hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · tumpang tindih antara gugus –oh dengan –nh ulur...
TRANSCRIPT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hidrolisis Kitosan dan Karakterisasinya
Kitosan A yang digunakan untuk proses hidrolisis sebanyak 50 g. Setelah
dilakukan hidrolisis dengan NaOH, didapatkan rendemen sebanyak 89.52%, yaitu
sebanyak 44.76 g. Rendemen hasil yang dicapai cukup besar, karena pada proses
ini tidak banyak kitosan yang hilang oleh pelarut maupun saat hidrolisis.
Penambahan NaOH pada kitosan prinsipnya adalah hidrolisis amida dalam larutan
basa yang dapat menghilangkan gugus N-asetil menjadi amina. Namun, reaksi ini
juga dapat memutuskan ikatan glikosidik pada struktur kitosan dan menyebabkan
kelarutannya meningkat. Adapun mekanisme reaksi hidrolisis yang terjadi adalah
seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Reaksi hidrolisis kitosan (Prasetyaningrum 2007)
Karakterisasi kitosan yang diukur adalah kadar air (Lampiran 1), kadar abu
(Lampiran 2), DD (Lampiran 3), viskositas, dan BM (Lampiran 4). Hasil
karakterisasi kitosan A dan B dibandingkan terhadap standar parameter mutu
kitosan niaga (Tabel 4), seluruh parameter hasil kitosan A dan B masih
NaOH, panas
Kitosan DD 70%
Kitosan DD 90%
memenuhi mutu standar kitosan niaga. Kadar air kitosan A dan B adalah 9.94%
dan 10.58% (berturut-turut. Kadar air kitosan B lebih besar daripada kitosan A,
disebabkan proses pengeringan yang belum sempurna, namun hal ini tidak
merusak struktur kimia kitosan, hanya mempengaruhi umur simpan.
Tabel 4 Kitosan A dan B dibandingkan standar
Parameter Kitosan A Kitosan B Standar
Kadar air (%) 9.94 10.58 ≤10*)
Kadar abu (%) 0.61 0.38 <2
Bobot molekul (g/mol)
*)
3.0×10 1.1×105 1×105 5 – 100×10
Derajat deasetilasi (%)
5*))
77.26 98.44 ≥70*)
Sumber : *) Jamaludin (1994) *)) Goy et al. (2009)
Kadar abu kitosan A dan B adalah 0.61% dan 0.38% (berturut-turut). Kadar
abu kitosan B lebih kecil daripada kitosan A, hal ini menunjukkan bahwa pada
proses hidrolisis, terjadi penghilangan mineral, sehingga kitosan B mempunyai
kandungan mineral yang lebih sedikit daripada kitosan A. Mineral yang terdapat
pada kitosan berupa CaCO3 atau Ca3(PO4)2. Kandungan mineral pada kitin
biasanya dihilangkan sebelum tahap deasetilasi, yaitu demineralisasi dengan
menggunakan asam kuat seperti HCl atau H2SO4
Berdasarkan Tabel 4, DD kitosan A dan B adalah 77.26% dan 98.44%
(berturut-turut). Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan menggunakan
metode base-line dari spektrum FTIR, yaitu hasil perbandingan nilai absorban
antara bilangan gelombang λ 1655 cm
. Namun, pada reaksi hidrolisis
ini juga terjadi sedikit penghilangan mineral disebabkan penambahan NaOH.
Natrium hidroksida dapat bereaksi dengan kalsium karbonat yang masih terdapat
pada kitosan, membentuk kalsium hidroksida dan natrium karbonat. Kalsium
hidroksida yang terbentuk merupakan basa dengan kekuatan sedang, berupa
endapan putih, sedangkan natrium karbonat termasuk kelompok garam yang larut
dalam air.
