam kondisi dia tidak mampu membiayai dan menafkahi wanita merdeka, sementara itu
dikawatirkan dia terjerumus kepada perbuatan zina. (Lihat Q.S. an-Nisā`/04: 25
77
sebaliknya menimbulkan mudarat yang lebih besar ketimbang mudarat jika
masing-masing hubungan diputuskan. Syariat menetapkan sejumlah aturan
untuk memutus dan mengakhiri ikatan hubungan-hubungan dimaksud
sedemikian rupa agar mudarat yang timbul dalam proses tersebut dapat
diminimalisir jika tidak dapat dihindari sama sekali. Oleh karna itu, pemutusan
ikatan dimaksud disyariatkan untuk melakukan islah melalui perwakilan
masing-masing pihak untuk mencari titik temu penyelesaian persoalan di antara
mereka agar pemutusan hubungan dimaksud dapat dihindari.31
Ikatan pernikahan diakhiri dan terputus dengan cara talak oleh suami
atau tuntutan khuluk oleh istri, hubungan nasab anak kepada ayahnya terputus
dengan cara lian, sedangkan ikatan persemendaan terputus dengan sendirinya
dengan terputusnya ikatan pernikahan.
2) Maqâṣid Syarîʻah dalam Hukum Tata Niaga
Harta atau kekayaan menurut Ibn „Âsyûr ialah segala sesuatu yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan oleh individu,
kelompok individu atau masyarakat umum untuk mewujudkan kemaslahatan
pada berbagai waktu, keadaan, dan kebutuhan. Kekayaan umat dan individu-
individunya bersumber berasal dari sumber tamalluk32
(kepemilikan), dan
takassub33
(penghasilan).
Ibn „Âsyûr mengemukakan lima Maqâṣid Syarîʻah khusus dalam
perputaran kekayaan, yaitu: ar-rawāj, transparansi, perlindungan terhadap
harta, kepastian hukum atas kepemilikan, dan berkeadilan.34
3) Maqâṣid Syarîʻah dalam Muamalat Ketenagakerjaan
Kepemilikan modal kekayaan pada kenyataannya terbatas pada
sejumlah individu masyarakat saja, tidak setiap individu memiliki harta yang
cukup untuk dijadikan modal menghasilkan kekayaan berikutnya. Pada sisi lain
individu-individu yang menguasai kekayaan yang berlimpah sebagai modal
31
Abdullah bin Abdurrahman bin Ṣâliḥ al-Bassâm, Tauḍîḥ al-Aḥkâm min Bulûg al Marrâm cet. 2
(Riyâḍ: Dâr al-Maimân, 1430H/2009M), j. V, h. 529. 32
ialah penguasaan terhadap sesuatu yang berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan secara langsung
atau sebagai alat tukarnya, lihat, „Âsyûr, Maqâsid, h. 465 33
yaitu usaha untuk mendapatkan suatu pemenuh kebutuhan melalui pekerjaan fisik atau negosiasi
dengan pihak lain,lihat, „Âsyûr, Maqâsid, h. 465 34
ʻÂsyûr, Maqâṣid, h. 464.
78
memiliki waktu dan kemampuan yang terbatas mendayagunakan hartanya itu
secara produktif agar menghasilkan harta kekayaan baru. Ini diperbolehkan
oleh syariat karena kebutuhan yang besar (ḥâjiyât) sebab kemasalahatannya
tidak terbatas pada individu-individu tertentu tetapi juga bagi kemaslahatan
umum. Relasi mutualisme antara kedua belah pihak menjadi fundamen
pengayaan umat.
Dalam syariat Islam dikenal sejumlah bentuk muamalah dengan prinsip
seperti ini, antara lain: ijârah al-abdân,35
musâqâh,36
mugârasah,37
qirâḍ, 38
jaʻl atau jaʻâlah,39
dan muzâraʻah.
4) Maqâṣid Syarîʻah Hukum Tabarru‟ât
Tabarru‟ât ialah pemberian suka rela yang didasari oleh semangat
tolong menolong di antara individu-individu umat. Tabarru‟ât yang dimaksud
oleh Ibn „Âsyûr , antara lain, berupa sedekah,40
hibah,41
„âriah, 42
ḥabs atau
wakaf, „umra, 43
dan pemerdekakan budak.
35
Ijârah al-abdân ialah: akad untuk memperoleh manfaat tertentu yang dilaksanakan oleh
musta`jar (orang yang disewa), seperti orang yang disewa untuk membangun atau memperbaki rumah. (Al-
Qifâriy, Kasysyâf, h. 235.). 36 Musâqâh ialah: pemilik kebun kurma atau anggur menyerahkan kebunnya kepada pihak kedua
agar merawat dan mengairinya dengan sistem bagi hasil. Menurut jumhur musāqah diperbolehkan
berdasarkan Sunnah. Abu Hanifah berpendapat haram karena menurutnya bertentangan dengan qiyās atau
kaidah dasar muamalah, dan bahwa yang dilakukan Nabi sebagaimana diriwayatkan adalah dengan
orang-orang Yahudi yang bisa jadi dalam perspektif memandang mereka sebagai budak atau tawanan.
(ibid, h. 233; Abdullâḥ al-ʻAbâdiy, Syarḥ Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid: Syarḥ, wa Taḥqîq
wa Takhrîj (t.t.p.: 1416H/1995M) j. III, h. 1849-1850.). 37
Mugârasah ialah: akad antara pemilik lahan pertanian dengan penggarap di mana penggarap
berkewajiban menanami lahan pemilik dengan tanaman produktif dengan sistem bagi hasil. (lihat Al-
Mausûʻah al-Fiqhiyyah, j. XXI, h. 173-174.). 38
Pemilik modal menyerahkan harta modalnya kepada pihak kedua untuk diperniagakan dengan
kesepakatan keuntungannya dibagi antara mereka berdua. Qirâḍ diperbolehkan berdasarkan ijmak. (Al-
Qifāriy, Kasysyāf, h. 231.). 39
Jaʻâlah (sayembara) ialah: menjanjikan imbalan tertentu untuk pekerjaan tertentu atau tidak
tertentu yang memiliki kesulitan tertentu. Ini diperbolehkan berdasarkan nas Alqur`an dan Sunnah. (Al-
Qifāriy, Kasysyâf, h. 238; az-Zuḥailiy, Fiqh, h. 3864.). 40
Sedekah ialah: pemberian yang diberikan tanpa imbalan dengan niat taqarrub kepada Allah oleh
karena itu zakat disebut juga dalam Alqur`an ṣadaqah. Menurut Rāgib al-Aṣfahâniy jika wajib disebut
zakat, jika suka rela disebut sedekah. (al-Mausûʻah al Fiqhiyyah, j. XXVI, h. 323; Al-Husain bin Maʻrûf
bin al-Mufaḍḍal ar-Râgib al-Aṣfahâniy, Mufradât Alfâẓ al-Qur`ān (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.t.) j. I, h.
575. 41
Hibah ialah: pemindahan kepemilikan atas harta tertentu atau tidak tertentu yang dapat
diserahterimakan oleh seseorang yang diperkenankan melakukan tindakan hukum kepada orang lain pada
saat masih hidup secara suka rela tanpa kompensasi. (al-Bassâm, Tauḍîḥ, j. V, h. 123; bandingkan dengan
Sābiq, Fiqh, j. III, h. 281).
79
Menurut Ibnu „Âsyûr dalam syariat tabarru‟ût ada empat maqâṣid
Syarîʻah khusus, yaitu: Intensifikasi Tabarru‟ât, sukarela, fleksibilitas, dan
melindungi hak pihak lain yang terkait.
5) Maqâṣid Syarîʻah Khusus Sistem Peradilan dan Kesaksian
Ibn „Âsyûr mengistemisasi pemikirannya tentang maqâṣid khusus sistem
peradilan menurut syariat Islam dalam tiga bagian, yaitu: Maqâṣid Syarîʻah
dalam lembaga peradilan,44
Maqâṣid Syarîʻah dalam jabatan qâḍî atau hakim,
dan Maqâṣid Syarîʻah dalam persaksian.
C. Tafsir Ibn ‘Âsyûr dan Tafsir Maqâsidi
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir at-Tahrîr Wa al-Tanwîr
Ibn Âsyûr mulai menulis tafsir pada 1431 H/ 1923 M, setelah beliau naik
jabatan dari qâdhi menjadi mufti. Tafsir 30 juz, ditulisnya dalam 15 jilid kitab,
dalam waktu 39 tahun. Meskipun diselingi dengan penulisan karya-karya lain,
buku maupun makalah, beliau tetap bersungguh-sungguh menyelesaikan
penulisan tafsirnya.
Selama penulisan tafsir, kondisi sosial politik Tunisia saat itu mengalami
kesenjangan antara pemerintahan dan kaum ulama. Disaat pemerintahan dipimpin
oleh seorang diktator, menggiring Syaikh Ibn Âsyûr melanjutkan perjuangannya
dalam membela kebebasan pemikiran Islam di Tunisia. Ia menentang pemerintah
dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan agama
kepada pemerintah.45 Sementara gerakan reformasi dan pembaharuan yang
42
„Âriah ialah: membolehkan orang lain untuk memanfaatkan suatu benda bermanfaat yang
dimiliki sedangkan bendanya tetap utuh, dikembalikan kepada pemilik setelah pemanfaatannya selesai.
ʻÂriyah (meminjamkan) diperboleh berdasarkan nas Alqur`an dan Hadis serta ijmak ulama. „Āriyah
dipandang memiliki nilai ibadah. (Al-Bassâm, Tauḍîḥ, j. IV, h. 645.) 43
ʻUmrā ialah: sejenis hibah tetapi pemberi hibah menyaratkan hibah berlaku hanya selama
penerima masih hidup, setelah itu dikembalikan kepada pemiliknya. Ulama berbeda pendapat tentang
keabsahannya karena adanya kontradiksi dalam memahami nas-nas yang berkaitan dengan „Umrā, Imam
Malik termasuk yang membolehkannya berdasarkan hadis, “al-muslim „alâ syurûṭihim.” (Al-Bassām,
Tauḍîḥ all-Aḥkâm, j. V, h. 136- 137; Sâbiq, Fiqh, j. III, h. 289; As-Sijistâniy, j. III, h. 332, no. 3596; at-
Turmużi, Sunan, III, h.28, no. 1352.). 44
Menurut Ibnu „Âsyûr maqâṣid Syarîʻah keberadaan lembaga peradilan dalam syariat Islam ialah
tersedianya perangkat unsur-unsur yang mendukung upaya menegakkan kebenaran dan menundukkan
kebatilan baik yang nyata maupun yang terselubung, („Âsyûr, Maqâṣid, h.494) 45
Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi‟ al-A‟ẓam Muhammad al-Tâhir ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa
Âṡâruh, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1417H/1996M) 117
80
dipelopori Muhammad Abduh di Mesir (1849/1905), setelah merebak ke berbagai
belahan negara Islam, tidak terkecuali Tunis. Ide-ide pembaharuan Muhammad
Abduh mulai mempengaruhi intelektual Tunis, tidak terkecuali Ibn Âsyûr.46
Saat itu Muhammad Abduh di Mesir, menghimbau agar umat Islam
melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Himbauan ini nampaknya
juga bergema di Tunis. Ibn Âsyûr merespon himbauan tersebut dan bergerak
mereformasi pendidikan dan menyampaikannya di berbagai seminar.
