harmonisasi kosmologi jawa dalam jamu anti malaria · prodi pendidikan bahasa jawa stkip pgri...
TRANSCRIPT
Harmonisasi Kosmologi Jawa dalam Jamu Anti Malaria
Fitrayoga Lanang Pangestu
1
Nadila Yuvitasari2
Prodi Pendidikan Bahasa Jawa STKIP PGRI Ponorogo
1
Abstrak
Pandangan kosmologi Jawa mengutamakan keselarasan antara jagad alit dan
jagad ageng, yaitu keselarasan antara alam, manusia dengan Tuhan. Masyarakat
Jawa percaya bahwa penyakit bukan hanya diakibatkan oleh virus atau bakteri,
namun juga diakibatkan adanya ketidak-seimbangan kosmis. Makalah ini
bertujuan untuk membahas harmonisasi kosmologi Jawa dalam jamu anti malaria.
Jamu adalah campuran obat herbal yang berasal dari bagian tanaman berupa akar,
batang, daun, umbi atau seluruh bagian tanaman, sedangkan mantra adalah
rangkaian kata dengan kekuatan supranatural yang terkadang sulit dijangkau oleh
nalar manusia. Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan
lokasi penelitian di Desa Selur, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo dengan
teknik wawancara dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
harmonisasi kosmologi pada jamu anti malaria diwujudkan melalui pemanfaatan
jamu dan mantra dalam proses pengobatan. Penyakit malaria ditanggulangi
dengan ramuan bahan alam berupa daun pepaya, daun pare, daun sambilata, dan
daun bratawali yang direbus di kuali tanah kemudian diracik dengan
menggunakan mantra tertentu. Hal tersebut ditempuh untuk mencapai keselarasan
antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan serta manusia dengan
metabolisme tubuhnya sendiri.
Kata kunci: jamu, kosmologi Jawa, malaria, mantra.
Abstract
The view of Javanese cosmology prioritizes harmony between jagad alit and
jagad ageng, namely harmony between nature, humans and God. Javanese people
believe that disease is not only caused by viruses or bacteria, but also due to
cosmic imbalances. This paper aims to discuss the harmonization of Javanese
cosmology in anti-malaria herbs. Jamu is a mixture of herbal medicines derived
from plant parts in the form of roots, stems, leaves, tubers or all parts of plants,
while spells are a series of words with supernatural powers that are sometimes
difficult to reach by human reason. The form of this research is a qualitative
descriptive study with a research location in Selur Village, Ngrayun District, Ponorogo Regency with interview techniques and literature studies. The results
showed that cosmological harmonization in anti-malaria herbs was realized
through the use of herbs and spells in the treatment process. Malaria is treated
with a mixture of natural ingredients in the form of papaya leaves, bitter melon
leaves, bitter leaf, and bratawali leaves boiled in earthen pots, then formulated
using certain spells. This is taken to achieve harmony between humans and nature,
humans and God and humans with their own metabolism.
Keyword: herbal medicine, Javanese cosmology, malaria, spell.
Pendahuluan
Kosmologi Jawa merupakan wawasan leluhur suku Jawa mengenai
persepsi terhadap alam semesta, manusia serta relasinya dengan kekuatan Tuhan.
Wawasan tersebut senantiasa diwariskan serta dipercaya secara turun-temurun.
Kosmologi Jawa mengenal jagad ageng dan jagad alit. Jagad ageng adalah
makrokosmos atau bentang alam semesta, sedangkan jagad alit adalah
mikrokosmos atau bentang alam dalam diri pribadi manusia. Kedua jagad ini
harus selalu diupayakan untuk selaras dan harmonis agar tidak terjadi malapetaka
yang menyebabkan kerusakan alam maupun penyakit pada diri manusia. Haryati
(2017: 181) mengemukakan bahwa dalam pandangan manusia Jawa, antara jagad
gedhe dengan jagad cilik memiliki hubungan erat yang tidak terpisahkan karena
terdapat kemanunggalan kekuatan (manunggaling kawula Gusti).
Masyarakat Jawa percaya bahwa penyakit yang menimpa manusia bukan
hanya diakibatkan oleh virus atau bakteri, namun juga diakibatkan adanya
ketidak-seimbangan kosmis. Ketidak-seimbangan tersebut dapat berupa tidak
selarasnya hubungan manusia dengan alam, tidak selarasnya hubungan manusia
dengan manusia maupuun ketidakselarasan hubungan manusia dengan alam.
Konsep pengobatan tradisional Jawa selalu mempertimbangkan aspek kosmologi.
Yitno (dalam Sudardi, 2002: 14) menyatakan bahwa sakit merupakan akibat
rangkaian hubungan antara individu dengan lingkungan, dimana individu tersebut
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis. Oleh sebab itu,
berdasarkan konsep kosmologi Jawa, sebuah penyakit bukan hanya dianalisis
dengan mencari tahu apa yang menyebabkan sakit maupun keluhan apa yang
tengah dirasakan, namun juga ditelusuri hingga mengapa dan bagaimana penyakit
tersebut dapat diderita. Dengan demikian proses penyembuhannya tidak hanya
dilakukan dengan jamu, namun juga diberi tambahan perisai berupa mantra agar
jamu lebih manjur dan penyebab penyakit yang bersifat tidak kasat mata juga
dapat dihilangkan.
Desa Selur, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo merupakan salah
satu desa yang masih memegang teguh budaya Jawa, terutama kosmologi Jawa.
