hasil penelitian
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai suatu negara agraris sebagian besar masyarakatnya
hidup dari hasil produksi dilapangan pertanian atau sekitar 70% masyarakat hidup
sebagai petani. Untuk tujuan pembangunan pertanian yang senantiasa diarahkan
kepada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, maka sektor pertanian
mendapat prioritas utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam rangka pembangunan nasional tersebut, tujuan pembangunan
pertanian yaitu terus menerus meningkat produksi pertanian, baik untuk
memenuhi komsumsi masyarakat yang terus meningkat maupun untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri yang terus berkembang, dan
disamping itu untuk senantiasa berupaya meningkatkan devisa dan ekspor hasil –
hasil pertanian (Anonim, 1993).
Memasuki era globalisasi, era pasar bebas, Indonesia sudah melakukan
berbagai strategi pembangunan. Salah satu sektor pembangunan yang menjadi
andalan Indonesia adalah pertanian. Hal ini dapat dilihat dengan semakin
meningkatnya produksi pertanian yang dilakukan termasuk didalamnya usaha –
usaha bidang perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
Pembangunan sub sektor perkebunan adalah sebagian komponen dari
pembagunan pertanian yang merupakan bagian integral dari pembangunan, akan
terus ditingkatkan berperan aktif dan meningkatkan sumbangannya dalam rangka
memecahkan berbagai masalah nasional, masalah ekonomi, tenaga kerja, sosial
maupun wawasan nusantara. Oleh karena itu arah serta kebijaksanaan senantiasa
memacu pada pencapaian tujuan dan sasaran seperti yang dirumuskan dalam Tri
2
Dharma perkebunan yaitu 1). meningkatkan pendapatan petani dan penerima
devisa negara, 2). menciptakan lapangan dan kesempatan kerja, 3). memelihara
dan meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk
mencapai tujuan dan sasaran pembangunan perkebunan seperti tersebut di atas
beberapa usaha pokok yang dilaksanakan yaitu intensifikasi, ekstensifikasi,
diversifikasi dan rehabilitasi (Anonim, 1999).
Tanaman kakao merupakan salah satu komoditi yang sangat penting baik
sebagai sumber penghasilan bagi jutaan petani maupun sebagai salah satu bahan
penyedap yang sangat diperlukan untuk produksi makanan, kue – kue dan
berbagai jenis minuman, semakin banyak diperlukan biji kakao untuk bahan
makanan dan minuman di negara – negara pengimpor dan pabrik – pabrik yang
menghasilkan macam produksi biji kakao sangat memerlukan persediaan bahan
baku kakao dari negara – negara produsen.
Di Sulawesi Tenggara, yang mempunyai lahan kering sekitar 3,7 ribu
hektar atau 98,37% dari seluruh wilayah daratan yang berjumlah 3,814 ribu hektar
merupakan daerah yang sangat potensial untuk pengembangan komoditi kakao.
Peningkatan produksi tanaman kakao akan menimbulkan masalah dalam
pemasaran apabila ketidak sesuaian antara permintaan dan penawaran petani yang
mengusahakan tanaman kakao. Akibatnya dapat menyebabkan turunya harga biji
kakao dalam keadaan demikian berakibat pula pada penurunan pendapatan petani
kakao, Anonim (1999).
Menurut Mubyarto (1986) pemasaran produksi pertanian di negara kita
merupakan bagian yang paling lemah dalam mata rantai pemasaran atau dalam
aliran barang – barang. Dengan pernyataan demikian dimaksudkan bahwa
3
efisiensi dibidang ini masih rendah, sehingga kemungkinan untuk ditingkatkan
masih besar. Nurland (1986) menjelaskan bahwa sistem pemasaran yang tidak
efisien akan mengakibatkan kecilnya bagian harga yang diterima petani sehingga
dapat pula dijadikan ukuran efisiensi dalam pemasaran.
Untuk mencapai pendapatan yang diharapkan petani, dalam memasarkan
produk yang dihasilkan perlu memperhitungkan banyaknya produksi, lokasi
pemasaran, biaya pengangkutan, saluran serta sifat persaingan.
Petani bebas memasarkan hasil usaha tani sesuai pilihannya misalnya
dapat dipasarkan ke pedagang pengumpul, pedagang besar ataupun koperasi unit
desa. Bila produk tersedia cukup banyak petani akan lebih untung apabila menjual
langsung kepedangang besar untuk memperoleh harga yang layak. Sebaliknya jika
jumlah barang sedikit, maka akan menguntungkan bagi petani bila menjual pada
pedagang pengumpul atau pedagang lokal. Karena keterbatasan – keterbatasan
dalam pengolahan maka petani belum mampu memperhitungkan hal – hal seperti
besarnya produksi, lokasi pemasaran, biaya pengangkutan dan saluran pemasaran.