-1 (serapan pita amida I) dan 3450 cm-1
(serapan gugus hidroksil), maka % DD kitosan dapat dihitung sebagai berikut :
Analisis FTIR selain mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam kitosan,
juga dapat dilakukan pengukuran kuantitatif dari perbedaan transmitan pada
bilangan gelombang tertentu (Gambar 6). Berdasarkan hasil penentuan DD
kitosan (lampiran 3), pengaruh hidrolisis dapat meningkatkan DD kitosan hingga
21.18%, yaitu dari 77.26% menjadi 98.44%. Parameter mutu kitosan khususnya
DD dapat digunakan untuk menentukan pemakaiannya di industri. Pada industri
pengolahan makanan menggunakan kitosan dengan DD ≥70%, sedangkan untuk
industri kosmetik kitosan yang digunakan memiliki DD ≥80% dan bidang
biomedis dibutuhkan kitosan yang memiliki DD ≥90% (Tsugita 1997).
Gambar 6 Spektrum FTIR kitosan A ( ) dan B ( )
Proses hidrolisis pada prinsipnya adalah reaksi antara suatu senyawa dengan
air yang menggunakan katalis asam atau basa. Dalam hal ini, fungsi NaOH adalah
sebagai katalis untuk memutuskan ikatan antar gugus asetil dengan atom nitrogen
dan selanjutnya terbentuk amina pada C2. Derajat deasetilasi merupakan
perbandingan antara serapan pita amida dengan hidroksil, dengan demikian
semakin tinggi DD maka gugus asetil semakin sedikit sedangkan gugus amina
semakin banyak. Dengan metode garis dasar spektrum FTIR, transmitan pada
bilangan gelombang yang diinginkan ditentukan dengan memperbandingkan jarak
antara dasar pita dan puncak pita pada bilangan gelombang yang diinginkan
tersebut dan secara matematis diberikan melalui persamaan berikut:
Nilai I dan Io
Nilai absorban akan sebanding dengan nilai konsentrasi zat karena
hubungan kuantitatif absorpsi sinar dengan konsentrasi yang dianalisis dinyatakan
dengan Hukum Lambert Beer sebagai berikut:
merupakan intensitas sisa dan intensitas awal. Absorbansi
merupakan logaritma negatif dari transmitan, maka absorbansi dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Spektrum FTIR kitosan (Gambar 6) secara umum memiliki puncak-puncak
spesifik pada bilangan gelombang λ 3400-3600 cm-1, 1600-1700 cm-1, dan 1000-
1100 cm-1. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan konsentrasi pada
puncak-puncak tersebut, ditunjukkan dari perbedaan %transmitan. Tabel 5
menunjukkan hubungan %transmitan dengan absorbansi kitosan A dan B pada
bilangan gelombang tertentu. Pada bilangan gelombang 3400-3600 cm-1, terdapat
tumpang tindih antara gugus –OH dengan –NH ulur yang berasal dari amina dan
N-asetil pada amida sekunder. Penurunan %transmitan berbanding terbalik
dengan nilai absorban, sehingga nilai absorban pada kitosan A dan B adalah 0.765
dan 0.852 (berturut-turut). Dengan demikian, pada kitosan B perbandingan antara
jumlah amina yang terbentuk lebih banyak dibandingkan N-asetil karena
konsentrasi kitosan B lebih besar daripada kitosan A. Peningkatan absorban juga
terdapat pada bilangan gelombang 1600-1700 cm-1, yaitu menunjukkan serapan
gugus NH2 guntingan dan N-H tekuk. Kitosan A menunjukkan absorban 0.712,
sedangkan kitosan B 0.745. Perubahan absorban ini menunjukkan adanya
interaksi antara kitosan dengan NaOH, dimana penambahan NaOH dapat
menghidrolisis gugus N-asetil pada gugus amida menjadi amina dan asam
karboksilat. Dengan demikian, bila jumlah gugus amina meningkat maka
absorbansi dan konsentrasi juga akan meningkat. Pada bilangan gelombang 1000-
1100 cm-1, menunjukkan ikatan –C–O–C– yang merupakan ikatan glikosidik
antar rantai monomer. Kitosan A mempunyai absorban 0.728, sedangkan kitosan
B mempunyai absorban 0.721. Penurunan nilai absorban pada kitosan B terjadi
akibat pemutusan ikatan glikosidik yang terjadi pada beberapa monomer sehingga
dapat menurunkan bobot molekul dan viskositas kitosan menyebabkan kelarutan
yang lebih besar dibandingkan kitosan A.
