halal
DESCRIPTION
nhnkjsd;lkmsalkcnjlkdmv;kxmvTRANSCRIPT
HALAL
Annisa Ajeng Maharani
13/345952/PN/13135
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim tentunya harus mampu
mengakomodir kebutuhan penduduknya akan produk-produk yang halal. Di Indonesia, tiap
produk yang ingin mencantumkan label halal yang resmi di kemasannya harus melalui proses
sertifikasi. Setelah proses sertifikasi selesai, barulah Majelis Ulama Indonesia menerbitkan
sertifikat halal bagi produk yang dimohonkan sertifikasinya. Namun, sertifikasi halal tidak
berakhir disitu saja. Sistem jaminan halal yang telah dibuat oleh produsen harus terus
dipertahankan jika ingin produknya tetap berstatus halal. Untuk menjamin tetap terselenggaranya
sistem jaminan halal, diadakan pengawasan tertentu dari berbagai pihak terhadap produk yang
bersangkutan.
Produk halal
Adapun produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan
syariat Islam (Departemen Agama, 2008) antara lain:
1. Tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi;
2. Tidak mengandung khamar dan produk turunannya;
3. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tata cara syariat Islam.1 Penyembelihan hewan yang sesuai dengan syariat Islam akan
menghasilkan daging yang berkualitas dan higienis2;
4. Tidak mengandung bahan-bahan lain yang diharamkan atau tergolong najis seperti:
bangkai, darah, bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, kotoran dan lain
sebagainya.
5. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan alat
transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak
halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal, maka terlebih
dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur menurut syariat Islam.
Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal secara bergantian
tidak diperbolehkan.3
Departemen Agama RI. 2008. Panduan Sertifikasi Halal. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Sertifikasi Halal
Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait,
yaitu sertifikasi dan labelilasi. Menurut MUI (2008), Sertifikasi halal adalah suatu proses untuk
memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses
produksi dan sistem jaminan halal memenuhi standar LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian
Pangan, Kosmetik, dan Obat-obatan Majelis Ulama Indonesia).4 Sertifikasi halal diperlukan bagi
usaha yang bergerak di bidang produksi makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan.
Sertifikat halal adalah suatu fatwa tertulis dari MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk
sesuai dengan syariat Islam.5 Sertifikat halal sendiri dikeluarkan oleh MUI setelah melalui
pemeriksaan dan pengujian. Yang berwenang memeriksa adalah LPPOM MUI. Tujuan
pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika adalah untuk
1
2
3
4
5
memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat menentramkan batin yang
mengonsumsinya.6
Adanya sertifikat halal merupakan syarat untuk mendapatkan izin labelisasi halal atau
pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang (Badan
POM). Dengan kata lain, izin pencantuman label halal pada kemasan produk yang dikeluarkan
oleh Badan POM didasarkan rekomendasi dari MUI dalam bentuk sertifikat halal MUI yang
dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LPPOM MUI.7
Pelaku usaha yang mengajukan permohonan pemeriksaan halal kepada lembaga
pemeriksa halal wajib memberikan tembusan kepada Departemen Agama, dan disyaratkan
membuat beberapa pernyataan dan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal, yaitu:
1. Membuat pernyataan bahwa pemeriksaan sistem jaminan halal dapat dilaksanakan
sesuai dengan ruang lingkup produk yang diajukan.
2. Membuat pernyataan tidak akan menyalahgunakan sertifikat halal.
3. Membuat pernyataan tidak akan memberikan informasi yang menyesatkan atau tidak
sah berkaitan dengan setifikat halal.
4. Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) harus didokumentasikan secara jelas
dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan.
5. Dalam pelaksanaanya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk Panduan
Halal (Halal Manual), yang berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan
memelihara Sistem Jaminan Halal tentang kehalalan produk tersebut.
6. Produsen menjabarkan Panduan Halal secara teknis dalam bentuk Prosedur Baku
Pelaksanaan (Standard Operation Procedure) untuk mengawasi setiap proses yang
kritis agar kehalalan produknya terjamin.
7. Baik Panduan Halal maupun Prosedur Baku Pelaksanaan yang disiapkan harus
disosialisasikan dan diuji coba di perusahaan, sehingga seluruh jajaran manajemen
dari tingkat direksi hingga karyawan memahami betul bagaimana memproduksi
produk halal yang baik.
6
7
8. Sistem Jaminan Halal dan pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi melalui suatu
sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan.
9. Koordinasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal dilakukan oleh Tim Auditor Halal
Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan produksi halal yang
ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Tim Auditor Halal Internal harus beragama
Islam.8
Setiap produsen yang mengajukan Sertifikasi Halal terhadap produknya, harus
melampirkan:
1. Formulir mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan informasi skala
perusahaan.
