hibah dan pinjam-pakai

26
NAMA : FITRI AMELINA NPM : 1106056491 RANGKUMAN 1. PENGHIBAHAN Penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah, saat hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu (pasal 1666). Digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian ‘dengan cuma-cuma’ (om niet). Dimana perkataan itu ditujukan pada adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak lainnya tidak perlu memberi impalan atau kontra prestasi. Sehingga perjanjian ini bersifat satu pihak atau unilateral. Perkataan ‘di waktu hidupnya’ si penghibah, adalah untuk membedakan penghibahan ini dari pemberian- pemberian yang dilakukan dalam suatu testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku apabila si pemberi meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat diubah dan ditarik kembali oleh si pemberi. Pemberian dalam testament dalam KUHPerd disebut dengan ‘legaat’ (‘hibah wasiat’) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh peghibah.

Upload: fitriamelina

Post on 11-Aug-2015

218 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Perdata

TRANSCRIPT

Page 1: Hibah dan Pinjam-Pakai

NAMA : FITRI AMELINA

NPM : 1106056491

RANGKUMAN

1. PENGHIBAHAN

Penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah, saat

hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,

menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima

penyerahan itu (pasal 1666). Digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian

‘dengan cuma-cuma’ (om niet). Dimana perkataan itu ditujukan pada adanya

prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak lainnya tidak perlu memberi impalan

atau kontra prestasi. Sehingga perjanjian ini bersifat satu pihak atau unilateral.

Perkataan ‘di waktu hidupnya’ si penghibah, adalah untuk membedakan

penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament

(surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku apabila si pemberi

meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat diubah dan

ditarik kembali oleh si pemberi. Pemberian dalam testament dalam KUHPerd

disebut dengan ‘legaat’ (‘hibah wasiat’) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan

penghibahan ini adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak

boleh ditarik kembali secara sepihak oleh peghibah.

Penghibahan dalam sistem KUHPer hanya bersifat ‘obligatoir’ saja, dalam

arti belum memindahkan hak milik, karena hak milik ini baru berpindah dengan

dilakukannya ‘levering’ atau penyerahan (secara yuridis). Penghibahan merupakan

salah satu cara untuk pemindahan hak milik. Penghibahan hanya dapat mengenai

barang-barang yang sudah ada. Jika meliputi barang-barang yang baru akan ada di

kemudian hari, maka hibahnya batal (pasal 1667). Penghibah tidak boleh

memperjajikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barang

kepada orang lain yang terrmasuk dalam penghibahan, penghibahan semacam ini

dianggap batal (pasal 1668). Terkait ketentuan-ketentuan mengenai tanah, sudah

dicabut oleh adanya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960), tetapi

untuk ketentuaan barang bergerak, masih berlaku.

Page 2: Hibah dan Pinjam-Pakai

Suatu hibah akan batal jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah

akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan tegas

dalam akta hibah atau di dalam daftar yang ditempelkan padanya (pasal 1670).

Penetapan yang dicantumkan dalam perjanjian penghibahan (pasal 1670), dengan

mana diletakkan suatu kewajiban bagi si penerima hibah, lajimnya dinamakan suatu

‘beban’. Penghibah boelh memperjanjikan bahwa ia akan memakai sejumlah uang

dari harta benda yang dihibahkan. Jika ia meninggal dengan tidak telah memakai

jumlah uang tersebut, maka apa yang dihibahkan tetap pada penerima hibah

seluruhnya (pasal 1671). Penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak

mengambil kembali barang yang telah diberikannya baik dalam hal penerima hibah

sendiri, atau penerima hibah beserta keturunannya akan meninggal terlebih dahulu

daripada si penghibah.