Akibatnya harga yang diterima oleh petani sering tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Berpindahnya barang – barang niaga dari pusat produksi kepusat konsumsi
kadang – kadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Adanya jarak ini
memungkinkan timbulnya resiko yang perlu ditangani dan berhubungan dengan
masalah biaya – biaya pemasaran yang harus dikeluarkan. Selama tenggang waktu
tersebut, haruslah ada lembaga pemasaran yang dapat menjembatani pemasaran
komoditi kakao, dengan begitu pemasaran akan berpengaruh pada harga eceran
ditingkat konsumen. Hal ini disebabkan karena masing – masing lembaga
4
pemasaran ingin mendapatkan keuntungan yang dianggap wajar sesuai dengan
jasa yang diberikan, sehingga harga masing – masing lembaga pemasaran berbeda
pula (Swastha, 1979).
Secara umum di Kecamatan Lasusua terdapat berbagai lembaga
pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran antara lain pedagang pengumpul
desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar dan koprasi unit desa yang
secara keseluruhan berperan sebagai perantara hasil kakao dari produsen ke
konsumen.
Dalam proses kegiatannya lembaga – lembaga tersebut cukup memegang
peranan penting dalam mata rantai aliran barang – barang tersebut, hal ini
menyebabkan perbedaan tingkat harga ditiap – tiap lembaga pemasaran, sehingga
memungkinkan bekerjanya sistem pemasaran yang kurang efisien. Berdasarkan
pertimbangan ini maka penulis ingin mengetahui bagaimana Margin pemasaran
dan lembaga – lembaga pemasaran kakao yang ada di Kecamatan Lasusua.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka masalah dapat dirumuskan
sebagai berikut :
a. Bagaimana margin pemasaran kakao di Kabupaten Kolaka Utara khususnya di
Desa Babusalam Kecamatan Lasusua ?
b. Apakah Pemasaran biji kakao telah efisien ?
c. Lembaga – lembaga pemasaran apa saja yang terlibat dalam proses pemasaran
atau saluran pemasaran yang ada ?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui Margin Pemasaran Kakao di Desa Babusalam Kecamatan
Lasusua.
b. Untuk mengetahui saluran pemasaran biji kakao yang lebih efisien.
c. Untuk mengetahui Lembaga – lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran
atau saluran pemasaran.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan imformasi bagi petani tentang lembaga pemasaran yang ada
dan tingkat harga di masing – masing lembaga – lembaga tersebut, sehingga
petani dapat memilih di lembaga (pedagang) mana yang lebih menguntunkan
dalam penjualan produksinya.
2. Sebagai bahan penentu kebijakan bagi pemerintah khususnya dalam proses
perbaikan mutu dan proses tataniaga kakao.
3. Sebagai bahan acuan lebih lanjut bagi penelitian serupa untuk mengetahui
perkembangan pemasaran kakao di Desa Babusalam Kecamatan Lasusua.
1.5 Hipotesis
1. Diduga sistem pemasaran kakao di Desa Babusalam Kecamatan Lasusua
cukup efesien.
2. Diduga margin pemasaran tertinggi diperoleh oleh pedagang pengumpul Desa.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Agribisnis
Istilah agribisnis diserap dari bahasa inggris yaitu agribusines, yang
merupakan portman atau dari agriculture (pertanian) dan business (bisnis).
Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang
mendukungnya, berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Dalam
subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan
mengelola aspek budidaya penyediaan bahan baku, pasca panen, proses
pengelohan, hingga tahap pemasaran.
Agribisnis merupakan suatu konsep yang utuh mulai dari proses produksi,
pengolahan hasil dan pemasaran hasil serta aktifitas lain yang berkaitan dengan
kegiatan pertanian dalam arti luas, menurut Arsyad dkk, 1985. Pengembangan
agribisnis disuatu daerah harus mengacu pada keadaan yang nyata dilapangan,
salah satunya adalah pemanfaatan lahan secara optimal dengan berbagai jenis
tanaman dalam pola tanam dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.
