hasil penelitian
DESCRIPTION
ehemTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi yang sampai
saat ini masih menjadi beban kesehatan masyarakat yang di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011
mengenai perkiraan kasus TB paru secara global disebutkan bahwa pada
tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun,
sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB (1).
Pengendalian TB Paru saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala
seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di
dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah
menjadi 438 juta di tahun 2030 (2).
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter
tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi
Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Sedangkan penduduk
Indonesia yang terdiagnosis TB Paru menurut Riskesdas 2013 adalah 0,4
persen.
Dari Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu
didapatkan data bahwa pasien BTA (+) baru dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Dimulai dari tahun 2009 dengan pasien BTA (+)
baru sebanyak 177 orang, menurun di tahun 2010 menjadi 150 orang,
kemudian tahun-tahun selanjutnya mengalami peningkatan. 2011 jumlah
pasien BTA (+) baru sebanyak 197 orang, tahun 2012 sebanyak 205 orang,
tahun 2013 sebanyak 221 orang, dan tahun 2014 sebanyak 251 orang.
Dari berbagai penelitian sebelumnya dipaparkan bahwa DM dapat
mempengaruhi gejala klinis, lambatnya respon pengobatan TB dan
meningkatkan mortalitas pasien TB. Tidak sedikit juga yang mengalami
reaktivasi (3).
1
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
hubungan antara kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan
Pasar Minggu dengan diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit
penyertanya. Selain itu karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin,
dan indeks massa tubuh pasien juga akan dihitung.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka
dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah “Apakah terdapat
hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe
II pada pasien berumur 40-60 tahun di Kecamatan Pasar Minggu?”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum
Memberikan informasi mengenai ada atau tidaknya
hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes
mellitus tipe II sebagai penyakit penyertanya.
1.1.1 Tujuan Khusus
1. Mengetahui adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis paru
dengan diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit penyerta di
Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.
2. Mengetahui prevalensi kejadian tuberkulosis paru dengan
diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit penyerta pada
pasien berumur 40-60 tahun di Puskesmas Kecamatan Pasar
Minggu.
3. Mengetahui karakteristik individu pasien-pasien tuberkulosis
paru dengan diabetes mellitus
1.4 HIPOTESIS PENELITIAN
1. Adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan
diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit penyerta.
2
2. Kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe II lebih
banyak didapatkan pada pasien dengan golongan umur 40-60
tahun.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
a. Bagi Instansi / Profesi Kesehatan
- Memberikan informasi mengenai data ada-tidaknya hubungan
antara kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe II
sebagai penyakit penyerta.
- Memberikan informasi kepada Puskesmas Kecamatan Pasar
Minggu dan petugas kesehatan dalam melakukan intervensi
selanjutnya dalam mengurangi angka kejadian tuberkulosis pada
pasien yang memiliki diabetes mellitus tipe II.
b. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
- Penelitian ini dapat digunakan sebagai penelitian pendahulu dan
data yang didapat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai
dasar untuk penelitian selanjutnya.
- Memberikan tambahan pengetahuan bagi rekan-rekan yang
sedang menjalani kepaniteraan klinik dan bagi mereka yang
membutuhkan informasi mengenai hubungan antara
kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe II
sebagai penyakit penyerta.
c. Bagi Masyarakat
- Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hubungan antara
diabetes mellitus tipe II dengan kejadian tuberkulosis paru.
- Membantu masyarakat, terutama yang memilki diabetes mellitus
tipe II, untuk lebih mengetahui apa tindakan yang sebaiknya
dilakukan untuk mencegah terjangkitnya tuberkulosis paru.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIABETES MELLITUS TIPE II
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan kronik
pada metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan
dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,
disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut (4). Gambaran
patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan dengan salah satu efek
utama akibat kurangnya insulin, yaitu berkurangnya pemakaian glukosa
oleh sel-sel tubuh. Peningkatan metabolisme lemak, yang adalah
abnormal, dapat meningkatkan kesempatan mengendapnya kolesterol pada
dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis serta
berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (5).
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi
akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit
menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di
hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap
sebagai non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (6).
2.1.2 Etiologi
DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel β pankreas tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi insulin relatif.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.
4
2.1.3 Patofisiologi
a. Resistensi Insulin
Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target
perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM
tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas.
Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang
sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya
menyebabkan hiperglikemia (7).
b. Gangguan Sekresi Insulin
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif
kurang berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada
awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal
dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin
yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang
cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun (7).
Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya
gangguan sekresi insulin pada DM II, dan bukan defisiensi sintesa insulin.
Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi yang ringan
sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I.
2.1.4 Faktor Risiko
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II
antara lain (6):
a. Riwayat Genetik
Diabetes adalah penyakit yang diturunkan menurut silsilah
keluarga yang ada mengidap diabetes.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan
fisiologi yang secara drastis. Probabilitas DM tipe II sering muncul
setelah usia 30 tahun dan pada mereka yang dengan berat badan
berlebih sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
5
dislipidemia, yang juga dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya diabetes mellitus.
c. Stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan
makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak
seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara
untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj
mereka yang berisiko mengidap penyakit DM tipe II.
d. Diet Tidak Sehat
Pada penderita DM tipe II dapat terjadi obesitas. Obesitas
lebih disebabkan oleh jumlah konsumsi makanan yang terlalu
banyak dan sering karena gejala polifagia, sehingga perlahan-lahan
asupan glukosa meningkat dan disimpan dalam bentuk lemak.
2.1.5 Gejala Klinis
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami
peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus
(polidipsi), kesemutan atau kebas pada ujung-ujung jari kaki atau tangan,
kehilangan tenaga, merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan
tidak diketahui penyebabnya, luka yang sukar sembuh. Biasanya terjadi
pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya pada remaja semakin
meningkat dari tahun ke tahun (1).
Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai
keletihan akibat kerja atau karena sudah berumur. Selebihnya, gejala
diabetes tidak akan muncul secara spesifik pada tampilan klinis.
2.1.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis DM pada lansia tidak berbeda dengan kriteria
pada populasi umumnya di dalam masyarakat. Skrining terhadap
6
kelompok umur diatas 40 tahun sangat penting agar DM tidak diketahui
saat sudah komplikasi, karena banyak penderita DM dewasa yang tidak
terlihat jelas gejala atau keluhannya.
Kriteria diagnostik DM menurut PERKENI 2011 atau yang
dianjurkan ADA (American Diabetes Association) 2010 yaitu bila terdapat
salah satu atau lebih hasil pemeriksaan gula darah dibawah ini (6):
a. Kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl
b. Kadar gula darah puasa lebih atau sama dengan 126 mg/dl
c. Kadar glukosa plasma lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral.
2.1.7 Komplikasi
Akut
Ketoasiosis Diabetikum (KAD) : sering disebabkan oleh
penghentian asupan insulin, tetapi dapat disebabkan oleh akibat dari
aktifitas stress fisik (infeksi dan pembedahan) atau emosionil meskipun
terapi insulin telah diberikan. Kekurangan insulin pada DM dapat
mengakibatkan pembakaran glukosa berkurang, produksi glukosa dari
hepar meningkat akibat sintesa protein berkurang serta pembentukan zat
asam lemak berkurang sedangkan pemecahan zat asam lemak meningkat
sehingga kadar aseton di dalam darah meningkat, sehingga darah
menjadi asam. Disamping itu dengan meningkatnya katabolisme protein
maka dua macam asam amino yang mempunyai efek ketogenik akan
meningkat yaitu leusin dan isoleusin, benda-benda ketogenik ini akan
menurunkan Ph plasma, buffer bicarbonate dan timbul asidosis
metabolik (6).
