hasil penelitian

82
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih menjadi beban kesehatan masyarakat yang di seluruh dunia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB paru secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB (1) . Pengendalian TB Paru saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438 juta di tahun 2030 (2) . Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Sedangkan penduduk Indonesia yang terdiagnosis TB Paru menurut Riskesdas 2013 adalah 0,4 persen. 1

Upload: yehezkiel-kurniawan

Post on 22-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ehem

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi yang sampai

saat ini masih menjadi beban kesehatan masyarakat yang di seluruh dunia.

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011

mengenai perkiraan kasus TB paru secara global disebutkan bahwa pada

tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun,

sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB (1).

Pengendalian TB Paru saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala

seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di

dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah

menjadi 438 juta di tahun 2030 (2).

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2013, prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter

tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi

Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Sedangkan penduduk

Indonesia yang terdiagnosis TB Paru menurut Riskesdas 2013 adalah 0,4

persen.

Dari Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu

didapatkan data bahwa pasien BTA (+) baru dari tahun ke tahun terus

mengalami peningkatan. Dimulai dari tahun 2009 dengan pasien BTA (+)

baru sebanyak 177 orang, menurun di tahun 2010 menjadi 150 orang,

kemudian tahun-tahun selanjutnya mengalami peningkatan. 2011 jumlah

pasien BTA (+) baru sebanyak 197 orang, tahun 2012 sebanyak 205 orang,

tahun 2013 sebanyak 221 orang, dan tahun 2014 sebanyak 251 orang.

Dari berbagai penelitian sebelumnya dipaparkan bahwa DM dapat

mempengaruhi gejala klinis, lambatnya respon pengobatan TB dan

meningkatkan mortalitas pasien TB. Tidak sedikit juga yang mengalami

reaktivasi (3).

1

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada

hubungan antara kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan

Pasar Minggu dengan diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit

penyertanya. Selain itu karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin,

dan indeks massa tubuh pasien juga akan dihitung.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka

dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah “Apakah terdapat

hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe

II pada pasien berumur 40-60 tahun di Kecamatan Pasar Minggu?”

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Memberikan informasi mengenai ada atau tidaknya

hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes

mellitus tipe II sebagai penyakit penyertanya.

1.1.1 Tujuan Khusus

1. Mengetahui adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis paru

dengan diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit penyerta di

Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.

2. Mengetahui prevalensi kejadian tuberkulosis paru dengan

diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit penyerta pada

pasien berumur 40-60 tahun di Puskesmas Kecamatan Pasar

Minggu.

3. Mengetahui karakteristik individu pasien-pasien tuberkulosis

paru dengan diabetes mellitus

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN

1. Adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan

diabetes mellitus tipe II sebagai penyakit penyerta.

2

2. Kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe II lebih

banyak didapatkan pada pasien dengan golongan umur 40-60

tahun.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

a. Bagi Instansi / Profesi Kesehatan

- Memberikan informasi mengenai data ada-tidaknya hubungan

antara kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe II

sebagai penyakit penyerta.

- Memberikan informasi kepada Puskesmas Kecamatan Pasar

Minggu dan petugas kesehatan dalam melakukan intervensi

selanjutnya dalam mengurangi angka kejadian tuberkulosis pada

pasien yang memiliki diabetes mellitus tipe II.

b. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

- Penelitian ini dapat digunakan sebagai penelitian pendahulu dan

data yang didapat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai

dasar untuk penelitian selanjutnya.

- Memberikan tambahan pengetahuan bagi rekan-rekan yang

sedang menjalani kepaniteraan klinik dan bagi mereka yang

membutuhkan informasi mengenai hubungan antara

kejadian tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus tipe II

sebagai penyakit penyerta.

c. Bagi Masyarakat

- Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hubungan antara

diabetes mellitus tipe II dengan kejadian tuberkulosis paru.

- Membantu masyarakat, terutama yang memilki diabetes mellitus

tipe II, untuk lebih mengetahui apa tindakan yang sebaiknya

dilakukan untuk mencegah terjangkitnya tuberkulosis paru.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELLITUS TIPE II

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan kronik

pada metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan

dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,

disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut (4). Gambaran

patologik DM sebagian besar dapat dihubungkan dengan salah satu efek

utama akibat kurangnya insulin, yaitu berkurangnya pemakaian glukosa

oleh sel-sel tubuh. Peningkatan metabolisme lemak, yang adalah

abnormal, dapat meningkatkan kesempatan mengendapnya kolesterol pada

dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis serta

berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (5).

2.1.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi

akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit

menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di

hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap

sebagai non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (6).

2.1.2 Etiologi

DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin.

Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang

pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat

produksi glukosa oleh hati. Sel β pankreas tidak mampu mengimbangi

resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi insulin relatif.

Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada

rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan

perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami

desensitisasi terhadap glukosa.

4

2.1.3 Patofisiologi

a. Resistensi Insulin

Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target

perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM

tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas.

Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang

sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya

menyebabkan hiperglikemia (7).

b. Gangguan Sekresi Insulin

Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif

kurang berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada

awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal

dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin

yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang

cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun (7).

Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya

gangguan sekresi insulin pada DM II, dan bukan defisiensi sintesa insulin.

Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi yang ringan

sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I.

2.1.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II

antara lain (6):

a. Riwayat Genetik

Diabetes adalah penyakit yang diturunkan menurut silsilah

keluarga yang ada mengidap diabetes.

b. Usia

Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan

fisiologi yang secara drastis. Probabilitas DM tipe II sering muncul

setelah usia 30 tahun dan pada mereka yang dengan berat badan

berlebih sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya

5

dislipidemia, yang juga dapat meningkatkan kemungkinan

terjadinya diabetes mellitus.

c. Stress

Stres kronis cenderung membuat seseorang makan

makanan yang manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak

seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara

untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj

mereka yang berisiko mengidap penyakit DM tipe II.

d. Diet Tidak Sehat

Pada penderita DM tipe II dapat terjadi obesitas. Obesitas

lebih disebabkan oleh jumlah konsumsi makanan yang terlalu

banyak dan sering karena gejala polifagia, sehingga perlahan-lahan

asupan glukosa meningkat dan disimpan dalam bentuk lemak.

2.1.5 Gejala Klinis

Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami

peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus

(polidipsi), kesemutan atau kebas pada ujung-ujung jari kaki atau tangan,

kehilangan tenaga, merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan

tidak diketahui penyebabnya, luka yang sukar sembuh. Biasanya terjadi

pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya pada remaja semakin

meningkat dari tahun ke tahun (1).

Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai

keletihan akibat kerja atau karena sudah berumur. Selebihnya, gejala

diabetes tidak akan muncul secara spesifik pada tampilan klinis.

2.1.6 Diagnosis

Kriteria diagnosis DM pada lansia tidak berbeda dengan kriteria

pada populasi umumnya di dalam masyarakat. Skrining terhadap

6

kelompok umur diatas 40 tahun sangat penting agar DM tidak diketahui

saat sudah komplikasi, karena banyak penderita DM dewasa yang tidak

terlihat jelas gejala atau keluhannya.

Kriteria diagnostik DM menurut PERKENI 2011 atau yang

dianjurkan ADA (American Diabetes Association) 2010 yaitu bila terdapat

salah satu atau lebih hasil pemeriksaan gula darah dibawah ini (6):

a. Kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl

b. Kadar gula darah puasa lebih atau sama dengan 126 mg/dl

c. Kadar glukosa plasma lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam

sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral.