Kecakapan untuk Memberi dan Menerima Hibah

Selain harus dewasa, seseorang haruslah mencapai usia 21 tahun, menikah,

dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan

(pasal 1677). Pasal 1678 melarang penghibahan antara suami dan istri selama

perkawinan, ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian-

pemberian barang-barang bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlampau

tinggi, mengingat kemampuan penghibah. Penghibahn kepada lembaga-lembaga

umum atau lembaga-lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekadar

oleh Presiden atau penguasa yang ditunjuk (pasal 1680), penguasa yang ditunjuk

Presiden saaat ini adalah Menteri Kehakiman.

Cara Menghibahkan Sesuatu

Pasal 1682 menetapkan: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam

pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akte

notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu. Dimana pemberian barang-barang

bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang atas tunjuk, tidak

memerlukan akta, dan sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima atau pihak

ketiga atas nama penerima hibah.

Page 3: Hibah dan Pinjam-Pakai

Pasal 1684 menetapkan bahwa penghibahan yang diberikan kepada

perempuan yang bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan

yang diatur dlama Buku I KUHPer, yaitu atas izin suami. Pasal 1686 menetapkan

bahwa hak milik atas benda-benda yang termaktub dalam penghibahan yang telah

diterima secara sah, tidak berpindah kepada penerima kecuali dengan penyerahan

atau ‘levering’.

Penarikan Kembali dan Penghapusan Hibah

Menurut pasal 1688, berupa tiga hal, yaitu:

1. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan nama penghibahan telah

dilakukan; syarat yang dimaksud adalah beban.

2. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu

melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau

suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.

3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah,

setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.

A. PENITIPAN BARANG

Penitipan terjadi, apabila menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan

syarat bahwa ia akan menyimpannnya dan mengembalikannya dalam wujud

asalnya (pasal 1694). Menurut pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian ‘riil’

yang berarti bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata,

yaitu diserahkannya barang yang dititipkan; jika tidaks eperti perjanjian-perjanjian

lainnya pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan

pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal pokok dari perjanjian itu. Ada dua

macam penitipan barang menurut undang-undang, yaitu:

1. Penitipan Barang yang Sejati

Penitipan barang sejati dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan

sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang bergerak (pasal

1696). Yang mana tidak akan terlaksana selain dengan penyerahan barangnya

secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan (pasal 1697). Hal ini

menggambarkan sifat perjanjian penitipan yang riil dan berlainan dari sifat

perjanjian lain yang pada umumnya adalah konsensual.

Page 4: Hibah dan Pinjam-Pakai

Penitipan barang dapat terjadi secara sukarela atau karena terpaksa (pasal

1698). Dimana penitipan barang secara sukarela terjadi karena sukarela terjadi

karena sepakat bertimbal-balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak

yang menerima titipan (pasal 1699) dan hanya terjadi anatar kedua pihak yang

memiliki kecakapan untuk membuat perjanjian. Sedangkan yang dinamakan

penitipan karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksan dilakukan oelh

seorang karena timbulnya malapetaka, misal: kebakaran, perampokan, dll (pasal

1703). Penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut ketentuan seperti

penitipan sukarela (pasal 1705). Penitipan terpaksa mewajibkan si penerima

titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya,

memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya

sendiri (pasal 1706). Pasal 1707 menyebutkan ketentuan terkait penitipan

terpaksa, yaitu:

a. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan

barangnya;

b. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah untuk penyimpanan itu;

c. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima

titipan;

d. Jika ia telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung

segala macam kelalaian

Penerima titipan tidak bertanggung jawab kecuali aopabila terjadi firce

majeur, apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang ditiipkan. Bahkan

dalam hal yang terakhir ini, ia tidak bertanggung jawab jika barangnya juga akan

musnah seandainya telah berada di tangan peminjam (pasal 1708). Risiko

musnahnya suatu barang karena keadaan memamksa memang merupakan

tanggung jawab pemilik barang/peminjam.. contohnya adalah pemilik

penginapan dan losmen, pasal 1709 meletakkan tanggung jawab pada pemilik

losmen apabila terjadi kerusakan atau kehilangan.