Pembangunan pertanian pada hakekatnya diarahkan pada pembangunan
pusat – pusat produksi yang semakin berorientasi kepada agribisnis. Perwujudan
pusat tersebut, lahan yang harus dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Oleh
karena keberhasilan dan pengembangan lahan petani diperlukan pengolahan yang
tepat melalui pemilihan komoditi yang sesuai dengan kondisi wilayah
(tanah dan iklim) setempat, yang berorientasi pasar serta teknik budidaya yang
tepat (Anonim, 2001)
Reorientasi dari pendekatan produksi ke pendapatan petani berbasis
konsep agribisnis adalah bagian dari pembangunan pertanian nasional, dengan
7
implementasi konsep ini maka tujuan utama agribisnis yaitu mendorong usaha
pertanian yang berwawasan bisnis yang mampu menghasilkan produk pertanian
dan industri pertanian perimer yang berdaya saing, menghasilkan nilai tambah
bagi peningkatan pendapatan, tenaga kerja pertanian, pengembangan ekonomi
wilayah, meningkatkan kesejahteraan para petani dan produsen.
2.2 Komoditi Kakao
Theobroma cacao L, atau coklat, sejak ditemukannya oleh suku bangsa
Aztek (Indian) di Mexiko (Amerika Tengah) sekitar abad ke – 14 hingga sekarang
pada abad ke - 20 adalah tetap mempunyai nilai yang tinggi. Sejak
diketemukannya, sesuai namanya di atas, dianggap sebagai makanan para dewa
(Theos = para dewa; Broma = santapan), demikian tinggi nilanya, selain itu di
kerajaan MONTEZUMA (Kerajaan suku Aztek) dijadikan pula sebagai alat
pembayaran yang sah. Tanaman coklat selanjutnya dikembangkan diberbagai
negara di dunia akan tetap memiliki nilai yang tinggi. Di Tanah air kita coklat
merupakan tanaman perdagangan yang menghasilkan devisa cukup besar
(Kartasapoetra, 1987).
Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan penting di
Indonesia dan telah dikembangkan sejak sebelum perang dunia II, tetapi
perkembangannya masih terbatas Pemerintah Indonesia sejak pelita III
menggalakkan usaha untuk meningkatkan produksi komoditas kakao sebagai
peghasil devisa negara. Usaha peningkatan kakao (produksi) dilakukan dengan
cara peremajaan, perluasan areal dan perbaikan teknik budidaya. Namun
pengembangan kakao dengan perluasan areal menghadapi masalah terbatasnya
tanah dengan tingkat kesuburan tinggi. Kemungkinan perluasan areal terdapat
8
didaerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang mempunyai
penyebaran tanah podsolik merah kuning (Wibawa, 1983).
Budidaya Tanaman kakao meliputi pembibitan, penanaman, pemupukan,
pemangkasan dan pengendalian hama penyakit serta pengolahan hasil biji. Biji
kakao merupakan komoditas ekspor, sehingga diperlukan kualitas yang baik agar
mampu bersaing di pasar. Usaha komoditi kakao dimasa mendatang cukup cerah
karena kebutuhan kakao selalu meningkat. Untuk itu perlu memperhatikan
persyaratan tumbuhnya. Tanah yang cocok untuk tanaman kakao adalah tanah
yang rata dan landai dari 30%, tinggi tempat 0 – 800 meter dari permukaan laut,
PH mendakati netral dan solum dalam, subur serta gembur. Sedangkan iklim
diperlukan, yakni curah hujan 1500 – 3000 mm/tahun, suhu 240 – 280 C dan
kelembapan udara di atas 80% (Susanto, 1995).
2.3 Konsep Pasar dan Pemasaran Hasil Pertanian
Pasar dapat diartikan sebagai suatu tempat atau keadaan dimana pembeli
dan penjual mengadakan transaksi atau persetujuan tentang jumlah barang yang
ditawarkan oleh penjual dan jumlah barang yang disepakati oleh pembeli sesuai
dengan nilai tukar dalam batas kemampuan yang dimilikinya. Selanjutnya
Nurland (1986) menyatakan bahwa pasar adalah suatu tempat dimana dapat kita
temui penjual dan pembeli.
Tataniaga merupakan syarat mutlak dalam proses suatu pembangunan.
Adanya pasar untuk hasil dari pertanian merupakan aspek penting disamping
faktor lain seperti teknologi yang senantiasa berubah – ubah tersedianya bahan
baku dan alat – alat secara lokal. Adanya perangsang produksi bagi petani dan
tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang menunjang merupakan insentif
9
bagi para petani untuk meningkatkan produksi. Insentif itu dapat berupa (1) biaya
produksi yang rendah atau adanya subtitusi dari pemerintah (2) harga yang
diterima petani tinggi (Mosher, 1979).