Kronik
Katarak
Glukosa direduksi menjadi sorbitol didalam sel yang mengandung
enzim aldosareduktase. Alcohol heksahidrat ini tidak dapat melalui
7
membrane sel dan salah satu akibatnya adalah konsentrasinya didalam
sel akan meningkat dan sel akan membengkak, akibat penumpukan
sorbotol di lensa mata, terjadi penarikan air yang selanjutnya akan
merusak kejernihan lensa atau perkabutan lensa, yaitu katarak (8).
Polinueropati
Penumpukan sorbitol di sel schwan dan neuron akan mengurangi
konduksi saraf terutama mempengaruhi saraf otonom, reflex dan
sensorik (8).
Rentan Terhadap Infeksi
Sel yang tidak dapat mengambil glukosa dalam jumlah cukup akan
menyusut karena hiperosmolar ekstrasel sehingga fungsi limfosit yang
telah menyusut akan terganggu (termasuk pembentukan superoksida
yang penting dalam system imun) karena itu pada pasien diabetes rentan
terhadap infeksi.
Risiko Trombosis Meningkat
Hiperglikemia meningkatkan pembentukan protein plasma yang
mengandung gula seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin serta
faktor pembekuan V-VIII, dengan cara ini kecendrungan pembekuan dan
viskositas darah akan meningkat sehingga risiko thrombosis meningkat.
Mikroangiopati
Dengan mengikat glukosa ke gugus protein yang bebas amino akan
terjadi reaksi amadori yang bersifat irevesibel yakni glikosilasi lanjut
produk akhir (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing-masing
di membrane sel sehingga dapat mengakibatkan pengendapan kolagen di
membrane basalis pembuluh darah. Perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan
penyempitan lumen (mikroangiopati). Perubahan terjadi pada retina juga
sebagai akibat mikroangiopati yang nantinya menyebabkan retinopati, di
8
ginjal akan terjadi sklerosis glomerolus yang dapat menyebabkan
proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kehilangan
glomerulus, hipertensi dan gagal ginjal (8).
Makroangiopati
Bersamaan dengan peningkatan VLDL di dalam darah dan
penningkatan kecendrungan pembekuan darah ditambah adanya
hipertensi akan mendorong terbentuknya makroangiopati yang dapat
menyebabkan infark miokard, infark serebri, dan penyakit pembuluh
darah perifer (8).
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan pada diabetes ada 3 tahap :
Pencegahan primer
Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegahan
timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk
menjadi diabetes atau pada populasi umum.
Pencegahan sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin. Untuk dapat
dilakukan upaya pencegahan komplikasi atau sudah ada
komplikasi yang masih reversible.
Pencegahan tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecatatan
akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi :
- Mencegah timbulnya komplikasi
- Mencegah progresi daripada komplikasi itu supaya tidak
menjadi kegagalan organ
- Mencegah kecacatan tubuh
9
Pencegahan lainnya adalah :
Diet rendah karbohidrat dan glukosa
Mengontrol gula darah secara teratur
Menjalanipola hidup yang sehat seperti olahraga yang teratur,
menghentikan konsumsi minuman bersoda dan menggantinya
dengan air putih
Taat dan teratur menjalani pengobatan.
2.1.9 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan jangka pendeknya adalah
menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan jangka
panjangnya adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Sedangkan tujuan
akhirnya adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM (6).
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku (6).
Pilar Penatalaksanaan DM
a. Edukasi
Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada penyandang diabetes
seperti mengikuti pola makan sehat, mengikuti kegiatan jasmani,
menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara
aman dan teratur. Pasien diharapkan melakukan Pemantauan Glukosa
Darah Mandiri (PGDM) bila mampu.
b. Terapi nutrisi medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
10
masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.
c. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan obat suntik.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO di bagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
- Sulfonilurea
Efek utama: meningkatkan sekresi insulin oleh sel-β
pankreas. Pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang. Diminum 15 – 30 menit sebelum makan
- Glinid
Cara kerja sama dengan sulfonilurea. Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara
cepat melalui hati. Pemberian obat tidak tergantung pada waktu
makan.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
- Tiazolidindion
Efek utama: menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer.
Kontraindikasi: gagal jantung kelas I – IV (memperberat edema/
retensi cairan) dan gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati
secara berkala.
3. Penghambat glukoneogenesis
- Biguanid (Metformin)
11
Efek utama: mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)
dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama digunakan
pada penyandang diabetes gemuk.
Kontraindikasi: gangguan faal ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)
dan hati, serta pasien-pasien yang cenderung mengalami
hipoksemia (mis: penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung).
Efek samping: mual.
Pemberian: saat atau setelah makan.
4. Penghambat absorpsi glukosa
Cara kerja: mengurangi absorpsi glukosa di usus halus.
Efek: menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Efek samping: kembung dan fatulens.
Pemberian bersamaan dengan suapan pertama saat makan.
5. DPP-IV inhibitor
Glukagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone
peptide yang dihasilkan oleh sel L mukosa usus. Peptide ini
disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat
pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glucagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi GLP-1-(9,36)-amide yang
tidak aktif.
Pemberian bersama makan atau sebelum makan
Cara pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat
diberikan sampai dosis optimal.
Suntikan
1. Insulin. Indikasi pemberiannya :
- Penurunan berat badan yang cepat.
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
12
- Ketoasidosis diabetik.
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
- Stress berat (infeksi sitemik, operasi besar, IMA, stroke).
- Kehamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan.
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.
Efek samping terapi insulin:
- Hipoglikemia
- Reaksi imunologi, dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin.
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin
ataupun sulfonilurea. Efek lainnya adalah menghambat pelepasan
glucagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Efek
samping: rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun
fixed combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam
obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi
tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin,
biasanya insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang)
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dosis awal insulin kerja
13
menengah adalah 6-10 unit yang bisa diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dievaluasi dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila
kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, OHO dihentikan dan
diberikan terapi kombinasi insulin.
2.2 TUBERKULOSIS PARU
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang (basil).
Penularan penyakit ini melalui dahak penderita yang mengandung basil
tuberkulosis paru tersebut. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air
ludah beterbangan di udara yang mengandung basil TBC dan terhisap oleh
orang yang sehat dan masuk ke dalam paru-parunya. Kejadian kasus
tuberkulosis paru ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat
dengan sosial ekonomi lemah (9).
Terjadinya peningkatan kasus TB dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian
lingkungan tempat tinggal. TB juga mudah menular pada mereka yang
tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya
buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman
TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan dan kecepatan
mendapatkan pengobatan juga mempengaruhi tingkat kesembuhan
penderita TB. Penderita seringkali datang berobat sudah dalam keadaan
terlambat dan banyak komplikasi, hal ini membuat penderita tidak sabar
dalam melakukan pengobatan dan ingin cepat sembuh. Disinilah yang
membuat kebanyakan keluarga penderita merasa jenuh dan bosan dalam
mencari/menjalankan pengobatan TB (9).
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TB Paru
keterpaparan penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis
14
kelamin dan faktor sosial lainnya, untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai
berikut (9):
Faktor Sosial Ekonomi : Disini sangat erat dengan keadaan rumah,
kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat
kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga
juga sangat erat dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil
membuat orang tidak dapat memenuhi syarat-syarat kesehatan yang layak.
Status Gizi : Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin,
zat besi dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang
sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini
merupakan faktor penting yang berpengaruh di Negara berkembang, baik
pada orang dewasa maupun anak-anak.
