hifdz al-nafs dalam al-485’a1 : 678di daa0 afi5 ib ‘...

127
i HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN : STUDI DALAM TAFSIR IBN ‘ÂSYÛR Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Eva Muzdalifah 11140340000255 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2019 M

Upload: others

Post on 15-Jan-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

i

HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN : STUDI DALAM TAFSIR

IBN ‘ÂSYÛR

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Eva Muzdalifah

11140340000255

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M

Page 2: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

の ZИじヽAFS DAL劇 AL口QUR'AN:STUDI DALAM TAFSIR

IBN`ASYUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas UshuluddinUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

01ch

Eva ⅣIuzdalifahll140340000255

FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAPI NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA144011/2019 ⅣI

1071983031010

Page 3: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

PENGESAⅡAN PANITIA UЛ臨N

Skripsi beゴ udul“ 朋″ αJ=Ⅳ″b dalam al…Qur'an:studi dalam TafsI Ibn`Asゴ、r

``telah dttikan dalam sidaIIlg mllnaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas lslam NegeH

SyarifHidayamlah Jakarta pada 14 A〔 孵tus 2019。 Skripsi ini dherima sebagai salah satu

syarat memperolch gelar sttana agama(s.AD padaPrOgraln lhu d― Qur'all dan Taお士.

Jakarta,14 Agustus 2019

Sidang Munaqasyah

Dekan/Ketua Merangkap Anggota

Sekretaris Sidang

ι

Kusmana,Ph.D.MANIP.1965042419950310001

Kusmana,Ph D、 PIA .NIP 19650424 199503 1 0001

Fahrizal Mahdi,Lc.MIRKHNIP.198208162015031004

Anggota:

NI]P.196009081989031

NIP.195

Page 4: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nalna

NIM

:Eva ⅣIuzdalifall

:11140340000255

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hifdz al-Nafs dalam al-Qur'an:

Studi dalam Tafsir Ibn 'Asyflr adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak

melakukan tindakan plagiat dalam penyusurumnya. Adapun kutrpan yang ada dalam

penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya

bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya

orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat unhrk dipergunakan seperlunya

Jakarta,10 Juli 2019

Eva Muzdalifall

V

Page 5: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

v

ABSTRAK

Eva Muzdalifah

Hifdz al-Nafs dalam al-Qur’an: Studi dalam Tafsir Ibn ‘Âsyûr

Keilmuan tafsir jauh berkembang pesat dalam khazanah keilmuan dunia.

Ragam pendekatannya pun semakin melebar, Ibn „Âsyûr seorang ahli pakar tafsir

kontemporer sekaligus pakar maqâsid al-syarî’ah berusaha menafsirkan al-Qur‟an

dengan menggunkan pendekatan tafsir maqâsidi. Tafsir maqâsidi adalah sebagai salah

bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat dalam

lafaz-lafaz al-Qur‟an dengan mempertimbangkan tujuan yang terkandung di

dalamnya. Dalam Skripsi yang berjudul “ Hifdz al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam

Tafsir Ibn „Âsyûr” ini, penulis berusaha untuk mencari relevansi penafsiran ayat-ayat

hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr terhadap maqâsid al-syarî’ah.

Di dalam tafsirnya, Ibn „Âsyûr menafsirkan ayat-ayat tersebut melalui analisis teks,

sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai tujuan hukum. Ibn „Âsyûr

sebagai penerus al-Syâtibî tidak membatasi maqâsid al-syarî’ah pada tataran ushûl al-

khamsah saja, namun juga prinsip fitrah (al-fitrah), toleransi (al-samâhah), maslahat

(al-maslahah), kesetaraan (al-musâwah), kebebasan (al-hurrîyah).

Dalam menafsirkan ayat-ayat hifdz al-nafs dengan tinjauan maqâsid al-

Syarî’ah, prinsip-prinsip yang dipegang dan menjadi landasan berfikir Ibn „Âsyûr

adalah tujuan umum syarî‟at, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak

kemafsadatan. Ayat-ayat hifdz al-nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi penafsiran

dengan tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr ialah memelihara pesan universal ayat-ayat al-

qur‟ân, menghasilkan makna alqurân yang mendalam, menghadirkan kehendak

syarî‟at, bukan kehendak manusia, menjelaskan ayat-ayat muhkam mutasyâbih dan

menjelaskan ayat-ayat mujmal-mubayyan.

Kata Kunci : Maqâsid al-Syarî’ah, Ibn ‘Âsyûr, ayat-ayat hifdz al-nafs

Page 6: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

vi

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمه الرحيم

Alhamdulilah atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi

Muhammad Saw, semoga kita mendapat syafaat Rasulullah di hari kiamat nanti.

Alhamdulilah dengan izin Allah, skripsi ini bisa diselesaikan dengan judul “Hifdz al-

Nafs dalam al-Qur‟an : Studi dalam tafsir Ibn ‟Âsyûr “. Skripsi ini ditulis untuk

memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Islam

program stratasatu (S1) jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama proses studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga penulisan

skripsi ini, banyak kesulitan yang dialami penulis dalam penyusunan skripsi ini dan

penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan

lancar tanpa keterlibatan dari beberapa pihak yang memberikan kontribusi, baik itu

berupa bantuan, motivasi, material, dan spiritual. Pada kesempatan kali ini, penulis

ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.

3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag, dan bapak Fahrizal, selaku ketua jurusan dan

sekretaris jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dan

administrasi.

4. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi

penulis yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesabarannya dalam

memberikan bimbingan dan arahan-arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dosen penasihat akademik, walid Dr. Ahsin Sakho Muhammad, banyak

memberikan bantuan dan masukan kepada penulis selama studi di kampus

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis.

Page 7: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

vii

7. Pimpinan dan staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakan

fakultas Ushuluddin, perpustakaan Imam Jama‟ Lebak Bulus yang telah

memberikan bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi

data-data pada skripsi penulis.

8. Kedua orang tua penulis, Ibunda tercinta Ibu Sukriyah dan Bapak Rifa‟i,

kedua adikku Salsabila dan Fadia yang telah banyak memberikan motivasi

dan do‟a kepada penulis baik dari segi materi maupun jiwa sehingga bisa

menyelesaikan skripsi.

9. Para kiyai dan guru yang telah mendidik penulis agar menjadi orang yang

bermanfaat dan berakhlak baik. Terimakasih kepada segenap keluarga besar

PP. Dar al-Tauhid Arjawinangun, khususnya abah K.H. Abdurahman Ibnu

Ubaidilah Syatori selaku pengasuh PP. dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Yang telah memperkenalkan kepada saya dasar-dasar ilmu-ilmu Islam kepada

saya.

10. Sahabat-sahabatku Lailatul Fajriyah, Karlinah, Suci Khasanah, Ulfiyaul

Khoiroh, Teman-teman kosan Dwi Nurul Aini, Faizah Mahda, Riri Anggraini,

Rizkiyatun Khozaitunah, Mega Hasiya, Siti Lutfiyah, Firokhmatillah, ka Ilda,

dan mba ria. Teman-teman KKN “PENTAS” yang selalu memotivasi penulis.

Sedulur-sedulur keluarga persatuan Mahasiswa dan Alumni Pondok Pesantren

Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon( PERMADA) khususnya ka

Atmanegara yang selalu memberikan motivasi dan dorongan, masukan serta

kritikan kepada penulis.

11. yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. Teman

seperjuangan IQTAF 2014 khususnya TH G semoga kalian semua selalu

menebarkan kebaikan dan memberikan semangat satu sama lainnya.

Akhirnya, penulis berharap agar apa yang telah ditulis dapat

bermanfaat bagi semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas

khazanah.

Jakarta, 10 Juli 2019

Penulis

Page 8: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi dari Keputusan SK Rektor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017.

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih aksara

atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga konsistensi,

aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.

Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja

oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,

khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam

penerapan dan konsistensinya.

Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara

lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,

kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan

digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New

Roman, atau Times New Arabic.

Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,

pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi

di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri

hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini

disusun dengan logika yang sama.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

- Tidak Dilambangkan

b Be

t Te

ts te dan es

Page 9: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

ix

J Je

ẖ h dengan garis di bawah

kh ka dan ha

d De

dz de dan zet

r Er

z Zet

s Es

sy es dan ye

s es dengan garis di bawah

ḏ de dengan garis di bawah

ṯ te dengan garis di bawah

ẕ zet dengan garis di bawah

ʻ koma terbalik di atas hadap

kanan

gh ge dan ha

f Ef

q Ki

k Ka

l El

m Em

n En

Page 10: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

x

w We

h Ha

ˋ Apostrof

y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin

Keterangan

A Fatẖ ah

I Kasrah

U Ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i

Au a dan u

Page 11: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

xi

3. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا- Â a dengan topi di atas

Î i dengan topi di atas ى

و- Û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah

maupun huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân, bukan ad-diwân

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setalah kata sandang

yang diikuti oleh hurf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata الضرووة tidak ditulis “ad-

darûrah” melainkan “al-ḏ arūrah”, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯ ah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta matbûtah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

(lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 Ṯ arîqah

Page 12: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

xii

2 Al-jâmi‟ah al-

islâmiyah

3 Waẖ dat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam aksara

ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimt, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis

dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau

kata sandangnya (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hamîd Al-Ghazâlî,

al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisana nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd

al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاذ

tsabata al-ajru ثبت ألجر

Page 13: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

xiii

العصرية الحركة al-ẖ arakah al-„asriyyah

asyhadu an lâ ilâha illâ شهد أن ال إله إال اهلل

Allâh

Maulânâ Malik al-Sâlih موالوا ملك الصالح

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama

orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak pelru dialihaksarakan.

Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd, Mohamad Roem, bukan

Muẖ ammad Rûm, Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Raẖ mân.

Page 14: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

xiv

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................ ……………i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................... …………...ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................... …………...iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................. …………...iv

ABSTARAK ......................................................................... …………...v

KATA PENGANTAR .......................................................... …………..vii

DAFTAR ISI ......................................................................... …………...ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... …………...xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................. ……………1

B. Identifikasi Masalah ................................................... ……………5

C. Batasan Masalah .......................................................... ……………6

D. Perumusan Masalah .................................................... ……………6

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................... ……………6

F. Tinjauan kajian terdahulu ........................................... ……………7

G. Metode Penelitian ........................................................ …………...10

H. Sistematika Penulisan .................................................. …………...11

BAB II KONSEP PENDEKATAN MAQÂSID SYARÎ’A DAN TAFSIR

MAQÂSID IBN ÂSYÛR

A. Maqâsid al-Syarî‟ah.. .............................................. …………....13

1. Pengertian……………………………………………………13

2. Sejarah Perkembangan Maqâsid al-Syarî‟ah………………...15

3. Urgensi Maqâsid al-Syarî‟ah………………………………....21

B. Tafsir Maqâsidi………………………………………………....25

1. Pengertian……………………………………………………25

2. Sejarah Perkembangan Tafsir Maqâsidi……………………..28

3. Urgensi Tafsir Maqâsidi……………………………………..35

C. Hifdz al-Nafs ........................................................... ……………40

1. Pengertian……………………………………………………40

2. Hifdz al-Nafs dalam al-Qur‟an………………………………42

D. Penafsiran ayat-ayat Hifdz al-Nafs ......................... ……………46

1. Tafsir Klasik…………………………………………………46

Page 15: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

xv

1.1. Tafsir At-Thabâri………………………………………..46

1.2. Tafsir Ibn Katsir………………………………………...48

1.3. Tafsir al-Buruswi………………………………………..49

2. Tafsir Modern………………………………………………..50

2.1. Tafsir Al-Maraghi……………………………………….51

2.2. Tafsir Fi Zilali Qur‟an…………………………………..53

2.3. Tafsir Al-Misbah………………………………………..54

BAB III IBN ‘ÂSYÛR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

A. Latar Belakang Sosiokultural ................................. ……………57

1. Riwayat Hidup……………………………………………….58

2. Pendidikan, dan Karir Intelektual……………………………60

B. Karya Dan Pemikiran…………………………………………...62

1. Karya-Karya………………………………………………….63

2. Pemikiran Maqâsid Syarî‟ah Ibn „Âsyûr…………………….64

2.1. Maqâsid al-Syarî‟ah al-„Âmmah………………………..64

2.2. Maqâsid al-Syarî‟ah al-Khassah………………………...73

C. Tafsir Ibn „Âsyûr Dan Tafsir Maqâsidi………………………..79

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Tahrîr wa al-Tanwîr ……...79

2. Karakteristik Tafsir ………………………………………….80

3. Metode Penafsiran…………………………………………....81

4. Sumber Penafsiran……………………………………………82

5. Kontribusi Tafsir Ibn „Âsyûr dalam Pengembangan Tafsir…..84

BAB IV TAFSIR AYAT-AYAT HIFDZ AL-NAFS PERSPE TIF IBN ‘ÂSYÛR

DAN RELEVANSINYA TERHADAP TAFSIR MAQÂSIDI

A. Tafsir QS. al-Isra 31 ............................................. …………....87

B. Tafsir QS. al-Isra 33 ............................................. …………....90

C. Tafsir QS. al-Maidah 32……………………………………….92

D. Tafsir QS. al-An‟am 151………………………………………95

E. Relevansi Penafsiran Pendekatan Tafsir Maqâsidi……………98

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................ …………...105

B. Saran ...................................................................... …………...106

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….107

Page 16: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan bacaan umat Islam, kalam Allah SWT yang

tidak ada keraguan di dalamnya1, dokumen dan petunjuk bagi manusia serta

berbagai julukan lainnya. Kendati pun demikian, al-Qur‟an bukanlah seâbuah

risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Eksistensi Tuhan benar-benar

bersifat fungsional, dia adalah pencipta serta pemelihara alam semesta dan

manusia, terutama sekali dialah yang memberi petunjuk kepada manusia nanti,

baik secara individual maupun secara kolektif, dengan keadilan yang penuh

belas-kasih.2

Di samping menelurkan beberapa prinsip kebaikan, al-Qur‟an juga

membicarakan permasalahan terkait konsep yang agung yakni menjaga jiwa.

Istilah tersebut belakangan dalam perspektif Maqâsid al-Syarî’ah disebut

dengan hifz al-nafs. Meski pun al-Qur‟an sudah menggariskan prinsip menjaga

jiwa (hifz al-nafs), pada tataran realitasnya telah terjadi berbagai kasus yang

justru bertentangan dengan asas hifz al-nafs. Sebagaimana yang terekam

dalam QS. al-Baqarah [1]: 94 :

ار اآلخرة عند اللو خالصة من دون الناس ف تمن وا الموت إن كنتم صادقني قل إن كانت لكم الد

Artinya: Katakanlah "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung

akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain,

Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar. Ayat selanjutnya

menegaskan kembali:

مت أيديه م واللو عليم بالظالمني ولن ي تمن وه أبدا با قد

1 Muhammad Abdul „Adzim al-Zarqaniy, Manahilul ‘irfan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid 1 2 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), h. 9

Page 17: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

2

Artinya: dan sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu

selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh

tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang

aniaya.

Dua ayat di atas menjelaskan tentang kematian. Perbedaanya, ayat

yang pertama berbicara perihal orang yang menghendaki kematian tanpa

sebab yang jelas. Kemudian ayat selanjutnya menegaskan ayat dengan

memberi gambaran kematian itu disebabkan karena perbuatan manusia itu

sendiri. Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya menjelaskan keinginan

adalah sesuatu yang terpendam di dalam hati. Karena itu, perintah

berkeinginan di atas harus dipahami dalam arti lakukan hal-hal yang

menunjukan secara pasti bahwa mereka ingin. Ayat ini dapat juga menunjukan

bahwa jangankan berbuat atau mengucapkan sesuatu yang menunjukan

keinginan mereka untuk mati, menghadirkan kematian dalam benak mereka

serta membayangkannya pun tidak mereka inginkan. 3

Kata )لن( lan, yang dipakai ayat ini digunakan untuk menafikan sesuatu

untuk selama-lamanya. Allah yang mengetahui isi hati semua makhluk dan

menyelami pikirannya masing-masing, menyampaikan secara pasti bahwa )لن(

lan, yakni sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama-

selamanya. Memang, semua orang ingin hidup lama, tetapi ada yang bersedia

mengorbankan jiwanya untuk meraih sesuatu yang luhur di akhirat kelak.

Sikap mereka yang ingin hidup selama mungkin itu, disebabkan karena

kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri,

maksudnya adalah apa yang mereka lakukan selama ini tidak menjadikan

mereka wajar mendapat ganjaran pahala atau terhindar dari siksa, apalagi

Allah maha mengetahui orang-orang yang berlaku aniaya. Bahkan tidak aka

nada di antara mereka yang menginginkan kematian itu, disebabkan karena

perbuatan-perbuatan buruk mereka yang menjadikan mereka takut mati.4

Jika kembali kepada kitab tafsir, penafsiran al-Qur‟an telah

berkembang sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam buku yang ditulis

Abdul Mustaqim yang berjudul “dinamika Sejarah al-Qur‟an”. Periode tafsir

3 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an, (Ciputat:

Lentera Hati,2000), jilid 1, h.270 4 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an, (Ciputat:

Lentera Hati,2000), jilid 1, h. 271

Page 18: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

3

dibagi menjadi tiga bagian, yakni mazhab tafsir abad klasik (Abad I-II H/6-7

M), periode pertengahan (Abad III-IX H/ 9-15 M), dan periode modern-

kontemporer (Abad XII-XIV/ 18-21 M). Dapat disimpulkan dari buku yang

ditulis Abdul Mustaqim tersebut, tafsir Ibn Âsyûr termasuk kitab tafsir

modern-kontemporer mengingat munculnya kitab ini adalah di penghujung

abad ke-20. Pemikiran Ibn „Âsyûr dalam tafsirnya merupakan sumbangsih

besar dalam ranah keilmuan, khususnya dalam bidang tafsir.dinamika

penafsiran terus berlanjut.5

Pada era sekarang ini, di samping sumbangsih para ulama dalam

menafsirkan al-Qur‟an, muncul wacana penafsiran secara tekstual-

kontekstual.6 Hal ini bisa diidentifikasi karena beberapa sebab di antaranya

adalah masih banyak orang yang mengadopsi ayat al-Qur‟an secara tekstual-

literal. Sehingga, implikasinya bagi sebagian umat Islam ialah melakukan

aksi-aksi yang menurutnya memiliki landasan teks al-Qur‟an yang sejatinya

hal tersebut bertentangan dengan prinsip menjaga jiwa yang terkandung dalam

al-Qur‟an itu sendiri.7 Contoh riil dalam masalah ini seperti aksi terorisme,

hukuman mati bagi pengguna narkoba, dan kasus pembunuhan orang tua

terhadap anaknya karena takut miskin.8

Kitab karangan Ibn „Âsyûr dengan pendekatan Maqâsidi telah menarik

perhatian akademis muda yang ingin menarik benang merah dari tujuan

syari‟at yang diterapkan dalam Islam, sebagaimana diketahui bahwa semua

hukum yang Allah turunkan dan Allah perintahkan semata-mata memiliki

tujuan masing-masing. Ibn „Âsyûr adalah seorang pakar Maqâsid Syari’ah

penerus Al-Syâtibî, seorang bapak maqâsid syari’ah. Ibn „Âsyûr juga seorang

mufassir yang dikenal dengan karyanya al-Tahrîr Wa al-Tanwîr, dan dengan

5 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an,(Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 1-

10 6Salah satu cendekiawan kontemporer yang membicarakan hal ini ialah Abdullah Saeed. Lihat

Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan) 2016. 7 Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang

membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena

membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. QS.

Al-Maidah [5]: 32. 8QS. Al-Isra [17]:31 Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh

mereka adalah suatu dosa yang besar.

Page 19: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

4

latar belakang keilmuan tersebut, tak heran jika kitab tafsirnya memiliki

pendekatan maqâsid syari’ah.

Dalam sejarahnya tafsir ini adalah sesuatu yang relatif baru, terutama

dalam posisinya sebagai pendekatan dalam tafsir. Hal ini berangkat dari

kaidah di kalangan penganut tafsir kontemporer al-ibrah bi maqâsidi al-

syari‟ah. Kaidah ini berusaha mencoba mencari sintesa kreatif ketika

menafsirkan teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyariatkannya sebuah

doktrin. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur‟an harus difahami dari sisi pesan

moral atau maqâsid syari’ahnya.9

Problem urgen dalam penafsiran berkutat dalam dua kaidah dasar,

yakni al-ibrah bi ‘umûmi al-lafzi lâ bi khusûsi al-sababi (ketetapan makna

didasarkan pada universalitas keumuman teks, bukan pada kekhususan sebab),

yakni metode tafsir yang berorientasi tekstual, bertumpu pada kerangka

berpikir verbal-tekstual, serta penjelasannya yang mengandalkan nalar bayâni

(teks) yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah normatif kebahasaan. Kedua,

kaidah al-‘ibrah bi khusûsi al-sababi lâ bi ‘umûmi al-lafzi ( ketetapan makna

didasarkan pada kekhususan sebab, bukan pada keumuman (teks), dikenal

dengan metode tafsir kontekstual yang didasarkan pada kerangka piker yang

berkembang dalam metode sosial kontemporer.

Walaupun pembahasan maqâsid al-syari’ah telah banyak dibahas oleh

ulama, namun jarang sekali yang mencoba melakukan pembahasan bagaimana

sesungguhnya al-Qur‟an berbicara tentang tujuan-tujuan umum (al-maqâsid

al-‘amah). Menurut Ahmad al-Raisuni, mengutip pendapat Abd al-Karim

Hamidi, Tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah:

أحكام القرأن أما المقاصد العامة فهي تلك األغرا ض العليا الاصلة من مموعة

“ Maqâsid ‘ammâh adalah tujuan-tujuan luhur yang diperoleh dari

sekumpulan hukum-hukum al-Qur‟ân”10

Kajian maqâsid al-Qurân sendiri, belum menjadi disiplin ilmu di

kalangan para ulama klasik maupun kontemporer. Walau demikian, term

istilah maqâsid al-Qurân terdapat bertebaran dijumpai di dalam karya-karya

9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta 2010),

h. 64 10 .A.Halil Thahir, “Ijtihad Maqasidi Rekontruksi hukum Islam Berbasis Interkoneksitas

Maslahah “(Yogyakarta:LKIS Pelangi Aksara 2015), h. 20

Page 20: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

5

karangan ulama. Beberapa nama yang dapat diidentifikasi sebagai ulama di

bidang maqâsid antara lain,al-Tirmidzi (w.320 H/932 M.), al-Qaffal al-Kabir

(w. 365 H/976 M.), al-„Amiri al-Failasuf (w. 381 H/991 M.), al-Juwaini

(w.478 H/1185 M.), al-Ghazali (w. 505 H/1111 M.), al-Tufi (w.716 H/1318

M), al-Shatibi (w.790 H/1388 M.), Ibn „Âsyûr (w.1393 H/1972 M.) dan „Alal

al-Fasi (w.1394 H/1974 M.).11

Tokoh terakhir di atas yang penulis akan kaji adalah Ibn „Âsyûr.

Sepintas Ibn „Âsyûr merupakan tokoh ulama ahli tafsir sekaligus ulama yang

memiliki keahlian dalam bidang lain yaitu bidang maqâsid al-Syarî’ah.

Dengan melihat posisi dia yang memiliki dua keahlian tersebut, pada

gilirannya penulis tertarik untuk mengkaji kasus yang terjadi pada realitas

dengan menyesuaikan beberapa ayat terkait hifz al-nafs. Kajian itu dibangun

dengan cara meneliti penafsirannya dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.

Instrument yang akan dipaparkan adalah dengan melihat kembali ke teks al-

Qur‟an dan mencari relevansinya dengan realitas sekarang, penulis ingin

menyesuaikan hal tersebut dengan meninjau kembali penafsiran maqâsid

perspektif Ibn „Âsyûr. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji skripsi

dengan judul: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN: STUDI DALAM

TAFSIR IBN ‘ÂSYÛR.

B. Permasalahan Penelitian

1. Identifikasi Permasalahan

Dari uraian yang sudah disebutkan pada latar belakang masalah, dapat

diidentifikasi beberapa masalah yang muncul sebagaimana berikut:

a. Penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-

Tahrîr Wa al-Tanwîr.

b. Latar belakang yang mendorong Ibn „Âsyûr menggunakan pendekatan tafsir

maqâsidi terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-

Tahrîr Wa al-Tanwîr.

c. Metode dan corak penafsiran Ibn „Âsyûr terhadap penafsiran ayat- ayat hifdz

al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.

11

A.Halil Thahir,“Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi hukum Islam Berbasis Interkoneksitas

Maslahah. h. 29

Page 21: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

6

d. Prinsip-prinsip dan kaidah tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr terhadap penafsiran

ayat-ayat hifdz al-nafs.

e. Relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al-syari’ah

terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.

2. Perumusan Masalah

Pemaparan singkat mengenai latar belakang masalah yang telah

disebutkan, perlu dilakukan perumusan terhadap masalah yang akan menjadi

fokus pembahasan penelitian. Rumusan masalah yang hendak diangkat adalah:

1) Bagaimana penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab

al-Tahrîr Wa al-Tanwîr ?s

2) Bagaimana relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al-

syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs ?

3. Pembatasan Masalah

Kajian pemahaman terhadap ayat-ayat hifdz al-nafs penulis membatasi

analisis pada empat ayat al-Qur‟an dalam tiga surat yaitu Q.S al-Isra 17 :31,

33,Q.S al-Maidah 5: 32, dan Q.S al-An‟am 6:151. Ayat yang dipilih penulis

ini karena merupakan hasil dari analisis awal terhadap pencarian kata dasar al-

Qatlu dalam al-Qur‟an dan keempat ayat tersebut memberikan penekanan

terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-Tahrîr Wa al-

Tanwîr.

Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang akan

diteliti pada masalah di atas, kiranya perlu dikemukakan batasan masalah,

pembahasan akan dibatasi pada poin ke 1. Penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-

ayat hifdz al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr. 2. Prinsip-prinsip dan

kaidah tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr terhadap Penafsiran ayat-ayat hifdz al-Nafs.

3. Relevansi penafsiran Ibn „Asyûr dengan pendekatan maqâsid al-Syari‟ah

terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Melihat dari berbagai masalah yang telah disebutkan di atas,maka dapat

dijelaskan tujuan penulisan skripsi ini diantaranya yaitu:

Page 22: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

7

a) Mendeskripsikan bagaimana penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-

nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.

b) Mendeskripsikan bagaimana relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan

pendekatan maqâsid al-syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.

2. Manfaat

Sebagai peneliti, penulis mengharapkan tujuan atas tulisannya untuk bisa

bermanfaat untuk semua orang. Adapun manfaat yang diharapkan dalam

penelitian ini diantaranya:

Kegunaan penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi

keilmuan Islam, khususnya dalam bidang studi ilmu tafsir al-Qur‟an yang

memiliki karakteristik maqâsid al-syari’ah. Adapaun di bidang akademik,

penelitian ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan strata

satu bagi penulis di Fakultas Ushuluddin, Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir

Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai ayat-ayat tentang hifz al-nafs banyak dijelaskan dalam

berbagai tulisan-tulisan dan karya-karya, baik secara ringkas maupun detail.

Begitupun penelitian yang telah dilakukan juga memiliki perbedaan yang

mendasar, seperti beberapa tinjauan pustaka sebagai berikut:

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Husni Mubarok pada

tahun 2017 du UIN Sunan Ampel mengenai Nilai-nilai al-Qur’an dalam

Pancasila; pendekatan tafsir maqasidi atas Pancasila sila pertama dan kedua.

dalam skripsinya ia menjelaskan pendekatan tafsir maqasidi dengan

mencantumkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sila pertama dan

kedua yang mana Pancasila menurutnya meiliki kaitan erat dengan Islam,

khususnya dalam tafsir pendekatan maqasidi ini.12

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nilda

Hayati pada tahun 2014, di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Tafsir maqasidi

12

Moh. Husni Mubarok, “ Nilai-nilai al-Qur‟an dalam Pancasila; pendekatan tafsir maqasidi

atas Pancasila sila pertama dan kedua” skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2017.

Page 23: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

8

(Telaah atas penasiran Taha Jabir Al-Alwani terhadap ayat-ayat Riddah).

Dalam skrispi ini menjelaskan bagaimana Taha Jabir Alwani menafsirkan

ayat-ayat riddah dengan pendekatan maqasid al-shari’ah. Beliau tidak

membatasi maqasid al-shari’ah pada usul al-khamsah saja, namun beliau

punya tiga tingkatan maqasidu al-shari’ah, diantaranya; tingkatan pertama

berupa nilai universal yang terdiri dari tauhid tazkiah dan „umran, yang kedua,

nilai keadilan, kebebasan, dan egalitarianisme kemudian tingkatan ketiga

adalah usul al-khamsah yang terdiri dari hifz din, hifz al-‘aql, hifz al-nafs, hifz

al-nasl, dan hifz al-mal. Skripsi ini bersifat tematik yang membahas seputar

ayat-ayat riddah.13

Pada penelitian selanjutnya adalah penelitian yang ditulis oleh Azmil

Mufidah pada tahun 2013, di UIN Sunan Kalijaga berjudul tafsir maqâsid

(pendekatan maqasid al-Shari’ah Tahir Ibn Asyûr dan Aplikasinya dalam

tafsir al-Tahwîr wa al-Tanwîr). Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana

metodologi pendekatan maqâsid al-Shari’ah yang digunakan Ibnu „Âsyûr

dalam menafsirkan al-Qur‟an. Skripsi ini lebih memfokuskan pembahasan

pada aspek maqâsid al-syari’ah yang diterapkan oleh Ibn „Âsyûr dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Ia memberikan kesimpulan bahwa dengan pendekatan

maqâsid al-syari‘ah Ibn „Âsyûr berarti segala hukum yang disyariatkan oleh

Allah mengandung tujuan dan hikmah. Selain itu, pendekatan ini memberikan

pengetahuan baru tentang metodologi pendekatan dalam penafsiran al-Qur‟an,

sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai solusi produk tafsir

yang selama ini tampak ideologis. Akhirnya, tujuan al-Qur‟an sebagai kitab

petunjuk dan problem solver dapat diaplikasikan.14

Pada skripsinya Faridatus Sa‟adah yang berjdul “Tafsir maqâsidi

(Kajian kitab Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ibn al-‘Arabi)”. Dalam

skripsi ini yang sama menjelaskan tafsir maqâsidi meskipun dalam kitab yang

13

Nilda Hayati, “ Tafsir Maqasidi ( Telaah atas penafsiran Taha Jabir Al-Alwani terhadap

ayat-ayat Riddah),” Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. 14 Azmil Mufidah,” Tafsir Maqasidi (Pendekatan Maqasid al-Syari’ah Tahir Ibn ‘Asyur dan

aplikasinya dalam tafsir al-Tahrir wa al- Tanwir)” Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan

Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

Page 24: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

9

berbeda dengan kajian penulis. Namun, sedikit banyak telah menginspirasi

pemahaman tentang tafsir maqâsidi.15

Abdul Halim dalam skripsinya yang berjudul “ Epistimologi tafsir Ibn

‘Âsyûr dalam kitab tafsir al-Tahrîr Wa al-Tanwîr” Skripsi ini lebih konsen

kepada epistemologi yang digunakan Ibn „Âsyûr dalam kitab al-Tahrîr Wa al-

Tanwîr. Sehingga menyimpulkan bahwa kitab tersebut dapat

dipertanggungjawabkan. Selain itu, Ibn „Âsyûr juga sangat menjaga

konsistensi metodologinya dalam menyusun karya tafsirnya.16

Mani‟‟Abd Halim Mahmud dalam kitabnya Manhaj al-Mufassirrin ,

yang dialih bahasakan oleh Faisal Saleh dan Syahdianor “ Metodologi Tafsir:

Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir” membahas biografi singkat

Ibn „Âsyûr, sekilas tentang kitab tafsirnya dan contoh penafsirannya.17

Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Anas yang berjudul “Studi

Komparatif Maqâsid Al-Qur’ân Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad Al-

Ghazâli dan Rasyîd Rida” yang sama menjelaskan tafsir maqâsid, baik itu

maqâsid al-Qur’an maupun maqâsid al-syari’ah, meskipun dalam tokoh

maqâsidnya itu berbeda dengan kajian penulis. Namun sedikit banyak telah

membantu memberikan pemahaman banyak tentang tafsir maqâsid. 18

Jurnal karya Dr. Kusmana dengan judul “ Paradigma al-Qur’an:

Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran Kuntowijaya. Pada jurnal ini

menjelaskan perkembangan kajian maqâsid. Dan pula tulisan yang didasarkan

studi kepustakaan ini menemukan bahwa corak tafsirnya dapat dikelompokkan

ke dalam semangat Tafsir Maqâsidi Ilmi dengan kecenderungan untuk

mengkontruksi ilmu pengetahuan inspirasi input qur‟ani.19

15

Faridatus Sa‟adah, “ Tafsir Maqasidi (Kajian Kitab Ahkam al-Qur’an Karya Abu Bakar Ibn

al-„Arabi)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2012. 16 Abdul Halim, “ Epistemologi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-

Tanwir,” Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,

Yogtakarta, 2011.

17 Mani‟ „Abd Halim Mahmud, “Metodologi Tafsir : Kajian Komprehensif Metode Para Ahli

Tafsir” terj. Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 313. 18

Muhammad Annas, “Studi Komparatif Maqâsid al-Qur’an Abû Hamid Muhammad Ibn

Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Ilmu al-Qur‟an dan

Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018. 19

Kusmana, “Paradigma al-Qur’an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran

Kuntowijaya” Vol.11 No.2(Desember 2015): h. 220 239

Page 25: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

10

Secara teoritis, dari literatur yang telah disebutkan di atas sangat

membantu penelitian penulis tentang maqâsid al-syari’ah. Namun secara

praktis, menurut penulis, penelitian tersebut belum menyangkut secara detail

bagaimana bentuk pendekatan maqâsid al-syari’ah jika diterapkan dalam

penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an, khususnya dalam kitab al-Tahrîr Wa al-

Tanwîr. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk

memaparkan bagaimana metodologi pendekatan maqâsid al-syari’ah serta

aplikasinya dalam penafsiran al-Qur‟an.

E. Metodologi Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, dituntut untuk menggunakan metode

yang jelas. Metode ini merupakan cara atau aktifitas analisis yang dilakukan

soleh seorang peneliti dalam meneliti objek penelitiannya. Sebagai panduan

kepenulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan karya

ilmiah yang sesuai dengan keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

nomor 507 tahun 2018. Metode yang digunakan yaitu:

a) Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan library research20

(penelitian

kepustakaan) yakni penelitian yang menggunakan sumber kepustakaan untuk

memperoleh data penelitiannya. Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang

dimaksud, kemudian mengolahnya dengan menggunakan keilmuan tafsir.

Dengan ini, dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat kualitatif.

b) Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua kategori.

pertama, data primer yaitu kitab hasil karya Ibn „Âsyûr dalam bidang

penafsiran al-Qur‟an (al-Tahrîr Wa al-Tanwîr) dan dalam bidang ushul al-fiqh

(Maqâsid al-Syari’ah ).

