hibah dan pinjam-pakai
DESCRIPTION
PerdataTRANSCRIPT
NAMA : FITRI AMELINA
NPM : 1106056491
RANGKUMAN
1. PENGHIBAHAN
Penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah, saat
hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima
penyerahan itu (pasal 1666). Digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian
‘dengan cuma-cuma’ (om niet). Dimana perkataan itu ditujukan pada adanya
prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak lainnya tidak perlu memberi impalan
atau kontra prestasi. Sehingga perjanjian ini bersifat satu pihak atau unilateral.
Perkataan ‘di waktu hidupnya’ si penghibah, adalah untuk membedakan
penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament
(surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku apabila si pemberi
meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat diubah dan
ditarik kembali oleh si pemberi. Pemberian dalam testament dalam KUHPerd
disebut dengan ‘legaat’ (‘hibah wasiat’) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan
penghibahan ini adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak
boleh ditarik kembali secara sepihak oleh peghibah.
Penghibahan dalam sistem KUHPer hanya bersifat ‘obligatoir’ saja, dalam
arti belum memindahkan hak milik, karena hak milik ini baru berpindah dengan
dilakukannya ‘levering’ atau penyerahan (secara yuridis). Penghibahan merupakan
salah satu cara untuk pemindahan hak milik. Penghibahan hanya dapat mengenai
barang-barang yang sudah ada. Jika meliputi barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari, maka hibahnya batal (pasal 1667). Penghibah tidak boleh
memperjajikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barang
kepada orang lain yang terrmasuk dalam penghibahan, penghibahan semacam ini
dianggap batal (pasal 1668). Terkait ketentuan-ketentuan mengenai tanah, sudah
dicabut oleh adanya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960), tetapi
untuk ketentuaan barang bergerak, masih berlaku.
Suatu hibah akan batal jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah
akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan tegas
dalam akta hibah atau di dalam daftar yang ditempelkan padanya (pasal 1670).
Penetapan yang dicantumkan dalam perjanjian penghibahan (pasal 1670), dengan
mana diletakkan suatu kewajiban bagi si penerima hibah, lajimnya dinamakan suatu
‘beban’. Penghibah boelh memperjanjikan bahwa ia akan memakai sejumlah uang
dari harta benda yang dihibahkan. Jika ia meninggal dengan tidak telah memakai
jumlah uang tersebut, maka apa yang dihibahkan tetap pada penerima hibah
seluruhnya (pasal 1671). Penghibah dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak
mengambil kembali barang yang telah diberikannya baik dalam hal penerima hibah
sendiri, atau penerima hibah beserta keturunannya akan meninggal terlebih dahulu
daripada si penghibah.
Kecakapan untuk Memberi dan Menerima Hibah
Selain harus dewasa, seseorang haruslah mencapai usia 21 tahun, menikah,
dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan
(pasal 1677). Pasal 1678 melarang penghibahan antara suami dan istri selama
perkawinan, ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian-
pemberian barang-barang bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlampau
tinggi, mengingat kemampuan penghibah. Penghibahn kepada lembaga-lembaga
umum atau lembaga-lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekadar
oleh Presiden atau penguasa yang ditunjuk (pasal 1680), penguasa yang ditunjuk
Presiden saaat ini adalah Menteri Kehakiman.
Cara Menghibahkan Sesuatu
Pasal 1682 menetapkan: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam
pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akte
notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu. Dimana pemberian barang-barang
bergerak yang bertubuh atau surat-surat penagihan utang atas tunjuk, tidak
memerlukan akta, dan sah dengan penyerahan belaka kepada si penerima atau pihak
ketiga atas nama penerima hibah.
Pasal 1684 menetapkan bahwa penghibahan yang diberikan kepada
perempuan yang bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dlama Buku I KUHPer, yaitu atas izin suami. Pasal 1686 menetapkan
bahwa hak milik atas benda-benda yang termaktub dalam penghibahan yang telah
diterima secara sah, tidak berpindah kepada penerima kecuali dengan penyerahan
atau ‘levering’.
Penarikan Kembali dan Penghapusan Hibah
Menurut pasal 1688, berupa tiga hal, yaitu:
1. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan nama penghibahan telah
dilakukan; syarat yang dimaksud adalah beban.
2. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu
melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau
suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.
3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah,
setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.