Dalam usaha meningkatkan pendapatannya, petani selalu berhubungan
dengan pemasaran atau tataniaga. Dalam meningkatkan produkasi pertanian tidak
akan mempunyai arti kalau produk – produk yang berlebihan tidak dapat di
pasarkan dengan baik atau memperoleh nilai pasaran yang wajar, dengan kata lain
produk – produk tersebut dapat meningkatkan pendapatan (Kartasapoetra, 1987).
Swastha (1979) mendifinisikan pasar secara lebih sederhana pengertian
pasar pertanian juga diturunkan dari hasil pengertian pemasaran yang diterapkan
pada input dan output pertanian misalnya : pemasaran sarana produksi bibit, obat
pemberantasan hama dan sarana pertanian itu sendiri.
Pasar adalah keadaan dimana terjadi kekuatan permintaan dan penawaran
barang dan jasa. Ini berarti bahawa terjadinya pasar karena adanya kesesuaian
antara penawaran dan permintaan. Selain itu Assauri (1988) juga memberikan
batasan tentang pasar yakni pasar merupakan suatu arena pertukaran potensial.
Baik dalam bentuk fisik sebagai tempat berkumpul atau tempat bertemunya
penjual dan pembeli, maupun tidak berbentuk fisik yang memungkinkan
terlaksananya suatu pertukaran. Faktor pendukung yang menjadi syarat terjadinya
transaksi yakni minat, citra serta daya beli.
Menurut Mubyarto (1986) pemasaran sering pula diartikan sama dengan
tataniaga yaitu segala kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau
menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Secara hafiah, niaga berarti
dagang. Jadi tataniaga yaitu segala sesuatu yang menyangkut aturan permainan
10
dalam hal perdagangan barang – barang. Karena perdagangan itu biasanya
dijalankan melalui pasar maka pemasaran pada hakekatnya sama dengan
tataniaga.
2.4 Lembaga dan Saluran Pemasaran
Saluran pemasaran adalah suatu jalur yang dilalui oleh arus barang –
barang dari produsen perantara dan akhirnya sampai pada konsumen. Swastha
( 1979) mengatakan bahwa saluran pemasaran adalah sekolompok pedagang atau
agen perusahaan yang mengkombinasikan pemindahan fisik dan nama dari suatu
produk untuk menciptakan keuangan bagi pasar.
Menurutnya Soekartawi (1989) mengatakan bahwa dalam pemasaran
komoditas pertanian sering kali dijumpai adanya mata rantai pemasaran yang
panjang sehingga banyak pula pelaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam
rantai pemasaran itu. Akibatnya adalah terlalu besarnya keuntungan pemasaran
yang diambil oleh pelaku pemasaran tersebut. Ada beberapa sebab mengapa
terjadi pemasaran yang panjang dari produsen petani sering dirugikan adalah :
1. Pasar yang tidak sempurna
2. Lembaga imformasi pasar
3. Lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar
4. Lemahnya posisi produsen (petani) dalam melakukan suatu penawaran untuk
mendapatkan harga yang baik
5. Produsen (petani) melakukan usahatani tidak didasarkan pada permintaan
pasar melainkan pada usahatani dilakukan secara turun temurun (Soekartawi,
1989).
11
Selanjutnya Soekartawi (1989), saluran pemasaran dapat dibentuk secara
sederhana dan dapat pula rumit sekali, hal ini tergantung macam komoditi,
lembaga pemasaran dan sistem pemasaran. Sistem pasar monopoli mempunyai
saluran pemasaran yang relatif sederhana dibanding dengan sistem pasar lainnya.
Untuk dapat melihat bentuk saluran pemasaran yang sederhana maupun
bentuk saluran pemasaran yang kompleks atau rumit dapat dilihat dari gambar
berikut :
Gambar Bentuk Saluran Pemasaran Sederhana
Gambar Bentuk Saluran Pemasaran Kompleks
Lembaga – lembaga pemasaran baru terasa manfaatnya apabila berbagai
fungsi telah dapat terpenuhi, serperti halnya fungsi – fungsi yang menjadi intisari
atau dasar – dasar pemasaran yaitu : Pengumpulan produk, sortasi jenis pupuk,
Produsen Pedagang Pengumpul
Pengecer
Konsumen
Petani
Tengkulak
Pengecer Konsumen
Pedagang Besar Eksportir
Pedagang Pengumpul
12
pengolahan produk hingga kualitasnya meningkat penyebaran dan juga
penyampaian produk (Kartasapoetra, 1987).
