hadis “man baddala dÎnahÛ faqtulÛhu” telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat...

18
ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015 Pendahuluan engkajian hadis dengan interaksi keilmuan modern pada era kontemporer menjadi hal yang sangat penting, sebab sudah selayaknya studi hadis tidak hanya dibaca dengan warisan keilmuan klasik (al-turâts) semata, tetapi juga dengan ilmu-ilmu yang muncul di era modern (al- hadâtsah). Selama ini, disadari atau tidak, sebagian besar studi hadis tampaknya hanya menitikberatkan kajian pada ranah kritik isnâd dan matan saja, dan belum maksimal dalam mengurai sisi pemahaman. Asumsi yang dibangun adalah,jika hadis berkualitas shahih secara isnâd dan matan, maka ia pasti berasal dari Nabi dan konsekwensinya lanjutnya ialah wajib diamalkan. Pada era sekarang, pembahasan mengenai kritik isnâd dan matan kiranya sudah menemui titik jenuh, sebab sudah banyak kitab-kitab hadis yang terlahir untuk membahas tema ini, terutama dari kalangan sarjana klasik. 1 Kajian pada pemahaman hadis pun HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” : Telaah Semiotika Komunikasi Hadis Benny Afwadzi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang [email protected] Abstract This article attempts to understand the hadith Man baddala dînahû faqtulûhu, with the communication semiotics of hadith adopted from the theory of communication semiotics of Umberto Eco. to this study, I conclude that the Prophet as delivered sources of the tradition toward our semiotic mind as the destination through some communication components. After the processing of unlimited semiosis in the destination, the appeared understanding fabric related to the word faqtulûhu in the tradition refer to the meaning “warn him”, and then it could be saying “give him advice.” And further reinterpretation to be “honor him. “The latter Interpretant could be the final logical interpretant that has a great contribution to the modern context. Abstrak Artikel ini mencoba untuk memahami hadits Man baddala dînahû faqtulûhu, dengan menggunakan pembacaan semiotika komunikasi hadits yang diadopsi dari teori semiotika komunikasi Umberto Eco . dalam penelitian ini , saya menyimpulkan bahwa Nabi sebagai sumber penyampai hadis pertama disampaikan melalui alam pikiran semiotik kita melalui beberapa komponen komunikasi . Setelah melalui proses semiosis yang tak terbatas di dalam tujuan komunikasi itu, ada pemahaman muncul terkait dengan kata “faqtulûhu” dalam hadis merujuk pada makna “memperingatkan dia”, dan bisa juga bermakna “memberikan nasihat kepadanya.” Adapun penafsiran selanjutnya menjadi “menghormati dia.” Tafsiran yang terakhir dianggap cukup masuk akal dan banyak memberikan kontribusi besar bagi kehidupan konteks modern. Kata-kata Kunci: semiotika komunikasi, unlimited semiosis,final logical interpretant, dan hormati dia seringkali hanya berputar-putar pada kajian ilmu- ilmu keislaman an sich, dan jarang diinterkoneksikan dengan paradigma keilmuan lain misalnya ilmu sosial-humaniora dan sains. Oleh sebab itu, fokus kajian hadis pada masa kontemporer selayaknya masuk pada ranah interpretasi secara dialektis dengan beragam pendekatan sosial-humanoira maupun saintifik yang ada, dan salah satunya adalah dengan keilmuan semiotika. Penulis sendiri mencoba untuk melakukan caraberpikir tersebut dengan melakukan integrasi- interkoneksi konsep semiotika komunikasi Umberto Eco, salah seorang ahli semiotika asal Italia dengan 1 Beragam karya muncul dari sarjana muslim klasik maupun modern mengenai tema ini, misalnya Jalâluddîn al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwi fî Syar hi Taqrîb al-Nawâwî (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972); al- Hâkim al- Naysâbûrî, Ma’rifah ‘Ulûm al- Hadîts wa Kamiyyati Ajnâsuhû (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2003); Ibnu Shalâ h, Ma’rifah Anwâfî ‘Ilm al- Hadîts (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 2002), Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Nuzhah al-Nadzar fî Taudhi hi Nukhbah al-Fikr (Riyâdh: t.p., 2001); M. Suhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Shala huddîn al-Adlabî, Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulamâ’ al- Hadîts al-Nabawî (Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah, 1983). P