Tidak hanya itu, Ibn Âsyûr pun ikut terjun dalam gerakan reformasi yang
terjadi. Hasilnya adalah dibangunya cabang-cabang Az-zaitûnah di berbagai kota
di Tunis. Kualitas pendidikanpun ditingkatkan dengan menambahkan ilmu-ilmu
selain ilmu syarî‟ah, seperti matematika, kimia, filsafat, sejarah dan Bahasa
Inggris. Menelaah bagian pembukaan tafsir Ibn Âsyûr membuktikan bahwa Ibn
Âsyûr memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dari sini bias
ditelusuri jejak-jejak keterlibatan Ibn Âsyûr dalam gerakan reformasi di Tunis.
Sejak awal penulisan tafsirnya,Ibn Âsyûr selalu menjaga komitmen untuk
menjadikan penafsiranya sebagai sebuah kritik bukan taqlîd. Sisi pembaharuan
Ibn Âsyûr dapat dicermati dan obsesinya menafsirkan al-Qur‟an dengan
memunculkan hal-hal yang baru yang belum pernah ditulis dalam tafsir-tafsir
sebelumnyaini dengan tujuan untuk menjadikan tafsirnya sebagai penengah dari
tafsir-tafsir lainya. Menurut Ibn Âsyûr membatasi penafsiran pada tafsir bi al-
ma‟tsur akan menelantarkan isi kandungan al-Qur‟an yang memang tidak akan
pernah habis untuk dibahas.47
Menurut Ibn Âsyûr diantara sebab terbelakangnya
ilmu tafsir, adalah kecenderungan yang berlebihan terhadap tafsir bil ma‟tsûr.
Juga karena besarnya kecenderungan para ulama menulis hanya dengan
penukilan, dengan alasan takut keliru dalam menafsirkan. Akibatnya orang
menjadikan tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai satu-satunya metode penafsiran.
Pada akhirnya, tafsir yang hanya sekedar penukilan dari tafsir-tafsir
sebelumnya, dapat membatasi pemahaman terhadap al-Qur‟an dan mempersempit
maknanya. Contoh nyata dari pembaharuan Ibn Âsyûr bisa dilihat pada nama
46
Faizah Alisyibromalisi, Tela‟ah Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr Karya Ibn Âsyûr, Jurnal, h. 3 47
Ibn Âsyûr, Tahrîr al-Tanwîr, jilid 1 h. 7
81
tafsirnya yang semula berjudul Tahrîr al-Ma‟nâ al-Sadîd wa Tanwîr al-„Âql al
jadîd (Memilih Makna yang Tepat dan Mencerahkan Akal yang Barudari al-
Qur‟an). Akan tetapi kemudian judul tafsirnya disingkat menjadi al-Tahrîr wa al-
Tanwîr.
2. Karakteristik Tafsir
Diantara Karakteristik tafsir yang menonjol dari tafsir Ibn „Âsyûr adalah
sebagai berikut:
a) Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap Bahasa Arab
Tafsir Ibn „Âsyûr bukan hanya dianggap sebagai buku tafsir, tetapi bisa
dikatakan sebagai kitab kebahasaan. Karena menjadikan ilmu nahwu, shorof,
balaghoh menjadi objek kajianya, sehingga bisa dijadikan sebagai pegangan.
Bahkan balaghoh menjadi focus perhatiannya dalam tafsir ini. Ia berhasil
mengeksploitasi Bahasa yang bertumpu pada syair-syair Arab baik pra maupun
pasca Islam untuk memahami alqurân. Hal ini bisa kita saksikan alam
penafsirannya dari sisi kebahasaan dimana Ibn‟Âsyûr sangat memperhatikan
penjelasan makna kosa kata dari sisi nahwu, shorof, dan menyebutkan fungsi kata
dari sisi makna dan balaghahnya.48
Ini dilakukannya karena obsesi Ibn‟Âsyûr
adalah menjadikan kitab tafsirnya bukan sekedar berfungsi sebagai kitab tafsir,
tapi juga sebagai rujukan kebahasaan. Menurut Ibn‟Âsyûr beliau telah
memberikan kosa kata yang tidak di temukan dalam kamus manapun.49
b) Perhatian Ibn „Âsyûr Tentang Fiqh
Dalam bidang fiqh Ibn‟Âsyûr menekankan pentingnya mengetahui ilmu
maqâsid al-syarî‟ah sebagai sarana untuk mentarjih pendapat yang satu dari
pendapat lainnya. Seorang ahli fiqh menurut Ibn‟Âsyûr harus membedakan antara
berbagai posisi khitab apakah posisinya sebagai targhib atau tarkib tabsyir (kabar
gembira) atau tazhkir (peringatan) meskipun semua dating dari nash-nash.
Syarî‟ah ini tentu dalam rangka bertepatan mentarjih dan mengistinbath maqâsid
syarî‟ah-nya.
48
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat:
Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 125 49
Ibn‟Âsyûr, Tafsir at-Tahrîr Wa al-Tanwîr, jil.I, h. 38 dari ayat 21 al-Baqarah.
82
Untuk menunjukan kepakarannya dalam bidang fiqh, Ibn „Âsyûr tidak
pernah melewatkan komentar-komentar fiqh-nya pada ayat-ayat ahkam, meskipun
secara ringkas tanpa bertele-tele, sesuai dengan pemaparan para fuqoha‟, sahabat
dan tabi‟in baru kemudian beristibath. Misalnya tafsir surat al-Baqarah ayat 102
حر Ibn „Âsyûr menjelaskan bahwa Islam telah memberi peringatan يعلمون الناس الس
dan mencela sihir. Hal ini bukan berkaitan dengan hakikat sihir tetapi peringatan
terhadap rusaknya akidah dan hilangnya ikatan agama karena ilmu sihir. Para
ulama Islam sendiri berbeda pendapat seputar keberadaan sihir dan
peningkarannya, yaitu perbedaan yang diakibatkan oleh cara pandang setiap
kelompok melihat macam-macam sihir. Kemudian Ibn‟ Âsyûr mengatakan bahwa
tidak ada dalam pembicaraan mereka penjelasan tentang sihir yang mereka
tetapkan keberadaannya. Masalah ini merupakan masalah furu‟iyah fiqh, tidak
masuk dalam masalah ushuluddin.
c) Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap Qira‟at dalam tafsirnya
Berkenaan dengan ilmu qira‟at berdasarkan pengamatan penulis Ibn
„Âsyûr telah menunjukan perhatian yang sangat besar dalam bidang ini menurut
pendapatnya ilmu qir‟at adalah ilmu yang agung, meskipun berdiri sendiri sebagai
disiplin ilmu, tapi tidak bisa dipisahkan dari ilmu tafsir, karena pengaruhnya yang
besar terhadap penafsiran. Perbedaan bacaan menyebabkan perbedaan hasil
istinbath hukum.50
Hal ini terbukti ketika menafsirkan ayat-ayat, ia banyak mengangkat
berbagai qirâ‟ât yang terkait dengan bacaan ayat-ayat tersebut, dan seringkali
menjelaskan sisi perbedaan diantara qirâ‟ât tersebut, baik dari sisi harakat,
struktur kata, panjang pendeknya pengucapan huruf ketika dibaca, bahkan
dampak hukum dari perbedaan qirâ‟ât tersebut. 51
3. Metode Penafsiran
Ibn „Âsyûr ini, menggunakan metode tahlîlî dengan kecenderungan tafsir
bi al-ra‟y. Dikatakan menggunakan metode tahlîlî karena Ibn ‟Âsyûr dalam
50
Ibn „Âsyûr, Muqadimah Tafsir al-Tahrîr wa al-tanwîr. Jilid I h. 51 51
Ibn „Âsyûr, Muqadimah Tafsir al-Tahrîr wa al-tanwîr. Jilid I h. 55-61
83
menulis tafsirnya menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertera
dalam mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata dengan sangat detail
mengenai makna kata, kedudukan, uslub bahasa Arabnya serta aspek-aspek
lainnya yang sangat luas.
Dengan metode penulisan ini Ibn „Âsyûr menyoroti ayat-ayat al-Qur‟an
dengan memaparkan segala makna dan aspek kebahasaan dan sastranya yang
terkandung di dalam ayat yang di tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan
makna yang benar dari setiap bagian ayat. Ibn „Âsyûr juga memperluas masalah-
masalah penafsiran yang tidak disentuh oleh mufasir lainnya, baik dari sisi
kebahasaan dan sastranya (balaghoh) maupun dari sisi kemukjizatannya.
Ibn „Âsyûr terkadang menafsirkan ayat dengan ayat, namun ia membatasi
pengambilan riwayat-riwayat yang tidak memiliki bukti keshahihannya, apalagi
jika penafsiran tidak bergantung pada riwayat tersebut.52
4. Sumber Penafsiran
Mengetahui sumber penafsiran sebuah karya tafsir sangat penting untuk
mengetahui sejauh mana kapasitas riwayat atau naql dan kapasitas ra‟yi atau
logika dalam tafsir tersebut. Dengan kata lain, apakah tafsir itu hasil penukilan
dari tafsir Nabi, sahabatdan Tabi‟in (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) atau hasil ijtihad Ibn
Âsyûr seluruhnya ataukah hasil campuran (kolaborasi) dari tafsir bi al-Ma‟tsûr
dan tafsir bi al-Ra‟yi.
a) Tafsir bi al-Ma‟tsûr sebagai sumber pesnafsiran
Menurut Ibn Âsyûr, tafsir bi al-Ma‟tsûr adalah tafsir yang diperoleh dari
penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, penafsiran al-Qur‟an dengan Sunnah Nabi
atau perkataan sahabat seagai penjelasan dari mkasud Allah menurunkan kitab
sucinya, atau penafsiran dengan perkataan tabi‟in, meskipun ulama berselisih
paham seputar posisi tafsir tabi‟in apakah termasuk bi al-ma‟tsûr atau bi al-ra‟yi.
Sedangkan al-Thabari yang membatasi tafsirnya sebagai tafsir bi al-ma‟tsûr
memasukan tafsir tabi‟in sebagai tafsir bi al-ma‟tsûr.