Kedua, data sekunder yaitu buku al-Maqâsid Untuk Pemula karya Jasser

Auda yang dialihbahasakan oleh „Ali „Abdelmon‟im, Membumikan Hukum

Islam Melalui Maqâsid Syari’ah karya Jasser Auda, Fiqh Minoritas Fiqh Al-

Aqlliyyât dan Evolusi Maqâsid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan karya

Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA, Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam

20

Winarto Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiyah (Bandung:Tarsito,1998), hal. 256-261

Page 26: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

11

Berbasis Interkoneksitas Maslahah karya Dr. A. Halil Thahir, MHI, dan

karya-karya yang telah disebutkan pada bagian tinjauan pustaka.

c) Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode penelitian

deskriptif- analitik. Langkah awal yang ditempuh adalah mengumpulkan data-

data, baru kemudian dilakukan klasifikasi dan deskripsi. Metode ini

diaplikasikan ke dalam beberapa langkah berikut: yaitu penelitian yang

berusaha mendeskripsikan dengan jelas gambaran seputar maqâsid syari’ah

yang menjadi landasan bagi tafsir maqâsid. Kemudian, penulis

menggambarkan bagaimana latar belakang kehidupan Ibn „Âsyûr dan

gambaran umum tentang kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr. Dengan dilanjutkan

mendeskripsikan dan menganalisis wujud bentuk penafsirannya yang

menggunakan pendekatan maqâsidi dengan membatasi pada ayat-ayat Hifdz

al-Nafs. Sehingga dihasilkan kesimpulan yang jelas tentang persoalan yang di

teliti.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab:

Bab pertama merupakan pendahuluan dalam penelitian yang meliputi

uraian tentang hal-hal pokok yang mendasari penelitian. Dalam pendahuluan

tersebut terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, penelitian

terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisi pemaparan maqâsid syari’ah, tafsir maqâsidi, dan

hifdz al-nafs, berupa pengertian singkat, sejarah perkembangannya, serta

memaparkan tafsir ayat-ayat hifdz al-nafs.

Bab ketiga, membahas tentang Ibn „Âsyûr dan karya tafsirnya kitab

Tahrîr Wa al-Tanwîr. Pembahasan tentang Ibn „Âsyûr meliputi sejarah singkat

riwayat hidup, riwayat pendidikan, karir intelektual, karya-karya tafsirnya al-

Tahrîr Wa al-Tanwîr meliputi deskripsi naskah tafsir, latar belakang

penulisan, karakteristik, metode penafsiran, serta kontribusi tafsir Ibn „Âsyûr

dalam pengembangan tafsir.

Page 27: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

12

Bab keempat, memuat analisis komprehensif yang merupakan

kelanjutan dari analisis yang telah dimuat pada bab-bab sebelumnya. Dalam

bab ini diuraikan permasalahan-permasalahan yang diangkat dengan

mencantumkan beberapa ayat al-Qur‟an yang terkait dengan tema hifdz al-

nafs. Langkah pertama yang dilakukan dalam bab ini adalah membahas dan

mengurai pandangan ayat-ayat Hifdz al-Nafs tinjauan tafsir maqâsidî menurut

Ibn „Âsyûr dengan merujuk pada penafsirannya yang termuat dalam kitab al-

Tahrîr wa al-Tanwîr. Setelah itu, dikemukakan pula pandangan dan penafsiran

lain yang dijadikan sebagai perbandingan ataupun perluasan cakupan

pembahasan. Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah menjelaskan

relevansi penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dengan konsep maqâsid al-

syari’ah menurut Ibn „Âsyûr.

Bab kelima, merupakan penutup dari pembahasan yang berupa

kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan

kepada peneliti.

Page 28: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

13

BAB II

KONSEP PENDEKATAN MAQÂSID SYARÎ’AH DAN TAFSIR

MAQÂSID IBN ÂSYÛR

Pada bab ini penulis akan menjabarkan beberapa pokok penjelasan

mengenai konsep pendekatan maqâsid syari‟ah dan tafsir maqâsid secara

umum, baik dalam bentuk, macam dan aturan-aturan. Penulis juga menghadirkan

penafsiran-penafsiran baik penafsir klasik maupun modern terhadap term hifdz

al-nafs dalam al-Qur‟an.

A. Maqâsid al-Syarî’ah

1. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah

Ibn „Âsyûr dipandang sebagai tokoh pertama yang memberikan batasan

istilah bagi maqâṣid al-syarî‟ah. Meskipun ia tidak mengemukakan batasan

maqâṣid al-syarî‟ah sebagai satu kesatuan secara khusus dan lugas, tetapi dapat

dipahami dari kategorisasi maqâṣid al-syarîʻah menjadi maqâṣid al-syarîʻah

umum dan maqâṣid al-syarîʻah khusus yang disertai dengan batasan istilah untuk

masing-masing kategori.

Secara etimologi, الشري عةمقاصد (maqâsid al-syarî‟ah) merupakan istilah

gabungan dua kata: مقاصد (maqâsid) dan الشري عة (al-syarî‟ah). Maqâsid adalah

bentuk plural dari مقصد (maqsad), قصد (qashd),1 atau (maqsid) مقصد قصود

(qusûd) yang merupakan derivasi dari kata kerja ي قصد (qasada yaqsudu) قصد

dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil

dan tidak melampaui batas,2 jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan

dan kekurangan. Makna- makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata

qasada dan derivasinya dalam al-qur‟an. Ia bermakna mudah, lurus, dan

1 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari

konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 178 2 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari

konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 179

Page 29: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

14

sedang-sedang saja seperti kalimat dalam surat al-Taubah ayat 42: كان لو

قاصدا وسفرا قريبا pertengahan dan seimbang seperti kalimat dalam surat 35 , عرضا

(fâthir) ayat 32: مقتصد هم dan dengan makna slurus seperti kalimat dalam , ومن

surat 16 (al-Nahl) ayat 9 : جائر ها ومن بيل الس قصد اهلل وعلى . Sementara itu, syarî‟ah

yang secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminologi fiqh

berarti hukum-hukum yang disyari‟atkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang

ditetapkan melalui al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi Muhammad yang berupa

perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi. Dalam definisi yang lebih singkat dan

umum, al-Rasyûni menyatakan bahwa syarî‟ah bermakna sejumlah hukum

„amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi

aqidah maupun legislasi hukum-nya.

Secara terminologis, makna maqâsid al-syarî‟ah berkembang dari makna

yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik. Di kalangan ulama

klasik sebelum al-Syâtibî, belum ditemukan definisi yang konkretdan

komprehensif tentang maqâsid al-syarî‟ah. Definisi mereka cenderung mengikuti

makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan makna-nya. Al-Bannânî

memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnâwî mengartikannya dengan tujuan-

tujuan hukum, al-Samarqandi menyamakannya dengan makna-makna hukum,

sementara al-Ghazâlî, al-Âmidî, dan Ibn al-Hâjib mendefinisikannya dengan

menggapai manfaat dan menolak mafsadat.

Sepeninggal al-Syâtibî, kajian maqâsid al-syarî‟ah menemui kebuntuan

sekian lama, terpendam sekitar enam abad dalam kejumudan intelektual, sampai

hadirnya Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr yang mengangkat kembali kajian

maqâsid al-syarî‟ah sebagai disiplin keilmuan yang mandiri. Ibn „Âsyûr

mengatakan bahwa semua hukum syarî‟ah tentu mengandung maksud dari syâr‟I,

yakni hikmah, kemaslahatan, dan manfaat, dan bahwa tujuan umum syari‟at

adalah menjaga keteraturan umat dan kelanggengan kemaslahatan hidup mereka.

Ibn „Âsyûr mendefinisikan maqâsid al-syarî‟ah sebagai berikut: “Makna-makna

dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syâri‟ dalam setiap

bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis

Page 30: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

15

hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya sebagai sifat, tujuan

umum, dan makna syari‟ah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di

dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperlihatkan secara keseluruhan

tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum”.

Definisi Ibn „Âsyûr ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih

konkrit dan oprasional. Sebagai penegasnya, dia juga menyatakan bahwa

maqâsid al-syarî‟ah bisa saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan syari‟at

dan juga bisa bersifat khusus, seperti maqâsid al-syarî‟ah yang khusus dalam

bab-bab mu‟amalah. Dalam konteks ini, maqâsid al-syarî‟ah diartikan sebagai

kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara‟untuk menjaga kemaslahatan umum

dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan khusus mereka

yang mengandung hikmah.

Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan dalam mendefinisikan

maqâsid al-syarî‟ah, para ulama ushûl sepakat bahwa maqâsid al-syarî‟ah adalah

tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syari‟at.

2. Perkembangan Konsep Maqâsid al-Syarî’ah

Tidak banyak kitab atau buku yang mengungkap perkembangan maqâsid

al-syarî‟ah secara utuh. Kebanyakan karya tentang maqâsid al-syarî‟ah adalah

parsial dan terfokus pada kajian tokoh. Kalaupun kajiannya pada perkembangan

maqâsid al-syarî‟ah secara umum, biasanya berhenti pada al-Syâtibî sebagai

tokoh terakhirnya. Karena itulah perjalanan maqâsid al-syarî‟ah dari konsep nilai

ke pendekatan tidak tergambar secara utuh sebagai suatu perkembangan yang

berkelanjutan, karena perkembangannya sebagai pendekatan, baru menjadi

gambaran yang lebih jelas pasca al-Syâtibî. Ahmad al-Rasyûnî menyediakan data

kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan maqâsid al-syarî‟ah

sampai pada masa pasca al-Syâtibî, yakni sampai pada kemunculan Muhammad

Thâhir Ibn „Âsyûr.

Al-Rasyûnî menyimpulkan bahwa sepanjang masa perkembangan ushûl

fiqh, maqâsid al-syarî‟ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh

sentral, yaitu Imam al-Haramayn Abû al-Ma‟âlî „Abd Allah al-Juwaynî (w.478

Page 31: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

16

H), Abû Ishâq al-Syâtibî (w. 790 H), dan Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr (w.

1379 H/1973 M).3 Penyebutan tiga tokoh ini tentu tidak serta merta

menghilangkan peran Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâsî, al‟Âmiri, al-Ghazâlî, dan

sebagainya yang memiliki andil besar mengawali dan mempertegas konsepsi

maqâsid al-syarî‟ah. Namun, ketiga tokoh di atas menjadi tonggak dan era

penting di mana maqâsid al-syarî‟ah betul-betul tampak mengalami pergesaran

makna.

Setelah Turmudzî al-Hakîm, muncullah al-Qaffâl al-Kabîr yang memiliki

nama asli Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâsî (w. 365 H). Dia dianggap sebagai pengkaji

maqâsid al-syarî‟ah pertama dengan kajian yang lengkap dari sisi cakupan

syari‟atnya. Kitabnya yang berjudul mahâsin al-syarâ‟I fi furû‟ al-shâfi‟iyyah

kitâb fi maqâsid al-syarî‟ah.4 Di halaman pertama manuskrip ini, al-Qaffâl

menyatakan bahwa karyanya ini memang dimaksudkan sebagai jawaban bagi

mereka yang mempertanyakan kebijakan dan keindahan syari‟ah Islam. Istilah

yang digunakan memang mahâsin, tetapi inilah manuskrip tertua yang isinya

adalah persis tentang maqâsid.

Perkembangan berikutnya adalah hadirnya Abû al-Hasan al-„Âmirî (w.

381 H/991 M) dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah. Dia adalah seorang filosof dan

ahli kalam, yang berbeda dengan pengkaji maqâsid al-syaî‟ah sebelumnya yang

rata-rata hanya memiliki expertise (keahlian) dalam bidang fiqh. Dengan

pendekatan filosofisnya, ia menyatakan dalam kitab perbandingan gamanya yang

monumental, al-I‟lâm bi manâqib al-Islâm, bahwa dalam rangka membangun

kehidupan individu dan sosial yang baik dipastikan adanya lima pilar yang harus

ditegakkan, yang tanpanya kemaslahatan tidak akan pernah terealisasi. Lima hal

itu adalah: mazjarah qatl al-nafs (sanksi hukum untuk pembunuhan jiwa),

mazjarah akhdh al-mâl (sanksi hukum untuk pencurian harta), mazjarah hatk al-

satr (sanksi hukum untuk membuka „aib), mazjarah thalb al-„irdh (sanksi hukum

untuk perusakan atau pencelaan kehormatan), dan mazjarah khal‟ al-baydhah

(sanksi hukum untuk pelepasan kehormatan dan ketulusan). Lima poin inilah

yang menjadi cikal-bakal al-dharûriyât al-khams yang menjadi central points

3 Ahmad Rasyûni, “al-Bahts fi maqâsid al-Syarî‟ah”, h. 4-5

4 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari

konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 191

Page 32: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

17

kajian maqâsid al-syarî‟ah stelahnya, seperti al-Juwaynî, al-Ghazâlî, dan

sterusnya.

Imâm al-Haramyn „Abd al-Malik Al-Juwaynî, walaupun tidak pernah

menulis kitab dengan tema khusus maqâsid al-syarî‟ah, adalah nama penting

yang harus disebut ketika memperbincangkan maqâsid al-syarî‟ah. Dia adalah

ulama generasi berikutnya yang telah memaparkan dasar-dasar maqâsid al-

syarî‟ah dengan membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan hierakis, yaitu

dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Karyanya yang monumental yang

berkaitan dengan maqâsid al-syarî‟ah adalah al-Burhân fi Ushûl al-fiqh.

Keberhasilan al-Juwaynî mendeskripsikan maqâsid al-syarî‟ah dengan

pemaparan dasar-dasar maqâsid al-syarî‟ah telah mendorong al-Rasyûnî untuk

menganggapnya sebagai pilar awal perkembangan maqâsid al-syarî‟ah sebagai

disiplin keilmuan.

Kajian al-Juwaynî tentang maqâsid al-syarî‟ah menjadi novel impulse

(pendorong baru) bagi ulama-ulama setelahnya untuk membahas dan

mengembangkannya. Nama yang paling populer setelahnya adalah sang murid

yang jenius, Abû Hâmid al-Ghazâlî, seorang ulama dengan keahlian

multidisipliner. Nama-nama lainnya yang meramaikan kajian maqâsid al-syarî‟ah

pasca al-Juwaynî adalah Ibn Rusyd, Abû Bakr Ibn „Arabî, Fakhr al-Dîn al-Râzî,

Sayf al-Dîn al-Âmidî, „Izz al-dîn bin „Abd al-Salâm, Shihâb al-Dîn al-Qarâfi,

Najm al-Dîn al-Thûfi, Ibn Taymiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah.

Al-Ghazâlî menjadi istimewa dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah kaarena

keberhasilannya menjabarkan aspek dharûriyyât menjadi al-dharûriyyât al-

khams, yang tanpanya maslahah dinyatakan tidak ada. Dialah orang pertama

yang memberikan nama al-dharûriyyât al-khams, menjelaskan secara memadai

dan menyusunnya dengan urutan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai

hal-hal yang dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang berjudul al-mustasyfâ fi „Ilm

al-Ushûl menjelaskan tentang hal ini. Dengan penjelasannya yang lengkap

mengenai konsepsi maslahah dan prinsip-prinsip teoritis hukum Islam, al-

Ghazâlî dikukuhkan dalam sejarah ushûl al-fiqh sebagai peletak dasar ilmu ushul

al-fiqh. Sementara itu, al-„Âmidî adalah orang pertama yang menguji susunan al-

dharûriyyât al-khams di atas dan mengambil posisi berbeda dengan al-Ghazâlî

Page 33: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

18

ketika ia menempatkan posisi “keturunan” sebelum “akal” seperti yang ditulis

dalam kitab Al-Ihkâm Fi Ushûl al-Ahkâm. Selanjutnya, di kalangan para

maqâsidiyyûn, nama „Izz al-Dîn bin „Abd al-Salâm menjadi populer dengan

kitabnya Qawâid Al-Ahkâm fi Mashalih al-Anâm yang menjelaskan secara detail

tentang mashâlih dan mafâsid, yang kemudian menjadi landasan konseptual

kajian maqâsid al-syarî‟ah.

Kajian maqâsid al-syarî‟ah ini mengalami metamorfosis sempurna oleh

hadirnya al-Syâtibî yang telah dikukuhkan oleh sejarah sebagai pendiri ilmu

maqâsid al-syarî‟ah. Sampai saat ini, tak seorang pun yang membahas maqâsid

al-syarî‟ah tanpa menyebut nama al-Syâtibî, sehingga seakan maqâsid al-

syarî‟ah adalah identik dengan namanya.5 Dua kitabnya yang fenomenal adalah

al- I‟tishâm dan al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‟ah. Al-Muwâfaqât adalah kitab

yang secara luas membahas tentang maqâsid al-syarî‟ah, tidak hanya

menjabarkan definisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi sampai pada

kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam berfikir dengan dasar konsiderasi

maqâsid al-syarî‟ah. Al-Syâtibî berhasil menampilkan wajah baru maqâsid al-

syarî‟ah yang lebih dinamis dan aplikatif.

Menurut Jasser Auda,6 ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al-

Syâtibî dalam mereformasi maqâsid al-syarî‟ah. Pertama, pergeseran maqâsid

al-syarî‟ah dari unrestricted interest (kepentingan yang tidak terbatasi dengan

jelas). Maqâsid al-syarî‟ah yang pada masa-masa sebelumnya dianggap sebagai

bagian yang tidak jelas dan tidak diangap sebagai sesuatu yang fundamental

dibantah oleh al-Syâtibî dengan pernyataannya bahwa justru maqâsid al-syarî‟ah

merupakan landasan dasar agama, hukum, dan keimanan (ushûl al-Dîn, wa

qawâid al-syarî‟ah wa kulliyah al-millah). Kedua, pergesaran dari wisdoms

behind ruling (kebijakan atau hikmah di balik antara hukum) ke bases for the

ruling (dasar bagi pengaturan hukum). Menurutnya, maqâsid al-syarî‟ah itu

bersifat fundamental dan universal (kuliyyah) sehingga tidak bisa dikalahkan oleh

juz‟iyyah (parsial). Padangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional

termasuk madzhab Maliki, yang diikuti oleh al-Syâtibî sendiri, yang menyatakan

5 Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin Muhammad al-Lakhmî

al-syâtibî al-Gharnâthî (w.790 H/1388 M), lihat Fiqh Minoritas, Dr. Ahmad Imam Mawardi, h.193 6 Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosophy of Islamic Law System Approach, h. 20-21

Page 34: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

19

bahwa bukti-bukti juz‟iyyat didahulukan dari pada bukti-bukti universal. Lebih

jauh lagi, al-Syâtibî menjadikan ilmu maqâsid al-syarî‟ah sebagai syarat sahnya

ijtihâd dalam segala level. Ketiga, pergesaran dari uncertainty (dzanniyyah) ke

certainty (qath‟iyyah). Baginya, proses induktif yang digunakan dalam aplikasi

maqâsid al-syarî‟ah adalah valid dan bersifat qath‟i (pasti), sebuah kesimpulan

yang menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang

menentang certainty metode induktif. 7

Dari pemaparan di atas jelas bahwa al-Syâtibî mulai menggeser maqâsid

al-syarî‟ah sebagai konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi sebuah landasan

metodologis yang aktif dan dinamis. Maqâsid al-syarî‟ah tidak sekedar alat

justifikasi, tetapi dijadikan juga landsan kerja ijtihad. Kaidah-kaidah maqâsid-

nya disusun dengan baik dan komprehensif. Sayangnya, karya dasar manhaj

maqâsidi ini tidak dilanjutkan dengan bahasan metodologi ushûl al-fiqh

operasional aplikatifnya dalam kaitan maqâsid al-syarî‟ah dengan istinbâth

hukum. Dalam bahasa Ibn „Âsyûr, kajian maqâsid al-syarî‟ah al-Syâtibî dinilai

terlalu bertele-tele dan memiliki kesalahan sehingga tidak sampai pada

bagaimana operasionalisasi maqâsid al-syarî‟ah tersebut dalam realitas

problematika hukum.8

Dalam perkembangannya, muncul pilar ketiga dengan hadir-nya seorang

sarjana bernama Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr (w. 1379 H/1973 M).

Karyanya yang terkenal adalah Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islamiyyah. Ibn „Âsyûr

memang cemerlang dalam pemikirannya tentang maqâsid al-syarî‟ah secara

khusus dan dalam bidang hukum Islam secara umum. Walaupun gagasan

besarnya sama dengan al-Syâtibî, karena sebagaimna pengakuannya, ia memang

berkehendak melanjutkan apa yang telah digagaskan Dan dikembangkan oleh al-

Syâtibî, ada perkembangan baru yang dikemukakan dalam karya Ibn „Âsyûr,

tepatnya tentang posisi keilmuan maqâsid al-syarî‟ah dalam kajian teori hukum

Islam dan cara mengaplikasikannya dalam tataran praktik. Ibn „Âsyûr mampu

menghadirkan contoh yang jelas aplikasi pendekatan maqâsid al-syarî‟ah dalam

beberapa bidang kajian hukum Islam. Lebih dari itu, kalau kajian maqâsid al-

7 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari

konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 194 8 Ibn „Âsyûr, Maqâsid al-syarî‟ah al-Islamiyah, h. 174

Page 35: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

20

syarî‟ah sebelumnya memiliki kecenderungan pembahasan secara umum (al-

maqâsid al-„âmmah) atau parsial (juz‟iyyah), Ibn „Âsyûr mengambil jalan tengah

dengan membahas keduanya, yaitu rinci tapi membahas keseluruhan aspek

syari‟at. Sebagai contoh kajian rinci yang belum dilakukan oleh ulama

sebelumnya adalah bagian ketiga dari kitab maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyah. Di

dalamnya ia membahas maqâsid al-Tasyrî‟ al-Khâshshah bi Anwâ‟ al-

Mu‟âmalât bayna al-Nâs yang secara rinci membahas tentang maqâsid al-

syarî‟ah di bidang hukum keluarga, hukum mu‟amalah yang berkaitan dengan

pekerjaan badan, maqâsid al-syarî‟ah di bidang hukum ibadah sosial, maqâsid

al-syarî‟ah di bidang peradilan dan persaksian, dan maqâsid al-syarî‟ah di

bidang pidana.

Hal baru lainnya yang dilakukan oleh Ibn „Âsyûr adalah keberaniannya

meletakan hurriyyah (kebebasan/ freedom yang berbasiskan al-musawâh atau

egalitarianisme), fitrah (kesucian), samâhah (toleransi), al-haq (kebenaran dan

keadilan) sebagai bagian dari aplikasi maqâsid al-syarî‟ah. Kebebasan berbicara,

berpendapat, beragama, dan bertindak merupakan hak asasi manusia yang

dilindungi. Pernyataan seperti ini tentu merupakan pengembangan dari al-

dharûriyyât al-khams yang digagas oleh ulama sebelumnya. Pengembangan ini

bukan hanya dari sisi tambahan kuantitas unsur maqâsid, melainkan juga dari sisi

kualitas efek penetapan unsur-unsur maqâsid al-syarî‟ah itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan maqâsid al-syarî‟ah sebagai metode atau

pendekatan dalam penetapan hukum Islam, menurut komentar al-Hasanî dan al-

Mîsâwî, menyatakan bahwa karya Ibn „Âsyûr maqâsih al-syarî‟ah menjadi

disiplin ilmu yang mandiri, menjadi disiplin yang lengkap secara konseptual,

prinsip, dan metodologinya. Ibn „Âsyûr menyatakan bahwa ushûl al-fiqh yang

ada perlu ditata ulang (rekontruksi) dan maqâsid al-syarî‟ah perlu mendapatkan

perhatian serius karena ia memiliki posisi penting dalam perkembangan hukum

Islam. Ibn „Âsyûr layak dijadikan sebagai pilar ketiga dari perkembangan

maqâsid al-syarî‟ah, karena dialah yang menghidupkan kajian yang telah lama

terhenti sejak masa al-Syâtibî.9 Sejak masa Ibn „Âsyûr ini, mulailah bertebaran

9 Muhammad Sa‟ad bin Ahmad Mas‟ûd al-Yûbî, Maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyah wa

„Alâqatuhâ bi al-Adillah al-syar‟iyyah (Beirut: Dâr al-Hijrah, 1998), h. 70

Page 36: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

21

kajian-kajian maqâsid al-syarî‟ah yang lebih menekankan pada metodologi atau

pendekatan daripada kumpulan konsep nilai.10

Pasca Ibn „Âsyûr hingga saat ini, maqâsid al-syarî‟ah menapaki jalan

menuju puncak kejayan, dengan indikator utama dijadikannya maqâsid al-

syarî‟ah sebagai rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagaian besar

persoalan kontemporer, terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas,

persoalan sosial, politik, dan ekonomi global, serta persoalan membangun global

ethics (etika global) dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad

ke-20 dan awal abad ke-21 menjadi saksi semakin meningkatnya perhatian ulama

dan cendekiawan muslim terhadap maqâsid al-syarî‟ah.

3. Urgensi Maqâsid al-Syarî’ah

Menurut Ibnu „Âsyûr kerja mujtahid dalam merumuskan hukum baik

melalui istinbat hukum dari nas maupun istidlâl dengan dalil selain nas seperti

kias, maṣlaḥah mursalah, dan sadd aż-żarî‟ah tidak lepas dari salah satu dari

lima mekanisme berikut: menarik kesimpulan dari nas, meneliti kemungkinan

hal-hal kontradiktif dengan nas-nas yang dipakai sebagai dalil, melakukan

kias, merumuskan hukum kasus baru yang tidak punya rujukan kias, dan

menerima apa adanya suatu hukum tanpa mengetahui hikmah dan maksudnya.

Kelima mekanisme ijtihad tersebut tidak terpisah dari maqâṣid al-syarîʻah.

Dalam proses istinbat hukum dari nas Alqurân maupun Sunnah

mujtahid butuh memahami maqâṣid al-syarîʻah karena analisis semantik Usûl

Fikih semata tidak memadai dan dapat menimbulkan interpretasi yang keliru.

Kekeliruan tersebut merupakan suatu kelumrahan komunikasi, terlepas dari

bahasa apa yang digunakan, karena tiga hal: pertama, sebagian besar kata dan

farasa bersifat ambigu; kedua, perbedaan tingkat kemampuan, teknik dan gaya

menyampaikan yang dimiliki oleh pembicara; ketiga: perbedaan tingkat

kemampuan penerima dalam memahami dan mencerna informasi yang

10

Ibn „Âsyûr mengenalkan lima prinsip dasar sebagai landasan berpikir dengan pendekatan

maqâsid: (1) manhaj tasyrî dengan cara mengubah sesuatu yang salah dan mengumumkan kesalahan

tersebut serta menetapkan yang benar sehingga diketahui oleh manusia; (2) perlunya menganalisis

akibat yang akan terjadi sebelum menetapkan hukum; (3) memperhatikan hal-hal yang didiamkan oleh

syâri‟; (4) memperhatikan kebutuhan masyarakat; dan (5) mempertimbangkan kepentingan primer

yang mendesak untuk direalisasikan. Prinsip dasar ini akan mengantarkan para fuqaha untuk tidak

hanya focus pada teks, tetapi pada konteks kemaslahatan yang akan diwujudkan dengan penetapan

suatu hukum. Lihat, Muhammad Salîm al-„Awwâ, Dawr al-Maqâsid fi al-Tasyrî „ât al-Mu‟asirah

(London: Markaz Dirâsât Maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyyah, 2006), h. 26-37

Page 37: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

22

disampaikan. Oleh karena itu pembicara dan penerima suatu informasi harus

memperhatikan hal hal-hal lain di luar makna literal seperti: gaya bahasa,

konteks, dan penjelasan-penjelasan lain jika ada untuk mengeliminasi

interpretasi selain yang dimaksud oleh pembicara meskipun secara kebahasaan

dapat dibenarkan. Pada kenyataannya menerima informasi langsung dari

sumbernya memberi pemahaman yang lebih baik daripada menerimanya

melalui perantara pihak ketiga. Inilah sebabnya para ulama meneliti dan

mengklasifikasikan latar belakang perkataan dan tindakan Rasulullah Saw,

11para tabi‟in dan para tabi‟ tabi‟in memperioritaskan ziarah ke Madinah untuk

menggali informasi yang lebih kaya tentang latar belakang Sunnah Nabi Saw

daripada sekedar riwayat yang telah mereka terima.

Berikutnya sebelum menetapkan kesimpulan awal dari suatu nas

sebagai hasil istinbat hukum, terlebih dahulu harus diteliti secara saksama

kemungkinan adanya dalil lain yang kontradiktif dengan kesimpulan awal dari

nas yang dikaji. Intensitas penelitian untuk membuktikan kesimpulan awal

tidak bertentangan dengan dalil lain dipengaruhi oleh tingkat dugaan

kesesuaian kesimpulan awal. dengan maqâṣid al-syarîʻah. Bilamana

kesimpulan awal dipandang tidak bertentangan dengan maqâṣid al-syarîʻah

yang telah dipahami sebelumnya maka penelitian yang dilakukan biasanya

lebih longgar, sebaliknya upaya yang lebih intens menunjukkan keraguan yang

lebih besar tentang keselarasan kesimpulan awal tersebut dengan maqâṣid al-

syarîʻah. Pemahaman yang baik tentang maqâṣid al-syarîʻah khususnya yang

berkaitan dengan masalah dan nas yang dikaji akan memberikan arahan yang

jelas untuk melakukan penelitian adanya kemungkinan kontradiksi dengan

dalil-dalil yang lain.12

Adapun dalam mekanisme kias pemahaman tentang maqâṣid al-

syarîʻah dibutuhkan untuk menemukan ilat hukum yang ada nasnya agar dapat

dijadikan sebagai maqîs„alaih. Ilat hukum itu sendiri berupa karakter definitif

11

Menurut Ibnu „Âsyûr, mengutip dan menyempurnakan pendapat Syihabuddin Al-Qarâfiy,

setidaknya terdapat dua belas kemungkinan motif yang melatar belakangi perkataan atau perbuatan

Rasulullah Saw, yaitu: tasyrî‟ atau penjelasan syariat, fatwa, vonis peradilan, kepemerintahan, saran,

rekonsiliasi dua pihak bersengketa, bimbingan konsultasi, nasehat, sikap zuhud, motifasi pencapaian

tertinggi, mendidik, dan dorongan alamiah. Ibn „Âsyûr menjelaskan pengaruh masing-masing motif

terhadap hasil istinbâṭ dan implementasinya dengan memberikan contoh dan perbandingan satu dengan

yang lainnya. (lihat: ʻÂsyûr, Maqâṣid, h. 207-230) 12

Ibn „Âsyûr, Maqâsid,h. 185-186

Page 38: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

23

yang permanen dan relevan untuk dijadikan alasan penetapan suatu

hukum.Kebutuhan mujtahid terhadap maqâṣid al-syarîʻah paling signifikan

terlihat pada upaya menemukan hukum syariat untuk sesuatu yang sama sekali

baru, tidak ada nas yang menerangkan hukumnya secara langsung maupun nas

yang menerangkan hukum persoalan lain yang dapat dijadikan pijakan kias.

Maqâṣid al-syarîʻah dalam situasi ini menjadi perangkat satu-satunya untuk

menjaga kesinambungan hukum syariat dalam perkembangan zaman dan

perubahan sosial yang dinamis.

Implementasi istinbat hukum dengan landasan maqâṣid al-syarîʻah ini

diaplikasikan dalam sejumlah metode yang berbeda-beda, seperti maṣlaḥah

mursalah, istiḥsân, dan istiṣḥâb. Terakhir, dalam syariat yang bersifat ibadah

ritual, mujtahid tetap tidak dapat menyampingkan keberadaan maqâṣid al-

syarîʻah karena sifat ḥikmah atau kemahabijaksanaan Allah memustahilkan

faal Allah sunyi dari hikmah dan tujuan tertentu. Hanya saja hikmah dan

tujuan dimaksud tidak teridentifikasi secara spesifik oleh keterbatasan akal

manusia. Oleh karena itu dalam hal ini harus diyakini bahwa ritual tersebut

diperintahkan untuk suatu hikmah dan tujuan tertentu yang tidak mesti

diketahui tetapi mesti dipatuhi. Ibn „Âsyûr menyebutnya sebagai maqâṣid

ta‟abbudi.13

Menurut Yusuf Ahmad al-Badawi hanya sebagian kecil ulama

Usûl Fiqh yang menjadikan paham maqâṣid al-syarîʻah sebagai syarat

mujtahid. Tokoh-tokoh sebelum Ibn „Âsyûr antara lain ialah: Imam Al-

Syâfi‟iy, al-Juwainî, al- Ghazâlî, Ibnu Abdis-Salâm, as-Subkî, dan Ibnu

Taimiyyah.14

Sedangkan tokoh-tokoh kontemporer seperti: Abû Zahrah,

Wahbah al-Zuhailî, adalah di antara yang sepaham dengan mereka.

Meskipun demikian pendapat ini terlihat lebih kuat, karena maqâṣid al-

syarîʻah secara praktik pada hakikatnya telah menjadi unsur penting dalam

proses istinbat hukum semenjak era sahabat termasuk dalam

menginterpretasikan hadis-hadis Rasulullah Saw. Imam Malik dalam al-

Muwâṭa` meriwayatkan dalam al-Muwâṭa` perihal Abû Ḥużaifah yang

mengadopsi Sâlim dan memperlakukannya seperti anak kandung. Ketika turun

ayat kelima surah al-Aḥzâb, ud‟ûhum li-âbâ`ihim, istri Abû Ḥużaifah Sahlah

13

Ibn „Âsyûr, Maqâsid,h. 184 14

Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqâṣid al-Syarîʻah ʻinda Ibn Taymiyyah

(Riyâḍ: Dâr aṣ-Ṣumai‟iy lin-nasyr wat-tawzîʻ, 1430H/2009M) h. 102-104.

Page 39: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

24

Binti Suhail menghadap Rasulullah Saw dan berkata, “Kami sudah

menganggap Sâlim seperti anak sendiri; dia biasa masuk menemui saya ketika

saya hanya mengenakan satu pakaian, dan kami hanya punya satu ruangan.

Apa pendapat Anda tentang kondisinya [ini]? Maka Rasulullah Saw,

bersabda” رضعات خس Susuilah dia lima kali susuan, maka dia menjadi] أرضعيو

anak susuannya].”15

Maka Sâlim menjadi mahram karena susu yang

diminumnya itu, Sahlah mempersepsikannya sebagai anak susuan. „Â`isyah

raḍiyallâhu „anha berpendapat hadis ini berlaku umum bahkan

mengamalkannya, oleh karena itu meminta orang-orang tertentu meminum

susu saudarinya supaya dapat menjumpainya selayak mahram. Sedangkan

istri-istri Rasulullah Saw yang lain berpandangan itu adalah rukhsah terbatas

untuk Sahlah raḍiyallâhu „anha dalam interaksinya dengan Sâlim, tidak

berlaku umum termasuk untuk mereka.16

Pendapat kedua tidak menyelisihi

teks tetapi interpretasi lain yang didasari oleh paradigma yang berbeda

terhadap latar belakang hadis, di mana sabda Rasulullah Saw dipahami

maksudnya untuk memberikan solusi bagi keluarga ini, berupa rukhsah,

mengingat pola asuh dan pergaulan keluarga Abû Ḥużaifah dengan Sâlim

telah terbentuk secara permanen jauh sebelum tabanni diharamkan sehingga

perubahan yang demikian sangat menyulitkan bagi mereka. Ini menunjukkan

bahwa maqâṣid al-syarîʻah harus diperhatikan dengan saksama dalam

melakukan istinbat hukum, oleh karenanya seorang mujtahid harus memahami

dengan baik konsep dan mekanisme identifikasi maqâṣid al-syarîʻah.