Umur : Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau
usia produktif 15-50 tahun . Dengan terjadinya transisi demografi saat ini
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun system imunolosis seseorang menurun, sehingga
sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-paru.
Jenis kelamin: Penderita TB-paru cenderung lebih, tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1
juta perempuan yang meninggal aicibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa
pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh
TB-paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan.
Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok
tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan system
pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab
TB-paru.
Faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang sangat
mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di bawah
ini:
A . Faktor Sarana :
(1) Tersedianya obat yang cukup dan kontinu,
(2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik ,
15
(3) Pemberian regiment OAT yang adekuat.
B. Faktor penderita :
(1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru.
(2) Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. Cukup
istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok.
(3) Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang
dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan,
jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari.
(4) Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB Paru adalah
penyakit infeksi yang dapat disembuhkan bila berobat dengan benar.
(5) Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh.
C. Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan :
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan
seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan
obat,pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan
memberi semangat agar tetap rajin berobat.
2.2.3 Gejala Klinis
Terdapat 2 gejala TB paru yaitu : gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum secara klinis mempunyai gejala sbb (10):
batuk selama lebih dari 3 minggu,
demam,
berat badan menurun tanpa sebab,
berkeringat pada waktu malam,
mudah lelah,
hilangnya nafsu makan.
Sedangkan Gejala khusus dapat digambarkan sbb (10):
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
16
Dapat timbul suara ronchi, suara nafas melemah disertai sesak,
kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan
sakit dada,
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang nanti akan dapat membentuk saluran dan bermuara
pada kulit di atasnya,
Pada anak-anak dapat mengenai otak dan menyebabkan meningitis
dengan gejala demam tinggi, penurunan kesadaran dan kejang.
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) (10):
• S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
• S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA) pada sediaan dahak. Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
thoraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Gambaran kelainan
radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
17
2.2.5 Tatalaksana
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan pada tahap intensif
adalah kategori-l yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Isoniazid (H) bersifat bakterisid yang
dapat membunuh populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan, obat
ini sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. Rifampisin
(R) dapat membunuh kuman semi dorman (persisten). Pirasinamid (Z)
bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berda dalam sel dengan
suasana asam. Etambutol (E) bersifat bakteriostatik yaitu menghambat
perkembangbiakan kuman. Resistensi obat sebagian besar terjadi terhadap
isonisiamid dan dikatakan resistensi ganda (MultiPle Drug Resistance).
Kekurangnyamanan pengobatan merupakan faktor utama perkembangan
resistensi obat.
Pengobatan terhadap TB paru membutuhkan jangka waktu yang
lama agar semua kuman dapat dibunuh. Hal ini disebabkan karena
umumnya kuman penyebab TB paru yaitu Mycobacterium tuberculosis
bersifat intraseluler (11).
2.3 DIABETES MELLITUS TIPE II DAN TUBERKULOSIS PARU
2.3.1 Perubahan pertahanan paru pada DM
Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis,
seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang
merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti
yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf
otonom dapat berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu juga
dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi
karbon monoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida (12).
Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat
kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami
gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan
18
fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan korpus sel darah
merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia
yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan
infeksi (12).
Sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun baik innate immunity
maupun adaptive immunity sangat berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis yang kemudian dapat
menginduksi imunitas seluler tipe 1, yang merupakan respons utama tubuh
untuk melawan TB (12).
Terdapat peningkatan IFN- pada pasien DM, demikian pula TNF- .
Hal ini menunjukkan gangguan respons imun seluler. Dalam sebuah
percobaan in vitro, monosit penderita DM diisolasi dan diberi rangsangan
lipopolisakarida (LPS) maka sekresi IL-1 dan IL-6 akan turun
dibandingkan pada monosit orang sehat. Dengan metode yang sama dari
monosit orang sehat yang dipapar dengan kadar gula tertentu
menunjukkan penurunan sekresi TNF- dan IL-6 (12).
Kelainan fungsi imunologi
paru pada DMDisfungsi fisiologis paru pada DM
Gangguan kemotaksis, perlengketan,
fagositosis dan mikrobisida
polimorfonuklear
Reaktifitas bronkial berkurang
Penurunan monosit perifer dengan
gangguan fagositosis Penurunan elastic recoil dan volume
paru
Buruknya fungsi transformasi sel blast
menjadi limfosit Penurunan kapasitas difusi
Cacat fungsi opsonisasi C3.
Sumbatan mukus pada saluran napas
Penurunan respons ventilasi terhadap
hipoksemia
Tabel 1. Gangguan fungsi imun dan fisiologis paru penderita DM (12)
19
2.3.2 Hubungan DM dengan infeksi TB
Pada awal abad 20, dikatakan bahwa penyebab kematian pasien
diabetes adalah ketoasidosis diabetik dan TB. Setelah ditemukannya
insulin pada tahun 1920 dan antibiotika untuk tuberkulosis maka terdapat
penurunan angka kematian akibat kedua penyakit tersebut. Penelitian oleh
Root tahun 1934 pada 245 pasien DM dengan TB menunjukkan bahwa
infeksi TB pada pasien DM usia muda 10 kali lebih besar dari pasien non-
DM, infeksi TB terjadi pada 85% pasien yang didiagnosa DM, dan
dikatakan bahwa insidens TB paru meningkat dengan semakin lamanya
menderita DM (13).
Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada penderita DM diduga
akibat dari gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM,
peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel
penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan
neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut (13).
2.3.3 Manifestasi klinis infeksi TB pada DM
Penderita TB dengan DM sangat mungkin dalam kondisi yang
lebih parah dan memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi. Kondisi
neuropati, mikro, dan makroangiopati serta gangguan respon imun dapat
memberikan perbedaan gejala klinis TB pada pasien DM dengan non-DM.
Gangguan motilitas silia memungkinkan turunnya reflek batuk, namun
gangguan mikro dan makroangiopati yang terjadi dapat menimbulkan
kegagalan migrasi sistem imun, yang dapat menyebabkan kondisi penyakit
lebih buruk (14).
Alisjahbana dkk. dalam penelitiannya di Indonesia menunjukkan
bahwa pasien TB dengan DM sebelum mendapatkan terapi memiliki
gejala yang lebih banyak dibandingkan pasien TB tanpa DM. Meskipun
begitu tidak ada bukti terdapatnya kondisi penyakit yang lebih parah jika
dilihat dari pemeriksaan darah, bakteriologi, maupun radiologi. Gejala
yang dilihat dari penelitian ini adalah batuk, hemoptisis, sesak napas,
demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, masing masing
20
gejala diberikan poin 1 dengan total 6. Skor gejala lebih dari 4
digolongkan dengan gejala yang berat. Penelitian yang ada di Malaysia,
Saudi Arabia, dan Turki tidak menunjukkan perbedaan gejala pada
penderita TB dengan DM dibandingkan dengan penderita TB tanpa DM,
sedangkan penelitian di Meksiko menunjukkan gejala demam dan
hemoptisis yang lebih tinggi pada penderita TB dengan DM (14).
2.3.4 Derajat Keparahan Penyakit DM-TB dan Hasil Pengobatan
Diabetes mellitus mengganggu sistem kekebalan terhadap TB
sehingga menyebabkan beban awal jumlah mikobakteri yang lebih tinggi
dan waktu konversi sputum yang lebih lama sehingga menyebabkan
tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Tiga penelitian retrospektif
menunjukkan bahwa beban awal mikobakteri lebih tinggi pada pasien DM
dibanding kontrol. Namun dari beberapa hasil penelitian yang menilai
konversi sputum-kultur menunjukkan hasil yang beragam tergantung pada
variabel yang digunakan. Pada salah satu studi yang menilai konversi
sputum setelah minimal 2 bulan pengobatan mendapatkan hasil proporsi
konversi pasien DM ternyata adalah sama dengan kontrol (15).
Penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. mendapatkan
hasil bahwa DM bukan faktor risiko kepositifan pada apus sputum maupun
kultur sputum pada bulan ke-2 pengobatan. Penelitian di Arab Saudi yang
dilakukan pada 692 pasien TB BTA-positif didapatkan 98,9% pasien DM
dan 94,7% kontrol mengalami konversi sputum TB BTA menjadi negatif
pada bulan ke-3. Bagaimanapun juga pada beberapa penelitian yang
menilai waktu yang dibutuhkan untuk konversi apus sputum dan kultur
sputum pada pasien DM ternyata didapatkan hasil bahwa pada pasien DM
dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kultur negatif. Seperti
penelitian yang dilakukan di Turki pada pasien DM yang mendapatkan
pengobatan TB, membutuhkan waktu konversi kultur sputum lebih lama
dibandingkan pasien non-DM (15).
Pasien TB yang kemudian berkembang menjadi DM mempunyai
derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi saat onset TB, mempunyai
21
lesi paru yang lebih banyak dan perubahan paru yang lebih besar saat
penyembuhan dan sebaliknya pasien DM yang terinfeksi TB memiliki
kadar gula darah yang lebih tinggi dan kemungkinan yang lebih besar
untuk terjadi koma serta mikroangiopati. Diabetes mellitus juga diduga
sebagai predisposisi untuk terjadi gagal pengobatan dan meningkatan
mortalitas pasien TB. Penelitian di Mesir yang membandingkan 119
pasien dengan gagal pengobatan dan 119 kontrol didapatkan peningkatan
risiko gagal pengobatan TB pada pasien DM adalah 3,9 kali. Penelitian
yang dilakukan di Indonesia didapatkan kultur sputum setelah pengobatan
selama 6 bulan dengan kepatuhan berobat yang tinggi ternyata masih
positif pada 22,2% pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol sebesar
6,9%. Dua penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland,
Amerika Serikat menunjukkan peningkatan risiko kematian sebesar 6,5-
6,7 kali pada pasien DM dibandingkan dengan non-DM. Diantara 416
kematian pada pasien TB di Sao Paulo, Brazil ternyata DM merupakan
komorbid yang paling sering didapatkan yaitu sebesar 16%. Penelitian-
penelitian tersebut mengindikasikan bahwa gagal pengobatan dan
kematian pada TB lebih sering didapatkan pada pasien DM (15).
2.3.5 Pemeriksaan radiologi pasien TB dengan DM
Pada beberapa penelitian gambaran radiologi penderita TB paru
dengan DM telah dideskripsikan sebagai gambaran yang atipikal,
kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran kavitas.
Keterlibatan beberapa lobus paru juga dilaporkan lebih banyak. Patel dkk.
pada penelitiannya di India melaporkan bahwa didapatkan 84% pasien TB
dengan DM yang menunjukkan gambaran TB pada lobus bawah dan
hanya 16% pada bagian atas paru. 32% menunjukkan keterlibatan kedua
bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru (15). Pada 10 dari 50 foto
dengan gambaran kavitas yang lebih dari 2 cm dan kavitas ini paling
banyak ditemukan jika terdapat keterlibatan bagian bawah paru (80%).
Lesi nodular ditemukan sebesar 36% dan lesi eksudat ditemukan pada
22% dan lesi campuran terdapat pada 22%. Dari penelitian tersebut,
dikatakan bahwa penderita tuberkulosis dengan DM lebih menunjukkan
22
gambaran atipikal pada pemeriksaan radiologi. Perbedaan gambaran
radiologis tersebut disebabkan oleh karena penderita DM memiliki
gangguan pada imunitas selular dan disfungsi sel PMN (16)
.
2.3.6 Sputum BTA pasien TB dengan DM
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM
memiliki persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi BTA lebih lama
dan lebih cenderung mengalami resistensi terhadap OAT. Hal ini
menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM sangat mungkin memiliki
kondisi yang lebih parah dan memiliki risiko penularan TB yang lebih
tinggi. Pada penelitian oleh Singla dkk. di Saudi Arabia menunjukkan
sputum BTA positif pada awal diagnosis penderita TB dengan DM lebih
tinggi dari penderita TB non DM. Hal yang sama juga ditemukan oleh
penelitian di Texas dan di Amerika. Namun penelitian Alisjahbana di
Indonesia menunjukkan hasil yang berbeda, terlihat pada awal diagnosis
terdapat 29,8% pasien TB dengan DM yang pada pemeriksaan sputum
memberikan hasil BTA positif, sedangkan pada penderita TB dengan DM
terdapat 38,9% (16).
Salah satu kesimpulan yang penting dari penelitian Alisjahbana
dkk. adalah bahwa setelah terapi TB selama 6 bulan, ditemukan hasil kutur
yang masih positif 7,65 kali lebih tinggi pada pasien yang juga menderita
DM dibandingkan penderita tanpa DM. Penelitian ini juga menunjukkan
adanya peningkatan risiko BTA +++ dengan OR 1,71 pada penderita TB
dengan DM (16).
2.3.7 Tatalaksana
Interaksi obat anti tuberkulosis dengan obat hipoglikemi oral
Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu
toksisitas obat juga harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi
secara bersamaan pada TB-DM. Pasien TB-DM juga memperlihatkan
respon terapi yang lebih lambat terhadap OAT bila dibandingkan dengan
pasien non DM. Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat inducer
kuat terhadap enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme
23
suatu zat termasuk enzim sitokrom P450 dan enzim fase II. Induksi pada
enzim-enzim tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obatan
lain yang diberikan bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi
efek pengobatan yang diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar
OHO dalam darah pada golongan sulfonilurea (gliklazid, gliburide,
glpizide dan glimepirid) dan biguanid (14).
Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pada farmakokinetik OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal
pengobatan pada pasien TB-DM. Diabetes mellitus mempunyai efek
negatif terhadap pengobatan TB terutama pada pasien-pasien DM dengan
kontrol glikemik yang buruk sehingga angka kegagalan dan kekambuhan
TB lebih tinggi dibandingkan dengan pasien TB non DM. Konsentrasi
OAT plasma yang rendah berhubungan dengan gagal pengobatan dan
resistensi obat pada TB. Terdapatnya DM, berat badan yang lebih besar
dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi
rifampin plasma. Diabetes melitus juga dapat menyebabkan perubahan
penyerapan obat oral, penurunan ikatan protein dengan obat, insufisiensi
ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan obat (14).
Prinsip pengobatan TB-DM
Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan
TB paru secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan
pasien TB-DM, yaitu (15):
1. Pengobatan tepat.
2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat
untuk menstabilkan kadar gula darahnya.
3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.
4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan
karena terdapat interaksi Rifampisin dengan OHO.
5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk
keberhasilan terapi OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar
gula darah puasa <120 mg% dan HbA1c <7%.
24
6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan
monitoring terhadap efek samping obat terutama efek samping
terhadap hepar dan system saraf. Pertimbangkan penggunaan
piridoksin pada pemberian INH terutama untuk pasien dengan
neuropati perifer.
7. Durasi kemoterapi ditentukan oleh kontrol diabetes dan respon
pasien terhadap pengobatan. Pengobatan yang lebih lama mungkin
diperlukan.