2.1.7 Komplikasi

Akut

Ketoasiosis Diabetikum (KAD) : sering disebabkan oleh

penghentian asupan insulin, tetapi dapat disebabkan oleh akibat dari

aktifitas stress fisik (infeksi dan pembedahan) atau emosionil meskipun

terapi insulin telah diberikan. Kekurangan insulin pada DM dapat

mengakibatkan pembakaran glukosa berkurang, produksi glukosa dari

hepar meningkat akibat sintesa protein berkurang serta pembentukan zat

asam lemak berkurang sedangkan pemecahan zat asam lemak meningkat

sehingga kadar aseton di dalam darah meningkat, sehingga darah

menjadi asam. Disamping itu dengan meningkatnya katabolisme protein

maka dua macam asam amino yang mempunyai efek ketogenik akan

meningkat yaitu leusin dan isoleusin, benda-benda ketogenik ini akan

menurunkan Ph plasma, buffer bicarbonate dan timbul asidosis

metabolik (6).

Kronik

Katarak

Glukosa direduksi menjadi sorbitol didalam sel yang mengandung

enzim aldosareduktase. Alcohol heksahidrat ini tidak dapat melalui

7

membrane sel dan salah satu akibatnya adalah konsentrasinya didalam

sel akan meningkat dan sel akan membengkak, akibat penumpukan

sorbotol di lensa mata, terjadi penarikan air yang selanjutnya akan

merusak kejernihan lensa atau perkabutan lensa, yaitu katarak (8).

Polinueropati

Penumpukan sorbitol di sel schwan dan neuron akan mengurangi

konduksi saraf terutama mempengaruhi saraf otonom, reflex dan

sensorik (8).

Rentan Terhadap Infeksi

Sel yang tidak dapat mengambil glukosa dalam jumlah cukup akan

menyusut karena hiperosmolar ekstrasel sehingga fungsi limfosit yang

telah menyusut akan terganggu (termasuk pembentukan superoksida

yang penting dalam system imun) karena itu pada pasien diabetes rentan

terhadap infeksi.

Risiko Trombosis Meningkat

Hiperglikemia meningkatkan pembentukan protein plasma yang

mengandung gula seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin serta

faktor pembekuan V-VIII, dengan cara ini kecendrungan pembekuan dan

viskositas darah akan meningkat sehingga risiko thrombosis meningkat.

Mikroangiopati

Dengan mengikat glukosa ke gugus protein yang bebas amino akan

terjadi reaksi amadori yang bersifat irevesibel yakni glikosilasi lanjut

produk akhir (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing-masing

di membrane sel sehingga dapat mengakibatkan pengendapan kolagen di

membrane basalis pembuluh darah. Perubahan ini menyebabkan

penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan

penyempitan lumen (mikroangiopati). Perubahan terjadi pada retina juga

sebagai akibat mikroangiopati yang nantinya menyebabkan retinopati, di

8

ginjal akan terjadi sklerosis glomerolus yang dapat menyebabkan

proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kehilangan

glomerulus, hipertensi dan gagal ginjal (8).

Makroangiopati

Bersamaan dengan peningkatan VLDL di dalam darah dan

penningkatan kecendrungan pembekuan darah ditambah adanya

hipertensi akan mendorong terbentuknya makroangiopati yang dapat

menyebabkan infark miokard, infark serebri, dan penyakit pembuluh

darah perifer (8).

2.1.8 Pencegahan

Pencegahan pada diabetes ada 3 tahap :

Pencegahan primer

Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegahan

timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk

menjadi diabetes atau pada populasi umum.

Pencegahan sekunder

Menemukan pengidap DM sedini mungkin. Untuk dapat

dilakukan upaya pencegahan komplikasi atau sudah ada

komplikasi yang masih reversible.

Pencegahan tersier

Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecatatan

akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi :

- Mencegah timbulnya komplikasi

- Mencegah progresi daripada komplikasi itu supaya tidak

menjadi kegagalan organ

- Mencegah kecacatan tubuh

9

Pencegahan lainnya adalah :

Diet rendah karbohidrat dan glukosa

Mengontrol gula darah secara teratur

Menjalanipola hidup yang sehat seperti olahraga yang teratur,

menghentikan konsumsi minuman bersoda dan menggantinya

dengan air putih

Taat dan teratur menjalani pengobatan.

2.1.9 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan jangka pendeknya adalah

menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman

dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Tujuan jangka

panjangnya adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Sedangkan tujuan

akhirnya adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM (6).

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian

glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui

pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan

mandiri dan perubahan perilaku (6).

Pilar Penatalaksanaan DM

a. Edukasi

Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada penyandang diabetes

seperti mengikuti pola makan sehat, mengikuti kegiatan jasmani,

menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara

aman dan teratur. Pasien diharapkan melakukan Pemantauan Glukosa

Darah Mandiri (PGDM) bila mampu.

b. Terapi nutrisi medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama

dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-

10

masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,

terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah

atau insulin.

c. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan

dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari

obat oral dan obat suntik.

Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO di bagi menjadi 5 golongan:

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)

- Sulfonilurea

Efek utama: meningkatkan sekresi insulin oleh sel-β

pankreas. Pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal

dan kurang. Diminum 15 – 30 menit sebelum makan

- Glinid

Cara kerja sama dengan sulfonilurea. Obat ini diabsorpsi

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara

cepat melalui hati. Pemberian obat tidak tergantung pada waktu

makan.

2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

- Tiazolidindion

Efek utama: menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan

ambilan glukosa di perifer.

Kontraindikasi: gagal jantung kelas I – IV (memperberat edema/

retensi cairan) dan gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati

secara berkala.

3. Penghambat glukoneogenesis

- Biguanid (Metformin)

11

Efek utama: mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)

dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama digunakan

pada penyandang diabetes gemuk.

Kontraindikasi: gangguan faal ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)

dan hati, serta pasien-pasien yang cenderung mengalami

hipoksemia (mis: penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal

jantung).

Efek samping: mual.

Pemberian: saat atau setelah makan.

4. Penghambat absorpsi glukosa

Cara kerja: mengurangi absorpsi glukosa di usus halus.

Efek: menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Efek samping: kembung dan fatulens.

Pemberian bersamaan dengan suapan pertama saat makan.

5. DPP-IV inhibitor

Glukagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone

peptide yang dihasilkan oleh sel L mukosa usus. Peptide ini

disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke

dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat

pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glucagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim

dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi GLP-1-(9,36)-amide yang

tidak aktif.

Pemberian bersama makan atau sebelum makan

Cara pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan

secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat

diberikan sampai dosis optimal.

Suntikan

1. Insulin. Indikasi pemberiannya :

- Penurunan berat badan yang cepat.

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.

12

- Ketoasidosis diabetik.

- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.

- Hiperglikemia dengan asidosis laktat.

- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.

- Stress berat (infeksi sitemik, operasi besar, IMA, stroke).

- Kehamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan.

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.

Efek samping terapi insulin:

- Hipoglikemia

- Reaksi imunologi, dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi

insulin.

2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan

insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan

berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin

ataupun sulfonilurea. Efek lainnya adalah menghambat pelepasan

glucagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Efek

samping: rasa sebah dan muntah.

Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,

untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar

glukosa darah. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun

fixed combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam

obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila

sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi

tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin,

biasanya insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang)

yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dosis awal insulin kerja

13

menengah adalah 6-10 unit yang bisa diberikan sekitar jam 22.00, kemudian

dievaluasi dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila

kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, OHO dihentikan dan

diberikan terapi kombinasi insulin.

2.2 TUBERKULOSIS PARU

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang berbentuk batang (basil).

Penularan penyakit ini melalui dahak penderita yang mengandung basil

tuberkulosis paru tersebut. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air

ludah beterbangan di udara yang mengandung basil TBC dan terhisap oleh

orang yang sehat dan masuk ke dalam paru-parunya. Kejadian kasus

tuberkulosis paru ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat

dengan sosial ekonomi lemah (9).