2. Sekestrasi

Sekestrasi adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, di

tangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk mengembalikan

barang kepada yang akan dinyatakan berhak beserta hasilnya setelah

Page 5: Hibah dan Pinjam-Pakai

perselisihan tersebut dadapt diselesaikan. Penitipa ini ada yang terjadi dengan

persetujuan dan ada yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal

1730). Sekestrasi karena persetujuan terjadi apabila barang yang menjadi

sengketa diserahkan kepada pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara

sukarela (pasal 1731). Dapat dilakukan terhadap benda bergerak dan benda tidak

bergerak (pasal 1734). Pihak ketiga yang melakukan sekestrasi tidak dapat

dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan selesai, kecuali apabila semua

pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada alasan lain yang sah

(pasal 1735). Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim

memerintahkan supaya suatu barang karena persengketaan dititipkan pada

seseorang (pasal 1736). Hakim dapat melakukan sekestrasi, apabila:

a. Terhadapa barang-barang bergerak yang telah disita di tangannya seorang

berutang (debitur). Adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas

permintaan seorang penggugat

b. Terhadap suatu barangbergerak maupun tidak bergerak, yang hak miliknya

atau penguasaannya menjadi persengketaan.

c. Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitur)

untuk melunasi utangnya (pasal 1738). Dilakukan dalam hal kreditur

menolak pembayaran yang akan dilakukan oleh debiturnya, sehingga debitur

terpaksa meminta bantuan juru sita atau notaris untuk menawarkan barang

atau uang tersebut kepada kreditur secara resmi.

Menjadi kewajiban si penyita untuk membayar kepada penyimpan upahnya yang

ditentukan dalam undang-undang (pasal 139).

B. PINJAM-PAKAI

Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan

cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah

memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan

mengembalikannya (pasal 1740). Untuk membedakan dengan apa yang yang

disebut “pinjam” dalam sehari-harinya, maka yang disebutkan pertama kita

namakan “pinjam-pakai” dan yang disebutkan pertama kita namakan “pinjam-

Page 6: Hibah dan Pinjam-Pakai

meminjam”. Untuk mengadakan perbedaan tersebut diatas juga dipakai sebagai

kriterium bahwa dalam “pinjam-pakai” barang yang dipinjam tidak habis atau

musnah karena pemakaian, sedangkan dalam halnya “pinjam-meminjam” barang

itu habis atau musnah karena pemakaian.

Dalam pinjam-pakai ini pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik

dari barang yang dipinjamkan (pasal 1741). Segala apa yang dapat dipakai orang

dan tidak musnah karena pemakaian, dapat menjadi bahan perjanjian pinjam-

pakai (pasal 1742).

Perjanjian pinjam-pakai inimerupakan contoh daris uatu perjanjian sepihak atau

unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya adanya prestasi

daris atu pihak saja), sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “untuk

dipakai dengan cuma-cuma”.

Perikatan-perikatan yang timbul karena adanya perjanjian pinjam-pakai

ini akan berpindah kepada ahli waris pihak yang meminjamkan dan para ahli

waris yang meminjam. Namun, jika suatu peminjaman telah dilakukan karena

mengingat orangnya yang menerima pinjaman dan telah diberikan khusus

kepada orang tersebut secara pribadi, para ahli warisnya tidak dapat menikmati

barang pinjaman etrsebut (pasal 1743). Bagian pertama pasal 1743, bahwa hak

dan kewajiban yang timbul dari perjanjian pinjam-pakai berpindah kepada ahli

waris dari kedua belah pihak sesuai dengan asas umum dari hukum pewarisan

yang menetapkan bahwa semua hak dan kewajiban yang ada nilainya uang

(aktiva dan passiva) daris eorang yang meninggal diwarisi oleh sekalian ahli

warisnya. Namun, apabila suatu hak atau kewajiban ada hubunagnnya yang

sangat erat dengan pribadi yang meninggal (pewaris), hak atau kewajiban itu

tidak berpindah ke ahli warisnya.