2. Surat keterangan telah memenuhi persyaratan cara produksi yang baik dari instansi
yang berwenang.
3. Spesifikasi yang menjelaskan komposisi dan alur proses pembuatannya.
4. Spesifikasi dan sumber bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu, serta bahan
penolong.
5. Dokumen Sistem Jaminan Halal yang diuraikan dalam Panduan Halal beserta
Prosedur Baku Pelaksanannya.
Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah
formulir beserta lampirannya diperiksa oleh LPPOM MUI. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil
laboratorium dievaluasi dalam Rapat Auditor LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan,
maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk
diputuskan status kehalalannya. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit
jika dianggap belum memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
Sertifikat Halal berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan dan harus mengikuti
prosedur perpanjangan Sertifikat Halal untuk mendapatkan Sertifikat Halal yang baru.9
8
9
Majelis Ulama Indonesia. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM – MUI.
Jakarta: Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan Dan Kosmetika MUI, halaman 8
Kebijakan dan Prosedur Sertifikasi Halal
Kebijakan dan prosedur harus dipenuhi oleh perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal.
Penjelasan mengenai kriteria SJH dapat dilihat pada dokumen HAS 23000:2 Persyaratan
Sertifikasi Halal: Kebijakan dan Prosedur.
Berikut Proses sertifikasi halal dalam bentuk diagram alir :
Secara Umum Prosedur Sertifikasi Halal adalah sebagai berikut :
a) Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru, pengembangan
(produk/fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan pendaftaran secara online. melalui
website LPPOM MUI (www.halalmui.org) atau langsung melalui alamat
website: www.e-lppommui.org .
b) Mengisi data pendaftaran : status sertifikasi (baru/pengembangan/perpanjangan), data
Sertifikat halal, status SJH (jika ada) dan kelompok produk.
c) Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal.
d) Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran sesuai dengan status
pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan) dan proses bisnis (industri pengolahan,
RPH, restoran, dan industri jasa), diantaranya : Manual SJH, Diagram alir proses
produksi, data pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang digunakan,
serta data matrix produk.
e) Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, maka tahap selanjutnya sesuai
dengan diagram alir proses sertifikasi halal seperti diatas yaitu pemeriksaan kecukupan
dokumen ----- Penerbitan Sertifikat Halal.
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/39/1328/page/1
Pengawasan Penggunaan Sertifikat Halal
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, bahwa yang menjadi salah satu hak konsumen adalah memperoleh
informasi yang benar dan jelas perihal produk yang dibelinya. Pencantuman label halal yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya pada akhirnya baik secara langsung maupun
tidak langsung telah merugikan konsumen karena dalam kondisi yang demikian telah
menimbulkan suatu keragu-raguan atas kebenaran label yang tertera tersebut. Perbuatan
pencantuman label halal yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku pada produk yang
dijualnya pada dasarnya telah melanggar hak konsumen dan ketentuan syarat administratif yang
ada. Oleh karena itu demi menegakkan dan menjamin hak-hak konsumen, maka diperlukan
adanya pengawasan terhadap barang yang beredar di pasaran. Dalam hal pengawasan Sertifikat
Halal yang telah diterbitkan kepada suatu perusahaan atau produsen suatu produk, LPPOM MUI
hanya mensyaratkan perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Inspeksi
Mendadak LPPOM MUI sewaktu-waktu dan perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan
audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya Sertifikat Halal.10 Apabila melalui inspeksi
terbukti bahwa produsen tidak lagi memenuhi sistem jaminan kehalalan, maka pihak LPPOM
berhak untuk menyampaikan rekomendasi kepada Badan POM untuk memberikan sanksi
10
administrasi sebagaimana di atur dalam PP Nomor 66 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan,
berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan/atau
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.11
Selain sanksi administrasi, produsen dapat pula dikenakan sanksi pidana dan perdata, tergantung
dari pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan oleh produsen itu sendiri.
Ega Megawati. 2009. Implementasi Pasal 30 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Pengawasan Terhadap Peredaran Produk Maknaan Berlabel Halal).
Tesis Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta, halaman 21-22
Pencantuman Label Halal
1. Tulisan ”Halal” hanya dapat dicantumkan pada pangan olahan yang mempunyai sertifikat
“Halal” dari lembaga yang berwenang di Indonesia dan mendapat persetujuan pencantuman
tulisan “Halal” dari Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan.
2. Pangan olahan dari luar negeri yang telah memiliki sertifikat halal dari negara asalnya atau
negara lain dapat mencantumkan tulisan halal jika telah dikaji kesesuaiannya dan diakui oleh
lembaga yang berwenang di Indonesia dan mendapat persetujuan pencantuman tulisan
“Halal” dari Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan.
3. Tulisan atau keterangan tentang ”halal” dapat dicantumkan pada bagian utama label dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Nomor
HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan
11