hak euthanasia dalam perspektif hukum indonesia

39
KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah, SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNYA penulis dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Euthanasia di tinjau dari segi Etis, Hukum HAM dan Agama Islam”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata kuliah Hukum dan HAM di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram. Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna, untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca dan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum HAM. 1

Upload: randa-risgiant

Post on 08-Nov-2015

33 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

EUTHANASIA

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah WabarakatuhPuji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah, SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNYA penulis dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul Euthanasia di tinjau dari segi Etis, Hukum HAM dan Agama Islam.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata kuliah Hukum dan HAM di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna,untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca dan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum HAM.

Mataram, 18 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... iKATA PENGANTAR....................................................................................... iiDAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang................................................................................................... 31.2. Perumusan Masalah........................................................................................... 41.3. Tujuan ................................................................................................................41.4. Pembatasan Masalah......................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN2.1. Pengertian Euthanasia........................................................................................ 52.2.Jenis-jenis Euthanasia....................................................................................... 72.3. Tinjauan Etis Euthanasia...................................................................................92.4. Tinjauan Hukum HAM terhadap Euthanasia....................................................112.5. Tinjauan Islam terhadap Euthanasia.................................................................15

BAB III PENUTUPA. Kesimpulan ........................................................................................................23B. Saran ............................................................................................................... 24DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................25

BAB IPENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANGAda dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.Euthanasia dalam perspektif HAM[footnoteRef:1] merupakan pelanggaran karena menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Adapun Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab IX Pasal 344 KUHP. [1: Irna Tilamuhu, Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia < http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-hukum.html, diakses tanggal 15 September 2014. ]

Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum. Itulah sebabnya negara hukum yang baik menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Menyangkut jiwa manusia dalam KUHP terdapat pada Pasal 338, 339, 340, 341. Selain dapat membaca bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat mengetahui bagaimana pembentuk Undang-undang memandang jiwa manusia. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) menganggap jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik manusia yang lainnya.

1.2. RUMUSAN MASALAH1.2.1. Apa pengertian dari Euthanasia?1.2.2. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?1.2.3. Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?1.2.4. Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?1.2.5. Bagaimana tinjauan Euthanasia dalam Agama Islam

1.3. TUJUAN1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia1.3.2. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia1.3.3. Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia1.3.4. Untuk mengetahui tinjauan Yuridis terhadap euthanasia1.3.5. Untuk mengetahui tinjauan euthanasia dalam Agama Islam

1.4.METODE PENULISANDalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN EUTHANASIAIstilah euthanasia[footnoteRef:2] berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. [2: http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014 ]

Euthanasia dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri lantaran kehilangan peluang dan harapan[footnoteRef:3]. Hal ini biasanya dilakukan oleh penderita penyakit parah dengan peluang hidup yang sangat kecil. Tindakannya sendiri berupa suntik mati demi menepis penderitaan yang berkepanjangan. [3: Denissa Ningtyas, Euthanasia, < http://www.slideshare.net/densyaa/euthanesia,diakses tanggal 15 September 2014. ]

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan[footnoteRef:4], maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya. [4: http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati/,diakses pada tanggal 15 September 2014]

Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan[footnoteRef:5]: [5: Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15 September 2014]

Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasienDilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti: Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatub. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

2.2. JENIS-JENIS EUTHANASIAEuthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia[footnoteRef:6]: [6: http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014 ]

1. Euthanasia aktifEuthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongana.Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikanb. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.2.Euthanasia pasifEuthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.3.Euthanasia volunterEuthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.

4.Euthanasia involunterEuthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu[footnoteRef:7]: [7: http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati/ diakses pada tanggal 15 September 2014 >> http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014 ]

1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.4.Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.

2.3. TINJAUAN ETIS EUTHANASIAA. Tinjauan KedokteranProfesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan[footnoteRef:8]. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya. [8: Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15 September 2014]

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia[footnoteRef:9] tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi[footnoteRef:10]. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. [9: Fatmanadia, Pandangan Etika dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia, http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/ diakses tanggal 16 September 2014 ] [10: Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005]

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan[footnoteRef:11]. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis. [11: M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105]

B. Tinjauan Filosofis-EtisDari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide[footnoteRef:12]. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati. [12: Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15 September 2014]

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang tidak perlu.

2.4. TINJAUAN HUKUM HAM EUTHANASIAProsfek Hukum HAM Terhadap Perlindungan Hak Hidup Dari Praktek Euthanasia Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak sosial, satu dan lain karena pemeliharaan kesehatan (termasuk pelayanan kesehatan) sebagai sistem memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan atau ditawarkan oleh pergaulan hidup, Leenen menyebutkan hak-hak partisipasi (participatie rechten), dan isi hak-hak ini sedang berkembang seiring dengan kemajuan masyarakat. Jadi hak dasar sosial ini mengandung tanggung jawab (bandingkan Pasal 29 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi: "Everyone has duties to the community" dan seterusnya). Dan salah satu tanggung jawab ialah ikhtiar untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak untuk menentukan nasib sendiri. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan mempunyai jangkauan yang luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang sakit, setidak-tidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan. Dalam Pasal 25 Universal Declaration Of Human Rights[footnoteRef:13] tercantum ketentuan-ketentuan yang rnenyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan[footnoteRef:14], yang secara tidak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, sebagai berikut: Pertama, Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup, yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk didalamnya pangan, pakaian, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan. Hak-hak ini mencakup hak atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran, sakit, cacat, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan oleh situasi dan kondisi diluar kehendak yang bersangkutan. Kedua, Ibu dan anak mempunyai hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang sah maupun diluar kawin, menikmati perlindungan sosial yang sama[footnoteRef:15]. [13: http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/,diakses 16 September 2014] [14: Haryadi, Masalah Euthanasia dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia, http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/ diakses tanggal 16 September 2014. ] [15: Adnan Buyung Nasution dan patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta; Yayasan Obor, 2000), h. 88]