Berdasarkan hasil pada Tabel 5, gugus fungsi spesifik kitosan masih sesuai,
yaitu adanya vibrasi –OH, vibrasi ulur N-H yang tajam, vibrasi ulur dari gugus C-
H metilen, vibrasi guntingan NH2 dan bengkokan N-H, serta vibrasi gugus C-O-
C. Perbedaan yang terjadi antara kitosan A dan B terdapat pada serapan gugus –
OH yang mengalami pelebaran puncak pada kitosan B. Hal ini menunjukkan
bahwa ikatan hidrogen pada kitosan B lebih kuat daripada kitosan A disebabkan
adanya interaksi ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih besar karena jumlah
NH2
yang lebih banyak.
Tabel 5 Perbandingan spektrum FTIR kitosan A dan B
Gugus fungsi Bilangan gelombang (cm-1)
Kitosan A Kitosan B Literatur *)
-OH 3567.9 3564.1 3450.0
N-H ulur 3567.9 3564.1 3335.0
C-H ulur 2904.6 2906.7 2891.1
NH2 1646.7 guntingan, N-H bengkok 1608.2 1655.0
C-O-C 1076.9 1156.9 1072.3
NH2 820.5 kibasan dan pelintiran 810.3 850.0-750.0
Dalam hidrolisis basa terhadap kitin dan kitosan, adanya oksigen dan ion
hidroksil tidak menginisiasi putusnya ikatan glikosida melainkan menyerang atom
C pada gugus karbonil (-C=O-), karena lebih bermuatan positif dibandingkan
atom C pada ikatan glikosida. Air yang berlebihan dalam larutan berhasil
memutuskan ikatan pada N-asetil menghasilkan asam asetat dan amina. Adapun
fungsi NaOH pada reaksi hidrolisis ini adalah sebagai katalis basa. Adapun
mekanisme reaksi hidrolisis yang terjadi pada kitosan adalah seperti pada Gambar
7.
Gambar 7 Mekanisme reaksi hidrolisis kitosan (Sumber: Samiyatun 2010)
Hasil pengukuran viskositas kitosan A dan B ditunjukkan pada Tabel 6,
yaitu semakin tinggi konsentrasi, maka viskositas spesifik dan kinematik semakin
meningkat. Nilai kelarutan kitosan sangat dipengaruhi oleh viskositas spesifik dan
kinematik namun tidak dipengaruhi oleh viskositas intrinsik.
Pada konsentrasi yang sama, kitosan A memiliki nilai viskositas spesifik
dua kali lebih besar daripada kitosan B. Viskositas berhubungan erat dengan
kelarutan. Kecepatan alir kitosan B terhadap pelarut asam asetat lebih cepat
daripada kitosan A karena nilai viskositas yang lebih kecil. Oleh karena itu,
kitosan B mempunyai kelarutan yang lebih besar daripada kitosan A.
Selain konsentrasi, nilai viskositas kinematik dipengaruhi oleh densitas
larutan yang dihubungkan dengan viskositas spesifik melalui koefisien kinematik.
Nilai koefisien kinematik yang digunakan adalah 0.009671 cSt per detik.
Viskositas kinematik yang didapat merupakan hasil perkalian antara waktu alir
kitosan A dan B dengan koefisien kinematik (Tabel 6). Pada konsentrasi yang
sama, kitosan B mempunyai nilai viskositas kinematik yang lebih rendah
dibandingkan kitosan A.
Tabel 6 Nilai viskositas spesifik, kinematik, dan intrinsik kitosan A dan B
Sampel Konsentrasi (% b/v)
Viskositas Spesifik
Viskositas Kinematik
(cSt)
Viskositas Intrinsik (ml/g)
Kitosan A 0.02 0.14 0.78 5.09
0.04 0.25 0.86
0.06 0.39 0.95
0.08 0.75 1.20
0.1 1.20 1.50
Kitosan B 0.02 0.05 0.72 2.46
0.04 0.12 0.77
0.06 0.20 0.82
0.08 0.28 0.88
0.1 0.39 0.95
Pengaruh perlakuan kimiawi terhadap kitosan ditunjukkan oleh perbedaan
viskositas intrinsik. Viskositas intrinsik pada kitosan A adalah 5.09 ml/g,
sedangkan pada kitosan B menurun menjadi setengahnya, yaitu 2.46 ml/g.
