hasil dan pembahasan_2009rdi-5.pdf

24
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ukuran Tubuh Koefisien Keragaman Koefisien keragaman digunakan untuk melihat tingkat keragaman antar populasi, semakin tinggi nilai koefisien keragaman berarti populasi tersebut semakin beragam. Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur Pandeglang Lebak --- Kelompok Umur (tahun) --- Ukuran Tubuh 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 PB 11 8 9 - 5 13 4 2 5 - TP 8 6 2 - 1 11 5 3 4 - LD 11 5 10 - 1 14 3 3 4 - DD 15 9 9 - 3 12 5 2 10 - TPg 8 7 2 - 4 12 4 3 6 - Keterangan: PB=panjang badan, TP=tinggi pundak, LD=lingkar dada, DD=dalam dada, TPg=tinggi pinggul Tabel 6 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau betina Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur Pandeglang Lebak --- Kelompok Umur (tahun) --- Ukuran Tubuh 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 PB 6 7 4 1 5 16 9 11 7 6 TP 5 4 8 5 3 8 7 6 8 4 LD 8 8 4 3 5 9 9 8 7 5 DD 8 8 9 9 7 11 10 7 5 5 TPg 4 1 8 1 4 8 7 8 4 4 Keterangan: PB=panjang badan, TP=tinggi pundak, LD=lingkar dada, DD=dalam dada, TPg=tinggi pinggul Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak adalah rendah yaitu dengan kisaran 1 sampai 16%. Rendahnya koefisien keragaman ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran populasi yang diamati dan wilayah penyebaran ternak yang masih dalam kondisi agroekosistem yang sama.

Upload: vutuyen

Post on 13-Jan-2017

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Ukuran Tubuh

Koefisien Keragaman

Koefisien keragaman digunakan untuk melihat tingkat keragaman antar

populasi, semakin tinggi nilai koefisien keragaman berarti populasi tersebut

semakin beragam. Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang

dan Lebak pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada

Tabel 5 dan 6.

Tabel 5 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur

Pandeglang Lebak --- Kelompok Umur (tahun) --- Ukuran

Tubuh 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 1-2 2-3 3-4 4-5 >5

PB 11 8 9 - 5 13 4 2 5 - TP 8 6 2 - 1 11 5 3 4 - LD 11 5 10 - 1 14 3 3 4 - DD 15 9 9 - 3 12 5 2 10 - TPg 8 7 2 - 4 12 4 3 6 -

Keterangan: PB=panjang badan, TP=tinggi pundak, LD=lingkar dada, DD=dalam dada, TPg=tinggi pinggul

Tabel 6 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau betina Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur

Pandeglang Lebak --- Kelompok Umur (tahun) --- Ukuran

Tubuh 1-2 2-3 3-4 4-5 >5 1-2 2-3 3-4 4-5 >5

PB 6 7 4 1 5 16 9 11 7 6 TP 5 4 8 5 3 8 7 6 8 4 LD 8 8 4 3 5 9 9 8 7 5 DD 8 8 9 9 7 11 10 7 5 5 TPg 4 1 8 1 4 8 7 8 4 4

Keterangan: PB=panjang badan, TP=tinggi pundak, LD=lingkar dada, DD=dalam dada, TPg=tinggi pinggul

Koefisien keragaman ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak

adalah rendah yaitu dengan kisaran 1 sampai 16%. Rendahnya koefisien

keragaman ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran populasi yang diamati dan

wilayah penyebaran ternak yang masih dalam kondisi agroekosistem yang sama.

Page 2: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Secara umum, keragaman ukuran tubuh yang tinggi ditemukan pada

kelompok umur 1 sampai 2 tahun baik pada kerbau jantan maupun betina. Hal ini

disebakan oleh perbedaan pertumbuhan yang cepat terutama pertumbuhan

kerangka tulang dan daging pada anak kerbau. Perbedaan manajemen

pemeliharaan anak kerbau oleh masing-masing peternak akan berakibat pada

perbedaan kecepatan pertumbuhannya. Begitu pula kemampuan induk untuk

menghasilkan susu juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak kerbau

prasapih.

Ukuran-Ukuran Tubuh Terkait dengan Performa Produksi

Ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak terkait dengan

performa produksi meliputi panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, dalam

dada, dan tinggi pinggul pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin

disajikan pada Lampiran 1 sampai 5. Analisis uji-t untuk membandingkan rataan

ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak disajikan pada Lampiran 6 sampai

13.

Panjang Badan

Perbandingan rataan panjang badan antara kerbau Pandeglang dan Lebak

pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 3.

jantan

80

90

100

110

120

130

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Panj

ang

Bada

n (c

m)

betina

80

90

100

110

120

130

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Panj

ang

Bada

n (c

m)

Gambar 3 Perbandingan rataan panjang badan antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin.

Secara umum panjang badan kerbau Pandeglang dan Lebak tidak berbeda,

kecuali pada kebau betina kelompok umur 4 sampai 5 tahun. Hasil analisis uji-t

(Lampiran 12) menunjukkan bahwa pada kelompok umur 4 sampai 5 tahun,

panjang badan kerbau Pandeglang betina (114 cm) lebih pendek (P<0.01)

dibandingkan kerbau betina Lebak (125 cm).

Pandeglang Lebak

Page 3: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Tinggi Pundak

Perbandingan rataan tinggi pundak antara kerbau Pandeglang dan Lebak

pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 4.

jantan

80

90

100

110

120

130

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Ting

gi P

unda

k (c

m)

betina

80

90

100

110

120

130

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Ting

gi P

unda

k (c

m)

Gambar 4 Perbandingan rataan tinggi pundak antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin.

Berdasarkan Gambar 4, rataan tinggi pundak kerbau Pandeglang dan

Lebak tidak berbeda, kecuali pada kebau betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun.

Pada kelompok umur 2 sampai 3 tahun, kerbau betina Pandeglang mempunyai

rataan tinggi pundak (155 cm) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan rataan tinggi

pundak kerbau betina Lebak (107 cm). Hal ini ditunjukkan dengan analisis uji-t

pada Lampiran 9.

Lingkar Dada

Perbandingan rataan lingkar dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak

pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 5.

jantan

120130140150160170180

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Ling

kar D

ada

(cm

)

betina

120130140150160170180

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

lingk

ar d

ada

(cm

)

Gambar 5 Perbandingan rataan lingkar dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin.