Upload: lekhuong

Post on 28-Apr-2019

296 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Pendahuluan engkajian hadis dengan interaksi keilmuan

modern pada era kontemporer menjadi hal yang sangat penting, sebab sudah selayaknya

studi hadis tidak hanya dibaca dengan warisankeilmuan klasik (al-turâts) semata, tetapi juga denganilmu-ilmu yang muncul di era modern (al-hadâtsah).Selama ini, disadari atau tidak, sebagian besar studihadis tampaknya hanya menitikberatkan kajian padaranah kritik isnâd dan matan saja, dan belum maksimaldalam mengurai sisi pemahaman. Asumsi yangdibangun adalah,jika hadis berkualitas shahih secaraisnâd dan matan, maka ia pasti berasal dari Nabi dankonsekwensinya lanjutnya ialah wajib diamalkan.

Pada era sekarang, pembahasan mengenai kritikisnâd dan matan kiranya sudah menemui titik jenuh,sebab sudah banyak kitab-kitab hadis yang terlahiruntuk membahas tema ini, terutama dari kalangansarjana klasik.1Kajian pada pemahaman hadis pun

HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” :Telaah Semiotika Komunikasi Hadis

Benny AfwadziUIN Maulana Malik Ibrahim Malang

[email protected]

AbstractThis article attempts to understand the hadith Man baddala dînahû faqtulûhu, with the communication semiotics of hadithadopted from the theory of communication semiotics of Umberto Eco. to this study, I conclude that the Prophet as delivered sourcesof the tradition toward our semiotic mind as the destination through some communication components. After the processing of unlimited semiosis in the destination, the appeared understanding fabric related to the word faqtulûhu in the tradition refer to themeaning “warn him”, and then it could be saying “give him advice.” And further reinterpretation to be “honor him. “The latterInterpretant could be  the final logical interpretant that has a great contribution to the modern context.

AbstrakArtikel ini mencoba untuk memahami hadits Man baddala dînahû faqtulûhu, dengan menggunakan pembacaan semiotikakomunikasi hadits yang diadopsi dari teori semiotika komunikasi Umberto Eco . dalam penelitian ini , saya menyimpulkanbahwa Nabi sebagai sumber penyampai hadis pertama disampaikan melalui alam pikiran semiotik kita melalui beberapa komponenkomunikasi . Setelah melalui proses semiosis yang tak terbatas di dalam tujuan komunikasi itu, ada pemahaman muncul terkaitdengan kata “faqtulûhu” dalam hadis merujuk pada makna “memperingatkan dia”, dan bisa juga bermakna “memberikan nasihatkepadanya.” Adapun penafsiran selanjutnya menjadi “menghormati dia.” Tafsiran yang terakhir dianggap cukup masuk akaldan banyak memberikan kontribusi besar bagi kehidupan konteks modern.

Kata-kata Kunci: semiotika komunikasi, unlimited semiosis,final logical interpretant, dan hormati dia

seringkali hanya berputar-putar pada kajian ilmu-ilmu keislaman an sich, dan jarang diinterkoneksikandengan paradigma keilmuan lain misalnya ilmusosial-humaniora dan sains. Oleh sebab itu, fokuskajian hadis pada masa kontemporer selayaknyamasuk pada ranah interpretasi secara dialektisdengan beragam pendekatan sosial-humanoiramaupun saintifik yang ada, dan salah satunya adalahdengan keilmuan semiotika.

Penulis sendiri mencoba untuk melakukancaraberpikir tersebut dengan melakukan integrasi-interkoneksi konsep semiotika komunikasi UmbertoEco, salah seorang ahli semiotika asal Italia dengan

1 Beragam karya muncul dari sarjana muslim klasikmaupun modern mengenai tema ini, misalnya Jalâluddînal-Suyûthî, Tadrîb al-Râwi fî Syarhi Taqrîb al-Nawâwî(Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972); al-Hâkim al-

Naysâbûrî, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts wa Kamiyyati Ajnâsuhû(Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2003); Ibnu Shalâh, Ma’rifahAnwâ‘ fî ‘Ilm al-Hadîts (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 2002),Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Nuzhah al-Nadzar fî TaudhihiNukhbah al-Fikr (Riyâdh: t.p., 2001); M. Suhudi Ismail,Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauandengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang,1998), Shalahuddîn al-Adlabî, Manhaj Naqd al-Matan IndaUlamâ’ al-Hadîts al-Nabawî (Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah,1983).