8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada
alkoholisme harus dilakukan.
9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.
Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus
Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol
glikemik yang optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Terapi insulin harus segera dimulai dengan menggunakan regimen basal
bolus atau insulin premixed. The American Association of Clinical
Endocrinology merekomendasikan penggunaan insulin analog atau insulin
modern karena lebih sedikit menyebabkan hipoglikemia, penggunaan
insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin pada awal penyakit
biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring dengan
tercapainya koreksi glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi.
Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif
adalah (17):
1. Infeksi TB yang berat.
2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB
pancreas atau defisiensi endokrin pankreas.
3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta
kebutuhan akan efek anabolik.
4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.
5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat
penggunaan OHO.
25
2.3.8 Prognosis
Pasien dengan diabetes dan TB memiliki risiko kematian yang
lebih tinggi selama terapi juga peningkatan risiko kekambuhan setelah
pengobatan, juga dapat memberikan risiko penularan yang lebih besar (18).
Baker dkk. memberikan kesimpulan bahwa diabetes meningkatkan
risiko kegagalan terapi dan kematian sekaligus, kematian saja, dan angka
kekambuhan pada penderita TB. Hal ini menekankan akan kebutuhan
perhatian yang lebih lanjut mengenai uji saring terhadap DM dan TB di
kedua populasi, perbaikan kadar gula darah, panduan terapi, peningkatan
monitoring klinik dan terapi (18).
2.4 KERANGKA TEORI
26
Penyakit Penyerta
- HIV/AIDS
- Diabetes Mellitus tipe II
Faktor Lingkungan
- Ventilasi
- Kepadatan Hunian
- Kelembaban
- Pencahayaan
- Merokok
Faktor Sosial Ekonomi
- Pendapatan
- Pekerjaan
- Pendidikan
- Pelayanan Kesehatan
Faktor Karakteristik
Individu
- Umur
- Jenis Kelamin
- Imunisasi BCG
3.1 KERANGKA KONSEP
3.2 DEFINISI OPERASIONAL
VariabelDefinisi
OperasionalCara Ukur
Alat Ukur Hasil Ukur SkalaRefere
nsi
28
Penyakit Penyerta
Diabetes Mellitus
tipeII
Karakteristik Individu
Usia
Jenis Kelamin
Tinggi Badan
Berat Badan
Variabel Independen Variabel Dependen
Kejadian Tuberkulosis
Paru
Subyek TB Paru
Pasien yang dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan sputum BTA terdiagnosis sebagai TB paru
ObservasiRegister subyek
1. TB +2. TB -
NominalDooley (2009)
SubyekDM tipe II
Pasien dengan gejala khas DM yang dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ataupun
ObservasiRegister subyek
1. DM +2. DM -
NominalAlisjah
bana (2006)
Jenis Kelamin
Ciri atau karakteristik yang menunjukkan bahwa seseorang adalah laki-laki atau perempuan
Observasi KTP1. Laki-laki2. Perempuan
NominalPratiwi (2003)
Usia
Usia pasien yang tercantum pada register status kemudian disesuaikan dengan tanggal saat penelitiandilakukan
Observasi KTP
1. < 30 tahun2. 31-40 tahun3. 41-50 tahun4. 51-60 tahun5. > 60 tahun
OrdinalDepkes (2009)
Berat Badan
Berat badan adalah ukuran tubuh dalam sisi beratnya yang ditimbang dalam keadaan berpakaian minimal tanpa perlengkapan apapun.
Observasi Timbangan
Berat badan dalam Kilogram.
RasioCipto
Surono (2000)
Tinggi Badan
Ukuran posisi tubuh berdiri (vertical) dengan kaki menempel
Observasi Statue meter Tinggi badan dalam sentimeter
Rasio Barry L.John
son (1979)
29
pada lantai, posisi kepala dan leher tegak, pandangan rata-rata air, dada dibusungkan, perut datar dan tarik nafas beberapa saat.
Indeks Massa Tubuh
Ukuran yang digunakan untuk menilai proporsionalitas perbandingan antara tinggi dan berat seseorang. Hasil ini akan didapatkan dari berat badan dan tinggi badan subyek penelitian.
Menghitung berat badan dan tinggi badan subyek kemudian menilai IMT berdasarkan tabel IMT
1. Timbangan2. Statue meter3. Tabel IMT
1. Kurang 2. Normal3. Lebih 4. Obesitas
Rasio Indra K (2010)
BAB IV
METODE PENELITIAN
30
4.1 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dan rancangan
penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah dan mencapai tujuan
penelitian adalah rancangan potong lintang (cross sectional)
4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu,
Jakarta Selatan.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 16 Februari – 28 Februari 2015.
4.3 SAMPEL PENELITIAN
4.3.1 Populasi Target
Populasi penelitian ini adalah subyek yang datang kontrol
ke Poliklinik Practical Approach to Lung Health (PAL),
Poliklinik Diabetes Mellitus, dan Poliklinik Umum. yang datang
untuk kontrol atau berobat.
4.3.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Kriteria Inklusi
1. Pasien yang datang ke Poliklinik Practical Approach to
Lung Health (PAL), Poliklinik Diabetes Mellitus, dan
Poliklinik Umum.
2. Pasien yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan riwayat HIV/AIDS.
4.4 SAMPEL DAN POPULASI PENELITIAN
Rumus populasi infinit :
31
No =
Zα = Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P = Prevalensi kejadian DM-TB : 0,22 (Tahun 2014)
Nilai P didapatkan dari 23 orang dengan DM-TB disepanjang
tahun 2014 dibagi dengan jumlah kunjungan rata-rata tahun 2014
(karena data pasien baru DM tahun 2014) sebanyak 105 orang
Q = Prevalensi atau proporsi yang tidak mengalami peristiwa yang
diteliti :
1-0,22 = 0,78
d = Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p >10% adalah 0,05
→ No = 1,962 x 0,22 x 0,78 = 263,69, dibulatkan menjadi 264 orang
0,0025
Rumus populasi finit
n =
n = Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit
n0 = Besar sampel dari populasi yang infinit 264 orang
N = Besar sampel populasi finit
→ n = 264 = 75,121
(1 + 264/105)
antisipasi drop out = 10% x n
32
antisipasi drop out = 10% x 75,121 = 7,5
Total sampel = n + antisipasi drop out
total sampel = 75,121 + 7,5 = 82,6 dibulatkan 83 sampel
→ Jadi jumlah total sampel minimal yang diteliti sebanyak 83 sampel
Jumlah sampel dibulatkan menjadi 100 sampel.
4.5 METODE PENGUMPULAN DATA
4.5.1 Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari subyek yaitu berupa
wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner berisi
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan variabel yang akan
diteliti.
4.5.2 Data Sekunder
Data yang diperoleh dari register subyek di Puskesmas
Kecamatan Pasar Minggu, dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip
resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data
primer penelitian.
4.6 INSTRUMEN PENELITIAN
No. INSTRUMEN FUNGSI INSTRUMEN
1. Statue Meter Alat untuk mengukur tinggi badan subyek
2. Timbangan Alat Untuk mengukur berat badan subyek
3. Status pasien Untuk memastikan diagnosis subyek
4. Kuisioner Untuk menyaring subyek dengan Diabetes Mellitus,
Tuberkulosis Paru, atau tidak keduanya
33
4.7 PENGOLAHAN DATA
1. Cleaning
Catatan dan kuisioner yang terkumpul diperiksa kelengkapannya,
apakah data yang terkumpul sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti.