Pandeglang Lebak

Pandeglang Lebak

Page 4: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Berdasarkan Gambar 5, ukuran lingkar dada pada berbagai kelompok

umur dan jenis kelamin antara kerbau Pandeglang dan Lebak tidak jauh berbeda,

kecuali pada kerbau betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun. Pada kelompok

umur tersebut, kerbau betina Pandeglang dan Lebak masing-masing mempunyai

rataan lingkar dada sebesar 173 cm dan 152 cm. Hasil uji-t (Lampiran 9)

menunjukkan bahwa rataan lingkar dada kerbau betina Pandeglang dan Lebak

lelompok umur 2 sampai 3 tahun tidak berbeda.

Dalam Dada

Perbandingan rataan dalam dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak

pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 6.

jantan

45505560657075

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Dala

m D

ada

(cm

)

betina

45505560657075

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Dal

am D

ada

(cm

)

Gambar 6 Perbandingan rataan dalam dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin.

Berdasarkan gambar 6, rataan dalam dada pada berbagai kelompok umur

dan jenis kelamin antara kerbau Pandeglang dan Lebak tidak berbeda. Hal ini

ditunjukkan dengan analisis uji-t pada Lampiran 6 sampai 13.

Tinggi Pinggul

Perbandingan rataan tinggi pinggul antara kerbau Pandeglang dan Lebak

pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 7.

Berdasarkan hasil analisis uji-t (Lampiran 9), kerbau betina Pandeglang kelompok

umur 2 sampai 3 tahun mempunyai rataan tinggi pinggul (116 cm) lebih tinggi

(P<0.01) dibandingkan rataan tinggi pinggul kerbau betina Lebak (107 cm). Pada

kelompok umur 3 sampai 4 tahun (Lampiran 10), rataan tinggi pinggul kerbau

jantan Pandeglang (118 cm) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan rataan tinggi

pinggul kerbau betina Lebak (113 cm). Pada kelompok umur lebih dari 4 tahun,

Pandeglang Lebak

Page 5: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

rataan ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak tidak dapat

dibandingkan yang disebabkan karena tidak terdapatnya sampel ternak kerbau

Pandeglang pada kelompok umur 4 sampai 5 tahun dan tidak terdapatnya sampel

ternak kerbau Lebak pada kelompok umur lebih dari 5 tahun. Pada kelompok

umur lebih dari 5 tahun, kerbau betina Pandeglang mempunyai tinggi pinggul

(120 cm) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan kerbau betina Lebak (117 cm).

jantan

80

90

100

110

120

130

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (tahun)

Ting

gi P

ingg

ul (c

m)

betina

80

90

100

110

120

130

1-2 2-3 3-4 4-5 >5

Kelompok Umur (cm)Ti

nggi

Pin

ggul

(cm

)

Gambar 7 Perbandingan rataan tinggi pinggul antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin.

Secara umum, ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak tidak

berbeda kecuali pada beberapa kelompok umur dan jenis kelamin. Perbedaan

ukuran-ukuran tubuh kerbau merupakan parameter sifat pertumbuhan kerbau yang

merupakan sifat kuantitatif yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Pengaruh Lingkungan terhadap Ukuran Tubuh Kerbau

Ukuran tubuh merupakan parameter sifat pertumbuhan yang dipengaruhi

oleh faktor genetik dan lingkungan. Lingkungan yang optimum diperlukan oleh

kerbau untuk berbagai proses metabolisme tubuh. Pengaruh lingkungan terkait

dengan pertumbuhan kerbau dibedakan menjadi pengaruh lingkungan alam dan

pengaruh dari sistem produksi dan manajemen pemeliharaan. Pengaruh

lingkungan alam yang meliputi iklim merupakan perpaduan unsur-unsur suhu,

kelembapan dan curah hujan. Suhu sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat di

atas permukaan laut, semakin tinggi tempat maka suhu udara semakin rendah.

Suhu lingkungan yang zona nyaman untuk pertumbuhan kerbau berkisar antara

15 sampai 21 oC dengan curah hujan 500 sampai 2 000 mm/tahun. Kerbau akan

mengalami cekaman panas pada suhu diatas 24 oC (Fahimuddin 1975).

Pandeglang Lebak

Page 6: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Ketinggian tempat dapat mempengaruhi produktivitas kerbau baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung dapat berupa suhu.

Kondisi suhu yang lebih rendah pada dataran tinggi dapat memberikan situasi

lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan kerbau. Pengaruh secara tidak

langsung dapat berupa ketersediaan hijauan pakan ternak, baik secara kuantitas

maupun kualitasnya (Joseph 1996). Secara umum, iklim di wilayah Pandeglang

dan Lebak tidak berbeda sehingga tidak akan berdampak pada perbedaan

performa produksi kerbau termasuk ukuran-ukuran tubuh.

Selain karena pengaruh lingkungan alam yang berupa iklim, produktivitas

kerbau juga dipengaruhi oleh tatacara pengelolaan ternak meliputi tujuan dan

manajemen pemeliharaan, pemberian pakan, pola perkawinan dan seleksi serta

penanganan kesehatan ternak.

Tujuan dan Manajemen Pemeliharaan

Pada umumnya tujuan pemeliharaan kerbau baik di Pandeglang maupun di

Lebak bukan merupakan usaha utama. Tujuan pemeliharaan kerbau di Kabupaten

Pandeglang yang utama adalah sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah

tanah pertanian. Tujuan pemeliharaan kerbau di Kabupaten Lebak yang paling

dominan adalah sebagai sumber pendapatan atau tabungan. Kerbau dapat dijual

sewaktu-waktu ketika ada kebutuhan yang keluarga yang mendesak. Pemanfaatan

kerbau yang kedua yaitu sebagai sumber tenaga untuk mengolah lahan pertanian.

Kondisi ini mungkin disebabkan karena lahan sawah di Lebak merupakan lahan

sawah tadah hujan, yang hanya bisa ditanami padi satu tahun sekali, sehingga

kebutuhan tenaga kerja kerbau untuk mengolah lahan tidak begitu banyak.

Pemeliharaan kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Lebak dilakukan

secara semi intensif dan terintegrasi dengan sistem usaha tani yang sudah

berlangsung secara turun temurun. Secara umum, kerbau digembalakan pada

siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Peternak di Pandeglang

mengembalakan kerbaunya mulai pagi hari sampai sore dan dikandangkan pada

malam hari. Jerami padi dan sisa hasil perkebunan sering diberikan untuk pakan

pelengkap. Beberapa peternak mengintegrasikan hasil sawah dan perkebunan

untuk ternaknya dan pemanfaatan kotoran kerbau untuk pertanian. Peternak di

Lebak mengembalakan kerbaunya mulai jam tujuh pagi untuk merumput,

Page 7: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

kemudian dikandangkan pada jam sepuluh sampai jam dua siang dan dilepas

kembali sampai jam lima sore. Pada malam hari kerbau berada di kandang.