Demikian urgensinya fungsi maqâṣid al-syarîʻah dalam istinbat

hukum, Ibnu „Âsyûr menyesalkan maqâṣid al-syarîʻah tersubordinasikan

dalam pokok-pokok bahasan tertentu dalam Ushûl Fiqh semisal maṣlaḥah

mursalah, qiyâs, istiḥsân. Pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang

maqâṣid al-syarîʻah menurutnya adalah faktor terpenting untuk mencegah

atau setidak mengurangi khilafiah Fikih yang tidak tertanggulangi oleh

kaidah-kaidah semantik Ushûl Fiqh. Oleh karena itu ia mendorong pengkajian

15

Aḥmad Bin Muhammad Bin Hanbal Asy-Syaibâniy, Musnad al-Imâm Aḥmad Bin

Hanbal, (t.t.p.: Mu`assasah ar-Risâlah, 1421H/2001M), j. XLII, h. 435, no. 25659: sanadnya

ṣaḥīḥ 16

Malik bin Anas, al-Muwâṭṭa`, tahkik Muhammad Muṣṭafâ al-Aʻẓamiy (t.t.p.:

Mu`assasah Zayid Bin Sulṭān Ālu Nahyān, 1425H/2004), j. IV, h. 874.

Page 40: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

25

maqâṣid al-syarîʻah dijadikan pokok bahasan utama dalam pengkajian Ushûl

Fiqh bahkan untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu mandiri tanpa merusak

bangunan Ushûl Fiqh yang telah ada. Terlepas dari wacana kodifikasi maqâṣid

al-syarîʻah sebagai disiplin ilmu yang mandiri pandangan Ibn „Âsyûr tentang

urgensi maqâṣid al-syarîʻah terlihat mendapat respon positif dengan semakin

populernya pengkajian maqâṣid al-syarîʻah dan karya tulis di bidang ini.

Urgensi maqâṣid al-syarîʻah menurut Ibn „Âsyûr terbatas pada

kalangan fakih mujtahid, sedangkan mukalaf awam kapasitas mereka hanya

sebatas menjalankan syariat tanpa harus mengetahui maqâṣid al-syarîʻah

karena dia tidak mampu mengenal dan memfungsikan maqâṣid dengan baik,

sehingga cukup besar kemungkinan ia keliru dan justru kemudian melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan maqâṣid itu sendiri. Al-Badawi menolak

pandangan Ibn „Âsyûr ini kecuali jika mukalaf awam dimaksud dengan

berbekal pengetahuan tentang maqâṣid al-syarîʻah diberi kebebasan

melakukan istinbat hukum sendiri; tentu tidak demikian. Mengutip sejumlah

sumber al-Badawi menyebutkan lima alasan mengapa orang awam, selain

fakih mujtahid, juga perlu mengenal maqâṣid al-syarîʻah, yaitu: 1)

Meningkatkan keimanan kepada Allah dan keyakinan terhadap akidah dan

syariat Islam; 2) Membentengi diri dari pengaruh gazwul-fikri; 3) Meluruskan

niat dan maksud agar sesuai dengan maqâṣid al-syarîʻah; 4) Optimalisasi

penghambaan diri kepada Allah; 5) Bahan utama dalam menyiarkan atau

mendakwahkan Islam.17

B. Tafsir Maqâsidi

1. Pengertian Tafsir Maqâsidi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tafsir bermakna: keterangan

atau penjelasan tentang ayat-ayat Alqurân agar mudah dipahami. 18

Namun

pada dasarnya kata tafsir tidak berakar dari bahasa Indonesia murni, tetapi dari

bahasa Arab yang berarti al-idâhah (menerangkan) dan al-tabyin

17

Muzâbanah secara kebahasaan berarti penolakan; sedangkan secara peristilahan menurut

jumhur ialah: jual beli barter kurma yang masih di pohonnya dengan kurma yang telah dipanen dengan

menaksir takaran kurma yang masih di pohon tersebut. (lihat: Al-Mausûʻah al-Fiqhiyyah al-

Kuwaitiyyah, j. IX, h. 139) 18

www.kbbi.web.id, diakses pada kamis 12 Maret 2019, pukul 12.10

Page 41: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

26

(menjelaskan). Asal usul kata tafsir bisa berasal dari kata al-Fasr atau al-

Tafsarah. Kata al-Fasr sendiri berarti bisa bermakna al-Kasyf (menyingkap)

dan al-izhar (menampakkan). Sedangkan kata al-Tafsarah merupakan istilah

untuk sesuatu yang diperiksa oleh seorang d-okter dari pasiennya.19

Sedangkan dalam kamus besar al Munawwir, dikatakan bahwa tafsir

merupakan bentuk masdar “tafsirotun” dari fi„il fassara-yufassiru yang

memiliki banyak arti, diantaranya: menerangkan, menjelaskan, memberi

komentar, menerjemahkan atau mentakwilkan.20

Adapun secara terminologis, definisi tafsir sangat banyak. Menurut

Quraish Shihab, pengertian yang ada paling sedikit memenuhi tiga unsur, yaitu

penjelasan, maksud firman Allah, dan sesuai dengan kemampuan manusia.

Ada konsekuensi yang lahir akibat unsur tersebut. Pertama, menafsirkan harus

dilakukan dengan kesungguhan dan dilakukan terus-menerus. Kedua,

menafsirkan berarti menyingkap kemuskilan teks Al-Qur‟an. Ketiga,

kebenaran tafsir bersifat nisbi.21

Menurut Az-Zarkâsy, mendefinisikan tafsir adalah ilmu untuk

memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga

untuk menjelaskan makna-maknanya, mengungkap hukum-hukum dan

hikmah-hikmah yang terkandung dalamnya didasari dengan ilmu bahasa,

nahwu, tasrif, bayan, ushul fiqh, ilmu qira‟ath dan juga pengetahuan terhadap

asbab al-nuzul dan nasikh wa al-mansukh.22

Sementara kata maqâsidi (maqâsidi) merupakan kata bentukan dari

maqâsid yang memiliki tambahan yâ‟ nisbah yang bersandar padanya.

Maqâsid merupakan bentuk jamak dari kata maqsad yang bermakna maksud,

sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.23

19

Ibn Manzûr, Lisân al-„Arab, ditahqiq oleh Amir Ahmad Haidar, cet. Ke-2, jilid V (Beirut:

Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 2009), 64-65. 20

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), 1054. 21

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui

dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur‟an, cet. ke-2 (Tangerang: Lentera Hati, 2013., h. 10. 22 Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi, al-Burhan fî „Ulum al-Qur`an, juz ke-1 (Beirut: Dar

al-Ma„rifah, 1957), h. 15 23

Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, terj. Rosidin dan Ali Abd

Mun„im, (Bandung: Mizan, 2015), h.32

Page 42: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

27

Sedangkan maqâsid menurut Ibn „Âsyûr dalam Jâsser Auda 24

berasal

dari Bahasa Arab مقاصد (maqâsid), yang merupakan bentuk jamak kata مقصد

(maqsad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.

Menurut sejumlah teoretikus hukum Islam, maqâsid adalah pernyataan

alternatif untuk mashalih atau „kemaslahatan-kemaslahatan‟. Misalnya, „Abd

Malik al-Juwainî (w.478H/1185 M), salah seorang kontributor paling awal

terhadap teori maqâsid menggunakan istilah al-maqâsid menggunakan istilah

al-maqâsid dan al-masâlih al-„âmmah (kemaslahatan-kemaslahatan umum)

secara bergantian.25

Pada dasarnya, kata maqâsid sering disandingkan dengan kata al-

syarî‟ah yang membentuk susunan maqâsid al-syarî‟ah. Namun dalam

perkembangannya, kata maqâsid tidak jarang disandingkan dengan kata al-

Qurân yang membentuk frase maqâsid al-Qurân. Frase ini menurut sebagian

peneliti dianggap sebagai bentuk evolusi maqâsid, akibat beberapa

keterbatasan cakupan maqâsid al-syarî‟ah sebagai frase lama yang tidak

digali langsung secara holistik pada sumber pertama syariat.26

Sementara

maqâsid Alqurân yang memuat seluruh teks Alqurân, memiliki cakupan

wilayah maqâsid yang tidak hanya terbatas pada persoalan hukum fiqih saja,

melainkan menyentuh apa saja yang dapat dikatakan sebagai perintah dan

larangan tuhan, baik dalam tataran tingkah laku manusia maupun dalam

akidah dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia.27

Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa maksud dari pada term maqâsid al-Qur‟an

adalah tujuan-tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-hukum al-

Qur‟an.28

Dengan demikian al-tafsir al-maqâsidi merupakan tafsir alQurân yang

berorientasi pada realisasi tujuan baik tujuan syariat (maqâsid al-syarî‟ah)

24

Jâsser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 32 25

Jâsser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 33

26

Munawir, Pandangan Dunia Al-Qur‟an; Telaah Terhadap PrinsipPrinsip Universal al-

Qur‟an, Penelitian Individual, (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2015), h. 57 27 Halil Thahir, Ijtihad Maqâsidi; Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkonesitas

Maslahah (Yogyakarta: LKiS, 2015), h.16

28

Abdul Karim Hamidi, Al Madkhal ila Maqâsid al-Qur‟an, (Riyadh: Maktabah ar Rusyd,

2007), h.21

Page 43: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

28

secara khusus maupun tujuan Alqurân (maqâsid al-Qur‟an)29

secara umum

dengan pola memperhatikan makna terdalam dari ayat-ayat al-Qur‟an dalam

bentuk hikmah, sebab hukum, tujuan dan segala nilai yang bisa menjadi

kemaslahatan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya dan

menyelesaikan problem-problem di setiap masa.

2. Sejarah Perkembangan Tafsir Maqâsidi

Dalam literatur klasik, disini penulis belum menemukan penjelasan

yang pasti tentang siapa pertama kali berbicara tentang maqâsid al-Qur‟an

dan kapan kajian itu dimulai secara ilmiah. Dari data yang penulis temukan

pertama kali yang mengkaji maqâsid al-Qur‟an adalah al-Imâm al-Juwainî

dalam kitab al-Burhân. Dalam kitab tersebut al-Juwainî (w. 478 H)

mengemukakan bahwa tujuan al-Qur‟an ada lima, yaitu, al-darûriyât, al hâ

jiyyât, al-tahsîniyyât, tatimmah mandhûbah,dan mukarramah. Kemudian

ditemukan pembahasan Maqâsid al-Qur‟an di dalam buku Jawâhir al-

Qur‟ân wa Duraruhû karya Abû Hâmid al-Ghazâli (w.505 H). Pada bab

kedua dalam buku ini al-Ghazâlî memberi sub judul “Maqâsid”. Meskipun

tidak ada keterangan yang manyatakan buku ini pertama membahas tentang

Maqâsid al-Qur‟ân, namun setelah ditelusuri tidak ditemukan buku yang

memuat tentang Maqâsid al-Qur‟ân sebelum buku al-Burhân al-Juwainî.

Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa yang pertama kali

29 Beberapa ulama kontemporer yang memiliki rumusan maqâsid alQur„an, diantaranya: Tahir

Ibn Asyur mengusulkan. Maqâsid umum al-Qur‟an adalah mengajarkan dan memperbaiki akidah,

mengajarkan nilai-nilai akhlak, menetapkan hukum syari‟at, mengatur dan menunjukan jalan kepada

umat Islam (Siyasah al-Ummah), memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa

terdahulu, pengajaran syari„at sesuai dengan perkembangan zaman, al-Targhib wa al-Tarhib,

membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad. Lihat. Tahir Ibn Asyur, Muqaddimah al Tahrir wa

al Tanwir, vol 1, (Tunisia: Daar al-Tunusiyyah li al-nasyr, 1984), h.40-41. al-Ghazali menyimpulkan

maqâsid al-Qur‟an terdiri dalam dua kategori,yaitu tujuan penting (muhimmah)dan tujuan

penyempurna (mughniyah, mutimmah). Sedangkan tujuan pokok dalam al-Qur‟an mencakup tiga hal:

pertama memperkenalkan Tuhan yang berhak untuk disembah (ta‟arif al-mad‟u ilayh), yaitu Allah

swt.: kedua memperkenalkan jalan yang lurus (ta‟rif al-sirat al-mustaqim), yaitu syari‟at Islam;Ketiga,

memperkenalkan kondisi manusia ketika bertemu dengan Allah (ta‟rif al-wusul ilayh), yaitu hari

kiamat. Lihat Dr.A.Halil Thahir, MHI. Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis

Interkoneksitas Maslahah, (Yogtakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara,2015)Cet 1,h.29. Sementara Ibn

„Abd al-Salam merumuskan maqâsid al-Qur‟an terdiri dari pada satu kaidah, upaya untuk mewujudkan

berbagai kemaslahatan berikut sebab-sebabnya serta menolak segala bentuk

mafsadah(kerusakan)berikut sebab-sebabnya.Lihat Lihat Dr.A.Halil Thahir, MHI. Ijtihad Maqâsidi

Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah, (Yogtakarta: PT. LKIS Pelangi

Aksara,2015)Cet 1, h. 30

Page 44: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

29

berbicara tentang Maqâsid al-Qur‟ân atau paling tidak yang pertama

membahas secara luas adalah al-Juwainî, dan kemudian dilanjutkan oleh al-

Ghazâlî. Menurut al-Ghazâlî, rahasia, intisari dan maksud al-Qur‟an adalah

menyeru hamba menuju Tuhan-Nya yang Maha Esa. 30

Dalam bidang ilmu Tafsir, Maqâsid al-Qur‟ân diperkenalkan untuk

pertama kali oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H). Ia membahasnya dalam

konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah al-Qur‟an (wihdah

maudû‟iyyah li al-suwar). Menurut Quraish Shihab, prinsip kesatuan tujuan

surah al-Qur‟an untuk pertama kali dimunculkan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî

dalam tafsirnya, Tafsîr Mafâtih al-Ghaîb.31

Terkait dengan hal ini, seperti

dikutip Quraish Shihab. Fakhr al-Dîn al-Râzî mengatakan siapa yang

memperhatikan susunan ayat-ayat al-Qur‟an di dalam satu surah. Ia akan

mengetahui bahwa di samping merupakan mukjizat dari aspek kefasihan

lafal-lafal serta keluhuran kandungannya. Al-Qur‟an juga merupakan

mukjizat dari aspek susunan dan urutan ayat-ayatnya. Setiap surah,

menurutnya, mempunyai tujuan dan tema utama.

Al-Tafsir al-maqâsid adalah wacana baru yang muncul dalam

diskursus ilmu tafsir. Namun secara genealogi, sejarah perkembangannya

dapat dilacak berdasarkan perkembangan ilmu maqâsid. Berdasarkan sejarah

ide tentang maksud atau tujuan tertentu yang mendasari perintah Alquran dan

Sunnah, sabagaimana yang dipriodesasikan oleh Jâser Auda bahwa sejarah

tersebut dapat dilacak hingga masa sahabat Nabi.32

Sebagai contoh, salah

30

Jâser Auda, al-Maqâsid untuk pemula,Yogyakarta:Suka Press, 2013, h. 38-40 31

Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Vol. 1, ( Jakarta: penerbit Lentera Hati, Cet, ke-2, 2004),

xxiii. 32 Jâser Auda berusaha menyusun sejarah perkembangan ide maqâsid berdasarkan pada masa

munculnya pemikiran tokoh tentang maqâsid. Dia mengklasifikasikan masa tersebut menjadi empat

periodesiasi yaitu; pertama, periode pada masa sahabat, melalui ijtihad sahabat Nabi. kedua, periode

permulaan muncul teori maqâsid (sebelum abad ke 5 H). ketiga, masa para imam penggagas teori

maqâsid dalam balutan kajian ushul fikih (antara abad ke 5 H – 8 H),keempat, periode kontemporer.

lihat Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari‟ah,h. 41-60. Berbeda dengan

Auda, Ahmad al-Raysuni membagi sejarah perkembangan maqâsid berdasarkan pada perkembangan

dari makna satu konsep maqâsid ke konsep yang lain. Dia menghabiskan 3 tokoh sentral yang

berpengaruh atas perkembangan konsep maqâsid, yaitu Imam al Haramain Abu al Ma„ali Abd Allah al

Juwayni (w. 478), Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790) dan Muhammad al Tahir ibn Asyur (w. 1379 H / 1973

M). lihat Ahmad al Raysuni, Al Bahs fi Maqâsid al-syari‟ah, h.4-5, dalam Ahmad Imam Mawardi,

Page 45: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

30

satu kasus yang populer adalah tentang shalat asar di Banī Quraizah‟.

Dimana Nabi Saw mengirim sekelompok sahabat ke Banī Quraizah,33

dan

memerintahkan mereka salat Asar di sana. Batas waktu salat Asar hampir

habis sebelum para sahabat tersebut tiba di Banî Quraizah. Lalu, para

sahabat terbagi menjadi dua pendapat yang berbeda: pendapat pertama

bersikukuh salat Asar di tempat itu apa pun yang terjadi, sedangkan pendapat

kedua, bersikukuh tetap berpegang pada intruksi nabi Saw, yaitu tidak

melaksanakan salat Asar di perjalanan (sebelum waktu salat Asar habis).

Alasan kelompok pertama untuk segera melaksanakan salat, karena

mempertimbangankan maksud dan tujuan dari perintah Nabi agar supaya

bergegas dalam perjalanan, bukan bermaksud menunda salat Asar.

Sedangkan kelompok lain memahaminya secara lahir sebagaimana bunyi

istruksi Nabi untuk melaksanakan shalat di tempat tujuan. Setelah kembali ke

kota Madinah, para sahabat melaporkan cerita tersebut kepada Nabi, sedang

Nabi meneguhkan kebenaran kedua pandangan para sahabatnya.

Dalam kasus lain yang menunjukan penerapan pendekatan berbasis

maqâsid terhadap perintah Nabi Saw, sebagaimana yang terjadi pada masa

Khalifah „Umar bin Khattab ketika para sahabat memintanya untuk

membagikan harta rampasan (ghanimah) yang diperoleh dari perang, dengan

didasarkan pada ayat-ayat al-Qur‟an yang secara jelas membolehkan para

tentara mujahid memperoleh ghanimah. Akan tetapi, Khalifah Umar menolak

usulan para sahabat tersebut, dengan berpedoman pada ayat Alquran lainnya

yang lebih umum yang menyatakan maksud Allah SWT untuk tidak

menjadikan harta kekayaan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja.34

Oleh karena itu, „Umar dan para pendukung pendapatnya memahami ayat

Fiqhi Minoritas; Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqâsid al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan

(Yogyakarta: LKiS, 2010) h. 190

33 Sekitar tahun ke-7 H. Lokasinya beberapa mil dari Madinah. 34 Sebagaimana disebutkan dalam QS. Hasyr: 7, yang terjemahannya: Apa saja harta rampasan

(fai„) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota

maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-

orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara

kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka

tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya‖.

Page 46: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

31

khusus tentang ganimah dalam konteks maqâsid hukum khusus yaitu

mengurangi kesenjangan ekonomi.35

Ijtihad pada kasus-kasus di atas, yang menceritakan pemahaman dan

pengalaman maqâsid di era para sahabat, memiliki signifikansi penting .

Signifikansinya adalah para sahabat tidak selalu menerapkan „dalalah

lafal‟(dilâlah al-lafz) dalam istilah para pakar Ushûl Fikih, „dalalah

lafal‟yaitu implikasi langsung dari suatu bunyi bahasa atau nas, akan tetapi

para sahabat menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada „dalalah

maksud (dilâlah al-maqsid). Implikasi tujuan ini memungkinkan fleksibilitas

yang lebih besar dalam memahami teks (lafz)dan meletakannya dalam

konteks situasi dan kondisi.36

Setelah masa sahabat, teori dan konsepsi mengenai maqâsid mulai

berkembang. Akan tetapi, meski perkembangannya belum terlalu signifikan

dan belum menjadi subjek (topik) karya ilmiah tersendiri, hingga tiba masa

para ahli ushûl fikh belakangan, yaitu antara abad ke-5 H sampai dengan

abad ke-8 H. Meski demikian, selama ke-3 abad H pertama, gagasan tentang

tujuan/ maksud, atau yang dikenal dengan istilah hikmah, „ilal, munasabât,

atau ma‟ânî,, telah muncul di dalam berbagai metode berfikir yang

digunakan oleh para imam klasik hukum Islam.37

Istilah-istilah yang

menandai adanya pemikiran al-maqâsid ini muncul pada penerapan metode-

metode fikih seperti kias, istihsân dan pertimbangan kemaslahatan.

Dalam kurung waktu ke 5 H hingga 8 H, ide maqâsid mulai dibahas

dalam beberapa karya ulama (baca: ushul al-fiqh), sekalipun pembahasannya

belum begitu jelas dan terkesan dikesampingkan, akibat penolakan mazhab

teologi atas peranan akal dalam memahami nash. Namun dalam kurun waktu

ini, tepatnya dipenghujung abad ke delapan, ide maqâsid mengalami proses

metamorfosis sempurna dengan hadirnya Abû Ishaq al-Syâtibî. Dalam kitab

al-Muwafaqat, dia berhasil menampilkan wajah baru konsep maqâsid yang

lebih dinamis dan aplikatif, termasuk penyusunan teori-teorinya secara

35 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h.41-42 36

Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h.44 37

Jaser „Auda, Al-Maqâsid untuk pemula, penerjemah : „Ali „Abdoelmon‟im, (Yogyakarta:

Suka press, 2013 h, 29-30

Page 47: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

32

lengkap, sistematis dan jelas. Dengan demikian, ulama-ulama ushul kemudian

sepakat menjadikannya sebagai bapak atau pendiri maqâsid al syarî‟ah.

Beberapa ulama yang termasuk dalam periode ini sebelum

disempurnakan oleh al-Syâtibî,38

diantaranya; Imam al-Haramain Abû al-

Ma„âlî al-Juwainî (w. 478), meskipun dia tidak pernah menulis kitab yang

spesifik membahas teori maqâsid, namun beliau berhasil dalam

mendeskripsikan dasar-dasar teori maqâsid. Dalam kitab al-Burhân fî Ushûl

al-Fiqh (Dalil-dalil Nyata dalam ushul fikih) dia menyebutkan adanya lima

jenjang dalam maqâsid yaitu: al-darûrât (keniscayaan), al-hâjah al-„âmmah

(kebutuhan publik), al-makrumât (perilaku moral), al-mandûbât (anjuran-

anjuran) dan apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus. 39

Upaya Imam al-Juwainî kemudian dilanjutkan oleh salah seorang

muridnya, Abû Hâmid al-Ghazâlî (W.505 H/ 1111 M). Dia berhasil dalam

mengelaborasi kajian maqâsid Imam al-Juwainî yaitu dengan menjabarkan

konsep al-daruriyat yang diperkenalkan oleh gurunya menjadi al-darûriyyât

al-khams dengan mengurutkannya menjadi; keniscayaan keimanan, jiwa,

akal, keturunan, dan harta dengan menambahkan istilah al-hifz (pelestarian)

pada keniscayaan itu. Dia memprioritaskan bahwa kebutuhan yang urutannya

lebih tinggi (lebih dasar) harus memiliki prioritas atas kebutuhan yang

memiliki nilai urutan yang lebih rendah apabila pertentangan dalam

penerapan keduanya. 40

Selain dua tokoh diatas, beberapa tokoh lainnya yang memiliki

kontribusi terhadap perkembangan teori maqâsid, diantaranya; al-„Izz Ibn

„Abd al-Salâm (W. 660 H/1209 M) al-Izz menulis dua buku tentang maqâsid,

dalam nuansa hikmah di balik hukum Islam, yaitu maqâsid al-salâh

(maqâsid salat) dan maqâsid al-sawm (maqâsid puasa). Tetapi, kontribusi

signifikannya terhadap perkembangan teori maqâsid dalam kitab Qawâ‟id al-

Ahkâm fî Masâlih al-Anâm (kaidah-kaidah Hukum bagi Kemaslahatan Umat

38

Menurut Jâser „auda, al-Syâtibî telah mengembangkan teori maqâsid dalam tiga cara

substansial berikut: Pertama, maqâsid yang semula sebagai bagian dari “Kemaslahatan Mursal”(al-

masâlih al-mursalah) menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam. Kedua, dari hikmah di balik

hukum menjadi dasar bagi hukum. Ketiga, dari ketidakpastian (zanniyyah) menuju kepastian

(qat‟iyyah). Lihat Jâser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, H. 55 39

Jâser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 50 40

Jâser Auda, al-maqâsid untuk pemula, (Yogyakarta: SUKA –press , 2013), h. 40-41

Page 48: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

33

Manusia) beliau telah menginvestigasi secara ekstensif tentang konsep

maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah (Kemudaratan) Secara ringkas

menurut dia, kemaslahaan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan

sebagaimana kemafsadatan yang ada didalamnya juga tida boleh didekati

walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijma, nash dan qiyas yang

khusus.41

Syihâb al-Dîn al-Qarâfî (w.684 H/1285 M) dalam kitab al-Furûq

telah menulis tentang pembukaan sarana untuk meraih kemaslahatan (fath al-

zarâ‟), bahwa apabila sarana yang mengarahkan pada tujuan haram harus

ditutup, maka sarana yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya

dibuka. 42

Terakhir ada Syams al-Dîn Ibn al-Qayyim (w. 748 H/1347 M)

dengan metodologi yuridisnya berdasarkan hikmah‟ dan kesejahteraan

manusia‟. Menurutnya, syarî‟ah didasarkan pada kebijaksanaan demi meraih

keselamatan manusia di dunia dan di akhirat, dengan demikian syarî‟ah

seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan dan

kebaikan. 43

Pasca kemunculan al-Syâtibî dengan karya monumnetalnya al-

Muwafaqat, ide dan konsep maqâsid mengalami kebuntuan sekian lama,

terpendam sekitar 6 abad dalam kejumudan intelektual, sampai hadirnya

Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr yang menjadikan ilmu maqâsid sebagai

disiplin ilmu yang mandiri, sekaligus menjadikan disiplin ilmu yang lengkap

secara konseptual, prinsip dan metodologinya. 44

Bersamaan dengan

itu,beberapa cendekiawan kontemporer lainnya berhasil melakukan

perbaikan dan perluasan jangkauan mengingat berbagai wujud kritikan

terhadap klasifikasi dan konsep maqâsid yang telah ada dan berkembang

pada masa sebelumnya.45

41 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 52 42

Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 53 43

Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 54 44

Dr. Ahmad Imam Mawardi, ” Fiqh Minoritas, fiqh al-Aqalliyyat dan evolusi Maqâsid al-

Syari‟ah dari konsep ke pendekatan”(Yogyakarta: LKIS,2010 ), cet.1, h. 182 45

Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 37

Page 49: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

34

Beberapa alasan perlunya dilakukan reformasi konsep maqâsid

tradisional sebagaimana berikut: Pertama, jangkauan maqâsid tradisional

meliputi seluruh hukum Islam, namun tidak memasukan maksud khusus dari

suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topik fiqh tertentu. Kedua,

Maqâsid tradisional lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga,

masyarakat, atau umat manusia. Ketiga, klasifikasi maqâsid tradisional tidak

memasukan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.

Keempat, Maqâsid tradisional didedukasi dari kajian „literatur fiqh‟,

ketimbang sumber-sumber syariat (al-Qur‟an dan Sunnah). 46

Perbaikan pada

ruang lingkup maqâsid diharapkan agar jangkauan orang yang diliputi oleh

maqâsid dapat menjangkau wilayah yang lebih luas. Sehingga nantinya dari

perluasan jangkauan ini akan merubah titik tekan dari kinerja maqâsid, dari

titik tekan maqâsid lama sekedar protection (perlindungan) dan preservation

(penjagaan), mengarah pada titik tekan maqâsid baru pada development

(pengembangan) dan right (hak-hak).47

Demikian halnya perbaikan pada sumber induksi maqâsid diharapkan

dapat menjadi amunisi terbaru dalam merespon tantangan zaman, dengan

memposisikan maqâsid tidak hanya berfokus pada pemahaman atas ayat

hukum yang sebagian besar digali dari literatur fiqh dalam mazhab-mazhab

fiqh, tetapi meluas pada penggalian secara langsung pada keseluruhan teks-

teks suci keislaman, yaitu al-Qur‟ân dan hadis Nabi SAW. Terlebih persoalan

hukum hanya menempati sebagian dari ruang yang tersedia dalam Islam.

Alqurân selain mengandung persoalan hukum, juga berisi penjelasan tentang

hari akhir, etika, fenomena alam, kisah umat terdahulu dan penjelasan

tentang sifat-sifat Allah.48

Berdasarkan dari perbaikan kedua aspek diatas, yaitu ruang lingkup

dan sumber induksi, ulama kontemporer disamping berhasil merumuskan

klasifikasi baru tentang maqâsid,49

juga telah menjadikan ilmu maqâsid

46

Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 36 47

Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h.56-57 48

Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqâsidi, Jurnal Rausyan Fikr, Vol.13No.2 Desember 2012,

h.336 49 pada era kontemporer, klasifikasi maqâsid terbagi menjadi tiga, yaitu; pertama, Maqâsîd

umum (al-maqâsid al-„âmmah) maqâsid ini yang dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti

Page 50: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

35

sebagai salah satu media intelektual dan metodologi masa kini yang

terpenting untuk reformasi Islami, karena maqâsid merupakan representasi

sudut pandang masing-masing cendekiawan untuk mereformasi dan

mengembangkan hukum Islam.50

Sebagai pendekatan metodologis, maqâsid kemudian menjadi trend

baru yang diminati oleh banyak cendekiawan kontemporer, khususnya dalam

bidang penafsiran Alqurân. Seperti Ibn Âsyûr, Qardhâwi, Muhammad al-

Ghazâlî, Mahmud Syalthut, Rasyîd Ridhâ, dan lain sebagainya.Berbagai

seminar dan kajian juga diselenggarakan di berbagai daerah, seperti seminar

yang membahas tentang bagaimana Alqurân dan Hadis bisa ditafsir ulang

dengan menggunakan realitas kontemporer sebagai pertimbangan dan upaya

mempromosikan tujuan syariat yang berpihak pada kedamaian, keadilan dan

kemajuan umat Islam. 51

3. Urgensi Tafsir Maqâsidi

Dalam menemukan titik urgensi tafsir yang berbasis maqâsid, hal itu

dapat terlihat dari pengkajian urgensi antara tafsir dengan kajian maqâsid.

Secara mendasar, kebutuhan akan tafsir Alqurân terasa sangat besar,

mengingat tidak semua ayat Alqurân memiliki ungkapan yang bisa dipahami

langsung oleh akal manusia. Diantaranya ada yang memiliki lafaz yang

samar (mutashâbih) sehingga terbuka untuk beberapa kemungkinan

penafsiran, ada yang memiliki kandungan yang bersifat global (mujmal)

sehingga diperlukan perincian lanjutan untuk memahaminya. Terlebih

dengan perbedaan dan perkembangan situasi dan kondisi pada era

kontemporer ini, suatu keharusan bagi ulama tafsir untuk menafsirkan

keniscayaan dan kebutuhan tersebut seperti „keadilan‟ dan „kemudahan‟. kedua, maqâsid khusus (al-

maqâsid al-khâssah): maqâsid ini dapat diobservasikan di seluruh isi „bab‟ hukum Islam tertentu,

seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga, perlindungan dari kejahatan dalam hukum criminal;

dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi. ketiga, maqâshid parsial (al-maqâsid al-

juz‟iyyah); „maksud-maksud‟ di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud mengungkapkan

kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud

meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa. Lihat di Jâser Auda h.

36-37 50 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 40 51

Imam Mawardi, “ Fiqh Minoritas fiqh al-Aqalliyyât dan evolusi maqâsid al-syarî‟ah dari

konsep ke pendekatan”, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 202

Page 51: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

36

Alqurân yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat yang selalu

dinamis, termasuk menawarkan metode baru dalam penafsiran Alqurân.52

Sedangkan titik urgensisitas kajian maqâsid dapat dilacak berdasarkan

proses perkembangannya, mulai dari masa klasik hingga kontemporer yang

telah menjadikan maqâshid sebagai satu metode berfikir dan beragama.

Berawal dikalangan para imam mazhab, kajian yang memiliki nafas maqâsid

sangat intens diterapkan dalam penggalian hukum Islam. Seperti, mazhab

Hanafi dengan metode istihsan, Maliki dengan maslahah al-mursalah dan

Hanbilah dengan sad al-zara‟i,53

sementara dari kalangan Syafi„iyah lebih

cenderung memiliki pandangan yang sama dengan pendukung mazhab

Zahiriyyah yang memandang esensi syariat hanya beredar pada teks

normatif; Alqurân, Hadits, Ijma„ dan dalam metode qiyas. 54

Selanjutnya periode pasca imam mazhab, diantarannya Imam al-

Juwainî yang memandang kajian maqâsid sebagai prinsip-prinsip

fundamental yang menjadi dasar pijakan bagi seluruh hukum Islam, sangat

penting untuk diaplikasikan, karena tanpanya akan menyebabkan terjadinya

benturan keras di kalangan ulama, bahkan mereka para fakih dan mazhab

mazhab fikih yang tidak mengindahkan prinsip tersebut pada akhirnya akan

lenyap di bumi.55

Imam Al-Ghazâlî sebagai murid al-Juwainî

mengembangkan teori gurunya dengan menitiberatkan pada perlindungan

(hifz) lima unsur pokok yang dikenal dengan ushûl al-khamsah, yaitu

menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta sebagai prinsip fundamental.

Hanya saja al-Ghazâlî masih terpengaruh oleh mazhab Syafi‟i yang tidak

memperhitungkan maqâsid sebagai salah satu metode ijtihad yang sah,

sehingga terkesan tidak profesional karena menolak memberikan hujjah atau

legitimasi independen bagi maqâsid apa pun yang ia tawarkan.56

Selanjutnya ada tokoh Imam al-„Izz Ibn „Abd al-Salâm yang secara

tegas menghubungkan validitas hukum dengan maqâsid-nya, ia mengatakan

52

Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqâsidî”, Rausyan Fikr, Vol.13, No.02(Desember,2017), h.