Kewajiban si Peminjam

Siapa yang menerima pinjaman sesuatu, diwajibkan menyimpan dan

memelihara barang pinjaman itu. Jika ia memakai barangnya pinjaman guna

suatu keperluan lain atau lebih lama dari pada yang diperbolehkan, maka selain

bertanggung-jawab atas musnahnya barang sekalipun musnahnya barang iotu

disebabkan karena suatu kejadian yang sama sekali tidak disengaja (pasal 1744).

Page 7: Hibah dan Pinjam-Pakai

Jika barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja,

yang mestinya dapat disingkiri seandainya si peminjam telah memakai

barangnya endiri, atau jika hanya satu dari kedua barang itu saja yang dpat

diselamatkan, peminjam telah memilih menyelamatkan dia punya barang

sendiri, maka ia bertanggung jawab tentang musnahnya barang yang lainnya

(pasal 1745). Dapat dilihat bahwa undang-undang menghendaki ketika

peminjam dapat memakai barangnya pinjaman tetapi juga dapat memakai

barangnya sendiri, maka ia terlebih dahulu harus memakai barangnya sendiri.

Jika barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir harganya, maka

musnahnya barang itu, biarpun ini terajdi karena suatu kejadian yang disengaja,

adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali apabila telah diperjanjikan

sebaliknya (pasal 1746).

Jika barangnya berkurang harganya karena pemakaian untuk mana

barang itu telah dipinjam, dna diluar kesalahan si pemakai, maka peminjam tidak

bertnaggung jawab tentang hal tersebut (pasal 1747). Dan apabila si pemakai,

untuk dapat memakai barang pinjaman telah mengeluarkan biaya, maka tidak

dapat dituntut kembali atas penggantian biaya tersebut (pasal 1748). Jika

beberapa orang bersama-sama menerima satu barang dalam peminjaman, maka

mereka itu adalah masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab kepada

si peminjam (pasal 1749).

Kewajiban Orang yang Meminjamkan

Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang

dipinjamkan kecuali telah lewat waktu yang ditentukan, atau jika tidak ada

ketentuan waktu yang demikian, setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai

untuk keprluan yang dimaksudkan (pasal 1750).

Di lain hal juga bisa terjadi bahwa secara tidak terduga dapat timbul

suatu keadaan yng sangat mendesak dimana orang yang meminjamkan perlu

memakai barangnya sendiri. Dalam kondisi ini, jika peminjam tidak suka

mengembalikan barangnya secara sukarela, harus dimintakan perantara Hakim.

Hal ini diatur dalam pasal 1751.

Page 8: Hibah dan Pinjam-Pakai

Jika si pemakai barang, selama waktu peminjaman, telah terpaksa

mengeluarkan beberapa biaya luar biasa yang perlu, yang sebegitu mendesaknya

hingga ia tidak sempat memberitahukan hal itu sebelumnya kepada orang yang

meminjamkan, maka orang ini diwajibkan mengganti biaya-biaya tersebut

kepada si pemakai (pasal 1752). Lalu, jika barang yang dipinjamkan

mengandung cacat-cacat yang sedemikian , hingga orang yang memakainya

dapat dirugikan karenanya, maka orang yang meminjamkan bertanggung jawab

tentang akibat-akibatnya apabila dalam hal ini peminjam telah mengetahui

adanya cacat-cacat dan tidak membertitahukannya kepada si pemakai.

C. PINJAM MEMINJAM

Pinjam meminjam adalah suatub perjanjian dengan mana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang

menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan

mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal

1754). Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam itu, pihak yang menerima

pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu

musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas

tanggungannya (Pasal 1755). Dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi

karena hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika,

sebelum pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau

ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah

yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu

pelunasan, dihitung harganya menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada

saat itu (1756).

Kewajiban Orang yang Meminjamkan

Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah

dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian

(pasal 1759). Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa, apabila

Page 9: Hibah dan Pinjam-Pakai

orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut

keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam (pasal 1760).

Jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam

sesuatu barang atau sejumlah uang , akan mengembalikannya bilamana ia

mampu untuk itu, maka Hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktunya

pengembalian (pasal 1761).