Ketersediaan rumput lapang pada lahan penggembalaan di Pandeglang

lebih beragam dibandingkan di Lebak. Hal ini disebabkan jangkauan wilayah

untuk penggembalaan di Pandeglang masih luas, sedangkan di Lebak wilayah

jangkauan penggembalaan mulai menyempit dan sebagian besar hanya berupa

sawah tadah hujan yang letaknya tidak jauh dari lokasi perkotaan. Penggembalaan

kerbau dilakukan secara bersama. Pola penggembalaan bersama merupakan pola

umum yang berlaku sehingga selain kerbau mendapatkan kebutuhan pakan

hijauan, peternak mengharapkan adanya perkawinan dari pejantan milik peternak

lain.

Dilihat dari sistem perkandangan, konstruksi bangunan kandang pada

daerah Pandeglang dan Lebak tidak jauh berbeda, dinding kandang terbuat dari

kayu dan bambu, atap kandang dibuat dari rumbia, serta lantai kandang beralaskan

tanah. Kandang kerbau di Lebak terletak secara berkelompok, yang lokasinya

terpisah dari tempat pemukiman penduduk, sedangkan di Pandeglang kandang

tidak terletak secara berkelompok. Ukuran kandang baik di Pandeglang maupun di

Lebak rata-rata hampir sama, dengan panjang sekitar 4 sampai 5 m, lebar sekitar 3

meter dan tinggi seitar 2.5 m. Kandang yang ada digunakan untuk menampung

kerbau pada berbagai tingkatan umur dan belum ada pemisahan kusus untuk

kerbau yang sesuai umur. Setiap kandang mampu manampung sekitar 4 sampai 5

ekor.

Pemberian Pakan

Pemberian pakan didalam kandang atau sistem cut and carry, belum

banyak dilakukan oleh peternak. Pakan disediakan hanya pada waktu tertentu

seperti pada musim kemarau atau setelah kerbau digunakan untuk membajak.

Pakan ternak kerbau baik di Pandeglang maupun di Lebak sebagian besar berasal

dari rumput yang didapat saat kerbau digembalakan. Pada malam hari saat kerbau

dikandangkan, sebagian peternak di Lebak memberi rumput yang telah

diperolehnya pada siang hari, seperti rumput gajah dan ilalang dengan jumlah

pemberian yang tidak ditentukan. Sebagian peternak di Pandeglang memberikan

Page 8: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

pakan tambahan berupa sagu dalam bentuk bongkahan dengan jumlah yang tidak

ditentukan.

Pola Perkawinan dan Seleksi

Pola perkawinan kerbau di Banten secara umum adalah perkawinan alam

yang terjadi secara acak pada saat ternak digembalakan. Perkawinan kerbau pada

saat digembalakan lebih sering terjadi dalam kelompok (pemilik) yang sama. Hal

ini terjadi karena ternak kerbau cenderung berkelompok menurut pemilik masing-

masing. Pada setiap kelompok penggembalaan, umumnya hanya terdapat

beberapa pejantan dengan perbandingan jantan betina yaitu 1: 8 sampai 12.

Teknologi inseminasi buatan (IB) baik di Pandeglang maupun di Lebak, belum

diaplikasikan.

Penanganan Kesehatan Ternak

Penanganan kesehatan ternak telah dilakukan oleh petugas kesehatan

hewan dari dinas peternakan pada masing-masing daaerah di Kabupaten

Pandeglang dan Lebak. Penanganan kesehatan yang dilakukan terkait dengan

sering munculnya penyakit kulit dan gatal-gatal yang banyak ditemukan pada

kerbau Bule (albino). Selain itu juga diberikan obat-obatan lain, seperti obat

cacing dan vitamin.

Identifikasi Polimorfisme Lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI

Amplifikasi Lokus GH/MspI

Amplifikasi gen GH dilakukan dengan teknik polymerase chain reaction

(PCR) dengan menggunakan sepasang primer menurut Mitra et al. (1995). Pada

penelitian ini, pasangan primer yang digunakan berhasil mengamplifikasi gen GH

pada kerbau dengan panjang sekitar 327 pb. Perkiraan sekuen gen GH kerbau

hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Lokasi amplifikasi gen GH

meliputi daerah intron 3 (GenBank : M57764). Gen GH kerbau (Bubalus bubalis)

terletak pada kromosom 3p dengan panjang sekitar 1800 pb yang terdiri dari 5

ekson dan 4 intron (Iannuzzi et al. 1999). Pada sapi (Bos taurus) gen GH terletak

pada kromosom 19q dan terdiri atas 5 ekson (Hediger et al. 1990).

Page 9: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Gambar 8 Perkiraan sekuen gen GH target (sumber: sekuen gen GH sapi nomor akses GenBank : M57764).

Genotiping Lokus GH/MspI

Teknik restriction fragment length polymorphisms (RFLP) digunakan

untuk mendeteksi genotipe gen GH dengan enzim restriksi MspI yang mengenali

situs restriksi C*CGG. Pola pita elektroforesis lokus GH/MspI dapat dilihat pada

Gambar 9.

Gambar 9 Pola pita pemotongan gen GH Sepanjang 327 pb pada gel poliakrilamid 6%. U = produk PCR.

Gambar 9 menunjukkan pola pita pemotongan enzim MspI terhadap

produk PCR gen GH sepanjang 327 pb menghasilkan dua alel yaitu GH(+) dan

GH(-). Mutasi yang terjadi terletak pada basa ke-104 yaitu mutasi titk C-T pada

intron 3 (Gambar 8). Gen GH dengan genotipe GH(+/+) ditunjukkan dengan

potongan sempurna dengan dua fragmen yaitu 104 dan 223 pb. Genotipe GH(+/-)

dengan tiga fragmen yaitu 104, 223 dan 327 pb. Genotipe GH(-/-) ditunjukkan

dengan tidak terpotongnya produk PCR sepanjang 327 pb.

cccacgggcaagaatgaggcccagcagaaatcagtgagtggcaacctcggaccgaggagcaggg

gacctccttcatcctaagtaggctgccccagctcccgcac*cggcctggggcggccttctccccgagg

tggcggaggttgttggatggcagtggaggatgatggtgggcggtggtggcaggaggtcctcgggcg

aggccgaccttgcagggctgccccagacccgcggcacccaccgaccacccacctgccagcaggac

ttggagctgcttcgcatctcactgctcctcatccagtcgtggcttgggcccctgcagttcctca

Primer F

Primer R

Page 10: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Amplifikasi Lokus GHRH/HaeIII

Pasangan primer gen GHRH pada penelitian ini berhasil mengamplifikasi

gen GHRH kerbau dengan panjang sekitar 451 pb. Perkiraan sekuen gen GHRH

kerbau hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Perkiraan sekuen gen GHRH target (sumber: sekuen gen GHRH sapi nomor akses GenBank: AF242855).