Timbulnya badan – badan pemasaran karena hal – hal berikut yakni
keinginan konsumen yang mendapat barang – barang yang diinginkan serta
adanya penyusaian produk terhadap suatu keinginan konsumen. Pada dasarnya
tugas dan fungsi badan – badan pemasaran adalah untuk menjembatani jurang
yang bisa memisahkan produk – produk dari produsen ke konsumen (Kotler,
1984).
2.5 Margin, Biaya keuntungan Pemasaran
Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pemasaran yang meliputi : biaya angkutan, biaya pengeringan, biaya pengepakan
retribusi dan lain – lain. Besarnya biaya ini berbeda – beda satu sama lainnya
tergantung macam komoditinya, lokasi pemasaran macam lembaga pemasaran
dan efektifitas pemasaran (Soekartawi, 1989). Selain itu efisiensi pemasaran
berkaitan dengan efektifitas dalam kegiatan fungsi pemasaran dilihat dari segi
keuntungan.
Sistem pemasaran yang dianggap efesiensi apabila penjualan produksi
dapat mendatangkan keuntungan baginya dan untuk menganalisa efesiensi sistem
pemasaran harus dilihat dari dua sudut pandang, yaitu (1) dari segi produsen dan
(2) dari segi sosial. Dari segi produsen dapat berupakan besarnya harga yang
diterima petani, dari segi sosial berupa bagian – bagian keuntungan yang
diperoleh pemasaran barang.
Adapun rumus – rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui efesiensi
pemasaran yang terjadi antara lain adalah :
13
M = He – Hp
Keterangan : M : Besarnya keuntungan (Rp/Kg)
He : Harga ditingkat pedagang
Hp : Harga beli ditingkat petani
Oleh karena adanya pengaliran kakao dari petani ke pedagang perantara
konsumen, setiap lembaga pemasaran mengambil keuntungan maka :
M = B + π atau π = M – B
Keterangan : π : Besarnya keuntungan (Rp/Kg)
B : Biaya Pemasaran (Rp/Kg)
M : Margin Pemasaran (Rp/Kg)
Menurut Saefuddin (1983), Margin pemasaran mempunyai sifat umum
yaitu :
1. Margin pemasaran berbeda – beda antara satu komoditi hasil pertanian dengan
komoditi lainnya.
2. Margin pemasaran produk pertanian cenderung akan naik dalam jangka
panjang dengan menurunya bagian harga yang diterima petani.
3. Margin pemasaran relatif stabil dalam jangka pendek terutama dalam
hubungannya terutama dalam berfluktuasinya harga produksi hasil pertanian.
Selanjutnya Saefuddin (1983) mengemukakan bahwa gejala besarnya
Margin sangat erat hubungannya dengan masalah – masalah berikut :
1. Praktis tidak ada alternatif lain dalam saluran pemasaran kecuali pedagang
tertentu.
2. Imformasi pasar sangat langka jika ada yang hanya pedagang – pedagang besar
dengan demikian kekuatan tawar – menawar petani sangat lemah.
14
3. Kurangnya kemampuan petani untuk menahan hasil setelah hasil.
4. Mahalnya angkutan lokal bagi kebanyakan daerah produksi. Oleh karen itu
untuk memperkecil Margin pemasaran dapat ditempuh dengan cara :
mengurangi biaya pemasaran, memperbanyak dan memperbaiki keterangan
pasar, memperkuat kedudukan tawar – menawar dari produsen dan stabilitan
harga.
2.6 Efesiensi Pemasaran
Sebagaimana kegiatan ekonomi lainnya pemasaran selalu menghendaki
adanya efesiensi yaitu pengorbanan yang sekecil – kecilnya dari berbagai sumber
ekonomi terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efesiensi pemasaran
dan keuntungan maksimal merupakan tujuan dari perbaikan pemasaran secara
mutlak (Nurland, 1986).
Mubyarto (1986) menjelaskan bahwa pemasaran produk dari permintaan
di negara kita merupakan bagian yang paling lemah dalam mata rantai
perekonomian atau dalam aliran barang – barang. Dari penyataan tersebut
menunjukkan bahwa efesiensi di bidang pemasaran bila memenuhi dua syarat
yaitu :
a. Mampu menyampaikan hasil – hasil dari petani produsen pada konsumen
dengan biaya – biaya yang semurah – murahnya.
b. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang
dibayar konsumen terakhir pada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan
produksi dan pemasaran itu.
Menurut Soekartawi (1989) pasar yang tidak efesien akan terjadi kalau :
a. Biaya pemasaran yang semakin besar.
15
b. Nilai produk yang dipasarkan tidak terlalu besar jumlahnya.