Konsentrasi larutan tidak mempengaruhi viskositas intrinsik, karena viskositas
intrinsik diperoleh dari kurva rasio antara viskositas spesifik dengan konsentrasi
yang diekstrapolasi hingga konsentrasinya mendekati nol (Lampiran 4). Dengan
demikian, pengaruh konsentrasi terhadap viskositas intrinsik ditiadakan (Hwang
et al. 1997).
Viskositas berhubungan erat dengan BM, karena nilai BM diperoleh dari
nilai viskositas intrinsik dan koefisien yang dihubungkan melalui persamaan
Mark-Houwink, yaitu: . Nilai .
Berdasarkan persamaan tersebut, nilai viskositas intrinsik sebanding dengan nilai
BM, bila viskositas intrinsik menurun maka BM juga akan menurun. Bobot
molekul kitosan B mengalami penurunan menjadi 1.1×105 g/mol dan termasuk
kitosan BM sedang, sedangkan kitosan A mempunyai BM yang sama dengan
hasil karakterisasi Wahyono 2009, yaitu 3.0×105
g/mol dan termasuk BM tinggi.
Hubungan antara Viskositas, Bobot Molekul, dan Derajat Deasetilasi
Untuk mengamati hubungan antara perlakuan perendaman dengan NaOH
terhadap viskositas dan bobot molekul sampel kitosan hasil hidrolisis NaOH pada
suhu 100ºC waktu 1 jam, seperti ditunjukkan oleh Tabel 7. Penggunaan suhu
100ºC dan waktu 1 jam pada proses hidrolisis dimaksudkan untuk memutuskan
gugus asetil yang lebih banyak tanpa memecah ikatan polimer antar rantai
molekul kitosan, sehingga pengaturan waktu dan dan suhu sangatlah penting
untuk mencegah degradasi molekul lebih banyak. Menurut Johnson (1982) dalam
Rochima (2004), penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150ºC) menyebabkan
pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan sehingga
menurunkan BM kitosan. Sedangkan pada suhu di bawah 100ºC, pemutusan gugus
asetil tidak berlangsung sempurna dan membutuhkan waktu lebih lama. Rochima
(2004) melaporkan, BM kitosan setelah deasetilasi enzimatis menurun dari 30.697
g/mol menjadi 6.05 g/mol. Hasil penelitian Brzezinski et al. 2004 menunjukkan
bahwa kitosan yang memiliki BM medium (30 kDa) ternyata mempunyai aktivitas
anti kolesterol yang lebih tinggi daripada kitosan BM tinggi (250 kDa).
Tabel 7 Hubungan bobot molekul, viskositas intrinsik, dan derajat deasetilasi kitosan
Kitosan Bobot Molekul Viskositas Intrinsik (mL/g)
Derajat Deasetilasi (%) (g/mol)
A 3.0×10 50.937 5 77.26
B 1.1×10 24.596 5 98.44
Bobot molekul berhubungan dengan derajat polimerisasi. Polimer rantai
lurus seperti kitosan akan menunjukkan peningkatan densitas jika derajat
polimerisasi bertambah. Wang et al. (2001) menunjukkkan hubungan linier antara
nilai log viskositas intrinsik dengan nilai log bobot molekul, untuk larutan kitosan
dengan derajat deasetilasi yang sama. Proses hidrolisis yang terjadi lebih banyak
menghidrolisis gugus amida menjadi amina dibanding memutuskan ikatan
glikosidik pada kitosan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan derajat
polimerisasi (Lampiran 5) kitosan A dan B, yaitu 5.36×10-4 dan 1.46×10-3
(berturut-turut). Dengan demikian, ikatan polimer antar rantai molekul kitosan
tidak banyak mengalami degradasi, sehingga BM kitosan tidak mengalami
penurunan yang drastis.