Fragmen gen GHRH yang diamplifikasi pada penelitian ini terletak di

sebagian ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Panjang fragmen gen GHRH

hasil amplifikasi pada sapi adalah 455 pb (Moody et al. 1995) dan pada babi 455

pb (Franco et al. 2005). Pada sapi (Bos taurus), gen GHRH terletak pada

kromosom 13 dan keberadaanya berdekatan dengan mikrosatelit CSSM30 dan

terdiri dari 5 ekson yang dipisahkan oleh 4 intron dengan panjang 9356 pb

(Barendse et al. 1994).

Genotiping Lokus GHRH/HaeIII

Produk PCR gen GHRH dipotong dengan enzim restriksi HaeIII. Pola

pita elektroforesis lokus GHRH/HaeIII dapat dilihat pada Gambar 14. Produk

PCR gen GHRH sepanjang 451 pb yang dipotong dengan enzim restriksi HaeIII

menghasilkan empat fragmen yang panjangnya adalah 118, 194, 94 dan 45 pb

Keempat pita tersebut menunjukkan alel B (GenBank: AF242855). Berdasarkan

Gambar 11, genotipe AB ditunjukkan dengan adanya lima fragmen 312, 194, 118,

94 dan 45 pb. Genotipe BB ditunjukkan dengan adanya empat fragmen yaitu 194,

118, 94 dan 45 pb. Genotipe AA gen GHRH tidak ditemukan baik pada populasi

kerbau Pandeglang maupun Lebak. Mutasi titik terjadi pada basa ke-312 yang

Tgaaggatgctgctctgggtgttcttcctcgtgaccctcaccctcagcagcggctcccacggttccc

tgccttcccagcctctcaggtaagcagttctgagaagagaagcaagagaggccctttgaggatgcga

ctcgagctggtccccagctgggtcctcaggcagcctcccttgctcatctctgggagggtggcagact

gagccccagagaggtcaccacccagccctggttccagccctctctggggacgagcagggcaaga

ggcgacagaaagacctcacagagaccaagtgagcacagtcccctggg*cctcccaccccaccctt

tgacctctgactccttctactaggattccacggtacgcagatgccatcttcactaacagctaccggaag

gttctgggccagctgtctgcccgcaagctactccaggatatcatgaacaggca

Primer F

Primer R

Page 11: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

dikenali dengan enzim restriksi HaeIII pada situs restriksi GG*CC (Gambar 10).

Mutasi terjadi pada intron 2 sehingga mutasi terjadi pada sekuen yang tidak

ditranskripsikan (GenBank: AF242855).

Gambar 11 Produk PCR gen GHRH dengan panjang sekitar 451 pb, dan pola pita pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII pada gel poliakrilamid 6%.

Amplifikasi Lokus Pit-1/HinfI

Pasangan primer gen Pit-1 yang digunakan pada penelitian ini berhasil

mengamplifikasi gen Pit-1 kerbau dengan panjang sekitar 600 pb. Perkiraan

sekuen gen Pit-1 kerbau hasil amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 12. Fragmen

gen Pit-1 yang diamplifikasi pada penelitian ini terletak di sebagian ekson 6,

dengan panjang sekitar 600 pb (Wollard et al. 1994). Pada sapi (Bos taurus) dan

domba (Ovis aries) gen Pit-1 terletak pada kromosom 1.

Genotiping Lokus Pit-1/HinfI

Produk PCR Gen Pit-1 sepanjang 600 pb dipotong dengan enzim restriksi

HinfI menghasilkan pemotongan dengan pola yang sama pada semua sampel yang

dianalisis (Gambar 13). Lokus Pit-1/HinfI bersifat monomorfik pada populasi

kerbau Banten. Pemotongan dengan enzim restriksi HinfI menghasilkan dua

fragmen yaitu 357 dan 243 pb (genotipe BB). Pada gen Pit-1 sapi, terdapat dua

alel yaitu alel A dan B sebagai akibat dari mutasi titik A-G pada ekson 6 tepatnya

pada basa ke-357 yang dikenali dengan enzim restriksi HinfI pada situs restriksi

G*ANTC (Gambar 12). Mutasi ini tidak mengakibatkan terjadinya perubahan

asam amino (silent mutation) (Dierkes et al.1998).

gel RFLP diagram RFLP

Page 12: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Gambar 12 Perkiraan sekuen gen Pit-1 target (sumber: sekuen gen Pit-1 domba nomor akses GenBank : AJ549207).

Gambar 13 Produk PCR gen Pit-1 sepanjang 600 pb dan pola pita RFLP dengan enzim restriksi HinfI pada gel poliakrilamid 6%.

Polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI

Polimorfisme atau keragaman ditunjukkan dengan adanya dua alel atau

lebih dalam suatu populasi. Gen dikatakan bersifat polimorfik (beragam) yaitu

apabila salah satu alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei & Kumar

2000) atau 95% (Hartl 1988). Sebaliknya, gen dikatakan monomorfik apabila

tidak memenuhi kriteria polimorfik diatas. Keragaman genetik digunakan untuk

Gagcctacatgagacaagcatctaaatgttcaaaaaaaacttcacatttattattgttgaagagcttg

gaaggtgttttcagagtctttaggtttcctttttacgttaatgctaatactaatgtttaggaaatttaacctaa

cttgattttgatcatctcccttcttctttcctgccaactccccatctcccagtattgctgctaaagacgccct

gagagacactttggagaacagaataagccttcctctcaggagatcctgaggatggctgaagaactaa

actggagaaagaagtggtgagggtttggttttgtaaccgaagacagagagaaaaacgggtgaaaac

aagcctg*aatcagagtttatttcctatttctaaggagcatcttgaatgcagataggtctcccgttgtgta

acgcgagcttttctgctttccattcctttcccttctccagccaaagtagaaatcagttatttggttagcttcc

aaacgtcacatcagtaatgtttgcagaagtgtttctcttctactttaaaaacaaatacaatttaaattatgtt

gatgaattattctcagaaggcatattgt acattt

Primer F

Primer R

produk PCR pola RFLP

Page 13: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

menginvestigasi hubungan genetik suatu spesies antar subpopulasi. Prinsipnya

adalah kemungkinan adanya alel bersama yang dimiliki antar subpopulasi yang

disebabkan oleh migrasi. Alel bersama ini juga mengindikasikan adanya asal-usul

atau tetua yang sama (Hartl 1988).

Keragaman genetik dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan

nilai frekuensi alel. Frekuensi alel adalah proporsi jumlah suatu alel terhadap

jumlah total alel dalam suatu populasi pada lokus yang sama (Nei & Kumar

2000). Berdasarkan nilai frekuensi alel, maka selanjutnya dapat dibandingkan

perbedaan antar gen, baik didalam maupun antar populasi. Perhitungan frekuensi

alel dapat dilakukan dengan mudah menurut petunjuk Nei (1987).

Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe

Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2)

untuk lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada subpopulasi kerbau

Pandeglang dan Lebak disajikan pada Tabel 7.

Lokus GH/MspI Studi tentang keragaman ketiga gen GH belum banyak dilakukan pada

ternak kerbau. Lokus GH/MspI bersifat polimorfik pada subpopulasi kerbau

Pandeglang dengan frekuensi alel GH(+) yang tinggi yaitu 0.96, dan frekuensi alel

GH(-) sebesar 0.04. Frekuensi genotipe GH(+/+), GH(+/-) dan GH(-/-) secara

berurutan yaitu 0.92, 0.08 dan 0.00. Pada subpopulasi Lebak, lokus GH/MspI

bersifat monomorfik dengan hanya ditemukanya alel GH(+). Tingginya frekuensi

alel GH(+) ini juga ditemukan pada beberapa populasi ternak sapi (Falaki et

al.1996; Lagziel et al. 2000). Oleh beberapa peneliti, keragaman pada lokus

GH/MspI ini digunakan untuk mengetahui pola distribusi alel antara bangsa sapi

tidak berpunuk (Bos taurus) dan bangsa sapi berpunuk (Bos Indicus). Pada bangsa

sapi Bos indicus, dijumpai frekuensi alel GH(-) yang lebih tinggi dibandingkan

frekuensi alel GH(+) (Lagziel et al. 2000).

Page 14: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Tabel 7 Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 dan p) pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak

Lokus Subpopulasi

GH/MspI GHRH/HaeIII Pit-1/HinfI

Pandeglang

GH (+): 0.96 A : 0.41 A : 0.00 Frekuensi alel

GH (-) : 0.04 B : 0.59 B : 0.00

GH (+/+) : 0.92 AA : 0.00 AA : 0.00

GH (+/-): 0.08 AB : 0.86 AB : 0.00

Frekuensi genotipe

GH (-/-): 0.00 BB : 0.14 BB : 0.00

χ2 (p) 0.04 (0.834) 24.68 (0.000)** --

Lebak

GH (+): 1.00 A : 0.43 A : 0.00 Frekuensi alel

GH (-) : 0.00 B : 0.57 B : 0.00

GH (+/+): 1.00 AA : 0.00 AA : 0.00

GH (+/-): 0.00 AB : 0.81 AB : 0.00

Frekuensi genotipe

GH (-/-): 0.00 BB : 0.19 BB : 0.00

χ2 (p) 0.04 (0.834) 14.33

(0.000)**

--

Keterangan : ** Menunjukkan nilai χ2 yang menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg dengan P<0.01.

Frekuensi alel GH(-) hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang

dengan frekuensi rendah sebesar 0.04. Dua alasan dapat dikaitkan dengan

rendahnya frekuensi suatu alel yaitu produk mutasi terkini dan atau efek dari

random genetic drift karena berbagai sebab. Bila ditinjau dari sisi pemulian

ternak, rendahnya suatu alel disebabkan oleh adanya seleksi yang intensif

terhadap genotipe tertentu yang merupakan kombinasi homosigot alel lainnya

(alternative allele). Pada kondisi populasi kerbau di Banten, upaya seleksi tidak

dilakukan secara terprogram dan tidak didasarkan pada genotipe tertentu.

Rendahnya frekuensi alel GH(-) pada populasi kerbau Banten kemungkinan

disebabkan oleh adanya mutasi terkini. Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa

Page 15: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

daerah mutasi pada gen GH ini terletak pada daerah intron dimana frekuensi

terjadinya mutasi lebih tinggi dibandingkan daerah ekson (Nei 1987). Selain itu,

rendahnya frekuensi alel GH(-) juga disebabkan oleh rendahnya frekuensi

genotipe heterosigot GH(+/-) (0.08) dan tidak terdapatnya genotipe homosigot

GH(+/-) (0.00). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran alel GH(-)

dari daerah lain, mengingat bahwa populasi kerbau Banten merupakan populasi

yang terbuka dengan adanya perdagangan dan pemasaran kerbau dari daerah dan

pulau lain.

Lokus GHRH/HaeIII

Lokus GHRH/HaeIII pada populasi kerbau di Banten bersifat polimorfik,

baik pada subpopulasi Pandeglang maupun Lebak. Secara umum, frekuensi alel B

lebih tinggi dibanding alel A dan tidak ditemukan genotipe AA pada kedua

subpopulasi. Frekuensi alel dan frekuensi genotipe lokus GHRH/HaeIII tidak

berbeda jauh pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak Pada subpopulasi

Pandeglang, frekuensi alel A dan B masing-masing sebesar 0.41 dan 0.59.

Frekuensi genotipe AA, AB dan BB secara berurutan yaitu 0.00, 0.86 dan 0.14.

Pada subpopulasi Lebak, frekuensi alel A dan B masing-masing sebesar 0.43 dan

0.57, dengan frekuensi genotipe AA, AB dan BB secara berurutan yaitu 0.00, 0.81

dan 0.19. Penelitian tentang keragaman gen GHRH belum banyak dilakukan pada

populasi kerbau rawa. Pada populasi kerbau perah Murrah yang termasuk dalam

kelompok kerbau sungai (riverine buffalo), lokus GHRH/HaeIII bersifat

monomorfik dengan tidak ditemukanya alel A (Rajamurugan et al. 2007).

Beberapa penelitian mengenai keragaman gen GHRH telah dilakukan pada ternak

sapi. Kmiec et al. (2007) melaporkan keragaman lokus GHRH/HaeIII pada sapi

perah Polish Red and White dengan frekuensi alel A dan B masing-masing 0.28

dan 0.72, serta frekuensi genotipe AA, AB dan BB masing-masing 0.09, 0.38 dan

0.53.

Likus Pit-1/HinfI

Pada penelitian ini gen Pit-1 pada populasi kerbau di Banten, yang

merupakan jenis kerbau rawa, bersifat monomorfik. Berbeda dengan yang

dilaporkan oleh Javanmard et al. (2005), bahwa pada populasi kerbau di Iran yang

merupakan kerbau sungai (tipe perah), frekuensi alel A dan B dilaporkan sebesar

Page 16: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

0.15 dan 0.85 serta frekuensi genotipe AA, AB dan BB masing-masing secara

berurutan 0.10; 0.10 dan 0.80. Pada bangsa sapi Bos taurus, laporan mengenai

keragaman gen Pit-1 yang dideteksi dengan teknik RFLP, pertama kali

dikemukakan oleh Wollard et al. (1994). Frekuensi alel A gen Pit-1 pada sapi

bervariasi mulai dari 0.25 (Di Stasio et al. 2002), 0.45 (Moody et al. 1995), dan

0.53 (Renaville et al. 1997).

