head injury
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA
I. Diagnosa medik: Cedera kepala.
II. Definisi : Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kulit kepala hingga tengkorak (Cranium
dan bagian bawah). Namun penggunaan istilah cedera kepala (head injury) ini biasanya berkaitan
dengan cedera yang mengenai tengkorak atau otak atau keduanya (Hickey, 2003). Defenisi lain
menurut nasional institude of neurological disorder and strok, cedera kepala atau yang sinonim
dengan brain injuri/head injuri/traumatic brain injuri, adalah cedera yang mengenai kepala atau otak
(atau keduanya) yang terjadi ketika trauma mendadak menyebabkan kerusakan pada otak.
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasa terjadi pada
cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka
tembak dan cedera tumpul).
Hemoragi di dalam otak mungkin disebabkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenersi
dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisme, anomali vaskuler, tumor intrakranial.
III. Etiologi: Cedera kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri,
kecelakaan olah raga, luka pada persalianan (Tarwoto, dkk, 2007). Tipe dan Tingkatan Cedera
Kepala.
Cedera kepala ringan :
- Klien bangun dan mungkin bisa berprientasi
- GCS (13-15)
- Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit
- Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom.
Cedera kepala sedang
- Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana
- GCS (9-12)
- Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
- Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan
Cedera kepala berat
- Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran
- GCS (3-8)
- Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
- Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.
IV. Patofisiologi
Kerusakan otak dapat diakibatkan cedera primer atau cedera sekunder pada kepala. Pada
cedera primer kerusakan otak akibat trauma itu sendiri, sedangkan pada cedera sekunder kerusakan
pada otak merupakan akibat dari pembengkakan (swelling), perdarahan (hematom), infeksi, hipoksia
cerebral, atau iskemia yang terjadi estelah cedera primer. Cedera sekunder dapat terjadi dalam waktu
yang cepat, dalam hitungan jam dari terjadinya cedera primer (Porth, 1998 dalam Lemote & Burke,
2000).
Web of caution terlampir
V. Pemeriksaan fisik
Pengkajian
1. Aktifitas/ Istirahat
Gejala : Letih, lelah ,malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan keseimbangan.
Sakit kepala yang hebat pada saat perunahan postur tubuh/ aktivitas.
Keterbatasan akibat keadaan.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi
Tanda : Hipertensi
Denyutan vaskuler, misalnya daerah temporal.
Pucat, wajah tampak kemerahan.
3. Integritas Ego
Gejala : Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan, depresi.
Peka rangsangan selama nyeri kepala
Factor-faktor stress emosional/ lingkungan tertentu.
4. Makanan/ cairan
Gejala : Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya kafein, coklat, daging, makanan
berlemak.
Mual/muntah, anoreksia
Penurunan berat badan
5. Neurosensori
Gejala : Pusing, disorientasi, tidak mampu berkosentrasi.
Riwayat cedera kepala yang baru terjadi, trauma, infeksi intracranial,
Kraniotomy.
Penurunan tingkat kesadaran.
Status mental : mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku
Perubahan visual, sensitive terhadap cahaya/ suara yang keras.
Kelemahanprogresif/ paralisi satu sis temporer
Tanda : Perubahan pola bicara/proses fakir.
Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
Penurunan reflektendon dalam papiledema
6. Nyeri/ Kenyamanan
Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala :
Pascatraumatik : berat dan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau intermiten, setempat atau umum,
intensitas beragam, diperburuk oleh gangguan emosional, perubnahan posisi tubuh.
Tanda : Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
Respon emosional/ perilaku tak terarah, gelisah.
7. Interaksi Sosial :
Gejala : perubahan dalam tanggung jawab peran/ interaksi social yang berhubungan dengan
penyakit.
8. Ventilasi
Pada cedera kepala tertutup disarankan untuk melalukukan hiperventilasi manual dengan
memberikan oksigen
9. Hiportermi
Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan penurunan darah serebral.
VI. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT. Scan (dengan /tanpa zat kontras)
2. MRI, sama dengan CT Scan
3. EEG : memperlihatkan keberadaan/ berkembangnya sel patologis
4. Fungsi Lumbal : CSS menduga adanya perdarahn sub arachnoid
5. GDA : mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi yang dapat menarik TIK.
VII. Diagnosa keperawatan
Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, tidak adekuatnya
suplai darah ke cerebral : gangguan oklusi, hemoragi, vasospasme cerebral, edema cerebral.
Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan kesadaran dan disfungsi hormonal.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan metabolisme,
pembatasan cairan dan asupan yang tidak adekuat.
Perubahan proses pikir (defisit fungsi intelektual komunikasi, ingatan, proses informasi) yang
berhubungan dengan cedera otak.
Potensial terhadap koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan pasien tidak responsif,
hasil yang tidak jelas, periode pemulihan yang lama, sisa kemampuan fisik pasien dan defisit emosi.
Kurang pengetahuan tentang proses rehabilitasi.
VIII. Intervensi Keperawatan
Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, tidak adekuatnya
suplai darah ke cerebral : gangguan oklusi, hemoragi, vasospasme cerebral, edema cerebral
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri Berikan penjelasan kepada keluarga klien
tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya.
Anjurkan kepada klien untuk bed rest totat Observasi dan catat tanda-tanda vital dan
kelain tekanan intrakranial tiap dua jam
Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung ( beri bantal tipis)
Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor
- Keluarga lebih berpartisipasi dalamproses penyembuhan
Untuk mencegah perdarahan ulang
Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk penetapan tindakan yang tepat.
Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan draimage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral.
Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang.
Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenagngan mingkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya.
Memperbaiki sel yang masih viabel
Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan kesadaran dan disfungsi hormonal.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
- Pantau TTV, catat adanya hipotensi
(termasuk perubahan postural), takikardia,
takipnea dan demam.
- Pertahankan masukan dan haluaran yang
akurat dan hubungkan dengan BB harian.
- Ukur berat jenis urine.
- Observasi kulit/ membran mukosa untuk
kekeringan, turgor.
- Ubah posisi tubuh dengan sering, berikan
perawatan kulit dengan sering dan
pertahankan tempat tidur kering dan bebas
lipatan.