52
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab tafsir Klasik-Modern,h. 122-123
84
Untuk tafsir yang berdasrkan al-Qur‟an, atau bias disebut menafsirkan al-
Qur‟an dengan atas dasar al-Qur‟an itu sendiri, maka tingkat kebenarannya tidak
diragukan bahkan harus diterima, karena tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
dianggap berasal dari Allah, yang mengetahui maksud diturunkannya al-Qur‟an
dan yang mengetahui apa yang diturunkan. Sedangkan tafsir dengan Sunnah Nabi
SAW adalah sebagai penjeâlasan Nabi SAW yang memang telah diperintahkan
untuk menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
للناس ما ن ز إليهم ولعلهم ي ت فكرون وأن زلنا إليك ال ذكر لتب ي
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka
memikirkan”53
Sementara itu tafsir al-Qur‟an yang bersumber pada pendapat-pendapat
para sahabat hukumnya marfu‟, jika terkait dengan asbab nuzûl. Ini sebagaimana
dikatakan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak. Mengenai tafsir sahabat,
imam al-Syâtibî berpendapat bahwa tafsir sahabat memiliki dua kelebihan:
Pertama, Bahasa Arab mereka fasih. Mereka juga dianggap paling mengetahui
dan memahami al-Qur‟an dan Sunnah. Jika ada penjelasan atau perbuatan sahabat
yang menempati posisi sebagai penjelas al-Qur‟an, menurut al-Syâtibî, maka
tafsir sahabat termasuk dalam tafsir bi al-ma‟tsûr. Kedua, sahabat adalah orang-
orang yang terlibat langsung dalam berbagai peristiwa yang mengiringi turunnya
wahyu dan menyaksikan sendiri turunnya wahyu. Sehingga para sahabat lebih
memahami makna-makna ayat dari pada generasi-generasi sesudahnya.
Untuk tafsir yang bersumber dari tabi‟in Imam Suyuti mempertanyakan,
sejauh mana tafsir tabi‟in bisa menjadi hujjah yang dibenarkan dalam tafsir al-
Qur‟an. Hal ini dijawab, jika riwayat-riwayat itu bersumber dari riwayat-riwayat
shahîh, maka hukumnya maqbûl (bisa diterima). Jika hanya penafsiran dari sisi
kebahasaan saja yang dijadikan parameter dari penafsiran, maka menurut al-
Suyuti, hal ini juga dianggap maqbûl (bisa diterima).
53
QS. Al-Nahl (16):44
85
Menurut Ibn „Âsyûr, tafsir tabi‟in ditolak bila datang dari para pendusta,
seperti riwayat isrâilliyât. Menyikapi tafsir yang demikian, menurut Ibn „Âsyûr,
kita tidak perlu meyakininya ssecara mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak
pula.
b) Tafsir bi al-Ra‟yi Sebagai Sumber Penafsir
Yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ra‟yi adalah menafsirkan al-qurân
dengan cara berijtihad yang dilakukan oleh mufassir, yang memiliki pengetahuan
tentang perkataan orang-orang Arab, yang mengetahui makna lafaz-lafaz al-
qur‟ân dan syair-syair Arab jahiliah. Mereka juga harus mengetahui sabâb nuzul,
mengetahui naskh Mansûkh dan perangkat ulum al-qur‟ân lainnya.
Ibn „Âsyûr dalam muqaddimah dibawah tema sahnya tafsir tanpa bi al-
ma‟tsur dan makna tafsir bi al-Ra‟yi, mengajak pembacanya untuk berdialog
secara bersahajauntuk meyakinkan mereka bahwa berijtihad untuk menafsirkan
ayat dibolehkan karena banyak tafsir al-qur‟ân yang sanadnya tidak sampai
kepada rasul. Sebab kalau hal itu dilarang, tentu penafsiran menjadi sangat
ringkas, hanya dalam beberapa lembar kertas saja. Sebab sebagaimana dikatakan
oleh Imam Ghazâlî dan al-Qurthûbi bahwa tidak semua apa yang dihasilkan
sahabat itu bersumber pada apa yang mereka dengar dari rasul.
4. Kontribusi Tafsir Ibn „Âsyûr dalam Pengembangan Tafsir
Jika dilihat dari perkembangan tafsir di era kontemporer, karya tafsir Ibn
‟Âsyûr ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan gayanya yang khas, tafsir
ini telah menyumbangkan beberapa pemikiran yang cukup inovatif. Sebagaimana
diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam karyanya Epistemologi Tafsir
Kontemporer, bahwa paradigma tafsir kontemporer meniscayakan kritisisme,
objektivitas, dan keterbukaan bahwa produk penafsiran itu tidaklah kebal dari
kritik.54
Ada beberapa kontribusi yang disumbangkan Ibn ‟Âsyûr dalam karya
tafsirnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, Ibn ‟Âsyûr membuat gradasi tafsir bi al-ra‟yi menjadi lima
tingkatan. Yakni 1) penafsiran yang hanya terlintas di benak seseorang dan tidak
disandarkan pada dalil-dalil bahasa Arab dan maqâsid al-syarî‟ah serta
54
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), 84.
86
aplikasinya. Penafsiran semacam ini menurut Ibn ‟Âsyûr merupakan penafsiran bi
al-ra‟yi yang dilarang dalam hadis karena menafsirkan al-Qur‟an tanpa
menggunakan dasar ilmu. Penafsiran seperti ini dianggap salah meskipun ia benar
karena tidak berdasarkan ilmu. Misalnya ketika seorang penafsir menafsirkan alif
lâm mîm dengan tafsiran ‚”Sesungguhnya Allah menurunkan Jibril kepada Nabi
Muhammad dengan membawa al-Qur‟an”.55
2) Penafsiran yang tidak mendalam karena tidak merenungkan al-Qur‟an
dengan sesungguhnya (an lâ yatadabbar al-Qur‟ân haqqa tadabburih). 3) Tafsir
yang cenderung memihak pada mazhab atau kelompoknya. Dalam tafsir bentuk
ini, seorang penafsir memalingkan makna al-Qur‟an dari makna yang sebenarnya.
Dalam lain perkataan, bahwa orientasi penafsirannya ditujukan untuk mendukung
dan memperkuat mazhab atau kelompoknya. 4) penafsiran dengan akal
berdasarkan apa yang terkandung dalam kata-kata dalam alQur‟an. Dalam hal ini,
penafsir beranggapan bahwa yang terdapat dalam kata di dalam al-Qur‟an adalah
satu-satunya makna dan menghindari mena‟wilkan al-Qur‟an yang terlalu jauh, 5)
menafsirkan al-Qur‟an dengan sangat hati-hati di dalam merenungkan dan
mena‟wilkan al-Qur‟an.
Kedua, Ibn „Âsyûr dinilai sebagai ulama yang objektif. Meskipun ia
menganut mazhab Maliki, ia tetap menekankan budaya objektivitas dalam
karyanya. Sebagaimana diungkap di awal bahwa salah satu ciri penafsiran
kontemporer adalah penafsiran non-sektarian atau dengan kata lain seorang
penafsir tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau kelompok tertentu.
Ibn „Âsyûr dalam pengembangan tafsir, bahwa seseorang penafsir sah-sah saja
menganut suatu mazhab asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau
suatu pandangan dari mazhab yang dianutnya serta selalu melakukan crosceck
ulang dan memilih pendapat yang paling benar berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Salah satu sikap objektif yang ditunjukkan oleh Ibn „Âsyûr dalam karya tafsirnya
adalah ketika beliau men-tarjîh (mengunggulkan) mazhab yang berseberangan
dengan mazhabnya sendiri. Contohnya adalah ketika beliau menjelas kata al-
55
Ibn „Âsyûr, Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Vol. 1, 30.
87
maitah dalam Q.S. al-Baqarah (2):173 setelah menjelaskan keharaman memakai
bangkai binatang, Ibn „Âsyûr masuk kepada penjelasan penggunaan kulit
binatang. Ibn „Âsyûr menguraikan pendapat keempat Imam mazhab yakni
Hanbali, Syafi‟i, Hanafi dan Maliki. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa
kulit bangkai binatang tidak bisa suci meskipun disamak (dibersihkan dengan
bahan pekat seperti daun pohon ara). Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kulit
binatang bisa suci apabila dibersihkan (disamak) kecuali kulit babi dan anjing.
Sedangkan Imam Abû Hanifah mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal
dibersihkan (disamak) kecuali daging babi. Pendapat Imam Abu Hanifah ini
disandarkan kepada sebuah hadis dari al-Zuhri sedangkan yang lain tidak ada
sandaran hadisnya. Di akhir penjelasannya, Ibn „Ar mengatakan bahwa pendapat
yang paling kuat dari keempat mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abû
Hanifah karena disandarkan kepada sebuah riwayat hadis. Sedangkan pendapat
yang lain tidak ada dalil hadisnya, termasuk Imam Maliki yang notabene dianut
oleh Ibn „Âsyûr. Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu „Asyur dengan
karya tafsirnya memberikan andil yang cukup signifikan dalam hal objektifitas
menafsirkan al-Qur‟an. Peneliti menangkap pesan bahwa untuk bersikap objektif,
seorang mufassir tidak perlu meninggalkan mazhab yang dianutnya akan tetapi
sikap objektif itu bisa dicapai dengan ilmu yang memadai serta tekad yang kuat
untuk mengungkap kebenaran al-Qur‟an sebagaimana tercermin dari sikap Ibn
„Âsyûr dalam tafsirnya.
Ketiga, asumsi dasar Ibn „Âsyûr yang menyatakan bahwa tujuan al-Qur‟an
diturunkan itu adalah untuk menciptakan kemaslahatan seluruh urusan umat
manusia (li salâhi amr al-nâs kâffah). Secara rinci ia melanjutkan bahwa
kemaslahatan umat manusia itu akan tercapai dengan tegaknya kemaslahatan
personal (al-salâh al-fard), kemaslahatan sosial kemasyarakatan (al-salâh al-
jamâ‟î) serta kemaslahatan peradaban (alalâh al-„umrani).
Ketiga unsur kemaslahatan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya. Dengan kata lain, sebuah karya tafsir haruslah menjadi sesuatu yang
solutif bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.