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Suatu populasi dikatakan dalam kesembangan Hardy-Weinberg yaitu jika

frekuensi genotipe dan frekuensi alel selalu konstan dari generasi ke generasi

berikutnya. Hal ini terjasi sebagai penggabungan gamet secara acak dalam

populasi yang besar (Vasconcellous et al. 2003). Keseimbangan gen dalam

populasi terjadi jika tidak ada seleksi, mutasi, migrasi dan genetic drift (Falconer

& Mackay (1996). Pada penelitian ini (Tabel 3), menunjukkan bahwa frekuensi

genotipe lokus GH/MspI pada subpopulasi Pandeglang tidak menyimpang dari

keseimbangan Hardy-Weinberg (P>0.05). Frekuensi genotipe lokus

GHRH/HaeIII pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak menyimpang dari

keseimbangan Hardy-Weinberg.

Heterosigositas dan Indeks Fiksasi

Heterosigositas dan Indesk Fiksasi pada Subpopulasi Pandeglang dan Lebak Keragaman genetik suatu populasi juga dapat diukur dengan nilai

heterosigositas (Nei 1987). Nilai heterosigositas teramati (Ho) dan heterosigositas

harapan (He) dapat digunakan untuk menduga nilai koefisien inbreeding pada

suatu kelompok ternak (Hartl 1988). Nilai indeks fiksasi (FIS) dapat digunakan

untuk mengetahui pola perkawinan dan pola seleksi yang terjadi di dalam

populasi. Nilai indeks fiksasi bisa positif atau negatif, hal tersebut dipengaruhi

oleh adanya inbreeding, seleksi dan kawin yang tidak acak (Nei 1987). Nilai

Heterosigositas Pengamatan (Ho) dan Heterosigositas Harapan (He) pada

subpopulasi kerbau di Pandeglang dan Lebak ditunjukkan pada Tabel 8.

Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa keragaman genetik pada

lokus GH/MspI di Pandeglang adalah rendah yang ditunjukkan dengan nilai

Page 17: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

heterosigositas pengamatan (Ho) sebesar 0.0811. Lokus GHRH/HaeIII

mempunyai keragaman genetik yang tinggi baik pada subpopulasi Pandeglang dan

Lebak dengan nilai heterosigositas pengamatan masing-masing 0.8636 dan

0.8125. Lokus Pit-1/HinfI bersifat monomorfik baik pada subpopulasi Pandeglang

maupun Lebak.

Perbedaan nilai Ho dan He pada lokus GHRH/HaeIII, baik pada populasi

Pandeglang maupun Lebak. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan

Hardy-Winberg pada populasi yang diamati (Tombasco et al. 2003). Hal senada

juga terlihat pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa frekuensi genotipe pada

lokus GHRH/HaeIII telah menyimpang dari kesseimbangan Hardy-Winberg

(P<0.05).

Tabel 8 Nilai heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He)

Pandeglang Lebak Lokus

N Ho He N Ho He

GH/MspI 37 0.0811 0.0789 26 0.0000 0.0000

GHRH/HaeIII 44 0.8636 0.4963 32 0.8125 0.4901

Pit1/HinfI 44 0.0000 0.0000 33 0.0000 0.0000

Rata-Rata 0.3193 0.1898 0.2708 0.1634

Heterosigositas dan Indeks Fiksasi pada Populasi Banten

Nilai heterosigositas pengamatan (Ho) dan heterosigositas harapan (He)

digunakan untuk menduga keragaman genetik. Heterosigositas harapan (He)

merupakan penduga keragaman genetik yang tepat pada populasi hewan ternak

karena perhitungannya langsung berdasarkan pada frekuensi alel (Moioli et al.

2004). Nilai indeks fiksasi FIS dan FIT digunakan untuk mengetahui pola

perkawinan dan pola seleksi yang terjadi di dalam populasi, sedangkan nilai FST

digunakan untuk mengetahui deferensiasi genetik antar subpopulasi. Nilai

heterosigositas pengamatan (Ho), heterosigositas harapan (He) dan indeks fiksasi

(FIS, FIT dan FST) pada populasi Banten ditunjukkan pada Tabel 9.

Secara keseluruhan nilai heterosigositas pengamatan (Ho) pada populasi

kerbau di Banten sebesar 0.2966 dan nilai heterosigositas harapan (He) sebesar

0.1792. Pebedaan yang signifikan antara nilai Ho (0.8421) dan He (0.4908)

Page 18: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

dijumpai pada lokus GHRH/HaeIII yang mengindikasikan terjadinya

penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg pada lokus tersebut. Pada lokus

GH/MspI tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai Ho dan He,

sehingga tidak ada penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg. Pada populasi

kerbau di Banten, nilai Ho lebih tinggi dibandingkan nilai He mengindikasikan

bahwa belum ada kegiatan seleksi yang dilakukan secara intensif dengan

menggunakan pejantan tertentu (Machado et al. 2003).

Nilai FIS pada penelitian ini pada populasi Banten untuk semua lokus

bernilai negatif. Nilai FIS yang bernilai negatif mengindikasikan bahwa pada

populasi tersebut, sistem perkawinanya secara acak. Pada kedua lokasi di

Pandeglang dan Lebak, ternak dibiarkan melakukan perkawinan sendiri pada saat

ternak digembalakan. Hal ini berkaitan dengan belum adanya proses seleksi yang

dilakukan oleh peternak baik di Banten dengan cara penggunaan pejantan tertentu

untuk digunakan sebagai bibit.

Tabel 9 Heterosigositas dan indeks fiksasi pada populasi Banten

Lokus N Ho He FIS FIT FST

GH/MspI 63 0.0476 0.0469 -0.0423 -0.0207 0.0207

GHRH/HaeIII 76 0.8421 0.4908 -0.7224 -0.7213 0.0007

Pit-1/HinfI 77 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

Nilai FIT untuk lokus GH/MspI pada populasi kerbau di Banten mendekati

nilai 0 (-0.0207). Hal ini berarti bahwa distribusi genotipe gen tersebut memenuhi

prinsip keseimbangan Hardy-Weinberg. Hasil yang sama juga dapat dilihat dari

nilai chi square (Tabel 7) sebesar 0.04 (P>0.05) yang menunjukkan adanya

keseimbangan Hardy-Weinberg. Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg

terjadi pada lokus GHRH/HaeIII ditunjukkan dengan nilai FIT mendekati -1 (-

0.7224). Hal ini terjadi karena kekurangan genotipe homosigot pada lokus

tersebut, tetapi bukan karena adanya seleksi yang mengarah ke peningkatan

frekuensi genotipe heterosigot. Pola perkawinan berlangsung secara acak seperti

ditunjukkan dengan nilai FIS yang bernilai negatif.