- Membantu dalam evaluasi derajat defisit
cairan/ keefektifan penggantian terapi cairan.
- Menunjukkan status hidrasi keseluruhan.
- Menunjukkan status hidrasi dan perubahan
pada fungsi ginjal akut pada respon terhadap
hipovolemia.
- Perpindahan cairan , dan kekurangan nutrisi
memperburuk turgor kulit.
- Jaringan edema dan adanya gangguan
sirkulasi cenderung merusak kulit.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan metabolisme,
pembatasan cairan dan asupan yang tidak adekuat.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji penyebab perubahan nutrisi.
Tentukan program diet dan pola makan klien
dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan.
Identifikasi makanan yang disukai atau
dikehendaki termasuk kebutuhan kultural.
Libatkan keluarga klien pada
perencanaan makan ini sesuai indikasi.
Timbang BB setiap hari atau sesui indikasi.
Observasi tanda-tanda hipoglikemik
.
Kolaborasi dalam pemeriksaan gula darah
dengan finger stick.
Memudahkan pemberian intervensi yang tepat.
Mengidentifikasi kekurangan dan
penyimpangan dari kebutuhan terapetik.
Jika makanan yang disukai klien dapat
dimasukkan dalam perencanaan makan, kerja
sama ini dapat diupayakan setelah pulang.
Memberikan informasi kepada keluarga untuk
memahami kebutuhan nutrisi klien.
Mengkaji pemasukan yang adekuat.
Karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi
(glukosa akan berkurang, sementara insulin
ttap diberikan maka hipoglikemik dapat terjadi)
Analisa ditempat tidur terhadap gula darah
lebih akurat daripada memantau gula dalam
urin.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Sudarth. ( 2002 ) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi, 8. Jilid 3. Jakarta: EGC.
Copstead, L, C & banasik, J, L. (2005).pathofisiologi. Jakarta : EGC.
Doenges,M. A., Moorhouse, M. F.,& Geissler, A.C (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Z. C,& Brenda, G. B .( 2001 ) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Edisi 8, vol 2. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: EGC
ASKEP TRAUMA KEPALA
BAB IP E N D A H U L U A N
A. LATAR BELAKANGMenurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami trauma
kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam penelitian di Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas dalam mendiagnosa gambaran keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang dialami oleh korban, ia dapat membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering mengikut penyebab trauma pada korban.
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada salah satu regio atau bagian anatomis yang mayor (Barell, Heruti, Abargel dan Ziv, 1999).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan,post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet). Ada beberapa trauma yang sering terjadi yaitu:
1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada
aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian
ini.
2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan bagian
luar abdominal
4. Trauma tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan cedera dan
putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan bawah,
pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
5. Trauma tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain
ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke arah distal lagi yaitu
fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James, Corry dan Perry, 2000).
BAB IIP E M B A H A S A N(TINJAUAN TEORITIS)
A. PENGERTIAN
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
B. JENIS TRAUMA KEPALA
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua,
yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai
kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006). Kemungkinan kecederaan
atau trauma adalah seperti berikut:
a) Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur
yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound fracture.
Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi
dan ‘splintering’.
Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak
terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini
sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat
(Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare, 2004). Terdapat tanda-
tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal
keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital
mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media
dan posterior (Garg, 2004).
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian
ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004).
b) Luka memar (kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh
darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak,
menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila
otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu
daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan
cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
c) Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan
seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada
tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat
menimbulkan jaringan parut.
d) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis
tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial
terlepas setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).
C. ETIOLOGI
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab
ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di
Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang
atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan
kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah
atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan
dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian
muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
D. KARAKTERISTIK PENDERITA TRAUMA KEPALA
1. Jenis Kelamin
Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak mengalami
trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama.
Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-
laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger, Levine, Jane et al.,
1984).
Menurut Brain Injury Association of America, laki-laki cenderung mengalami trauma
kepala 1,5 kali lebih banyak daripada perempuan (CDC, 2006).
2. Umur
Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena
pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan
sosial yang tidak bertanggungjawab (Jagger, Levine, Jane et al., 1984).
Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami risiko
yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (CDC, 2006).
E. GEJALA KLINIS TRAUMA KEPALAGejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun
atau
Meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstrimitas.
F. PATOFISIOLOGIOtak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.Faktor kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal
miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas
ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran
darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).
Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra kranial
(TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.Faktor metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.Faktor gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.Faktor psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah
suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan keluarga.
G. KOMPLIKASIKomplikasi pada trauma kepala terbuka adalah:
- Infeksi- Meningitis dan- Perdarahan / serosanguinis.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKX-Ray tengkorakCT-ScanAngiografi
BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengajiana. Identitas Pasien
Nama : Alamat : Umur : Diagnosa Medik : Pendidikan : Tanggal Masuk : Pekerjaan : tanggal Pengkajian :
b. Riwayat kesehatanRiwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
c. Data fisik1. Aktifitas atau istirahat Adanya kelemahan , kaku, hilang keseimbangan Kesadaran menurun, kelemahan otot/spasma.2. Peredaran darah/sirkulasi
TD normal / berubah (hipertensi), N (bradikardi, takikardi, disritmia)3. Eliminasi Verbal dapat menahan BAK dan BAB Blader dan bowel Incontentia4. Makanan/cairan Mual atau muntah Muntah yang memancar, masalah kesukaran menelan5. Persarafan/Neurosensori Pusing, kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian6. Kenyamanan/Nyeri Nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasi nyerinya, agak lama.7. Pernapasan Perubahan pola napas, stridor, ronchi.8. Pengkajian keamanan Ada riwayat kecelakaan, Terdapat trauma/fraktur/distorsi, perubahan penglihatan, kulit.9. Konsep diri Adanya perubahan tingkah laku Kecemasan, berdebar, bingung, dellirium10. Interaksi social Afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang
2. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri b/d trauma kepala
Pasien akan merasa nyaman dgn k/h pasien tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal
1) kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri.
2) Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
3) Kurangi rangsangan.