Undang-undang menetapkan ketentuan pasal 1753 (tentang pinjam-

pakai) berlaku terhadap pinjam-meminjam. Dengan sendirinya ketentuan

tersebut hanya berlaku dalam hal yang dipinjamkan itu barang (bukan uang).

Kewajiban Si Peminjam

Orang yang menerima pinjaman sesuau diwajibkan mengembalikannya

dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (pasal

1763). Bila tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, maka Hakim berkuasa

memberikan kelonggaran, menurut ketentuan pasal 1760 KUHPer yang sudah

kita bicarakan diatas sewaktu kita mmebahas kewajioban-kewajiban orang yang

meminjamkan. Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang yang

dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan

membayar harganya, harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya,

menurut perjanjian, harus dikembalikan. Pasal 1764 menetapkan bahwa dalam

hal tidak terdapat penunjukan tempat pengembalian, harus diambil tempat

dimana pinjaman telah terjadi, dalam menetapkan harga barang yang ahrus

dibayar oleh si peminjam.

Meminjamkan dengan Bunga

Pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan

bunga ats peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian.

Siapa yang telah menerima pinjaman dan membayar bunga yang tidak telah

diperjanjikan, tidak boleh menuntutnya kembali maupun kemudian

menguranginya dari jumlah pokok, kecuali apabila bunga yang dibayar itu

melebihi bunga menurut undang-undang; dalam hal mana uang yang telah

dibayar selebihnya boleh dituntut kembali atau dikurangkan dari jumlah pokok.

Page 10: Hibah dan Pinjam-Pakai

Pembayaran bungan yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan si berutang

untuk membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus

dibayar sampai saat pengembalian atau penitipan uang-pokoknya, biarpun

pengembalian atau penitipan ini dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya

dapat ditagih (pasal 1766). Menyebutkan bahwa bunga yang terlanjur dibayar

meskipun tidak ada perjanjian tentang bunga, dapat diminta kembali sekedar

melebihi “bunga menurut undang-undnag”. Pasal 1767 menyebutkan bahwa

besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara

tertulis.

PERTANYAAN:

1. Ketentuan Hukum Perjanjian mengenai Safe Deposit Box.

Layanan Safe Deposit Box adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau

surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan ditempatkan

dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang

yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.

Menurut BI, nasabah perlu mengetahui adanya biaya yang dibebankan kepada

penyewa, antara lain uang sewa, uang agunan kunci dan denda keterlambatan

pembayaran sewa. Selain itu, nasabah harus patuh terhadap aturan dengan tidak

menyimpan barang-barang yang dilarang dalam safe deposit box.

Nasabah juga perlu menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau

disalahgunakan pihak lain. Kemudian memperlihatkan barang yang disimpan bila

sewaktu-waktu diperlukan oleh bank. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang,

maka uang agunan kunci akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan

pembongkaran safe deposit box yang wajib disaksikan sendiri oleh penyewa.

Nasabah juga harus memiliki daftar isi dari safe deposit box dan menyimpan foto

copy (salinan) dokumen tersebut di rumah untuk referensi. Pasalnya, bank tidak

bertanggungjawab atas perubahan kuantitas dan kualitas, hilang, atau rusaknya

barang yang bukan merupakan kesalahan bank. Selain itu, kerusakan barang akibat

force majeur seperti gempa bumi, banjir, perang, huru hara, dan sebagainya.

Adapun barang-barang yang tidak boleh disimpan dalam safe deposit box:

Senjata api / bahan peledak.

Page 11: Hibah dan Pinjam-Pakai

Segala macam barang yang diduga dapat membahayakan atau merusak safe

deposit box yang bersangkutan dan tempat sekitarnya.