Setelah hidrolisis NaOH, derajat deasetilasi meningkat 21.18% (dari 77.26%
menjadi 98.44%), dan menurunkan nilai viskositas intrinsik (dari 5.10 mL/g
menjadi 2.46 mL/g) serta bobot molekul kitosan (dari 3.0×105 g/mol menjadi
1.1×105
Setelah proses deasetilasi, gugus asetamida berubah menjadi amina sebagian
atau seluruhnya. Kondisi gugus amina dalam larutan akan terprotonasi
membentuk –NH
g/mol). Rochima (2004) melaporkan derajat deasetilasi kitosan setelah
deasetilasi enzimatis meningkat dari 87.81% menjadi 99.36%, tetapi menurunkan
viskositas intrinsik (6.93 mL/g menjadi 4.87 mL/g) dan bobot molekul (dari 6.05
kDa menjadi 4.13 kDa). Penurunan viskositas hanya mungkin terjadi jika selama
inkubasi dengan enzim terjadi degradasi rantai polimer atau depolimerisasi.
Depolimerisasi tersebut diduga karena adanya enzim-enzim pendegradasi kitin
dan kitosan yang lain di dalam ekstrak enzim CDA dari Bacillus K29-14. Dengan
demikian, proses deasetilasi kimiawi yang terjadi menunjukkan hasil yang sama
dengan proses deasetilasi secara enzimatis.
3+
sehingga hambatan berotasi menjadi berkurang bahkan hilang.
Dengan demikian rigiditas kitosan menurun dan kelarutan (softness) meningkat
saat DD meningkat. Semakin tinggi DD, residu amina semakin banyak sehingga
muatan positif kitosan juga semakin banyak. Di dalam larutan, tingginya muatan
positif akan menghasilkan gaya tolak-menolak yang akan membuat polimer
kitosan yang sebelumnya berbentuk gulungan, membuka menjadi rantai lurus,
dengan demikian viskositas larutan akan menurun (Rochima 2004).
Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Kitosan
Hasil uji aktivitas antibakteri kitosan terhadap E. coli dan S. aureus
ditunjukkan oleh Gambar 8 dan 9. Seperti ditunjukkan Gambar 8, aktivitas kitosan
terhadap E. coli pada konsentrasi 625, 1250, 2500, dan 5000 ppm, kitosan A
menunjukkan diameter zona bening 0.91, 2.32, 4.63, dan 7.65 mm, sedangkan
kitosan B memiliki diameter zona bening 1.41, 2.88, 6.36, dan 8.67 mm (berturut-
turut). Aktivitas antibakteri kitosan A terhadap S. aureus menunjukkan diameter
zona bening 0.56, 1.57, 3.14, dan 5.59 mm, sedangkan kitosan B memiliki
diameter zona bening 1.06, 1.99, 3.54, dan 5.59 mm (berturut-turut). Peningkatan
konsentrasi larutan kitosan sebanding dengan diameter zona bening yang
terbentuk. Hal ini menandakan aktivitas antibakteri kitosan meningkat seiring
dengan peningkatan konsentrasi. Aktivitas antibakteri pada kitosan B lebih besar
daripada kitosan A, dibuktikan dengan selisih diameter zona bening, dengan
demikian aktivitas antibakteri sebanding dengan peningkatan DD dan penurunan
BM kitosan. Namun persentase peningkatan aktivitas antibakteri kitosan B
menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi (Gambar 8). Hal ini disebabkan
dengan semakin tinggi konsentrasi, maka viskositas akan semakin meningkat
sehingga kitosan akan lebih sulit berdifusi dalam agar.
Thatte (2004) melaporkan, kitosan dengan BM tinggi (lebih besar dari 500
kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan kitosan
dengan BM yang lebih rendah. Hal ini terkait dengan viskositas kitosan yang
besar pada kitosan dengan BM tinggi, sehingga kitosan sulit berdifusi. Tsai et al.
(2004), membandingkan kitosan dengan BM rendah (12 kDa) dan oligomer
kitosan. Aktivitas antibakteri yang lebih baik ditunjukkan oleh kitosan dengan
BM rendah dibanding bentuk oligomernya. Hal ini karena pada kitosan dengan
BM rendah mempunyai sisi kationik yang lebih banyak dibandingkan oligomer
kitosan. Oligomer kitosan hanya tersusun dari 2 sampai 10 unit monomer
sehingga sisi kationik sangat terbatas, sedangkan pada kitosan BM rendah
memiliki panjang rantai yang lebih banyak sehingga lebih aktif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri.