4) Pemberian obat analgetik sesuai dengan program
5) Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
6) Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
1. mengkaji skala nyeri u/ mengetahui seberapa nyeri yang dialami pasien
2. posisi yang sesuai akan mengurangi nyeri pada pasien.
3. rangsangan akan membuat nyeri lebih terasa
4. obat analgetik digunakan untuk mengrangi rasa nyeri
5. lingkungan yang nyaman akan membuat pasien terasa lebih nyaman
6. sentuhan terapeutik dapat mengurangi rasa
nyeri
2 Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas b/d gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakandan meningkatnya tekanan intrakranial
Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif dgn K/h tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal
1. kaji airway, breathing, circulasi.
2. kaji klien, apakah ada fraktur servikal dan veterbra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bia ada cidera veterbra.
3. pastikan jalan nafas tetap terbukan dan kaji adanya secret. Bila ada secret segera lakukan pengisapan lendir.
4. kaji penafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas
5. bila tidak ada frktur sevikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15-30 derajat
6. Pemberian oksigen sesuai program
1. untuk mengetahui pernafasan pasien
2. posisi yang salah pd pasien fraktur akan membuat pasien tidak nyaman dan sedikit kesulitan dlm bernafas
3. pengisapan lendir dilakukan untuk mempermudah jaan nafas
4. status pernapasan dikaji untuk mengetahui pola nafas pasien
5. posisi dengan kepala sedikit ekstensi akakn membuat pasien bernapas dengan baik
6. pemberian oksigen untuk memenuhi kebutuhan oksigen pasien
3 Resiko berkurangnya volume cairan b/d mual dan muntah
Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang dgn k/h membrane mukosa lembab integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam
1. kaji intake dan out put
2. kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membrane mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
3. Berikan pasien banyak minum
4. berikan cairan intra
1. untuk mengetahui intake dan out put cairan pasien
2. mengetahui tanda-tanda jika pasien mengalami dehidrasi
3. banyak minum untuk mengganti cairan yang
batas normal vena sesuai program hilang4. Untuk memenuhi cairan
pasien
4 Perubahan perfusi jaringan serebral b/d edema serebral dan peningkatan tekanan intracranial
Perfusi jaringan serebral adekuat dgn k/h tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
1. tinggikan posisi kepala 15-30 derajat dengan posisi midline
2. hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial
3. pembalikan posisi dari samping ke samping
4. bila akan dimiringkan, pasien harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi
5. berikan pelembek tinja
6. ciptakan lingkungan yang tenang
7. pemberian obat-obatan sesuai program
8. lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi
1. untuk menurunkan tekanan vena jugularis
2. peningkatan tekanan intracranial dapat merubah perfusi jaringan serebral
3. perubahan posisi akan memberi rasa lebih nyaman pada pasien
4. tekukan dihindari agar tidak terjadi rasa nyeri pada pasien
5. pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver
6. lingkungan yg nyaman akan memberikan rasa nyaman pada pasien
7. obat-obatan untuk mengurangi edema/tekanan intracranial sesuai program
8. pemasangan NGT u/ mencegah terjadinya aspirasi dan memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
5 Kurangnya perawatan diri b/d tirah baring dan menurunnya kesadaran
Kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi dgn k/h BB stabil, tempat tidur bersih, tubuh pasien bersih, tidak ada
1.bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
2.berikan makanan via parenteral bila ada indikasi
3.perawatan kateter bila
1. untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien
2. makanan via parenteral untuk memenuhi nutrisi pasien
3. kateter yang bersih akan
iritasi pada kulit, BAB/BAK dapat dibantu
terpasang
4.kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB
5.libatkan keluarga dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
membuat pasien lebih nyaman
4. konstipasi akan membuat pasien tidak nyaman
5. agar kebuthan sehari-hari pasien terpenuhi
3. Implementasi Implementasi dilakukan berdasarkan pengkajian diagnosa keperawatan dan intervensi4. Evaluasi Evaluasi dilakukan berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan implementasi
BAB 1VPENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Daftar pustakaSmeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, JakartaArif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, JakartaBrunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, JakartaDoengoes, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC, Jakartawww.google/ Askep tentang cidera kepala/ases 26 desember 2008/19.20.com
BAB II
KONSEP DASAR TEORITIS
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan
percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).
Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi
& Yuliani, 2001).
Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain
Injury Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009).
2. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG)
Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala glasgow
(SKG).
a. Ringan
1. GCS 14-15
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Nyeri kepala dan pusing
b. Sedang
1. GCS 9-13
2. Kontusio
3. Amnesia pasca trauma atau muntah
4. Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS
5. Kejang.
c. Berat
1. GCS 3-8
2. Koma
3. Fraktur depresi kranium
4. Penurunan derajat kesadaran
Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009), klasifikasi cedera kepala
menurut SKG :
a. Minor
1. SKG 13-15
2. Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit
3. Tidak ada kontusio tengkorak
4. Tidak ada fraktur serebral
5. Tidak ada hematoma
b. Sedang
1. SKG 9-12
2. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3. Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Berat
1. SKG 3-8
2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam
3. Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2. Klasifikasi berdasarkan morfologi
Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari :
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala
terbuka yaitu :
1. Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)
2. Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga)
3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
4. Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung)
5. Othorrhoe (liquor keluar dari telinga)
b. Trauma kepala tertutup
1. Komosio
a. Cedera kepala ringan
b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
d. Tanpa kerusakan otak permanen
e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f. Disorientasi sementara
g. Tidak ada gejala sisa
2. Konkusio
a. Ada memar otak
b. Perdarahan kecil lokal/difusi
c. Perdarahan
Gejalanya :
a. Gangguan kesadaran lebih lama
b. Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv
c. Gejala TIK meningkat
d. Amnesia lebih nyata
3. Hematoma epidural
a. Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter
b. Lokasi tersering temporal dan frontale
c. Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
Gejalanya :
a. Adanya desak ruang
b. Penurunan kesadaran ringan saat kejadian
c. Penurunan kesadaran hebat
d. Koma
e. Nyeri kepala hebat
f. Reflek patologik positif
4. Hematoma subdural
a. Perdarahan antara durameter dan arachnoid
b. Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis
1. Akut
a. Gejala 24-48 jam
b. Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata
c. Tekanan intrakranial meningkat
d. Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat
2. Subakut
a. Berkembang 7-10 hari
b. Konkusio agak lambat
c. Adanya gejala TIK meningkat
d. Kesadaran menurun
3. Kronis
a. Ringan
b. Perdarahan kecil terkumpul dan meluas
c. Sakit kepala
d. Lethargi
e. Kacau mental, kejang
f. Disfagia
5. Hematoma intrakranial
a. Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih
b. Selalu diikuti oleh konkusio
Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala tertutup yaitu terdiri
dari :
1. Hematoma epidural
Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas 50%,
hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri meningen
media dan pada umumnya berasal dari arteria.
Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu :
a. Periode tidak sadar dalam waktu pendek
b. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena yang
terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda
yaitu :
a. Hematoma subdural akut
1. Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera
2. Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi
b. Hematoma subdural subakut
1. Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera.
2. Perdarahan vena pada ruang subdural
3. Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.
4. Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam.
c. Hematoma subdural kronik
1. Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah cedera
awal
2. Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat kedalam
ruang subdural
3. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan osmotik
yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma
4. Penderita mengeluh sakit kepala
5. Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian
6. Hemiparesis
Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi terdiri
dari yaitu :
1. Fraktur tengkorak
a. Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi
b. Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS)
2. Lesi intrakranial
a. Fokal : epidural, subdural, intra serebral
b. Difus : konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus
3. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu :
a. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil
b. Jatuh
c. Kecelakaan saat olahraga
d. Anak dengan ketergantungan
e. Cedera akibat kekerasan
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri dari :
a. Benda tajam
b. Benda tumpul
c. Peluru
d. Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu :
a. Olah raga
b. Jatuh
c. Kecelakaan kenderaan bermotor.
4. Patofisiologi
Menurut Mufti (2009), patofisiologi Head Injury adalah sebagai berikut : Cedera kepala TIK : oedem, hematoma
Respon biologi Hypoksemia Kelainan metabolisme
Cedera otak primer Cedera otak skunder
Konkusio
serebri Kerusakan sel otak
Gangguan
autoregulasi Rangsangan simpatis Stress
Aliran darah keotak Tekanan vasikuler
Katekolamin
Sistemik dan TD Sekresi asam lambung
O2 Tekanan pembuluh mual, muntah
Gangguam metabolisme darah pulmonal
Asam laktat Tekanan hidrostatik Asupan nutrisi kurang
Oedem otak Kebocoran cairan kapiler
Gangguan perfusi Oedem paru Cardiac output
jaringan serebral
Difusi O2 terhambat Gangguan perfusi
jaringan
Gangguan pola nafas
Hipoksemia, Hiperkapnea
5. Manifestasi Klinis
Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah :
a. Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel (perubahan fungsi)
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila fraktur
tulang temporal.
Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu :
a. Sistem pernafasan
1. Chyne stokes
2. Hiperventilasi
3. Apnea
4. Edema paru
b. Sistem kardiovaskuler
1. Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel
a. Disritmia
b. Fibrilasi
c. Takikardia
2. Terjadi kontraktilitas ventrikel
3. Curah jantung menurun
4. Meningkatkan tahanan ventrikel kiri
c. Sistem metabolisme
1. Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
2. Stress fisiologis
d. Sistem gastrointestinal (GI)
1. Peningkatan asam lambung
2. Perdarahan lambung
3. Katekolamin meningkat
Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :
1. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
2. Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva
3. Memar otak
4. Battle diatas mastoid
5. Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga (ottorea) dan (rinorhoe)
dari hidung
6. Laserasi
7. Kontusi otak
Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari
cedera kepala adalah :
1. Tanda dan gejala fisik :
a. Nyeri kepala
b. Nausea
2. Tanda dan gejala kognitif
a. Gangguan memori
b. Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian
a. Kecemasan
b. Iritabilitas
4. Gambaran klinis secara umum :
a. Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran
b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
c. Respon pupil mungkin lenyap
d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial
e. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK
f. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau
secara lambat
6. Komplikasi
Menurut Engram, B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah :
a. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
b. Perdarahan
c. Kejang
d. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap bocornya
cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea)
e. Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
7. Pemeriksaan penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak
b. MRI (magnetig resonan imagin)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
c. Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma .
d. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema),
fragmen tulang
e. CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
f. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
g. Scree toxicologi
Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
h. AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (Mufti, 2009).
Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala yaitu
terdiri dari :
a. Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning)
b. MRI (Magnetig Resonan Imagin)
c. Sinar X
d. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
e. PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak
f. Fungsi lumbal, CSS
g. GDA (gas darah arteri)
h. Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang
8. Penatalaksanaan
Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan :
a. Dexamethason/kalmethason
Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.
b. Therapy hiperventilasi
Untuk mengurangi vasodilatasi
c. Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol
10%
e. Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidazole
f. Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya cairan infus
dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan
h. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam
pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila
kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP)
i. Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen
Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus cedera
kepala (Head Injury) adalah :
a. Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas
a. Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan
b. Lepaskan gigi palsu
c. Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal
d. Pasang guedel bila dapat ditolerir
e. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi.
2. Menilai pernafasan
a. Tentukan pasien bernafas atau tidak
b. Jika tidak, berikan oksigen melalui masker
c. Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak,
pneumothorak tensif, hemopneuthorak
d. Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%
e. Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >
95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh anestesi.
3. Menilai sirkulasi
a. Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi
b. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya
c. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau
dada
d. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
e. Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia
f. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,
ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA)
g. Berikan larutan koloid
4. Obat kejang
a. Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila
masih kejang.
b. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara perlahan-lahan
dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1. Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
2. Tidak ada kehilangan kesadaran
3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2. Konkusio
3. Amnesia pasca trauma
4. Muntah
5. Tanda kemungkinan fraktur kranium (battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan
CSS).
6. Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1. Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)
2. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
b. Pedoman penatalaksanaan
1. Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi
anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
tulang servikal C1-C7.
2. Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat : cairan
isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis,
dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah (glukosa,
ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar
alkohol bila perlu.
3. Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan
berikut ini:
a. Elevasi kepala 30o
b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20
kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea
harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
c. Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam
kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
d. Pasang kateter foley
e. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)
9. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar : skor
pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan
pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %.
Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada
banyak pasien setelah cedera kepala, sering kali bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer,
A, dkk, 2000).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
a. Identitas Pasien
Identitas ini bertujuan untuk mengenal pasien dan mempermudah hu-
bungan saling percaya antara perawat dan pasien, yang perlu ditanyakan yaitu : nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk (Hidayat, 2006).
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan sumber data subjektif tentang status kesehatan pasien yang
memberikan gambaran tentang masalah kesehatan aktual maupun potensial. Riwayat kesehatan
merupakan penuntun pengkajian fisik yang berkaitan dengan informasi tentang keadaan fisiologis,
psikologis, budaya, dan psikososial, ini juga berkaitan dengan status kesehatan pasien, dan faktor-
faktor seperti gaya hidup, hubungan/pola dalam keluarga, dan pengaruh budaya (Priharjo, R, 2006).
c. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Merupakan proses observasi dengan menggunakan mata. Inspeksi dilakukan untuk mendeteksi
tanda-tanda fisik yang berhubungan dengan status fisik. Mulai melakukan inspeksi pada saat pertama
kali bertemu dengan klien, amati secara cermat mengenai tingkah laku dan keadaan tubuh pasien.
Amatilah hal-hal yang umum kemudian hal-hal yang khusus. Pengetahuan dan pengalaman sangat
diperlukan dalam melakukan inspeksi (Priharjo, R, 2006).
2. Palpasi
Suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-jari adalah suatu instrument
yang sensitive dan digunakan untuk mengumpulkan tentang temperatur, turgor, bentuk, kelembaban,
vibrasi, dan ukuran (Nursalam, 2001).
3. Perkusi
Suatu pemeriksaan dengan jalan mengetuk untuk membandingkan kiri kanan pada setiap daerah
permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara. Perkuasi bertujuan untuk mengidentifikasi
lokasi, ukuran, bentuk dan konsintensi jaringan. Perawat menggunakan kedua tangannya sebagai
alat untuk menghasilkan suara (Nursalam, 2001).
Selama perkusi perawat menggunakan tepukan yang cepat dan tajam dengan jari atau tangan
pada permukaan tubuh (biasanya dada atau abdomen) untuk menghasilkan suara, mendapatkan
(mendeteksi) nyeri tekan, atau untuk mengkaji refleks, melakukan perkusi untuk mendapatkan suara
bertujuan untuk membantu menentukan apakah organ tersebut padat atau berisi cairan dan/atau gas
(Morton, PG, 2003).
4. Auskultasi
Merupakan metode pengkajian yang menggunakan Stetoskop untuk memperjelas pendengaran.
Perawat menggunakan stetoskop untuk mendengarkan bunyi jantung, paru-paru, bising usus, serta -
untuk mengukur tekanan darah dan denyut nadi (Priharjo, R, 2006).
2. Validasi Data
Validasi data merupakan upaya untuk memberikan justifikasi pada data yang dikumpulkan
dengan melakukan perbandingn data subjektif dan data objektif yang didapatkan dari berbagai
sumber dengan berdasarkan standar nilai normal, untuk diketahui kemungkinan tambahan atau
pengkajian ulang tentang data yang ada (Hidayat, AA, 2004).
Menurut Nursalam (2001), data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai
suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh
perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi, data subjektif sering
didapatkan dari riwayat keperawatan termasuk persepsi klien, dan ide tentang status kesehatannya.
Sedangkan data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan di ukur, informasi tersebut dapat
diperoleh selama pemeriksaan fisik.
Dasar data pengkajian pasien cedera kepala (Head Injury) menurut Doenges (1999),
tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan
pada organ-organ vital.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemipareses, Quadreplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah
dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehi-langan tonus otot, otot spastik
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (Bradikardia),
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia.
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan / Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecepan/penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran sampai bisa koma, perubahan status mental (orentasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi tingkah laku/memori). Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya dan simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan
pengindraan, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada
dan lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat
sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
g. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang bebeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih
Pernafasan
Gejala : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hi-
perventilasi) nafas berbunyi stridor, tersedak, ronchi, mengi positif, (kemungkinan karena aspirasi).
Keamanan
Gejala : Trauma baru / trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit, laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda battle di
belakang telinga (tanda adanya trauma) adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS),
gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralysis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Interaksi sosial
Tanda : afasia sensorik atau motorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol / obat lain
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 12 hari
Rencana pemulangan : Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja,
perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang atau penempatan fasilitas
lainnya di rumah.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses, struktur diagnosa keperawatan
komponennya tergantung pada tipenya, aktual, resiko, kemungkinan, sehat atau sindrom (Carpenito,
LJ,1998).
Diagnosa keperawatan menurut Gordon (1976), dalam Nursalam, (2001), yaitu masalah
kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalaman, dia mampu dan
mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan.
Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien cedera kepala
adalah :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(Hemoragic, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan
metabolik, takar lajak obat/alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia,
Disritmia jantung).
b. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
(cedera pada pusat pernafasan otak), kerusa-kan kognitif, obstruksi trakeobronkial.
c. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit
neurologis).
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan.
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif,
penurunan kerja silia, stastis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
h. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera, toksin
dalam sirkulasi.
i. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian
tentang hasil/harapan.
j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi /sumber-sumber, kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
4. PERENCANAAN
Perencanaan keperawatan merupakan aktivitas berorientasi tujuan dan sistematik dimana
rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan (Basford, & Slevin,
2006).
Menurut Doenges (1999), perencanaan keperawatan yang di lakukan pada pasien cedera
kepala (Head Injury) adalah :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL
(Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan
metabolik, takar lajak obat / alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia,
Disritmia jantung).
Kemungkinan dibuktikan :
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, respon motorik/sensorik, gelisah, perubahan tanda
vital.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan
fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan
TIK (tekanan intrakranial).
Intervensi Rasional
1. Tentukan faktor-faktor yang ber-hubungan dengan keadaan ter-tentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensi peningkatan TIK.
2. Pantau dan catat status neu-rologis secara teratur dan ban-dingkan dengan nilai standar (misalnya skala koma Glasgow).