Terjadinya peningkatan kasus TB dipengaruhi oleh daya tahan

tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian

lingkungan tempat tinggal. TB juga mudah menular pada mereka yang

tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya

buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman

TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan dan kecepatan

mendapatkan pengobatan juga mempengaruhi tingkat kesembuhan

penderita TB. Penderita seringkali datang berobat sudah dalam keadaan

terlambat dan banyak komplikasi, hal ini membuat penderita tidak sabar

dalam melakukan pengobatan dan ingin cepat sembuh. Disinilah yang

membuat kebanyakan keluarga penderita merasa jenuh dan bosan dalam

mencari/menjalankan pengobatan TB (9).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TB Paru

keterpaparan penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis

14

kelamin dan faktor sosial lainnya, untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai

berikut (9):

Faktor Sosial Ekonomi : Disini sangat erat dengan keadaan rumah,

kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat

kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga

juga sangat erat dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil

membuat orang tidak dapat memenuhi syarat-syarat kesehatan yang layak.

Status Gizi : Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin,

zat besi dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang

sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini

merupakan faktor penting yang berpengaruh di Negara berkembang, baik

pada orang dewasa maupun anak-anak.

Umur : Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau

usia produktif 15-50 tahun . Dengan terjadinya transisi demografi saat ini

menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia

lanjut lebih dari 55 tahun system imunolosis seseorang menurun, sehingga

sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-paru.

Jenis kelamin: Penderita TB-paru cenderung lebih, tinggi pada laki-laki

dibandingkan perempuan. sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1

juta perempuan yang meninggal aicibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa

pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh

TB-paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan.

Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok

tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan system

pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab

TB-paru.

Faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang sangat

mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di bawah

ini:

A . Faktor Sarana :

(1) Tersedianya obat yang cukup dan kontinu,

(2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik ,

15

(3) Pemberian regiment OAT yang adekuat.

B. Faktor penderita :

(1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru.

(2) Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. Cukup

istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok.

(3) Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang

dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan,

jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari.

(4) Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB Paru adalah

penyakit infeksi yang dapat disembuhkan bila berobat dengan benar.

(5) Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh.

C. Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan :

Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan

seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan

obat,pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan

memberi semangat agar tetap rajin berobat.

2.2.3 Gejala Klinis

Terdapat 2 gejala TB paru yaitu : gejala umum dan gejala khusus.

Gejala umum secara klinis mempunyai gejala sbb (10):

batuk selama lebih dari 3 minggu,

demam,

berat badan menurun tanpa sebab,

berkeringat pada waktu malam,

mudah lelah,

hilangnya nafsu makan.

Sedangkan Gejala khusus dapat digambarkan sbb (10):

Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi

sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)

akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,

16

Dapat timbul suara ronchi, suara nafas melemah disertai sesak,

kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan

sakit dada,

Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang nanti akan dapat membentuk saluran dan bermuara

pada kulit di atasnya,

Pada anak-anak dapat mengenai otak dan menyebabkan meningitis

dengan gejala demam tinggi, penurunan kesadaran dan kejang.

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,

menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB

dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan

dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-

Sewaktu (SPS) (10):

• S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

• P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di UPK.

• S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TB (BTA) pada sediaan dahak. Pada

program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

thoraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Gambaran kelainan

radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

17

2.2.5 Tatalaksana

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan pada tahap intensif

adalah kategori-l yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Isoniazid (H) bersifat bakterisid yang

dapat membunuh populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan, obat

ini sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. Rifampisin

(R) dapat membunuh kuman semi dorman (persisten). Pirasinamid (Z)

bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berda dalam sel dengan

suasana asam. Etambutol (E) bersifat bakteriostatik yaitu menghambat

perkembangbiakan kuman. Resistensi obat sebagian besar terjadi terhadap

isonisiamid dan dikatakan resistensi ganda (MultiPle Drug Resistance).

Kekurangnyamanan pengobatan merupakan faktor utama perkembangan

resistensi obat.

Pengobatan terhadap TB paru membutuhkan jangka waktu yang

lama agar semua kuman dapat dibunuh. Hal ini disebabkan karena

umumnya kuman penyebab TB paru yaitu Mycobacterium tuberculosis

bersifat intraseluler (11).

2.3 DIABETES MELLITUS TIPE II DAN TUBERKULOSIS PARU

2.3.1 Perubahan pertahanan paru pada DM

Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis,

seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang

merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti

yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf

otonom dapat berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Selain itu juga

dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi

karbon monoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida (12).

Kejadian infeksi paru pada penderita DM merupakan akibat

kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami

gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan juga motilitas silia. Gangguan

18

fungsi dari endotel kapiler vaskular paru, kekakuan korpus sel darah

merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia

yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan melawan

infeksi (12).

Sitokin yang dihasilkan oleh sistem imun baik innate immunity

maupun adaptive immunity sangat berperan dalam pertahanan tubuh

terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis yang kemudian dapat

menginduksi imunitas seluler tipe 1, yang merupakan respons utama tubuh

untuk melawan TB (12).

Terdapat peningkatan IFN- pada pasien DM, demikian pula TNF- .

Hal ini menunjukkan gangguan respons imun seluler. Dalam sebuah

percobaan in vitro, monosit penderita DM diisolasi dan diberi rangsangan

lipopolisakarida (LPS) maka sekresi IL-1 dan IL-6 akan turun

dibandingkan pada monosit orang sehat. Dengan metode yang sama dari

monosit orang sehat yang dipapar dengan kadar gula tertentu

menunjukkan penurunan sekresi TNF- dan IL-6 (12).

Kelainan fungsi imunologi

paru pada DMDisfungsi fisiologis paru pada DM

Gangguan kemotaksis, perlengketan,

fagositosis dan mikrobisida

polimorfonuklear

Reaktifitas bronkial berkurang

Penurunan monosit perifer dengan

gangguan fagositosis Penurunan elastic recoil dan volume

paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast

menjadi limfosit Penurunan kapasitas difusi

Cacat fungsi opsonisasi C3.

Sumbatan mukus pada saluran napas

Penurunan respons ventilasi terhadap

hipoksemia

Tabel 1. Gangguan fungsi imun dan fisiologis paru penderita DM (12)

19

2.3.2 Hubungan DM dengan infeksi TB

Pada awal abad 20, dikatakan bahwa penyebab kematian pasien

diabetes adalah ketoasidosis diabetik dan TB. Setelah ditemukannya

insulin pada tahun 1920 dan antibiotika untuk tuberkulosis maka terdapat

penurunan angka kematian akibat kedua penyakit tersebut. Penelitian oleh

Root tahun 1934 pada 245 pasien DM dengan TB menunjukkan bahwa

infeksi TB pada pasien DM usia muda 10 kali lebih besar dari pasien non-

DM, infeksi TB terjadi pada 85% pasien yang didiagnosa DM, dan

dikatakan bahwa insidens TB paru meningkat dengan semakin lamanya

menderita DM (13).

Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada penderita DM diduga

akibat dari gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM,

peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel

penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan

neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut (13).

2.3.3 Manifestasi klinis infeksi TB pada DM

Penderita TB dengan DM sangat mungkin dalam kondisi yang

lebih parah dan memiliki risiko penularan TB yang lebih tinggi. Kondisi

neuropati, mikro, dan makroangiopati serta gangguan respon imun dapat

memberikan perbedaan gejala klinis TB pada pasien DM dengan non-DM.

Gangguan motilitas silia memungkinkan turunnya reflek batuk, namun

gangguan mikro dan makroangiopati yang terjadi dapat menimbulkan

kegagalan migrasi sistem imun, yang dapat menyebabkan kondisi penyakit

lebih buruk (14).

Alisjahbana dkk. dalam penelitiannya di Indonesia menunjukkan

bahwa pasien TB dengan DM sebelum mendapatkan terapi memiliki

gejala yang lebih banyak dibandingkan pasien TB tanpa DM. Meskipun

begitu tidak ada bukti terdapatnya kondisi penyakit yang lebih parah jika

dilihat dari pemeriksaan darah, bakteriologi, maupun radiologi. Gejala

yang dilihat dari penelitian ini adalah batuk, hemoptisis, sesak napas,

demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, masing masing

20

gejala diberikan poin 1 dengan total 6. Skor gejala lebih dari 4

digolongkan dengan gejala yang berat. Penelitian yang ada di Malaysia,

Saudi Arabia, dan Turki tidak menunjukkan perbedaan gejala pada

penderita TB dengan DM dibandingkan dengan penderita TB tanpa DM,

sedangkan penelitian di Meksiko menunjukkan gejala demam dan

hemoptisis yang lebih tinggi pada penderita TB dengan DM (14).