A. PENITIPAN BARANG
Penitipan terjadi, apabila menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan
syarat bahwa ia akan menyimpannnya dan mengembalikannya dalam wujud
asalnya (pasal 1694). Menurut pasal tersebut, penitipan adalah suatu perjanjian ‘riil’
yang berarti bahwa ia baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata,
yaitu diserahkannya barang yang dititipkan; jika tidaks eperti perjanjian-perjanjian
lainnya pada umumnya yang lajimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan
pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal pokok dari perjanjian itu. Ada dua
macam penitipan barang menurut undang-undang, yaitu:
1. Penitipan Barang yang Sejati
Penitipan barang sejati dibuat dengan cuma-cuma, jika tidak diperjanjikan
sebaliknya, sedangkan ia hanya dapat mengenai barang-barang bergerak (pasal
1696). Yang mana tidak akan terlaksana selain dengan penyerahan barangnya
secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan (pasal 1697). Hal ini
menggambarkan sifat perjanjian penitipan yang riil dan berlainan dari sifat
perjanjian lain yang pada umumnya adalah konsensual.
Penitipan barang dapat terjadi secara sukarela atau karena terpaksa (pasal
1698). Dimana penitipan barang secara sukarela terjadi karena sukarela terjadi
karena sepakat bertimbal-balik antara pihak yang menitipkan barang dan pihak
yang menerima titipan (pasal 1699) dan hanya terjadi anatar kedua pihak yang
memiliki kecakapan untuk membuat perjanjian. Sedangkan yang dinamakan
penitipan karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksan dilakukan oelh
seorang karena timbulnya malapetaka, misal: kebakaran, perampokan, dll (pasal
1703). Penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut ketentuan seperti
penitipan sukarela (pasal 1705). Penitipan terpaksa mewajibkan si penerima
titipan, mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya,
memeliharanya dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya
sendiri (pasal 1706). Pasal 1707 menyebutkan ketentuan terkait penitipan
terpaksa, yaitu:
a. Jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan
barangnya;
b. Jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu upah untuk penyimpanan itu;
c. Jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si penerima
titipan;
d. Jika ia telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung
segala macam kelalaian
Penerima titipan tidak bertanggung jawab kecuali aopabila terjadi firce
majeur, apabila ia lalai dalam pengembalian barang yang ditiipkan. Bahkan
dalam hal yang terakhir ini, ia tidak bertanggung jawab jika barangnya juga akan
musnah seandainya telah berada di tangan peminjam (pasal 1708). Risiko
musnahnya suatu barang karena keadaan memamksa memang merupakan
tanggung jawab pemilik barang/peminjam.. contohnya adalah pemilik
penginapan dan losmen, pasal 1709 meletakkan tanggung jawab pada pemilik
losmen apabila terjadi kerusakan atau kehilangan.
2. Sekestrasi
Sekestrasi adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, di
tangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk mengembalikan
barang kepada yang akan dinyatakan berhak beserta hasilnya setelah
perselisihan tersebut dadapt diselesaikan. Penitipa ini ada yang terjadi dengan
persetujuan dan ada yang dilakukan atas perintah Hakim atau Pengadilan (pasal
1730). Sekestrasi karena persetujuan terjadi apabila barang yang menjadi
sengketa diserahkan kepada pihak ketiga oleh satu orang atau lebih secara
sukarela (pasal 1731). Dapat dilakukan terhadap benda bergerak dan benda tidak
bergerak (pasal 1734). Pihak ketiga yang melakukan sekestrasi tidak dapat
dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan selesai, kecuali apabila semua
pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau apabila ada alasan lain yang sah
(pasal 1735). Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim
memerintahkan supaya suatu barang karena persengketaan dititipkan pada
seseorang (pasal 1736). Hakim dapat melakukan sekestrasi, apabila:
a. Terhadapa barang-barang bergerak yang telah disita di tangannya seorang
berutang (debitur). Adalah penyitaan conservatoir yang telah dilakukan atas
permintaan seorang penggugat
b. Terhadap suatu barangbergerak maupun tidak bergerak, yang hak miliknya
atau penguasaannya menjadi persengketaan.
c. Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang (debitur)
untuk melunasi utangnya (pasal 1738). Dilakukan dalam hal kreditur
menolak pembayaran yang akan dilakukan oleh debiturnya, sehingga debitur
terpaksa meminta bantuan juru sita atau notaris untuk menawarkan barang
atau uang tersebut kepada kreditur secara resmi.