Oleh karena itu efesien pemasaran akan terjadi kalau :
a. Biaya pemasaran ditekan sehingga keuntungan lebih tinggi.
b. Tersedianya fasilitas fisik pemasaran.
c. Persentase perbedaan harga – harga yang dibayarkan konsumen dan produesen
tidak terlalu tinggi.
d. Adanya kompetisi pasar yang sehat.
Untuk megetahui persentase bagian harga yang diterima petani digunakan
rumus (Nurland, 1986) yaitu :
EP = 1-[ M M o ]x 100% HE
Keterangan : EP = persentase yang diterima petani dari harga yang dibayarkan
olehkonsumen akhir
Jika EP < 50% maka sistem pemasaran kakao belum efesien
Jika EP > 50% maka sistem pemasaran kakao sudah efesien
Persentase bagian harga yang diterima petani merupakan salah satu alat
ukur untuk mengetahui efesien tidaknya saluran pemasaran yang dilalui oleh
setiap komoditi yang dipasarkan (Nurland, 1986).
16
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncakan ± dua bulan yaitu bulan Maret sampai dengan
April 2011 di Desa Babusalam Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara
dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Di Desa tersebut cukup potensial untuk pengembangan tanaman kakao,
2. Sebagian besar petani di wilayah tersebut mengusahakan tanaman kakao.
3.2 Populasi dan Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah petani kakao di Desa Babusalam
Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara yang berjumlah 130 orang petani
kakao.
Penentuan sampel petani kakao dilakukan dengan cara acak sederhana
(simple random sampling) sebanyak 30 orang dari jumlah populasi petani kakao.
Untuk lembaga-lembaga pemasaran ditentukan sesnsus yaitu 8 orang pedagang
pengumpul desa, 3 orang pedagang pengumpul kecamatan dan 2 orang pedagang
besar.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data penelitia ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani respoden
dengan menggunakan daftar pertanyaan (koesioner). Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh dari kantor dan instansi terkait dengan penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara (1) wawancara, yaitu mengadakan
wawancara langsung dengan obyek penelitian untuk mengumpulkan data dan
imformasi yang diperlukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah
17
disipkan terlebih dahulu, (2) Pencatatan yaitu mencatat data yang sudah tersedia
di kantor – kantor atau instansi terkait dengan penelitian ini.
3.4 Variabel yang Diamati dan Diukur
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Identitas responden : umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah
anggota keluarga,luas lahan garapan.
2. Identitas pedagang : umur, pendidikan, pengalaman berdagang, jumlah
tanggungan keluarga serta jumlah tenaga kerja yang digunakan.
3. Harga penjualan kakao ditingkat petani (Rp/Kg).
4. Harga pembelian dan penjualan kakao tiap lembaga pemasaran (Rp/Kg).
5. Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran (Rp/Kg).
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan rumus :
c. Untuk mengetahui Margin pemasaran digunakan rumus oleh (Nurland, 1986)
sebagai berikut :
M = He – Hp
Keterangan : M :Besarnya keuntungan (Rp/Kg)He :Harga ditingkat pedagangHp : Harga beli ditingkat petani
Sedangkan besarnya keuntungan yang diperoleh setiap lembaga pemasaran
dihitung dengan rumus :
M = B + π atau π = M – BKeterangan : π : Besarnya keuntungan (Rp/Kg)
B : Biaya Pemasaran (Rp/Kg)M : Margin Pemasaran (Rp/Kg)
18
d. Untuk mengetahui efesiensi pemasaran atau bagian harga yang diterima oleh
produsen adalah
EP = 1 - [ M M o ] x 100% HE
Keterangan : EP = persentase yang diterima petani dari harga yang dibayarkan
oleh konsumen akhir
Jika EP < 50% maka sistem pemasaran kakao belum efesien
Jika EP > 50% maka sistem pemasaran kakao sudah efesien
3.6 Konsep Operasional
Untuk menjelaskan batasan penelitian ini maka perlu dijelaskan beberapa
pengertian yang digunakan sebagai berikut :
1. Lembaga pemasaran adalah badan – badan atau pedagang yang terlibat
langsung dalam proses pemasaran kakao.
2. Pedagang pengumpul desa adalah pedagang yang membeli kakao dari
produsen di lokasi penelitian dan menjualnya ke pedagang pengumpul
kecamatan.
3. Pedagang pengumpul kecamatan adalah pedagang yang membeli kakao dari
pedagang pengumpul desa dan menjualnya ke pedagang besar.
4. Pedagang besar adalah pedagang / pengusaha yang membeli kakao dari petani
produsen, PPD, PPK dan menjualnya ke Eksportir.