87
BAB IV
TAFSIR AYAT-AYAT HIFDZ AL-NAFS PERSPEKTIF IBN ‘ÂSYÛR
DAN RELEVANSINYA TERHADAP TAFSIR MAQÂSIDI
A. Tafsir QS. al- Isra : 31
لهم كان خطئا كبريا وال ت قت لوا أوالدكم خشية إمالق نن ن رزق هم وإياكم إن ق ت 1
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Ayat tersebut di atas dapat dimaknai secara jelas sebagai ayat yang
mengandung makna penjagaan kepada jiwa (hifz an-nafs), yaitu makna larangan
kepada orang tua untuk membunuh jiwa anak-anak mereka hanya karena
persoalan keterbelakangan ekonomi. Dari sisi asbab an-nuzulnya, ayat tersebut
turun sebagai teguran keras pada masa jahiliyah di mana penduduknya gemar
membunuh anak-anak perempuan mereka karena ditakutkan seorang perempuan
tidak mampu untuk bekerja, dan atau ketika orang tuanya sudah meninggal
mereka akan terlantar karena tidak ada yang sanggup untuk mengurusinya.2
Jika ditelaah dengan pendekatan tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr, ayat di atas
termasuk ke dalam maqâsid al-‘âmmah, sebab menjaga jiwa anak-anak dengan
tidak membunuhnya dapat menjadi kemaslahatan bukan saja kepada keluarga,
namun juga masyarakat secara umum. Hal itu sebab anak-anak merupakan
generasi yang berpotensi menjadi penerus orang tuanya yang akan menjaga nama
baik orang tua dan juga agamanya. Dengan tidak melakukan pembunuhan pula,
juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lain untuk tidak melakukan
perilaku yang dilarang oleh agama, yaitu melakukan pembunuhan kepada anak-
anak perempuan yang diasumsikan tidak mampu untuk bekerja.
Larangan Allah untuk membunuh jiwa anak-anak perempuan merupakan
kesalahan yang fatal. Sebagaimana disinggung dalam potongan ayat Alqurân di
1 al-Qur‟an, Surat al-Isra ayat 31
2 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, (Beirut:
Dar Al-Ma‟rifah, 1412), jilid 15, h. 57.
88
atas, yaitu kata “khit’an kabira: kesalahan yang besar”. Dalam konteks fitrah
manusia, membunuh anak-anak secara nalar aqliyah tidak dibenarkan, sebab
dengan melakukan demikian sama saja dengan mengingkari eksitensi Allah
sebagai pemberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya. Karena menurut Ibn „Ashur,
Allah telah menggariskan rizki setiap hamba yang Ia ciptakan.3 Oleh karena itu
membunuh anak-anak dengan alasan kesejahteraan ekonomi sama dengan
mengingkari ketentuan Allah.
secara nalar nafsiyah, juga bertentangan, sebab melawan fitrah
kemanusiaan yang membenarkan hal-hal yang positif dan mengesesampingkan
hal-hal yang negatif. Baik secara lahiriah ataupun batin. Manusia tidak
menginginkan pembunuhan. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak membawa
kepada kemaslahatan baik bagi diri (dalam hal ini orang tua) ataupun masyarakat
secara umum. Perilaku pembunuhan kepada anak-anak yang belum baligh
menyalahi qadrat Tuhan.
Dalam posisi toleransi (as-samahah) membunuh jiwa anak-anak karena
hanya alasan keterbelakangan ekonomi atau kekhawatiran terkait itu tidak
diperbolehkan, karena jelas Allah mentoleransi makhluk-Nya yang tidak mampu
dalam menjalankan apa-apa yang dibebankan kepada mereka. Allah memaklumi
orang-orang yang perekonomiannya kurang, sehingga tidak perlu untuk
membunuh anak-anak mereka. Oleh itu, dalam konteks masa sahabat dan atau
kepemimpinan generasi setelahnya diadakanlah baitul mal yang salah satu
fungsinya adalah menjaga jiwa-jiwa yang secara finansial terbelakang. Baitul mal
hadir sebagai jawaban bagi manusia zaman modern untuk memaklumi diri dan
keluarganya untuk menjaga jiwa keluarga merereka dari hal-hal yang
membahayakan, seperti membunuhnya.
Agama Islam tidak membolehkan perbuatan menakuti kepada orang lain,
bahkan kepada semua alam sekalipun. Oleh itu melalui toleransi yang merupakan
basis bagi hifz an-nafs agama Islam mentoleransi siapapun yang enggan untuk
memberikan kesejahteraan kepada anaknya secara lebih. Allah Swt pun melalui
3 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 124.
89
ayat Alqurân-Nya secara tegas mentolerir manusia untuk tidak melakukan
pekerjaan yang tidak sanggup untuk dilakukannya (QS. AL-baqarah [2]: 286).
Semua manusia juga memiliki kedudukan yang sama di mata Allah
bahkan di sisi hukum di dunia. Oleh itu dalam maqasid as-syariah
dikedepankanlah lima prinsip penting, yang salah satunya adalah menjaga jiwa
dari kerusakan atau pembunuhan yang di luar tuntutan syariat. Karena menurut
„Âsyûr, pembunuhan yang dilakukan semena-mena terhadap jiwa-jiwa yang tidak
melakukan pelanggaran syariat maka perilakunya itu dapat dipastikan hanya
berasaskan nafsu.4 Prinsip kesetaraan (musawa) itu kemudian dibebankanlah
kepada semua manusia di muka bumi untuk menjadi ciptaan-Nya dan juga
menjadi khalifatullah fil ‘ardh (pemimpin di muka bumi). Manusia diberikan oleh
Allah kebebasan untuk memilih yang terbaik, tidak terkecuali memilih untuk
hidup dan memberi manfaat kepada banyak orang.
Salah satu prinsip maqâsid bagi Ibn „Âsyûr adalah adanya kebebasan
dalam syariat. Dalam konteks ayat di atas pembunuhan kepada jiwa anak-anak
tidak dibenarkan, selagi keberadaan jiwa anak-anak yang dimaksudkan tidaklah
menentang aturan syariat Islam. Oleh itu semua manusia memiliki hak yang sama
untuk hidup dan menjalankan aktivitas kehidupan di masyarakat, selagi tidak
melawan aturan syariat dan hukum yang berlaku. Manusia diberikan oleh Allah
kebebasan untuk memilih yang terbaik, tidak terkecuali memilih untuk hidup dan
memberi manfaat kepada banyak orang.
Akhirnya, dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapat dalam ayat
al-Quran Al-Isra 31 ini kemaslahatan bersama, menjaga ciptaan Allah Swt, dan
mengaktualkan syariat Islam secara benar yang dapat memberi kemaslahatan baik
bagi orang tua, anak-anak dan juga masyarakat secara umum. Memberikan
kesempatan hidup untuk semua manusia dan anak-anak dalam konteks ini adalah
bentuk kemaslahatan menurut Ibn „Âsyûr. Sebab dengan begitu, syariat Islam
akan terus lestari dan jiwa menjadi terjaga dengan baik.
4 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 122.
90
B. Tafsir QS. al-Isra : 17/33
فس الت حرم الله إال بالق ومن قتل مظلوما ف قد جعلنا لوليه سلط ال يسرف ف القتل انا ف وال ت قت لوا الن
.إنه كان منصورا
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)yang benar. Dan barang siapa
dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Ayat di atas juga merupakan larangan Allah kepada umat manusia untuk
menjaga jiwa, yaitu larangan untuk membunuh jiwa manusia yang tidak
dibenarkan secara syariat untuk dijatuhi hukum bunuh. Jiwa yang boleh dibunuh
berdasarkan syariat ialah seperti orang yang keluar dari Islam setelah iman dan
orang yang melakukan zina setelah ihsan.5 Secara tersirat dalam ayat tersebut
dipahami bahwa pembunuhan jiwa seperti model demikian adalah bentuk
kedzaliman. Ayat tersebut juga merupakan larangan kepada orang-orang jahiliyah
untuk tidak membunuh anak-anak mereka karena hanya akan merugikan individu
mereka dan juga merugikan banyak orang.6
Larangan untuk membunuh jiwa yang Allah haramkan dalam ayat ini
juga merupakan bentuk maqâsid ‘âmmah, sebab efeknya bukan saja berhenti pada
tataran individu, namun kemaslahatan bersama. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn
„Âsyûr dalam menjelaskan ayat tersebut, bahwa larangan itu muncul karena
merupakan kemaslahatan Islam secara umum, bukan perseorangan. Dengan tidak
sembarangan membunuh manusia yang tidak memiliki urusan dengan hukum
maka akan melestarikan konsistensi Islam dan pemeluknya terkait hukum Islam.
Ajaran agama akan terus lestari jika ditampilkan dengan kemaslahatan untuk
5 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid xiii, h. 78-79.
6 Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Ad-Dur Al-Mansur Fi Tafsir bi Al-Ma’tsur, (Qum: Maktabah
Ayatullah Al-Mar‟asyi An-Najafi, 1440), jilid 3, h. 181.
91
banyak orang7 Oleh karena itu, Islam memberikan kemaslahatan melalui
agamanya, kepada semua manusia.
Secara fitrah, larangan membunuh jiwa-jiwa manusia yang tidak
memiliki kesalahan yang dibenarkan oleh syariat telah menyalahi kaidah aqliyah
dan juga nafsiyah. Sebab secara nalar, membunuh manusia tak berdosa jelas
bukan merupakan tuntutan syariat Islam, Allah telah menggariskan aturan
demikian. Kiranya ayat di atas cukup terang melarang perilaku pembunuhan
terhadap manusia-manusia yang tidak memiliki beban hukuman mati. Dan secara
nafsiyyah manusia menolak untuk melakukan perilaku keji yang jelas-jelas
bertentangan dengan nuraninya. Karena pada dasarnya nurani manusia selalu
menuntun manusia itu untuk berbuat kebaikan dan melaksanakan hal-hal yang
positif, serta menjauhi hal-hal negatif.8 Nurani yang hanya mengarahkan kepada
perilaku-perilaku yang tidak memberikan kemalsahatan sesungguhnya bukan
nurani itu sendiri, namun sekadar hawa nafsu.
Dalam prinsip maqâsid Ibn Âsyûr, pembunuhan terhadap manusia yang
tidak dibenarkan syarîat Islam jelas melanggar ajaran tasammuh atau toleransi.
Karena melakukan pembunuhan demikian menganggap diri sebagai manusia yang
memiliki kekuatan hebat yang tidak peduli dengan aturan serta kekuatan Allah
yang jauh lebih besar. Dalam kaitannya dengan ayat-ayat Allah, orang yang
sombong hanya akan mendapatkan balasan siksa di neraka jahanam sebagai
tempat yang paling buruk bagi semua manusia yang telah melanggar aturan
Allah.9
Perilaku pembunuhan sebagaimana di atas juga mencederahi tatanan
kesetaraan seluruh manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt dan sebagai
mandat kekhalifahan di muka bumi. Karena dalam prinsip kesetaraan berbanding
lurus dengan kemaslahatan untuk orang banyak. Setiap orang memiliki
kesempatan hidup yang sebenarnya telah Allah berikan. Sedangkan pembunuhan
7 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, Al-Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Mesir: Dar Al-Kitab
Al-Mishri, 2010), h.151. 8 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 223.
9 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 24, h. 248.