Menjadi kewajiban si penyita untuk membayar kepada penyimpan upahnya yang
ditentukan dalam undang-undang (pasal 139).
B. PINJAM-PAKAI
Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah
memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan
mengembalikannya (pasal 1740). Untuk membedakan dengan apa yang yang
disebut “pinjam” dalam sehari-harinya, maka yang disebutkan pertama kita
namakan “pinjam-pakai” dan yang disebutkan pertama kita namakan “pinjam-
meminjam”. Untuk mengadakan perbedaan tersebut diatas juga dipakai sebagai
kriterium bahwa dalam “pinjam-pakai” barang yang dipinjam tidak habis atau
musnah karena pemakaian, sedangkan dalam halnya “pinjam-meminjam” barang
itu habis atau musnah karena pemakaian.
Dalam pinjam-pakai ini pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik
dari barang yang dipinjamkan (pasal 1741). Segala apa yang dapat dipakai orang
dan tidak musnah karena pemakaian, dapat menjadi bahan perjanjian pinjam-
pakai (pasal 1742).
Perjanjian pinjam-pakai inimerupakan contoh daris uatu perjanjian sepihak atau
unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya adanya prestasi
daris atu pihak saja), sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “untuk
dipakai dengan cuma-cuma”.
Perikatan-perikatan yang timbul karena adanya perjanjian pinjam-pakai
ini akan berpindah kepada ahli waris pihak yang meminjamkan dan para ahli
waris yang meminjam. Namun, jika suatu peminjaman telah dilakukan karena
mengingat orangnya yang menerima pinjaman dan telah diberikan khusus
kepada orang tersebut secara pribadi, para ahli warisnya tidak dapat menikmati
barang pinjaman etrsebut (pasal 1743). Bagian pertama pasal 1743, bahwa hak
dan kewajiban yang timbul dari perjanjian pinjam-pakai berpindah kepada ahli
waris dari kedua belah pihak sesuai dengan asas umum dari hukum pewarisan
yang menetapkan bahwa semua hak dan kewajiban yang ada nilainya uang
(aktiva dan passiva) daris eorang yang meninggal diwarisi oleh sekalian ahli
warisnya. Namun, apabila suatu hak atau kewajiban ada hubunagnnya yang
sangat erat dengan pribadi yang meninggal (pewaris), hak atau kewajiban itu
tidak berpindah ke ahli warisnya.
Kewajiban si Peminjam
Siapa yang menerima pinjaman sesuatu, diwajibkan menyimpan dan
memelihara barang pinjaman itu. Jika ia memakai barangnya pinjaman guna
suatu keperluan lain atau lebih lama dari pada yang diperbolehkan, maka selain
bertanggung-jawab atas musnahnya barang sekalipun musnahnya barang iotu
disebabkan karena suatu kejadian yang sama sekali tidak disengaja (pasal 1744).
Jika barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja,
yang mestinya dapat disingkiri seandainya si peminjam telah memakai
barangnya endiri, atau jika hanya satu dari kedua barang itu saja yang dpat
diselamatkan, peminjam telah memilih menyelamatkan dia punya barang
sendiri, maka ia bertanggung jawab tentang musnahnya barang yang lainnya
(pasal 1745). Dapat dilihat bahwa undang-undang menghendaki ketika
peminjam dapat memakai barangnya pinjaman tetapi juga dapat memakai
barangnya sendiri, maka ia terlebih dahulu harus memakai barangnya sendiri.
Jika barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir harganya, maka
musnahnya barang itu, biarpun ini terajdi karena suatu kejadian yang disengaja,
adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali apabila telah diperjanjikan
sebaliknya (pasal 1746).
Jika barangnya berkurang harganya karena pemakaian untuk mana
barang itu telah dipinjam, dna diluar kesalahan si pemakai, maka peminjam tidak
bertnaggung jawab tentang hal tersebut (pasal 1747). Dan apabila si pemakai,
untuk dapat memakai barang pinjaman telah mengeluarkan biaya, maka tidak
dapat dituntut kembali atas penggantian biaya tersebut (pasal 1748). Jika
beberapa orang bersama-sama menerima satu barang dalam peminjaman, maka
mereka itu adalah masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab kepada
si peminjam (pasal 1749).