Kelengkapan jawaban, kejelasan tulisan, serta kesesuaian jawaban di
kuesioner diperhatikan dan dinilai.
2. Coding and entry
Memberi kode atau label pada data yang akan dianalisa. Pengkodean
dilakukan untuk memberikan kode yang spesifik untuk tiap jawaban dan
anamnesis subyek dan memudahkan proses pencatatan data. Hasil
pengkodean data kemudian dimasukkan ke dalam komputer untuk
dianalisa.
4.8 ANALISIS DATA
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan frekuensi dan
presentase dari tiap variabel yang diteliti. Hasil analisis disajikan dalam
bentuk tabel atau diagram.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melakukan analisis terhadap dua
variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Uji hipotesis
menggunakan statistika non-parametrik dengan Uji Chi Square (x2).
Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah p<0,05. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0.
4.9 PENYAJIAN DATA
Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :
a. Tekstular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat
b. Tabular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel
34
4.10 ALUR KERJA PENELITIAN
4.11 ETIKA PENELITIAN
Etika penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kerahasiaan
data subyek penelitian yang telah bersedia mengikuti penelitian ini. Data yang
dimaksud didapatkan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden, yang
sebelumnya telah memberi persetujuan tertulis untuk diikutsertakan sebagai
subyek penelitian melalui informed consent. Pengisian informed consent
dilakukan secara sukarela setelah responden mendapatkan informasi serta
penjelasan secara adekuat dari peneliti mengenai penelitian yang sedang
dilakukan.
35
Pengumpulan data
Subyek
Screening DM dan TB dengan Kuisioner yang
diarahkan oleh peneliti dan wawancara agar tidak terjadi kesalahan dalam pengisian kuisioner dan menentukan
kelompok variabel
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada lansia di Kecamatan Pasar Minggu pada 16
Februari – 28 Februari 2015. Penelitian ini mengambil sampel secara consecutive
sampling. Sampel yang diteliti pada penelitian ini sebanyak 100 subyek.
5.1 Gambaran Karakteristik Individu
Variabel n (%)1. Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun
3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas
42 (42,0)58 (58,0)
17 (17,0)11 (11,0) 19 (19,0)34 (34,0) 19 (19,0)
7 (7,0)53 (53,0)32 (32,0)8 (8,0)
Tabel 2. Gambaran Karakteristik Individu seluruh Subyek
Berdasarkan tabel karakteristik karakteristik individu seluruh sampel
di atas, jenis kelamin, subyek dibagi menjadi dua kategori yaitu laki-laki dan
perempuan. Terdapat 42% subyek yang berjenis kelamin laki-laki dan 58%
subyek yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh,
terdapat 7% subyek yang memiliki gizi kurang, 53% subyek gizi normal,
32% subyek gizi lebih, dan 8% subyek obesitas.
36
5.2 Gambaran Karakteristik Subyek TB
Variabel n (%)1. Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun
3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas
6 (50,0)6 (50,0)
6 (50,0)0 (0,0) 4 (33,3)1 (8,3)1 (8,3)
3 (25,0)6 (50,0)1 (8,3)2 (16,7)
Tabel 3. Gambaran Subyek TB
Berdasarkan tabel di atas, terdapat 50% subyek yang berjenis kelamin
laki-laki dan 50% subyek yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan
Indeks Massa Tubuh, terdapat 25% subyek yang memiliki gizi kurang, 50%
subyek gizi normal, 8,3% subyek gizi lebih, dan 16,7% subyek obesitas.
5.3 Gambaran Karakteristik Subyek DM
Variabel n (%)1. Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun
3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas
11 (33,3)22 (66,7)
0 (0,0)1 (3,0) 3 (9,1)
17 (51,5)12 (36,4)
0 (0,0)13 (39,4)20 (60,6)0 (0,0)
Tabel 4. Gambaran Subyek DM
Berdasarkan tabel di atas, terdapat 33,3% subyek yang berjenis
kelamin laki-laki dan 66,7% subyek yang berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, tidak ada subyek yang memiliki gizi
37
kurang, 39,4% subyek gizi normal, 60,6% subyek gizi lebih, dan tidak ada
subyek obesitas.
5.4 Gambaran Karakteristik Subyek DM-TB
Variabel n (%)1. Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun
3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas
6 (66,7)3 (33,3)
0 (0,0)2 (22,2) 1 (11,1)5 (55,5)1 (11,1)
0 (0,0)5 (55,6)3 (33,3)1 (11,1)
Tabel 5. Gambaran Subyek DM-TB
Berdasarkan tabel di atas, terdapat 66,7% subyek yang berjenis
kelamin laki-laki dan 33,3% subyek yang berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, tidak ada subyek yang memiliki gizi
kurang, 55,6% subyek memiliki gizi normal, 33,3% subyek gizi lebih, dan
11,1% subyek obesitas.
5.5 Hubungan Diabetes Mellitus tipe II dengan Tuberkulosis Paru
TB (+) TB (-) Jumlah Nilai p
DM (+) 9 (21,4%) 33 (78,6%) 42 (100%)0,929
DM (-) 12 (20,7%) 46 (79,3%) 58 (100%)
Tabel 6. Hubungan antara DM tipe II dengan TB Paru
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 100 subyek yang dibagi menjadi
2 kategori, yaitu DM (+) dan (-). Dari 42 subyek yang memiliki DM (+), 9
subyek (8,8%) juga memiliki TB (+), 33 subyek (33,2%) didapatkan TB (-).
38
Dari 58 subyek yang DM (-), 12 subyek (12,2%) memiliki TB (+), 46 subyek
(45,8%) didapatkan TB (-). Uji statistik ini bermakna (p = 0,008).
5.6 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tuberkulosis Paru
TB (+) TB (-) Jumlah Nilai p
Laki-Laki 12 (28,6%) 30 (71,4%) 42 (100%)0,114
Perempuan 9 (15,5%) 49 (84,5%) 58 (100%)
Tabel 7. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan TB Paru
Tabel di atas memperlihatkan frekuensi jenis kelamin yaitu Laki-Laki
dan Perempuan pada kejadian TB Paru. Dari 42 subyek Laki-laki, 12 subyek
(28,6%) memiliki TB (+), 30 subyek (71,4%) didapatkan TB (-). Dari 58
subyek Perempuan, 9 subyek (15,5%) memiliki TB (+), 49 subyek (84,5%)
didapatkan TB (-). Uji statistik ini tidak bermakna (p = 0,114).
5.7 Hubungan Usia dengan Tuberkulosis Paru
TB (+) TB (-) Nilai p
< 30 tahun 6 (28,6%) 11 (13,9%)
> 0,05
31-40 tahun 2 (9,5%) 9 (11,4%)
41-50 tahun 5 (23,8%) 14 (17,7%)
51-60 tahun 6 (28,6%) 28 (35,4%)
> 60 2 (9,5%) 17 (21,5%)
Jumlah 21 (100%) 79 (100%)
Tabel 8. Hubungan antara Usia dengan TB Paru
Tabel di atas memperlihatkan frekuensi umur pada kejadian TB Paru.
28,6% < 30 tahun, 9,5% 31-40 tahun, 23,8% 41-50 tahun, 28,6% 51-60
tahun, dan 9,5% > 60 tahun. Uji statistik ini tidak bermakna (p = > 0,05).