92
dengan tanpa sebab apapun jelas bertolak belakang dengan salah satu prinsip
kenapa syariat Islam diturunkan, yaitu menjaga jiwa-jiwa manusia. 10
Perilaku membunuh jiwa yang tidak bersalah juga telah melanggar
kebebasan sesama makhluk ciptaan-Nya. Sebab di mata Allah Swt, seluruh
makhluk secara fisik memiliki pandangan yang sama di mata Allah dan hanya
ketakwaan yang membedakannya. Selain itu, membunuh manusia-manusia yang
tidak berdosa dan Allah haramkan juga merupakan pemicu orang lain untuk
melakukan pelanggaran kejahatan membunuh. Karena prinsip dasar agama adalah
tidak boleh melukai siapapun yang tidak memiliki latar belakang kesalahan yang
mencederahi syariat Islam.
Dengan ayat ini, Ibn „Âsyûr memberikan penegasan sebagaimana ayat
sebelumnya, bahwa menjaga jiwa adalah ajaran syariat Islam. Ayat ini
menuntun manusia untuk melaksanakan keyakinan agama dengan cara-cara
yang maslahat dan tidak mencederahi kemanusiaan, yaitu dengan cara
menjaga setiap jiwa manusia yang tidak memiliki catatan kriminal di mata
hukum Islam. Membunuh jiwa manusia tanpa sebab apapun sama halnya
dengan membunuh syariat Islam yang dasarnya melarang manusia untuk
melakukan pembunuhan kepada yang tidak berdosa. Pembunuhan kepada jiwa
manusia hanya jika ia melakukan pembunuhan kepada orang lain dengan
tujuan memberikan pelajaran bagi orang yang lainnya untuk tidak melakukan
hal yang serupa.
C. Tafsir QS. al- Maidah: 5/32
نا على بن إسرائيل أنه من ق تل ن فسا بغري ن فس أو فساد ف األرض ف ا ق تل الناس من أجل ذلك كتب كأن
يعا وم نات ث إن كثريا من ج يعا ولقد جاءت هم رسلنا بالب ي ا أحيا الناس ج هم ب عد ذلك ف ن أحياها فكأن
األرض لمسرفون
10 Yusuf Ahman Muhammad Al-Badawi, Maqasid Al-Syariah Inda Ibn Taimiyyah, (t.tp: Dar
An-Nafais, t.th), h. 127.
93
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa:
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keteranga yang
jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Ayat ini merupakan peringatan dari Allah kepada Bani Israil untuk
menjaga jiwa-jiwa sesama mereka, yaitu dalam bentuk larangan untuk membunuh
jiwa orang yang tidak melakukan pembunuhan atau tidak melakukan kerusakan di
muka bumi. Larangan pembunuhan dalam ayat ini diadakan karena
mambahayakan, yaitu akan meniadakan jiwa-jiwa yang tidak salah. Yang jika
dibiarkan, maka perilaku demikian tidak menuntut kemungkinan akan berefek
pada munculnya pembunuhan-pembunuhan lain berikutnya, yang berakhir pada
hilangnya kehidupan banyak manusia di muka bumi. Bahkan dalam ayat tersebut
pembunuhan demikian itu seperti membunuh seluruh manusia.
Dari sisi historisnya, ayat ini turun sebagai peringatan kepada Bani Israil
yang selalu mengikuti hawa nafsunya dengan melakukan pembunuhan kepada
jiwa-jiwa manusia di antar golongan mereka. Bani Israil melakukan pembunuhan
terhadap jiwa manusia dan melakukan kerusakan di muka bumi dengan masif dan
terus berkelanjutan. Padahal, jelas-jelas Allah telah melarang perbuatan-perbuatan
keji membunuh dan merusak muka bumi sejak zaman Nabi Adam hingga Bani
Israil dan hingga umat selanjutnya.11
Secara tegas, larangan membunuh dalam konteks ayat ini mengandung
maqâsid al-Qurân dalam prinsip maqâsid Alqurân Tahir Ibn „Âsyûr, yaitu agar
terjadi kemaslahatan bersama berupa tidak ada kematian yang tidak wajar yang
terjadi di muka bumi, yaitu dengan cara tidak membuat pembunuhan kepada
orang-orang yang enggan bersalah ataupun dengan cara membuat kerusakan di
11
Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Ad-Dur Al-Mansur Fi Tafsir bi Al-Ma’tsur, (Qum: Maktabah
Ayatullah Al-Mar‟asyi An-Najafi, 1440), jilid 3, h. 181.
94
muka bumi yang merupakan sarana publik. Selain itu, kemaslahatan juga agar
tidak terjadi banyak hukuman pembunuhan, yang ditengarai oleh satu
pembunuhan yang awal. Sebab dalam syariat, pembunuhan harus dibalas dengan
pembunuhan. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Maidah: 45:
Dari sisi fitrahnya, manusia siapapun enggan untuk melakukan
membunuh jiwa yang tidak berdosa dan melakukan kerusakan di bumi. Sebab dua
perilaku tersebut sudah pasti ditolak oleh syariat agama dan juga oleh jiwa kita
sendiri. Karena jiwa siapapun pasti menolak untuk menyetujui pembunuhan
kepada orang yang tidak bersalah dan atau membunuh orang yang tidak
melakukan kekerasan di muka bumi. Jiwa manusia pada dasarnya selalu mengajak
manusia kepada jalan yang positif. Dalam kaitannya dengan ini, Tâhir Ibn „Âsyûr
mengaitkan dengan ayat lain yang menyatakan bahwa fitrah manusia akan selalu
baik dan selalu mengikuti yang lurus.12
Prinsip yang juga penting dalam maqâsid al-Qurân Ibn „Âsyûr adalah
samahah atau toleransi. Pada umumnya, toleransi dilakukan manakala ada dua
pihak yang memiliki perbedaan pandangan atau tindakan.13
Maka dalam kasus
ayat di atas, sebenarnya tanpa mengajukan prinsip toleransi yang memang
menjadi gagasan maqâsid al-Qurân Ibn „Âsyûr, pembunuhan yang
berlatarbelakang dari ketiadannya kesalahan merupakan perbuatan yang jelas-jelas
melanggar aturan syariat jelas-jelas harus dijauhi. Apalagi dalam prinsip samahah
identik dengan menjaga jiwa-jiwa manusia. Oleh itu ayat ini secara tegas sudah
memberikan makna yang tersirat bahwa pembunuhan yang tidak berasaskan
hukuman syariat merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Sebab
perbuatan demikian jelas tidak dapat menjaga jiwa orang lain,yang padahal dalam
agama jiwa manusia sangat mahal jika dibandingkan dengan apapun.14
Di samping itu, dalam prinsip musawa atau kesetaraan, semua manusia
memiliki hak yang sama di mata Allah dan juga hak untuk hidup dengan tetap
tunduk pada hukum-hukum yang berlaku. Oleh hal itu membunuh jiwa manusia
yang tidak berdosa maka sama saja dengan membunuh hukum yang diberlakukan.
12 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 22, h. 117. 13
Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, Al-Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 99-100. 14
Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 5, h. 117.
95
Dalam konteks Bani Israil, pembunuhan yang dilakukan oleh sebagian mereka
maka sama saja dengan pembunuhan yang dialamatkan kepada diri mereka.
Sebagaimana menurut Tahir Ibn „Âsyûr, samahah adalah perilaku yang harus
dikedepankan dalam keseharian manusia, karena itu berasaskan keadilan dan
bertolak dari perilaku mendahulukan hawa nafsu.15
Selain itu, pembunuhan terhadap jiwa yang tidak memiliki urusan
hukum dengan syariat Islam adalah menolak kebebasan (hurriyah). Sebab
pembunuhan yang demikian jelas-jelas merupakan pelanggaran kebebasan
manusia yang memiliki hak hidup di muka bumi Allah Swt. Perilaku pembunuhan
kepada jiwa-jiwa yang Allah haramkan berarti membatasi ruang gerak manusia
lain untuk menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi. Padahal, misi
kekhalifahan sendiri merupakan cita-cita besar untuk membuat kemaslahatan
banyak orang.16
Oleh itu hemat penulis, hurriyah adalah prinsip mendasar dalam
beribadah dan muamalah selagi tidak melangar aturan syariat Islam, karena
prinsip ini memberi dampak dorongan keikhlasan manusia dalam menjalankan
amanah dari Allah Swt.
Akhirnya, ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa maqâsid al-Qurân
yang terkandung dalam larangan pembunuhan jiwa manusia yang tidak berurusan
dengan hukum adalah kemaslahatan supaya tidak terjadi banyak pembunuhan,
baik dalam bentuk qisash atau dalam bentuk efek dari kebebasan pembunuhan
tersebut yang bisa menular kepada orang lain untuk melakukan pembunuhan-
pembunuhan yang serupa.
D. Tafsir QS. al- An’am: 151
ا أوالدكم من إمالق لو قل ت عالوا أتل ما حرم ربكم عليكم أال تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا وال ت قت
فس الت ها وما بطن وال ت قت لوا الن حرم الله إال بالق نن ن رزقكم وإياهم وال ت قربوا الفواحش ما ظهر من
ذلكم وصاكم به لعلكم ت عقلون
15 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, Al-Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 99.
16 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 1, h. 382.
96
Katakanlah:" Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-
anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,
baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu
kepadamu supaya kamu memahami (nya).
Ayat ini pun merupakan larangan-larangan Allah kepada umat manusia,
dari mulai larangan memperssekutukan-Nya, larangan tidak berbakti kepada orang
tua, dan larangan untuk tidak menjaga jiwa anak-anak, dengan membunuhnya
yang ditengarai oleh persoalan ekonomi. Ketiganya merupakan larangan-larangan
yang menjadi fokus larangan Allah dalam satu ayat di atas. Artinya, bukan hanya
larangan untuk mmebunuh jiwa-jiwa manusia. Sekiranya konteks ayat ini mirip
dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyangkut larangan untuk membunuh anak
kecil perempuan yang tidak berdosa dan dilatarbelakangi oleh problem ekonomi.
Ayat ini turun manakala terdapat sebagian orang yang taat kepada tuhan
mereka namun mereka masih menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan dan
mengharamkan apa-apa yang Allah anggap halal. Dari sebagian hal-hal tersebut
adalah mereka menghalalkan pembunuhan terhadap anak-anak mereka dan juga
membunuh orang-orang yang tidak salah secara syara’. Padahal jelas-jelas hal
demikian diharamkan oleh Allah Swt.17
Ayat ini kembali mengcounter perilaku-
perilaku pembunuhan yang terjadi pada saat ayat terebut turun.
Larangan membunuh baik kepada anak-anak ataupun orang lain secara
umum yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam akan memberi damapak
kemaslahatan yang bukan saja bagi individu tertentu akan tetapi kemaslahatan
untuk banyak orang. Hal itu karena dengan tidak melakukan pembunuhan akan
memberikan kemaslahatan untuk orang banyak, seperti akan terus lestarinya
kehidupan di muka bumi dan ditaatinya hukum-hukum Allah, khususnya tentang
17
Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 8, h.