2.3.4 Derajat Keparahan Penyakit DM-TB dan Hasil Pengobatan

Diabetes mellitus mengganggu sistem kekebalan terhadap TB

sehingga menyebabkan beban awal jumlah mikobakteri yang lebih tinggi

dan waktu konversi sputum yang lebih lama sehingga menyebabkan

tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Tiga penelitian retrospektif

menunjukkan bahwa beban awal mikobakteri lebih tinggi pada pasien DM

dibanding kontrol. Namun dari beberapa hasil penelitian yang menilai

konversi sputum-kultur menunjukkan hasil yang beragam tergantung pada

variabel yang digunakan. Pada salah satu studi yang menilai konversi

sputum setelah minimal 2 bulan pengobatan mendapatkan hasil proporsi

konversi pasien DM ternyata adalah sama dengan kontrol (15).

Penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. mendapatkan

hasil bahwa DM bukan faktor risiko kepositifan pada apus sputum maupun

kultur sputum pada bulan ke-2 pengobatan. Penelitian di Arab Saudi yang

dilakukan pada 692 pasien TB BTA-positif didapatkan 98,9% pasien DM

dan 94,7% kontrol mengalami konversi sputum TB BTA menjadi negatif

pada bulan ke-3. Bagaimanapun juga pada beberapa penelitian yang

menilai waktu yang dibutuhkan untuk konversi apus sputum dan kultur

sputum pada pasien DM ternyata didapatkan hasil bahwa pada pasien DM

dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kultur negatif. Seperti

penelitian yang dilakukan di Turki pada pasien DM yang mendapatkan

pengobatan TB, membutuhkan waktu konversi kultur sputum lebih lama

dibandingkan pasien non-DM (15).

Pasien TB yang kemudian berkembang menjadi DM mempunyai

derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi saat onset TB, mempunyai

21

lesi paru yang lebih banyak dan perubahan paru yang lebih besar saat

penyembuhan dan sebaliknya pasien DM yang terinfeksi TB memiliki

kadar gula darah yang lebih tinggi dan kemungkinan yang lebih besar

untuk terjadi koma serta mikroangiopati. Diabetes mellitus juga diduga

sebagai predisposisi untuk terjadi gagal pengobatan dan meningkatan

mortalitas pasien TB. Penelitian di Mesir yang membandingkan 119

pasien dengan gagal pengobatan dan 119 kontrol didapatkan peningkatan

risiko gagal pengobatan TB pada pasien DM adalah 3,9 kali. Penelitian

yang dilakukan di Indonesia didapatkan kultur sputum setelah pengobatan

selama 6 bulan dengan kepatuhan berobat yang tinggi ternyata masih

positif pada 22,2% pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol sebesar

6,9%. Dua penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland,

Amerika Serikat menunjukkan peningkatan risiko kematian sebesar 6,5-

6,7 kali pada pasien DM dibandingkan dengan non-DM. Diantara 416

kematian pada pasien TB di Sao Paulo, Brazil ternyata DM merupakan

komorbid yang paling sering didapatkan yaitu sebesar 16%. Penelitian-

penelitian tersebut mengindikasikan bahwa gagal pengobatan dan

kematian pada TB lebih sering didapatkan pada pasien DM (15).

2.3.5 Pemeriksaan radiologi pasien TB dengan DM

Pada beberapa penelitian gambaran radiologi penderita TB paru

dengan DM telah dideskripsikan sebagai gambaran yang atipikal,

kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru dengan gambaran kavitas.

Keterlibatan beberapa lobus paru juga dilaporkan lebih banyak. Patel dkk.

pada penelitiannya di India melaporkan bahwa didapatkan 84% pasien TB

dengan DM yang menunjukkan gambaran TB pada lobus bawah dan

hanya 16% pada bagian atas paru. 32% menunjukkan keterlibatan kedua

bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru (15). Pada 10 dari 50 foto

dengan gambaran kavitas yang lebih dari 2 cm dan kavitas ini paling

banyak ditemukan jika terdapat keterlibatan bagian bawah paru (80%).

Lesi nodular ditemukan sebesar 36% dan lesi eksudat ditemukan pada

22% dan lesi campuran terdapat pada 22%. Dari penelitian tersebut,

dikatakan bahwa penderita tuberkulosis dengan DM lebih menunjukkan

22

gambaran atipikal pada pemeriksaan radiologi. Perbedaan gambaran

radiologis tersebut disebabkan oleh karena penderita DM memiliki

gangguan pada imunitas selular dan disfungsi sel PMN (16)

.

2.3.6 Sputum BTA pasien TB dengan DM

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM

memiliki persentasi BTA sputum lebih tinggi, konversi BTA lebih lama

dan lebih cenderung mengalami resistensi terhadap OAT. Hal ini

menunjukkan bahwa penderita TB dengan DM sangat mungkin memiliki

kondisi yang lebih parah dan memiliki risiko penularan TB yang lebih

tinggi. Pada penelitian oleh Singla dkk. di Saudi Arabia menunjukkan

sputum BTA positif pada awal diagnosis penderita TB dengan DM lebih

tinggi dari penderita TB non DM. Hal yang sama juga ditemukan oleh

penelitian di Texas dan di Amerika. Namun penelitian Alisjahbana di

Indonesia menunjukkan hasil yang berbeda, terlihat pada awal diagnosis

terdapat 29,8% pasien TB dengan DM yang pada pemeriksaan sputum

memberikan hasil BTA positif, sedangkan pada penderita TB dengan DM

terdapat 38,9% (16).

Salah satu kesimpulan yang penting dari penelitian Alisjahbana

dkk. adalah bahwa setelah terapi TB selama 6 bulan, ditemukan hasil kutur

yang masih positif 7,65 kali lebih tinggi pada pasien yang juga menderita

DM dibandingkan penderita tanpa DM. Penelitian ini juga menunjukkan

adanya peningkatan risiko BTA +++ dengan OR 1,71 pada penderita TB

dengan DM (16).

2.3.7 Tatalaksana

Interaksi obat anti tuberkulosis dengan obat hipoglikemi oral

Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu

toksisitas obat juga harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi

secara bersamaan pada TB-DM. Pasien TB-DM juga memperlihatkan

respon terapi yang lebih lambat terhadap OAT bila dibandingkan dengan

pasien non DM. Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat inducer

kuat terhadap enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme

23

suatu zat termasuk enzim sitokrom P450 dan enzim fase II. Induksi pada

enzim-enzim tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obatan

lain yang diberikan bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi

efek pengobatan yang diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar

OHO dalam darah pada golongan sulfonilurea (gliklazid, gliburide,

glpizide dan glimepirid) dan biguanid (14).

Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan

pada farmakokinetik OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal

pengobatan pada pasien TB-DM. Diabetes mellitus mempunyai efek

negatif terhadap pengobatan TB terutama pada pasien-pasien DM dengan

kontrol glikemik yang buruk sehingga angka kegagalan dan kekambuhan

TB lebih tinggi dibandingkan dengan pasien TB non DM. Konsentrasi

OAT plasma yang rendah berhubungan dengan gagal pengobatan dan

resistensi obat pada TB. Terdapatnya DM, berat badan yang lebih besar

dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi

rifampin plasma. Diabetes melitus juga dapat menyebabkan perubahan

penyerapan obat oral, penurunan ikatan protein dengan obat, insufisiensi

ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan obat (14).

Prinsip pengobatan TB-DM

Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan

TB paru secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan

pasien TB-DM, yaitu (15):

1. Pengobatan tepat.

2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat

untuk menstabilkan kadar gula darahnya.

3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.