3. Evaluasi kemampuan membuka mata seperti spontan (sadar penuh), membuka jika di beri rangsangan nyeri, atau tetap tertutup koma.
4. Kaji respon verbal, catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, tempat
1. Menentukan pilihan inter-vensi, penurunan tanda /gejala neurologis atau ke-gagalan dalam pemilihan-nya setelah serangan awal mungkin menunjukan ba-hwa pasien itu perlu di-pindahkan keperawatan in-tensif untuk memantau te-kanan TIK dan atau pem-bedahan.
2. Mengkaji adanya kecen-derungan pada tingkat ke-sadaran dan potensial peni-ngkatan TIK dan berman-faat dalam menentukan lo-kasi, perluasan dan per-kembangan kerusakan SSP.
3. Menentukan tingkat kesa-daran
4. Mengukur kesesuaian da-lam berbicara dan menu-njukan
dan waktu baik atau malah bingung.
5. Pantau TD, catat adanya hiper-tensi sistolik secara terus me-nerus dan tekanan nadi yang semakin berat.
6. Frekuensi jantung, catat ada-nya bradikardia, takikardia, atau bentuk disritmia lainnya.
7. Pantau pernafasan, meliputi iramanya, seperti adanya periode apnea setelah hiperventilasi yang disebut pernafasan Cheyne-stokes.
8. Tinggikan kepala pasien 14-45 derajat sesuai dengan indikasi / yang dapat ditoleransi.
9. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
tingkat kesadaran. Jika kerusakan yang terjadi sangat kecil pada korteks serebral, pasien akan mu-ngkin bereaksi dengan baik terhadap rangsangan verbal yang diberikan tetapi juga memperlihatkan seperti ngantuk berat atau tidak kooperatif.
5. Normalnya, autoregulasi - mempertahankan aliran da-rah otak yang konstan pada saaat ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat meng-ikuti kerusakan vaskularasi serebral lokal atau me-nyebar (menyeluruh).
6. Perubahan pada ritme (pa-ling sering bradikardia), dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jan-tung lainnya.
7. Nafas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya gangguan serebral/ peningkatan TIK dan me-merlukan intervensi yang lebih lanjut termasuk ke-mungkinan nafas buatan.
8. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti atau edema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
9. Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat mening-katkan vasodilatasi dan vo-lume daerah serebral yang meningkatkan TIK.
b. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
(cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda yang membuat diagnosa
aktual
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan pola pernafasan normal / efektif, bebas sianosis, dengan GDA dalam batas normal.
Intervensi Rasional
1. Pantau frekuensi irama, ke-dalaman pernafasan, catat tidak ketidakteraturan pernafasan.
2. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
3. Anjurkan pasien untuk me-lakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
4. Auskultasi suara nafas, perha-tikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara tambahan ya-ng tidak normal (seperti krekels, ronchi, mengi).
5. Pantau dari penggunaan obat-obatan depresan pernafasan, se-perti sedatif.
6. Pantau atau gambarkan AGDA, tekanan oksimetri.
7. Berikan oksigen
1. Perubahan dapat menanda-kan awitan komplikasi pul-monal (umumnya mengi-kuti cedera otak) atau me-nandakan lokasi / luasnya keterlibatan otak, pernafa-san lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2. Untuk memudahkan eks-pansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya ke-mungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
3. Mencegah dan menurun-kan atelektasis.
4. Untuk mengidentifikasi adanya masalah seperti ate-lektasis, kongesti, atau ob-struksi jalan nafas yang membahayakan oksigen se-rebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru (um-umnya komplikasi dari ce-dera kepala).
5. Dapat meningkatkan ga-ngguan/komplikasi pernafa-san.
6. Menentukan kecukupan pe-rnafasan, keseimbangan as-am basa dan kebutuhan ak-an terapi.
7. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan me-mbantu dalam pencegahan hipoksia
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit
neurologis).
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang, perubahan respon terhadap rangsang, inkoordinasi
motorik, perubahan dalam postur, ketidak mampuan dalam memberitahu posisi bagian tubuh,
perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, konsentrasi buruk, perubahan proses
pikir/berpikir kacau, respon emosional berlebihan, perubahan dalam pola prilaku.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi, mengakui
perubahan dalam kemampuan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan
perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi / defisit hasil.
Intervensi Rasional
1. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan / afektif, sensorik, dan proses pikir.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas / dingin, benda tajam / tumpul, dan kesa-daran terhadap gerakan dan letak tubuh.
3. Observasi respon prilkau seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi.
4. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan, gunakan kalimat yang penek dan sederhana, dan per-tahankan kontak mata.
5. Berikan stimulasi yang berman-faat verbal (berbincang-bincang dengan pasien), penciuman (ter-hadap kopi dan minyak tertentu), taktil (memegang tangan pasien dan sentuhan).
6. Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas.
7. Buat jadwal istirahat yang ade-kuat/periode tidur tanpa ada ga-
1. Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh adanya gang-guan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang sete-lahnya akibat dari pembe-ngkakan atau perdarahan.
2. Informasi penting untuk ke-amanan pasien, semua sis-tem sensorik dapat terpe-ngaruh dengan adanya per-ubahan yang melibatkan pe-ningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima berespons secara sesuai pada suatu stimulasi.
3. Respon individu mungkin berubah-rubah namun umu-mnya seperti emosi yang labil, frustasi, apatis, dan muncul tingkah laku im-pulsif selama proses pe-nyembuhan dari trauma ke-pala.
4. Pasien mungkin meng-ala-mi keterbatasan perhatian/ pemahaman selama fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini dapat mem-bantu pasien untuk memun-culkan komunikasi.
5. Pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi kog-nitifnya
6. Meningkatkan konsistensi dan keyakinan yang dapat menurunkan ansietas yang berhubungan dengan keti-daktahuan pasien tersebut.
7. Menguragi kelelahan, me-ncegah kejenuhan, membe-rikan
ngguan.