Kewajiban Orang yang Meminjamkan
Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang
dipinjamkan kecuali telah lewat waktu yang ditentukan, atau jika tidak ada
ketentuan waktu yang demikian, setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai
untuk keprluan yang dimaksudkan (pasal 1750).
Di lain hal juga bisa terjadi bahwa secara tidak terduga dapat timbul
suatu keadaan yng sangat mendesak dimana orang yang meminjamkan perlu
memakai barangnya sendiri. Dalam kondisi ini, jika peminjam tidak suka
mengembalikan barangnya secara sukarela, harus dimintakan perantara Hakim.
Hal ini diatur dalam pasal 1751.
Jika si pemakai barang, selama waktu peminjaman, telah terpaksa
mengeluarkan beberapa biaya luar biasa yang perlu, yang sebegitu mendesaknya
hingga ia tidak sempat memberitahukan hal itu sebelumnya kepada orang yang
meminjamkan, maka orang ini diwajibkan mengganti biaya-biaya tersebut
kepada si pemakai (pasal 1752). Lalu, jika barang yang dipinjamkan
mengandung cacat-cacat yang sedemikian , hingga orang yang memakainya
dapat dirugikan karenanya, maka orang yang meminjamkan bertanggung jawab
tentang akibat-akibatnya apabila dalam hal ini peminjam telah mengetahui
adanya cacat-cacat dan tidak membertitahukannya kepada si pemakai.
C. PINJAM MEMINJAM
Pinjam meminjam adalah suatub perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal
1754). Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam itu, pihak yang menerima
pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu
musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas
tanggungannya (Pasal 1755). Dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi
karena hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika,
sebelum pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau
ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah
yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu
pelunasan, dihitung harganya menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada
saat itu (1756).
Kewajiban Orang yang Meminjamkan
Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah
dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian
(pasal 1759). Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa, apabila
orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut
keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam (pasal 1760).
Jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam
sesuatu barang atau sejumlah uang , akan mengembalikannya bilamana ia
mampu untuk itu, maka Hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktunya
pengembalian (pasal 1761).
Undang-undang menetapkan ketentuan pasal 1753 (tentang pinjam-
pakai) berlaku terhadap pinjam-meminjam. Dengan sendirinya ketentuan
tersebut hanya berlaku dalam hal yang dipinjamkan itu barang (bukan uang).
Kewajiban Si Peminjam
Orang yang menerima pinjaman sesuau diwajibkan mengembalikannya
dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (pasal
1763). Bila tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, maka Hakim berkuasa
memberikan kelonggaran, menurut ketentuan pasal 1760 KUHPer yang sudah
kita bicarakan diatas sewaktu kita mmebahas kewajioban-kewajiban orang yang
meminjamkan. Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang yang
dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan
membayar harganya, harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya,
menurut perjanjian, harus dikembalikan. Pasal 1764 menetapkan bahwa dalam
hal tidak terdapat penunjukan tempat pengembalian, harus diambil tempat
dimana pinjaman telah terjadi, dalam menetapkan harga barang yang ahrus
dibayar oleh si peminjam.
Meminjamkan dengan Bunga
Pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan
bunga ats peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian.
Siapa yang telah menerima pinjaman dan membayar bunga yang tidak telah
diperjanjikan, tidak boleh menuntutnya kembali maupun kemudian
menguranginya dari jumlah pokok, kecuali apabila bunga yang dibayar itu
melebihi bunga menurut undang-undang; dalam hal mana uang yang telah
dibayar selebihnya boleh dituntut kembali atau dikurangkan dari jumlah pokok.
Pembayaran bungan yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan si berutang
untuk membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus
dibayar sampai saat pengembalian atau penitipan uang-pokoknya, biarpun
pengembalian atau penitipan ini dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya
dapat ditagih (pasal 1766). Menyebutkan bahwa bunga yang terlanjur dibayar
meskipun tidak ada perjanjian tentang bunga, dapat diminta kembali sekedar
melebihi “bunga menurut undang-undnag”. Pasal 1767 menyebutkan bahwa
besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara
tertulis.
PERTANYAAN:
1. Ketentuan Hukum Perjanjian mengenai Safe Deposit Box.
Layanan Safe Deposit Box adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau
surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan ditempatkan
dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang
yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.
Menurut BI, nasabah perlu mengetahui adanya biaya yang dibebankan kepada
penyewa, antara lain uang sewa, uang agunan kunci dan denda keterlambatan
pembayaran sewa. Selain itu, nasabah harus patuh terhadap aturan dengan tidak
menyimpan barang-barang yang dilarang dalam safe deposit box.