4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan

karena terdapat interaksi Rifampisin dengan OHO.

5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk

keberhasilan terapi OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar

gula darah puasa <120 mg% dan HbA1c <7%.

24

6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan

monitoring terhadap efek samping obat terutama efek samping

terhadap hepar dan system saraf. Pertimbangkan penggunaan

piridoksin pada pemberian INH terutama untuk pasien dengan

neuropati perifer.

7. Durasi kemoterapi ditentukan oleh kontrol diabetes dan respon

pasien terhadap pengobatan. Pengobatan yang lebih lama mungkin

diperlukan.

8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada

alkoholisme harus dilakukan.

9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.

Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus

Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol

glikemik yang optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

Terapi insulin harus segera dimulai dengan menggunakan regimen basal

bolus atau insulin premixed. The American Association of Clinical

Endocrinology merekomendasikan penggunaan insulin analog atau insulin

modern karena lebih sedikit menyebabkan hipoglikemia, penggunaan

insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin pada awal penyakit

biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring dengan

tercapainya koreksi glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi.

Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif

adalah (17):

1. Infeksi TB yang berat.

2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB

pancreas atau defisiensi endokrin pankreas.

3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta

kebutuhan akan efek anabolik.

4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.

5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat

penggunaan OHO.

25

2.3.8 Prognosis

Pasien dengan diabetes dan TB memiliki risiko kematian yang

lebih tinggi selama terapi juga peningkatan risiko kekambuhan setelah

pengobatan, juga dapat memberikan risiko penularan yang lebih besar (18).

Baker dkk. memberikan kesimpulan bahwa diabetes meningkatkan

risiko kegagalan terapi dan kematian sekaligus, kematian saja, dan angka

kekambuhan pada penderita TB. Hal ini menekankan akan kebutuhan

perhatian yang lebih lanjut mengenai uji saring terhadap DM dan TB di

kedua populasi, perbaikan kadar gula darah, panduan terapi, peningkatan

monitoring klinik dan terapi (18).

2.4 KERANGKA TEORI

26

Penyakit Penyerta

- HIV/AIDS

- Diabetes Mellitus tipe II

Faktor Lingkungan

- Ventilasi

- Kepadatan Hunian

- Kelembaban

- Pencahayaan

- Merokok

Faktor Sosial Ekonomi

- Pendapatan

- Pekerjaan

- Pendidikan

- Pelayanan Kesehatan

Faktor Karakteristik

Individu

- Umur

- Jenis Kelamin

- Imunisasi BCG

Sumber : Depkes 2008

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

27

Kejadian Tuberkulosis

Paru

3.1 KERANGKA KONSEP

3.2 DEFINISI OPERASIONAL

VariabelDefinisi

OperasionalCara Ukur

Alat Ukur Hasil Ukur SkalaRefere

nsi

28

Penyakit Penyerta

Diabetes Mellitus

tipeII

Karakteristik Individu

Usia

Jenis Kelamin

Tinggi Badan

Berat Badan

Variabel Independen Variabel Dependen

Kejadian Tuberkulosis

Paru

Subyek TB Paru

Pasien yang dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan sputum BTA terdiagnosis sebagai TB paru

ObservasiRegister subyek

1. TB +2. TB -

NominalDooley (2009)

SubyekDM tipe II

Pasien dengan gejala khas DM yang dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ataupun

ObservasiRegister subyek

1. DM +2. DM -

NominalAlisjah

bana (2006)

Jenis Kelamin

Ciri atau karakteristik yang menunjukkan bahwa seseorang adalah laki-laki atau perempuan

Observasi KTP1. Laki-laki2. Perempuan

NominalPratiwi (2003)

Usia

Usia pasien yang tercantum pada register status kemudian disesuaikan dengan tanggal saat penelitiandilakukan

Observasi KTP

1. < 30 tahun2. 31-40 tahun3. 41-50 tahun4. 51-60 tahun5. > 60 tahun

OrdinalDepkes (2009)

Berat Badan

Berat badan adalah ukuran tubuh dalam sisi beratnya yang ditimbang dalam keadaan berpakaian minimal tanpa perlengkapan apapun.

Observasi Timbangan

Berat badan dalam Kilogram.

RasioCipto

Surono (2000)

Tinggi Badan

Ukuran posisi tubuh berdiri (vertical) dengan kaki menempel

Observasi Statue meter Tinggi badan dalam sentimeter

Rasio Barry L.John

son (1979)

29

pada lantai, posisi kepala dan leher tegak, pandangan rata-rata air, dada dibusungkan, perut datar dan tarik nafas beberapa saat.

Indeks Massa Tubuh

Ukuran yang digunakan untuk menilai proporsionalitas perbandingan antara tinggi dan berat seseorang. Hasil ini akan didapatkan dari berat badan dan tinggi badan subyek penelitian.

Menghitung berat badan dan tinggi badan subyek kemudian menilai IMT berdasarkan tabel IMT

1. Timbangan2. Statue meter3. Tabel IMT

1. Kurang 2. Normal3. Lebih 4. Obesitas

Rasio Indra K (2010)

BAB IV

METODE PENELITIAN

30

4.1 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dan rancangan

penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah dan mencapai tujuan

penelitian adalah rancangan potong lintang (cross sectional)

4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu,

Jakarta Selatan.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 16 Februari – 28 Februari 2015.

4.3 SAMPEL PENELITIAN

4.3.1 Populasi Target

Populasi penelitian ini adalah subyek yang datang kontrol

ke Poliklinik Practical Approach to Lung Health (PAL),

Poliklinik Diabetes Mellitus, dan Poliklinik Umum. yang datang

untuk kontrol atau berobat.

4.3.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria Inklusi

1. Pasien yang datang ke Poliklinik Practical Approach to

Lung Health (PAL), Poliklinik Diabetes Mellitus, dan

Poliklinik Umum.

2. Pasien yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan riwayat HIV/AIDS.

4.4 SAMPEL DAN POPULASI PENELITIAN

Rumus populasi infinit :

31

No =

Zα = Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96

P = Prevalensi kejadian DM-TB : 0,22 (Tahun 2014)

Nilai P didapatkan dari 23 orang dengan DM-TB disepanjang

tahun 2014 dibagi dengan jumlah kunjungan rata-rata tahun 2014

(karena data pasien baru DM tahun 2014) sebanyak 105 orang

Q = Prevalensi atau proporsi yang tidak mengalami peristiwa yang

diteliti :

1-0,22 = 0,78

d = Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p >10% adalah 0,05

→ No = 1,962 x 0,22 x 0,78 = 263,69, dibulatkan menjadi 264 orang

0,0025

Rumus populasi finit

n =

n = Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit

n0 = Besar sampel dari populasi yang infinit 264 orang

N = Besar sampel populasi finit

→ n = 264 = 75,121

(1 + 264/105)

antisipasi drop out = 10% x n

32

antisipasi drop out = 10% x 75,121 = 7,5

Total sampel = n + antisipasi drop out

total sampel = 75,121 + 7,5 = 82,6 dibulatkan 83 sampel

→ Jadi jumlah total sampel minimal yang diteliti sebanyak 83 sampel

Jumlah sampel dibulatkan menjadi 100 sampel.

4.5 METODE PENGUMPULAN DATA

4.5.1 Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari subyek yaitu berupa

wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner berisi

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan variabel yang akan

diteliti.

4.5.2 Data Sekunder

Data yang diperoleh dari register subyek di Puskesmas

Kecamatan Pasar Minggu, dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip

resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data

primer penelitian.

4.6 INSTRUMEN PENELITIAN

No. INSTRUMEN FUNGSI INSTRUMEN

1. Statue Meter Alat untuk mengukur tinggi badan subyek

2. Timbangan Alat Untuk mengukur berat badan subyek

3. Status pasien Untuk memastikan diagnosis subyek

4. Kuisioner Untuk menyaring subyek dengan Diabetes Mellitus,

Tuberkulosis Paru, atau tidak keduanya

33

4.7 PENGOLAHAN DATA

1. Cleaning

Catatan dan kuisioner yang terkumpul diperiksa kelengkapannya,

apakah data yang terkumpul sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti.