60.
97
hukum larangan membunuh. Sebab melakukan pembunuhan yang tidak karena
hukum Allah, seperti melakukan qishas maka sama halnya dengan melanggar
hukum Allah.
Hal tersebut di atas berkaitan dengan nalar aqliyah setiap manusia, yang
jelas-jelas menolak tindakan pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syariat.
Secara fitrah kejiwaan (fitrah nafsiyah), membunuh dengan model demikian di
atas juga merupakan tindakan yang sama sekali bertentangan dengan jiwa manusia
yang selalu menghendaki kebaikan. Apalagi hanya karena alasan enggan mampu
ataupun takut tidak dapat mengurus atau memberikan kesejahteraan kepada anak-
anak, hal demikian itu sama sekali tidak sejalan dengan fitrah manusia.
Kekurangan harta tidak dapat dijadikan alasan untuk membunuh orang lain.
Karena setiap manusia yang lahir Allah telah jamin rizkinya.18
Menurut Ibn
„Âsyûr, perilaku membunuh anak-anak dengan alasan takut akan tidak bisa
memberikan kesejahteraan hanyalah asumsi belaka yang tidak lain muncul dari
hawa nafsu yang tak terkontrol dengan baik.19
Dari pernyataan Ibn „Âsyûr ini jelas
bahwa Islam tidak membenarkan perilaku pembunuhan hanya karena masalah
ekonomi yang menimpanya.
Dalam persoalan tersebut di atas, tentu saja Allah memberikan toleransi
kepada orang tua yang tidak mampu memberikan nafkah kepada anak-anaknya.
Karena prinsip dari agama tidaklah membebani manusia dalam bentuk cobaan
atau tindakan yang di luar kemampuan yang dimilikinya.20
Allah merupakan Dzat
yang menjamin kesejahteraan setiap makhluk bukan saja manusia kapanpun dan
di manapun.
Di samping itu, perilaku membunuh baik terhadap anak-anak ataupun
orang lain yang tidak dibenarkan oleh syara; bertentangan dengan prinsip
diadakannya agama (syarîat Islam) yang menuntut untuk menjaga jiwa-jiwa
manusia, terlebih jiwa-jiwa yang tidak memiliki pelanggaran dengan syarîat
18
Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 117. 19
Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 118. 20
Lihat Qs. Al-Baqarah: 286: نفسا إاله وسعها لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت ال يكلف Artinya: Allah للاه
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
98
Islam. Sehingga menurut Ibn „Âsyûr, perilaku demikian itu hanyalah berdasar dari
hawa nafsu, dan bukan sama sekali timbul dari tuntunan keimanan.21
Setiap manusia memiliki kebebasan untuk hidup di muka bumi dalam
rangka mengemban amanah khalifah di muka bumi sejak nabi Adam hingga
kapanpun.22
Oleh karena itu, menjaga jiwa dengan tidak membunuh anak-anak
yang hanya dikarenakan urusan kesejahteraan, atau membunuh orang yang tidak
memiliki catatan kriminal agama, adalah suatu keharusan. Karena dengan
demikian syariat Islam telah dilakukan dengan sesuai ketentuan agama yang
menjunjung tinggi jiwa-jiwa manusia yang tidak ada alasan untuk menghargai
kebebasan hidupnya.
Ayat tersebut di atas jelas merupakan laranga melakukan pembunuhan
kepada anak-anak dan orang yang tidak berdosa. Maqâsid Alqurân memberikan
maksud bahwa ayat ini melarang melakukan pembunuhan yang tidak dibenarkan
syariat Islam.
E. Relevansi Penafsiran Pendekatan Tafsir Maqâsidi
Dalam prinsip maqâsid syarî’ah, suatu hukum yang digali dari sumber-
sumbernya harus memberikan kemaslahatan untuk kehidupan manusia. Makna
terdalam dari sumber-sumber hukum Islam ialah kemaslahatan itu sendiri.
Begitupun dalam prinsip tafsir maqâsidi Tahir Ibn „Âsyûr, ayat-ayat Alqurân yang
ditelaah dengan menggunakan tafsir maqâsidi memiliki relevansi penafsiran yang
universal yang mengacu kepada tujuan-tujuan didirikannya syarîat Islam. Yaitu
sebagai berikut:
1. Memelihara Pesan Universal Alqurân
Alqurân merupakan kalamullah yang mengandung makna yang sangat
luas. Hingga Alqurân sendiri menegaskan bahwa jika lautan menjadi tinta untuk
menuliskan apa yang dikandung oleh Alqurân maka niscaya air laut itu akan habis
21
Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 118. 22
Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 33, h. 140.
99
sebelum ayat-ayat Alqurân itu dijelaskan.23
Pernyataan Alquran tersebut
dibuktikan dengan kemucnulan ribuan kitab-kitab tafsir yang ditulis dalam rangka
menjelaskan sekaligus mengurai apa-apa yang ingin dimaksudkan Allah melalui
Alqurân. Disadari atau tidak, satu kitab tafsir dengan kitab tafsir yang lain
memiliki penjelasan yang berbeda-beda dalam menjelaskan satu ayat Alqurân.
Selain itu, masih banyak persoalan-persoalan yang belum tuntas bahkan tidak
akan pernah tuntas dari persoalan yang ada dalam Alqurân.
Penafsiran dengan menggunakan pendekatan maqâsid al-syarî’ah, yang
kemudian dikenal dengan istilah tafsir maqâsidi, dihadirkan oleh para ulama
termasuk Tahir Ibn „Âsyûr dalam rangka menemukan penafsiran yang holistik
serta menghadirkan makna Alqurân kepada esensinya.24
Sebagaimana lima prinsip
dalam maqâsid al-syarî’ah, yaitu hifz ad-din, hifz an-nafs, hifz aql, hifz nasl wal
mal dan hifz ‘irdh, maka penafsiran dengan pendekatan tafsir maqâsidi juga
menemukan muara yang sama, yaitu menghadirkan penafsiran yang dapat menjadi
jembatan teraktualisasinya lima prinsip diadakannya syarîat Islam di atas.
Jika melihat kembali pendefinisian makna tafsir yang dikemukakan oleh
Nasruddin Baidhan, yang menyatakan bahwa tafsir adalah usaha menemukan
makna yang dikandung Alqurân, baik dari sisi hukum dan hikmah yang ada di
dalamnya25
, maka pendekatan tafsir maqâsidi kiranya relevan dengan tujuan yang
ingin dicapai dengan menafsiri kalam ilahi tersebut. Sebab tafsir maqâsidi
berusaha menemukan makna yang universal dari ayat-ayat Alqurân yang relevan
dengan tujuan-tujuan didirikannya syarîat Islam. Makna universal itu termasuk
dalam empat ayat yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Yaitu sebagian
darinya tidak dibolehkan membunuh anak-anak perempuan dengan alasan
kekurangan rizki. Karena pada dasarnya rizki setiap individu hamba telah
ditetapkan. Dan, Allah mentolerir hamba-Nya untuk tidak memaksakan
memberikan kesejahteraan kepada anak-anak mereka, dengan mengalihkannya
23
Lihat Qs. Al-Kahfi: 109: لكلمات رب لنفد البحر ق بل أن ت نفد كلمات رب و لو جئنا مدادا قل لو كان البحر بثله مددا
Katakanlah:" Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk( menulis )kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis( ditulis )kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu( pula ). 24
Halil Thahir, Ijtihad Maqâshidî rekontruksi hukum Islam berbasis interkoneksitas
maslahah,(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,2015), h. 78 25
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 65.
100
kepada lembaga-lembaga pengelolah zakat untuk orang-orang yang tidak mampu.
Dengan begitu, tujuan syarîat terpenuhi, yaitu terjaganya jiwa-jiwa manusia.
Makna universal Alqurân yang dapat ditangkap dari pesan maqâsid
Alqurân juga bermaksud bahwa Alqurân diturunkan untuk seluruh alam, bukan
saja untuk umat Islam. Tafsir maqâsidi memberi relevansi pesan universal
Alqurân dalam arti bahwa sasaran Alqurân bukan saja orang muslim, namun juga
non muslim, bahkan tanpa mempertimbangkan ideologi, kepercayaan, suku dan
ras.26
Alqurân diturunkan untuk memberikan rahmat untuk seluruh alam.
2. Menghasilkan Makna Alqurân yang Mendalam
Ciri khas dalam tafsir maqâsidi adalah menemukan makna Alqurân yang
mendalam untuk menghasilkan kemaslahatan untuk umat.27
Sebagaimana
dinyatakan oleh Tahir Ibn „Âsyûr, bahwa dalam tafsir maqâsidi dengan
mendialogkan antara teks-teks Alqurân dan maqâsid syarî’ah, ialah dalam rangka
untuk mencapai sebuah interpretasi atas Alqurân yang mendalam, yang bukan saja
berhenti kepada teks Alqurân, namun juga berlanjut kepada kontekstual untuk
melahirkan kemaslahat untuk orang banyak.28
Dalam persoalan perintah untuk menjaga jiwa (hifz an-nafs) dengan
merujuk ayat-ayat Alqurân yang secara sepintas melegalkan melakukan
pembunuhan kepada jiwa-jiwa manusia, bahkan kepada manusia yang tidak
berdosa, kedudukan tafsir maqâsidi patut dikedepankan. Dengan mengunakan
tafsir maqâsidi, tujuan yang ingin dicapai melalui ayat-ayat Alqurân tentang
menjaga jiwa akan digali secara mendalam sesuai dengan tujuan ditegakannya
syarîat, yang salah satunya untu menjaga jiwa-jiwa manusia.29
Jika melihat pada latar belakang lahirnya tafsir maqâsidi, tafsir ini lahir
dari pertentangan antara dua teori tentang apakah suatu ibrah diambil dari
kekhususan lafaz dan bukan dari keumuman sebab/peristiwa, atau justru
sebaliknya, yaitu suatu hukum diambil dari keumuman lazaf dan bukan dari
kekhususan sebab. Dua konsep ini kemudian dicarikan tengah-tengahnya dengan
melahirkan satu teori baru, yaitu bahwa ibrah tergantung kepada sejauh mana
26
Irwan Masduqi, Ketika Nonmuslim Membaca Alquran, (Bandung: Mizan, 2010), h. 34. 27
Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari’ah, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2015), h. 37 28
Muhammad Tahir Ibn „Ashur, Al-Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 40. 29
Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 1, h. 39-40.