Masyarakat setempat masih menganggap tetua adat sebagai seorang yang mampu
membawa keselarasan kosmis. Di desa ini masih ditemukan budaya pembuatan
jamu yang dilakukan menggunakan mantra tertentu. Mantra tersebut bersifat
rahasia dan hanya diketahui oleh tetua adat desa setempat. Salah satu jamu yang
diracik dengan menggunakan mantra tertentu adalah jamu anti malaria. Fenomena
tersebut merupakan salah satu keunikan ragam budaya nusantara yang menarik
untuk dikaji lebih dalam.
Tinjauan Teoritis
Kosmologi Jawa
Kosmologi merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas hakikat alam
semesta dan eksistensi tersembunyi di baliknya. Masyarakat Jawa memiliki
pandangan dan wawasan tersendiri mengenai kosmologi. Masyarakat Jawa
mengenal jagad ageng dan jagad alit. Jagad ageng adalah makrokosmos atau
bentang alam semesta, sedangkan jagad alit adalah mikrokosmos atau bentang
alam dalam diri pribadi manusia. Kosmologi Jawa memandang bahwa kedua
jagad tersebut saling berkaitan. Manusia yang digambarkan berupa jagad alit
dengan segala unsur kehidupannya mengemban misi menyelaraskan hubungan
dengan Tuhan dan alam semesta yang direpresentasikan dalam jagad ageng agar
tercipta kedamaian, keselamatan dan akhir kehidupan yang baik.
Kosmologi Jawa sebagaimana dinyatakan oleh Sukmawan (2017: 181)
bahwa dalam sastra lisan Jawa, alam semesta makro (bentang alam) disikapi
sebagai cerminan diri manusia (mikrokosmos). Karena itulah, manusia Jawa
berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos) dengan dirinya
(mikrokosmos). Mereka percaya bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya
dan dirinya adalah gambaran alam semesta. Hal ini berarti diri manusia menjadi
miniatur alam semesta sehingga mereka harus mengupayakan untuk meneguhkan
perilaku memayu hayuning bawana (sebuah pandangan hidup Jawa yang memuat
nilai melestarikan, menjaga kedamaian, agar tercapai keselamatan dunia) melalui
penghormatan sedulur papat lima pancer agar menuju sangkan paraning dumadi,
yaitu asal dari segala kehidupan, yaitu Tuhan semesta alam dengan jalan yang
baik. Lebih lanjut, Endraswara (2003: 41) menjelaskan bahwa alam kosmis ini
dibatasi oleh keblat papat lima pancer, yakni arah wetan, kidul, kulon dan lor
serta pancer (tengah). Tengah adalah pusat kosmik manusia Jawa. Arah keblat ini
terkait erat dengan perjalanan hidup manusia, yang selama hidupnya selalu
ditemani oleh kadang papat lima pancer. Kadang papat, yaitu kawah, getih, puser
dan adhi ari-ari. Sedangkan pancer (ego manusia atau manusia itu sendiri).
Kosmologi Jawa juga menggambarkan anasir hidup manusia yakni angin, air,
tanah dan api. Anasir-anasir ini membentuk struktur nafsu yang
merepresentasikan dorongan membentuk manusia untuk memenuhi kebutuhan
badaniah dan rohaniah.
Jamu
Masyarakat suku Jawa telah memiliki budaya pengobatan tradisional
dengan racikan bahan herbal yang disebut dengan istilah jamu. Bahan herbal yang
digunakan dalam membuat jamu umumnya terbuat dari tanaman yang direbus
kemudian diambil saripatinya atau dengan ditumbuk. Dewoto (2007: 205)
mengemukakan bahwa obat tradisional Indonesia lebih dikenal dengan nama
jamu, pada umumnya merupakan campuran obat herbal yang berasal dari bagian
tanaman berupa akar, batang, daun, umbi atau seluruh bagian tanaman. Mulyani,
dkk (2016:75) mengemukakan bahwa jamu adalah pengobatan tradisional
terhadap penyakit dengan memanfaatkan tumbuhan herbal atau sering disebut
fitoterapi. Pengobatan tradisional tersebut merupakan budaya khas Jawa yang
berasal dari nenek moyang.
Racikan herbal tersebut mulai dikenal dengan istilah jamu pada abad 15-
16 Masehi. Dalam penelitiannya, Purwaningsih (2013: 85) menjelaskan bahwa
jamu merupakan singkatan dari jampi yang berarti doa atau obat dan usada
(husada) yang berarti kesehatan. Dengan kata lain, jamu berarti doa atau obat
untuk meningkatkan kesehatan. Pemanfaatan jamu untuk menjaga kesehatan
maupun untuk sarana pengobatan tradisional telah berlangsung sejak ribuan tahun
yang lalu sebelum obat modern ditemukan.
Bukti otentik yang memuat budaya penggunaan ramuan herbal untuk
kesehatan tercantum pada relief candi-candi di Jawa seperti Candi Borobudur,
Candi Prambanan,dan Candi Penataran pada abad 8-9 Masehi. Selain itu, terdapat
pula pada daun lontar bertuliskan resep tanaman obat yang ditulis dari tahun 991
sampai 1016 yang ditemukan di Bali. Aditama (2014: 1) menyatakan bahwa
secara historis pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional telah berlangsung
lama di Indonesia dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan hingga saat ini.