8. Gunakan penerangan siang/ma-lam hari.
kesempatan untuk ti-dur.8. Memberikan perasaan nor-mal
tentang pola peruba-han waktu dan pola tidur/ bangun.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik psikologis.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Defisit/perubahan memori jarak jauh, saat ini, yang baru terjadi, pengalihan perhatian, perubahan
lapang/konsentrasi perhatian, disorientasi terhadap waktu, tempat, orang , lingkungan, kejadian,
pemecahan masalah.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya, mengenali perubahan
berpikir/perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeutik/penyerapan kognitif.
Intervensi Rasional
1. Kaji tentang perhatian, kebing-ungan dan catat tingkat anisetas pasien.
2. Pertahankan bantuan yang kon-sisten oleh staf atau keberadaan sebanyak mungkin.
3. Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas. Hindari pikiran-pikiran yang tidak masuk akal.
4. Jelaskan pentingnya pemeriksa-an neurologist secara berulang dan teratur.
5. Dengarkan dengan penuh per-hatian semua hal yang diungka-pan pasien.
6. Anjurkan pada orang yang ter-dekat untuk memberikan berita baru/keadaan keluarga dan seba-gainya.
7. Rujuk pada kelompok-kelompok penyokong seperti asosiasi cedera kepala.
1. Rentang perhatian/kemam-puan untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi ter-hadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses pikir pasien.
2. Memberikan pasien pera-saan yang stabil dan ma-mpu mengontrol situasi.
3. Pasien mungkin tidak me-nyadari adanya trauma se-cara total (amnesia) atau dari perluasan trauma dan karena pada kenyataan ter-hadap terjadinya cedera pa-da dirinya.
4. Pemahaman bahwa peng-kajian dilakukan secara ter-atur untuk mencegah/mem-batasi komplikasi yang mungkin terjadi.
5. Perhatian dan dukungan ya-ng diberikan pada individu akan meningkatkan harga diri dan mendorong kesi-nambungan usaha tersebut.
6. Meningkatkan terpelihara-nya kontak dengan keadaan yang biasa terjadi yang akan meningkatkan orien-tasi realitas dan berpikir normal.
7. Bantuan tambahan mung-kin bermanfaat dalam me-nyokong upaya-upaya pe-mulihan.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas di tempat tidur,
pemindahan, ambulasi, kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot/
kontrol otot.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Melakukan kembali atau mempertahankan posisi fungsi optimal, dibuktikan tak ada kontraktur,
mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukan kembali aktivitas,
mempertahankan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2. Kaji derajat immobilisasi pasien dengan menggunkan skala keter-gantungan (0-4).
3. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu perubahan posisi tersebut.
4. Berikan dan bantu untuk mela-kukan latihan rentang gerak.
5. Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
6. Berikan cairan dalam batas-batas
1. Mengidentifikasi kemung-kinan kerusakan pada fung-sional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2. Pasien mampu mandiri (ni-lai 0), atau memerlukan ba-ntuan/peralatan yang mini-mal (nilai 1), memerlukan bantuan sedang/dengan pe-ngawasan/diajarkan (nilai 2), memerlukan bantuan/ peralatan secara terus me-nerus dan alat khusus (nilai 3), atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4).
3. Perubahan posisi yang ter-atur menyebabkan penye-baran terhadap berat badan yang mengakibatkan sirku-lasi pada seluruh bagian tubuh.
4. Mempertahankan mobili-sasi dan fungsi sendi dan posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
5. Proses penyembuhan yang lambat sering kali menyer-tai trauma kepala dan pe-mulihan secara fisik meru-pakan bagian yang amat da-ri suatu program pemulihan tersebut.
6. Sesaat setelah fase akut ce-dera kepala dan jika pasien tidak memiliki faktor kon-traindikasi yang lain, pem-berian cairan memadai akan menurunkan
normal yang dapat ditoleransi oleh neurologis dan jantung.
7. Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, kemerahan, kulit ya-ng hangat, otot yang tegang, dan sumbatan vena pada kaki.
resiko terjadi-nya infeksi saluran kemih, dan berpengaruh cukup ba-ik terhadap konsistensi fe-ces yang normal dan turgor kulit yang kembali normal.
7. Pasien seperti tersebut di-atas mempunyai resiko ber-kembangnya trombosis ve-na dalam (TVD) dan em-boli pulmunal (EP) teruta-ma setelah trauma.
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit ruasak, prosedur invasif,
penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak ada diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual).
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu
bila ada.
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang me-ngalami kerusakan, (seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpa-sang alat invasi (terpasang infuse dan sebagainya) catat karakteri-stik dari draenase dan adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur.
4. Anjurkan untuk melakukan nafas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus.
5. Berikan perawatan perineal.
1. Cara pertama untuk meng-hindari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan un-tuk melakukan tindakan de-ngan segera dan pencega-han terhadap komplikasi selanjutnya.
3. Dapat mengidentifikasi per-kembagan sepsis yang se-lanjut memerlukan evaluasi atau tindakan dengan se-gera.
4. Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, ate-lektasis.
5. Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan ba-kteri atau infeksi yang me-rambah naik.
6. Terapi profilaktik dapat di-gunakan pada pasien yang
6. Berikan antibiotik sesuai indikasi. mengalami trauma (perlu-kaan), kebocoran CSS un-tuk menurunkan terjadinya infeksi nosokomial.
g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
(Tidak ada diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala-gejala yang membuat diagnosa aktual).
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak
mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam rentang normal.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi sekresi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
3. Timbang berat badan sesuai indi-kasi.
4. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti ting-gikan kepala tempat tidur selama makan.
5. Berikan makan dalam jumlah ke-cil dan dalam waktu sering de-ngan teratur.
6. Kaji feces, cairan lambung, mun-tah darah dan sebagainya
7. Konsultasi dengan ahli gizi.
1. Faktor ini menentukan pe-milihan terhadap jenis ma-kanan sehingga pasien ha-rus terlindung dari aspirasi.
2. Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus trauma kepala, jadi bising usus membantu da-lam menentukan respon un-tuk makan dan berkemba-ngnya komplikasi, seperti paralitik ileus.
3. Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4. Menurunkan resiko terjadi-nya aspirasi.