P

Page 2: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

studi hadis. Hasilnya, penulis pun merancang sebuahteori semiotika komunikasi hadis untuk membacahadis Nabi berpijak teori Eco. Dalam konteks ini,penulis menginterpretasikan danmengadopsi teorisemiotika komunikasi Umberto Eco, dan kemudianmerubah di sana sini serta memberikan tambahanagar sesuai dengan konsep semiotika komunikasihadis.2

Artikel ini berusaha memahami salah satu hadisyang dapat berpotensi sebagai pemicu konflik antaragama, yaitu Man baddala dînahû faqtulûhu (Barangsiapayang mengganti agamanya/murtad, maka bunuhlahdia) dengan kacamata semiotika komunikasi hadis.Apabila hadis ini dimaknai secara tekstual, makaorang Islam dilegalkan untuk membunuh orang lainyang berpindah agama dari Islam ke dalam agamalainnya. Jika hal itu dibiarkan tanpa adanya tindakan,maka akan banyak pembunuhan dan konflik yangditimbulkan. Oleh sebab itu, tahapan pemahamanhadis dengan pendekatan modern seperti inisangatlah penting bagi eksistensi beragama orangIslam, sebab pemahaman suatu hadis tidak hanyabisa berbentuk positif bila menentramkan hati umatIslam, tetapi juga bisa berbalik menjadi negatif ketikamengguncang dan menyengsarakan kehidupan umatIslam.

Semiotika Komunikasi HadisDefinisi

Secara teoritis, semiotika komunikasi hadis ialahbentuk komunikasi yang terjadi dari Nabi Muhammaddi masa lampau kepada kita sebagai pengikutnya dimasa sekarang melalui beberapa komponenkomunikasi, dengan memakai semiotika sebagaimedia untuk menguraikan makna-makna yangdikandungnya.Dalam hal ini, Nabi berposisi sebagaikomunikator dan kita pada era sekarang berada padaposisi komunikan.

Arus komunikasi yang terjadi dalam semiotikakomunikasi hadis dapat dijabarkan dalam keterangansebagai berikut: Nabi merupakan source ataukomunikator yang menyampaikan redaksi otentiknya(message) kepada transmitter, sedang para periwayathadis yang menjadi transmitter menyampaikan message

tesebut tetapi dalam wujud signal berupa variasi redaksihadis secara verbal pada channel yang ada, yaituberbagai kitab koleksi hadis. Kemudian, channel inimengirimkan signal pada kita (receiver) berupa variasiredaksi hadis secara tertulis. Setelah menerimaberbagai redaksi hadis, menjadi tugas bagi receiveruntuk mengkonstruksi message berupa redaksitunggal hadis yang dikirimkan oleh sourcesebelumnya. Dalam konsep ini, receiver dinamakandengan istilah nalar riwayah hadis. Terakhir, sudahtergambarkan secara eksplisit apa redaksi tunggalNabi, maka message itu akan berjalan menujudestination berupa nalar semiotis yang berada dipikiran kita. Nalar semiotis inilah yang akanmelakukan penalaran makna hadis dengan metodeunlimited semiosis.

Komponen-komponen tersebut, jika dibuatdalam skema arus komunikasi, maka akan terlihatsebagai berikut:

Source: Nabi

Message I: Redaksi Otentik Nabi

Transmitter: Para Periwayat/Informan Hadis

Signal I: Berbagai Redaksi Hadis Secara Verbal

Channel: Berbagai Kitab Hadis

Signal II: Berbagai Redaksi Hadis Secara Tertulis

Receiver: Nalar Riwayah Hadis

Message II: Redaksi Tunggal Hadis

Destination: Nalar Semiotis

Komponen-KomponenSource: Nabi

Dalam teori produksi tanda, Eco menuturkanbahwa ketika seseorang menuturkan sebuah kata-kata tertentu, maka ia harus terlihat dalam sebuahproses produksi tanda, yang melibatkan berbagailapisan pekerja (labor). Lapisan pekerja ini memilih,menyeleksi, dan menata tanda-tanda dengan cara danaturan main tertentu. Dalam proses komunikasi,ekspresi yang dihasilkan oleh pekerja tanda itu harus2 Lihat Benny Afwadzi, “Semiotika Hadis: Upaya

Memahami Hadis Nabi dengan Semiotika KomunikasiUmberto Eco”, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan KalijagaYogyakarta, 2014.