Perlindungan terhadap kesehatan dirumuskan dalam Pasal 12 persetujuan definitif Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai berikut: Pertama, Negara-negara yang merupakan pihak dalam persetujuan ini mengakui hak setiap orang atas kesehatan tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin. Kedua, Langkah-langkah yang diambil negara-negara yang merupakan pihak pada persetujuan ini, guna merealisasikan hak ini selengkap mungkin.Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia[footnoteRef:16]. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. [16: Fatmanadia, Pandangan Etika dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia, http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/, diakses tanggal 16 September 2014 ]

Kitab undang-undang Hukum Pidana[footnoteRef:17] mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat padapasal 344,338,340,359,345 KUHP[footnoteRef:18]. [17: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. ] [18: S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni AHAEM-PATEHEAN, 1989), h.496]

Pasal 344 KUHP:Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya. Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu: Pasal 338 KUHP:Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Pasal 340 KUHP:Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Pasal 359 KUHP:Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu: Pasal 345 KUHP:Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

2.5 Pandangan Islam Terhadap Euthanasia1. Kedudukan jiwa dalam IslamIslam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-Quran maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs)[footnoteRef:19]. Meskipun jiwa merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. [19: Maulana Abdul Ala Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h.21.]

Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau nafs itu adalah :a. Menurut Surat Al-Hijr ayat 23 :Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi.b. Menurut Surat Al-Najm ayat 44 :Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).

1. Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah matiYang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :a. Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syari).b. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi).c. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).

Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan[footnoteRef:20]. Aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia). [20: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html diakses pada tanggal 17 September 2014]

Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :a. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih nyaman yaitu melalui euthanasia.b. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.c. Kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien.Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa atau boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-Anam : 151) :Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab yaitu :a. Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.b. Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.c. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam.Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu, ia tidak boleh diabaikan apalagi dilepaskan dari kehidupannya.Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya.Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.

1. Hukum Euthanasia dalam Islam1. Euthanasia AktifSyariat Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-amd). Walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan[footnoteRef:21]. [21: Maulana Abdul Ala Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h.21.]

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri[footnoteRef:22], misalnya firman Allah Swt.: [22: http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html diakses pada tanggal 17 September 2014]

Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-Anam [6]: 151). Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).

Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita) tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda:[ ] Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya.(HR al-Bukhari dan Muslim).1. Euthanasia PasifMengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori menghentikan pengobatan[footnoteRef:23]. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam? [23: Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h.22]

Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadwi) itu sendiri : apakah berobat itu wajib, mandb (sunnah), mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003: 180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum berobat adalah mandb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarnah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik, bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, Ya Rasulullah, haruskah kami berobat?Rasulullah saw bersabda, Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi). Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kita untuk berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi wajib. Ini sesuai dengan kaidah: Perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan.(An-Nabhani, 1953).Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarnah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak wajib. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa seorang perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata, "Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi saw. Lalu berkata, "Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Perempuan itu berkata, "Baiklah aku akan bersabar." Lalu dia berkata lagi, "Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh].Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap." Nabi saw, kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari).Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarnah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998: 69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib[footnoteRef:24]. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh (j'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien (Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003: 182). [24: M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105]

Mempercepat kematian tidak dibenarkan.Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh.Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian hidup[footnoteRef:25]. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya.Tetapi bila pasien berada di RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien. [25: M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105]

Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan terhenti pula fungsinya[footnoteRef:26]. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi jantung masih berdenyut.Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan.Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu jantung, saluran infus dan sebagainya. Maksudnya hanya sebagai langkah menyempurnakan kematian. [26: Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h.22]

BAB IIIPENUTUP2.1. SIMPULAN Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan. Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Euthanasia dalam pandangan hukum islam merupakan sebuah perbuatan melanggar hukum dan termasuk dalam kategori pembunuhan. Islam melarang pembunuhan terhadap diri sendiri baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain, karena Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.2.2.SARAN Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara : a. Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.1. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.1. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.

DAFTAR PUSTAKASUMBER BUKU Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105 Adnan Buyung Nasution dan patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta; Yayasan Obor, 2000), h. 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni AHAEM-PATEHEAN, 1989), h.496

SUMBER PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UU No. 36/2009 tentang Kesehatan UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) DUHAM (Declaration Universal HAM)

SUMBER LAINNYA http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia Denissa Ningtyas, Euthanasia, http://www.slideshare.net/densyaa/euthanesia http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati http://JohnkoplosWeblog.com/Euthanasia-Tinjauan-dari-Segi-Medis,Etis,dan,Moral Arli Aditya Parikesit, http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika Irna Tilamuhu, http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-hukum.html http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/ Fatmanadia, http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/ http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html