337-338 53

Abdullah bin Bahyyah, 'Alaqah Maqâsid al-syarî‟ah bi Ushûl al-Fiqh (London: al-Furqan

Islamic Heritage Foundation, 2006), h.45 54 Abdullah bin Bahyyah, 'Alaqah Maqâsid al-syarî‟ah bi Ushûl al-Fiqh (London: al-Furqan

Islamic Heritage Foundation, 2006), h. 44 55

Al-Juwayni dalam Jaser Auda, h.51 56 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syarî‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 51

Page 52: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

37

bahwa setiap amal yang mengabaikan maqâsid-nya adalah batal. Barang

siapa yang memperhatikan maqâsid syarî‟at, yaitu dalam upaya

mendatangkan maslahah dan menolak mafsadat, ia akan memperoleh

keyakinan dan pengetahuan yang mendalam bahwa maslahah tidak boleh

diabaikan dan mafsadat tidak boleh didekati, kendatipun tidak ada ijmak,

teks maupun qiyas yang khusus membahasnya.57

Imam Syihâb al-Dîn al-

Qarâfî mengembangkan teori fath al-zarâ‟i dengan teori saddal-zarâ‟i,

bahwa apabila saran yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya

dibuka.58

Ibn Syams al-Dîn Ibn al-Qayyim di dalam kitabnya I‟lam al-

Muwaqqi‟in „an Rabb al-„Alamin menyatakan bahwa seorang tidak akan

mengetahui mana qiyas yang benar dan mana qiyas yang salah tanpa

mengetahui rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan syari„at.59

Urgensi maqâsid semakin terang dengan hadirnya Imam al-Syâtibî

yang menjadikan pemahaman terhadap maqasid al-syarî‟ah sebagai syarat

untuk berijtihad.60

Dalam artian, seseorang tidak mungkin mencapai derajat

ijtihad jika tidak mengetahui maqâsid al-syarî‟ah secara sempurna dan

menjadikannya sebagai metode penggalian dan penetapan hukum, termasuk

penggalian terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak

ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya dapat dianalisis melalui

metode maqâsid tersebut.61

Hanya saja tawaran konsep maqâsid al-Syâtibî masih menyisahkan

celah bagi generasi berikutnya untuk melakukan kritik dan perbaikan.

Sebagaimana diketahui bahwa al-Syâtibî dalam membahas kemaslahatan,

disamping masih bertumpu pada pemeliharaan lima unsur pokok setiap

individu, juga hanya berkutat pada hiraki kekuatannya, yakni maslahah

daruriyyat (mendesak, primer), maslahah hajiyyât (dibutuhkan, sekunder),

dan maslahah tahsiniyyat (keindahan, tersier). Pengabaian aspek daruriyyat

dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan.

57 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 52 58 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 53 59 Ibn al-Qayyim, dalam Imam Mawardi. Fiqh Minoritas (Yogyakarta: LKiS, 2010), h.184 60 Al-Syatibi, dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâsid al-Syarî‟ah Menurut al-Syatibi,

(Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 129 61

Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqâsidî”, Rausyan Fikr, Vol.13, No.02(Desember,2017), h.

339-340

Page 53: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

38

Tidak terwujudnya aspek hajiyyât tidak sampai merusak keberadaan lima

unsur pokok, akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia

sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan aspek tahsiniyyat

yang terabaikan hanya membuat pemeliharaan lima unsur pokok tidak

sempurna.62

Oleh karena itu, pada masa kontemporer, dimensi kemaslahatan tidak

hanya bersifat proteksi dan pelestarian tetapi lebih bersifat pengembangan

dan pemuliaan, sebagaimana tidak hanya diarahkan pada kepentingan

individu melainkan dapat menjangkau kepentingan manusia yang lebih luas,

yaitu masyarakat, bangsa bahkan umat manusia. Seperti meliputi prinsip-

prinsip utama yang lebih memiliki cakupan luas, misalnya keadilan,

kebebasan berekspresi dan lain-lain.63

Kemaslahatan juga tidak cukup diukur

berdasarkan hirarki kekuatannya, tetapi meniscayakan adanya upaya

interkonseksitas dan keterkaitan antar maslahah.64

Dengan begitu dimensi

kemaslahatan yang menjadi ruh dari maqâsid al-syarî‟ah semakin terlihat

perannya setelah dilakukan berbagai perbaikan dan perluasan cakupan

maqâsid, hingga akhirnya di era kontemporer ini, maqâsid telah berevolusi

menjadi sebuah metode berfikir dan beragama.

Salah satunya adalah metode yang dikembangkan ulama kontemporer

dalam menafsirkan Alqurân dengan mempertimbangkan sisi maqâsid ayat,

yang dikenal dengan al Tafsir al-Maqâsidî. Metode tafsir ini merupakan

salah satu terobosan baru atas fenomena keterbatasan dan kekurang

objektifan metode penafsiran yang telah ada.

Suatu penafsiran dianggap memiliki keterbatasan bilamana diyakini

bahwa apa pun yang dikemukakan oleh umat Islam awal tentang tafsir

merupakan pembacaan yang paling sah dan otoritatif, sehingga segala hasil

penafsiran mereka harus diikuti pada zaman modern tanpa memperhatikan

kondisi yang telah berubah.65 Akibatnya, pemahaman yang muncul

62 Al-Syatibi, dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâsid al-Syarî‟ah Menurut al-Syatibi,

(Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h.72 63

Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syarî‟ah”, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 37 64

Halil Thahir, “Ijtihad Maqâsidî rekontruksi hukum Islam berbasis interkoneksitas

maslahah”,(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,2015), h. 78 65

Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al-Qur‟an,

terj. Lien Iffah (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2015), h. 99

Page 54: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

39

cenderung tekstualis-literalis dan memiliki fungsi yang terbatas pada proses

kontekstualisasi.

Sementara kontekstualiasi yang ditawarkan oleh para penafsir

kontekstual dengan berusaha mempertimbangkan isu kemanusiaan dan titik

kesejarahannya, meliputi sosial, politik dan budaya masyarakat, dianggap

tidak dapat mempertanggung jawabkan secara objektif ketika terjadi

pertentangan antara konteks manusia dengan teks syariat.66

Bahkan produk

metode ini dinilai terlalu over subjektif, sehingga tak jarang mengantarkan

pada sikap narsisistik bahwa pandangan subjektif manusia adalah pusat

segala hal.Tanpa ada kontrol dan tolak ukur kebenaran, setiap kali paradigma

seperti ini mengantarkan pada sikap arbitrer (sewenang-wenang) dalam

menafsirkan Alqurân.

Dengan demikian, usaha untuk menghadirkan metode dan cara

pandang baru yang tidak hanya mengandalkan pemahaman umat Islam awal

atas teks dengan ciri pendekatan linguistik yang ketat, begitupun tidak

menjadikan perkembangan zaman dan pengalaman manusia sebagai tolak

ukur yang final, adalah merupakan suatu kebutuhan sekaligus menjadi

alternaif baru dalam menafsirkan Alqurân. Cara pandang maqâsidi yang

menekankan pada pencarian makna terdalam ayat-ayat Alqurân dalam bentuk

hikmah, sebab hukum, ketentuan hukum, dan segala aspek yang bisa

mengantarkan pada pembentukan nilai mashlahat, serta menjadikan

kehendak dan ketentuan syara„ bukan kehendak dan tujuan manusia sebagai

patokan dan tolak ukuran kemaslahatan tersebut, dapat menjadi alternatif

dalam merespon keterbatasan paradigma penafsiran yang ada. Model

penafsiran ini berusaha memelihara pesan universal Alqurân, sehingga dapat

lebih sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman (salihun li kulli zaman wa

makan) dengan cara mengalihkan arah pandangan dengan melakukan

pencarian pada maqâṣhid Alqurân yang universal.67

Nilai universal yang melekat pada maqâsid Alqurân merupakan nilai

yang menjadikan Alqurân mampu berjalan seiring dengan semangat zaman

yang melingkupinya, serta tidak mengenal batas teritorial dan sekat-sekat

66

Ahmad al-Raysuni, “Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial”, terj. Ibnu

Rusydi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.32 67

Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Al Maqâsidi; Pendekatan Sistem Interpretasi

journal Suhuf, vol 9, No 2, Desember 2016. h.297

Page 55: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

40

kemanusiaan. Dengan demikian, Alqurân sebagai kitab hidayah mampu

menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, baik personal maupun kolektif,

demikian halnya dengan penerapan hukum syariat, tak lekang oleh perubahan

waktu dan tempat akibat penerapan nilai-nilai universal sebagai hasil terapan

dari maqâsid alqurân.

C. Hifz al-Nafs

1. Pengertian

Hifz an-Nafs, yang secara literal bermakna menjaga jiwa, berasal dari

gabungan dua kata bahasa Arab, yaitu حفظyang artinya menjaga,68

dan فس الن

yang maknanya jiwa/ruh.69

Sementara secara terminologi, makna hifz an-nafs

adalah mencegah melakukan hal-hal buruk terhadap jiwa, dan

memastikannya tetap hidup.70

Hifz an-Nafs merupakan salah satu dari tujuan

diadakannya syariat Islam (maqâhsid al-syariah al-islamiyyah).71

Hal ini

berlandaskan bahwa sejak empat belas abad yang lalu, Islam yang dibawah

oleh Nabi Muhammad Saw memiliki visi yang agung, yaitu menghormati

hak-hak asasi manusia secara komprehensif, dan yang paling utamanya

adalah agama Islam sangat memperhatikan hak hidup manusia. Sehingga

jiwa manusia dalam rangkaian tujuan syariat Allah tersebut – sangat

dihormati dan dimuliakan.72

Dalam khazanah Islam, an-Nafs memiliki banyak pengertian, bisa

berarti jiwa, nyawa, dan juga dapat bermakna pribadi. Potensi-potensi yang

terdapat dalam nafs sendiri bersifat potensial, namun juga dapat teraktualkan

jika manusia mengupayakannya. Dan, potensi-potensi tersebut dapat

68

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia, (Ypgyakarta:

Pustaka Progresif, 1996), h. 279 69

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia, h. 1446. 70

Nuruddun Al-Mukhtar Al-Khadimi, Al-Munasabah Al-Syar‟iyyah wa Tatbiquha Al-

Mu‟asirah, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2006), h. 77 71

Yusuf Ahman Muhammad Al-Badawi, Maqâsid Al-Syarî‟ah Inda Ibn Taimiyyah, (t.tp: Dar

An-Nafais, t.th), h. 127 72

Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia,

(Yogyakarta: Aksara Books, 2017), hal. 31-32

Page 56: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

41

membentuk kepribadian, yang perkembangannya dapat dipengaruhi oleh

faktor internal maupun faktor eksternal.73

Jaminan keselamatan jiwa (hifz an-Nafs) sendiri merupakan jaminan

keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia bagi setiap manusia. Di

mana termasuk dalam cakupan pengertian umum atas jaminan ini ialah

jaminan keselamatan nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan

kemanusiaan. Mengenai yang terakhir ini, meliputi keterbatasan memilih

profesi, kebebasan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat, kebebasan

berbicara dan memilih tempat tinggal.74

Untuk dapat melestarikan jiwa, Islam mensyariatkan perkawinan untuk

keberlangsungan jenis manusia. Dan untuk menjaga jiwa juga, Islam

mensyariatkan hukuman qishas atau hukuman setimpal, diyat, denda, kafarat

atau tebusan bagi orang-orang yang menganiaya jiwa.75

Rangkaian syariat

Islam tersebut memberi penegasan bahwa menjaga jiwa merupakan perilaku

mulia.

Penjelasan di atas memberikan gambaran kepada umat manusia –

khususnya umat Islam untuk memelihara jiwa diri dan orang lain dengan

memperlakukannya secara baik sebagaimana Nabi Muhammad Saw telah

mencontohkannya secara maksimal. Sebaliknya, umat Islam tidak ditolerir

melakukan kejahatan kepada jiwa-jiwa manusia, apalagi sampai

membunuhnya. Hal demikian juga sebagaimana apa yang dinyatakan oleh

Abdul Qadir Jawaz, bahwa karena Islam mengajarkan untuk menjaga jiwa,

maka Allah mengharamkan pembunuhan dan pertumpahan. Islam melarang

pembunuhan secara tidak halal, dan hukuman membunuh jiwa adalah

hukuman mati.76

Imam al-Ghazâlî, sebagaimana dikutip oleh Masdhar Farid Mas‟udi,

juga menyatakan, bahwa hifz an-nafs yang merupakan salah satu dari prinsip

al-Kulliyyat al-Maqâshid al-Khamsah, merupakan ketentuan dasar dalam

agama Islam yang bermuara pada perlindungan hak-hak manusia. Dimana

73

Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2003), h. 46 74

Muhammad Abu Zahra, Ushûl Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010), h. 425 75

Miftahul Arifin, Ushûl Fiqh: Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra

Media, 1997), h. 250 76

Yazid Bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Depok: PT.

Niaga Swadaya, 2016), h. 126

Page 57: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

42

menurutnya, hukum apapun, jika berlandaskan pada tujuan untuk menjaga

jiwa maka dipastikan benar dan merupakan hukum syariat Islam.77

Hifz an-Nafs, berdasarkan peringkat kepentingan dapat dibedakan

menjadi tiga perangkat78

, yaitu sebagai berikut:

1. Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyyat, seperti misalnya memenuhi

kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Yang, jika

kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan mengakibatkan terancamnya jiwa manusia

dari kelemahan, bahkan pada tingkat kematian.

2. Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu dan

menikmati makanan lezat. Yang mana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi

sebenarnya tidak akan terjadi apapun, bahkan jika ada indikasi memaksakan,

akan mempersulit hidupnya.

3. Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat, seperti ditetapkannya tata cara

makan dan minum. Hal demikian itu hanya bersifat kesopanan, dan sama

sekali tidak akan mengancam jiwa manusia ataupun mempersulitnya.

2. Hifz al-Nafs dalam al-Qur‟an

Berkenaan dengan hifz an-nafs, Ibnu Taimiyyah memberikan dalil

naqliyyah dalam Al-Quran dan Al-Hadis yang mendukung agar umat manusia

dapat memelihara jiwa. Ayat Al-Quran yang ia gunakan sebagai bukti bahwa

memmelihara jiwa merupakan keharusan agama. QS. Al-Furqan: ayat 68 yang

berbunyi:

بالق فسالتحرماللوإل ولي زنونومن والذينليدعونمعاللوإلاآخرولي قت لونالن

.ي فعلذلكي لقأثاما

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta

Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah( membunuhnya

)kecuali dengan( alasan )yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang

melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat( pembalasan )dosa( nya )

77

Masdar F. Masudi, Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam, (Jakarta:

Alvabet, 2010), h. 141 78

Sapiuddin Shidiq, Ushûl Fiqh, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), h. 228

Page 58: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

43

Ayat Al-Qurân yang lain yang menjadi dalil untuk penjagaan jiwa

yaitu :

QS. Al-Baqarah: 191

منالقتلولت نةأشد قاتلوىمواق ت لوىمحيثثقفتموىموأخرجوىممنحيثأخرجوكموالفت

ي قاتلوكمفيوفإنقات لوكمفا الكافرينعندالمسجدالرامحت كذلكجزاء ق ت لوىم

Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah

mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih

besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka

di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika

mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.

Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.

Sedangkan salah satu hadis yang ia kurip dari Sahih al-Bukhari yaitu

berbunyi:

هاابدامنت ردىمنجبلف قتلن فسوف هوفنا رجهنمي ت ردىخالداملدافي

Barang siapa turun dari gunung dan kemudian ia membunuh dirinya

maka akan masuk neraka jahannam, ia akan turun di neraka dalam keadaan

langgesng dan selama-lamanya.79

QS. Al-Baqarah: 85

با عليهم تظاىرون ديارىم من منكم فريقا وترجون أن فسكم ت قت لون ىؤلء أن تم وإنث والعدوان إلث

عليك مرم وىو ت فادوىم أسارى جزاءيأتوكم فما بب عض وتكفرون الكتاب بب عض أف ت ؤمنون إخراجهم م

العذاب أشد إل ي ردون القيامة وي وم ن يا الد الياة ف خزي إل منكم ذلك ي فعل امن عم بغافل اللو وما

نت عملو

79 Ibnu Taymiyah, Maqâsid Al-Syarî‟ah, (t.tp: Dar An-Nafais, t.th), h. 64

Page 59: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

44

“ kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa)

dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu

bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan;

tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka,

Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman

kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang

lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,

melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka

dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa

yang kamu perbuat”.

QS. Al-baqarah: 178

والعبد بالر الر لى فالقت عليكمالقصاص كتب آمنوا الذين أي ها فمنعفييا باألن ثى واألن ثى بالعبد

ورحة ربكم من تفيف ذلك بإحسان إليو وأداء بالمعروف فات باع شيء أخيو من ب عدلو اعتدى فمن

.ذلكف لوعذابأليم

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang

merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka

Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah

(yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang

diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang

baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan

suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya

siksa yang sangat pedih”.

Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak

dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang

terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran

diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang

membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik.

Page 60: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

45

QS. Al-Nisa: 74

عن تارة تكون أن إل بالباطل نكم ب ي أموالكم تأكلوا ل آمنوا الذين أي ها ت قت لوايا ول منكم ت راض

كانبكمرحيما اللو .أن فسكمإن

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan

yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

membunuh dirimu,80

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu”.

QS. Al-Nisa: 66

قليلمن إل ف علوه ما دياركم اخرجوامن أو أن فسكم اق ت لوا أن عليهم نا كتب أنا ولو ولو ماهم أن همف علوا

ت ثبيتا رالموأشد .يوعظونبولكانخي

“dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:

"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka

tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan

Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada

mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih

menguatkan (iman mereka),”

QS. Al-Baqarah: 72

كنتمتكتمونوإذق ت لتمن فسافادارأتفيها .واللومرجما

“ dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu

saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang

selama ini kamu sembunyikan”.

80

Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab

membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. lihat QS.

Al-Nisa ayat 29

Page 61: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

46

D. Penafsiran Ayat-ayat Hifz al-Nafs

1. Tafsir Klasik

Pada masa tafsir klasik, penafsiran al-Qur‟an telah melewati proses

sejarah yang amat panjang yang dimulai sejak Nabi masih hidup. paradigm

penafsiran klasik dibangun atas dasar penafsiran yang bersifat retrospektif,

tekstual, dan al-„ibrah bi umum al lafzh la bi khusus al-sabab.81

Sehingga

dalam perkembangan tafsir klasik tersebut menggunakan metode tafsir bi al-

Ma‟tsur82

Seperti penafsiran Al-Qurtubî83

dalam tafsirnya tidak hanya

membahas ayat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an, melainkan

mengulas al-Qur‟an secara menyeluruh.

Selain tafsir al-Qurtûbî, ada juga tafsir lain yang juga tergolong

kedalam tafsir klasik yaitu tafsir at-Thabari84

. Penulis memilih al-Qurthubi

karena tafsir ini tergolong tafsir klasik yang banyak menjadi rujukan untuk

mengetahui hukum-hukum sosial di dalam kehidupan masyarakat dulu dan

penulis menggunakan tafsir at-Thabari untuk melihat situasi dan kondisi

masyarakat dulu dalam bentuk tafsir klasik.

1.1 Jami Al-Bayan Karya Imam At-Tabari

QS. Al-Isra: 17/31

Ayat ini merupakan larangan Allah Swt kepada orang tua untuk

membunuh anak-anak mereka. Hal itu menjadi bukti bahwa Allah Swt lebih

mengasihi anak-anak mereka dari pada orang tuanya sendiri. Sebagaimana

orang-orang jahiliah yang suka dengan membunuh anak-anak perempuan

81 Hadi Mutamam, Analisis Kritik atas Kontribusi Tafsir Kontemporer,Jurnal: Al-Fikr, Vol 7

nomor I tahun 2013, h. 154 82

Tafsir bi al-Ma‟tsur yaitu penafsiran yang dilakukan ayat dengan ayat, ayat dengan

keterangan rosul, ayat dengan keterangan sahabat nabi atau juga penafsiran ayat dengan penafsiran

para tabi‟in 83

Nama lengkap al-Qurtubi adalah al-Imâm Âbû „Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abû

Bakar Farh al-Ansârî al-Khazrajî al-Andalusi al-Qurtubî al-Mufassir. Lahir di Andalusia/Spanyol pada

tahun 580 H/ 1148 M dan meninggal dunia di Mesir pada tahun 671 H di kota el-Meniya, di timur

sungai Nil.(lihat: Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern,

diterbitkan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, h. 19) 84

Nama lengkap at-Thabari adalah Âbû Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin

Ghâlib at-Thabari.(lihat: tafsir jami al-bayan an Ta‟wil ayi al-Qur‟an, Kairo: Dar as-Salam,2007)

Dilahirkan di Amul, nama daerah di Thâbaristan pada 224 H/839 M.(lihat: Faizah Ali Syibromalisi dan

Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern, diterbitkan: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah,h.1). Ia wafat pada usia 86 tahun yaitu pada tahun 310 H.(lihat: M.Hasbi Ash-Shiddiqy,

Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang 1972, h.222.)

Page 62: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

47

mereka dikaenakan takut akan memberikan beban lebih dalam hidupnya.

Dalam ayat ini Allah mendahulukan rizki kepada anak-anak dari pada orang

tuanya, sebagai bukti bahwa Allah lah sebagai pemberi kepastian rizki-rizki

mereka.85

QS. Al-Isra: 17/33

Sementara ayat ke-33 ini merupakan larangan dari Allah untuk

membunuh jiwa manusia. Karena membunuh satu jiwa manusia sama halnya

dengan membunuh semua manusia dan sama dengan membuat kerusakan di

alam dunia.86

QS. Al-Ma‟idah: 5/32

Ayat ini merupakan peringatan keras kepada Bani Israil yang telah

melakukan pembunuhan secara keji kepada jiwa-jiwa manusia. Ayat tersebut

juga merupakan peringatan kepada mereka untuk tidak melakukan kerusakan

di buka bumi, dengan meneror Allah dan Rasul-Nya atau meneror di jalan-

jalan. Menurut At-Tabari pemaknaan bahwa membunuh jiwa manusia seperti

membunuh semua manusia ialah jikamana yang dibunuh adalah nabi atau

orang-orang yang beriman. Hal itu sebab utusan-utusan Allah dan atau orang-

orang yang beriman memiliki pengarus yang besar di tengah kehidupan

masyarakat. Oleh sebab itu siapa yang membunuh dalam bentuk demikian itu

harus dibunuh juga sebagai balasan yang setimpal. Balasan qishas ini juga

berlaku untuk orang-orang yang membuat kegaduhan di muka bumi.87

QS. Al-An‟am: 6/151

Setelah Allah menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua

orang tua, Allah menyuruh untuk berbuat baik kepada anak-anak dan cucu.

Perilaku membunuh anak sama dengan perilaku zaman jahiliyyah, di mana

masyarakat membunuh anak-anak perempuannya dan menghinakan anak laki-

laki yang enggan mau bekerja keras. Pemnbunuhan kepada anak-anak mereka

85

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 3, h.

316. 86

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 5, h.

242-244. 87

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, h. 761-

763.

Page 63: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

48

dilatarbelakangi oleh takutnya tidak diberi rizki. Oleh itu dalam ayat ini Allah

mengakhirinya dengan mengedepankan pemberian rizki kepada anak-anak

dibandingkan dengan orang tuanya.88

1.2 Ibnu Katsir Karya Ibnu Katsir

QS. Al-Isra: 17/31

Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut di atas merupakan bukti kasih

sayang Allah kepada anak manusia lebih besar dari pada kasih sayang seorang

ibu kepada anak kandungnya, sehingga Allah melarang untuk membunuh

manusia. Ayat tersebut turun karena pada masa jahiliyah ada orang yang

enggan memberikan harta waris kepada anak perempuan karena takut

miskin.89

QS. Al-Isra: 17/33

Sedangakan ayat ini maknanya bahwa Allah bermaksud melarang

umat manusia untuk melakukan pembunuhan tanpa dasar yang dibenarkan

oleh syari‟at Islam. Dengan mengutip hadis yang disebutkan dalam as-Sunan,

ia menegaskan bahwa hilangnya dunia di sisi Allah lebih ringan dibandingkan

dengan terbunuhnya seorang muslim.90

QS. Al-Ma‟idah: 5/32

Ayat ini turun ketika ada sekelompok orang dari „Ukl yang hendak

berbaiat dengan Rasulullah untuk masuk Islam. Namun sesampainya di

Madinah mereka sakit karena tidak cocok dengan kondisi cuaca di Madinah.

Akhirnya Rasulullah bertanya kepada mereka, “mengapa kalian tidak pergi

dengan penggembala unta, sehingga kalian bisa meminum air kencing dan

susu untanya?”. Akhirnya sekelompok itu pergi bersama para penggembala

unta. Mereka meminum air kencing dan air susu unta dan merekapun sembuh

dari penyakitnya. Namun setelah sembuh, mereka malah membunuh

penggembala unta yang telah menolongnya. Sekelompok orang itu kemudian

88

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, h. 651. 89

Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,

1419), jilid 5, h. 242-243. 90

Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 5, h. 244.

Page 64: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

49

dihadapkan kepada Rasulullah, dan akhirnya ia memotong tangannya dan

mencongkel matanya.91

Ayat ini merupakan larangan untuk membunuh sesama manusia tanpa

sebab apapun yang dibenarkan oleh syariat, seperti qishas atau membuat

kerusakan di muka bumi. Pembunuhan kepada seorang manusia diibaratkan

seperti membunuh semua manusia, karena manusia satu sama lainnya

memiliki kesamaan. Hal demikian itu pernah terjadi manakala sekelompok

Bani Quraidah, Nadzih dan Qainuqa‟ membunuh orang-orang Aush dan

Khazraj, dan kemudian mereka menebusnya dengan diyat.92

QS. Al-An‟am: 6/151

Ayat tersebut turun karena orang-orang jahiliyah terbiasa untuk

membunuh anak-anak perempuannya dan sebagian anak laki-lakinya

disebabkan takut akan kemiskinan. Padahal menurutnya, membunuh anak

karena takut tidak bisa memberi makan adalah termasuk dosa besar. Ayat

tersebut diakhiri dengan kalimat “nahnu narzukukum”, memberi penegasan

bahwa Allah akan selalu memberikan rizki kepada orang tua yang mau untuk

mengurus anak-anaknya.93

1.3 Ruh Al-Bayan Karya Al-Buruswi

QS. Al-Isra: 17/31

Sebagaimana para mufasir lainnya, Al-Buruswi menyatakan bahwa

ayat tersebut merupakan larangan Allah untuk membunuh anak-anak yang

dilakukan oleh masyarakat Arab. Hal demikian itu merupakan dosa besar.

Padahal rizki itu sudah ditanggung oleh Allah dan Allah pastikan untuk

memenuhinya.94

QS. Al-Isra: 17/33

Sedangkan ayat ke 33 adalah larangan untuk membunuh jiwa manusia

baik itu Islam, kafir dzimmi atau kafir mu‟ahad. Diperbolehkan membunuh

91

Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 2, h. 72. 92

Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 2, h. 72-73. 93

Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 3, h. 320.-321. 94

Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islami, 1114),

Jilid 5, h. 154.

Page 65: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

50

jika hanya karena tiga hal, yaitu kafir setelah iman, melakuka zina setelah

muhsan, dan membunuh orang yang bukan budak dengan secara sengaja.

Membunuh jiwa tanpa tiga alasan tersebut merupakan dosa besar.95

QS. Al-Ma‟idah: 5/32

Menurut Al-Buruswi, ayat ini merupakan larangan untuk membunuh

manusia. Ayat ini menjelaskan juga perihal penindakan tegas kepada pelaku

pemunuhan, karena perilaku demikian merupakan perilaku yang amat buruk.

Orang yang telah membunuh manusia sama saja dengan memperkosa

keharaman darah, memunculkan kebiasaan pada orang lain untuk membunuh

dan ujungnya menarik murka Allah untuk datang kepadanya. Oleh itu untuk

melerai semua itu Allah datangkan Nabi yang membawa ayat-ayat Al-Quran

guna menjelaskan secara jelas.96

QS. Al-An‟am: 6/151

Sebagaimana mufasir lainnya, Al-Buruswi menyatakan bahwa ayat ini

merupakan larangan umat manusia untuk membunuh putra-putrinya dalam

keadaan hidup-hidup yang dilatar belakangi karena habisnya uang belanja

keluarga. Demikian itu sungguh telah merusak bangunan yang telah Allah

bangun. Sama seperti halnya pohon yang telah ditanam dari kecil, namun

ketika besar dan endak berbuah pohon itu dipotong dan dirobohkan. Hal itu

merupakan dosa yang besar kepada ketetapan Allah Swt.97

2. Tafsir Modern

Kemunculan tafsir modern sedikit banyaknya bisa disebabkan karena

adanya ketidakpuasan para mufasir modern terhadap karya mufasir

sebelumnya. Dimana para mufasir modern telah beranggapan bahwa dalam

karya tafsir yang ditulis pada masa periode awal dianggap sebelum menyentuh

pada permasalahan umat secara keseluruhan. Jadi bisa disimpulkan bahwa

95

Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, Jilid 5, h. 155. 96

Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, jilid VI, h. 307-308. 97

Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, jilid VIII, h. 140.

Page 66: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

51

perkembangan tafsir berikutnya adalah kritik atas tafsir atau penyempurnaan

penafsiran sebelumnya.98

Salah satu perkembangan corak penafsiran modern adalah corak adab

ijtima‟i dengan metode bi ra‟yi99

seperti tasir al-Marâghî dan tafsir al-Misbah.

Seperti yang sudah disebutkan bahwa kedua tafsir diatas bercorak adabi

ijtima‟i, demikian ini sangat cocok untuk digunakan penulis dalam

penelitiannya yang menggunakan pendekatan sosial masyarakat.

2.1. Tafsir Al-Marâghî Karya Mustafa Al-Marâghî

QS. Al-Isra: 17/31

Ayat ini merupakan larangan Allah kepada umat Islam untuk

mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang dilatarbelakangi karena

takut melarat. Hal itu bermula dari pengalaman orang-orang jahiliyah yang

sering membunuh dan mengubur anak perempuan mereka dikarenakan tidak

mampu bekerja sebagaimana laki-laki yang mampu untuk merampas,

merampok atau mendapatkan harta-harta dari para Kabilah tertentu. Atas

demikian itu Allah menyatakan bahwa janganlah seseorang takut akan

anaknya tidak diberikan rizki. Karena sumber rizki ada pada Kami, bukan

pada kamu (orang tua). Karena takut tidak mendapatkan rizki adalah sama saja

dengan berburuk sangka kepada Allah Swt. Disamping itu, membunuh adalah

perbuatan yang dihitung sebagai dosa besar karena dua alasan, pertama karena

memutus keturunan, dan kedua, karena melawan takdir Allah dalam bentuk

menghilangkan pewujudan alam yang sudah Allah ciptakan.100

QS. Al-Isra: 17/33

Ayat ini merupakan larangan Allah untuk membunuh jiwa manusia

dengan tanpa sebab apapun yang dibolehkan oleh syariat Islam, seperti

98

Tantri Setyo Ningrum, Wecana Istri Sebagai Pencari Nafkah Pemahaman Husein

Muhammad Atas Penafsiran Q.S An- Nisa 4:34 Dan At-Thalaq 64:6-7(Skripsi), Jakarta:UIN Syarif

Hidayatullah, 2019, h. 42-43. 99

Tafsir bi ra‟yi yaitu tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya atau maksudnya,

mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan juga di dasarkan

kepada logikanya sendiri. (lihat: Manna Khalil Qahthan, fi „ulûm al-Qur‟ân, Kairo: Maktabah Wahbah,

h. 440) 100

Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar At-Turats Al-Islami,

t.th), jilid xiii, h. 75-76.

Page 67: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

52

membunuh kafir setelah mereka beriman atau berbuat zina setelah ihsan.

Dilarangnya membunuh jiwa manusia tanpa alasan yang dibenarkan syariat

karena pembunuhan akan mengakibatkan kerusakan dan mendatangkan

marabahaya pada masyarakat.101

QS. Al-Ma‟idah: 5/32

Ayat tersebut merupakan larangan pembunuhan sebagaimana yang

telah dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Kemudian, ayat tersebut menjadi

landasan larangan membunuh kepada Bani Israil. Selain larangan

pembunuhan, ayat tersebut juga menjelaskan akan larangan berbuat kerusakan

di muka bumi yang menyebabkan kematian. Perilaku demikian itu sama saja

dengan membunuh semua orang, karena dosanya yang sangat besar.

Sementara itu barang siapa yang menyelamatkan nyawa manusia dari

pembunuhan maka seakan ia telah menyelamatkan semua orang yang ada di

muka bumi. Dilarangnya manusia untuk membunuh jiwa manusia yang lain

adalah karena hak kemanusiaan. Jiwa manusia harus dihormati setinggi-

tingginya karena merupakan ciptaan Allah.102

QS. Al-An‟am: 6/151

Menurut Al-Marâghi, ayat ini merupakan penjelasan terkait prinsip-

prinsip agama Islam, yang mencakupi larangan musyrik, berbakti kepada

orang tua, larangan untuk membunuh jiwa dan larangan untuk mengkonsumsi

apa-apa yanng telah larang. Dalam penjelasan soal pembunuhan jiwa Allah

mengutuk keras perbuatan tersebut. Dalam ayat ini adalah larangan

pembunuhan seorang ayah kepada anaknya karena disebabkan takut tidak bisa

memberikan nafkah kepada anak-anaknya itu. Demikian itu Allah jawab

bahwa Ia akan menanggung semua rizki orang tua dan anak-anaknya.

Menurut-Nya rizki tidaklah datang dari kamu, akan tetapi dari kami. Sehingga

tidak perlu khawatir akan hal tersebut di atas. Pelarangan Allah untuk

membunuh karena manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang harus

101

Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid xiii, h. 78-79. 102

Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 4, h. 86-88.

Page 68: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

53

dihormati. Karena sesungguhnya menjaga jiwa adalah bentuk kemanusiaan

yang dilandasi oleh Al-Quran.103

2.2. Fi Zilal Al-Quran Karya Sayyid Qutb

QS. Al-Isra: 17/31

QS. Al-Isra ini merupakan larangan untuk membunuh anak yang

disebabkan oleh ketakutan tidak dapat memebrikan rizki. Dalam ayat ini

disebutkan “nahnu narzukuhum wa iyyakum..”, dengan mendahulukan

menyebutkan kata ganti untuk anak-anak mereka, karena memang yang

dihawatirkan adalah anak-anak, bukan orang tua, sebagaimana dalam QS. Al-

An‟am yang menyebutkan kata gantu “kum” untuk orang tua dan

mengakhirkan “hum” untuk anak-anak. Hal itu sebab yang dihawatirkan

adalah kemiskinan menimpa kepada orang tua. Dalam pandangan Sayyid

Qutub, munculnya peristiwa pembunuhan kepada anak-anak disebabkan

karena buruknya ideologi yang dianut sehingga berakibat buruk kepada

perilaku masyarakatnya.104

QS. Al-Isra: 17/33

Ayat ini memeberi penjelasan secara tegas bahwa membunuh adalah

perbuatan dosa besar disebabkan yang dapat mamberi kehidupan adalah Allah.