Nasabah juga perlu menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau
disalahgunakan pihak lain. Kemudian memperlihatkan barang yang disimpan bila
sewaktu-waktu diperlukan oleh bank. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang,
maka uang agunan kunci akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan
pembongkaran safe deposit box yang wajib disaksikan sendiri oleh penyewa.
Nasabah juga harus memiliki daftar isi dari safe deposit box dan menyimpan foto
copy (salinan) dokumen tersebut di rumah untuk referensi. Pasalnya, bank tidak
bertanggungjawab atas perubahan kuantitas dan kualitas, hilang, atau rusaknya
barang yang bukan merupakan kesalahan bank. Selain itu, kerusakan barang akibat
force majeur seperti gempa bumi, banjir, perang, huru hara, dan sebagainya.
Adapun barang-barang yang tidak boleh disimpan dalam safe deposit box:
Senjata api / bahan peledak.
Segala macam barang yang diduga dapat membahayakan atau merusak safe
deposit box yang bersangkutan dan tempat sekitarnya.
Barang-barang yang sangat diperlukan saat keadaan darurat seperti surat
kuasa, catatan kesehatan dan petunjuk bila penyewa sakit, petunjuk bila
penyewa meninggal dunia
Safe Deposit Box adalah jasa bank diberikan khusus kepada para nasabah
utamanya. Jasa ini dikenal juga dengan nama safe loket. Safe Deposit Box
berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan disewakan kepada nasabah yang
berkepentingan untuk menyimpan dokumen-dokumen atau benda-benda berharga
miliknya. Safe Deposit Box sebagai salah satu jasa perbankan dalam hal
penyimpanan barang-barang berharga dan surat-surat berharga milik nasabah
(penyewa). Setiap bank mempunyai latar belakang yang sama dengan bank-bank
yang lain dalam hal penggunaan Safe Deposit Box yang ditawarkan pada
masyarakat, karena masyarakat semakin membutuhkan suatu fasilitas yang
memberikan jaminan keamanan terhadap penyimpanan barang-barang berharga dan
surat-surat berharga yang dimiliki. Ketentuan hukum juga banyak berkaitan dengan
kegiatan operasional bank dalam hal pelayanan jasa perbankan khususnya
mengenai Safe Deposit Box ini. Undang-undang atau peraturan hukum yang
memuat hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan Safe Deposit Box, yaitu:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan), Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PI.321/1994 tanggal 13 April 1994
yang mengatur jasa penyewaan Safe Deposit Box adalah Jasa Kena Pajak yang atas
penyeranannya terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan juga pengaturan
hukum safe deposit box yang diteluarkan Bank Indonesia.
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Perbankan menyatakan penitipan adalah
penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan
penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak rnempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut.
Pasal 6 huruf h dan huruf 1 Undang-Undang Perbankan menyatakan bank
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, dan melakukan
kegiatan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang Perbankan disebutkan: Bank Umum
yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf i bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip dan memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan kontrak. Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan
dicatat secara tersendiri. Dalam hal Bank mengalami kepailitan, semua harta yang
dititipkan pada Bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib
dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan. Perjanjian Safe Deposit Box
secara umum memiliki hubungan yang erat dengan ketentuan Bab VII Buku III
KUHPerdata tentang perjanjian sewamenyewa. Pasal 1548 KUHPerdata
menyatakan sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan
dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu
harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.
Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada
umumnya adalah merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti bahwa perjanjian
tersebut sudah dikatakan sah dan mengikat pada detik tercapinya sepakat mengenai
unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Oleh karena yang diserahkan si
penyewa adalah bukan hak milik atas barang, melainkan hanya hak pakai dan
pemungutan hasil dari barang tersebut, maka di Negeri Belanda semua ahli hukum
berpendapat bahwa, yang dapat menyewakan barang tidak hanya pemilik barang
melainkan semua orang yang berdasar atas suatu hak berkuasa untuk memindahkan
pemakaian barang ke tangan orang lain. Misalnya Pasal 722 KUHPerdata
mengizinkan sesorang yang mempunyai hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas
suatu barang, untuk menyewakan barang itu, sedangkan menurut Pasal 823
KUHPerdata si penyewa adalah seseorang yang mempunyai hak memakai,
sedangkan Pasal 827 KUHPerdata mengatakan bahwa seeorang yang mempunyai
hak mendiami sebuah rumah tidak berhak untuk menyewakan kedua macam hak
tersebut.