Hal tersebut dapat ditelusuri pada relief Candi, sementara istilah Jamu (Jampi
Oesada) dapat ditelusuri pada peninggalan tulisan jaman dulu, seperti dalam
naskah Ghatotkacasraya (Mpu Panuluh), Serat Centhini dan Serat Kawruh Bab
Jampi-Jampi Jawi. Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa jamu adalah ramuan herbal yang diracik untuk menjaga kesehatan maupun
untuk sarana pengobatan tradisional khas Jawa yang diwariskan secara turun-
temurun.
Mantra
Mantra merupakan rangkaian kata dengan makna tertentu yang memiliki
kekuatan supranatural. Kekuatan tersebut terkadang sulit dijangkau oleh nalar
manusia. Pada umumnya, mantra bersifat rahasia sehingga tidak sembarang orang
dengan mudah mendapatkannya. Hingga saat ini mantra masih bersifat rahasia
bagi mereka yang mempercayai tuahnya. Hal tersebut dialami oleh penulis ketika
melakukan wawancara kepada narasumber yang menguasai mantra pengobatan.
Beliau terlihat sangat menjaga kerahasiaan mantra yang dikuasainya, sehingga
beliau hanya menjelaskan secara garis besar bahwa mantra yang diucapkannya
merupakan bentuk komunikasi kepada Tuhan dalam bentuk doa.
Kata mantra berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna ’teks suci’,
teks rahasia. Pendapat lain dikemukakan oleh Padoux (1990:373) bahwa kata
mantra berasal dari akar kata man ‘berfikir’ dan tra ‘alat’ sehingga kata mantra
dapat dimaknai sebagai ‘alat berfikir’. Sementara itu, Hartarta sebagaimana
dikutip oleh Saddhono (2016:84-85) mengemukakan bahwa mantra dalam
masyarakat Jawa merupakan suatu metode atau gagasan sebagai penegasan suatu
tujuan tertentu yang dinyatakan dengan kata-kata yang dianggap mengandung
kekuatan gaib dan diciptakan sebagai terobosan untuk mengatasi permasalahan
sosial. Mantra dapat berupa benda atau ucapan atau doa khusus.
Terkait definisi mantra, Setyawati (2006: 64) mengemukakan bahwa
mantra adalah suku kata tersamar yang mempunyai kekuatan dan bertuah, aksara
tertentu yang bersifat magis yang dipercaya bertuah, kata-kata bertuah berdasar
pada kepercayaan bersifat magis yang melekat pada suara. Pengamalan mantra
identik dengan proses mistik, sebagaimana dijelaskan oleh Supadjar (2001:99-
100) bahwa proses mistik biasanya ditempuh dengan cara bertapa, mengasingkan
diri, dan bersemedi. Mistik juga dipahami sebagai eksistensi tertinggi, yaitu
pamoring kawula-Gusti atau bersatunya manusia dan Tuhan, puncak kecintaan
makhluk kepada Khaliknya sebagai suatu praktik pengalaman dan aktivitas
spiritual yang disertai peniadaan atau pengabaian diri. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa mantra adalah benda, ucapan atau doa khusus yang bersifat
rahasia, magis dan memiliki kekuatan supranatural yang diperoleh melalui proses
mistik guna mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi.
Penyakit Malaria
Penyakit malaria adalah salah satu penyakit yang diakibatkan oleh
gigitan nyamuk jenis tertentu. Penyakit ini sering menjangkiti daerah tropis,
seperti Indonesia. Seperti dikemukakan Utami dkk (2014:104) bahwa Indonesia
merupakan negara kepulauan beriklim tropis dengan temperatur panas sampai
sedang dan lembab. Kondisi iklim tersebut sangat ideal untuk berkembangnya
penyakit–penyakit tropis dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis dan
demam dengue. Malaria dan tuberkulosis merupakan penyakit yang banyak
diderita oleh masyarakat pada tingkat ekonomi rendah dan mayoritas bertempat
tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Hakim (2011: 107) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh
parasit plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Secara global,
penyebarannya sangat luas yaitu meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis
dan subtropis. Penduduk yang beresiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3
miliar atau 41% dari penduduk dunia dan mengakibatkan 1,5 s/d 2,7 juta
kematian, terutama di Afrika sub Sahara, Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia
Tengah.
Terkait penyakit malaria, Yatim (2017: 47) menjelaskan bahwa malaria
adalah penyakit yang disebabkan oleh sporozoa genus plasmodium dan ditularkan
oleh nyamuk spesies Anopheles. Penyakit ini ditandai dengan demam periodik
berbagai derajat, anemia, limpa membesar, serta berbagai sindroma karena
gangguan pada hati, otak dan ginjal. Dalam penelitiannya Zein (2005: 4)
menjelaskan bahwa malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
protozoa yang disebut plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles. Apabila biang keladinya adalah plasmodium vivax, penyakitnya
disebut malaria tertiana, yang ditandai dengan munculnya demam tiga hari sekali.
Apabila penyebabnya adalah plasmodium malariae, penyakitnya disebut malaria
kuartana, yang ditandai dengan munculnya demam empat hari sekali. Kemudian
ada pula plasmodium falciparum yang mengakibatkan malaria falciparum, yaitu
jenis malaria paling serius yang dapat mengakibatkan kematian.
Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian
di Desa Selur, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Pemilihan lokasi
tersebut didasari oleh pertimbangan berikut: (1) di Desa tersebut masih ditemukan
budaya pembuatan jamu yang dilakukan menggunakan mantra, (2) masyarakat
desa setempat masih mempercayai kosmologi Jawa, (3) masyarakat setempat
masih menganggap tetua adat sebagai seorang yang mampu membawa
keselarasan kosmis. Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi sumber
data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah Mbah Imam Soewandi selaku saksi hidup wabah malaria tahun 1972 di
Desa Selur, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Beliau juga merupakan
tetua adat Desa Selur yang menjadi pelaku pengobatan tradisional untuk
menanggulangi wabah tersebut. Adapun sumber data sekunder berupa literatur
yang terkait dengan potensi pemanfaatan tumbuhan sebagai obat antimalaria serta
literatur terkait dengan kosmologi Jawa dan penyakit malaria yang dapat
digunakan sebagai pembanding.
Data dibagi menjadi dua kelompok, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu informasi dari wawancara dengan narasumber pelaku
pengobatan tradisional menggunakan jamu yang diberi mantra sedangkan data
sekunder diperoleh melalui studi literatur. Guna mendapatkan data yang
memenuhi standar, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik
analisis dokumen dan wawancara. Seperti yang dikemukakan Sugiyono (2016:
63) bahwa secara umum terdapat empat macam teknik pengumpulan data, yaitu
observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi,
dan gabungan keempatnya (triangulasi). Triangulasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tipe triangulasi sumber data. Sebagaimana dikemukakan oleh
Sugiyono (2016: 373) bahwa triangulasi sumber data yaitu pengujian kredibilitas
data dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber
guna mendapatkan data yang valid. Data yang telah dianalisis oleh peneliti
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan
(member check) kepada sumber data tersebut. Triangulasi sumber data dilakukan
oleh peneliti dengan melakukan pengecekan data yang sama terhadap sumber data
yang berbeda, yaitu narasumber primer, buku dan artikel ilmiah terkait agar
diperoleh kemantapan dan kevalidan analisis.
Hasil Penelitian
Kondisi geografis Desa Selur yang merupakan daerah pegunungan yang
dikelilingi oleh sawah dan hutan pinus rimbun. Hal tersebut membuat lingkungan
Desa Selur potensial menjadi ekologi nyamuk Anopheles. Desa ini berada di
daerah pegunungan yang memiliki sumber air melimpah. Selain itu, terdapat
sawah terasering atau sawah bertingkat yang luas di dekat pemukiman warga.
Ketika awal musim penghujan, banyak nyamuk yang masuk ke rumah-rumah
warga, terutama ketika waktu pagi tiba. Menurut keterangan narasumber, nyamuk
banyak mengganggu setelah matahari terbit. Pada mulanya warga mengira
nyamuk tersebut adalah nyamuk biasa. Namun, setelah digigit oleh nyamuk
tersebut, warga mengalami panas tinggi, pegal-pegal, menggigil, dan mengalami
mati rasa. Warga mulai semakin waspada terhadap nyamuk-nyamuk yang
semakin sering masuk karena semakin banyak warga yang mengalami gejala-
gejala panas tinggi, pegal-pegal, menggigil, dan mati rasa. Ketika ada satu
anggota keluarga yang terkena gejala tersebut, tidak berapa lama anggota keluarga
yang lain juga mengalami gejala serupa. Bahkan pada kurun waktu 1972 sampai
dengan 1982 pernah terjadi kasus malaria yang cukup parah hingga berujung
kematian. Kondisi tersebut relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Hakim (2011:112) bahwa pegunungan, sawah dan hutan menjadi ekologi
nyamuk Anopheles. Daerah pegunungan yang memiliki mata air terlindung serta
kobakan dasar sungai pada musim kemarau menjadi tempat perindukan nyamuk
Anopheles. Sawah yang menjadi tempat perindukan biasanya sawah bertingkat di
pegunungan yang airnya bersumber dari mata air, sedangkan tempat perindukan di
hutan adalah air hujan yang tergenang di tanah bekas lubang kaki binatang.
Fenomena penyakit malaria yang menjangkiti warga Desa Selur hingga
banyak memakan korban jiwa membuat tetua adat desa setempat melakukan
semedi untuk meminta wangsit atau petunjuk dari Tuhan untuk menyelamatkan
para warga dari wabah malaria yang melanda Desa Selur. Laku semedi atau
bertapa yang ditempuh sebagai langkah spiritual untuk dapat mencapai
keselarasan dengan kosmosnya. Laku semedi tersebut dilaksanakan dengan
mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia dan dilakukan dalam keadaan pasa
mutih selama enam hari berturut-turut. Pasa mutih adalah puasa yang hanya
memperkenankan orang yang mengamalkannya makan nasi putih dan air putih
saja pada waktu berbuka.
Wangsit yang didapat setelah melakukan laku semedi dan pasa mutih
adalah hasil komunikasi dengan penghuni alam adikodrati yang dipercaya
merupakan isyarat langsung dari Tuhan yang diberikan melalui sarana penghuni
alam adikodrati atau alam gaib. Tetua adat Desa Selur sangat mempercayai bahwa
selama perjalanan hidup manusia akan selalu ditemani oleh saudara gaib yang
bersama-sama dilahirkan dari rahim ibu ketika seorang manusia lahir ke dunia.