Oleh karena itu Allah melarang manusia untuk membunuh membunuh

manusia lain, karena itu merupakan hak Allah dengan ketentuan-ketentuan

syariat-Nya. Orang yang telah membunuh harus dihukum dengan pembunuhan

kembali sebab dengan itu akan merasakan pembalasan yang setimpal atas apa

yang telah diperbuatnya. Selanjutnya, dengan qishas, ada kehidupan masa

depan, artinya dengan diberlakukanya qishas maka akan ada nyawa-nyawa

yang terjaga dari pembunuhan karena ada efek jera dan pelajaran bagi orang

lain untuk tidak melakukannya. Selain itu, dengan qishash juga dapat menjaga

spiritual masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal serupa dan lebih

103

Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 1, h. 278. 104

Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, (Beirut: Dar AL-Syuruq,

1312), jilid 7, h. 252.

Page 69: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

54

memperbaiki kehidupannya dalam berhubungan dengan Allah ataupun dengan

manusia.105

QS. Al-Ma‟idah: 5/32

Dalam pandanagn Sayyid Qutb, ayat ini memberi maksud membunuh

seorang muslim dengan disamakan seperti membunuh semua manusia, dan

juga membuat kerusuhan di muka bumi, sebab dalam pada itu sesungguhnya

telah menciderai kemanusiaan. Seorang muslim yang seharusnya diperlakukan

damai, santun dan cinta namun dibunuh dengan tanpa sebab yang dibolehkan

dalam Islam, seperti qishas. Menurutnya pula, hukum demikian hanya berlaku

dalam dar al-islam (Negara Islam), dan tidak berlaku dalam dar al-harb

(negara perang). Orang yang telah melakukan demikian itu maka juga harus

dijatuhi hukum bunuh (qishas).106

QS. Al-An‟am: 6/151

Menurut Qutb, ayat ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada

orang tua dan anak-anak. Allah lebih kasih sayang kepada mereka berdua,

dibandingkankan dengan kasih sayang satu sama lain di antara mereka. Oleh

itu, sudah seharusnya orang tua maupun anak untuk saling mencintai dan

mengasihi, dan tidak boleh membunuhnya. Allah melarang pembunuhan

dengan alasan takut kelaparan, karena sesungguhnya Allah memberi rizki pada

orang tua ketika sudah masa tua dan kepada anak-anak saat masa kecil. Allah

pula yang akan memberikan rizki pada saat mereka kelaparan.107

2.3. Al-Mishbah Karya Quraish Shihab

QS. Al-Isra: 17/31

Ayat ini menjelaskan akan kebiasaan masyarakat jahiliyah yang tidak

henti-hentinya membunuh anak-anak mereka, baik perempuan (dan ini

mayoritas) ataupun laki-laki, mereka dibunuh dalam keadaan hidup-hidup

yang disebabkan karena tidak adanya rizki untuk menafskahi anak-anaknya.

Penjelasan ini berbeda dengan penjelasan ayat Al-Quran yang mirip yaitu pada

QS. Al-An‟am 151 , perbedaannya, jika dalam ayat ini disebutkan dhomir

105

Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 7, h. 251-252. 106

Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 3, h. 212-213. 107

Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 4, h. 243.

Page 70: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

55

“hum” untuk anak, yang mengindikasikan bahwa Allah sudah menanggung

rizki anak-anak, sehingga para orang tua tak perlu khawatir akan anak-

anaknya ketik adalam masa kekurangan. Sementara dalam QS. Al-An‟am

disebutkan “kum” terlebih dahulu, yang menunjukkan kepada orang-tua,

karena yang dimaksudkan lebih utama dalam ayat tersebut ialah bahwa Allah

sudah memastikan rizki untuk orang tua.108

QS. Al-Isra: 17/33

Sementara ayat 33 merupakan peringatan Allah kepada semua manusia

untuk tidak membunuh jiwa manusia dengan modus apapun kecuali ada alasan

yang dibenarkan oleh syariat Islam. Tidak bolehnya manusia membunuh

manusia berlaku baik membunuh jiwanya sendiri atau jiwa orang lain. Dalam

Islam dibolehkan membunuh tapi dengan tiga syarat, pertama karena alasan

qishas, kedua alasan untuk menghilangkan keburukan seperti telah melakukan

zina, dan ketiga karena menjadi pelajaran agar keburukan si pelaku

pembunuhan tidak ditiru oleh orang lain.109

QS. Al-Ma‟idah: 5/32

Menurut Quraish Shihab, ayat ini turun karena di masyarakat Bani

Israil telah marak peristiwa pembunuhan yang disebabkan oleh alasan yang

tidak berasaskan syariat Allah. Ayat tersebut memberi warning kepada Bani

Israil untuk tidak lagi mengulang apa yang telah dilakukannya. Menurut

Shihab, penggunaan kata “ajli” mengindikasikan akan adanya pembunuhan di

masa yang akan datang manakala Allah tidak memperingati dan tidak

menurunkan hukuman bagi pelaku pembunuhan. Apalagi apa yang sudah

dilakukan Bani Israil ialah membunuh utusan-utusan Allah.110

Ayat ini

menyatakan bahwa pembunuhan manusia sama halnya dengan membunuh

semua manusia, ialah jika dipandang dalam kacamata sosiologi atau psikologi.

Karena dalam kacamata keduanya, setiap manusia memiliki kemanusiaan

yang sama. Ayat tersebut juga sekaligus meberi penegasan untuk

108

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran

(Tangerang: Lentera Hati, 2003), jilid 7, h. 454-455. 109

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 7, h.

457-458. 110

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 6, h.

81.

Page 71: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

56

memperlakukan semua orang dengan sama, dan melepas perbedaan apapun

yang melatar belakangi seseorang, baik ras, suku, atau agama.111

QS. Al-An‟am: 6/151

Ayat ini merupakan panduan dari Allah Swt kepada manusia untuk

memperhatikan beberapa hal, pertama dan yang paling utama adalah tidak

mensekutukan Allah dengan suatu apapun. Kedua, tidak durhaka dengan

orang tua karena mereka yang telah susah payah mengurus kita sejak kecil.

Ketiga, larangan untuk membunuh anak-anak yang lahir dengan alasan takut

kekurangan harta. Keempat, larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

yang keji. Dan kelima, larangan membunuh jiwa-jiwa yang Allah haramkan

dalam syariat-Nya.

Menurut Quraish Shihab, larangan membunuh anak-anak yang baru

lahir merupakan kesalahan besar, sebab beawal dari asumsi bahwa mereka

sendirilah yang menjamin harta anak-anaknya, padahal penjamin

sesungguhnya adalah Allah Swt, meskipun dengan syarat tetap berusaha untuk

mendapatkan rizki yang halal.112

Sementara itu larangan membunuh jiwa-jiwa manusia bukanlah hal

baru perihal larangan Allah Swt. Jiwa manusia terhormat di sisi Allah ,

sehingga tidak boleh tersentuh hingga mengakibatkan darahnya

mengalir/tebunuh. Hal demikian itu merupakan dukungan terhadap Hak Asasi

Manusia yang juga didukung oleh Al-Quran.113

111

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 6, h.

82. 112

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qura, jilid 6, h.

86. 113

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , jilid 6, h.

343

Page 72: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

57

BAB III

IBN ‘ÂSYÛR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

A. Latar Belakang Sosiokultural

Tunisia, negara kelahiran Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr merupakan

negara Arab Muslim di Afrika Utara, terletak di pesisir Laut Tengah berbatasan

dengan Aljazair di sebelah barat, dan Libya di selatan dan timur. Di antara

negara-negara yang terletak di gugusan Pegunungan Atlas, Tunisia termasuk yang

paling timur dan terkecil. 40% wilayahnya berupa padang pasir sahara, sisanya

tanah subur. 1 Lebih dari separo luasnya merupakan dataran rendah (200 meter di

atas permukaan laut), dengan ketinggian rata-rata 300 meter di atas permukaan

laut. Bandingkan dengan Maroko yang memiliki ketinggian ratarata 800 m, dan

tetangganya Aljazair dengan ketinggian rata-rata 900 m.2 Tunisia memiliki letak

strategis karena berada di pesisir Laut Mediterania yang menjadi titik temu tiga

benua: Asia, Afrika, dan Eropa.

Etnis pertama yang dikenal mendiami Tunisia ialah bangsa Barbar,

diperkirakan telah mendiami pedalaman Afrika Utara semenjak zaman Batu Tua.

Mereka diduga berasal dari Kaukasia Utara. Orang Punisia, sebutan untuk bangsa

Venesia yang datang dari daerah pesisir Asia Kecil (sekarang Libanon)

merupakan masyarakat sejarah pertama yang bermigrasi ke sana (1100 SM).

Mereka membawa peradaban zaman logam yang lebih maju daripada peradaban

Barbar yang saat itu masih berupa peradaban batu muda. Orang-orang Punisia itu

membaur dengan masyarakat setempat membangun peradaban pesisir yang

direpresentasikan oleh kerajaan Kortago (814-149 SM) di pesisir laut Tengah

(Mediterania). Berikutnya orang-orang Romawi bermigrasi ke sana setelah

menghancurkan Kortago pada tahun 146 SM. Mereka juga memasukkan orang-

orang Negro.

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Tunisia, diunduh tanggal 07 Maret 2018, pukul 16.11

2 Muhammad al-Hâdi al-Syarîf, Târîkh Tûnus: Mâ Yajibu an Tu‟raf „an Târîkh Tûnus min „Uṣûr

mâ Qabla at-Târîkh ilâ al-Istiqlâl (t.t.p.: Dâr as-Sirâs li an-Nasyr, 1993, cet. 3) h. 9.

Page 73: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

58

1. Riwayat Hidup Ibn ‘Âsyûr

Ibn „Âsyûr memiliki nama lengkap Muhammad al-Thâhîr Ibn Muhammad

al-Thâhir Ibn „Âsyûr. Keturunan keluarga „Âsyûr yang terkenal di Tunis, karena

memiliki posisi ilmiah dan jabatan di pemerintahan.

Ibn „Âsyûr lahir di kota al-Marasî pinggiran ibu kota Tunisia pada bulan

Jumâd al-„ûlâ tahun 1296 H bertepan pada bulan September tahun1879 M, beliau

lahir di rumah kakek yang berasaldari ibunya. Kakek Ibn „Âsyûr yang bersal dari

ibunya adalah Muhammad al-„Azîz seorang perdana Menteri sedangkan kakek

yang berasal dari Ayahnya seorang „Ulama‟, beliau berasal dari keluarga yang

mempunyai akar kuat dalam „ilmu dan nasab bahkan keluarga membangsakan

dengan ahl al-bait Nabi Muhammad.3

Keluaraga Ibn „Âsyûr berasal dari Andalusia kemudian pindah ke kota

Sala di Maroko (Maghrib) setelah itu baru menetap di Tunisia. 4 Ibn „Âsyûr

tumbuh dalam asuhan kakek (yang berasal dari ibunya) notabenya adalah seorang

perdana menteri dan kedua orang tuanya, orang tuanya menginginkan kelak (Ibn

„Âsyûr II) menjadi seperti kakeknya dalam keilmuan dan kepandaiannya (Ibn

„Âsyûr I)5 untuk selalu menjaganya dan bersemangat agar kelak ia menjadi

penggantinya baik dalam keilmuan, kekuasaan dan kedudukanya (sebagai perdana

mentri).6

Ibn „Âsyûr mulai belajar alqur‟an sejak usia 6 tahun. Ia kemudian

menghafal matan al-jurûmiyyah dan Bahasa Perancis. Baru pada usia 14 tahun,

3 Manî‟ „Abd al-Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli

Tafsir, ,terj. Faisal Saleh Syahdianur, (Jakarta: PT. Karya Grafindo, 2006), 33. 4 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi ‟ al-A‟ẓam Muhammad aṭ-Ṭâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa

Âṡâruh. Beirut: Dâr Ibn Ḥazm‟, h. 35. 5 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi Shaikh al-Jâmi ‟ al-A‟ẓam Muhammad aṭ-Ṭâhir Ibn „Âsyûr:

Ḥayâtuh wa Âṡâruh. Beirut: Dâr Ibn Ḥazm‟ ‟, 35. 6 Manî‟ „Abd al-Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir, 313

Page 74: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

59

Ibn „Âsyûr tercatat sebagai murid pada Universitas Az-Zaitunah (1310 H/ 1893

M).7 Di sana ia belajar ilmu syariah (fiqh dan ushul fiqh), Bahasa Arab, Hadis,

sejarah, dan lain-lain. Setelah belajar selama 7 tahun di Universitas Azzaitunnah

Ibn „Âsyûr berhasil menempuh gelar sarjana, tepatnya pada tahun 1317 H/ 1899

M).

Sekian banyak ilmu yang didapat dari Universitas Azzaitunnah

nampaknya belum memenuhi dahaganya dalam menuntut ilmu. Di waktu

luangnya, Ibn „Âsyûr menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku

tafsir, buku-buku al-Milal wa al-Nihal, menghafal hadis-hadis, syair-syair Arab

dari masa pra-Islam hingga sesudahnya, membaca buku-buku sejarah, dan lain-

lain.

Semua ilmu yang diperolehnya dari Az-zaitûnnah dan aktivitas

keilmuannya telah ikut andil membentuk kepribadian dan intelektualitasnya yang

tinggi. Di samping itu perhatian ayah dan kakeknya yang menanamkan akhlak

mulia kepada Ibn „Âsyûr telah memberikan pengaruh pada pribadinya yang

bersahaja sebagai seorang ulama di Tunis. Ibn „Âsyûr wafat pada 1393 H/ 1973

M.

2. Riwayat Pendidikan

Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr tumbuh di tengah keluarga yang

memiliki tradisi keilmuan yang baik; kakek dari pihak ayah adalah Hakim Agung

sedangkan kakek dari pihak ibu Wazir Agung. Ia sudah hafal Alqurân dengan

baik semenjak dini seperti layaknya anak-anak seusianya di masa itu, kemudian

menghafal sejumlah matan ilmiah di kuttâb sebagai persiapan untuk menempuh

pendidikan di Perguruan az-Zaitunah, seperti matan al-Âjurumiyah, matan Ibn

„Âsyir dan lain sebagainya. Pada usia tujuh tahun (1886M) dia masuk perguruan

Zaitūnah dan menempuh pendidikan dasar di sana selama tujuh tahun, kemudian

melanjutkan ke jenjang senior di institusi yang sama.

7 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,(Ciputat:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h.103-104

Page 75: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

60

Ia memiliki semangat dan kesungguhan dalam belajar serta mendapatkan

dukungan penuh serta arahan dari ayah dan kakek dari pihak ibu serta guru-

gurunya. Ia terbiasa menerima mata kuliah yang diajarkan tidak begitu saja, tetapi

menganalisis dengan kritis dan melakukan berbagai perbandingan. Mata kuliah

yang diterimanya antara lain: Nahwu, Balagah, Lugah, Mantik, Ilmu Kalam,

Fikih, Faraid, Usul Fikih, Hadis, Sirah, dan Tarikh. Ia menyelesaikan

pendidikannya tujuh tahun kemudian (1317H/ 1899M).

3. Karir Intelektual Ibn „Âsyûr

Menelusuri jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah

akademik merupakan aspek penting dalam kajian seorang tokoh sebelum melihat

produk-produk akademik yang dihasilkannya, baik dalam bentuk buku, makalah-

makalah, dan lain-lainnya.

Setelah 8 tahun mengenyam ilmu pengetahuan di Universitas

Azzaitunnah, Ibn „Âsyûr diangkat sebagai guru pada tahun 1320 H/ 1903 M di al-

Zaitunah. Karirnya terus meningkat dalam bidang pengajaran sehingga ia terpilih

menjadi tenaga pengampu di sekolah Assodiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M.

Berikutnya ia diangkat sebagai anggota di bidang akademis pada sekolah yang

sama pada tahun 1326 H/ 1909 M. 8

Sebagai penghargaan atas kepakarannya dalam bidang ilmu-ilmu

keislamaan dan Bahasa Arab tahun 1940, Ibn „Âsyûr diangkat sebagai salah

seorang anggota lembaga Bahasa Arab di Cairo dan anggota koresponden

lembaga ilmiah di Damaskus tahun 1955.

Dalam perjalanan karirnya Ibn „Âsyûr pernah menjabat sebagai ketua

majlis Auqaf, dan sebagai qadhi pada tahun 1331 H/ 1913 M. Pada saat yang sama

Ibn „Âsyûr juga terpilih sebagai mufti dari mazhab Maliki 1341 H/ 1933 M, suatu

gelar yang bergengsi yang jarang bias dicapai orang lain.

8 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,(Ciputat:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 104-105

Page 76: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

61

4. Guru-Guru

Ketinggian ilmu dan keluasan wawasan yang dianugerahkan Allah kepada

Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr tidak lepas dari jasa dan pengaruh guruguru yang

juga tokoh-tokoh penting dan berpengaruh pada masanya. Sosok yang lebih

menonjol di antara mereka ialah: Muhammad al-Khiyâriy yang membimbingnya

menghafal Alqurân, Ahmad Bin Badr al-Kâfiy guru tata bahasa Arab pertama

yang mengajarnya. Selain mereka berdua ada: Muhammad al- „Azîz Bû‟atûr,

Umar Bin Syaikh atau lebih dikenal dengan Sidi Umar, Sâlim Buḥâjib, Saleh al-

Syarîf, dan Muhammad an-Nakhaliy.

Muhammad al-„Azîz Bin Muhammad al-Ḥabîb Bin Muhammad aṭ-Ṭayyib

Bin Muhammad Bin Muhammad Bû‟atûr (1825/1907M), kakek Bin „Âsyûr dari

pihak ibu, juga alumnus Universitas Zaitûnah. Di antara guru Muhammad Bû‟atûr

ialah Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyur yang memberikan perhatian dan bimbingan

lebih karena bakat dan ketekunan yang dimilikinya. Predikatnya sebagai

pembelajar istimewa menarik perhatian sejumlah pejabat pemerintah kemudian

merekrutnya. Berbagai jabatan penting terutama di bidang kesekretariatan pernah

dijabatnya, di antaranya menjadi kepercayaan Wazir Agung (Perdana Mentri)

Khairuddin yang kemudian menjuknya menjadi Mentri Koordinator pada 1290 H.

Terakhir menjadi Wazir Agung menggantikan Mustafa Bin Ismail. Ia memegang

jabatan tersebut hingga meninggal dunia pada tahun 1325H/1907M. Ia adalah

seorang sosok reformis meskipun berada pada masa dan rezim yang sedang

terlibat krisis. Hal tersebut dapat dilihat dari sejumlah pembenahan yang

dilakukannya, antara lain: pembenahan sistem pendidikan di Universitas

Zaitûnah; mengasisteni Perdana Menteri Khairuddin mendirikan Sekolah Aṣ-

Ṣâdiqiyah; mendirikan badan wakaf; pembenahan sistem peradilan syariat; dan

lain-lain. Muhammad al-„Azîz Bû‟atûr mencurahkan perhatian besar terhadap

cucunya, ia menulis sendiri sejumlah kitab di antaranya matan Ṡaḥîḥ Bukharî

untuk dipelajari sang cucu.

Umar Bin Syekh (1239H-1329H), lengkapnya Umar Bin Ahmad Bin Ali

Bin Hasan Bin Ali Bin Qâsim, tetapi lebih sering dipanggil Ibnu Syekh atau Sidi

Umar. Berguru kepada sejumlah ulama besar termasuk Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin

Page 77: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

62

„Âsyûr senior. Ia mengajarkan sejumlah mata kuliah, tetapi yang paling dinanti

ialah penjabaran kitab Mawâqif-nya „Aḍuddîn al-Îjiy, bahkan mata kuliah ini

dipandang sebagai mata kuliah terpopuler Universitas Zaitûnah saat itu.

Kuliahnya pernah dihadiri oleh Muhammad Abduh dan ia memujinya. Hanya saja

dia tidak aktif menulis, kuliah-kuliahnya hanya dibukukan oleh mahasiswanya.

Sâlim Bûḥâjib (1243-1343H/1827-1927M) seorang tokoh yang memiliki

pengaruh luas di kalangan ulama dan politisi. Dikenal cerdas, teguh pendirian dan

mudah diterima di mana saja, pernah terpilih menjadi anggota majelis agung

(semacam lembaga negara semi parlemen), dan menjadi delegasi pemerintah ke

Italia dan Prancis. Ia menjadi pendidik di Universitas Zaitûnah tidak kurang dari

tiga puluh tahun, memiliki perhatian besar terhadap Biologi, dan dikagumi oleh

Muhammad Abduh. Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr mempelajari kitab-kitab

Sunnah darinya. Ia sangat menghormatinya, terutama karena membimbingnya

secara khusus dalam pengkajian hadis baik dirâyah maupun riwayah dan secara

konsisten mengoreksi karya tulisnya yang berkenaan dengan hadis. Dari gurunya

ini pula Bin „Âsyûr banyak belajar tentang sistematika berpikir yang teliti,

visioner, dan bercakrawala luas.

Ṣâliḥ al-Syarîf adalah guru yang menginspirasi Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin

„Âsyûr untuk mendalami tafsir. Ia mengasuh mata kuliah Tafsir dan Akidah.

Metode dan pendekatan yang digunakannya dalam mengupas kitab az-

Zamakhsyari agaknya yang menginsipirasi Bin „Âsyûr untuk mendalami dan

menulis tafsirnya. Ia termasuk guru yang pertama-tama mengajarnya di

Universitas Zaitûnah.

5. Murid-Murid

Menjadi pendidik senior yang mengabdi dalam jangka waktu yang

panjang di Universitas Zaitûnah membuat Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr turut

berjasa menghasilkan tokoh-tokoh penting di Tunisia dan Aljazair termasuk

kalangan menteri dan penulis-penulis besar. Di antara mereka ialah: dua orang

putranya sendiri, masing-masing Muhammad al-Fâḍil dan Abdul Malik,

Muhammad al-Ḥabîb Bin al-Khaujah, dan Abdul Ḥamîd Bin Badîs, juga sejumlah

cucu Ibn „Âsyûr sendiri menjadi profesor di Universitas Zaitûnah.

Page 78: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

63

Muhammad al-Fâḍil (1909-1970M) ialah seorang pujangga, orator, tokoh

pergerakan dan reformasi Tunisa, pengajar di Zaitûnah merangkap hakim, pernah

menjabat sebagai dekan Fakultas Syariah dan Fakultas Usuludin, dan mufti

negara. Sering memberi perkuliahan di Sorbone Prancis, Istambul, dan India.

Aktif di berbagai seminar internasional dan muktamar studi ketimuran. Ia

menghasilkan sejumlah karya tulis di berbagai bidang antara lain: ensiklopedi

tokoh, sastra, dan pemikiran.

Putra Ibn „Âsyûr yang lain, Abdul Malik, seorang pengawai umum tetapi

aktif menulis makalah-makalah ilmiah di berbagai media massa, juga

mengkodifikasi tulisan-tulisan ayahnya, Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr, yang

tersebar di berbagai media massa.

Muhammad al-Ḥabîb Bin al-Khaujah (1922-2012), profesor-doktor di

Zaitûnah, pernah jadi dekan di sana, mufti resmi pemerintah Tunisia, sekretaris

umum Lembaga Fikih Islam. Juga penulis aktif dengan banyak karya tulis di

bidang Ilmu Keislaman dan Bahasa Arab.

Abdul Ḥamîd Bin Bâdîs (1889-1940) ulama besar mazhab Maliki dan

tokoh pembaharu Aljazair, pendiri Jam‟îyah al-Ulamâ` al-Muslimîn al-

Jazâ`îriyyîn (Persatuan Ulama Muslim Aljazair). Ia gigih menentang penjajahan

dan upaya mem-Prancis-kan Aljazair. Gagasannya tentang perlawanan terhadap

penjajahan tercermin dari ungkapannya, “kita perangi penjajahan dengan

memerangi kebodohan” Ibn „Âsyûr adalah gurunya semasa menimba ilmu

Zaitûnah, ia menjadi menjadi murid sekaligus lawan diskusi bagi Ibn „Âsyûr.

B. Karya dan Pemikiran

1. Karya-Karya

Dengan latar belakang rasio cultural yang kuat, kecintaan terhadap ilmu,

ketekunan dan keikhlasan, di samping komitmen pada pendidikan dan

kewara‟annya semua memotivasi Ibn „Âsyûr untuk mengabdikan diri pada ilmu,

menjadi pengajar, tokoh agama, waktunya dihabiskan untuk mengajar dan

menulis buku. Dua buku yang fenomenal, yaitu tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr dan

Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah menjadi rujukan utama bagi para mufassir.

Page 79: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

64

Adapun karya-karya Ibn „Âsyû antara lain:

a. Dalam bidang ilmu keislaman

1) Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr

2) Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah

3) Ushûl an- Nadzhâm al- Ijtimâ‟iy fi al-Islam

4) Alaîsa al-Subhu bi Qarîb

5) Uṣû al-Insyâ` wa al-Khiṭâbah

6) At-Tauḍîḥ wa at-Taṣḥîḥ fî Uṣhûl al-Fiqh

7) Ḥâsyiah „alâ at-Tanqîḥ lil Qarâf

8) Al-Waqfu wa Âṡâruh fî al-Islâm

9) Kasyfu al-Mugaṭṭâ min al-Ma‟ânî wa al-Alfâẓ al-Wâqi‟ah fî al-Muwaṭṭâ‟

10) Ta‟âlîq „alâ al-Maṭûl wa Ḥâsyiah as-Sayâlakûtî

b. Dalam bidang Bahasa dan sastra

1) Ushûl al-Insya Wa al-Khithâbah

2) Wajîz al-Balâghah

3) Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyah li syarh al-Imâm al-Marzûqi Ali

Diwân al-Hamashah li Abi Tamâm.

4) Sariqât al-Mutanabbi

5) Taḥqîq Fawâ`id al-„Iqyân li al-Fatḥ Bin Khâqân ma‟a Syarḥ Dîwân Ibn

Zâkûr

6) Tarâjum li Ba‟ḍ al-A‟lâm

7) Taḥqîq Kitâb al-Iqtiṣâb li al-Baṭliyûsiy ma‟ Syarḥ Kitâb Adab al-Kâtib,

8) Taḥqîq Muqaddimah fî an-Naḥw li Khalif al-Aḥmar

9) Jam‟ wa Syarḥ Dîwân Suḥaim, Syarḥ Mu‟allaqât Imr al-Qays,

10) Taḥqîq li Syarḥ

Ia juga aktif menyampaikan fatwa dan pemikiran pembaharuannya di

berbagai media massa dan jurnal ilmiah. As-Sa‟âdah al-„Uẓmâ, az-Zaitûnah,

Hudâ al-Islâm, Nûr al-Islâm, al-Hidâyah al-Islâmiyah, Majallah Mujammaʻ

al-Lugah al- „Arabiyyah, Majallah al-Mujammaʻ al-„Ilmiy, al-Manâr, ar-

Risâlah adalah namanama majalah ilmiah di mana Ibn „Âsyûr menjadi

kontributor pentingnya. Sejumlah surat kabar juga rajin memuat artikel Ibnu

Page 80: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

65

„Âsyûr, seperti: surat kabar az-Zahrah, an-Nahḍah, al-Wazîr, aṣ-Ṣabâḥ, al-

Fajr.9

2. Pemikiran Maqâsid al-Syarî’ah Ibn ‘Âsyûr

Mayoritas sarjana maqâsid modern sepakat bahwa pendefinisian

Maqâsid al- Syarî‟ah secara jelas dan komprehensif-protektif (jamî‟-mani‟)

baru dilakukan di tangan sarjana maqâsid modern, yakni Ibn „Âsyûr. Berbeda

dengan konsep maqâsid al-syarî‟ah yang dicetuskan oleh ulama sebelumnya

seperti al-Ghazâlî dan al-Syâtibî, Ibn „Âsyûr menyebutkan poin-poin maqâsid

al-syarî‟ah yang dikehendaki oleh syara‟ melalui pelaksanaan syariah Islam,

serta membaginya menjadi dua kelompok penting, yakni maqâsid al-syarî‟ah

„âmmah dan maqâsid al- syarî‟ah khâṣṣah. Berikut akan dibahas mengenai

pemikiran maqâsid yang dimaksudkan.

2.1. Maqâsid al-Syarî‟ah al-„Âmmah

Menurut Ibn „Âsyûr, yang dimaksud dengan maqâsid al-syarî‟ah al-

„âmmah adalah sasaran dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan

kemaslahatan manusia secara umum, seperti melestarikan sebuah system yang

bermanfaat, menjaga kemaslahatan, menghindari kerusakan, merealisasikan

persamaan hak antar manusia, dan melaksanakan syariat sesuai aturan-aturan

yang telah ditetapkan oleh Allah.

Definisi Ibn „Âsyûr tersebut tampaknya bukan lagi definisi yang

sifatnya normatif, tetapi sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih konkrit

dan operasional. Ia menegaskan bahwa maqâsid al-syarî‟ah memiliki dua

sifat, yakni sifat umum yang meliputi keseluruhan syari‟ah dan sifat khusus

seperti maqâsid al-syarî‟ah yang khusus dalam bab-bab fiqh, seperti hukum

keluarga dan hukum mu‟amalah lainnya. Dalam konteks inilah maqâsid al-

syarî‟ah dimaknai sebagai suatu kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh shara‟

untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga

9 Al-Gâliy, Syaikh al-Jâmi‟ al-A‟ẓam Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayûâtuh wa Âṡâruh.

Beirût: Dâr Ibn Ḥazm, 1417H/1996M., h. 71

Page 81: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

66

kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-

perbuatan khusus yang mengandung hikmah.10

Gagasan tentang maqâsid al-syarî‟ah, sebagai sebuah nilai, prinsip,

dan paradigma telah dikenal sejak permulaan Islam. Namun, secara

konseptual, pemikiran tentang maqāṣid al-syarī‟ah baru terkonstruksi secara

sistematis oleh al Syātibî (w. 790 H) melalui bukunya al-Muwâfaqât fî Uṣûl

al-Syarî‟ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas Syariat. Atas jasanya itulah

al-Syâtibî digelari sebagai Bapak Perumus maqâṣid al-syarî‟ah Pertama.

Melalui karyanya itu, al-Syâtibî mengembangkan teori al-maqâsid dengan

melakukan tiga transformasi penting.11

Pertama, transformasi al-maqâsid dari sekadar al-masâliḥ al-

mursalaḥ (maslahat-maslahat lepas) ke ushûl al-dîn wa qawâ‟id al-syarî‟ah

wa kulliyât almillah (asas-asas agama, kaidah-kaidah syariat, dan pokok-

pokok kepercayaan dalam agama Islam).

Kedua, transformasi al-maqâsid dari „hikmah di balik aturan‟ kepada

„dasar aturan‟. Berdasarkan pemahaman ini al-Syâtibî menarik kesimpulan

bahwa aturan mana pun yang dibuat atas nama syariat tidak dapat melangkahi

al-maqâsid. Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan transformasi kedua ini,

pengetahuan akan al-maqâsid adalah syarat utama bagi keahlian ijtihad pada

segala tingkatan.

Ketiga, transformasi al-maqâsid dari „ketidaktentuan‟ menuju

„keyakinan‟; dari ẓanniy menuju qaṭ‟iy. Yakni keyakinan akan hasil proses

induksi yang dilakukannya terhadap ayat-ayat Alqurân untuk menarik

kesimpulan tentang al maqâsid.

Sementara Ibn „Âsyûr, melalui bukunya Maqâsid al-Syarî‟ah al-

Islâmiyyah, mengelaborasi al-maqâsid lebih holistik lagi dengan

mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqâsid al-syarî‟ah-nya al-

Syâtibî. Bahkan, Ibn „Âsyûr telah mengindependensikan maqâsid al-syarî‟ah

10

Muhammad Thahir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, (Amman: Dar al-Nafais,

2001), h. 51 11

Jâser„Audah,al-Maqâṣid untuk Pemula, penerjemah „Ali‟Abdelmon‟im,(Yogyakarta:SUKA-

Press, 2013), h. 46-48

Page 82: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

67

sebagai disiplin ilmu tersendiri. Karenanya, Ibnu „Âsyûr dijuluki “guru

kedua” (al-mu‟allim al-ṡanī) setelah al-Syâtibî sebagai “guru pertama”.

Pada bagian ini akan dibahas bagian-bagian dari maqāshid al-

sharī‟ah al-„âmmah sebagai berikut:

a. Fitrah

Artinya bahwa ajaran Islam atau syariat Islam yang diturunkan oleh

Allah untuk kemaslahatan manusia sesungguhnya sangat sesuai dengan

karakter asas manusia itu sendiri. Begitu juga, dalam pandangan Ibn „Âsyûr,

fitrah adalah sifat dasar manusia (al-khilqah) dalam artian sebuah sistem

tertentu (al-niẓām) yang telah Allah swt tanamkan atau ciptakan pada setiap

ciptaannya, baik bersifat lahiriah (yang terlihat) maupun batiniah (tidak

terlihat). Ibn „Âsyûr menyebutkan dalam kitab at-Tahrîr Wa al-Tanwîr,

ن وع اإلنسان ىي ما الفطرة ىي النظام الذي أوجده اهلل يف كل ملوق, والفطرة الت تص

يا خلقو اهلل عليو جسداوعقال, فمشي اإلنسان برجليو فطرة جسدية, وماولتو أن ي ت ن او اأ

من أسبابا والنتائج من مقد ماتا فطرة عقلية, برجليو خالف الفطرة السدية, واستنتاج المسببات

وماولة استنتاج أمر من غي سببو خالف الفطرة العقلية

Fitrah ialah sistem yang diciptakan Allah pada setiap makhluk.

Sedangkan fitrah yang dikhususkan untuk spesies manusia ialah apa-apa yang

seperti itulah Allah menciptakan manusia secara jasmani dan akli. Oleh karena

itu, berjalan dengan kedua kaki adalah fitrah jasmani; upaya mengambil segala

sesuatu dengan kaki menyimpang dari fitrah jasmani, menyimpulkan adanya

faktor penyebab berdasarkan suatu sebab adalah fitrah akal, demikian juga

dengan menarik kesimpulan berdasarkan premis tertentu. Sebaliknya menarik

kesimpulan tanpa premis tertentu adalah bentuk menyimpang dari fitrah akal.12

Islam adalah agama fitrah karena prinsip-prinsip dasarnya tidak

bertentangan dengan kodrat dasar jasmani, akli, dan rohani manusia.

12

Ibn „Âsyûr, Kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr, j. XXI, h. 90

Page 83: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

68

Prinsipprinsip dasar tersebut kemudian melahirkan kaidah-kaidah dan furuk-

furuk hukum yang juga mudah diterima. Kefitrahan Islam membuatnya relatif

terbuka untuk dibawa ke ranah diskusi ilmiah, dan secara objektif lebih mudah

diterima. Allah swt berfirman,

13

Menafsirkan ayat ini Ibnu „Âsyûr mengemukakan bahwa kata fiṭrah

adalah badal dari ḥanîfa yang memliki dua opsi ikrab: Pertama, ḥâl dari ḍamîr

mustatir dalam fiil aqim, dan sebagai badal maka fiṭrata juga memliki fungsi

yang sama. Dengan demikian ayat tersebut diartikan: maka hadapkanlah

wajamu kepada agama Allah (Islam) dengan lurus dan dengan fitrah Allah

yang Dia ciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Kedua, ḥâl dari al-dîn

(Islam) dan fiṭrata dengan sendirinya juga menerangkan keadaan al-dîn,

sehingga ayat tersebut diartikan: maka hadapkanlah wajamu kepada agama

Allah (Islam) yang berada dalam keadaan lurus dan fitrah Allah yang Dia

ciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Penafsiran kedua, menurut Ibnu

„Âsyûr lebih tegas menunjukkan Islam sebagai agama fitrah.14

Demikian pun

penafsiran pertama tidak keluar dari koridor Islam sebagai agama fitrah. Ayat

ini memerintahkan supaya mukalaf menerima perintah agama dengan hati yang

bersih sesuai fitrah agar ia dapat mengimani dan mematuhinya karena Islam itu

bersifat fitrah.