39
5.8 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Tuberkulosis Paru
TB (+) TB (-) Nilai p
Kurang 3 (14,3%) 4 (5,1%)
> 0,05
Normal 11 (52,4%) 42 (53,2%)
Lebih 4 (19,0%) 28 (35,4%)
Obesitas 3 (14,3%) 5 (6,3%)
Jumlah 21 (100%) 79 (100%
Tabel 9. Hubungan antara IMT dengan TB Paru
Tabel di atas memperlihatkan frekuensi Indeks Massa Tubuh subyek
pada kejadian TB Paru. 14,3% gizi kurang, 52,4% gizi normal, 19% gizi lebih
dan 14,3% obesitas. Uji statistik ini tidak bermakna (p = > 0,05).
40
BAB VI
PEMBAHASAN
Studi ini dilakukan untuk menilai hubungan antara tuberkulosis paru dengan
diabetes mellitus tipe II, terutama pada pasien yang berumur 40-60 tahun.
6.1 Hubungan TB Paru dengan DM tipe II
Pada kelompok subyek dengan DM tipe II (+) terdapat sebanyak 21,4%
yang memiliki TB (+). Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna (p>0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kejadian
TB Paru dengan DM tipe II di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Hasil studi
ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jeon dan Murray
(2008), dimana hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara
DM tipe II dengan meningkatnya kejadian TB Paru.
6.2 Hubungan TB Paru dengan Karakteristik Individu
Pada kelompok subyek laki-laki terdapat sebanyak 28,6% yang memiliki
TB (+) dan perempuan 15,5%. Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna
(p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna
antara kejadian TB Paru dengan jenis kelamin di Puskesmas Kecamatan Pasar
Minggu.
Pada kelompok subyek TB (+) terdapat sebanyak 28,6% yang < 30 tahun
dan 51-60 tahun. Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna (p>0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kejadian TB
Paru dengan Usia pada subyek di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.
Pada kelompok subyek TB (+) terdapat sebanyak 52,4% yang memiliki gizi
normal. Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna (p>0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kejadian TB Paru dengan
41
BMI pada subyek di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Hasil studi ini tidak
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyantomo (2014), dimana
hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa adanya hubungan antara status gizi
dan kejadian TB Paru.
6.2 Bias Penelitian
Sampel yang diteliti adalah subjek yang berumur > 20 tahun yang datang ke
Poliklinik PAL, Poliklinik DM dan Poli Umum di Kecamatan Pasar Minggu yang
diambil dengan cara consecutive sampling. Bias yang terjadi adalah bahwa
poliklinik DM hanya melayani 3 hari dalam seminggu, dan ada 1 hari libur
sehingga sampel DM kurang banyak. Lainnya adalah, dikarenakan keterbatasan
waktu penelitian, sehingga tidak semua subyek yang diduga TB Paru dapat
diperiksa sputum. Sampel yang didapatkan yaitu sebanyak 100 sampel dari
minimum 83 sampel.
42
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Tuberkulosis Paru
dengan DM tipe II. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan subyek dengan DM
tipe II yang memiliki TB Paru sebanyak 21,4% dari seluruh subyek DM tipe II.
Indeks massa tubuh subyek DM tipe II dengan TB Paru tidak ada yang memiliki
gizi kurang, tiga subyek gizi berlebih, satu subyek obesitas dan lima lainnya
memiliki gizi normal.
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Tuberkulosis Paru
dengan jenis kelamin. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian
Tuberkulosis Paru dengan usia. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
kejadian Tuberkulosis Paru dengan indeks massa tubuh.
Subyek dengan Diabetes Mellitus tipe II dan Tuberkulosis Paru ditemukan
paling banyak pada subyek dalam rentang umur 40-60 tahun, yaitu sebanyak 6
subyek (66,6%) dari 9 subyek dengan DM dan TB Paru.
Dari penelitian ini hanya meneliti hubungan antara kejadian Tuberkulosis
Paru pada subyek Diabetes Mellitus tipe II. Didapatkan kemungkinan adanya
faktor biologis dan lingkungan pada subyek penelitian, namun pada penelitian ini
tidak diteliti tentang faktor biologis dan lingkungan yang berhubungan dengan
angka kejadian TB Paru dengan DM tipe II.
7.2 Saran
Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
kejadian TB Paru pada subyek dengan DM tipe II.
Bagi peneliti lain yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini dengan
melakukan penelitian lanjutan untuk memastikan apakah benar bahwa kejadian
TB Paru tidak berhubungan dengan DM tipe II, sebaiknya perbesar jumlah sampel
43
dan perpanjang waktu penelitian agar bias yang terjadi lebih sedikit. Bisa
dipertimbangkan untuk melakukan penelitian dengan metode kasus-kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva:
World Health Organization; 2011.
2. Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin
NS, Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed
Central Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.
3. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus:
convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus.
Dalam: Price SA, Wilson LM, Editor. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2005; 1260-70
5. Beckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and Atherosclerosis:
Epidemiology, Pathophysiology, and Management. JAMA. 2002; 287(19):
2570-2581. doi:10.1001/jama.287.19.2570.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus: Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
7. Lin Y, Sun Z. Current views on type 2 diabetes. J Endocrinol 204 (1) 1-11,
doi: 10.1677/JOE-09-0260.
8. King GL.The Role of Inflammatory Cytokines in Diabetes and Its
Complications. J Periodontol. 2008 Aug;79(8 Suppl):1527-34. doi:
10.1902/jop.2008.080246.
9. Sahat H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya
Penanggulangannya. Jumal Ekologi Kesehatan .2010. Vol. 9: 1340 -1346
10. Asti R. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi .Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKU.2009:6-8
11. Thomas S. Pemantauan Efektivitas Obat Anti Tuberkulosis Berdasarkan
Pemeriksaan Sputum pada Penderita Tuberkulosis paru.Unissula
Semarang.Jurnal Kesehatan. 2010; vol 3:3-4
44
12. Restrepo BI, Fisher-Hoch SP, Pino PA, Salinas A, Rahbar MH, Mora F, et
al. Tuberculosis in poorly controlled type 2 diabetes: Altered cytokine
expression in peripheral white blood cells. Clin Infect Dis. 2008; 47:634-
41.
13. Jeon CY, Murray MB (2008) Diabetes Mellitus Increases the Risk of
Active Tuberculosis: A Systematic Review of 13 Observational Studies.
PLoS Med 5(7): e152. doi:10.1371/journal.pmed.0050152
14. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus :
convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
15. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of
pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28(1):70.
16. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A,
Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis
in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10:696-700.
17. Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis: a review of the role of
optimal glycemic control. Journal of diabetes & metabolic disorders.
2012;11(28):1-4.
18. Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A, Lönnroth K, et al.
The impact of diabetes on tuberculosis treatment outcomes: A systematic
review. BMC Medicine. 2011; 9:81
45
LAMPIRAN 1
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU
DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE II
Tanggal Wawancara :
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Umur Responden : …………………………………………
2. Tinggi Badan / Berat badan : …………………………………………
3. Alamat Rumah Respoden : …………………………………………
4. Pekerjaan Respoden : …………………………………………
5. Pendidikan Terakhir :
A. DIABETES MELLITUS TIPE II
Pada pernyataan di bawah ini, baca dan simaklah kalimat tersebut dengan baik.
Kemudian berilah tanda checklist ( √ ) pada kalimat ya atau tidak.
No. Pertanyaan Ya Tidak
1.Apakah Anda sering kencing di malam hari? (> 7
kali/malam)
2. Apakah Anda sering makan lebih dari 3 kali?
3. Apakah Anda sering merasa lapar?
4. Apakah Anda sering minum lebih dari biasanya?
5. Apakah Anda merasa berat badan Anda turun banyak?
6. Apakah Anda mereasa sering kesemutan lebih dari
biasanya?