Page 3: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

berwujud dalam serangkaian tanda yang bisaditerima oleh orang lain.3

Proses yang kira-kira hampir serupa terjadi padadiri Nabi yang ingin memproduksi suatu tanda ataukata-kata. Dalam konteks ini, Nabi memproduksi,memilih, dan menyusun rangkaian tanda atau kata-kata dengan melibatkan lapisan pekerja (labor) dalampikiran beliau, sehingga dari sini terbentuk rangkaianekspresi tertentu yang nantinya akan disampaikanpada audiensnya. Dalam melaksanakan tugasnya,para pekerja (labor) tersebut mengambil pengetahuanyang bersumber dari beberapa unsur, baik wahyuTuhan, ijtihad pribadi Nabi atas bimbingan wahyu,maupun sisi sosiologis-antropologis Nabi.4 Adanyaketiga unsur pengetahuan inilah yang membedakanNabi dengan manusia pada umumnya, termasukpada teori produksi tanda yang dipaparkan UmbertoEco.

Eco dalam teori produksi tanda mengandaikanadanya kemungkinan munculnya ekspresi (tanda)dan isi (makna) yang belum terkodekan sebelumnya,karena orang dapat merestruktur ekspresi dan isipesan mengikuti kemungkinan-kemungkinan dankapasitas pengkombinasiannya yang dinamis dalamkomunikasi.5 Berpijak dari pengetahuan wahyu,ijtihad pribadi, dan kondisi sosiologis-antropologis

Nabi, maka dalam teori produksi tanda yang terjadipada diri Nabi pasti tercipta suatu diskursus baruberupa ekspresi atau isi yang belum pernah dikenalsebelumnya. Penciptaan diskurus baru ini disebabkanadanya ketiga unsur tadi, terutama unsur pertama(wahyu), sehingga unsur-unsur inilah yang akanmenggiring Nabi membuat formulasi tanda baru ataumakna baru yang belum terkodekan dalam masya-rakat Arab ketika itu.6 Selain itu, gaya tutur Nabiyang berpola jawâmi’ al-kalim, bisa jadi menimbulkantanda-tanda baru yang tidak bisa dipahami dengankode-kode bahasa yang ada pada saat itu.7

Dalam teori produksi tanda yang diutarakanEco, terdapat pemilahan argumen menjadi argumenpersuasif dan argumen ideologis. Keduanya adalahargumen yang berfungsi untuk mempengaruhiaudiens atau sarat dengan unsur pragmatis. Namunbedanya adalah bahwa argumen persuasif diwujudkandalam sebuah argumen yang memang masuk akalmeskipun subtil, akan tetapi ideologis adalah argumenyang mengandung kesadaran atau ide palsu, sebab

3 Umberto Eco, A Theory of Semiotics (Bloomington:Indiana University Press, 1976), 151.

4 Tiga unsur ini mengikuti jalan pemikiran SyâhWaliyullâh al-Dihlawî yang menjelaskan bahwa hadisNabi terbagi atas dua tipologi, yaitu Risâlah dan GhoiruRisâlah. Hadis (atau sunnah) Risâlah adalah hadis yangdisampaikan dengan jalan risalah (mâ sabîluhû sabîlutablîgh al-Risâlah). Hadis ini muncul dari diri Nabi sebagaipembawa Risalah, yang bersumber dari wahyu Tuhan ataujuga ijtihad Nabi atas bimbingan wahyu. Sedangkan hadis(atau sunnah) Ghoiru Risâlah adalah hadis yang tidaktermasuk dalam jalan penyampaian risalah (mâ laisa minbâbtablîgh al-Risâlah). Hadis dalam kategori ini bersumberdari sisi sosiologis-antropologis Nabi atau kapasitas Nabisebagai manusia biasa. Mengenai jenis-jenis kategorihadisnya, lihat Syâh Waliyullâh al-Dihlawî, Hujjah Allâhal-Bâlighah (Beirut: Dâr al-Jail, 2005), 223-224.

5 Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika:Kode, Gaya, dan Matinya Makna (Bandung: Matahari,2012), 311-312; Yasraf Amir Piliang “Antara SemiotikaSignifikasi, Komunikasi, dan Ekstra Komunikasi”, Pengantardalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2006), xiv.