2. Ketentuan Hukum Perjanjian mengenai Perjajian Parkir.
Bagaimanapun, adanya pertentangan pendapat ini, bisa juga dikarenakan contoh
kasus yang digunakan masih terlalu sedikit, sehingga mungkin dalam kasus-kasus
yang lain sebenarnya Mahkamah Agung tegas menyatakan adanya perjanjian.
Sebagaimana dalam salah satu kasus yang disebutkan sebelumnya, meski
mendasarkan kewajiban pengelola pada perbuatan melawan hukum, namun
Mahkamah Agung toh menegaskan bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian
penitipan barang.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kualifikasi perjanjian ini menjadi penting, serta
bagaimana seharusnya mengurai permasalahan perjanjian parkir ini. Kebetulan,
terdapat satu tulisan (“De Toepassing van Exoneratieclausules in het
Parkeercontract”, Rechtskundig Weekblad, 1982-1983, 2161-2178) berdasarkan
praktek di Belgia, di mana konstruksi yang digunakan masih bisa dibandingkan
dengan di Indonesia, karena adanya kemiripan dasar hukum (KUHPerdata/BW).
Faure sebenarnya juga cukup dikenal di Indonesia sebagai ahli hukum
(pertanggungjawaban) lingkungan.
Secara garis besar, dalam menangani sengketa terkait perjanjian parkir, pertama-
tama perlu dikualifikasikan dulu, apa perjanjian yang berlaku di antara pengelola
parkir dan pemilik kendaraan (konsumen). Selanjutnya, baru bisa diurai lebih
lanjut, klausula-klausula apa yang boleh dianggap berlaku (atau tidak) dalam
perjanjian tersebut. Terakhir, tindakan para pihak terkait akan bisa dinilai
berdasarkan hak dan kewajiban para pihak, sehubungan dengan isi dan ruang
lingkup dari perjanjian tersebut.
Kualifikasi Perjanjian Parkir
Dalam prakteknya di Belgia, menurut Faure, perjanjian parkir biasa
dikualifikasikan ke dalam tiga kategori: perjanjian sewa, perjanjian penitipan
barang, atau perjanjian umum. Mengapa kualifikasi tersebut penting? Hal ini
berhubungan dengan hak dan kewajiban para pihak terkait yang kemudian berlaku.
Apabila perjanjian parkir dikualifikasikan sebagai perjanjian sewa menyewa, maka
pengelola parkir hanya akan dianggap sebagai pemilik suatu barang (tempat) yang
mempersilahkan pemilik mobil, untuk mengunakannya dalam waktu tertentu,
dengan membayarnya. Sedang apabila perjanjian parkir dapat dikualifikasikan
sebagai perjanjian penitipan barang, maka dengan sendirinya terdapat kewajiban
dari pengelola untuk menjaga mobil yang diparkir dengan baik, serta
mengembalikannya dalam kondisi semula. Dasar hukumnya dapat dilihat dalam
dua ketentuan pasal di bawah ini.
Pasal 1548
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang
lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh
pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik
yang tetap maupun yang bergerak.
Pasal 1694
Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk
menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.
Dengan demikian, dalam prakteknya di Belgia, tetap terbuka kemungkinan untuk
mengkualifikasikan perjanjian parkir sebagai dua bentuk perjanjian yang berbeda
(sementara di Indonesia Mahkamah Agung tegas menyatakan bahwa perjanjian
parkir adalah perjanjian penitipan). Masalahnya dengan adanya kualifikasi yang
terbuka seperti ini, tentu dibutuhkan adanya kriteria atau tolak ukur tertentu yang
dapat dijadikan patokan yang membatasi keduanya. Apa kira-kira patokan itu?
Menurut Faure, dalam prakteknya patokan itu bisa dicermati, antara lain, dalam
beberapa kriteria berikut ini:
1. Apakah terjadi serah terima kunci mobil? Diserahkannya kunci mobil, tentu
akan memperkuat argumentasi bahwa perjanjian parkir dalam kasus tersebut
memang perjanjian penitipan barang.
2. Apakah terdapat petunjuk-petunjuk khusus bagaimana mobil harus diparkirkan?
Semakin banyak dan ketat petunjuk yang diberikan, tentu semakin memperkuat
adanya indikasi bahwa perjanjian parkir tersebut adalah perjanjian penitipan
barang.