Nilai FST menunjukkan ada atau tidaknya diferensiasi genetik antar

subpopulasi. Populasi kerbau Banten yang dipisah menjadi dua subpopulasi yaitu

Page 19: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Pandeglang dan Lebak mempuyai nilai FST rataan sebesar 0.0024. Nilai FST lebih

kecil dari 0.05 mengindikasikan deferensiasi genetik yang kecil (Wright 1978),

yang berarti bahwa pemisahan populasi Banten menjadi dua subpopulasi

Pandeglang dan Lebak hanya akan menurunkan keragaman genetik yang tidak

signifikan yaitu sebesar 0.24%. Hal ini berarti bahwa sebenarnya antara

subpopulasi Pandeglang dan Lebak belum terdeferensiasi secara genetik

berdasarkan lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI.

Hubungan Genotipe dengan Ukuran Tubuh

Pada penelitian ini analisis hubungan genotipe dengan ukuran tubuh hanya

dapat dilakukan pada lokus GHRH/HaeIII. Lokus Pit-1/HinfI bersifat monomorfik

dan lokus GH/MspI mempunyai sebaran genotipe yang tidak memungkinkan

untuk dilakukan analisis hubungan genotipe dengan ukuran tubuh. Hasil analisis

uji-t menunjukkan bahwa genotipe lokus GHRH/HaeIII tidak berpengaruh

(P>0.05) terhadap ukuran-ukuran tubuh kerbau di Banten (Tabel 10). Ukuran-

ukuran tubuh merupakan parameter sifat pertumbuhan yang merupakan akumulasi

pengaruh dari banyak gen (polygenes) dan masing-masing gen akan memberikan

kontribusi yang kecil (Falconer & Mackay 1996). Lokus GHRH/HaeIII pada

penelitian ini merupakan sebagian kecil dari gen, sedangkan fungsi gen GHRH

terhadap sifat petumbuhan merupakan kerja gen secara keseluruhan.

Tabel 10 Rataan ukuran tubuh dan standar eror (x + s.e) pada setiap genotipe lokus GHRH/HaeIII yang berbeda pada kerbau Banten

Genotipe Ukuran tubuh

AB BB

(n=64) (n=12)

Panjang badan (cm) 116.65 + 0.88 117.38 + 1.70

Tinggi pundak (cm) 114.38 + 0.54 116.69 + 1.10

Lingkar dada (cm) 169.20 + 1.30 169.50 + 3.50

Dalam dada (cm) 62.24 + 0.58 63.85 + 1.70

Tinggi pinggul (cm) 118.14 + 0.55 120.43 + 1.20

Page 20: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Gen GHRH mengkodekan hormon GHRH yang berfungsi untuk

menstimuli sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan (Baker et al. 2000). Hormon

pertumbuhan berperan penting dalam fungsi pertumbuhan, reproduksi dan laktasi

(Etherton & Bauman 1998). Beberapa laporan telah menunjukkan adanya

hubungan antara alel-alel pada gen GHRH dengan beberapa sifat produksi ternak.

Kmiec et al. (2007) menyatakan bahwa alel A pada lokus GHRH/HaeIII superior

terhadap sifat produksi dan kualitas susu. Hal ini dipertegas oleh Moody et al.

(1995), serta Dybus dan Grzesiak (2006) yang menyatakan bahwa alel A

mempunyai hubungan dengan presentase lemak pada sapi perah Frisian Holstein.

Beberapa penelitian telah melaporkan tentang hubungan antara gen GH

dan Pit-1 dengan sifat produksi pada ternak. Jakaria (2008) melakukan analisis

hubungan antara genotipe lokus GH/MspI pada sapi Pesisir di Sumatera Barat

yang hasilnya menemukan bahwa genotipe lokus tersebut tidak memiliki

hubungan yang nyata dengan sifat produksi meliputi bobot badan, panjang badan,

tinggi pundak dan ligkar dada. Unanian et al. (2000) menyatakan bahwa genotipe

GH(+/+) memberikan pengaruh terhadap bobot lahir dan bobot sapih pada ternak

sapi. Bauchemin et al. (2006) menyatakan bahwa polimorfisme pada lokus

GH/MspI ini tidak ada hubunganya dengan sifat pertumbuhan dan produksi karkas

pada sapi. Gen GH berperan penting dalam fungsi pertumbuhan, reproduksi dan

laktasi (Etherton & Bauman 1998). Mutasi yang terjadi pada gen GH

kemungkinan akan berakibat pada perubahan fungsi fisiologis gen GH terhadap

fungsi pertumbuhan dan laktasi. Mutasi pada lokus GH/MspI terjadi pada daerah

intron sehingga tidak akan mengakibatkan perubahan asam amino penyusun

hormon pertumbuhan.

Pada hewan ternak, gen Pit-1 berfungsi dalam pengaturan transkripsi gen

GH dan prolaktin (Bodner et al. 1988). Gen Pit-1 juga berfungsi sebagai aktivator

gen-gen pituitary, termasuk gen Pit-1 itu sendiri (Chen et al. 1990) dan gen

GHRH (Lin et al. 1992). Demikian pentingnya gen Pit-1 ini, maka mutasi yang

terjadi dapat berakibat pada perubahan ekspresi protein homon yang terbentuk.

Pengaruh selanjutnya yaitu kemungkinan adanya perubahan pada ekspresi

fenotipe sifat produksi hewan ternak, khususnya terkait dengan sifat pertumbuhan.

Renaville et al. (1997) melaporkan keragaman gen Pit-1 pada sapi FH Italia.

Page 21: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Dilaporkan bahwa alel A, khususnya pada genotipe AB, superior terhadap alel B

pada sifat produksi dan kandungan protein susu, dalam dan bentuk tubuh serta

panjang kaki belakang. Terkait dengan tidak ditemukanya alel A pada populasi

kerbau rawa di Banten ini, diduga bahwa alel A spesifik untuk kerbau sungai yang

merupakan kerbau tipe perah.

Upaya Pemuliaan Kerbau Banten

Sejak dulu kerbau mempunyai peran penting bagi sebagian masyarakat

petani dipedesaan di Indonesia, begitu pula dengan yang terjadi di Banten. Sistem

pemeliharaan ternak kerbau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial ekonomi

dan budaya masyarakat serta telah menyatu dengan agroekosistem setempat. Oleh

karena itu, upaya pemuliaan kerbau harus melibatkan peran aktif peternak yang

berada dipedesaan melalui pola pemuliaan yang berkelanjutan. Desain pola

pemuliaan kerbau yang berkelanjutan dapat mengikuti skema open nucleus

breeding yang telah dilakukan di Thailand sejak tahun 1981 melalui The National

Buffalo Breeding and Research Programme. Tujuannya adalah diperoleh kerbau

unggul yang kemudian dapat disebar ke peternak (Na-Chiangmai 2000). Skema

yang sama sebenarnya dapat diterapkan di Provinsi Banten.