Saudara gaib tersebut dikenal dengan istilah kadang papat atau sedulur papat
‘empat saudara’ yang dipercaya menjadi pengasuh diri seorang manusia yang
akan selalu menemani, menjaga dan menolong. Kadang papat atau sedulur papat
‘empat saudara’ tersebut adalah kakang kawah ‘air ketuban’, getih ‘darah’, puser
‘plasenta’ dan adhi ari-ari ‘tali pusat’.
Berdasarkan wangsit yang diterima oleh tetua adat, terdapat tumbuh-
tumbuhan di sekitar Desa Selur yang dapat dimanfaatkan sebagai ramuan anti
malaria, diantaranya adalah pepaya gantung, pare, sambilata, dan bratawali.
Seluruh tumbuh-tumbuhan tersebut ternyata dapat dimanfaatkan daunnya untuk
diramu menjadi jamu anti malaria. Namun, terdapat buah-buahan yang menjadi
pantangan bagi para penderita malaria, yaitu buah pepaya masak dan buah pisang
ambon. Selain mendapatkan wawasan berupa ramuan jamu dan pantangan buah,
tetua adat juga mendapatkan wangsit berupa mantra yang dapat digunakan sebagai
perisai tambahan ketika melakukan proses pengobatan. Dengan demikian
pengobatan tradisional yang diberikan melalui ramuan jamu tersebut dapat lebih
manjur.
Pembahasan
Pengobatan malaria yang dilakukan di Desa Selur, Kecamatan Ngrayun,
Kabupaten Ponorogo masih mempertimbangkan aspek kosmologi Jawa. Hal
tersebut terlihat dari pengobatan tradisional yang dilakukan dengan memanfaatkan
tumbuh-tumbuhan herbal di sekitar desa menjadi jamu kemudian dipadukan
dengan mantra tertentu. Tumbuh-tumbuhan herbal berupa daun pepaya gantung,
daun pare, daun sambilata dan daun bratawali yang direbus dalam kuali tanah
dengan air sebanyak tiga gelas kecil hingga airnya tersisa satu gelas. Ramuan ini
diminum dua kali sehari. Pada proses peracikan jamu anti malaria tersebut, tetua
adat juga mempergunakan mantra rahasia yang hanya diketahui olehnya sendiri.
Proses pemantraan dilakukan secara khusyuk dalam meditasi memohon kepada
Tuhan untuk lekas dihilangkan seluruh penyakitnya dan selalu diberikan
keselamatan.
Rangkaian pengobatan tersebut ditempuh untuk mencapai keselarasan
antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan serta manusia dengan
metabolisme tubuhnya sendiri. Upaya penyelarasan antara manusia dengan alam
dilakukan melalui penghormatan terhadap alam yang telah menyediakan berbagai
kebutuhan manusia, yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam secara bijak
kemudian tidak merusak siklus alamnya. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan herbal
berupa daun pepaya gantung, pare, sambilata, dan bratawali dilakukan sesuai
kebutuhan. Selain mengambil manfaatnya, warga juga memperlakukan tanah
tumbuhnya dengan baik, yaitu dengan memberikan pupuk dan tidak menimbun
sampah plastik. Upaya penyelarasan manusia dengan Tuhan dilakukan melalui
laku semedi, pasa mutih dan rapalan mantra. Laku semedi dan pasa mutih
merupakan manifestasi langkah spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
agar tercipta hubungan yang harmonis sehingga Tuhan akan memberikan
kelancaran dalam mencapai tujuan dan mengabulkan segala permohonan.
Sementara itu, rapalan makna merupakan manifestasi pemanjatan doa, memohon
kepada Tuhan untuk menghilangkan penyakit yang tengah diderita. Upaya
penyelarasan antara manusia dengan metabolisme tubuhnya sendiri tercermin dari
penggunaan bahan-bahan alami sebagai sarana pengobatan sehingga metabolisme
tubuh menjadi lebih baik dan lebih lancar.
Apabila dilihat dari segi medis, tumbuh-tumbuhan herbal ternyata sangat
berpotensi menjadi fitofarmaka, yaitu sediaan obat dan obat tradisional yang telah
dibuktikan secara klinis keamanan dan khasiatnya. Tumbuh-tumbuhan herbal
yang dimanfaatkan dalam racikan jamu anti malaria diantaranya adalah pepaya
gantung. Pepaya gantung adalah salah satu jenis pepaya yang letak buahnya
menggantung. Berdasarkan sifat morfologinya, tanaman pepaya memiliki tiga
macam bunga sekaligus yaitu bunga jantan (staminate), bunga betina (pistilate),
dan bunga sempurna (hermaphrodite). Pepaya gantung adalah buah pepaya yang
berasal dari bunga jantan. Daun bunga pepaya gantung berjumlah 5 helai, letaknya
saling melekat disekitar bagian bawah bentuknya seperti tabung. Bunga pada
pepaya jantan tersusun dalam rangkaian bunga yang bertangkai panjang dan dapat
ditemukan di sekitar pucuk. Pada bagian atasnya saling melepas yang mirip
seperti corong. Bunga jantan menghasilkan buah kecil menggantung sehingga
sering dikenal dengan pepaya gantung.
Pepaya merupakan salah satu tanaman anti malaria. Seperti yang
dikemukakan oleh Handayani (2016: 25) dalam penelitiannya bahwa salah satu
tanaman yang bersifat antiplasmodium adalah daun pepaya (Carica Papaya Linn).