5. Biaya pemasaran adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pemasaran kakao.
6. Margin pemasaran adalah selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima oleh produsen atau keseluruhan dari biaya yang
dikelurkan dan keuntungan yang diperoleh dalam proses pemasaran.
19
7. Harga produk adalah nilai penjualan dan pembelian kakao oleh produsen dan
lembaga – lembaga pemasaran yang ada pada saat penelitian.
8. Produsen adalah petani yang memproduksi dan menjual kakao.
9. Efesiensi pemasaran adalah persentase bagian harga yang diterima oleh petani
dari harga yang dibayarkan oleh pedagang besar.
10. Petani responden adalah petani yang sebagian besar menggantungkan
kebutuhan hidupnya dari hasil kakao.
11. Kakao yang dimaksud adalah dalam penelitian ini adalah produk biji kering
dari tanaman kakao.
20
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
IV.1. Letak dan Luas Wilayah
Penelitian ini dilakukan di Desa Babusalam pada wilayah Kecamatan
Lasusua Kabupaten Kolaka Utara, dengan jarak ± 1 km dari ibukota Kabupaten
Kolaka Utara dan sekitar ± 310 km dari ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara,
Kendari.
Adapun batas-batas wilayah Desa Babusalam adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Watuliwu
Sebelah Timur berbatasan dengan Pegunungan Mekongga
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tojabi
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Rantelimbong
Luas wilayah Desa Babusalam meliputi 3 km2 yang terdiri dari empat
dusun, dengan kondisi topografi lereng/punggung bukit.
IV.2. Keadaan Iklim
Desa Babusalam berdasarkan curah hujan 10 tahun terakhir menunjukkan
bahwa curah hujan rata-rata 2.500-3.000 mm/tahun dengan bulan basah 7-9 bulan
dan 3-5 bulan kering. Rata-rata suhu udara Desa Babusalam pada daerah dataran
rendah suhu berkisar 20-300C, sedangkan pada dataran tinggi berkisar antara 22-
230C.
Jenis tanah yang ada umumnya didominasi tanah gromosol, alivial,
podsolik, podsolik coklat kelabu, dan mediteran merah kuning dengan tekstur
berpasir dan liat.
21
IV.3. Keadaan Demografi
a. Kelompok umur dan jenis kelamin
Dari data terakhir menunjukkan bahwa penduduk Desa Babusalam
Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara berjumlah 611 jiwa, yang terdiri
dari laki-laki sebanyak 342 jiwa dan perempuan sebanyak 269 jiwa.
Adapun keadaan penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin di
Desa Babusalam dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 : Keadaan penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin di Desa
Babusalamm, 2010
No.Kelompok Umur
(Tahun)Jenis Kelamin Jumlah
(Orang)Persentase
Pria Wanita1.
2.
3.
0-14
15-54
>55
180
120
42
144
94
31
324
214
73
53,03
35,02
11,95
Jumlah 342 269 611 100,00
Sumber : Kantor Desa Babusalam, 2010
Pada Tabel 1 menunjukkan kelompok umur 0-14 tahun sebanyak 324
orang (53,03%) dimana kisaran usia tersebut belum seluruhnya mencurahkan
tenaga dan pikiran dalam konsep produksi. Sedangkan kelompok umur 15-45
tahun berjumlah 214 orang (35,02%) tergolong umur produktif, apabila
dimanfaatkan dalam proses produksi dari cabang usahatani yang dikembangkan
karena usia produktif memiliki kemampuan dalam menerima dan menerapkan
inovasi baru jika dibandingkan dengan penduduk yang usia kurang produktif yaitu
umur diatas 55 tahun sebanyak 73 orang (11,95%). Bila dibandingkan dengan luas
22
lahan yang ada maka jumlah tenaga kerja produktif cukup tersedia di Desa
Babusalam.
b. Keadaan penduduk menurut mata pencaharian
Mata pencarian penduduk Desa Babusalam bervariasi sesuai dengan
keahlian masing-masing yaitu bekerja sebagai petani, pegawai, pengrajin/industri
kecil, pedagang dan TNI/POLRI, untuk lebih jelasnya keadaan penduduk menurut
mata pencaharian di Desa Babusalam dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 : Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Desa Babusalam, 2010
No.
Jenis Mata PencaharianJumlah (KK)
Persentase
1.2.3.4.