Khusus untuk Kabupaten Pandeglang, wilayah ini telah ditetapkan sebagai

salah satu sumber bibit dan wilayah pengembangan ternak kerbau. Upaya

pemuliaan di daerah bibit dapat dilakukan melalui program pemuliaan pola inti

terbuka (open nucleus breeding system). Pada pola ini terdapat tiga strata yaitu

inti, pembiak dan kelompok ternak di pedesaan.

Inti

Pada pemuliaan kerbau pola inti terbuka di Banten, yang berperan sebagai

inti adalah instansi pemerintah yang dibentuk atas prakarsa Pemerintah Provinsi

Banten dengan dukungan penuh pemerintah pusat baik pendanaan, teknis maupun

program pengembangan selanjutnya. Pihak inti ini dapat berupa UPT Daerah

Dinas Peternakan Banten dan terletak di Kabupaten Pandeglang sebagai daerah

sumber bibit. Bibit dasar di tingkat inti diperoleh dengan penjaringan ternak yang

mempunyai kualitas terbaik dalam hal daya reproduksi, pertumbuhan, tidak

mempunyai cacat fisik atau turunan, dan bebas dari segala penyakit berbahaya.

Page 22: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

Ternak yang terdapat pada inti dan merupakan kumpulan ternak terbaik (elite) dari

hasil seleksi/penjaringan yang berasal dari banyak tempat harus dipelihara dengan

baik tetapi tetap sesuai dengan lingkungan pengembangan nantinya.

Gambar 14 Struktur bibit dalam kawasan sumber bibit.

Pada strata inti, proses pembibitan atau produksi ternak bibit dilakukan

dengan tujuan untuk memperbaiki mutu genetik ternak. Metode yang dapat

diterapkan salah satunya yaitu seleksi. Khusus untuk sifat pertumbuhan seleksi

dapat dilakukan secara fenotip melalui ukuran-ukuran tubuh yang dapat

dikombinasikan dengan seleksi berdasarkan marker molekuler (marker assisted

selection, MAS). Penerapan MAS untuk sifat pertumbuhan sangat memungkinkan

diterapkan pada strata inti karena faktor lingkungan yang sudah terkondisikan dan

relatif seragam. Aplikasi MAS dapat diawali dengan berbagai penelitian untuk

mencari marker spesifik terkait dengan sifat pertumbuhan unggul. Upaya tersebut

dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak termasuk perguruan

tinggi dan lembaga penelitian lain yang dimiliki pemerintah maupun swasta.

Beberapa kandidat marker yang diusulkan adalah gen-gen yang tergabung dalam

keluarga hormon pertumbuhan diantaranya growth hormone (GH), growth

hormone receptor (GHR), growth hormone releasing hormone (GHRH), growth

hormone releasing hormone-receptor (GHRH-R), insulin growth factor-1 (IGF-1)

inti

Pembiak

Peternak/kelompok ternak

Bibit dasar

Bibit induk

Bibit sebar

Aliran pejantan

Aliran betina

Page 23: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

dan pituitary transcription facor-1 (Pit-1). Pencarian marker spesifik dapat

diidentifikasi pada semua lokus polimorfik, khususnya pada coding region.

Berdasarkan hasil penelitian ini, lokus Pit-1/HinfI tidak dapat dijadikan marker

sifat pertumbuhan pada kerbau Banten karena bersifat monomorfik. Sedangkan

lokus GH/MspI dan GHRH/HaeIII masih berpotensi sebagai marker karena

sifatnya yang polimorfik, namun perlu penelitian lain dengan sampel yang lebih

besar untuk mengetahui hubunganya terhadap ukuran-ukuran tubuh. Metode

seleksi lainnya yaitu dengan menggunakan nilai pemuliaan terduga (estimated

breeding value). Metode ini dapat dilakukan ketika pencatatan (recording)

produktivitas kerbau pada strata inti telah berjalan dengan baik dengan data yang

akurat.

Selama proses peningkatan mutu genetik berlangsung, hal yang perlu

dicermati adalah penekanan laju inbreeding. Pada strata inti, diharapkan intensitas

seleksi untuk membentuk bibit dasar sangat ketat agar diperoleh betina-betina dan

pejantan pilihan untuk dipakai sebagai materi genetik dalam proses perkembangan

selanjutnya. Perkawinan ternak pada kelompok inti dilakukan dengan tetap

menjaga jangan sampai terjadi inbreeding secara berlebihan, serta seleksi

dilakukan dengan parameter yang jelas dan tegas. Pola inti terbuka merupakan

pilihan tepat untuk menekan laju inbreeding karena adanya aliran gen dua arah.

Pembiak

UPT daerah kabupaten lain di Provinsi Banten atau pihak swasta dapat

berperan sebagai pembiak (multiplier) yang bertugas untuk memelihara ternak

bibit induk dalam kegiatan budidaya untuk meningkatkan mutu genetik dan

kuantitas ternak, juga diharapkan berperan dalam pemasaran ternak dan sebagai

intitusi penggerak dan pendampingan kelompok ternak kerbau yang berada pada

strata dibawahnya. Kemitraan yang terjalin antara UPTD kabupaten atau pihak

swasta dengan kelompok ternak yang berada dibawahnya diharapkan dapat

menjadikan program pemuliaan kerbau berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Peternak dan Kelompok Ternak

Peternak kerbau yang berada dipedesaan diharapkan dapat berperan secara

aktif dalam kegiatan pemuliaan kerbau. Kelembagaan kelompok ternak sangat

penting untuk mendukung peran aktif peternak tersebut. Melalui kelembagaan

Page 24: Hasil dan Pembahasan_2009rdi-5.pdf

kelompok, pembinaan peternak dapat dilakukan secara terprogram dan terarah.

Pembinaan kelompok ternak diperlukan untuk memperbaiki teknis budidaya dan

meningkatkan produktivitas ternak kerbau. Peningkatan produktivitas tersebut

dapat dilakukan melalui perbaikan teknis budidaya dan manajemen pemeliharaan

serta kegiatan seleksi ternak. Seleksi ternak yang dilakukan di pedesaan dapat

dilakukan secara sederhana dan mudah, misalnya untuk sifat pertumbuhan dapat

dilakukan melalui ukuran-ukuran tubuh.