Daun pepaya diketahui mengandung senyawa alkaloid karpain, caricaksantin,
violaksantin, papain, saponin, flavonoida, dan politenol. Senyawa yang
terkandung dalam daun pepaya tersebut dikenal sebagai anti malaria dan anti
bakteri. Selain itu Dalimarta&Hembing (1994) juga mengemukakan bahwa daun
pepaya telah lama dipergunakan oleh kelompok masyarakat untuk pengobatan,
seperti obat sakit malaria, penambah nafsu makan, obat cacing, obat batu ginjal,
meluruhkan haid, dan menghilangkan rasa sakit. Bentuk fisik tanaman pepaya
gantung ditunjukkan oleh gambar 1 berikut:
Gambar 1: Pepaya Gantung
Tumbuhan yang juga dimanfaatkan daunnya sebagai jamu anti malaria
adalah pare. Pare memiliki banyak nama lokal, di daerah Jawa di sebut sebagai
paria, pare, pare pahit, pepareh. Di Sumatra dikenal dengan nama prieu, fori,
pepare, kambeh, paria. Orang Nusa Tenggara menyebutnya paya, truwuk, paitap,
paliak, pariak, pania, dan pepule, sedangkan di Sulawesi, orang menyebutnya
dengan poya, pudu, pentu, paria belenggede, serta palia. Pare adalah tumbuhan
merambat yang berasal dari daerah Asia Tropis. Tanaman ini tumbuh merambat
dengan sulur berbentuk spiral, banyak bercabang, berbau tidak enak serta
batangnya berusuk. Tumbuhan ini memiliki daun tunggal bertangkai yang
letaknya berseling, berbentuk bulat panjang. Panjang daunnya mencapai 3,5-8,5,
lebar 4 cm, menjari dengan jumlah 5-7. Pangkal daun pare berbentuk jantung dan
berwarna hijau tua.
Daun pare dijadikan sebagai salah satu bahan jamu anti malaria karena
berkhasiat menurunkan panas. Seperti yang dinyatakan oleh Dalimartha (dalam
Ermawati, 2010: 12) bahwa daun pare digunakan oleh sebagian masyarakat
sebagai penurun panas dengan cara ditumbuk kemudian ditambahkan air dan
disaring lalu diminum saat pagi hari sebelum makan. Lebih lanjut Ermawati
(2010) menjelaskan bahwa daun pare mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin
C, saponin, flavonoid, steroid/triterpenoid, asam fenolat, alkaloid, dan karotenoid.
Komponen daun pare yang mempunyai potensi sebagai antipiretik adalah
flavonoid. Antipiretik adalah obat untuk mengurangi dampak negatif demam atau
pireksia. Demam atau pireksia merupakan gejala dari suatu penyakit infeksi
seperti demam berdarah, tifus, malaria, peradangan hati, dan penyakit infeksi lain.
Bentuk fisik tanaman pare ditunjukkan oleh gambar 2 berikut:
Gambar 2: Daun Pare
Tumbuhan yang dimanfaatkan dalam racikan jamu anti malaria
selanjutnya adalah daun sambilata. Nama daerah untuk sambiloto antara lain:
sambilata (Melayu); ampadu tanah (Sumatera Barat); sambilata, ki pait, bidara,
andilata (Jawa Tengah); ki oray (Sunda); pepaitan (Madura), sedangkan nama
asingnya Chuan xin lien (Cina). Tumbuhan ini merupakan jenis tanaman liar yang
tumbuh di sekitar tempat yang lembab. Biasanya tumbuh di sekitar sawah, tepi
sungai, kebun dan pekarangan sekitar kita. Tinggi tanaman sekitar 30-100 cm.
Ciri daun sambilata dapat dikenali dari panjang daunnya 8 cm, bertangkai pendek,
berwarna hijau tua, tepian daun rata dan ujung daun beserta pangkal daunnya
meruncing. Bunga Sambilata muncul dari ketiak daun dan berwarna putih.
Buahnya berbentuk kapsul, panjangnya 2 cm, bijinya berwarna putih kecoklatan.
Daun sambilata memiliki senyawa aktif sebagai antibiotik. Utami (2012)
dalam bukunya menjelaskan bahwa daun sambilata mengandung senyawa aktif
yang dapat berfungsi sebagai antibiotik. Antibiotik adalah senyawa yang memiliki
kemampuan untuk menekan atau menghentikan proses biokimiawi di dalam suatu
organisme, khususnya proses infeksi bakteri. Oleh sebab itu, penggunaan
antibiotik dikhususkan untuk mengobati penyakit infeksi. Doktor dalam Ilmu
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dra. Risdawati, Apt.,
M.Kes sebagaimana diberitakan dalam portal liputan6.com pada tanggal 11 Juni
2014 juga melakukan penelitian terhadap tanaman Sambilata (Andrographis
paniculata). Dalam penelitiannya, beliau menemukan bahwa di dalam tanaman
sambilata terdapat senyawa Andrografolida yang sangat dominan. Senyawa
Andrografolida dapat berfungsi sebagai senyawa antimalaria. Risdawati
mengungkapkan, bahan aktif sambilata, andrografolida, terbukti efektif
menghambat pertumbuhan parasit malaria dan memiliki potensi sebagai obat
antimalaria. Hal senada juga dibuktikan oleh Susanti, dkk dalam penelitiannya
(2017: 47) bahwa andrografolid merupakan senyawa kimia utama yang terdapat
dalam tanaman sambilata. Andrografolid (C20H30O5) merupakan senyawa
golongan diterpenoid lakton bisiklik berbentuk kristal tak berwarna dengan rasa
yang sangat pahit. Andrografolid telah terbukti memiliki berbagai aktivitas
farmakologi, diantaranya: antiinflamasi, antiaterosklerosis, antioksidan,
antihiperglikemik, dan antimalaria. Bentuk fisik tanaman sambilata ditunjukkan
oleh gambar 3 berikut:
Gambar 3: Daun Sambiloto
Tumbuhan yang dimanfaatkan dalam racikan jamu anti malaria
selanjutnya adalah daun bratawali. Bratawali menyebar merata hampir di seluruh
wilayah Indonesia dan beberapa negara lain di Asia tenggara dan India. Tanaman
ini mempunyai banyak nama yaitu antawali, bratawali, putrawali, daun gadel,
andawali (Jawa), bitter grape (Inggris), shen jin teng (Cina). Selain ditemukan
tumbuh liar di hutan dan ladang, bratawali sengaja ditanam sebagai tanaman hias.