101
maqâsid syariah yang diimplementasikan.30
Merujuk pada pertentanga dua hal di
atas, para pakar maqâsid syarî’ah, seperti As-syâtibî dan Tahir Ibn Âsyûr
mengagas tafsir maqâsidi untuk menemukan tafsir atas ayat Alqurân secara
mendalam, yaitu dengan taori tafsir maqâsid Alqurân.31
Dari pernyataan As-Syâtibî dan „Âsyûr tersebut dapat ditangkap suatu
pemahaman yang hemat penulis lebih penting, bahwa poin terpenting penafsiran
yang mendalam ialah bukan berhenti kepada pendalaman makna kata atau
pengembangan kalimat-kalimat Alqurân. Yang lebih penting dari itu bahwa
penafsiran yang mendalam adalah penafsiran yang dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari dan memberikan kemaslahatan untuk seluruh umat manusia
tanpa melihat perbedaan yang melatarbelakanginya.
3. Menghadirkan Kehendak Syariat, Bukan Kehendak Manusia
Di era modern seperti sekarang, untuk menemukan pemaknaan atas
Alqurân yang memberikan kemaslahatan melahirkan tafsir-tafsir kontemporer
yang hanya berbasis hermeneutika Alqurân. Telah banyak tokoh-tokoh tafsir yang
dikenal sebagai pakar hermeneutika tafsir Alqurân, baik dari Barat maupun dari
Islam itu sendiri yang menafsirkan Alqurân terhenti kepada akal dan logika
berfikirnya.32
Padahal Alqurân tidak mungkin dipahami hanya dengan akal
semata, namun juga diperlukan seperangkat keimanan dan keyakinan terhadap
wahyu Allah tersebut.33
Model pendekatan hermeneutika ini meskipun tujuannya untuk
menemukan kemaslahatan untuk orang banyak, namun melahirkan problem
tersendiri, yaitu karena hanya mengedepankan akal, dan lepas dari nash syarîat
Islam.34
Hal ini yang kemudian juga melahirkan para tokoh Islam yang menolak
metode tafsir Alqurân dengan menggunakan tafsir hermeneutika.35
30
Kusmana, Epistemologi Tafsir Maqasidi, Mutawatir , Vol. 6 No. 2 (Desember, 2016), h.
208. 31
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 242. 32
Abdul Hadi. W.M, Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, (Jakarta: Sadra Press, 2014), h.
67. 33
Hal ini serupa dengan kisah Nabi Nuh dan anaknya; Kan‟an, di mana 5000 tahun yang lalu
ia enggan mau diajak ayahnya untuk naik ke Perahu, dengan alasan ia mampu untuk naik gunung untuk
menghindari banjir bandang yang menimpa kaum Nabi Nuh As saat itu. Pada akhirnya Kan‟an
tenggelam di dalam banjir, karena hanya mempertimbangkan akal, dan tidak mengikuti iman. 34
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Malang: UB Press, 2011), h. 60. 35
Abdul Hadi W.M, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, (Jakarta: Sadra Press, 2016), h.
194.
102
Selain dinilai sebagai tafsir yang hanya terhenti kepada akal dan lepas
dari nash Alqurân, teori tafsir ini juga ditolak sebagian tokoh karena berasal dari
dunia Barat yang dinilai tidak cocok untuk dijadikan sebagai metode memahami
Alqurân. Islam dinilai telah memiliki kaidah-kaidah tafsir Alqurân dan ulum al-
Qurân yang sudah disusun oleh para ulama tafsir untuk memahami ayat-ayat
Alqurân.
Pendekatan tafsir maqâsidi kiranya menjawab problem kontemporer
yang mengharuskan hadirnya tafsir Alqurân yang kontekstual dan memberikan
kemaslahatan kepada umat manusia. Tafsir maqâsidi tidak murni menggunakan
akal, namun tetap dalam kerangka nash-nash agama dan syarîat Islam. Tafsir
maqâsidi memberikan pemaknaan atas Alqurân tidak memurnikan akal untuk
menghasilkan kemaslahatan umat melalui ayat-ayat Alqurân, tetapi tetap
berpegang teguh kepada syarî‟at.
Dalam kasus ayat-ayat penjagaan jiwa sebagaimana di atas dibahas
misalnya, satu ayat Alqurân menjadi salah satu instrumen untuk memahami ayat
Alqurân yang lainnya. Karena prinsip dalam maqâsid Alqurân ialah tetap menjaga
nash syarîat dan pertimbangan akal untuk menemukan penafsiran yang universal-
komprehensif.
4. Menjelaskan Ayat Muhkam dan Mutasyâbih
Sebagaimana diketahui secara umum bahwa ayat-ayat Alqurân baik yang
muhkam ataupun yang mutasyabih semuanya bersumber dari Allah Swt. Ayat-
ayat muhkam adalah ayat Alqurân yang maknanya mudah dipahami, sedangkan
ayat-ayat mutasyabih sebaliknya, yang tidak semua orang dapat memahaminya.
Oleh itulah para ulama melakukan pengkajian yang mendalam guna menemukan
dan mengetahui rahasia dan hikmah dalam ayat-ayat mutasyâbih.
Keberadaan ayat-ayat mutasyâbih merupakan rahmat dari Allah Swt bagi
manusia yang kemampuannya lemah dan tidak dapat mengetahui segala sesuatu.
Namun di samping itu, ayat-ayat mutasyabih ini juga merupakan ujian dan cobaan
bagi manusia, apakah mereka percaya dengan apa yang disampaikan oleh Allah
melalui ayat-ayatnya tersebut. Ayat-ayat demikian itu sebagai bukti kelemahan
dan kebodohan manusia. Seberapa besar ilmunya, namun Allah Swt Yang mampu
mengetahu segala sesuatu.36
36
Adul Hayy, Pengantar Ushul Fikh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 265.
103
Tafsir maqâsidi adalah salah satu pendekatan untuk memahami ayat-ayat
muhkam dan mutasyâbih dengan berusaha menemukan titik maqâsid setiap ayat
yang hendak ditafsirkan. Melalui pendekatan ini dapat diketahui maksud ayat
dengan berpacu kepada tujuan-tujuan syarîat Islam yang hendak dicapai melalui
ayat-ayat Alqurân.
Setiap ayat Alqurân memiliki pemaknaan yang universal yang dipastikan
memberikan kemaslahatan untuk umat manusia, tidak terkecuali ayat-ayat
mutasyabihat. Dengan pendekatan tafsir maqâsidi pemaknaan atas Alqurân untuk
menuju kepada makna tersebut dapat ditemukan, yaitu dengan berpacu kepada
kemaslahatan-kemaslahatan untuk umat manusia secara luas.
5. Mengetahui Ayat Mujmal dan Mubayan
Sebagaimana muhkam dan mutasyâbih, ayat-ayat Alqurân juga terdiri
dari ayat-ayat yang mubayyan dan ayat-ayat yang mujmal. Ayat-ayat mubayyan
adalah ayat yang dapat dipahami maknanya berdasarkan ayat-ayat setelah atau
yang sebelumnya. Sementara ayat-ayat mujmal adalah ayat-ayat yang samar, yang
untuk memahaminya perlu bantuan ayat-ayat yang lainnya.37
Untuk mengkaji dan menlaah ayat-ayat demikian diperlukan sebuah
perangkat penafsiran yang relevan, untuk kemudian mendapatkan penafsiran yang
dikehendaki suatu ayat. Salah satu misi tafsir maqâsidi adalah mengungkap
makna ayat sesuai dengan kebutuhan dan konteks, untuk kemudian menawarkan
sebuah kemaslahatan untuk orang banyak. Dalam konteks ayat-ayat mujmal,
posisi tafsir maqâsidi kiranya cukup relevan untuk dijadikan satu pisau analisa
untuk menelaah ayat-ayat mujmal, dan tentu saja ayat-ayat mubayyan untuk
mengetahui penafsiran yang sesuai dengan apa yang ingin dikehehendaki Allah
melalui ayat-ayat Alqurân-Nya.
Dalam konteks ayat-ayat menjaga jiwa-jiwa manusia sebagaimana
dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, penafsiran dengan pendekatan tafsir
maqâsidi dengan kaitannya dengan ayat-ayat mujmal menemukan korelasinya.
Yaitu ketika menjelaskan QS. Al-Ma‟idah: 32:
Dimana ayat di atas dapat dipahami sebagai hukuman bagi seseorang yang
membunuh maka juga harus dibunuh dengan bersandar kepada ayat Alqurân yang lain,
yaitu QS. Al-Ma‟idah: 45:
37
Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran,
(Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 226.
104
فس والعي بالعي واألنف باألنف واألذن باألذن وا فس بالن نا عليهم فيها أن الن ن والروح وكتب ن بالس لس
ارة له ومن ل يكم با أن زل الله فأولئك هم الظالمون قصاص ف ق به ف هو كف من تصد
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa
yang melepaskan (hak qisas)nya. maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Relevansi tafsir maqâsidi, yaitu tafsir yang berpacu kepada tujuan-tujuan
syarîat, dalam ayat ini berupa penjagaan jiwa-jiwa manusia, terealisasikan dalam
menjelaskan QS. Al-Ma‟idah: 32 dengan bantuan ayat lain, dalam hal ini QS. Al-
Ma‟idah: 45.
105
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
1. Tafsir Maqâsidi sebagai salah satu bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara
menggali makna yang tersirat dalam lafaz-lafaz al-Qur’an dengan
mempertimbangkan tujuan yang terkandung di dalamnya. Menurut Ibn ‘Âsyûr
maqâsid al-syarî’ah adalah yang hendak dinilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar
yang melandasi hukum-hukum syarî’at yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia, kemaslahatan yang hendak diwujudkan melalui hukum-hukum syariat
tersebut, karakter-karakter yang mencirikan keunggulannya, serta aturan-aturan
hukum untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud. Ibn ‘Âsyûr membagi
maqâsid al-syarî’ah menjadi dua, yaitu maqâsid al-syarî’ah al-‘âmmah dan
maqâsid al-syarî’ah al-khassah. Maqâsid al-Syarî’ah al-‘âmmah adalah nilai-
nilai dan prinsip-prinsip dasar maslahat yang hendak diwujudkan melalui hukum-
hukum syarî’at atau sifat-sifat khas yang mencerminkan keunggulan syarî’at
Islam, tujuan umum, serta prinsip-prinsip yang dimiliki syarî’at Islam.
Selanjutnya Ibn ‘Âsyûr membagi maqâsid al-syarî’ah al-‘âmmah menjadi lima
bagian, yaitu: fitrah (al-fitrah), toleransi (al-Samâhah), maslahat (al-maslahah),
kesetaraan (al-musâwah), dan kebebasan (al-Hurriyah). Sedangkan maqâsid al-
syarî’ah al-khassah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang disyarî’atkan untuk
melindungi kemaslahatan umum serta hikmah atau tujuan-tujuan yang hendak
diwujudkan melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum dimaksud. Batasan
khusus dalam konteks ini ialah khusus pada rumpun-rumpun hukum muamalat
yang terdiri atas enam kategori, yaitu: hukum kekeluargaan, hukum perniagaan,
hukum ketenagakerjaan, hukum tabarruʻat, hukum peradilan dan kesaksian, serta
hukum (sanksi) pidana.