Barang-barang yang sangat diperlukan saat keadaan darurat seperti surat

kuasa, catatan kesehatan dan petunjuk bila penyewa sakit, petunjuk bila

penyewa meninggal dunia

Safe Deposit Box adalah jasa bank diberikan khusus kepada para nasabah

utamanya. Jasa ini dikenal juga dengan nama safe loket. Safe Deposit Box

berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan disewakan kepada nasabah yang

berkepentingan untuk menyimpan dokumen-dokumen atau benda-benda berharga

miliknya. Safe Deposit Box sebagai salah satu jasa perbankan dalam hal

penyimpanan barang-barang berharga dan surat-surat berharga milik nasabah

(penyewa). Setiap bank mempunyai latar belakang yang sama dengan bank-bank

yang lain dalam hal penggunaan Safe Deposit Box yang ditawarkan pada

masyarakat, karena masyarakat semakin membutuhkan suatu fasilitas yang

memberikan jaminan keamanan terhadap penyimpanan barang-barang berharga dan

surat-surat berharga yang dimiliki. Ketentuan hukum juga banyak berkaitan dengan

kegiatan operasional bank dalam hal pelayanan jasa perbankan khususnya

mengenai Safe Deposit Box ini. Undang-undang atau peraturan hukum yang

memuat hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan Safe Deposit Box, yaitu:

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan), Surat

Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PI.321/1994 tanggal 13 April 1994

yang mengatur jasa penyewaan Safe Deposit Box adalah Jasa Kena Pajak yang atas

penyeranannya terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan juga pengaturan

hukum safe deposit box yang diteluarkan Bank Indonesia.

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Perbankan menyatakan penitipan adalah

penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan

penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak rnempunyai hak

kepemilikan atas harta tersebut.

Pasal 6 huruf h dan huruf 1 Undang-Undang Perbankan menyatakan bank

menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, dan melakukan

kegiatan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

Page 12: Hibah dan Pinjam-Pakai

Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Perbankan disebutkan: Bank Umum

yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf i bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip dan memenuhi

kewajiban lain sesuai dengan kontrak. Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan

dicatat secara tersendiri. Dalam hal Bank mengalami kepailitan, semua harta yang

dititipkan pada Bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib

dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan. Perjanjian Safe Deposit Box

secara umum memiliki hubungan yang erat dengan ketentuan Bab VII Buku III

KUHPerdata tentang perjanjian sewamenyewa. Pasal 1548 KUHPerdata

menyatakan sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan

dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu

harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.

Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada

umumnya adalah merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti bahwa perjanjian

tersebut sudah dikatakan sah dan mengikat pada detik tercapinya sepakat mengenai

unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Oleh karena yang diserahkan si

penyewa adalah bukan hak milik atas barang, melainkan hanya hak pakai dan

pemungutan hasil dari barang tersebut, maka di Negeri Belanda semua ahli hukum

berpendapat bahwa, yang dapat menyewakan barang tidak hanya pemilik barang

melainkan semua orang yang berdasar atas suatu hak berkuasa untuk memindahkan

pemakaian barang ke tangan orang lain. Misalnya Pasal 722 KUHPerdata

mengizinkan sesorang yang mempunyai hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas

suatu barang, untuk menyewakan barang itu, sedangkan menurut Pasal 823

KUHPerdata si penyewa adalah seseorang yang mempunyai hak memakai,

sedangkan Pasal 827 KUHPerdata mengatakan bahwa seeorang yang mempunyai

hak mendiami sebuah rumah tidak berhak untuk menyewakan kedua macam hak

tersebut.

2. Ketentuan Hukum Perjanjian mengenai Perjajian Parkir.

Bagaimanapun, adanya pertentangan pendapat ini, bisa juga dikarenakan contoh

kasus yang digunakan masih terlalu sedikit, sehingga mungkin dalam kasus-kasus

yang lain sebenarnya Mahkamah Agung tegas menyatakan adanya perjanjian.

Page 13: Hibah dan Pinjam-Pakai

Sebagaimana dalam salah satu kasus yang disebutkan sebelumnya, meski

mendasarkan kewajiban pengelola pada perbuatan melawan hukum, namun

Mahkamah Agung toh menegaskan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian

penitipan barang.