Kelengkapan jawaban, kejelasan tulisan, serta kesesuaian jawaban di

kuesioner diperhatikan dan dinilai.

2. Coding and entry

Memberi kode atau label pada data yang akan dianalisa. Pengkodean

dilakukan untuk memberikan kode yang spesifik untuk tiap jawaban dan

anamnesis subyek dan memudahkan proses pencatatan data. Hasil

pengkodean data kemudian dimasukkan ke dalam komputer untuk

dianalisa.

4.8 ANALISIS DATA

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan frekuensi dan

presentase dari tiap variabel yang diteliti. Hasil analisis disajikan dalam

bentuk tabel atau diagram.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melakukan analisis terhadap dua

variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Uji hipotesis

menggunakan statistika non-parametrik dengan Uji Chi Square (x2).

Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah p<0,05. Analisis data

dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17.0.

4.9 PENYAJIAN DATA

Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :

a. Tekstular

Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat

b. Tabular

Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel

34

4.10 ALUR KERJA PENELITIAN

4.11 ETIKA PENELITIAN

Etika penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kerahasiaan

data subyek penelitian yang telah bersedia mengikuti penelitian ini. Data yang

dimaksud didapatkan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden, yang

sebelumnya telah memberi persetujuan tertulis untuk diikutsertakan sebagai

subyek penelitian melalui informed consent. Pengisian informed consent

dilakukan secara sukarela setelah responden mendapatkan informasi serta

penjelasan secara adekuat dari peneliti mengenai penelitian yang sedang

dilakukan.

35

Pengumpulan data

Subyek

Screening DM dan TB dengan Kuisioner yang

diarahkan oleh peneliti dan wawancara agar tidak terjadi kesalahan dalam pengisian kuisioner dan menentukan

kelompok variabel

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada lansia di Kecamatan Pasar Minggu pada 16

Februari – 28 Februari 2015. Penelitian ini mengambil sampel secara consecutive

sampling. Sampel yang diteliti pada penelitian ini sebanyak 100 subyek.

5.1 Gambaran Karakteristik Individu

Variabel n (%)1. Jenis Kelamin

Laki-lakiPerempuan

2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun

3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas

42 (42,0)58 (58,0)

17 (17,0)11 (11,0) 19 (19,0)34 (34,0) 19 (19,0)

7 (7,0)53 (53,0)32 (32,0)8 (8,0)

Tabel 2. Gambaran Karakteristik Individu seluruh Subyek

Berdasarkan tabel karakteristik karakteristik individu seluruh sampel

di atas, jenis kelamin, subyek dibagi menjadi dua kategori yaitu laki-laki dan

perempuan. Terdapat 42% subyek yang berjenis kelamin laki-laki dan 58%

subyek yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan Indeks Massa Tubuh,

terdapat 7% subyek yang memiliki gizi kurang, 53% subyek gizi normal,

32% subyek gizi lebih, dan 8% subyek obesitas.

36

5.2 Gambaran Karakteristik Subyek TB

Variabel n (%)1. Jenis Kelamin

Laki-lakiPerempuan

2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun

3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas

6 (50,0)6 (50,0)

6 (50,0)0 (0,0) 4 (33,3)1 (8,3)1 (8,3)

3 (25,0)6 (50,0)1 (8,3)2 (16,7)

Tabel 3. Gambaran Subyek TB

Berdasarkan tabel di atas, terdapat 50% subyek yang berjenis kelamin

laki-laki dan 50% subyek yang berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan

Indeks Massa Tubuh, terdapat 25% subyek yang memiliki gizi kurang, 50%

subyek gizi normal, 8,3% subyek gizi lebih, dan 16,7% subyek obesitas.

5.3 Gambaran Karakteristik Subyek DM

Variabel n (%)1. Jenis Kelamin

Laki-lakiPerempuan

2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun

3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas

11 (33,3)22 (66,7)

0 (0,0)1 (3,0) 3 (9,1)

17 (51,5)12 (36,4)

0 (0,0)13 (39,4)20 (60,6)0 (0,0)

Tabel 4. Gambaran Subyek DM

Berdasarkan tabel di atas, terdapat 33,3% subyek yang berjenis

kelamin laki-laki dan 66,7% subyek yang berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, tidak ada subyek yang memiliki gizi

37

kurang, 39,4% subyek gizi normal, 60,6% subyek gizi lebih, dan tidak ada

subyek obesitas.

5.4 Gambaran Karakteristik Subyek DM-TB

Variabel n (%)1. Jenis Kelamin

Laki-lakiPerempuan

2. Usia< 30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun

3. Indeks Massa TubuhKurangNormalLebihObesitas

6 (66,7)3 (33,3)

0 (0,0)2 (22,2) 1 (11,1)5 (55,5)1 (11,1)

0 (0,0)5 (55,6)3 (33,3)1 (11,1)

Tabel 5. Gambaran Subyek DM-TB

Berdasarkan tabel di atas, terdapat 66,7% subyek yang berjenis

kelamin laki-laki dan 33,3% subyek yang berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, tidak ada subyek yang memiliki gizi

kurang, 55,6% subyek memiliki gizi normal, 33,3% subyek gizi lebih, dan

11,1% subyek obesitas.

5.5 Hubungan Diabetes Mellitus tipe II dengan Tuberkulosis Paru

TB (+) TB (-) Jumlah Nilai p

DM (+) 9 (21,4%) 33 (78,6%) 42 (100%)0,929

DM (-) 12 (20,7%) 46 (79,3%) 58 (100%)

Tabel 6. Hubungan antara DM tipe II dengan TB Paru

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 100 subyek yang dibagi menjadi

2 kategori, yaitu DM (+) dan (-). Dari 42 subyek yang memiliki DM (+), 9

subyek (8,8%) juga memiliki TB (+), 33 subyek (33,2%) didapatkan TB (-).

38

Dari 58 subyek yang DM (-), 12 subyek (12,2%) memiliki TB (+), 46 subyek

(45,8%) didapatkan TB (-). Uji statistik ini bermakna (p = 0,008).

5.6 Hubungan Jenis Kelamin dengan Tuberkulosis Paru

TB (+) TB (-) Jumlah Nilai p

Laki-Laki 12 (28,6%) 30 (71,4%) 42 (100%)0,114

Perempuan 9 (15,5%) 49 (84,5%) 58 (100%)

Tabel 7. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan TB Paru

Tabel di atas memperlihatkan frekuensi jenis kelamin yaitu Laki-Laki

dan Perempuan pada kejadian TB Paru. Dari 42 subyek Laki-laki, 12 subyek

(28,6%) memiliki TB (+), 30 subyek (71,4%) didapatkan TB (-). Dari 58

subyek Perempuan, 9 subyek (15,5%) memiliki TB (+), 49 subyek (84,5%)

didapatkan TB (-). Uji statistik ini tidak bermakna (p = 0,114).

5.7 Hubungan Usia dengan Tuberkulosis Paru

TB (+) TB (-) Nilai p

< 30 tahun 6 (28,6%) 11 (13,9%)

> 0,05

31-40 tahun 2 (9,5%) 9 (11,4%)

41-50 tahun 5 (23,8%) 14 (17,7%)

51-60 tahun 6 (28,6%) 28 (35,4%)

> 60 2 (9,5%) 17 (21,5%)

Jumlah 21 (100%) 79 (100%)

Tabel 8. Hubungan antara Usia dengan TB Paru

Tabel di atas memperlihatkan frekuensi umur pada kejadian TB Paru.

28,6% < 30 tahun, 9,5% 31-40 tahun, 23,8% 41-50 tahun, 28,6% 51-60

tahun, dan 9,5% > 60 tahun. Uji statistik ini tidak bermakna (p = > 0,05).