Jika dibandingkan dengan kontrol positif (amoksisilin 100 ppm),
amoksisilin memiliki diameter zona bening yang lebih besar dan lebih efektif
daripada kitosan, yaitu 13.55 mm terhadap E.coli dan 22.80 mm terhadap S.
aureus. Hal ini tentu saja terkait dengan tingkat kemurnian komponen antibiotik
yang mempunyai tingkat kemurnian lebih tinggi. Amoksisilin merupakan penisilin
semi-sintetik oral yang secara struktur berhubungan dengan ampisilin dan digunakan
untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif seperti
Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan Staphylococcus yang tidak
menghasilkan penisilinase, selain itu juga dapat menghambat bakteri gram negatif
seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Proteus
mirabilis, Salmonella (McEvoy 2002).
Gambar 8 Aktivitas antibakteri kitosan A dan B terhadap E. coli
Gambar 9 Aktivitas antibakteri kitosan A dan B terhadap S. aureus
Uji aktivitas antibakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
difusi sumur agar. Metode difusi sumur agar cocok digunakan untuk komponen
yang berbahan dasar cair kerena komponen tersebut dapat berdifusi baik ke dalam
media agar padat (Sugiyono 2004). Selain itu, jumlah dan konsentrasi kitosan
sangat berpengaruh terhadap interaksi dengan bakteri. Jika pada metode difusi
cakram kitosan yang mampu diserap oleh kertas cakram sebanyak 20 µL, pada
difusi sumur agar sampel yang bisa dimasukkan dalam sumur sebanyak 50 µL,
sehingga semakin banyak jumlah kitosan yang berdifusi ke dalam agar, interaksi
terhadap bakteri juga semakin besar.
Hubungan aktivitas antibakteri dan BM kitosan juga telah dilakukan oleh
Liu et al. (2006) dilaporkan bahwa BM kitosan pada konsentrasi tinggi (200, 500,
dan 1000 ppm) dan konsentrasi rendah (20 ppm) tidak berpengaruh terhadap
aktivitas antibakteri, tetapi pada konsentrasi 50-100 ppm aktivitas antibakteri
kitosan berbeda saat BMnya berbeda pula. Bobot molekul kitosan yang digunakan
oleh Liu et al. berkisar antara 5.5×104 - 50×104
Kitosan B memiliki DD yang lebih besar daripada kitosan A. Seperti
dijelaskan sebelumnya, bahwa DD kitosan berpengaruh karena semakin besar DD
kitosan maka gugus asetil yang terdapat di kitosan seminimal mungkin,
sedangkan gugus amina akan semakin banyak. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian Hongpattarakere & Riyaphan (2008), yang telah memvariasikan kondisi
perlakuan deasetilasi dengan NaOH 50% pada 100ºC, yaitu dengan kondisi
vakum, nitrogen, dan tekanan atmosfer. Kitosan yang mempunyai DD tertinggi
yaitu dengan tekanan atmosfer, menunjukkan KHM terendah, baik terhadap E.
coli , S. aureus, dan C. albican.
Da. Dengan demikian, BM sangat
berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri kitosan.
Sisi aktif kitosan terdapat pada gugus amina, karena jika dilarutkan dalam
asam asetat atau asam organik lainnya akan bermuatan positif sangat kuat,
sehingga semakin banyak gugus amina, maka makin banyak pula muatan
positifnya. Muatan positif ini yang akan berinteraksi dengan muatan negatif
bakteri, yaitu dapat menarik molekul asam amino (asam aspartat dan asam
glutamat) pembentuk protein dalam membran sel bakteri sehingga menyebabkan
kebocoran membran intrasel. Gugus fungsional amina juga memiliki pasangan
elektron bebas sehingga dapat menarik mineral Mg2+ yang terdapat pada ribosom
dan mineral Ca2+ yang terdapat pada dinding sel mikroba dengan membentuk
ikatan kovalen koordinasi. Kedua hal tersebut menjadikan kitosan dapat
mengakibatkan timbulnya kebocoran konstituen intraseluler sehingga mikroba
akan mati.