Ibn „Âsyûr membagi fitrah ke dalam dua macam, yaitu “fiṭrah

„aqliyyah” (akal jernih) dan “fiṭrah nafsiyyah”. Dengan fitrah yang pertama,

manusia bisa merasakan adanya zat yang patut diimani serta menyadari urgensi

13

Q.S. ar-Rûm/30: 30. 14 Ibn „Âsyûr, Kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr, j. XXI, h. 47

Page 84: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

69

aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan manusia.15

Sementara fitrah

yang kedua adalah naluri dan keinginan yang diciptakan Allah kepada manusia

untuk memenuhi keinginan-keinginan secara baik dan terarah. Contohnya,

naluri atau fitrah ingin menikah, berinteraksi dengan sesama, dan sebagainya.16

b. Al-Samâhah (toleransi)

Secara kebahasaan samâḥah adalah masdar fiil samuḥa- yasmaḥu

samâḥah, yang berarti murah hati, suka berderma. Menurut Ibn „Âsyûr

samâhah bermakna al-„adl atau al-tawassut (dalam bahasa hukum artinya

posisi antara kesempitan dan kemudahan, moderat, atau seimbang). Ibn „Âsyûr

menyatakan bahwa al-samâhah merupakan awal dari sifat-sifat syarî‟ah dan

maqâsid terbesarnya.17

Al-samâhah yang kemudian dimaknai secara

terminologis oleh Ibn „Âsyûr sebagai “kemudahan yang terpuji atas sesuatu

yang orang lain menganggap sulit”, disifati sebagai hal yang menghilangkan

bahaya dan kerusakan. Dikatakan sebagai “kemudahan yang terpuji” karena

dalam kemudahan yang dimaksud tidak mengandung unsur kemudharatan.

Menurutnya, Allah memberi sifat kepada kaum muslimin sebagai “ummatan

wasaṭan” karena kaum muslimin mempunyai kewajiban untuk selalu

menegakkan syariah Islam, sedangkan di dalam syariah tersebut terkandung

doktrin al-samâhah.18

Islam adalah agama samâḥah, syariatnya bersifat mudah, toleran, dan

moderat. Syariat Islam bertujuan menjadikan pemeluknya menjadi pribadi dan

umat yang berada pada dimensi pertengahan (moderat), Allah Swt berfirman,

لك جعلناكم أمة وسطا وكذ , dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat

15

Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al Nafais,

2001), h. 259

16 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, h. 261-262 17 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais,

2001), h. 60 18

Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais,

2001), h. 61

Page 85: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

70

yang pertengahan,19

tidak bertujuan untuk menimpakan kesulitan mukalaf, وما

ين من حرج dan tidaklah Dia sekalikali menjadikan atas kamu , جعل عليكم ف الد

dalam agama suatu kesempitan.20

Pengaturan dan pembatasan perilaku

individual dan sosial oleh syariat tidak dimaksudkan untuk mengekang dan

mempersulit gerak para mukalaf.

Ibn „Âsyûr mengatakan bahwa hikmah adanya al-samâhah dalam

syariah Islam adalah karena Allah menjadikan agama ini (Islam) sebagai

agama fitrah. Dan fitrah mengantarkan manusia kepada sifat atau keadaan

dimana jiwa manusia merasa mudah untuk menerima keadaan tersebut. Dan

Allah menghendaki syariah Islam sebagai syariah yang mudah dilaksanakan

oleh umat manusia. Karena adanya sifat al-samâhah dalam Islam menjadikan

kecenderungan orang untuk menerima Islam dan syariahnya, karena sifat

tersebut merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan rahmat dan kasih

sayang di alam semesta. Sehingga secara induktif, dapat diketahui bahwa al-

samâhah dan kemudahan adalah bagian dari maqâsid agama.21

c. Al-Musâwah (kesetaraan)

Islam memandang bahwa semua manusia dalam suatu wadah

persaudaraan global, dinyatakan dalam Alqurân “ االمؤمن ون إخوة إن ” Orang-

orang beriman itu sungguh bersaudara”.22

Di antara substansi persaudaraan

ialah kesetaraan dan persamaan hak masing-masing individu –dengan segala

perbedaan yang ada di antara mereka –dengan memiliki hak-kewajiban yang

sama terhadap syariat. Kesetaraan dimaksud harus dilandasi oleh fitrah sebagai

karakter fundamental syariat Islam dan maqâṣid-nya. Kesetaraan dan

persamaan yang sesuai fitrah, menuru Ibn „Âsyûr ialah kesetaraan dan

perlakuan yang sama terhadap seluruh individu meskipun memiliki berbagai

19 Q.S. al-Baqarah/02: 143. 20

Q.S. al-Ḥajj/22: 78. 21 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais,

2001), h. 61

22 Q.S. al-Ḥujurāt/49: 10

Page 86: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

71

perbedaan, sepanjang perbedaan dimaksud tidak mempengaruhi kontribusi

masing-masing dalam upaya mewujudkan kemaslahatan kolektif. Dengan

demikian kesetaraan dan persamaan hak dan kewajiban diberlakukan dalam

hal-hal yang mana fitrah menghendaki adanya kesetaraan dan persamaan,

sebaliknya dalam perkara kesetaraan dan perlakuan yang sama bertentangan

dengan fitrah maka syariat tidak memaksakannya. Bagi Ibn „Âsyûr, al-

musâwah sangat penting diterapkan terutama terhadap lima prinsip dasar yang

menjadi tujuan syariat Islam (al-ḍarûriyyât al-khamsah), yaitu hifz al-dîn

(menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-„aql (menjaga akal), hifz

al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mâl (menjaga harta). Dalam hal ini

Ibn „Âsyûr berpijak pada firman Allah surah al-Nisa ayat 135:

غنيا يكن إن واأق ربي الوالدين أو أن فسكم على ولو للو هدا بالقسط ق وامي كونوا آمنوا الذين أي ها يا

خبيا ت عملون با كان اللو فإن ت عرضوا أو ت لووا وإن ت عدلوا أن الوى ت تبعوا فال بما أول فاللو فقيا أو

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri

atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah

lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu

karena ingin menyimpang dari kebenaran.23

Dengan firman-Nya yang lain,

وكال ب عد وقات لوا ال يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من

.وعد اللو السن واللو با ت عملون خبي

tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan

berperang sebelum penaklukkan (Makkah) mereka lebih tinggi derajatnya dari

orang-orang yang menafkahkan hartanya dan berperang setelah itu. Allah

23

Q.S. an-Nisâ`/04: 135.

Page 87: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

72

menjanjikan kepada masing-masing mereka (imbalan) terbaik, dan Allah

mengetahui apa yang kamu kerjakan.24

Pada ayat pertama mukalaf diperintahkan dalam menegakkan keadilan

dan memberi kesaksian untuk bertindak seadil-adilnya tidak membiarkan

relasinya dengan para pihak dan keadaan para pihak yang bersengketa

mempengaruhi keputusan atau kesaksiannya; siapapun adanya mereka, harus

diperlakukan dengan cara yang sama.25

Adapun ayat kedua menerangkan perbedaan kedudukan di antara

individu-individu umat berdasarkan nilai kontribusinya terhadap kemaslahatan

umat.26

d. Hurriyah (kebebasan)

Al-ḥurriyah (kebebasan) secara denotatif adalah antonim „ubūdiyah

(perbudakan), dan secara konotatif digunakan sebagai lawan kata terbelenggu

dan tercekal, yaitu hak bertindak sesuai hukum untuk diri sendiri seperti yang

dikehendaki tanpa terhalang.27 Al-ḥurriyah dengan kedua maknanya, denotatif

dan konotatif, menurut Ibnu „Âsyûr merupakan bagian dari Maqâṣid al-

Syarîʻah al-„âmah sebagaimana dipahami dari analisis terhadap sejumlah

hukum syariat.

Al-ḥurriyah dengan makna denotatif sebagai Maqâṣid al-Syarîʻah

dipahami dari berbagai hukum yang menunjukkan upaya intensif Islam

mengentaskan perbudakan. Berbagai faktor perbudakan sebelum kedatangan

Islam diharamkan dengan menyisakan orang kafir tertawan dalam perang

sebagai satu-satunya faktor diperbudakkan, sebaliknya berbagai cara dijadikan

sebagai jalan pemerdekaan budak, seperti: salah satu tempat penyaluran zakat

mal;28

24

Q.S. al-Ḥadîd/57: 10. 25

„Âsyûr, at-Taḥrîr, wa al-Tanwîr, j. V. h. 224-227. 26

Asyur, tahrir wa al-tanwir wa al-Tanwîr, j. XXVII, h. 376. 27

Pemakaian kata ḥurriyah dengan makna ini menurut Ibn „Âsyûr pertama kali oleh Arab

keturunan pada awal abad ketiga belas hijriyah seiring terjadinya revolusi Prancis. („Âsyûr, Uṣhûl al-

Niẓâm, h. 160). 28

Lihat Q.S. at-Taubah/09: 60.

Page 88: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

73

Di samping itu dituntut perlakuan yang lebih manusiawi terhadap budak

dan dilarang mempekerjakan mereka di luar kemampuan dan dengan cara yang

dapat mencelakakan. Fenomena ini menunjukkan kehendak syariat untuk

menghapuskan perbudakan secara persuasif bukan dengan mengharamkan

secara spontan, guna menghindari mafsadat yang lebih besar daripada

perbudakan itu sendiri, mengingat pada saat itu ketergantungan terhadap

tenaga budak sangat tinggi bahkan dapat dikatakan telah menjadi kebutuhan

pokok rumah tangga pada umumnya. Larangan yang diturunkan secara

sekaligus akan menimbulkan gejolak sosial yang buruk dan berdampak luas.

Adapun perbudakan yang tetap dilegalkan terbatas terhadap orang-orang kafir

yang menjadi tawanan perang merupakan sanksi yang setimpal dengan upaya

mereka memerangi agama Allah.

Adapun al-ḥurriyah dengan makna konotatif, sejumlah fenomena hukum

dalam syariat Islam menjadi indikator eksistensinya sebagai Maqâṣid al-

Syarîʻah. Fenomena-fenomena dimaksud berkaitan erat dengan fundamental

aspek keyakinan, perkataan, dan perbuatan dengan konklusi bahwa setiap

individu di bawah naungan pemerintah Islam bebas beraktivitas melakukan

segala sesuatu yang diizinkan secara syariat menurut ketentuan dan aturan

syariat, tidak dibenarkan seseorang dibebani lebih dari itu. Kebebasan

berkeyakinan ditunjukkan dengan mengecam dan membatalkan ajaran yang

memaksakan suatu kepercayaan tanpa berusaha memahamkan, tanpa

argumentasi dan dalil, sebaliknya memerintahkan untuk menyampaikan fakta

dan argumentasi yang kuat dalam mendakwahkan akidah Islam; berdialog

dengan cara yang baik dengan pihak-pihak yang menentang; berupaya

membawa mereka kepada kebenaran dengan penuh hikmah, nasehat yang

tulus, dan berdebat dengan cara terbaik jika diperlukan bukan dengan

pemaksaan. Keanekaragaman mazhab Fikih menunjukkan pengakuan dan

perlindungan Islam terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan

pendapat.

Setiap individu, untuk keperluan pribadi, pada dasarnya bebas melakukan

tindakan hukum yang diperkenankan syariat dengan atau tanpa memanfaatkan

Page 89: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

74

sumber daya yang diperbolehkan, baik bersifat yang terbatas maupun yang

bersinggungan dengan kepentingan individu lain selama tindakan dimaksud

tidak merugikan kepentingan lain dimaksud. Dalam hal tindakan hukum

individu berdampak terhadap kepentingan dan kebebasan individu lain maka

syariat mengatur sedemikian rupa agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Legitimasi syariat terhadap tindakan hukum oleh mukalaf yang secara sadar

melepaskan hak dan kepentingannya kepada pihak lain berupa sedekah, wakaf,

hibah, hadiah, dan sebagainya merupakan bagian dari aturan dimaksud yang

mengindikasikan kebebasan bertindak sebagai Maqâṣid Syarîʻah, sebagaimana

diindikasikan juga oleh larangan melakukan perbuatan yang merugikan pihak

lain baik individu maupun umum, disertai dengan sanksi yang setimpal dan

kewajiban mengganti kerugian yang ditimbulkan dengan yang sepadan.

Penjatuhan sanksi dan ganti rugi yang diwajibkan tersebut diatur oleh syariat

agar tetap selaras dengan maqâṣid syarîʻah kebebasan bertindak individual

melalui mekanisme peradilan dan menyerahkan kewenangan eksekusi kepada

pemerintah yang sah, bukan kepada pihak yang dirugikan guna menghindari

tindakan balas dendam dan melampaui batas.

2. 2.Maqâsid al- Syarî‟ah al-Khâssah

Definisi maqâsid al-syârîah al-khâssah menurut Ibn „Âsyûr adalah:

tujuan syariat yang khusus, yakni tentang muamalat, yang di dalamnya

mengupas berbagai isu maqâsid al-syarî‟ah, misalnya maqâsid al-syarî‟ah

hukum keluarga, maqâsid al-syarî‟ah penggunaan harta, maqâsid al-syarî‟ah

hukum perundang-undangan dan kesaksian. Pada masing-masing kelompok

hukum terdapat maqâṣid al-syarîʻah khusus yang menjadi acuan seluruh

hukum parsial yang tercakup dalam masing-masing rumpun dimaksud. Inilah

ruang lingkup pembahasan maqâṣid al-syarîʻah khusus ini.

1) Maqâṣid Syarîʻah Hukum Perkeluargaan

Menurut Ibn „Âsyûr Maqâṣid Syarîʻah hukum-hukum kekeluargaan

merujuk kepada empat maqâṣid utama, yaitu: mengukuhkan ikatan pernikahan,

mengukuhkan ikatan nasab kekerabatan, mengukuhkan ikatan persemendaan,

dan tata cara melepaskan ikatan-ikatan tersebut dalam situasi tertentu.

Page 90: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

75

a) Mengukuhkan Ikatan Pernikahan

Syariat Islam mengukukuhkan ikatan dan tata cara pernikahan

sebagaimana diatur dalam syariat Islam menjadi satu-satunya tata cara

pernikahan yang sah, serta membatalkan bentuk-bentuk pernikahan jahiliah

lainnya. Dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pernikahan

dimaksud, menurut Ibn „Âsyûr, terdapat dua substansi yang menjadi Maqâṣid

Syarîʻah-nya, yaitu: Pertama: menunjukkan perbedaan antara esensi

pernikahan, dan perbuatan zina, pelacuran. Dalam tata cara penyelenggaraan

pernikahan itu sendiri setidaknya terdapat tiga ketentuan yang menunjukkan

perbedaan pernikahan dengan perzinaan: Pertama, adanya wali nikah bagi

wanita sebagai syarat sah akad nikah, menurut jumhur.

Keterwakilan wanita oleh walinya dalam pelaksanaan ijab-kabul

menunjukkan bahwa kecendrungan menerima si laki-laki sebagai pasangan

hidup tidak semata motif pribadi tetapi diketahui dan didukung oleh wali dan

kerabatnya; hal mana secara umum tidak dijumpai dalam perbuatan zina dan

pelacuran. Kedua, Mahar yang disepakati sebagai salah satu syarat sah akad

nikah yang telah dikenal dalam tradisi pernikahan sebelum kedatangan Islam.

Mahar diberikan kepada wanita terhormat (bukan pelacur) sebagai bentuk

penghormatan dan ungkapan kasih sayang suami kepadanya bukan kompensasi

atas segala sesuatu yang diberikannya. karena mahar adalah hak istri bukan

orang tua dan keluarganya. Ketiga, menyiarakan pernikahan minimal dengan

dua orang saksi dalam akad nikah sebagai syarat sah, serta syariat walimah

yang menurut jumhur sangat dianjurkan (sunnah mu`akkadah). Kedua,

delegitimasi pembatasan masa berlaku. Klausul pemberlakuan masa berlaku

untuk waktu tertentu tidak dibenarkan dalam akad nikah karena

menyerupakannya dengan akad sewa-menyewa sehingga menghilangkan itikad

baik suami istri untuk melanggengkan pernikahan yang menjadi fundamen

sistem kekerabatan.

b) Mengukuhkan Hubungan Nasab

Hubungan nasab adalah ikatan paling dasar dalam hubungan

kekerabatan. Ia menjadi motif dasar bagi seseorang untuk loyal dan berbakti

Page 91: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

76

kepada kepada orang tua dan generasi di atasnya, dan di sisi lain bertanggung

jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak dan generasi di bawahnya.

Kondisi yang demikian memungkinkan keharmonisan dan ketentraman

berkeluarga berdiri pada pijakan bertumbuh yang kondusif. Sebaliknya jika

keautentikan nasab diragukan maka kasih sayang dan ketentraman dalam

keluarga terancam sirna, besar kemungkinan akan timbul konflik yang

melibatkan sejumlah pihak hingga pengabaian hak-hak anak yang masih

memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang tua. Dengan demikian

aturan-aturan yang memberikan kepastian hukum tentang keautentikan

hubungan nasab dalam suatu keluarga menjadi suatu kebutuhan yang

fundamental.

Salah satu maqâṣid Syarîʻah utama aturan-aturan hukum kekeluargaan

dalam Syariat Islam ialah meneguhkan ikatan nasab dari hal-hal yang dapat

menimbulkan praduga yang meragukan keautentikan nasab. Maqâṣid ini secara

implisit dipahami dari sejumlah aturan dalam hukum kekeluargaan, di

antaranya ialah: larangan poliandri;29

larangan laki-laki merdeka menikahi

wanita budak kecuali dalam kondisi darurat;30 perbedaan hukum hubungan

antara budak perempuan dengan majikan laki-laki dan majikan wanita dengan

budak lakilakinya di mana laki-laki diperbolehkan menggauli budak

perempuannya tetapi tidak demikian dengan wanita yang memiliki budak laki-

laki; larangan bagi wanita meninggalkan rumah tanpa izin suami. Substansi

dari ketentuan-ketentuan hukum dimaksud menurut Ibn „Âsyûr ialah mencegah

hal-hal yang dapat menimbulkan praduga yang meragukan keabsahan nasab

anak sang istri kepada suaminya.

Maqâṣid Syarîʻah terpenting lainnya dari hukum-hukum kekeluargaan

dalam syariat Islam ialah mengatur dan menetapkan tata cara pemutusan ikatan

pernikahan, nasab, dan persemendaan bilamana masing-masing ikatan tersebut

karena sebab tertentu tidak mendatangkan maslahat yang diharapkan,

29

Q.S. an-Nisâ`/04: 24. Ayat dimaksud menyampaikan larangan menikahi wanita muḥṣanah, yaitu

yang telah terlindungi oleh pernikahannya dengan laki-laki lain. (lihat at-Taḥrīr, j. V, h. 5 30

Yaitu dalam kondisi dia tidak mampu membiayai dan menafkahi wanita merdeka, sementara itu

dikawatirkan dia terjerumus kepada perbuatan zina. (Lihat Q.S. an-Nisā`/04: 25

Page 92: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

77

sebaliknya menimbulkan mudarat yang lebih besar ketimbang mudarat jika

masing-masing hubungan diputuskan. Syariat menetapkan sejumlah aturan

untuk memutus dan mengakhiri ikatan hubungan-hubungan dimaksud

sedemikian rupa agar mudarat yang timbul dalam proses tersebut dapat

diminimalisir jika tidak dapat dihindari sama sekali. Oleh karna itu, pemutusan

ikatan dimaksud disyariatkan untuk melakukan islah melalui perwakilan

masing-masing pihak untuk mencari titik temu penyelesaian persoalan di antara

mereka agar pemutusan hubungan dimaksud dapat dihindari.31

Ikatan pernikahan diakhiri dan terputus dengan cara talak oleh suami

atau tuntutan khuluk oleh istri, hubungan nasab anak kepada ayahnya terputus

dengan cara lian, sedangkan ikatan persemendaan terputus dengan sendirinya

dengan terputusnya ikatan pernikahan.

2) Maqâṣid Syarîʻah dalam Hukum Tata Niaga

Harta atau kekayaan menurut Ibn „Âsyûr ialah segala sesuatu yang

secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan oleh individu,

kelompok individu atau masyarakat umum untuk mewujudkan kemaslahatan

pada berbagai waktu, keadaan, dan kebutuhan. Kekayaan umat dan individu-

individunya bersumber berasal dari sumber tamalluk32

(kepemilikan), dan

takassub33

(penghasilan).

Ibn „Âsyûr mengemukakan lima Maqâṣid Syarîʻah khusus dalam

perputaran kekayaan, yaitu: ar-rawāj, transparansi, perlindungan terhadap

harta, kepastian hukum atas kepemilikan, dan berkeadilan.34

3) Maqâṣid Syarîʻah dalam Muamalat Ketenagakerjaan

Kepemilikan modal kekayaan pada kenyataannya terbatas pada

sejumlah individu masyarakat saja, tidak setiap individu memiliki harta yang

cukup untuk dijadikan modal menghasilkan kekayaan berikutnya. Pada sisi lain

individu-individu yang menguasai kekayaan yang berlimpah sebagai modal

31

Abdullah bin Abdurrahman bin Ṣâliḥ al-Bassâm, Tauḍîḥ al-Aḥkâm min Bulûg al Marrâm cet. 2

(Riyâḍ: Dâr al-Maimân, 1430H/2009M), j. V, h. 529. 32

ialah penguasaan terhadap sesuatu yang berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan secara langsung

atau sebagai alat tukarnya, lihat, „Âsyûr, Maqâsid, h. 465 33

yaitu usaha untuk mendapatkan suatu pemenuh kebutuhan melalui pekerjaan fisik atau negosiasi

dengan pihak lain,lihat, „Âsyûr, Maqâsid, h. 465 34

ʻÂsyûr, Maqâṣid, h. 464.

Page 93: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

78

memiliki waktu dan kemampuan yang terbatas mendayagunakan hartanya itu

secara produktif agar menghasilkan harta kekayaan baru. Ini diperbolehkan

oleh syariat karena kebutuhan yang besar (ḥâjiyât) sebab kemasalahatannya

tidak terbatas pada individu-individu tertentu tetapi juga bagi kemaslahatan

umum. Relasi mutualisme antara kedua belah pihak menjadi fundamen

pengayaan umat.

Dalam syariat Islam dikenal sejumlah bentuk muamalah dengan prinsip

seperti ini, antara lain: ijârah al-abdân,35

musâqâh,36

mugârasah,37

qirâḍ, 38

jaʻl atau jaʻâlah,39

dan muzâraʻah.

4) Maqâṣid Syarîʻah Hukum Tabarru‟ât

Tabarru‟ât ialah pemberian suka rela yang didasari oleh semangat

tolong menolong di antara individu-individu umat. Tabarru‟ât yang dimaksud

oleh Ibn „Âsyûr , antara lain, berupa sedekah,40

hibah,41

„âriah, 42

ḥabs atau

wakaf, „umra, 43

dan pemerdekakan budak.

35

Ijârah al-abdân ialah: akad untuk memperoleh manfaat tertentu yang dilaksanakan oleh

musta`jar (orang yang disewa), seperti orang yang disewa untuk membangun atau memperbaki rumah. (Al-

Qifâriy, Kasysyâf, h. 235.). 36 Musâqâh ialah: pemilik kebun kurma atau anggur menyerahkan kebunnya kepada pihak kedua

agar merawat dan mengairinya dengan sistem bagi hasil. Menurut jumhur musāqah diperbolehkan

berdasarkan Sunnah. Abu Hanifah berpendapat haram karena menurutnya bertentangan dengan qiyās atau

kaidah dasar muamalah, dan bahwa yang dilakukan Nabi sebagaimana diriwayatkan adalah dengan

orang-orang Yahudi yang bisa jadi dalam perspektif memandang mereka sebagai budak atau tawanan.

(ibid, h. 233; Abdullâḥ al-ʻAbâdiy, Syarḥ Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid: Syarḥ, wa Taḥqîq

wa Takhrîj (t.t.p.: 1416H/1995M) j. III, h. 1849-1850.). 37

Mugârasah ialah: akad antara pemilik lahan pertanian dengan penggarap di mana penggarap

berkewajiban menanami lahan pemilik dengan tanaman produktif dengan sistem bagi hasil. (lihat Al-

Mausûʻah al-Fiqhiyyah, j. XXI, h. 173-174.). 38

Pemilik modal menyerahkan harta modalnya kepada pihak kedua untuk diperniagakan dengan

kesepakatan keuntungannya dibagi antara mereka berdua. Qirâḍ diperbolehkan berdasarkan ijmak. (Al-

Qifāriy, Kasysyāf, h. 231.). 39

Jaʻâlah (sayembara) ialah: menjanjikan imbalan tertentu untuk pekerjaan tertentu atau tidak

tertentu yang memiliki kesulitan tertentu. Ini diperbolehkan berdasarkan nas Alqur`an dan Sunnah. (Al-

Qifāriy, Kasysyâf, h. 238; az-Zuḥailiy, Fiqh, h. 3864.). 40

Sedekah ialah: pemberian yang diberikan tanpa imbalan dengan niat taqarrub kepada Allah oleh

karena itu zakat disebut juga dalam Alqur`an ṣadaqah. Menurut Rāgib al-Aṣfahâniy jika wajib disebut

zakat, jika suka rela disebut sedekah. (al-Mausûʻah al Fiqhiyyah, j. XXVI, h. 323; Al-Husain bin Maʻrûf

bin al-Mufaḍḍal ar-Râgib al-Aṣfahâniy, Mufradât Alfâẓ al-Qur`ān (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.t.) j. I, h.

575. 41

Hibah ialah: pemindahan kepemilikan atas harta tertentu atau tidak tertentu yang dapat

diserahterimakan oleh seseorang yang diperkenankan melakukan tindakan hukum kepada orang lain pada

saat masih hidup secara suka rela tanpa kompensasi. (al-Bassâm, Tauḍîḥ, j. V, h. 123; bandingkan dengan

Sābiq, Fiqh, j. III, h. 281).

Page 94: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

79

Menurut Ibnu „Âsyûr dalam syariat tabarru‟ût ada empat maqâṣid

Syarîʻah khusus, yaitu: Intensifikasi Tabarru‟ât, sukarela, fleksibilitas, dan

melindungi hak pihak lain yang terkait.

5) Maqâṣid Syarîʻah Khusus Sistem Peradilan dan Kesaksian

Ibn „Âsyûr mengistemisasi pemikirannya tentang maqâṣid khusus sistem

peradilan menurut syariat Islam dalam tiga bagian, yaitu: Maqâṣid Syarîʻah

dalam lembaga peradilan,44

Maqâṣid Syarîʻah dalam jabatan qâḍî atau hakim,

dan Maqâṣid Syarîʻah dalam persaksian.

C. Tafsir Ibn ‘Âsyûr dan Tafsir Maqâsidi

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir at-Tahrîr Wa al-Tanwîr

Ibn Âsyûr mulai menulis tafsir pada 1431 H/ 1923 M, setelah beliau naik

jabatan dari qâdhi menjadi mufti. Tafsir 30 juz, ditulisnya dalam 15 jilid kitab,

dalam waktu 39 tahun. Meskipun diselingi dengan penulisan karya-karya lain,

buku maupun makalah, beliau tetap bersungguh-sungguh menyelesaikan

penulisan tafsirnya.

Selama penulisan tafsir, kondisi sosial politik Tunisia saat itu mengalami

kesenjangan antara pemerintahan dan kaum ulama. Disaat pemerintahan dipimpin

oleh seorang diktator, menggiring Syaikh Ibn Âsyûr melanjutkan perjuangannya

dalam membela kebebasan pemikiran Islam di Tunisia. Ia menentang pemerintah

dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan agama

kepada pemerintah.45 Sementara gerakan reformasi dan pembaharuan yang

42

„Âriah ialah: membolehkan orang lain untuk memanfaatkan suatu benda bermanfaat yang

dimiliki sedangkan bendanya tetap utuh, dikembalikan kepada pemilik setelah pemanfaatannya selesai.

ʻÂriyah (meminjamkan) diperboleh berdasarkan nas Alqur`an dan Hadis serta ijmak ulama. „Āriyah

dipandang memiliki nilai ibadah. (Al-Bassâm, Tauḍîḥ, j. IV, h. 645.) 43

ʻUmrā ialah: sejenis hibah tetapi pemberi hibah menyaratkan hibah berlaku hanya selama

penerima masih hidup, setelah itu dikembalikan kepada pemiliknya. Ulama berbeda pendapat tentang

keabsahannya karena adanya kontradiksi dalam memahami nas-nas yang berkaitan dengan „Umrā, Imam

Malik termasuk yang membolehkannya berdasarkan hadis, “al-muslim „alâ syurûṭihim.” (Al-Bassām,

Tauḍîḥ all-Aḥkâm, j. V, h. 136- 137; Sâbiq, Fiqh, j. III, h. 289; As-Sijistâniy, j. III, h. 332, no. 3596; at-

Turmużi, Sunan, III, h.28, no. 1352.). 44

Menurut Ibnu „Âsyûr maqâṣid Syarîʻah keberadaan lembaga peradilan dalam syariat Islam ialah

tersedianya perangkat unsur-unsur yang mendukung upaya menegakkan kebenaran dan menundukkan

kebatilan baik yang nyata maupun yang terselubung, („Âsyûr, Maqâṣid, h.494) 45

Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi‟ al-A‟ẓam Muhammad al-Tâhir ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa

Âṡâruh, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1417H/1996M) 117

Page 95: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

80

dipelopori Muhammad Abduh di Mesir (1849/1905), setelah merebak ke berbagai

belahan negara Islam, tidak terkecuali Tunis. Ide-ide pembaharuan Muhammad

Abduh mulai mempengaruhi intelektual Tunis, tidak terkecuali Ibn Âsyûr.46

Saat itu Muhammad Abduh di Mesir, menghimbau agar umat Islam

melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Himbauan ini nampaknya

juga bergema di Tunis. Ibn Âsyûr merespon himbauan tersebut dan bergerak

mereformasi pendidikan dan menyampaikannya di berbagai seminar.

Tidak hanya itu, Ibn Âsyûr pun ikut terjun dalam gerakan reformasi yang

terjadi. Hasilnya adalah dibangunya cabang-cabang Az-zaitûnah di berbagai kota

di Tunis. Kualitas pendidikanpun ditingkatkan dengan menambahkan ilmu-ilmu

selain ilmu syarî‟ah, seperti matematika, kimia, filsafat, sejarah dan Bahasa

Inggris. Menelaah bagian pembukaan tafsir Ibn Âsyûr membuktikan bahwa Ibn

Âsyûr memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dari sini bias

ditelusuri jejak-jejak keterlibatan Ibn Âsyûr dalam gerakan reformasi di Tunis.

Sejak awal penulisan tafsirnya,Ibn Âsyûr selalu menjaga komitmen untuk

menjadikan penafsiranya sebagai sebuah kritik bukan taqlîd. Sisi pembaharuan

Ibn Âsyûr dapat dicermati dan obsesinya menafsirkan al-Qur‟an dengan

memunculkan hal-hal yang baru yang belum pernah ditulis dalam tafsir-tafsir

sebelumnyaini dengan tujuan untuk menjadikan tafsirnya sebagai penengah dari

tafsir-tafsir lainya. Menurut Ibn Âsyûr membatasi penafsiran pada tafsir bi al-

ma‟tsur akan menelantarkan isi kandungan al-Qur‟an yang memang tidak akan

pernah habis untuk dibahas.47

Menurut Ibn Âsyûr diantara sebab terbelakangnya

ilmu tafsir, adalah kecenderungan yang berlebihan terhadap tafsir bil ma‟tsûr.

Juga karena besarnya kecenderungan para ulama menulis hanya dengan

penukilan, dengan alasan takut keliru dalam menafsirkan. Akibatnya orang

menjadikan tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai satu-satunya metode penafsiran.

Pada akhirnya, tafsir yang hanya sekedar penukilan dari tafsir-tafsir

sebelumnya, dapat membatasi pemahaman terhadap al-Qur‟an dan mempersempit

maknanya. Contoh nyata dari pembaharuan Ibn Âsyûr bisa dilihat pada nama

46

Faizah Alisyibromalisi, Tela‟ah Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr Karya Ibn Âsyûr, Jurnal, h. 3 47

Ibn Âsyûr, Tahrîr al-Tanwîr, jilid 1 h. 7

Page 96: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

81

tafsirnya yang semula berjudul Tahrîr al-Ma‟nâ al-Sadîd wa Tanwîr al-„Âql al

jadîd (Memilih Makna yang Tepat dan Mencerahkan Akal yang Barudari al-

Qur‟an). Akan tetapi kemudian judul tafsirnya disingkat menjadi al-Tahrîr wa al-

Tanwîr.

2. Karakteristik Tafsir

Diantara Karakteristik tafsir yang menonjol dari tafsir Ibn „Âsyûr adalah

sebagai berikut:

a) Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap Bahasa Arab

Tafsir Ibn „Âsyûr bukan hanya dianggap sebagai buku tafsir, tetapi bisa

dikatakan sebagai kitab kebahasaan. Karena menjadikan ilmu nahwu, shorof,

balaghoh menjadi objek kajianya, sehingga bisa dijadikan sebagai pegangan.

Bahkan balaghoh menjadi focus perhatiannya dalam tafsir ini. Ia berhasil

mengeksploitasi Bahasa yang bertumpu pada syair-syair Arab baik pra maupun

pasca Islam untuk memahami alqurân. Hal ini bisa kita saksikan alam

penafsirannya dari sisi kebahasaan dimana Ibn‟Âsyûr sangat memperhatikan

penjelasan makna kosa kata dari sisi nahwu, shorof, dan menyebutkan fungsi kata

dari sisi makna dan balaghahnya.48

Ini dilakukannya karena obsesi Ibn‟Âsyûr

adalah menjadikan kitab tafsirnya bukan sekedar berfungsi sebagai kitab tafsir,

tapi juga sebagai rujukan kebahasaan. Menurut Ibn‟Âsyûr beliau telah

memberikan kosa kata yang tidak di temukan dalam kamus manapun.49

b) Perhatian Ibn „Âsyûr Tentang Fiqh

Dalam bidang fiqh Ibn‟Âsyûr menekankan pentingnya mengetahui ilmu

maqâsid al-syarî‟ah sebagai sarana untuk mentarjih pendapat yang satu dari

pendapat lainnya. Seorang ahli fiqh menurut Ibn‟Âsyûr harus membedakan antara

berbagai posisi khitab apakah posisinya sebagai targhib atau tarkib tabsyir (kabar

gembira) atau tazhkir (peringatan) meskipun semua dating dari nash-nash.