PetaniPedagangPNSPOLRI/TNI
14315102
84,128,825,881,18
Jumlah 170 100,00
Sumber : Kantor Desa Babusalam, 2010
Pada Tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa Babusalam
bergerak disektor pertanian sebagai mata pencaharian utama yaitu (84,12%) yaitu
sebanyak 143 jiwa, selebihnya sebanyak 15 jiwa (8,82%) bermata pencaharian
sebagai pedagang, PNS sebanyak 10 jiwa (5,88%) dan POLRI/TNI sebanyak 2
jiwa (1,18%).
Keadaan ini berarti sebagian besar penduduk Desa Babusalam bekerja
sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
c. Tingkat pendidikan
Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia pendidikan
merupakan salah satu faktor penunjang peningkatan kesejahteraan keluarga
23
karena pendidikan berfungsi merubah alam berpikir dan bertindak. Untuk lebih
jelasnya mengenai tingkatan pendidikan di Desa Babusalam dapat dilihat pada
tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Babusalam
No.
Tingkat PendidikanJumlah (Orang)
Persentase
1.2.3.4.5.
Tidak/Belum SekolahSD/Tidak Tamat SDSLTP/Tidak Tamat SLTPSLTA/Tidak Tamat SLTAPerguruan Tinggi
163195174745
26,6831,9128,4812,110,82
Jumlah 611 100,00
Sumber : Kantor Desa Babusalam, 2010
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikikan SD
maupun belum tamat SD paling banyak yaitu 195 orang (31,91%), tidak
bersekolah atau belum bersekolah sebanyak 163 orang (26,68%) dan penduduk
yang berpendidikan SLTP maupun yang tidak tamat SLTP yaitu 174 orang
(28,48%). Sehingga masyrakat yang berpendidikan seperti diatas kebanyakan
adalah petani, sehingga dapat menyebabkan adopsi inovasi berjalan lambat.
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan daya tangkap terhadap
informasi yang disampaikan sangat rendah, sedangkan masyarakat yang
berpendidikan SLTA sampai dengan perguruan tinggi pada umumnya enggan
untuk bertani.
Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor yang menghambat usaha
peningkatan kualitas maupun kuantitas usahatani. Untuk mengatasi permasalahan
demikian maka fasilitas pendidikan formal perlu ditingkatkan, demikian pula
pendidikan non formal perlu ditingkatkan di Desa Babusalam berupa
24
kegiatan-kegiatan penyuluhan baik bidang pertanian maupun bidang-bidang yang
lainnya melalui kelompok tani juga kelompok-kelompok lainnya. Hal ini
bertujuan untuk merubah perilaku petani kearah yang lebih baik.
IV.4. Keadaan Sektor Pertanian
Dalam pemaparan sebelumnya telah dijelaskan bahwa sektor pertanian di
Desa Babusalam memegang persentase terbesar untuk bidang mata pencaharian
penduduk. Potensi di sektor pertanian ini tentunya perlu mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah dalam rangka
pencapaian produktivitas secara optimal dan berkelanjutan.
Pemanfaatan potensi lahan kering yang ada di Desa Babusalam
dimungkinkan dengan pengembangan jenis tanaman perkebunan rakyat. Tanaman
perkebunan yang banyak diusahakan oleh masyarakat Desa Babusalam meliputi
komoditas kakao, kelapa dalam, cengkeh. Untuk lebih jelasnya tentang tanaman
perkebunan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Keadaan luas areal tanaman yang diusahakan menurut jenis tanaman di Desa Babualam
No. Jenis TanamanLuas Lahan
(Ha)1.2.3.
KakaoKelapaCengkeh
288,001,00
Jumlah 919
Sumber : Kantor Desa Babusalam 2010
25
Tabel 4 menggambarkan bahwa sebagian besar penduduk daerah
penelitian menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, hal ini terjadi karena
latar belakang kehidupan mereka adalah petani disamping cukup tersedianya
lahan yang memadai untuk kegiatan sektor pertanian. Ketersediaan lahan
usahatani cukup memberikan motipasi bagi petani untuk menanam berbagai
komoditi pertanian. Adapaun jenis tanaman yang menominasi adalah jenis
tanaman kakao yaitu seluas 28 Ha, kelapa dalam 8,00 Ha dan cengkeh 1,00 Ha.
Dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat, peternakan
merupakan salah satu unsur pertanian yang memegang peranan penting, karena
selain sebagai sumber pangan pendamping, pemanfaatan nilai tambah ternak
untuk meningkatkan pendapatan petani misalnya tenaga kerja, pupuk dan
sebagainya untuk lebih jelasnya mengenai populasi peternakan di Desa
Babusalam dapat dilihat pada tabel 5.
IV.5. Keadaan Prasarana Sosial Ekonomi