Keberadaan air terhadap mikroba sangatlah penting. Disamping sebagai
penyusun utama mikroba, air juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan
jumlah air yang tersedia memiliki kaitan yang erat dengan pertumbuhan mikroba
di dalamnya. Jika kandungan air suatu bahan diturunkan, maka pertumbuhan
mikroba akan diperlambat. Oleh karena itu, keberadaan kitosan yang mampu
mengikat air menyebabkan pertumbuhan mikroba dalam suatu makanan menjadi
terhambat. Pada umumnya, molekul air ditahan secara kuat di dalam kitosan
sehingga terjadi proses penggelembungan.
Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) Kitosan terhadap E. coli dan S. aureus
Konsentrasi hambat minimal ditentukan untuk mengetahui konsentrasi
terendah kitosan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik E. coli
ataupun S. aureus. Penentuan KHM dilakukan terhadap kedua kitosan dengan
menggunakan metode difusi sumur agar, dimulai dari konsentrasi terendah sampai
tertinggi (156.25-5000 ppm), sedangkan sebagai pembanding dan kontrol
menggunakan amoksisilin (100 ppm). Nilai KHM ditunjukkan oleh sumur dengan
konsentrasi terendah yang masih memiliki zona bening disekitarnya. Contoh
penentuan KHM kitosan A terhadap bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar
10.
Gambar 10 Contoh cara penentuan KHM kitosan A dengan difusi sumur agar
terhadap bakteri S. aureus, dengan konsentrasi (1) 5000, (2) 2500, (3) 1250, (4) 625, (5) 312.5, (6) 156.25, dan (7) amoksisilin 100 ppm
Konsentrasi hambat minimal seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Pada kitosan
A, konsentrasi terendah yang mampu menghambat E. coli dan S. aureus adalah
625 ppm, sedangkan kitosan B konsentrasi terendah yang mampu menghambat
1 2
3
4 5
6
7
312.5 ppm untuk E. coli dan 625 ppm terhadap S. aureus. Dengan demikian,
kitosan B lebih efektif dalam melakukan penghambatan terhadap E. coli
sedangkan terhadap S. aureus sedikit pengaruhnya.
Tabel 8 Konsentrasi Hambat Minimal Kitosan A dan B
Jenis Kitosan KHM (ppm)
E. coli S. aureus
Kitosan A 625 625
Kitosan B 312.5 625
Beberapa penelitian lain juga telah melaporkan nilai KHM kitosan dan
turunannya terhadap berbagai mikroba uji. Kitosan yang dihasilkan dalam
penelitian ini memiliki nilai KHM yang mendekati jika dibandingkan dengan
Hongpattarakere (2006), Du et al. (2009), Tsai et al. (2002), dan Devlieghere et
al. (2004). Penelitian Hongpattarakere (2008) menghasilkan kitosan dengan nilai
KHM 625 ppm. Du et al. (2009) melakukan uji antibakteri terhadap kitosan dan
nanopartikel kitosan dengan logam. Nilai KHM kitosan yang dilaporkan Du et al.
(2009) adalah 468 ppm terhadap E. coli dan 656 ppm terhadap S. aureus.
Konsentrasi hambat minimal kitosan yang dilaporkan oleh Tsai et al. (2002) dan
Devliehghere et al. (2004) adalah 100 ppm terhadap 2 bakteri uji yang berbeda
yaitu E. coli dan S. aureus. Nilai-nilai tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan nilai KHM dalam penelitian ini.
Ada keterbatasan dalam membandingkan hasil KHM yang dilakukan
antara studi yang satu dengan lainnya. Hal ini terkait dengan metode uji yang
digunakan dan kriteria yang dipilih untuk menyatakan KHM. Misalnya, Carson
dan Riley (1995) mendefinisikan KHM sebagai konsentrasi terendah yang mampu
menurunkan jumlah sel yang hidup selama 24 jam waktu kontak. Remmal et al.
(1993) menggunakan definisi yang sama tapi dengan waktu kontak yang lebih
lama, yaitu selama 24-48 jam setelah terlihat pertumbuhan pada kontrol. Metode
cepat dengan mikrotiter yang dilaporkan Chand et al. (1994) yang menentukan
KHM dalam waktu kontak 4 jam, tidak membedakan KHM dan KBM
(Konsentrasi Bunuh Minimal).