2. Dalam menafsirkan ayat-ayat hifdz al-nafs dengan tinjauan maqâsid al-syarî’ah,
prinsip-prinsip yang dipegang dan menjadi landasan berfikir Ibn ‘Âsyûr adalah
106
tujuan umum syarîat, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Ayat-ayat Hifdz al-Nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi
dengan teori maqâsid al-syarî’ah yang ia bangun. Ayat-ayat hifdz al-nafs yang ia
tafsirkan terdapat relevansi penafsiran dengan tafsir maqâsidi Ibn ‘Âsyûr ialah
memelihara pesan universal ayat-ayat al-qur’ân, menghasilkan makna alqurân
yang mendalam, menghadirkan kehendak syarî’at, bukan kehendak manusia,
menjelaskan ayat-ayat muhkam mutasyâbih dan menjelaskan ayat-ayat mujmal-
mubayyan. Dalam penafsirannya, Ibn ‘Âsyûr juga banyak memberikan contoh-
contoh dan perumpamaan bagi orang-orang yang menjaga jiwanya.
B. Saran
Kajian Alqurân dengan pendekatan tafsir maqâsidi merupakan kajian yang
sangat urgen untuk terus dilakukan. Kajian yang dilakukan oleh penulis masuk
dalam kategori pembahasan hukum syarî’at, yaitu menjaga jiwa-jiwa manusia.
Kajian tafsir maqâsidi juga akan menjadi lebih menarik jika dikonteksualisasikan
dalam persoalan humaniora, sosial-politik, ujaran kebencian di media, dan
bullying. Tujuannya tentu saja menghadirkan tafsir Alqurân berbasis maqâsid al-
syarî’ah yang sejalan dengan kemaslahatan banyak orang dalam persoalan-
persoalan di atas yang mana akhir-akhir ini menjadi persoalan yang banyak
didiskusikan dan dicarikan solusinya.
107
DAFTAR PUSTAKA
ʻAbâdiy, Abdullâḥ, al-. Syarḥ Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid: Syarḥ, wa
Taḥqîq wa Takhrîj, 1416/1995. t.t.p.:
‘Âsyûr, Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin, 1984, Tafsîr at-Taḥrîr wa at-Tanwîr, Tunis: ad-Dâr at-
Tunusiyyâh lin-Nasyr.
_______,2001Maqâṣid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, cet. 2, tahkik Muhammad aṭ-Ṭâhir al
Misâwiy. Jordania: Dâr an-Nafâ`is.
_______.Uṣûl an-Niẓâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm. Tunisia: al-Syarikah at-Tûnusiyah, t.t.
Auda, Jâser, 2015, Membumikan Hukum Islam melalui Maqâsid Syarî’ah, terj. Rosidin
dan Ali Abd Mun‘im. Bandung: Mizan.
_______,2013, Al-Maqâsid Untuk Pemula terj.’Ali ‘Abdel mon’im. SUKA-Press UIN
Sunan Kalijaga: Yogyakarta.
Azizy, Jauhar, dan Faizah Ali Syibromalisi, 2012, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Arifin, Miftahul, 1997, Ushûl Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, Surabaya:
Citra Media.
Badawi, Yusuf Ahman Muhammad, Maqâsid Syarî’ah ‘inda ibn Taymiyyah, 2009,
Riyadh: Dâru al-Suma’I li al-Nashr wa al-tauzi’.
Bahiyyah, Abdullâh Ibn, 'Alaqah Maqâsid al-syarî’ah bi Ushûl al-Fiqh, 2006. London: al
Furqan Islamic Heritage Foundation.
Bâqiy, Muhammad Fuâd ‘Abdul, al-Mu’jam al- Mufahras, Bandung: Diponegoro.
Bassâm, Abdullah Bin Abdurrahmân bin Ṣâiḥ, al-. Tauḍîḥ al-Aḥkâm min Bulûg al
Marrâm, 1430/2009, cet. 2, Riyâḍ: Dâr al-Maimân.
108
Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Rûh al-Bayan, 1114, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islami.
Baidan, Nasruddin, 2005, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakri, Asafri Jaya, Maqâsid Syarî’ah menurut Al- Syâtibî, 1996, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Fazlurahman, 1996, Tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Pustaka.
_______, 1984, Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Ghâly, Balqâsim, Shaikh al-Jâmi’ al-A’ẓam Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr: Ḥayâtuh wa
Âṡâruh, 1417/1996. Beirût: Dâr Ibn Ḥazm.
Hadi, Abdul, 2014, Hermenutika Sastra Barat dan Timur, Jakarta: Sadra Press.
_______, 2016, Hermenutika, Estetika, dan Religiusitas, Jakarta: Sadra Press.
Hamidi, Jazim, 2011, Hermenutika Hukum, Malang: UB Press.
Hamidi, Abdul Karim, al-Madkhal ila Maqâsid al-Qur’an,2007, Riyadh: Maktabah ar-
Rusyd.
Hasbullah, Ali, Ushûl al-Tasyri’ al-Islami, 1971, Mesir: Dâr al-Ma’arif.
Hayy, Abdul, 2014, Pengantar Ushûl Fiqh, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Jawwaz, Yazid Bin Abdul Qadir, 2016, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, Depok:
PT. Niaga Swadaya.
Khadimi, Nuruddun al-Mukhtar, Al-Munasabah Al-Syar’iyyah wa Tatbiquha Al-
Mu’asirah, 2006, Beirut: Dâr Ibn Hazm.
Katsir Ibn, Ismail Ibn Umar, Tafsir al-Qur’an, 1419, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.
Mahmud, Mani’ Abd Halim, 2006, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para
ahli Tafsir terj. Faisal Saleh dan Syahdianor, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
109
Marâghî, Muhammad Mustafa, Tafsir al-Marâghî, 1970, Beirut: Dâr At-Turats al-Islami.
Masudi, Masdar F, 2010, Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Alvabet.
Masduqi, Irwan, 2010, Ketika Nonmuslim Membaca al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Manzur, Ibnu, Lisanul Arab, 1119, Kairo: Dâr al-Ma’ârif.
Mawardi, Ahmad Imam, 2010, Fiqhi Minoritas; Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqâsid
al-syarî’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKIS.
Munawir, Ahmad Warson, 1997, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progressif.
Mustaqim, Abdul, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS.
_______, 2016, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Studi Aliran-aliran Tafsir dari
periode Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer.Yogyakarta:
Idea Press.
Mudzakir Yusuf, dan Abdul Mujib, 2003, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Qurtubî, al-Jâmi al-Ahkam al-Qur’an, 1988, Beirut: Dâr al-Fikr.
Raisuni, Ahmad, Nazhariyyat al-Maqâsid ‘Inda al-Imam al-Syâtibî, 1992, Libanon: al-
Mussasah al-Jami’ah li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’.
Rohidin, 2017, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga
Indonesia, Yogyakarta: Aksara Books.
Safriadi, (2014), Maqâsid al-Syarî’ah Ibn Âsyûr , Aceh: Sefa Bumi Persada.
Saeed, Abdullah, 2015, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al-
Qur’an, terj. Lien Iffah. Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata.
Shidiq, Sapiuddin, 2011, Ushûl Fiqh, Jakarta: Kharisma Putra Utama.
110
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah :Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an ,2004,
Tangerang: Lentera Hati.
_______, 2015, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati.
Surakhmad, Winarto, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiyah, Bandung: Tarsito.
Suyûtî, Jalâl al- Dîn, Ad-Dur al-Mansur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur, 1440, Qum: Maktabah
Ayatullah al-Mar’asyi an-Najafi.
Asyadzili, Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahhim, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, 1312, Beirut: Dâr al-
Syuruq.
Thahir, Halil, 2015, Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas
Maslahah,Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara.
Taymiyah, Ibnu, Maqâsid al-Syarî’ah, Dâr an-Nafais.
Thaba’taba’I, Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, 1417, Qum: Mu’assisah Linasyri al-
Ilmi Fi Hauzah.
Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Jami’al-Bayân fi Tafsir al-Qur’an, 1412,
Beirut: Dâr al-Ma’rifah.
Zaid, Nashr Hamid Abu, 2002, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,
Yogyakarta: LKIS.
Zahra, Muhammad Abu, 2010, Ushûl Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Zarqani, Muhammad Abdul ‘Adzim, Manahilul ‘irfan fî ulûmi Alqurân, 1988, Beirut: Dâr
al-Fikr.
Zarkashî (al), Badr al-Dîn Muhammad, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz ke-1, 1957,
Beirût: Dâr al-Ma‘rifah.
111
Referensi Jurnal dan Makalah:
Halim, Abdul (2011), Epistemologi Tafsir Ibnu ‘Âsyûr dalam kitab tafsir al-Tahrîr wa al-
Tanwîr, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hayati, Nilda (2014), Tafsir Maqâsidî (Telaah atas penafsiran Taha Jâbîr al-Alwanî
terhadap ayat-ayat Riddah),Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mubarok, Moh.Husni (2017), Nilai-nilai al-Qur’an dalam Pancasila; Pendekatan tafsir
maqâsidî atas Pancasila sila pertama dan kedua, Skripsi UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Mufidah, Azmil (2013), Tafsir Maqâsidî (Pendekataan Maqâsid al-Syarî’ah Tahîr Ibn
Âsyûr dan aplikasinya dalam tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr), Skripsi UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Muhtamiroh, Siti (2013), Muhammad Thâhîr bin ‘Âsyûr dan Pemikirannya tentang
Maqâsid al-Syarî’ah, Jurnal at-Taqaddum, UIN Walisongo Semarang, Vol.
5, No.2
Mutamam, Hadi (2013), Analisis Kritik Kontribusi Tafsir Kontemporer, Jurnal: al-Fikr,
Vol.7, No.1
Ningrum, Tantri Setyo (2019), Wacana Istri Sebagai Pencari Nafkah Pemahaman Husein
Muhammad Atas Penafsiran Q.S An-Nisa 4:34 dan At-Thalaq 64:6-7,
Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sa’adah, Faridatus (2012), Tafsir Maqâsidî (Kajian Kitab Ahkam al-Qur’an Karya Abû
Bakar Ibn al-‘Arabi), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sutrisno (2012), Paradigma Tafsir Maqâsidî, Jurnal Rausyan Fikr, Vol.13,No.2
Umayyah (2016), Tafsir Maqâsid Metode Alternatif dalam Penafsiran al-Qur’an, Jurnal
Diya al-Afkar, Vol. 4. No.01
Wathani, Syamsul (2016), Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqâsidi; Pendekatan Sistem
Intterpretasi, Jurnal Suhuf, Vol. 9, No. 2.