Pertanyaannya kemudian, mengapa kualifikasi perjanjian ini menjadi penting, serta

bagaimana seharusnya mengurai permasalahan perjanjian parkir ini. Kebetulan,

terdapat satu tulisan (“De Toepassing van Exoneratieclausules in het

Parkeercontract”, Rechtskundig Weekblad, 1982-1983, 2161-2178) berdasarkan

praktek di Belgia, di mana konstruksi yang digunakan masih bisa dibandingkan

dengan di Indonesia, karena adanya kemiripan dasar hukum (KUHPerdata/BW).

Faure sebenarnya juga cukup dikenal di Indonesia sebagai ahli hukum

(pertanggungjawaban) lingkungan.

Secara garis besar, dalam menangani sengketa terkait perjanjian parkir, pertama-

tama perlu dikualifikasikan dulu, apa perjanjian yang berlaku di antara pengelola

parkir dan pemilik kendaraan (konsumen). Selanjutnya, baru bisa diurai lebih

lanjut, klausula-klausula apa yang boleh dianggap berlaku (atau tidak) dalam

perjanjian tersebut. Terakhir, tindakan para pihak terkait akan bisa dinilai

berdasarkan hak dan kewajiban para pihak, sehubungan dengan isi dan ruang

lingkup dari perjanjian tersebut.

Kualifikasi Perjanjian Parkir

Dalam prakteknya di Belgia, menurut Faure, perjanjian parkir biasa

dikualifikasikan ke dalam tiga kategori: perjanjian sewa, perjanjian penitipan

barang, atau perjanjian umum. Mengapa kualifikasi tersebut penting? Hal ini

berhubungan dengan hak dan kewajiban para pihak terkait yang kemudian berlaku.

Apabila perjanjian parkir dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa, maka

pengelola parkir hanya akan dianggap sebagai pemilik suatu barang (tempat) yang

mempersilahkan pemilik mobil, untuk mengunakannya dalam waktu tertentu,

dengan membayarnya. Sedang apabila perjanjian parkir dapat dikualifikasikan

sebagai perjanjian penitipan barang, maka dengan sendirinya terdapat kewajiban

dari pengelola untuk menjaga mobil yang diparkir dengan baik, serta

mengembalikannya dalam kondisi semula. Dasar hukumnya dapat dilihat dalam

dua ketentuan pasal di bawah ini.

Page 14: Hibah dan Pinjam-Pakai

Pasal 1548

Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang

lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh

pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik

yang tetap maupun yang bergerak.

Pasal 1694

Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk

menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.

Dengan demikian, dalam prakteknya di Belgia, tetap terbuka kemungkinan untuk

mengkualifikasikan perjanjian parkir sebagai dua bentuk perjanjian yang berbeda

(sementara di Indonesia Mahkamah Agung tegas menyatakan bahwa perjanjian

parkir adalah perjanjian penitipan). Masalahnya dengan adanya kualifikasi yang

terbuka seperti ini, tentu dibutuhkan adanya kriteria atau tolak ukur tertentu yang

dapat dijadikan patokan yang membatasi keduanya. Apa kira-kira patokan itu?

Menurut Faure, dalam prakteknya patokan itu bisa dicermati, antara lain, dalam

beberapa kriteria berikut ini:

1. Apakah terjadi serah terima kunci mobil? Diserahkannya kunci mobil, tentu

akan memperkuat argumentasi bahwa perjanjian parkir dalam kasus tersebut

memang perjanjian penitipan barang.

2. Apakah terdapat petunjuk-petunjuk khusus bagaimana mobil harus diparkirkan?

Semakin banyak dan ketat petunjuk yang diberikan, tentu semakin memperkuat

adanya indikasi bahwa perjanjian parkir tersebut adalah perjanjian penitipan

barang.

3. Apakah ada pengawasan dalam gedung parkir? Semakin (terlihat) ketatnya

pengawasan dalam parkir, akan membuat perjanjian parkir juga semakin mudah

dianggap perjanjian penitipan.