39

5.8 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Tuberkulosis Paru

TB (+) TB (-) Nilai p

Kurang 3 (14,3%) 4 (5,1%)

> 0,05

Normal 11 (52,4%) 42 (53,2%)

Lebih 4 (19,0%) 28 (35,4%)

Obesitas 3 (14,3%) 5 (6,3%)

Jumlah 21 (100%) 79 (100%

Tabel 9. Hubungan antara IMT dengan TB Paru

Tabel di atas memperlihatkan frekuensi Indeks Massa Tubuh subyek

pada kejadian TB Paru. 14,3% gizi kurang, 52,4% gizi normal, 19% gizi lebih

dan 14,3% obesitas. Uji statistik ini tidak bermakna (p = > 0,05).

40

BAB VI

PEMBAHASAN

Studi ini dilakukan untuk menilai hubungan antara tuberkulosis paru dengan

diabetes mellitus tipe II, terutama pada pasien yang berumur 40-60 tahun.

6.1 Hubungan TB Paru dengan DM tipe II

Pada kelompok subyek dengan DM tipe II (+) terdapat sebanyak 21,4%

yang memiliki TB (+). Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna (p>0,05). Hal

ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kejadian

TB Paru dengan DM tipe II di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Hasil studi

ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jeon dan Murray

(2008), dimana hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan antara

DM tipe II dengan meningkatnya kejadian TB Paru.

6.2 Hubungan TB Paru dengan Karakteristik Individu

Pada kelompok subyek laki-laki terdapat sebanyak 28,6% yang memiliki

TB (+) dan perempuan 15,5%. Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna

(p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna

antara kejadian TB Paru dengan jenis kelamin di Puskesmas Kecamatan Pasar

Minggu.

Pada kelompok subyek TB (+) terdapat sebanyak 28,6% yang < 30 tahun

dan 51-60 tahun. Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna (p>0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kejadian TB

Paru dengan Usia pada subyek di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu.

Pada kelompok subyek TB (+) terdapat sebanyak 52,4% yang memiliki gizi

normal. Uji statistik ini didapatkan tidak bermakna (p>0,05). Hal ini menunjukkan

bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara kejadian TB Paru dengan

41

BMI pada subyek di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Hasil studi ini tidak

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyantomo (2014), dimana

hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa adanya hubungan antara status gizi

dan kejadian TB Paru.

6.2 Bias Penelitian

Sampel yang diteliti adalah subjek yang berumur > 20 tahun yang datang ke

Poliklinik PAL, Poliklinik DM dan Poli Umum di Kecamatan Pasar Minggu yang

diambil dengan cara consecutive sampling. Bias yang terjadi adalah bahwa

poliklinik DM hanya melayani 3 hari dalam seminggu, dan ada 1 hari libur

sehingga sampel DM kurang banyak. Lainnya adalah, dikarenakan keterbatasan

waktu penelitian, sehingga tidak semua subyek yang diduga TB Paru dapat

diperiksa sputum. Sampel yang didapatkan yaitu sebanyak 100 sampel dari

minimum 83 sampel.

42

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Tuberkulosis Paru

dengan DM tipe II. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan subyek dengan DM

tipe II yang memiliki TB Paru sebanyak 21,4% dari seluruh subyek DM tipe II.

Indeks massa tubuh subyek DM tipe II dengan TB Paru tidak ada yang memiliki

gizi kurang, tiga subyek gizi berlebih, satu subyek obesitas dan lima lainnya

memiliki gizi normal.

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Tuberkulosis Paru

dengan jenis kelamin. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian

Tuberkulosis Paru dengan usia. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

kejadian Tuberkulosis Paru dengan indeks massa tubuh.

Subyek dengan Diabetes Mellitus tipe II dan Tuberkulosis Paru ditemukan

paling banyak pada subyek dalam rentang umur 40-60 tahun, yaitu sebanyak 6

subyek (66,6%) dari 9 subyek dengan DM dan TB Paru.

Dari penelitian ini hanya meneliti hubungan antara kejadian Tuberkulosis

Paru pada subyek Diabetes Mellitus tipe II. Didapatkan kemungkinan adanya

faktor biologis dan lingkungan pada subyek penelitian, namun pada penelitian ini

tidak diteliti tentang faktor biologis dan lingkungan yang berhubungan dengan

angka kejadian TB Paru dengan DM tipe II.

7.2 Saran

Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara

kejadian TB Paru pada subyek dengan DM tipe II.

Bagi peneliti lain yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini dengan

melakukan penelitian lanjutan untuk memastikan apakah benar bahwa kejadian

TB Paru tidak berhubungan dengan DM tipe II, sebaiknya perbesar jumlah sampel

43

dan perpanjang waktu penelitian agar bias yang terjadi lebih sedikit. Bisa

dipertimbangkan untuk melakukan penelitian dengan metode kasus-kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva:

World Health Organization; 2011.

2. Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin

NS, Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed

Central Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.

3. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus:

convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.

4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus.

Dalam: Price SA, Wilson LM, Editor. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit, Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2005; 1260-70

5. Beckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and Atherosclerosis:

Epidemiology, Pathophysiology, and Management. JAMA. 2002; 287(19):

2570-2581. doi:10.1001/jama.287.19.2570.

6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus: Pengelolaan dan

Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.

7. Lin Y, Sun Z. Current views on type 2 diabetes. J Endocrinol 204 (1) 1-11,

doi: 10.1677/JOE-09-0260.

8. King GL.The Role of Inflammatory Cytokines in Diabetes and Its

Complications. J Periodontol. 2008 Aug;79(8 Suppl):1527-34. doi:

10.1902/jop.2008.080246.

9. Sahat H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya

Penanggulangannya. Jumal Ekologi Kesehatan .2010. Vol. 9: 1340 -1346

10. Asti R. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi .Departemen Ilmu

Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKU.2009:6-8

11. Thomas S. Pemantauan Efektivitas Obat Anti Tuberkulosis Berdasarkan

Pemeriksaan Sputum pada Penderita Tuberkulosis paru.Unissula

Semarang.Jurnal Kesehatan. 2010; vol 3:3-4

44

12. Restrepo BI, Fisher-Hoch SP, Pino PA, Salinas A, Rahbar MH, Mora F, et

al. Tuberculosis in poorly controlled type 2 diabetes: Altered cytokine

expression in peripheral white blood cells. Clin Infect Dis. 2008; 47:634-

41.

13. Jeon CY, Murray MB (2008) Diabetes Mellitus Increases the Risk of

Active Tuberculosis: A Systematic Review of 13 Observational Studies.

PLoS Med 5(7): e152. doi:10.1371/journal.pmed.0050152

14. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus :

convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.

15. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of

pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28(1):70.

16. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A,

Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis

in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10:696-700.

17. Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis: a review of the role of

optimal glycemic control. Journal of diabetes & metabolic disorders.

2012;11(28):1-4.

18. Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A, Lönnroth K, et al.

The impact of diabetes on tuberculosis treatment outcomes: A systematic

review. BMC Medicine. 2011; 9:81

45

LAMPIRAN 1

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU

DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE II

Tanggal Wawancara :

A. IDENTITAS RESPONDEN

1. Umur Responden : …………………………………………

2. Tinggi Badan / Berat badan : …………………………………………

3. Alamat Rumah Respoden : …………………………………………

4. Pekerjaan Respoden : …………………………………………

5. Pendidikan Terakhir :

A. DIABETES MELLITUS TIPE II

Pada pernyataan di bawah ini, baca dan simaklah kalimat tersebut dengan baik.

Kemudian berilah tanda checklist ( √ ) pada kalimat ya atau tidak.

No. Pertanyaan Ya Tidak

1.Apakah Anda sering kencing di malam hari? (> 7

kali/malam)

2. Apakah Anda sering makan lebih dari 3 kali?

3. Apakah Anda sering merasa lapar?

4. Apakah Anda sering minum lebih dari biasanya?

5. Apakah Anda merasa berat badan Anda turun banyak?

6. Apakah Anda mereasa sering kesemutan lebih dari

biasanya?