Berdasarkan nilai penghambatan (diameter zona bening) dan KHM yang
ditunjukkan Tabel 8, bakteri E. coli (gram negatif) lebih sensitif terhadap kitosan
(A dan B) dibandingkan bakteri S. aureus (gram positif). Mekanisme reaksi antara
kitosan dan bakteri belum bisa diketahui secara pasti, namun dugaan mekanisme
yang terjadi merujuk pada beberapa literatur yang ada. Pada bakteri gram negatif
terdapat outer membran dan peptidoglikan yang tipis, sehingga muatan positif
dari kitosan akan berinteraksi ionik dengan membran sel yang bermuatan negatif,
sedangkan pada bakteri gram positif memiliki peptidoglikan 40-90% (tebal sekitar
15-80 nm), sehingga perlindungan terhadap lisis jauh lebih baik dibanding bakteri
gram negatif.
Beberapa penelitian sebelumnya, kitosan menunjukkan efek antibakteri
yang besar pada bakteri gram positif dibanding gram negatif seperti yang
dilaporkan oleh No et al. (2002), yaitu kitosan dengan konsentrasi 0.1%. Zhang et
al. (2003) melaporkan aktivitas antibakteri kitosan dengan derajat deasetilasi
69.10% sampai 92.52%, diperoleh laju reduksi Escherichia coli 62.14 sampai
84.98% dan Hay bacillus 33.96% sampai 82.53%. Kecenderungan meningkatnya
aktivitas antibakteri kitosan dengan menurunnya berat molekul hanya berlaku
pada bakteri gram negatif, dan tidak berlaku untuk gram positif (No et al. 2002).
Menurut Zheng dan Zhu (2003) aktivitas antibakteri S. aureus (gram-positif)
meningkat ketika berat molekul kitosan meningkat, hal ini disebabkan kitosan
dengan berat molekul besar akan membentuk lapisan yang menghambat absorbsi
nutrisi dari luar sel. Aktivitas antibakteri terhadap E. coli (gram-negatif)
meningkat ketika berat molekul kitosan menurun, hal ini karena kitosan dengan
berat molekul kecil lebih mudah masuk ke dalam sel dan mengganggu
metabolisme sel. Pengaruh viskositas terhadap aktivitas antibakteri kitosan yang
diaplikasikan sebagai bahan pengisi pada kemasan plastik yaitu semakin besar
viskositas maka aktivitas antibakteri menjadi turun. Jika konsentrasi kitosan kecil
maka viskositas rendah. Konsentrasi kitosan yang mencapai harga yang cukup
tinggi menyebabkan tingginya viskositas kitosan menjadi turun dan hanya sedikit
sekali kitosan yang masuk.
Oleh karena itu, jumlah gugus amino kuarterner akan turun ketika
konsentrasi kitosan naik dan aktivitas antibakteri menjadi turun. Prashanth dan
Tharanathan (2007) menyebutkan bahwa kation dari molekul kitosan
meningkatkan kekuatan ikatan di atas permukaan sel mikrobial, yang
menyebabkan penyusutan membran sel secara perlahan dan akhirnya
menyebabkan kematian sel. Beberapa kemungkinan lain tentang aktivitas
antibakteri adalah polikation molekul kitosan berinteraksi dengan komponen
anionik dinding sel mikrobial (lipopolisakarida dan protein) secara dominan, yang
menghasilkan kerusakan komponen intraseluler karena perubahan permeabilitas,
terjadi pencegahan masuknya nutrien kedalam sel; berikatan dengan DNA
kemudian menghambat RNA dan sintesis protein; berikatan melalui interaksi
hidrofobisitas. Zhang et al. (2003) menyebutkan bahwa aktivitas antibakteri oleh
kitosan dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu: pertama, polikation kitosan
mengganggu metabolisme bakteri dengan melapisi permukaan sel bakteri. Kedua,
kitosan mengikat DNA bakteri untuk menghambat sintesis RNA. Liu et al. (2006)
menyebutkan bahwa aktivitas antibakteri kitosan melalui flokulasi sehingga
membunuh bakteri. Aktivitas antibakteri dapat melalui cara membunuh
mikroorganisme (bakteriosidal) dan atau penghambat pertumbuhan
mikroorganisme (bakteriostatik) dengan jalan menghancurkan atau menganggu
dinding sel, menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein dan
asam nukleat, merusak DNA, denaturasi protein, menghambat aktivitas enzim.