3. Apakah ada pengawasan dalam gedung parkir? Semakin (terlihat) ketatnya
pengawasan dalam parkir, akan membuat perjanjian parkir juga semakin mudah
dianggap perjanjian penitipan.
4. Berapa besarnya tarif parkir? Beberapa orang berpendapat bahwa tarif parkir
bisa dijadikan patokan. Meski begitu, ada beberapa pendapat berbeda yang
mengatakan bahwa besarnya tarif parkir tidak relevan menunjukkan “harga”
tempat parkir, karena “harga” yang rendah bisa juga dimaksudkan pengelola
untuk menarik pelanggan.
5. Keberadaan garasi khusus. Apabila mobil disimpan dalam sebuah garasi
tertutup, apa yang terjadi dalam garasi tersebut, pada dasarnya di luar
tanggungjawab pengelola parkir, sehingga akan lebih mudah dikualifikasikan
sebagai perjanjian sewa menyewa.
Akibat Kualifikasi Perjanjian Parkir
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, pengkualifikasian perjanjian parkir
relevan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian parkir
(perlu diperhatikan bahwa dalam prakteknya di Indonesia pihak penggugat sudah
langsung merujuk pada UU Perlindungan Konsumen yang sangat umum). Kalau
kualifikasinya ternyata perjanjian sewa menyewa, posisi pengelola parkir tentu
lebih bebas, namun beda halnya kalau ternyata perjanjian parkir dapat
dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang.
Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan (dalam hal ini
pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian penitipan bukan hanya
perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk menjaga barang tersebut), namun
juga bersifat hasil (untuk mengembalikan barang tersebut dalam kondisi yang sama
dengan saat diterima).
Pasal 1714
Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang sama dengan yang
diterimanya. Dengan demikian, kalau titipan itu berupa uang tunai maka wajib
dikembalikan uang tunai dalam jumlah dan jenis mata uang seperti semula biarpun
mata uang itu sudah naik atau turun nilainya.
Pasal 1715
Penerima titipan hanya wajib mengembalikan barang titipan itu dalam keadaan
sebagaimana adanya pada saat pengembalian. Kekurangan yang timbul pada barang
itu di luar kesalahan penerima titipan, harus menjadi tanggungan pemberi titipan.
Kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut dalam keadaan yang sama, juga
mengandung konsekuensi bahwa beban pembuktian ada pada penerima titipan.
Jadi, pada prinsipnya secara hukum dia wajib untuk mengembalikan barang yang
dititipkan, kecuali bisa dibuktikan sebalknya. Dia hanya bisa dianggap tidak
bertanggungjawab, jika dapat membuktikan bahwa tidak (dapat) dikembalikannya
barang itu, bukan merupakan kesalahannya. Dalam prakteknya, pembuktian
terbalik seperti ini, sulit untuk dipenuhi oleh pihak tergugat, sehingga dengan
mudah dia akan dianggap telah melakukan wanprestasi.
Klausula Baku
Dalam perjanjian parkir, klausula baku menjadi relevan untuk dibahas, karena
dalam prakteknya pengelola parkir akan berusaha untuk membatasi
pertanggungjawabannya, dengan menentukan beberapa syarat atau klausula. Hal
ini, dengan beberapa batasan, dimungkinkan oleh undang-undang. Dalam hukum
Indonesia, syarat atau klausula seperti ini, meski hampir selalu dirujukkan pada
ketentuan UU Perlindungan Konsumen, dapat dilihat juga dasar hukumnya dalam
KUHPerdata. Pengertian syarat atau klausula adalah (beberapa) ketentuan yang
menangguhkan atau membatalkan ketentuan (pokok) perjanjian.
Pasal 1253
Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang
mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan
berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara
membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.
Pertanyaannya kemudian, dalam situasi seperti apa, syarat atau klausula itu bisa
dianggap berlaku atau tidak berlaku. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih
dahulu harus dicermati bunyi Pasal 1254 KUHPerdata berikut ini. Secara umum,
suatu syarat akan dianggap batal demi hukum, jika syarat itu bertujuan pemenuhan
perjanjian menjadi tidak mungkin, bertentangan dengan kesusilaan (ketertiban
umum), atau dilarang oleh undang-undang.
Pasal 1254
Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana,
sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang
oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang
digantungkan padanya tak berlaku.