5. Meningkatkan proses pen-cernaan dan tingkat tolera-nsi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
6. Perdarahan subakut dan ak-ut dapat terjadi ulkus cushi-ng dan perlu intervensi dan metode alternative pemberi-an makan.
7. Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifi-kasi kebutuhan kalori/ nu-trisi tergantung pada usia, berat
badan, ukuran tubuh, keadaan peyakit sekarang.
h. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, cedera, toksin
dalam sirkulasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Melaporkan sakit kepala, fotopobia, nyeri otot, sakit punggung, perilaku ditraksis, menangis, gelisah
memilih posisi yang khas, tegangan muskular, wajah menahan nyeri, pucat, perubahan tanda-tanda
vital.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Melaporkan nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan postur rileks, dan mampu tidur/beristirahat dengan
tepat.
Intervensi Rasional
1.Berikan lingkungan yang tenang ruangan yang agak gelap sesuai dengan indikasi.
2.Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting.
3.Letakkan kantong es pada kepala pakaian dingin diatas mata.
4.Dukung untuk menentukan posisi yang nyaman.
5.Berikan latihan rentang gerak ak-tif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher / bahu.
6.Kaji tingkat skala nyeri catat lo-kasi, karakteristik.
7.Kolaborasi dalam pemberian ob-at-obatan sesuai indikasi (anal-getik).
1. Menurunkan reaksi terha-dap stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat.
2. Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri.
3. Meningkatkan vasokontrik-si, penumpukan resepsi sen-sorik yang selanjutnya me-nurunkan nyeri.
4. Menurunkan iritasi meni-ngeal, resultan ketidaknya-manan lebih lanjut.
5. Dapat membantu merelak-sasikan ketegangan otot ya-ng meningkatkan reduksi nyeri atau ketidaknyamanan tersebut.
6. Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.
7. Mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang berat.
i. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketiadakpastian
tentang hasil/harapan.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Kesulitan beradaptasi terhadap perubahan atau menghadapi pengalaman traumatik, keluarga tidak
memenuhi kebutuhan keluarganya, kesulitan menerima atau mendapatkan bantuan dengan tepat.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mengidentifikasi sumber-sumber internal
dan eksternal, untuk menghadapi situasi, mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk
maju kearah kemandirian.
Intervensi Rasional
1. Catat bagian-bagian dari unit keluarga, keberadaan/keterlibatan sistem pendukung.
2. Anjurkan keluarga untuk meng-emukakan hal-hal menjadi perha-tiannya tentang keseriusan kon-disi, kemungkinan untuk meni-nggal, atau kecacatan (ketidak-mampuan).
3. Anjurkan untuk mengakui pe-rasaannya, jangan menyangkal atau meyakinkan bahwa segala sesuatunya akan beres / baik-baik saja.
4. Demonstrasikan dan anjurkan pe-nggunaan keterampilan penanga-nan stress, seperti teknik relak-sasi, latihan bernafas, visualisasi
5. Libatkan keluarga dalam perte-muan tim rehabilitasi dan peren-canaan perawatan / pengambilan keputusan.
6. Identifikasi sumber-sumber ko-munikasi yang ada seperti pera-watan dirumah, konselor, me-ngenai hukum/finansial.
1. Menentukan adanya sum-ber keuarga dan mengiden-tifikasi hal-hal yang diper-lukan.
2. Pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan anisetas dan meningkatkan koping terha-dap realitas.
3. Karena hal tersebut tidak mungkin diperkirankan ha-silnya, hal tersebut lebih bermanfaat untuk memba-ntu seseorang untuk meng-atakan perasaannya tentang apa yang sedang terjadi sebagai akibat dari pem-berian keyakinan yang ku-rang tepat/salah.
4. Membantu mengarahkan- perhatian terhadap vitalitas sendiri untuk meningkatkan kemampuan koping sese-orang.
5. Memfasilitasi komunikasi, memungkinkan keluarga- untuk menjadai bagian in-tegral dari rehabilitasi dan memberikan rasa kontrol.
6. Memberikan bantuan deng-an masalah yang mungkin meningkat sebagai akibat dari gangguan fungsi peran.
j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi/ sumber-sumber, kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Kemungkinan dibuktikan oleh :
Meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :
Berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan
pengobatan, potensi komplikasi, memulai perubahan gaya hidup baru, keterlibatan dalam program
rehabilitasi, melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi Rasional
1. Evaluasi kemampuan dan kesia-pan 1. Memungkinkan untuk me-
untuk belajar dari pasien juga keluarganya.
2. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trau-ma dan pengaruh sesudahnya.
3. Diskusikan rencana untuk me-menuhi kebutuhan perawatan diri.
4. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai akti-vitas, obat-obatan dan faktor pen-ting lainnya.
5. Identifikasi tanda/gejala adanya faktor resiko secara individual, seperti kebocoran CSS yang lama, kejang pasca trauma.
6. Identifikasi sumber-sumber yang berada dimasyarakat, seperti seke-lompok penyokong cedera kepala, pelayanan sosial, fasilitas reha-bilitasi, program pasien diluar ru-mah sakit.
nyampaikan bahan yang di-dasarkan atas kebutuhan se-cara individual.
2. Membantu dalam mencipta-kan harapan yang realistis, dan meningkatkan pemaha-man pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
3. Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncana-kan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat in-dividual.
4. Memberikan penguatan vi-sual dan rujukan setelah se-mbuh.
5. Mengenai berkembangnya masalah memberikan ke-sempatan untuk mengeva-luasi dan intervensi lebih awal untuk mencegah ter-jadinya komplikasi yang serius.
6. Diperlukan untuk membe-rikan bantuan perawatan se-cara fisik, penanganan gaya hidup baik secara emosi-onal maupun secara finan-sial
5. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan (Hidayat, 2004).
Menurut Gaffar, LOJ, (1999), implementasi merupakan pelak-sanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi
adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan
keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi
keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.
6. EVALUASI
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah
berhasil dicapai (Nursalam, 2001).
Sedangkan menurut Hidayat, AA, (2001), evaluasi merupakan tahapan akhir dari proses
keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah
dibuat pada tahap perencanaan.http://munawarfc.blogspot.com/2010/11/askep-head-injury.html