Syarî‟ah ini tentu dalam rangka bertepatan mentarjih dan mengistinbath maqâsid

syarî‟ah-nya.

48

Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat:

Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 125 49

Ibn‟Âsyûr, Tafsir at-Tahrîr Wa al-Tanwîr, jil.I, h. 38 dari ayat 21 al-Baqarah.

Page 97: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

82

Untuk menunjukan kepakarannya dalam bidang fiqh, Ibn „Âsyûr tidak

pernah melewatkan komentar-komentar fiqh-nya pada ayat-ayat ahkam, meskipun

secara ringkas tanpa bertele-tele, sesuai dengan pemaparan para fuqoha‟, sahabat

dan tabi‟in baru kemudian beristibath. Misalnya tafsir surat al-Baqarah ayat 102

حر Ibn „Âsyûr menjelaskan bahwa Islam telah memberi peringatan يعلمون الناس الس

dan mencela sihir. Hal ini bukan berkaitan dengan hakikat sihir tetapi peringatan

terhadap rusaknya akidah dan hilangnya ikatan agama karena ilmu sihir. Para

ulama Islam sendiri berbeda pendapat seputar keberadaan sihir dan

peningkarannya, yaitu perbedaan yang diakibatkan oleh cara pandang setiap

kelompok melihat macam-macam sihir. Kemudian Ibn‟ Âsyûr mengatakan bahwa

tidak ada dalam pembicaraan mereka penjelasan tentang sihir yang mereka

tetapkan keberadaannya. Masalah ini merupakan masalah furu‟iyah fiqh, tidak

masuk dalam masalah ushuluddin.

c) Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap Qira‟at dalam tafsirnya

Berkenaan dengan ilmu qira‟at berdasarkan pengamatan penulis Ibn

„Âsyûr telah menunjukan perhatian yang sangat besar dalam bidang ini menurut

pendapatnya ilmu qir‟at adalah ilmu yang agung, meskipun berdiri sendiri sebagai

disiplin ilmu, tapi tidak bisa dipisahkan dari ilmu tafsir, karena pengaruhnya yang

besar terhadap penafsiran. Perbedaan bacaan menyebabkan perbedaan hasil

istinbath hukum.50

Hal ini terbukti ketika menafsirkan ayat-ayat, ia banyak mengangkat

berbagai qirâ‟ât yang terkait dengan bacaan ayat-ayat tersebut, dan seringkali

menjelaskan sisi perbedaan diantara qirâ‟ât tersebut, baik dari sisi harakat,

struktur kata, panjang pendeknya pengucapan huruf ketika dibaca, bahkan

dampak hukum dari perbedaan qirâ‟ât tersebut. 51

3. Metode Penafsiran

Ibn „Âsyûr ini, menggunakan metode tahlîlî dengan kecenderungan tafsir

bi al-ra‟y. Dikatakan menggunakan metode tahlîlî karena Ibn ‟Âsyûr dalam

50

Ibn „Âsyûr, Muqadimah Tafsir al-Tahrîr wa al-tanwîr. Jilid I h. 51 51

Ibn „Âsyûr, Muqadimah Tafsir al-Tahrîr wa al-tanwîr. Jilid I h. 55-61

Page 98: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

83

menulis tafsirnya menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertera

dalam mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata dengan sangat detail

mengenai makna kata, kedudukan, uslub bahasa Arabnya serta aspek-aspek

lainnya yang sangat luas.

Dengan metode penulisan ini Ibn „Âsyûr menyoroti ayat-ayat al-Qur‟an

dengan memaparkan segala makna dan aspek kebahasaan dan sastranya yang

terkandung di dalam ayat yang di tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan

makna yang benar dari setiap bagian ayat. Ibn „Âsyûr juga memperluas masalah-

masalah penafsiran yang tidak disentuh oleh mufasir lainnya, baik dari sisi

kebahasaan dan sastranya (balaghoh) maupun dari sisi kemukjizatannya.

Ibn „Âsyûr terkadang menafsirkan ayat dengan ayat, namun ia membatasi

pengambilan riwayat-riwayat yang tidak memiliki bukti keshahihannya, apalagi

jika penafsiran tidak bergantung pada riwayat tersebut.52

4. Sumber Penafsiran

Mengetahui sumber penafsiran sebuah karya tafsir sangat penting untuk

mengetahui sejauh mana kapasitas riwayat atau naql dan kapasitas ra‟yi atau

logika dalam tafsir tersebut. Dengan kata lain, apakah tafsir itu hasil penukilan

dari tafsir Nabi, sahabatdan Tabi‟in (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) atau hasil ijtihad Ibn

Âsyûr seluruhnya ataukah hasil campuran (kolaborasi) dari tafsir bi al-Ma‟tsûr

dan tafsir bi al-Ra‟yi.

a) Tafsir bi al-Ma‟tsûr sebagai sumber pesnafsiran

Menurut Ibn Âsyûr, tafsir bi al-Ma‟tsûr adalah tafsir yang diperoleh dari

penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, penafsiran al-Qur‟an dengan Sunnah Nabi

atau perkataan sahabat seagai penjelasan dari mkasud Allah menurunkan kitab

sucinya, atau penafsiran dengan perkataan tabi‟in, meskipun ulama berselisih

paham seputar posisi tafsir tabi‟in apakah termasuk bi al-ma‟tsûr atau bi al-ra‟yi.

Sedangkan al-Thabari yang membatasi tafsirnya sebagai tafsir bi al-ma‟tsûr

memasukan tafsir tabi‟in sebagai tafsir bi al-ma‟tsûr.

52

Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab tafsir Klasik-Modern,h. 122-123

Page 99: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

84

Untuk tafsir yang berdasrkan al-Qur‟an, atau bias disebut menafsirkan al-

Qur‟an dengan atas dasar al-Qur‟an itu sendiri, maka tingkat kebenarannya tidak

diragukan bahkan harus diterima, karena tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an

dianggap berasal dari Allah, yang mengetahui maksud diturunkannya al-Qur‟an

dan yang mengetahui apa yang diturunkan. Sedangkan tafsir dengan Sunnah Nabi

SAW adalah sebagai penjeâlasan Nabi SAW yang memang telah diperintahkan

untuk menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

للناس ما ن ز إليهم ولعلهم ي ت فكرون وأن زلنا إليك ال ذكر لتب ي

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada

umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka

memikirkan”53

Sementara itu tafsir al-Qur‟an yang bersumber pada pendapat-pendapat

para sahabat hukumnya marfu‟, jika terkait dengan asbab nuzûl. Ini sebagaimana

dikatakan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak. Mengenai tafsir sahabat,

imam al-Syâtibî berpendapat bahwa tafsir sahabat memiliki dua kelebihan:

Pertama, Bahasa Arab mereka fasih. Mereka juga dianggap paling mengetahui

dan memahami al-Qur‟an dan Sunnah. Jika ada penjelasan atau perbuatan sahabat

yang menempati posisi sebagai penjelas al-Qur‟an, menurut al-Syâtibî, maka

tafsir sahabat termasuk dalam tafsir bi al-ma‟tsûr. Kedua, sahabat adalah orang-

orang yang terlibat langsung dalam berbagai peristiwa yang mengiringi turunnya

wahyu dan menyaksikan sendiri turunnya wahyu. Sehingga para sahabat lebih

memahami makna-makna ayat dari pada generasi-generasi sesudahnya.

Untuk tafsir yang bersumber dari tabi‟in Imam Suyuti mempertanyakan,

sejauh mana tafsir tabi‟in bisa menjadi hujjah yang dibenarkan dalam tafsir al-

Qur‟an. Hal ini dijawab, jika riwayat-riwayat itu bersumber dari riwayat-riwayat

shahîh, maka hukumnya maqbûl (bisa diterima). Jika hanya penafsiran dari sisi

kebahasaan saja yang dijadikan parameter dari penafsiran, maka menurut al-

Suyuti, hal ini juga dianggap maqbûl (bisa diterima).

53

QS. Al-Nahl (16):44

Page 100: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

85

Menurut Ibn „Âsyûr, tafsir tabi‟in ditolak bila datang dari para pendusta,

seperti riwayat isrâilliyât. Menyikapi tafsir yang demikian, menurut Ibn „Âsyûr,

kita tidak perlu meyakininya ssecara mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak

pula.

b) Tafsir bi al-Ra‟yi Sebagai Sumber Penafsir

Yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ra‟yi adalah menafsirkan al-qurân

dengan cara berijtihad yang dilakukan oleh mufassir, yang memiliki pengetahuan

tentang perkataan orang-orang Arab, yang mengetahui makna lafaz-lafaz al-

qur‟ân dan syair-syair Arab jahiliah. Mereka juga harus mengetahui sabâb nuzul,

mengetahui naskh Mansûkh dan perangkat ulum al-qur‟ân lainnya.

Ibn „Âsyûr dalam muqaddimah dibawah tema sahnya tafsir tanpa bi al-

ma‟tsur dan makna tafsir bi al-Ra‟yi, mengajak pembacanya untuk berdialog

secara bersahajauntuk meyakinkan mereka bahwa berijtihad untuk menafsirkan

ayat dibolehkan karena banyak tafsir al-qur‟ân yang sanadnya tidak sampai

kepada rasul. Sebab kalau hal itu dilarang, tentu penafsiran menjadi sangat

ringkas, hanya dalam beberapa lembar kertas saja. Sebab sebagaimana dikatakan

oleh Imam Ghazâlî dan al-Qurthûbi bahwa tidak semua apa yang dihasilkan

sahabat itu bersumber pada apa yang mereka dengar dari rasul.

4. Kontribusi Tafsir Ibn „Âsyûr dalam Pengembangan Tafsir

Jika dilihat dari perkembangan tafsir di era kontemporer, karya tafsir Ibn

‟Âsyûr ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan gayanya yang khas, tafsir

ini telah menyumbangkan beberapa pemikiran yang cukup inovatif. Sebagaimana

diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam karyanya Epistemologi Tafsir

Kontemporer, bahwa paradigma tafsir kontemporer meniscayakan kritisisme,

objektivitas, dan keterbukaan bahwa produk penafsiran itu tidaklah kebal dari

kritik.54

Ada beberapa kontribusi yang disumbangkan Ibn ‟Âsyûr dalam karya

tafsirnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, Ibn ‟Âsyûr membuat gradasi tafsir bi al-ra‟yi menjadi lima

tingkatan. Yakni 1) penafsiran yang hanya terlintas di benak seseorang dan tidak

disandarkan pada dalil-dalil bahasa Arab dan maqâsid al-syarî‟ah serta

54

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), 84.

Page 101: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

86

aplikasinya. Penafsiran semacam ini menurut Ibn ‟Âsyûr merupakan penafsiran bi

al-ra‟yi yang dilarang dalam hadis karena menafsirkan al-Qur‟an tanpa

menggunakan dasar ilmu. Penafsiran seperti ini dianggap salah meskipun ia benar

karena tidak berdasarkan ilmu. Misalnya ketika seorang penafsir menafsirkan alif

lâm mîm dengan tafsiran ‚”Sesungguhnya Allah menurunkan Jibril kepada Nabi

Muhammad dengan membawa al-Qur‟an”.55

2) Penafsiran yang tidak mendalam karena tidak merenungkan al-Qur‟an

dengan sesungguhnya (an lâ yatadabbar al-Qur‟ân haqqa tadabburih). 3) Tafsir

yang cenderung memihak pada mazhab atau kelompoknya. Dalam tafsir bentuk

ini, seorang penafsir memalingkan makna al-Qur‟an dari makna yang sebenarnya.

Dalam lain perkataan, bahwa orientasi penafsirannya ditujukan untuk mendukung

dan memperkuat mazhab atau kelompoknya. 4) penafsiran dengan akal

berdasarkan apa yang terkandung dalam kata-kata dalam alQur‟an. Dalam hal ini,

penafsir beranggapan bahwa yang terdapat dalam kata di dalam al-Qur‟an adalah

satu-satunya makna dan menghindari mena‟wilkan al-Qur‟an yang terlalu jauh, 5)

menafsirkan al-Qur‟an dengan sangat hati-hati di dalam merenungkan dan

mena‟wilkan al-Qur‟an.

Kedua, Ibn „Âsyûr dinilai sebagai ulama yang objektif. Meskipun ia

menganut mazhab Maliki, ia tetap menekankan budaya objektivitas dalam

karyanya. Sebagaimana diungkap di awal bahwa salah satu ciri penafsiran

kontemporer adalah penafsiran non-sektarian atau dengan kata lain seorang

penafsir tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau kelompok tertentu.

Ibn „Âsyûr dalam pengembangan tafsir, bahwa seseorang penafsir sah-sah saja

menganut suatu mazhab asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau

suatu pandangan dari mazhab yang dianutnya serta selalu melakukan crosceck

ulang dan memilih pendapat yang paling benar berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Salah satu sikap objektif yang ditunjukkan oleh Ibn „Âsyûr dalam karya tafsirnya

adalah ketika beliau men-tarjîh (mengunggulkan) mazhab yang berseberangan

dengan mazhabnya sendiri. Contohnya adalah ketika beliau menjelas kata al-

55

Ibn „Âsyûr, Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Vol. 1, 30.

Page 102: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

87

maitah dalam Q.S. al-Baqarah (2):173 setelah menjelaskan keharaman memakai

bangkai binatang, Ibn „Âsyûr masuk kepada penjelasan penggunaan kulit

binatang. Ibn „Âsyûr menguraikan pendapat keempat Imam mazhab yakni

Hanbali, Syafi‟i, Hanafi dan Maliki. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa

kulit bangkai binatang tidak bisa suci meskipun disamak (dibersihkan dengan

bahan pekat seperti daun pohon ara). Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kulit

binatang bisa suci apabila dibersihkan (disamak) kecuali kulit babi dan anjing.

Sedangkan Imam Abû Hanifah mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal

dibersihkan (disamak) kecuali daging babi. Pendapat Imam Abu Hanifah ini

disandarkan kepada sebuah hadis dari al-Zuhri sedangkan yang lain tidak ada

sandaran hadisnya. Di akhir penjelasannya, Ibn „Ar mengatakan bahwa pendapat

yang paling kuat dari keempat mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abû

Hanifah karena disandarkan kepada sebuah riwayat hadis. Sedangkan pendapat

yang lain tidak ada dalil hadisnya, termasuk Imam Maliki yang notabene dianut

oleh Ibn „Âsyûr. Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu „Asyur dengan

karya tafsirnya memberikan andil yang cukup signifikan dalam hal objektifitas

menafsirkan al-Qur‟an. Peneliti menangkap pesan bahwa untuk bersikap objektif,

seorang mufassir tidak perlu meninggalkan mazhab yang dianutnya akan tetapi

sikap objektif itu bisa dicapai dengan ilmu yang memadai serta tekad yang kuat

untuk mengungkap kebenaran al-Qur‟an sebagaimana tercermin dari sikap Ibn

„Âsyûr dalam tafsirnya.

Ketiga, asumsi dasar Ibn „Âsyûr yang menyatakan bahwa tujuan al-Qur‟an

diturunkan itu adalah untuk menciptakan kemaslahatan seluruh urusan umat

manusia (li salâhi amr al-nâs kâffah). Secara rinci ia melanjutkan bahwa

kemaslahatan umat manusia itu akan tercapai dengan tegaknya kemaslahatan

personal (al-salâh al-fard), kemaslahatan sosial kemasyarakatan (al-salâh al-

jamâ‟î) serta kemaslahatan peradaban (alalâh al-„umrani).

Ketiga unsur kemaslahatan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan

yang lainnya. Dengan kata lain, sebuah karya tafsir haruslah menjadi sesuatu yang

solutif bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.

Page 103: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

87

BAB IV

TAFSIR AYAT-AYAT HIFDZ AL-NAFS PERSPEKTIF IBN ‘ÂSYÛR

DAN RELEVANSINYA TERHADAP TAFSIR MAQÂSIDI

A. Tafsir QS. al- Isra : 31

لهم كان خطئا كبريا وال ت قت لوا أوالدكم خشية إمالق نن ن رزق هم وإياكم إن ق ت 1

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Ayat tersebut di atas dapat dimaknai secara jelas sebagai ayat yang

mengandung makna penjagaan kepada jiwa (hifz an-nafs), yaitu makna larangan

kepada orang tua untuk membunuh jiwa anak-anak mereka hanya karena

persoalan keterbelakangan ekonomi. Dari sisi asbab an-nuzulnya, ayat tersebut

turun sebagai teguran keras pada masa jahiliyah di mana penduduknya gemar

membunuh anak-anak perempuan mereka karena ditakutkan seorang perempuan

tidak mampu untuk bekerja, dan atau ketika orang tuanya sudah meninggal

mereka akan terlantar karena tidak ada yang sanggup untuk mengurusinya.2

Jika ditelaah dengan pendekatan tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr, ayat di atas

termasuk ke dalam maqâsid al-‘âmmah, sebab menjaga jiwa anak-anak dengan

tidak membunuhnya dapat menjadi kemaslahatan bukan saja kepada keluarga,

namun juga masyarakat secara umum. Hal itu sebab anak-anak merupakan

generasi yang berpotensi menjadi penerus orang tuanya yang akan menjaga nama

baik orang tua dan juga agamanya. Dengan tidak melakukan pembunuhan pula,

juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lain untuk tidak melakukan

perilaku yang dilarang oleh agama, yaitu melakukan pembunuhan kepada anak-

anak perempuan yang diasumsikan tidak mampu untuk bekerja.

Larangan Allah untuk membunuh jiwa anak-anak perempuan merupakan

kesalahan yang fatal. Sebagaimana disinggung dalam potongan ayat Alqurân di

1 al-Qur‟an, Surat al-Isra ayat 31

2 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, (Beirut:

Dar Al-Ma‟rifah, 1412), jilid 15, h. 57.

Page 104: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

88

atas, yaitu kata “khit’an kabira: kesalahan yang besar”. Dalam konteks fitrah

manusia, membunuh anak-anak secara nalar aqliyah tidak dibenarkan, sebab

dengan melakukan demikian sama saja dengan mengingkari eksitensi Allah

sebagai pemberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya. Karena menurut Ibn „Ashur,

Allah telah menggariskan rizki setiap hamba yang Ia ciptakan.3 Oleh karena itu

membunuh anak-anak dengan alasan kesejahteraan ekonomi sama dengan

mengingkari ketentuan Allah.

secara nalar nafsiyah, juga bertentangan, sebab melawan fitrah

kemanusiaan yang membenarkan hal-hal yang positif dan mengesesampingkan

hal-hal yang negatif. Baik secara lahiriah ataupun batin. Manusia tidak

menginginkan pembunuhan. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak membawa

kepada kemaslahatan baik bagi diri (dalam hal ini orang tua) ataupun masyarakat

secara umum. Perilaku pembunuhan kepada anak-anak yang belum baligh

menyalahi qadrat Tuhan.

Dalam posisi toleransi (as-samahah) membunuh jiwa anak-anak karena

hanya alasan keterbelakangan ekonomi atau kekhawatiran terkait itu tidak

diperbolehkan, karena jelas Allah mentoleransi makhluk-Nya yang tidak mampu

dalam menjalankan apa-apa yang dibebankan kepada mereka. Allah memaklumi

orang-orang yang perekonomiannya kurang, sehingga tidak perlu untuk

membunuh anak-anak mereka. Oleh itu, dalam konteks masa sahabat dan atau

kepemimpinan generasi setelahnya diadakanlah baitul mal yang salah satu

fungsinya adalah menjaga jiwa-jiwa yang secara finansial terbelakang. Baitul mal

hadir sebagai jawaban bagi manusia zaman modern untuk memaklumi diri dan

keluarganya untuk menjaga jiwa keluarga merereka dari hal-hal yang

membahayakan, seperti membunuhnya.

Agama Islam tidak membolehkan perbuatan menakuti kepada orang lain,

bahkan kepada semua alam sekalipun. Oleh itu melalui toleransi yang merupakan

basis bagi hifz an-nafs agama Islam mentoleransi siapapun yang enggan untuk

memberikan kesejahteraan kepada anaknya secara lebih. Allah Swt pun melalui

3 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 124.

Page 105: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

89

ayat Alqurân-Nya secara tegas mentolerir manusia untuk tidak melakukan

pekerjaan yang tidak sanggup untuk dilakukannya (QS. AL-baqarah [2]: 286).

Semua manusia juga memiliki kedudukan yang sama di mata Allah

bahkan di sisi hukum di dunia. Oleh itu dalam maqasid as-syariah

dikedepankanlah lima prinsip penting, yang salah satunya adalah menjaga jiwa

dari kerusakan atau pembunuhan yang di luar tuntutan syariat. Karena menurut

„Âsyûr, pembunuhan yang dilakukan semena-mena terhadap jiwa-jiwa yang tidak

melakukan pelanggaran syariat maka perilakunya itu dapat dipastikan hanya

berasaskan nafsu.4 Prinsip kesetaraan (musawa) itu kemudian dibebankanlah

kepada semua manusia di muka bumi untuk menjadi ciptaan-Nya dan juga

menjadi khalifatullah fil ‘ardh (pemimpin di muka bumi). Manusia diberikan oleh

Allah kebebasan untuk memilih yang terbaik, tidak terkecuali memilih untuk

hidup dan memberi manfaat kepada banyak orang.

Salah satu prinsip maqâsid bagi Ibn „Âsyûr adalah adanya kebebasan

dalam syariat. Dalam konteks ayat di atas pembunuhan kepada jiwa anak-anak

tidak dibenarkan, selagi keberadaan jiwa anak-anak yang dimaksudkan tidaklah

menentang aturan syariat Islam. Oleh itu semua manusia memiliki hak yang sama

untuk hidup dan menjalankan aktivitas kehidupan di masyarakat, selagi tidak

melawan aturan syariat dan hukum yang berlaku. Manusia diberikan oleh Allah

kebebasan untuk memilih yang terbaik, tidak terkecuali memilih untuk hidup dan

memberi manfaat kepada banyak orang.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapat dalam ayat

al-Quran Al-Isra 31 ini kemaslahatan bersama, menjaga ciptaan Allah Swt, dan

mengaktualkan syariat Islam secara benar yang dapat memberi kemaslahatan baik

bagi orang tua, anak-anak dan juga masyarakat secara umum. Memberikan

kesempatan hidup untuk semua manusia dan anak-anak dalam konteks ini adalah

bentuk kemaslahatan menurut Ibn „Âsyûr. Sebab dengan begitu, syariat Islam

akan terus lestari dan jiwa menjadi terjaga dengan baik.

4 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 122.

Page 106: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

90

B. Tafsir QS. al-Isra : 17/33

فس الت حرم الله إال بالق ومن قتل مظلوما ف قد جعلنا لوليه سلط ال يسرف ف القتل انا ف وال ت قت لوا الن

.إنه كان منصورا

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)yang benar. Dan barang siapa

dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada

ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.

Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Ayat di atas juga merupakan larangan Allah kepada umat manusia untuk

menjaga jiwa, yaitu larangan untuk membunuh jiwa manusia yang tidak

dibenarkan secara syariat untuk dijatuhi hukum bunuh. Jiwa yang boleh dibunuh

berdasarkan syariat ialah seperti orang yang keluar dari Islam setelah iman dan

orang yang melakukan zina setelah ihsan.5 Secara tersirat dalam ayat tersebut

dipahami bahwa pembunuhan jiwa seperti model demikian adalah bentuk

kedzaliman. Ayat tersebut juga merupakan larangan kepada orang-orang jahiliyah

untuk tidak membunuh anak-anak mereka karena hanya akan merugikan individu

mereka dan juga merugikan banyak orang.6

Larangan untuk membunuh jiwa yang Allah haramkan dalam ayat ini

juga merupakan bentuk maqâsid ‘âmmah, sebab efeknya bukan saja berhenti pada

tataran individu, namun kemaslahatan bersama. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn

„Âsyûr dalam menjelaskan ayat tersebut, bahwa larangan itu muncul karena

merupakan kemaslahatan Islam secara umum, bukan perseorangan. Dengan tidak

sembarangan membunuh manusia yang tidak memiliki urusan dengan hukum

maka akan melestarikan konsistensi Islam dan pemeluknya terkait hukum Islam.

Ajaran agama akan terus lestari jika ditampilkan dengan kemaslahatan untuk

5 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid xiii, h. 78-79.

6 Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Ad-Dur Al-Mansur Fi Tafsir bi Al-Ma’tsur, (Qum: Maktabah

Ayatullah Al-Mar‟asyi An-Najafi, 1440), jilid 3, h. 181.

Page 107: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

91

banyak orang7 Oleh karena itu, Islam memberikan kemaslahatan melalui

agamanya, kepada semua manusia.

Secara fitrah, larangan membunuh jiwa-jiwa manusia yang tidak

memiliki kesalahan yang dibenarkan oleh syariat telah menyalahi kaidah aqliyah

dan juga nafsiyah. Sebab secara nalar, membunuh manusia tak berdosa jelas

bukan merupakan tuntutan syariat Islam, Allah telah menggariskan aturan

demikian. Kiranya ayat di atas cukup terang melarang perilaku pembunuhan

terhadap manusia-manusia yang tidak memiliki beban hukuman mati. Dan secara

nafsiyyah manusia menolak untuk melakukan perilaku keji yang jelas-jelas

bertentangan dengan nuraninya. Karena pada dasarnya nurani manusia selalu

menuntun manusia itu untuk berbuat kebaikan dan melaksanakan hal-hal yang

positif, serta menjauhi hal-hal negatif.8 Nurani yang hanya mengarahkan kepada

perilaku-perilaku yang tidak memberikan kemalsahatan sesungguhnya bukan

nurani itu sendiri, namun sekadar hawa nafsu.

Dalam prinsip maqâsid Ibn Âsyûr, pembunuhan terhadap manusia yang

tidak dibenarkan syarîat Islam jelas melanggar ajaran tasammuh atau toleransi.

Karena melakukan pembunuhan demikian menganggap diri sebagai manusia yang

memiliki kekuatan hebat yang tidak peduli dengan aturan serta kekuatan Allah

yang jauh lebih besar. Dalam kaitannya dengan ayat-ayat Allah, orang yang

sombong hanya akan mendapatkan balasan siksa di neraka jahanam sebagai

tempat yang paling buruk bagi semua manusia yang telah melanggar aturan

Allah.9

Perilaku pembunuhan sebagaimana di atas juga mencederahi tatanan

kesetaraan seluruh manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt dan sebagai

mandat kekhalifahan di muka bumi. Karena dalam prinsip kesetaraan berbanding

lurus dengan kemaslahatan untuk orang banyak. Setiap orang memiliki

kesempatan hidup yang sebenarnya telah Allah berikan. Sedangkan pembunuhan

7 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, Al-Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Mesir: Dar Al-Kitab

Al-Mishri, 2010), h.151. 8 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 223.

9 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 24, h. 248.

Page 108: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

92

dengan tanpa sebab apapun jelas bertolak belakang dengan salah satu prinsip

kenapa syariat Islam diturunkan, yaitu menjaga jiwa-jiwa manusia. 10

Perilaku membunuh jiwa yang tidak bersalah juga telah melanggar

kebebasan sesama makhluk ciptaan-Nya. Sebab di mata Allah Swt, seluruh

makhluk secara fisik memiliki pandangan yang sama di mata Allah dan hanya

ketakwaan yang membedakannya. Selain itu, membunuh manusia-manusia yang

tidak berdosa dan Allah haramkan juga merupakan pemicu orang lain untuk

melakukan pelanggaran kejahatan membunuh. Karena prinsip dasar agama adalah

tidak boleh melukai siapapun yang tidak memiliki latar belakang kesalahan yang

mencederahi syariat Islam.

Dengan ayat ini, Ibn „Âsyûr memberikan penegasan sebagaimana ayat

sebelumnya, bahwa menjaga jiwa adalah ajaran syariat Islam. Ayat ini

menuntun manusia untuk melaksanakan keyakinan agama dengan cara-cara

yang maslahat dan tidak mencederahi kemanusiaan, yaitu dengan cara

menjaga setiap jiwa manusia yang tidak memiliki catatan kriminal di mata

hukum Islam. Membunuh jiwa manusia tanpa sebab apapun sama halnya

dengan membunuh syariat Islam yang dasarnya melarang manusia untuk

melakukan pembunuhan kepada yang tidak berdosa. Pembunuhan kepada jiwa

manusia hanya jika ia melakukan pembunuhan kepada orang lain dengan

tujuan memberikan pelajaran bagi orang yang lainnya untuk tidak melakukan

hal yang serupa.

C. Tafsir QS. al- Maidah: 5/32

نا على بن إسرائيل أنه من ق تل ن فسا بغري ن فس أو فساد ف األرض ف ا ق تل الناس من أجل ذلك كتب كأن

يعا وم نات ث إن كثريا من ج يعا ولقد جاءت هم رسلنا بالب ي ا أحيا الناس ج هم ب عد ذلك ف ن أحياها فكأن

األرض لمسرفون

10 Yusuf Ahman Muhammad Al-Badawi, Maqasid Al-Syariah Inda Ibn Taimiyyah, (t.tp: Dar

An-Nafais, t.th), h. 127.

Page 109: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

93

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa:

barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu

(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,

maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa

yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah

memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang

kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keteranga yang

jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh

melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.

Ayat ini merupakan peringatan dari Allah kepada Bani Israil untuk

menjaga jiwa-jiwa sesama mereka, yaitu dalam bentuk larangan untuk membunuh

jiwa orang yang tidak melakukan pembunuhan atau tidak melakukan kerusakan di

muka bumi. Larangan pembunuhan dalam ayat ini diadakan karena

mambahayakan, yaitu akan meniadakan jiwa-jiwa yang tidak salah. Yang jika

dibiarkan, maka perilaku demikian tidak menuntut kemungkinan akan berefek

pada munculnya pembunuhan-pembunuhan lain berikutnya, yang berakhir pada

hilangnya kehidupan banyak manusia di muka bumi. Bahkan dalam ayat tersebut

pembunuhan demikian itu seperti membunuh seluruh manusia.

Dari sisi historisnya, ayat ini turun sebagai peringatan kepada Bani Israil

yang selalu mengikuti hawa nafsunya dengan melakukan pembunuhan kepada

jiwa-jiwa manusia di antar golongan mereka. Bani Israil melakukan pembunuhan

terhadap jiwa manusia dan melakukan kerusakan di muka bumi dengan masif dan

terus berkelanjutan. Padahal, jelas-jelas Allah telah melarang perbuatan-perbuatan

keji membunuh dan merusak muka bumi sejak zaman Nabi Adam hingga Bani

Israil dan hingga umat selanjutnya.11

Secara tegas, larangan membunuh dalam konteks ayat ini mengandung

maqâsid al-Qurân dalam prinsip maqâsid Alqurân Tahir Ibn „Âsyûr, yaitu agar

terjadi kemaslahatan bersama berupa tidak ada kematian yang tidak wajar yang

terjadi di muka bumi, yaitu dengan cara tidak membuat pembunuhan kepada

orang-orang yang enggan bersalah ataupun dengan cara membuat kerusakan di

11

Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Ad-Dur Al-Mansur Fi Tafsir bi Al-Ma’tsur, (Qum: Maktabah

Ayatullah Al-Mar‟asyi An-Najafi, 1440), jilid 3, h. 181.

Page 110: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

94

muka bumi yang merupakan sarana publik. Selain itu, kemaslahatan juga agar

tidak terjadi banyak hukuman pembunuhan, yang ditengarai oleh satu

pembunuhan yang awal. Sebab dalam syariat, pembunuhan harus dibalas dengan

pembunuhan. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Maidah: 45:

Dari sisi fitrahnya, manusia siapapun enggan untuk melakukan

membunuh jiwa yang tidak berdosa dan melakukan kerusakan di bumi. Sebab dua

perilaku tersebut sudah pasti ditolak oleh syariat agama dan juga oleh jiwa kita

sendiri. Karena jiwa siapapun pasti menolak untuk menyetujui pembunuhan

kepada orang yang tidak bersalah dan atau membunuh orang yang tidak

melakukan kekerasan di muka bumi. Jiwa manusia pada dasarnya selalu mengajak

manusia kepada jalan yang positif. Dalam kaitannya dengan ini, Tâhir Ibn „Âsyûr

mengaitkan dengan ayat lain yang menyatakan bahwa fitrah manusia akan selalu

baik dan selalu mengikuti yang lurus.12

Prinsip yang juga penting dalam maqâsid al-Qurân Ibn „Âsyûr adalah

samahah atau toleransi. Pada umumnya, toleransi dilakukan manakala ada dua

pihak yang memiliki perbedaan pandangan atau tindakan.13

Maka dalam kasus

ayat di atas, sebenarnya tanpa mengajukan prinsip toleransi yang memang

menjadi gagasan maqâsid al-Qurân Ibn „Âsyûr, pembunuhan yang

berlatarbelakang dari ketiadannya kesalahan merupakan perbuatan yang jelas-jelas

melanggar aturan syariat jelas-jelas harus dijauhi. Apalagi dalam prinsip samahah

identik dengan menjaga jiwa-jiwa manusia. Oleh itu ayat ini secara tegas sudah

memberikan makna yang tersirat bahwa pembunuhan yang tidak berasaskan

hukuman syariat merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Sebab

perbuatan demikian jelas tidak dapat menjaga jiwa orang lain,yang padahal dalam

agama jiwa manusia sangat mahal jika dibandingkan dengan apapun.14

Di samping itu, dalam prinsip musawa atau kesetaraan, semua manusia

memiliki hak yang sama di mata Allah dan juga hak untuk hidup dengan tetap

tunduk pada hukum-hukum yang berlaku. Oleh hal itu membunuh jiwa manusia

yang tidak berdosa maka sama saja dengan membunuh hukum yang diberlakukan.

12 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 22, h. 117. 13

Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, Al-Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 99-100. 14

Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 5, h. 117.

Page 111: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

95

Dalam konteks Bani Israil, pembunuhan yang dilakukan oleh sebagian mereka

maka sama saja dengan pembunuhan yang dialamatkan kepada diri mereka.

Sebagaimana menurut Tahir Ibn „Âsyûr, samahah adalah perilaku yang harus

dikedepankan dalam keseharian manusia, karena itu berasaskan keadilan dan

bertolak dari perilaku mendahulukan hawa nafsu.15

Selain itu, pembunuhan terhadap jiwa yang tidak memiliki urusan

hukum dengan syariat Islam adalah menolak kebebasan (hurriyah). Sebab

pembunuhan yang demikian jelas-jelas merupakan pelanggaran kebebasan

manusia yang memiliki hak hidup di muka bumi Allah Swt. Perilaku pembunuhan

kepada jiwa-jiwa yang Allah haramkan berarti membatasi ruang gerak manusia

lain untuk menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi. Padahal, misi

kekhalifahan sendiri merupakan cita-cita besar untuk membuat kemaslahatan

banyak orang.16

Oleh itu hemat penulis, hurriyah adalah prinsip mendasar dalam

beribadah dan muamalah selagi tidak melangar aturan syariat Islam, karena

prinsip ini memberi dampak dorongan keikhlasan manusia dalam menjalankan

amanah dari Allah Swt.