4. Berapa besarnya tarif parkir? Beberapa orang berpendapat bahwa tarif parkir

bisa dijadikan patokan. Meski begitu, ada beberapa pendapat berbeda yang

mengatakan bahwa besarnya tarif parkir tidak relevan menunjukkan “harga”

tempat parkir, karena “harga” yang rendah bisa juga dimaksudkan pengelola

untuk menarik pelanggan.

Page 15: Hibah dan Pinjam-Pakai

5. Keberadaan garasi khusus. Apabila mobil disimpan dalam sebuah garasi

tertutup, apa yang terjadi dalam garasi tersebut, pada dasarnya di luar

tanggungjawab pengelola parkir, sehingga akan lebih mudah dikualifikasikan

sebagai perjanjian sewa menyewa.

Akibat Kualifikasi Perjanjian Parkir

Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, pengkualifikasian perjanjian parkir

relevan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian parkir

(perlu diperhatikan bahwa dalam prakteknya di Indonesia pihak penggugat sudah

langsung merujuk pada UU Perlindungan Konsumen yang sangat umum). Kalau

kualifikasinya ternyata perjanjian sewa menyewa, posisi pengelola parkir tentu

lebih bebas, namun beda halnya kalau ternyata perjanjian parkir dapat

dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang.

Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan (dalam hal ini

pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian penitipan bukan hanya

perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk menjaga barang tersebut), namun

juga bersifat hasil (untuk mengembalikan barang tersebut dalam kondisi yang sama

dengan saat diterima).

Pasal 1714

Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang sama dengan yang

diterimanya. Dengan demikian, kalau titipan itu berupa uang tunai maka wajib

dikembalikan uang tunai dalam jumlah dan jenis mata uang seperti semula biarpun

mata uang itu sudah naik atau turun nilainya.

Pasal 1715

Penerima titipan hanya wajib mengembalikan barang titipan itu dalam keadaan

sebagaimana adanya pada saat pengembalian. Kekurangan yang timbul pada barang

itu di luar kesalahan penerima titipan, harus menjadi tanggungan pemberi titipan.

Kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut dalam keadaan yang sama, juga

mengandung konsekuensi bahwa beban pembuktian ada pada penerima titipan.

Jadi, pada prinsipnya secara hukum dia wajib untuk mengembalikan barang yang

dititipkan, kecuali bisa dibuktikan sebalknya. Dia hanya bisa dianggap tidak

bertanggungjawab, jika dapat membuktikan bahwa tidak (dapat) dikembalikannya

barang itu, bukan merupakan kesalahannya. Dalam prakteknya, pembuktian

Page 16: Hibah dan Pinjam-Pakai

terbalik seperti ini, sulit untuk dipenuhi oleh pihak tergugat, sehingga dengan

mudah dia akan dianggap telah melakukan wanprestasi.

Klausula Baku

Dalam perjanjian parkir, klausula baku menjadi relevan untuk dibahas, karena

dalam prakteknya pengelola parkir akan berusaha untuk membatasi

pertanggungjawabannya, dengan menentukan beberapa syarat atau klausula. Hal

ini, dengan beberapa batasan, dimungkinkan oleh undang-undang. Dalam hukum

Indonesia, syarat atau klausula seperti ini, meski hampir selalu dirujukkan pada

ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dapat dilihat juga dasar hukumnya dalam

KUHPerdata. Pengertian syarat atau klausula adalah (beberapa) ketentuan yang

menangguhkan atau membatalkan ketentuan (pokok) perjanjian.

Pasal 1253

Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang

mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan

berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara

membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.

Pertanyaannya kemudian, dalam situasi seperti apa, syarat atau klausula itu bisa

dianggap berlaku atau tidak berlaku. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih

dahulu harus dicermati bunyi Pasal 1254 KUHPerdata berikut ini. Secara umum,

suatu syarat akan dianggap batal demi hukum, jika syarat itu bertujuan pemenuhan

perjanjian menjadi tidak mungkin, bertentangan dengan kesusilaan (ketertiban

umum), atau dilarang oleh undang-undang.

Pasal 1254

Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana,

sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang

oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang

digantungkan padanya tak berlaku.