Tanaman ini menyukai tempat terbuka dan membutuhkan banyak sinar matahari.
Ia dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 1.700
m di atas permukaan laut (dpl). Bratawali memiliki tinggi batang hingga 2,5 meter
dengan besar batang sebesar jari kelingking, berbintil-bintil rapat dan memiliki
rasa yang pahit. Tangkai dari tanaman bratawali berciri-ciri daun menebal pada
pangkal dan ujung, pertulangan daun menjari dan berwarna hijau. Tanaman ini
merupakan tumbuhan berdaun tunggal, dengan bentuk daun seperti jantung atau
agak mirip seperti bundar telur berujung lancip, dengan panjang daun 7-12 cm dan
lebar 5-10 cm. Bunga bratawali bersifat majemuk berbentuk tandan, terletak pada
batang kelopak ketiga, bunga berwarna hijau muda kecil, memiliki enam mahkota,
berbentuk benang berwarna hijau. Benang sari pada bungga bratawali berjumlah
enam, tangkai bunga berwarna hijau muda dengan kepala sari kuning. Buahnya
keras seperti batu, berwarna hijau. Tanaman bratawali dapat diperbanyak dengan
dua cara, yaitu secara generatif (menggunakan biji) dan vegetatif (stek), tetapi
kebanyakan menggunakan stek.
Kandungan senyawa dalam tanaman bratawali dapat dimanfaatkan
sebagai obat malaria. Dalam penelitiannya, Sulastri, dkk (2018: 80)
mengemukakan bahwa salah satu tanaman obat yang berkhasiat sebagai
antimalaria adalah bratawali (Tinospora crispa (L.). Tanaman ini banyak
mengandung alkaloid, pati, glikosida pikroretosid, pikroretin, berberin, palmatin
dan kolumbin. Berdasarkan kandungan tersebut, bratawali banyak digunakan
sebagai obat tradisional untuk antidiabetes, anti inflamasi analgetik dan
antimalaria. Malik (2015: 48) dalam penelitiannya juga menemukan fakta bahwa
Tanaman Bratawali (Tinospora crispa) mengandung senyawa aktif tinokrisposid
yang berfungsi sebagai antimalaria. Tinokrisposid bekerja di fase eritrositer
dengan cara menghambat pertumbuhan parasit dalam eritrosit. Kandungan
senyawa dalam tanaman bratawali juga dapat meredakan demam. Hal tersebut
dikemukakan oleh Kresnady dan Tim Lentera (2003: 3) bahwa di Jawa bratawali
banya digunakan sebagai obat demam dan sebagai obat luar seperti luka dan gatal-
gatal.
Gambar 3: Daun Bratawali
Selain memanfaatkan tumbuh-tumbuhan herbal menjadi racikan jamu,
pengobatan tradisional anti malaria tersebut juga dilakukan menggunakan mantra
tertentu sebagai perisai tambahan agar jamu yang diracik menjadi lebih manjur.
Mantra tersebut bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh tetua adat desa
setempat. Fenomena semacam ini juga pernah diteliti oleh Setyawati (2006:64-65)
yang menghasilkan kesimpulan bahwa ada teks-teks mantra adakalanya menjadi
satu dengan pengobatan, bahkan ada mantra tertentu yang bersifat sangat rahasia
sehingga hanya diucapkan dalam hati. Mantra seperti ini disebut mantra
ajapa’tanpa ucapan’. Berdasarkan penelitian tersebut, jenis mantra yang
dipergunakan oleh tetua adat Desa Selur termasuk jenis mantra manasa ‘batin’,
yaitu mantra yang hanya diucapkan di dalam batin ketika melaksanakan meditasi.
Kesimpulan
Kondisi geografis Desa Selur berupa daerah pegunungan yang dikelilingi
oleh sawah dan hutan pinus rimbun membuat lingkungan Desa menjadi potensial
bagi ekologi nyamuk Anopheles. Bahkan, pada kurun waktu 1972 sampai dengan
1982 pernah terjadi kasus malaria yang cukup parah hingga berujung kematian.