Akhirnya, ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa maqâsid al-Qurân

yang terkandung dalam larangan pembunuhan jiwa manusia yang tidak berurusan

dengan hukum adalah kemaslahatan supaya tidak terjadi banyak pembunuhan,

baik dalam bentuk qisash atau dalam bentuk efek dari kebebasan pembunuhan

tersebut yang bisa menular kepada orang lain untuk melakukan pembunuhan-

pembunuhan yang serupa.

D. Tafsir QS. al- An’am: 151

ا أوالدكم من إمالق لو قل ت عالوا أتل ما حرم ربكم عليكم أال تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا وال ت قت

فس الت ها وما بطن وال ت قت لوا الن حرم الله إال بالق نن ن رزقكم وإياهم وال ت قربوا الفواحش ما ظهر من

ذلكم وصاكم به لعلكم ت عقلون

15 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, Al-Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 99.

16 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 1, h. 382.

Page 112: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

96

Katakanlah:" Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh

Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat

baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-

anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan

kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,

baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu

membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan

sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu

kepadamu supaya kamu memahami (nya).

Ayat ini pun merupakan larangan-larangan Allah kepada umat manusia,

dari mulai larangan memperssekutukan-Nya, larangan tidak berbakti kepada orang

tua, dan larangan untuk tidak menjaga jiwa anak-anak, dengan membunuhnya

yang ditengarai oleh persoalan ekonomi. Ketiganya merupakan larangan-larangan

yang menjadi fokus larangan Allah dalam satu ayat di atas. Artinya, bukan hanya

larangan untuk mmebunuh jiwa-jiwa manusia. Sekiranya konteks ayat ini mirip

dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyangkut larangan untuk membunuh anak

kecil perempuan yang tidak berdosa dan dilatarbelakangi oleh problem ekonomi.

Ayat ini turun manakala terdapat sebagian orang yang taat kepada tuhan

mereka namun mereka masih menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan dan

mengharamkan apa-apa yang Allah anggap halal. Dari sebagian hal-hal tersebut

adalah mereka menghalalkan pembunuhan terhadap anak-anak mereka dan juga

membunuh orang-orang yang tidak salah secara syara’. Padahal jelas-jelas hal

demikian diharamkan oleh Allah Swt.17

Ayat ini kembali mengcounter perilaku-

perilaku pembunuhan yang terjadi pada saat ayat terebut turun.

Larangan membunuh baik kepada anak-anak ataupun orang lain secara

umum yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam akan memberi damapak

kemaslahatan yang bukan saja bagi individu tertentu akan tetapi kemaslahatan

untuk banyak orang. Hal itu karena dengan tidak melakukan pembunuhan akan

memberikan kemaslahatan untuk orang banyak, seperti akan terus lestarinya

kehidupan di muka bumi dan ditaatinya hukum-hukum Allah, khususnya tentang

17

Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 8, h.

60.

Page 113: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

97

hukum larangan membunuh. Sebab melakukan pembunuhan yang tidak karena

hukum Allah, seperti melakukan qishas maka sama halnya dengan melanggar

hukum Allah.

Hal tersebut di atas berkaitan dengan nalar aqliyah setiap manusia, yang

jelas-jelas menolak tindakan pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syariat.

Secara fitrah kejiwaan (fitrah nafsiyah), membunuh dengan model demikian di

atas juga merupakan tindakan yang sama sekali bertentangan dengan jiwa manusia

yang selalu menghendaki kebaikan. Apalagi hanya karena alasan enggan mampu

ataupun takut tidak dapat mengurus atau memberikan kesejahteraan kepada anak-

anak, hal demikian itu sama sekali tidak sejalan dengan fitrah manusia.

Kekurangan harta tidak dapat dijadikan alasan untuk membunuh orang lain.

Karena setiap manusia yang lahir Allah telah jamin rizkinya.18

Menurut Ibn

„Âsyûr, perilaku membunuh anak-anak dengan alasan takut akan tidak bisa

memberikan kesejahteraan hanyalah asumsi belaka yang tidak lain muncul dari

hawa nafsu yang tak terkontrol dengan baik.19

Dari pernyataan Ibn „Âsyûr ini jelas

bahwa Islam tidak membenarkan perilaku pembunuhan hanya karena masalah

ekonomi yang menimpanya.

Dalam persoalan tersebut di atas, tentu saja Allah memberikan toleransi

kepada orang tua yang tidak mampu memberikan nafkah kepada anak-anaknya.

Karena prinsip dari agama tidaklah membebani manusia dalam bentuk cobaan

atau tindakan yang di luar kemampuan yang dimilikinya.20

Allah merupakan Dzat

yang menjamin kesejahteraan setiap makhluk bukan saja manusia kapanpun dan

di manapun.

Di samping itu, perilaku membunuh baik terhadap anak-anak ataupun

orang lain yang tidak dibenarkan oleh syara; bertentangan dengan prinsip

diadakannya agama (syarîat Islam) yang menuntut untuk menjaga jiwa-jiwa

manusia, terlebih jiwa-jiwa yang tidak memiliki pelanggaran dengan syarîat

18

Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 117. 19

Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 118. 20

Lihat Qs. Al-Baqarah: 286: نفسا إاله وسعها لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت ال يكلف Artinya: Allah للاه

tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Page 114: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

98

Islam. Sehingga menurut Ibn „Âsyûr, perilaku demikian itu hanyalah berdasar dari

hawa nafsu, dan bukan sama sekali timbul dari tuntunan keimanan.21

Setiap manusia memiliki kebebasan untuk hidup di muka bumi dalam

rangka mengemban amanah khalifah di muka bumi sejak nabi Adam hingga

kapanpun.22

Oleh karena itu, menjaga jiwa dengan tidak membunuh anak-anak

yang hanya dikarenakan urusan kesejahteraan, atau membunuh orang yang tidak

memiliki catatan kriminal agama, adalah suatu keharusan. Karena dengan

demikian syariat Islam telah dilakukan dengan sesuai ketentuan agama yang

menjunjung tinggi jiwa-jiwa manusia yang tidak ada alasan untuk menghargai

kebebasan hidupnya.

Ayat tersebut di atas jelas merupakan laranga melakukan pembunuhan

kepada anak-anak dan orang yang tidak berdosa. Maqâsid Alqurân memberikan

maksud bahwa ayat ini melarang melakukan pembunuhan yang tidak dibenarkan

syariat Islam.

E. Relevansi Penafsiran Pendekatan Tafsir Maqâsidi

Dalam prinsip maqâsid syarî’ah, suatu hukum yang digali dari sumber-

sumbernya harus memberikan kemaslahatan untuk kehidupan manusia. Makna

terdalam dari sumber-sumber hukum Islam ialah kemaslahatan itu sendiri.

Begitupun dalam prinsip tafsir maqâsidi Tahir Ibn „Âsyûr, ayat-ayat Alqurân yang

ditelaah dengan menggunakan tafsir maqâsidi memiliki relevansi penafsiran yang

universal yang mengacu kepada tujuan-tujuan didirikannya syarîat Islam. Yaitu

sebagai berikut:

1. Memelihara Pesan Universal Alqurân

Alqurân merupakan kalamullah yang mengandung makna yang sangat

luas. Hingga Alqurân sendiri menegaskan bahwa jika lautan menjadi tinta untuk

menuliskan apa yang dikandung oleh Alqurân maka niscaya air laut itu akan habis

21

Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 118. 22

Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 33, h. 140.

Page 115: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

99

sebelum ayat-ayat Alqurân itu dijelaskan.23

Pernyataan Alquran tersebut

dibuktikan dengan kemucnulan ribuan kitab-kitab tafsir yang ditulis dalam rangka

menjelaskan sekaligus mengurai apa-apa yang ingin dimaksudkan Allah melalui

Alqurân. Disadari atau tidak, satu kitab tafsir dengan kitab tafsir yang lain

memiliki penjelasan yang berbeda-beda dalam menjelaskan satu ayat Alqurân.

Selain itu, masih banyak persoalan-persoalan yang belum tuntas bahkan tidak

akan pernah tuntas dari persoalan yang ada dalam Alqurân.

Penafsiran dengan menggunakan pendekatan maqâsid al-syarî’ah, yang

kemudian dikenal dengan istilah tafsir maqâsidi, dihadirkan oleh para ulama

termasuk Tahir Ibn „Âsyûr dalam rangka menemukan penafsiran yang holistik

serta menghadirkan makna Alqurân kepada esensinya.24

Sebagaimana lima prinsip

dalam maqâsid al-syarî’ah, yaitu hifz ad-din, hifz an-nafs, hifz aql, hifz nasl wal

mal dan hifz ‘irdh, maka penafsiran dengan pendekatan tafsir maqâsidi juga

menemukan muara yang sama, yaitu menghadirkan penafsiran yang dapat menjadi

jembatan teraktualisasinya lima prinsip diadakannya syarîat Islam di atas.

Jika melihat kembali pendefinisian makna tafsir yang dikemukakan oleh

Nasruddin Baidhan, yang menyatakan bahwa tafsir adalah usaha menemukan

makna yang dikandung Alqurân, baik dari sisi hukum dan hikmah yang ada di

dalamnya25

, maka pendekatan tafsir maqâsidi kiranya relevan dengan tujuan yang

ingin dicapai dengan menafsiri kalam ilahi tersebut. Sebab tafsir maqâsidi

berusaha menemukan makna yang universal dari ayat-ayat Alqurân yang relevan

dengan tujuan-tujuan didirikannya syarîat Islam. Makna universal itu termasuk

dalam empat ayat yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Yaitu sebagian

darinya tidak dibolehkan membunuh anak-anak perempuan dengan alasan

kekurangan rizki. Karena pada dasarnya rizki setiap individu hamba telah

ditetapkan. Dan, Allah mentolerir hamba-Nya untuk tidak memaksakan

memberikan kesejahteraan kepada anak-anak mereka, dengan mengalihkannya

23

Lihat Qs. Al-Kahfi: 109: لكلمات رب لنفد البحر ق بل أن ت نفد كلمات رب و لو جئنا مدادا قل لو كان البحر بثله مددا

Katakanlah:" Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk( menulis )kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh

habislah lautan itu sebelum habis( ditulis )kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan

tambahan sebanyak itu( pula ). 24

Halil Thahir, Ijtihad Maqâshidî rekontruksi hukum Islam berbasis interkoneksitas

maslahah,(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,2015), h. 78 25

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 65.

Page 116: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

100

kepada lembaga-lembaga pengelolah zakat untuk orang-orang yang tidak mampu.

Dengan begitu, tujuan syarîat terpenuhi, yaitu terjaganya jiwa-jiwa manusia.

Makna universal Alqurân yang dapat ditangkap dari pesan maqâsid

Alqurân juga bermaksud bahwa Alqurân diturunkan untuk seluruh alam, bukan

saja untuk umat Islam. Tafsir maqâsidi memberi relevansi pesan universal

Alqurân dalam arti bahwa sasaran Alqurân bukan saja orang muslim, namun juga

non muslim, bahkan tanpa mempertimbangkan ideologi, kepercayaan, suku dan

ras.26

Alqurân diturunkan untuk memberikan rahmat untuk seluruh alam.

2. Menghasilkan Makna Alqurân yang Mendalam

Ciri khas dalam tafsir maqâsidi adalah menemukan makna Alqurân yang

mendalam untuk menghasilkan kemaslahatan untuk umat.27

Sebagaimana

dinyatakan oleh Tahir Ibn „Âsyûr, bahwa dalam tafsir maqâsidi dengan

mendialogkan antara teks-teks Alqurân dan maqâsid syarî’ah, ialah dalam rangka

untuk mencapai sebuah interpretasi atas Alqurân yang mendalam, yang bukan saja

berhenti kepada teks Alqurân, namun juga berlanjut kepada kontekstual untuk

melahirkan kemaslahat untuk orang banyak.28

Dalam persoalan perintah untuk menjaga jiwa (hifz an-nafs) dengan

merujuk ayat-ayat Alqurân yang secara sepintas melegalkan melakukan

pembunuhan kepada jiwa-jiwa manusia, bahkan kepada manusia yang tidak

berdosa, kedudukan tafsir maqâsidi patut dikedepankan. Dengan mengunakan

tafsir maqâsidi, tujuan yang ingin dicapai melalui ayat-ayat Alqurân tentang

menjaga jiwa akan digali secara mendalam sesuai dengan tujuan ditegakannya

syarîat, yang salah satunya untu menjaga jiwa-jiwa manusia.29

Jika melihat pada latar belakang lahirnya tafsir maqâsidi, tafsir ini lahir

dari pertentangan antara dua teori tentang apakah suatu ibrah diambil dari

kekhususan lafaz dan bukan dari keumuman sebab/peristiwa, atau justru

sebaliknya, yaitu suatu hukum diambil dari keumuman lazaf dan bukan dari

kekhususan sebab. Dua konsep ini kemudian dicarikan tengah-tengahnya dengan

melahirkan satu teori baru, yaitu bahwa ibrah tergantung kepada sejauh mana

26

Irwan Masduqi, Ketika Nonmuslim Membaca Alquran, (Bandung: Mizan, 2010), h. 34. 27

Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari’ah, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2015), h. 37 28

Muhammad Tahir Ibn „Ashur, Al-Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 40. 29

Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 1, h. 39-40.

Page 117: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

101

maqâsid syariah yang diimplementasikan.30

Merujuk pada pertentanga dua hal di

atas, para pakar maqâsid syarî’ah, seperti As-syâtibî dan Tahir Ibn Âsyûr

mengagas tafsir maqâsidi untuk menemukan tafsir atas ayat Alqurân secara

mendalam, yaitu dengan taori tafsir maqâsid Alqurân.31

Dari pernyataan As-Syâtibî dan „Âsyûr tersebut dapat ditangkap suatu

pemahaman yang hemat penulis lebih penting, bahwa poin terpenting penafsiran

yang mendalam ialah bukan berhenti kepada pendalaman makna kata atau

pengembangan kalimat-kalimat Alqurân. Yang lebih penting dari itu bahwa

penafsiran yang mendalam adalah penafsiran yang dapat diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari dan memberikan kemaslahatan untuk seluruh umat manusia

tanpa melihat perbedaan yang melatarbelakanginya.

3. Menghadirkan Kehendak Syariat, Bukan Kehendak Manusia

Di era modern seperti sekarang, untuk menemukan pemaknaan atas

Alqurân yang memberikan kemaslahatan melahirkan tafsir-tafsir kontemporer

yang hanya berbasis hermeneutika Alqurân. Telah banyak tokoh-tokoh tafsir yang

dikenal sebagai pakar hermeneutika tafsir Alqurân, baik dari Barat maupun dari

Islam itu sendiri yang menafsirkan Alqurân terhenti kepada akal dan logika

berfikirnya.32

Padahal Alqurân tidak mungkin dipahami hanya dengan akal

semata, namun juga diperlukan seperangkat keimanan dan keyakinan terhadap

wahyu Allah tersebut.33

Model pendekatan hermeneutika ini meskipun tujuannya untuk

menemukan kemaslahatan untuk orang banyak, namun melahirkan problem

tersendiri, yaitu karena hanya mengedepankan akal, dan lepas dari nash syarîat

Islam.34

Hal ini yang kemudian juga melahirkan para tokoh Islam yang menolak

metode tafsir Alqurân dengan menggunakan tafsir hermeneutika.35

30

Kusmana, Epistemologi Tafsir Maqasidi, Mutawatir , Vol. 6 No. 2 (Desember, 2016), h.

208. 31

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 242. 32

Abdul Hadi. W.M, Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, (Jakarta: Sadra Press, 2014), h.

67. 33

Hal ini serupa dengan kisah Nabi Nuh dan anaknya; Kan‟an, di mana 5000 tahun yang lalu

ia enggan mau diajak ayahnya untuk naik ke Perahu, dengan alasan ia mampu untuk naik gunung untuk

menghindari banjir bandang yang menimpa kaum Nabi Nuh As saat itu. Pada akhirnya Kan‟an

tenggelam di dalam banjir, karena hanya mempertimbangkan akal, dan tidak mengikuti iman. 34

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Malang: UB Press, 2011), h. 60. 35

Abdul Hadi W.M, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, (Jakarta: Sadra Press, 2016), h.

194.

Page 118: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

102

Selain dinilai sebagai tafsir yang hanya terhenti kepada akal dan lepas

dari nash Alqurân, teori tafsir ini juga ditolak sebagian tokoh karena berasal dari

dunia Barat yang dinilai tidak cocok untuk dijadikan sebagai metode memahami

Alqurân. Islam dinilai telah memiliki kaidah-kaidah tafsir Alqurân dan ulum al-

Qurân yang sudah disusun oleh para ulama tafsir untuk memahami ayat-ayat

Alqurân.

Pendekatan tafsir maqâsidi kiranya menjawab problem kontemporer

yang mengharuskan hadirnya tafsir Alqurân yang kontekstual dan memberikan

kemaslahatan kepada umat manusia. Tafsir maqâsidi tidak murni menggunakan

akal, namun tetap dalam kerangka nash-nash agama dan syarîat Islam. Tafsir

maqâsidi memberikan pemaknaan atas Alqurân tidak memurnikan akal untuk

menghasilkan kemaslahatan umat melalui ayat-ayat Alqurân, tetapi tetap

berpegang teguh kepada syarî‟at.

Dalam kasus ayat-ayat penjagaan jiwa sebagaimana di atas dibahas

misalnya, satu ayat Alqurân menjadi salah satu instrumen untuk memahami ayat

Alqurân yang lainnya. Karena prinsip dalam maqâsid Alqurân ialah tetap menjaga

nash syarîat dan pertimbangan akal untuk menemukan penafsiran yang universal-

komprehensif.

4. Menjelaskan Ayat Muhkam dan Mutasyâbih

Sebagaimana diketahui secara umum bahwa ayat-ayat Alqurân baik yang

muhkam ataupun yang mutasyabih semuanya bersumber dari Allah Swt. Ayat-

ayat muhkam adalah ayat Alqurân yang maknanya mudah dipahami, sedangkan

ayat-ayat mutasyabih sebaliknya, yang tidak semua orang dapat memahaminya.

Oleh itulah para ulama melakukan pengkajian yang mendalam guna menemukan

dan mengetahui rahasia dan hikmah dalam ayat-ayat mutasyâbih.

Keberadaan ayat-ayat mutasyâbih merupakan rahmat dari Allah Swt bagi

manusia yang kemampuannya lemah dan tidak dapat mengetahui segala sesuatu.

Namun di samping itu, ayat-ayat mutasyabih ini juga merupakan ujian dan cobaan

bagi manusia, apakah mereka percaya dengan apa yang disampaikan oleh Allah

melalui ayat-ayatnya tersebut. Ayat-ayat demikian itu sebagai bukti kelemahan

dan kebodohan manusia. Seberapa besar ilmunya, namun Allah Swt Yang mampu

mengetahu segala sesuatu.36

36

Adul Hayy, Pengantar Ushul Fikh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 265.

Page 119: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

103

Tafsir maqâsidi adalah salah satu pendekatan untuk memahami ayat-ayat

muhkam dan mutasyâbih dengan berusaha menemukan titik maqâsid setiap ayat

yang hendak ditafsirkan. Melalui pendekatan ini dapat diketahui maksud ayat

dengan berpacu kepada tujuan-tujuan syarîat Islam yang hendak dicapai melalui

ayat-ayat Alqurân.

Setiap ayat Alqurân memiliki pemaknaan yang universal yang dipastikan

memberikan kemaslahatan untuk umat manusia, tidak terkecuali ayat-ayat

mutasyabihat. Dengan pendekatan tafsir maqâsidi pemaknaan atas Alqurân untuk

menuju kepada makna tersebut dapat ditemukan, yaitu dengan berpacu kepada

kemaslahatan-kemaslahatan untuk umat manusia secara luas.

5. Mengetahui Ayat Mujmal dan Mubayan

Sebagaimana muhkam dan mutasyâbih, ayat-ayat Alqurân juga terdiri

dari ayat-ayat yang mubayyan dan ayat-ayat yang mujmal. Ayat-ayat mubayyan

adalah ayat yang dapat dipahami maknanya berdasarkan ayat-ayat setelah atau

yang sebelumnya. Sementara ayat-ayat mujmal adalah ayat-ayat yang samar, yang

untuk memahaminya perlu bantuan ayat-ayat yang lainnya.37

Untuk mengkaji dan menlaah ayat-ayat demikian diperlukan sebuah

perangkat penafsiran yang relevan, untuk kemudian mendapatkan penafsiran yang

dikehendaki suatu ayat. Salah satu misi tafsir maqâsidi adalah mengungkap

makna ayat sesuai dengan kebutuhan dan konteks, untuk kemudian menawarkan

sebuah kemaslahatan untuk orang banyak. Dalam konteks ayat-ayat mujmal,

posisi tafsir maqâsidi kiranya cukup relevan untuk dijadikan satu pisau analisa

untuk menelaah ayat-ayat mujmal, dan tentu saja ayat-ayat mubayyan untuk

mengetahui penafsiran yang sesuai dengan apa yang ingin dikehehendaki Allah

melalui ayat-ayat Alqurân-Nya.

Dalam konteks ayat-ayat menjaga jiwa-jiwa manusia sebagaimana

dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, penafsiran dengan pendekatan tafsir

maqâsidi dengan kaitannya dengan ayat-ayat mujmal menemukan korelasinya.

Yaitu ketika menjelaskan QS. Al-Ma‟idah: 32:

Dimana ayat di atas dapat dipahami sebagai hukuman bagi seseorang yang

membunuh maka juga harus dibunuh dengan bersandar kepada ayat Alqurân yang lain,

yaitu QS. Al-Ma‟idah: 45:

37

Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran,

(Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 226.

Page 120: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

104

فس والعي بالعي واألنف باألنف واألذن باألذن وا فس بالن نا عليهم فيها أن الن ن والروح وكتب ن بالس لس

ارة له ومن ل يكم با أن زل الله فأولئك هم الظالمون قصاص ف ق به ف هو كف من تصد

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa

jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga

dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa

yang melepaskan (hak qisas)nya. maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus

dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang

diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Relevansi tafsir maqâsidi, yaitu tafsir yang berpacu kepada tujuan-tujuan

syarîat, dalam ayat ini berupa penjagaan jiwa-jiwa manusia, terealisasikan dalam

menjelaskan QS. Al-Ma‟idah: 32 dengan bantuan ayat lain, dalam hal ini QS. Al-

Ma‟idah: 45.

Page 121: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

105

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, di antaranya:

1. Tafsir Maqâsidi sebagai salah satu bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara

menggali makna yang tersirat dalam lafaz-lafaz al-Qur’an dengan

mempertimbangkan tujuan yang terkandung di dalamnya. Menurut Ibn ‘Âsyûr

maqâsid al-syarî’ah adalah yang hendak dinilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar

yang melandasi hukum-hukum syarî’at yang mengatur hubungan manusia dengan

manusia, kemaslahatan yang hendak diwujudkan melalui hukum-hukum syariat

tersebut, karakter-karakter yang mencirikan keunggulannya, serta aturan-aturan

hukum untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud. Ibn ‘Âsyûr membagi

maqâsid al-syarî’ah menjadi dua, yaitu maqâsid al-syarî’ah al-‘âmmah dan

maqâsid al-syarî’ah al-khassah. Maqâsid al-Syarî’ah al-‘âmmah adalah nilai-

nilai dan prinsip-prinsip dasar maslahat yang hendak diwujudkan melalui hukum-

hukum syarî’at atau sifat-sifat khas yang mencerminkan keunggulan syarî’at

Islam, tujuan umum, serta prinsip-prinsip yang dimiliki syarî’at Islam.

Selanjutnya Ibn ‘Âsyûr membagi maqâsid al-syarî’ah al-‘âmmah menjadi lima

bagian, yaitu: fitrah (al-fitrah), toleransi (al-Samâhah), maslahat (al-maslahah),

kesetaraan (al-musâwah), dan kebebasan (al-Hurriyah). Sedangkan maqâsid al-

syarî’ah al-khassah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang disyarî’atkan untuk

melindungi kemaslahatan umum serta hikmah atau tujuan-tujuan yang hendak

diwujudkan melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum dimaksud. Batasan

khusus dalam konteks ini ialah khusus pada rumpun-rumpun hukum muamalat

yang terdiri atas enam kategori, yaitu: hukum kekeluargaan, hukum perniagaan,

hukum ketenagakerjaan, hukum tabarruʻat, hukum peradilan dan kesaksian, serta

hukum (sanksi) pidana.

2. Dalam menafsirkan ayat-ayat hifdz al-nafs dengan tinjauan maqâsid al-syarî’ah,

prinsip-prinsip yang dipegang dan menjadi landasan berfikir Ibn ‘Âsyûr adalah

Page 122: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

106

tujuan umum syarîat, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak

kemafsadatan. Ayat-ayat Hifdz al-Nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi

dengan teori maqâsid al-syarî’ah yang ia bangun. Ayat-ayat hifdz al-nafs yang ia

tafsirkan terdapat relevansi penafsiran dengan tafsir maqâsidi Ibn ‘Âsyûr ialah

memelihara pesan universal ayat-ayat al-qur’ân, menghasilkan makna alqurân

yang mendalam, menghadirkan kehendak syarî’at, bukan kehendak manusia,

menjelaskan ayat-ayat muhkam mutasyâbih dan menjelaskan ayat-ayat mujmal-

mubayyan. Dalam penafsirannya, Ibn ‘Âsyûr juga banyak memberikan contoh-

contoh dan perumpamaan bagi orang-orang yang menjaga jiwanya.

B. Saran

Kajian Alqurân dengan pendekatan tafsir maqâsidi merupakan kajian yang

sangat urgen untuk terus dilakukan. Kajian yang dilakukan oleh penulis masuk

dalam kategori pembahasan hukum syarî’at, yaitu menjaga jiwa-jiwa manusia.

Kajian tafsir maqâsidi juga akan menjadi lebih menarik jika dikonteksualisasikan

dalam persoalan humaniora, sosial-politik, ujaran kebencian di media, dan

bullying. Tujuannya tentu saja menghadirkan tafsir Alqurân berbasis maqâsid al-

syarî’ah yang sejalan dengan kemaslahatan banyak orang dalam persoalan-

persoalan di atas yang mana akhir-akhir ini menjadi persoalan yang banyak

didiskusikan dan dicarikan solusinya.

Page 123: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

107

DAFTAR PUSTAKA

ʻAbâdiy, Abdullâḥ, al-. Syarḥ Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid: Syarḥ, wa

Taḥqîq wa Takhrîj, 1416/1995. t.t.p.:

‘Âsyûr, Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin, 1984, Tafsîr at-Taḥrîr wa at-Tanwîr, Tunis: ad-Dâr at-

Tunusiyyâh lin-Nasyr.

_______,2001Maqâṣid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, cet. 2, tahkik Muhammad aṭ-Ṭâhir al

Misâwiy. Jordania: Dâr an-Nafâ`is.

_______.Uṣûl an-Niẓâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm. Tunisia: al-Syarikah at-Tûnusiyah, t.t.

Auda, Jâser, 2015, Membumikan Hukum Islam melalui Maqâsid Syarî’ah, terj. Rosidin

dan Ali Abd Mun‘im. Bandung: Mizan.

_______,2013, Al-Maqâsid Untuk Pemula terj.’Ali ‘Abdel mon’im. SUKA-Press UIN

Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

Azizy, Jauhar, dan Faizah Ali Syibromalisi, 2012, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Arifin, Miftahul, 1997, Ushûl Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, Surabaya:

Citra Media.

Badawi, Yusuf Ahman Muhammad, Maqâsid Syarî’ah ‘inda ibn Taymiyyah, 2009,

Riyadh: Dâru al-Suma’I li al-Nashr wa al-tauzi’.

Bahiyyah, Abdullâh Ibn, 'Alaqah Maqâsid al-syarî’ah bi Ushûl al-Fiqh, 2006. London: al

Furqan Islamic Heritage Foundation.

Bâqiy, Muhammad Fuâd ‘Abdul, al-Mu’jam al- Mufahras, Bandung: Diponegoro.

Bassâm, Abdullah Bin Abdurrahmân bin Ṣâiḥ, al-. Tauḍîḥ al-Aḥkâm min Bulûg al

Marrâm, 1430/2009, cet. 2, Riyâḍ: Dâr al-Maimân.

Page 124: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

108

Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Rûh al-Bayan, 1114, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islami.

Baidan, Nasruddin, 2005, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakri, Asafri Jaya, Maqâsid Syarî’ah menurut Al- Syâtibî, 1996, Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Fazlurahman, 1996, Tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Pustaka.

_______, 1984, Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.

Ghâly, Balqâsim, Shaikh al-Jâmi’ al-A’ẓam Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr: Ḥayâtuh wa

Âṡâruh, 1417/1996. Beirût: Dâr Ibn Ḥazm.

Hadi, Abdul, 2014, Hermenutika Sastra Barat dan Timur, Jakarta: Sadra Press.

_______, 2016, Hermenutika, Estetika, dan Religiusitas, Jakarta: Sadra Press.

Hamidi, Jazim, 2011, Hermenutika Hukum, Malang: UB Press.

Hamidi, Abdul Karim, al-Madkhal ila Maqâsid al-Qur’an,2007, Riyadh: Maktabah ar-

Rusyd.

Hasbullah, Ali, Ushûl al-Tasyri’ al-Islami, 1971, Mesir: Dâr al-Ma’arif.

Hayy, Abdul, 2014, Pengantar Ushûl Fiqh, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Jawwaz, Yazid Bin Abdul Qadir, 2016, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, Depok:

PT. Niaga Swadaya.

Khadimi, Nuruddun al-Mukhtar, Al-Munasabah Al-Syar’iyyah wa Tatbiquha Al-

Mu’asirah, 2006, Beirut: Dâr Ibn Hazm.

Katsir Ibn, Ismail Ibn Umar, Tafsir al-Qur’an, 1419, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.

Mahmud, Mani’ Abd Halim, 2006, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para

ahli Tafsir terj. Faisal Saleh dan Syahdianor, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Page 125: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

109

Marâghî, Muhammad Mustafa, Tafsir al-Marâghî, 1970, Beirut: Dâr At-Turats al-Islami.

Masudi, Masdar F, 2010, Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam, Jakarta:

Alvabet.

Masduqi, Irwan, 2010, Ketika Nonmuslim Membaca al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Manzur, Ibnu, Lisanul Arab, 1119, Kairo: Dâr al-Ma’ârif.

Mawardi, Ahmad Imam, 2010, Fiqhi Minoritas; Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqâsid

al-syarî’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKIS.

Munawir, Ahmad Warson, 1997, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap.

Surabaya: Pustaka Progressif.

Mustaqim, Abdul, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS.

_______, 2016, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Studi Aliran-aliran Tafsir dari

periode Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer.Yogyakarta:

Idea Press.

Mudzakir Yusuf, dan Abdul Mujib, 2003, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Qurtubî, al-Jâmi al-Ahkam al-Qur’an, 1988, Beirut: Dâr al-Fikr.

Raisuni, Ahmad, Nazhariyyat al-Maqâsid ‘Inda al-Imam al-Syâtibî, 1992, Libanon: al-

Mussasah al-Jami’ah li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’.

Rohidin, 2017, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga

Indonesia, Yogyakarta: Aksara Books.

Safriadi, (2014), Maqâsid al-Syarî’ah Ibn Âsyûr , Aceh: Sefa Bumi Persada.

Saeed, Abdullah, 2015, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al-

Qur’an, terj. Lien Iffah. Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata.

Shidiq, Sapiuddin, 2011, Ushûl Fiqh, Jakarta: Kharisma Putra Utama.

Page 126: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

110

Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah :Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an ,2004,

Tangerang: Lentera Hati.

_______, 2015, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati.

Surakhmad, Winarto, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiyah, Bandung: Tarsito.

Suyûtî, Jalâl al- Dîn, Ad-Dur al-Mansur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur, 1440, Qum: Maktabah

Ayatullah al-Mar’asyi an-Najafi.

Asyadzili, Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahhim, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, 1312, Beirut: Dâr al-

Syuruq.

Thahir, Halil, 2015, Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas

Maslahah,Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara.

Taymiyah, Ibnu, Maqâsid al-Syarî’ah, Dâr an-Nafais.

Thaba’taba’I, Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, 1417, Qum: Mu’assisah Linasyri al-

Ilmi Fi Hauzah.

Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Jami’al-Bayân fi Tafsir al-Qur’an, 1412,

Beirut: Dâr al-Ma’rifah.

Zaid, Nashr Hamid Abu, 2002, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,

Yogyakarta: LKIS.

Zahra, Muhammad Abu, 2010, Ushûl Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Zarqani, Muhammad Abdul ‘Adzim, Manahilul ‘irfan fî ulûmi Alqurân, 1988, Beirut: Dâr

al-Fikr.

Zarkashî (al), Badr al-Dîn Muhammad, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz ke-1, 1957,

Beirût: Dâr al-Ma‘rifah.

Page 127: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-485’A1 : 678DI DAA0 AFI5 IB ‘ ÂSYÛRrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48064/1/EVA... · 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata

111

Referensi Jurnal dan Makalah:

Halim, Abdul (2011), Epistemologi Tafsir Ibnu ‘Âsyûr dalam kitab tafsir al-Tahrîr wa al-

Tanwîr, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hayati, Nilda (2014), Tafsir Maqâsidî (Telaah atas penafsiran Taha Jâbîr al-Alwanî

terhadap ayat-ayat Riddah),Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mubarok, Moh.Husni (2017), Nilai-nilai al-Qur’an dalam Pancasila; Pendekatan tafsir

maqâsidî atas Pancasila sila pertama dan kedua, Skripsi UIN Sunan Ampel

Surabaya.

Mufidah, Azmil (2013), Tafsir Maqâsidî (Pendekataan Maqâsid al-Syarî’ah Tahîr Ibn

Âsyûr dan aplikasinya dalam tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr), Skripsi UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Muhtamiroh, Siti (2013), Muhammad Thâhîr bin ‘Âsyûr dan Pemikirannya tentang

Maqâsid al-Syarî’ah, Jurnal at-Taqaddum, UIN Walisongo Semarang, Vol.

5, No.2

Mutamam, Hadi (2013), Analisis Kritik Kontribusi Tafsir Kontemporer, Jurnal: al-Fikr,

Vol.7, No.1

Ningrum, Tantri Setyo (2019), Wacana Istri Sebagai Pencari Nafkah Pemahaman Husein

Muhammad Atas Penafsiran Q.S An-Nisa 4:34 dan At-Thalaq 64:6-7,

Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sa’adah, Faridatus (2012), Tafsir Maqâsidî (Kajian Kitab Ahkam al-Qur’an Karya Abû

Bakar Ibn al-‘Arabi), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sutrisno (2012), Paradigma Tafsir Maqâsidî, Jurnal Rausyan Fikr, Vol.13,No.2

Umayyah (2016), Tafsir Maqâsid Metode Alternatif dalam Penafsiran al-Qur’an, Jurnal

Diya al-Afkar, Vol. 4. No.01

Wathani, Syamsul (2016), Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqâsidi; Pendekatan Sistem

Intterpretasi, Jurnal Suhuf, Vol. 9, No. 2.