46

SD

SMP

SMA

Sarjana

7.Apakah Anda merasa penglihatan Anda kadang

buram?

8.Apakah Anda merasa kurang bergairah saat

berhubangan dengan pasangan?

9.

Apakah Anda pernah merasa bau mulut Anda manis

seperti bau buah, meskipun Anda tidak habis memakan

sesuatu yang manis?

10.

Apakah Anda pernah didiagnosa kencing manis/

Diabetes Mellitus oleh tenaga kesehatan

(dokter/perawat/bidan)?

11. Apakah Anda pernah mengecek kadar gula darah?

12. Jika pernah, apakah gula darah Anda tinggi?

13.Apakah Anda memiliki riwayat diabtetes mellitus di

dalam keluarga?

14.Apakah Anda pernah mengalami serangan atau

gangguan jantung?

15. Apakah Anda pernah mengalami gangguan ginjal?

B. TUBERKULOSIS

Pada pernyataan di bawah ini, baca dan simaklah kalimat tersebut dengan baik.

Kemudian berilah tanda checklist ( √ ) pada kalimat ya atau tidak.

No. Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah anda sedang mengalami batuk

berdahak selama lebih dari 3 minggu?

2. Apakah dada anda terasa nyeri dan sesak saat

batuk?

3. Apakah batuk anda berdarah?

4. Apakah nafsu makan anda menurun dan berat

badan anda berkurang?

5. Apakah berat badan anda berkurang meskipun

nafsu makan tidak menurun?

6. Apakah anda merasa letih meskipun sudah

beristirahat seperti biasa?

47

7. Apakah anda merasa ada demam naik-turun

atau hilang-timbul selama 1 bulan terakhir?

8. Apakah anda berkeringat pada malam hari

walaupun tanpa kegiatan?

9. Apakah anda pernah didiagnosis menderita TB

Paru melalui pemeriksaan dahak dan/atau foto

paru, oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/

bidan)?

10. Dalam 12 bulan terakhir, apakah anda pernah

didiagnosis menderita TB Paru melalui

pemeriksaan dahak dan/atau foto paru, oleh

tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)?

Riwayat kontak

No. Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah di dalam keluarga anda ada yang

mengalami gejala tuberkulosis paru seperti:

batuk berdahak, batuk berdarah, nyeri dada

yang menahun?

2. Jika “Ya” apakah anda tinggal serumah dengan

penderita tersebut?

3. Apakah teman atau tetangga anda ada yang

mengalami gejala tuberkulosis paru seperti:

batuk berdahak, batuk berdarah, nyeri dada

yang menahun?

4. Jika “Ya” apakah anda pernah kontak atau

berhubungan langsung dengan penderita?

Paparan Asap Rokok

No. Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah anda merokok?

48

2. Jika “Ya” apakah anda menghabiskan 1

bungkus rokok atau lebih dalam sehari?

3. Apakah ada perokok yang tinggal serumah

dengan anda?

4. Apakah anda menutup hidung dan mulut anda

saat bertemu dengan orang yang sedang

merokok?

49

LAMPIRAN 2

GAMBARAN DISTRIBUSI KARAKTERISTIKINDIVIDU DAN VARIABEL

STATISTIK

Jenis Kelamin

Usia BMI Subyek DM Subyek TB

N Valid 100 100 100 100 100

Missing 0 0 0 0 0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid PercentCumulative

Percent

Valid L 42 42.0 42.0 42.0

P 58 58.0 58.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Usia

Frequency Percent Valid PercentCumulative

Percent

Valid < 30 17 17.0 17.0 17.0

31-40 11 11.0 11.0 28.0

41-50 19 19.0 19.0 47.0

51-60 34 34.0 34.0 81.0

> 60 19 19.0 19.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

BMI

Frequency Percent Valid PercentCumulative

Percent

Valid Kurang 7 7.0 7.0 7.0

Normal 53 53.0 53.0 60.0

Lebih 32 32.0 32.0 92.0

Obesitas 8 8.0 8.0 100.0

50

Usia

Frequency Percent Valid PercentCumulative

Percent

Valid < 30 17 17.0 17.0 17.0

31-40 11 11.0 11.0 28.0

41-50 19 19.0 19.0 47.0

51-60 34 34.0 34.0 81.0

> 60 19 19.0 19.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Subyek DM

Frequency Percent Valid PercentCumulative

Percent

Valid Ya 42 42.0 42.0 42.0

Tidak 58 58.0 58.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Subyek TB

Frequency Percent Valid PercentCumulative

Percent

Valid Ya 21 21.0 21.0 21.0

Tidak 79 79.0 79.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

51

Subyek DM * Subyek TB Crosstabulation

Subyek TB

TotalYa Tidak

Subyek DM

Ya Count 9 33 42

% within Subyek DM

21.4% 78.6% 100.0%

Tidak Count 12 46 58

% within Subyek DM

20.7% 79.3% 100.0%

Total Count 21 79 100

% within Subyek DM

21.0% 79.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig. (2-

sided)Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .008a 1 .929

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .008 1 .929

Fisher's Exact Test 1.000 .560

52

Subyek DM * Subyek TB Crosstabulation

Subyek TB

TotalYa Tidak

Subyek DM

Ya Count 9 33 42

% within Subyek DM

21.4% 78.6% 100.0%

Tidak Count 12 46 58

% within Subyek DM

20.7% 79.3% 100.0%

Total Count 21 79 100

Linear-by-Linear Association

.008 1 .929

N of Valid Cases 100

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.82.

b. Computed only for a 2x2 table

Gender Subyek * Subyek TB Crosstabulation

53

Subyek TB

TotalYa Tidak

Gender Subyek Laki-Laki Count 12 30 42

% within Gender Subyek

28.6% 71.4% 100.0%

Perempuan Count 9 49 58

% within Gender Subyek

15.5% 84.5% 100.0%

Total Count 21 79 100

% within Gender Subyek

21.0% 79.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig. (2-

sided)Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 2.502a 1 .114

Continuity Correctionb 1.777 1 .182

Likelihood Ratio 2.474 1 .116

Fisher's Exact Test .139 .092

Linear-by-Linear Association

2.477 1 .116

N of Valid Cases 100

54

Subyek TB

TotalYa Tidak

Gender Subyek Laki-Laki Count 12 30 42

% within Gender Subyek

28.6% 71.4% 100.0%

Perempuan Count 9 49 58

% within Gender Subyek

15.5% 84.5% 100.0%

Total Count 21 79 100

Kolmogorov-Smirnov Subyek TB*Usia

Test Statisticsa

Subyek TB

Most Extreme Differences

Absolute .171

Positive .171

Negative .000

Kolmogorov-Smirnov Z .442

Asymp. Sig. (2-tailed) .990

a. Grouping Variable: Usia Subyek

55

Test Statisticsa

Subyek TB

Most Extreme Differences

Absolute .087

Positive .000

Negative -.087

Kolmogorov-Smirnov Z .303

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

a. Grouping Variable: Usia Subyek

Test Statisticsa

Subyek TB

Most Extreme Differences

Absolute .071

Positive .071

Negative .000

Kolmogorov-Smirnov Z .249

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

a. Grouping Variable: Usia Subyek

Kolmogorov-Smirnov Subyek TB*BMI

Test Statisticsa

Subyek TB

Most Extreme Differences

Absolute .221

Positive .000

Negative -.221

Kolmogorov-Smirnov Z .550

Asymp. Sig. (2-tailed) .923

a. Grouping Variable: BMI Subyek

56

Test Statisticsa

Subyek TB

Most Extreme Differences

Absolute .221

Positive .000

Negative -.221

Kolmogorov-Smirnov Z .550

Asymp. Sig. (2-tailed) .923

Test Statisticsa

Subyek TB

Most Extreme Differences

Absolute .250

Positive .000

Negative -.250

Kolmogorov-Smirnov Z .632

Asymp. Sig. (2-tailed) .819

a. Grouping Variable: BMI Subyek

57