Fenomena tersebut membuat tetua adat desa setempat melakukan laku semedi
untuk meminta wangsit atau petunjuk dari Tuhan untuk menyelamatkan para
warga dari wabah malaria. Berdasarkan wangsit yang diterima oleh tetua adat,
terciptalah ramuan anti malaria berupa jamu yang diberi mantra serta buah
pantangan. Jamu berasal dari racikan daun pepaya gantung, daun pare, daun
sambilata dan daun bratawali yang direbus dalam kuali tanah hingga airnya tersisa
satu gelas, kemudian diminum dua kali sehari. Mantra pengobatan dipergunakan
pada proses peracikan jamu, namun mantra tersebut hanya diketahui oleh tetua
adat sendiri. Buah-buahan yang menjadi pantangan bagi penderita malaria, yaitu
buah pepaya masak dan buah pisang ambon.
Saran
Sebagai generasi muda, hendaknya kita tidak melupakan budaya lokal.
Banyak hal positif yang dapat diambil dari kearifan budaya lokal, seperti selalu
mengupayakan kehidupan yang harmonis dan selaras antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan lingkungan, maupun manusia dengan manusia. Dengan
demikian akan tercipta kelestarian sumber daya alam, kehidupan yang damai dan
tenteram walaupun di tengah keragaman. Berkaitan dengan jamu, sudah
seharusnya kita sebagai generasi muda turut mengupayakan eksistensinya karena
jamu adalah sarana pengobatan alami yang dapat dikembangkan menjadi
fitofarmaka yang terstandardisasi. Dengan demikian, kita bisa turut
mengupayakan pola hidup sehat yang meminimalisasi obat kimiawi agar tercipta
keselarasan antara diri kita dengan metabolisme tubuh kita sendiri.
Daftar Pustaka
Aditama, Tjandra Yoga. Jamu&Kesehatan. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
Dalimarta & Hembing. Atlas tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Trubus
Agriwidia. 1994.
Dewoto, Hedi, R. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, 57 (7), 205-2011. 2007.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretismen Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Jogjakarta: Narasi. 2003.
Ermawati, Elly Fauziyah. Efek Antipiretik Ekstrak Daun Pare (Momordica
Charantia) Pada Tikus Putih Jantan. SKRIPSI. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret. 2010.
Hakim, Lukman. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator, 3(2), 107-116.
2011.
Handayani, Dwi. Uji Aktivitas Daun Pepaya(Carica papaya Linn) Terhadap
Plasmodium falciparum Secara in Vitro. JK Unila, 1 (1), 24-18. 2016.
Haryati, Tri Astutik. Kosmologi Jawa sebagai Landasan Filosofis Etika
Lingkungan. Religia, 20(2), 174-189. 2017.
Kresnady, Budi dan Tim Lentera. Khasiat dan Manfaat Bratawali, Si Pahit yang
Menyembuhkan. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. 2003.
https://www.liputan6.com/health/read/2061321/sambiloto-efektif-cegah-malaria
diakses pada tanggal 5 April 2019.
Malik, Muhammad Mahardhika. The Potential Of Bratawali Stem Extract
(Tinospora Crispa) as Analternative Antimalarial Drug. J Majority, 4(5).
2015.
Mulyani, Hesti., Widyastuti, Sri Harti., Ekowati, Venny Indria. Tumbuhan Herbal
sebagai Jamu Pengobatan Tradisional Terhadap Penyakit dalam Serat
Primbon Jampi Jawi Jilid I. Humaniora, 21(2), 73-91. 2016.
Padoux, Andre. Vac. The Concept of the Word in Selected Hindu Tantras.
Terjemahan Jacques Gontier. New York: State University of New York.
1990.
Purwaningsih, Ernie H. Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut
Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Kesehatan Indonesia, 1(2), 85-89.
2013.
Saddhono, Kundharu dan Hartarta, Arif. Dialektika Islam dalam Mantra sebagai
Bentuk Kearifan Lokal Budaya Jawa. Jurnal Akademika, 21(1), 83–98.
2017.
Setyawati, Kartika. Mantra Pada Koleksi Naskah Merapi Merbabu. Humaniora,
18(1), 63-71. 2006.
Sudardi, Bani. Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa.
Humaniora, XIV(1), 12-19. 2002.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. 2016.
Sulastri, Lilik., Syamsudin., Simanjuntak Partomuan. 3 Karakterisasi Senyawa
Penghambat Polimerisasi Heme dari Batang Bratawali (Tinospora Crispa
(L.). Biopropal Industri, 9 (2). 2018.
Supadjar, Damardjati. Filsafat Sosial Serat Sastra Gending. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru. 2001.
Sukmawan, Sony. Kosmo(Eko)logi Jawa dalam Sastra Lisan. Repository
Universitas Brawijaya, 1-18. 2017.
Potensi Toksisitas Andrografolid dari Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Nees)
Susanti, N. M. P, Warditiani, N. K., Juwianti, C., Wisesa, I. N. T. Potensi
Toksisitas Andrografolid dari Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Nees) pada kulit dan mata secara In Silico. Jurnal Farmasi
Udayana, 6 (1). 2017.
Utami, Basundari Sri, dkk. Situasi Paten Obat Anti Diabetes, Anti Hipertensi,
Anti Malaria dan Anti Tuberkulosis di Indonesia. Media Litbangkes,
24(2), 103-110. 2014.
Utami, Prapti. Antibiotik Alami untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: Agro
Media Pustaka. 2012.
Yatim, Faisal. Macam-Macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya Jilid
2. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2017.
Zein, Umar. Pemanfaatan Tumbuhan Obat dalam Upaya Memelihara Kesehatan.
E-USU Repository Universitas Sumatera Utara, 1-7. 2005.