46
SD
SMP
SMA
Sarjana
7.Apakah Anda merasa penglihatan Anda kadang
buram?
8.Apakah Anda merasa kurang bergairah saat
berhubangan dengan pasangan?
9.
Apakah Anda pernah merasa bau mulut Anda manis
seperti bau buah, meskipun Anda tidak habis memakan
sesuatu yang manis?
10.
Apakah Anda pernah didiagnosa kencing manis/
Diabetes Mellitus oleh tenaga kesehatan
(dokter/perawat/bidan)?
11. Apakah Anda pernah mengecek kadar gula darah?
12. Jika pernah, apakah gula darah Anda tinggi?
13.Apakah Anda memiliki riwayat diabtetes mellitus di
dalam keluarga?
14.Apakah Anda pernah mengalami serangan atau
gangguan jantung?
15. Apakah Anda pernah mengalami gangguan ginjal?
B. TUBERKULOSIS
Pada pernyataan di bawah ini, baca dan simaklah kalimat tersebut dengan baik.
Kemudian berilah tanda checklist ( √ ) pada kalimat ya atau tidak.
No. Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah anda sedang mengalami batuk
berdahak selama lebih dari 3 minggu?
2. Apakah dada anda terasa nyeri dan sesak saat
batuk?
3. Apakah batuk anda berdarah?
4. Apakah nafsu makan anda menurun dan berat
badan anda berkurang?
5. Apakah berat badan anda berkurang meskipun
nafsu makan tidak menurun?
6. Apakah anda merasa letih meskipun sudah
beristirahat seperti biasa?
47
7. Apakah anda merasa ada demam naik-turun
atau hilang-timbul selama 1 bulan terakhir?
8. Apakah anda berkeringat pada malam hari
walaupun tanpa kegiatan?
9. Apakah anda pernah didiagnosis menderita TB
Paru melalui pemeriksaan dahak dan/atau foto
paru, oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/
bidan)?
10. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anda pernah
didiagnosis menderita TB Paru melalui
pemeriksaan dahak dan/atau foto paru, oleh
tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)?
Riwayat kontak
No. Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah di dalam keluarga anda ada yang
mengalami gejala tuberkulosis paru seperti:
batuk berdahak, batuk berdarah, nyeri dada
yang menahun?
2. Jika “Ya” apakah anda tinggal serumah dengan
penderita tersebut?
3. Apakah teman atau tetangga anda ada yang
mengalami gejala tuberkulosis paru seperti:
batuk berdahak, batuk berdarah, nyeri dada
yang menahun?
4. Jika “Ya” apakah anda pernah kontak atau
berhubungan langsung dengan penderita?
Paparan Asap Rokok
No. Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah anda merokok?
48
2. Jika “Ya” apakah anda menghabiskan 1
bungkus rokok atau lebih dalam sehari?
3. Apakah ada perokok yang tinggal serumah
dengan anda?
4. Apakah anda menutup hidung dan mulut anda
saat bertemu dengan orang yang sedang
merokok?
49
LAMPIRAN 2
GAMBARAN DISTRIBUSI KARAKTERISTIKINDIVIDU DAN VARIABEL
STATISTIK
Jenis Kelamin
Usia BMI Subyek DM Subyek TB
N Valid 100 100 100 100 100
Missing 0 0 0 0 0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid L 42 42.0 42.0 42.0
P 58 58.0 58.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Usia
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid < 30 17 17.0 17.0 17.0
31-40 11 11.0 11.0 28.0
41-50 19 19.0 19.0 47.0
51-60 34 34.0 34.0 81.0
> 60 19 19.0 19.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
BMI
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Kurang 7 7.0 7.0 7.0
Normal 53 53.0 53.0 60.0
Lebih 32 32.0 32.0 92.0
Obesitas 8 8.0 8.0 100.0
50
Usia
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid < 30 17 17.0 17.0 17.0
31-40 11 11.0 11.0 28.0
41-50 19 19.0 19.0 47.0
51-60 34 34.0 34.0 81.0
> 60 19 19.0 19.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Subyek DM
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Ya 42 42.0 42.0 42.0
Tidak 58 58.0 58.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Subyek TB
Frequency Percent Valid PercentCumulative
Percent
Valid Ya 21 21.0 21.0 21.0
Tidak 79 79.0 79.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
51
Subyek DM * Subyek TB Crosstabulation
Subyek TB
TotalYa Tidak
Subyek DM
Ya Count 9 33 42
% within Subyek DM
21.4% 78.6% 100.0%
Tidak Count 12 46 58
% within Subyek DM
20.7% 79.3% 100.0%
Total Count 21 79 100
% within Subyek DM
21.0% 79.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .008a 1 .929
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .008 1 .929
Fisher's Exact Test 1.000 .560
52
Subyek DM * Subyek TB Crosstabulation
Subyek TB
TotalYa Tidak
Subyek DM
Ya Count 9 33 42
% within Subyek DM
21.4% 78.6% 100.0%
Tidak Count 12 46 58
% within Subyek DM
20.7% 79.3% 100.0%
Total Count 21 79 100
Linear-by-Linear Association
.008 1 .929
N of Valid Cases 100
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.82.
b. Computed only for a 2x2 table
Gender Subyek * Subyek TB Crosstabulation
53
Subyek TB
TotalYa Tidak
Gender Subyek Laki-Laki Count 12 30 42
% within Gender Subyek
28.6% 71.4% 100.0%
Perempuan Count 9 49 58
% within Gender Subyek
15.5% 84.5% 100.0%
Total Count 21 79 100
% within Gender Subyek
21.0% 79.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig. (2-
sided)Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2.502a 1 .114
Continuity Correctionb 1.777 1 .182
Likelihood Ratio 2.474 1 .116
Fisher's Exact Test .139 .092
Linear-by-Linear Association
2.477 1 .116
N of Valid Cases 100
54
Subyek TB
TotalYa Tidak
Gender Subyek Laki-Laki Count 12 30 42
% within Gender Subyek
28.6% 71.4% 100.0%
Perempuan Count 9 49 58
% within Gender Subyek
15.5% 84.5% 100.0%
Total Count 21 79 100
Kolmogorov-Smirnov Subyek TB*Usia
Test Statisticsa
Subyek TB
Most Extreme Differences
Absolute .171
Positive .171
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z .442
Asymp. Sig. (2-tailed) .990
a. Grouping Variable: Usia Subyek
55
Test Statisticsa
Subyek TB
Most Extreme Differences
Absolute .087
Positive .000
Negative -.087
Kolmogorov-Smirnov Z .303
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. Grouping Variable: Usia Subyek
Test Statisticsa
Subyek TB
Most Extreme Differences
Absolute .071
Positive .071
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z .249
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. Grouping Variable: Usia Subyek
Kolmogorov-Smirnov Subyek TB*BMI
Test Statisticsa
Subyek TB
Most Extreme Differences
Absolute .221
Positive .000
Negative -.221
Kolmogorov-Smirnov Z .550
Asymp. Sig. (2-tailed) .923
a. Grouping Variable: BMI Subyek
56
Test Statisticsa
Subyek TB
Most Extreme Differences
Absolute .221
Positive .000
Negative -.221
Kolmogorov-Smirnov Z .550
Asymp. Sig. (2-tailed) .923
Test Statisticsa
Subyek TB
Most Extreme Differences
Absolute .250
Positive .000
Negative -.250
Kolmogorov-Smirnov Z .632
Asymp. Sig. (2-tailed) .819
a. Grouping Variable: BMI Subyek
57