6 Sebagai seorang Nabi yang melakukan rekonstruksipada sistem masyarakat jahiliyah di tanah Arab, NabiMuhammad pasti tidak akan mengikuti sistem yangsudah tertata. Oleh karena itu, beliau akan melakukanperubahan secara besar-besaran terkait akidah, sistemhukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu,dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapatdipungkiri bahwa Nabi juga tidak akan melepaskansepenuhnya kebudayaan yang sudah berakar di kalanganbangsa Arab. Dalam konteks ini, Nabi hanya akanmerubah ‘budaya-budaya’ yang sudah berada jauh darigaris yang ditetapkan oleh Tuhan. Perubahan ini, secarasemiotis, membutuhkan perubahan eksresi (tanda) danisi (makna) saat berkomunikasi.

7Jika memang tanda-tanda (kata-kata Nabi) itu sudahdikenal sebelumnya, maka tidak akan mungkin paraaudiens (sahabat) merasa kebingungan dan kemudianmenanyakan perihal makna yang dikehendaki Nabidalam sabdanya itu. Salah satu contoh mengenai hal inimisalnya mengenai kata al-hâl wa al-murtahil dalam kisahsebagai berikut: Suatu hari, sahabat bertanya pada Nabi“Apa amal yang paling dicintai Allah wahai Rasul?”, makaNabi pun menjawab “al-hâl wa al-murtahil”. Orangtersebut bertanya kembali, “Apa itu al-hâl wa al-murtahil?,Nabi pun menjawab “Orang yang membaca al-Qur’andari awal sampai akhir dan setiap kali dia sudah selesaimembacanya, dia mengulanginya kembali”. Lihat, al-Tirmidzi no. hadis 2872 dalam CD-ROM Mausu‘ah al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis‘ah, 1997.

Page 4: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

di dalamnya terdapat ide yang saling kontradiktif.8

Di samping itu, argumen yang bersifat persuasif bisalangsung diterima informasinya, sedangkan argumenideologis harus dikaji secara mendalam dan disimakmengenai bagaimana pesan itu lahir dan atas alasanpolitik-ekonomi apa yang melatarbelakangi pesan itumuncul.9

Dalam studi hadis, berpijak pada dua jenisargumen di atas, penulis membagi kategorisasi hadissecara umum menjadi hadis yang bertipologipersuasif dan ideologis, meskipun pembagian di sinitidak bernada negatif seperti dalam cara berpikirEcomengenai dua kategori ini. Pembagian ini karenadiasumsikan bahwa hadis (perkataan) Nabi adalahsebuah bentuk argumen dari Nabi yang bertujuanuntuk mempengaruhi umatnya, yaitu agar umatnyamau melaksanakan apa yang diperintahkan. Wujuddua jenis argumen ini pun tidak hanya terbatas padahadis yang berkonten perintah (amr) atau larangan(nahy) semata, tetapi juga hadis Nabi yang bila dilihatberbentuk informatif, tetapi sebenarnya mengandungmakna untuk mempengaruhi.

Hadis yang bertipologi persuasif adalah hadisyang berisi muatan dengan kesimpulan yang logis.Artinya, ‘apa yang dijelaskan’ dan ‘apa yang men-jelaskan’ dalam hadis bisa diterima dengan baik olehpembaca. Dalam hal ini, pembaca menilai bahwa apayang dituturkan dalam hadis bisa merepresentasikanpreposisi yang pantas, sehingga bisa diterima secaralangsung. Sementara itu, hadis yang bertipologiideologis adalah hadis yang berisi muatan yang ber-nilai kurang logis. Maksudnya, ‘apa yang dijelaskan’dan ‘apa yang menjelaskan’ tidak bisa diterima denganbaik oleh pembaca, sebab dianggap merefleksikansesuatu yang kurang pantas. Implikasi dari hal iniadalah hadis yang bertipologi ideologis tidak bisaditerima begitu saja keberadaannya. Untuk menyikapihal ini, kembali pada historisitas pembuat pesan(Nabi) menjadi satu-satunya solusi untuk mengatasiproblem ini, yaitu untuk menjelaskan motif-motifnya,mengingat sebuah pesan sangat terkait dengan sisihistoris dimana ia muncul.

Kategorisasi dua hadis di atas disadari masihdebatable, yang berarti bisa jadi sebuah hadis menurut

satu orang masuk dalam hadis persuasif, tetapi bagiyang lain lebih layak dikategorisasikan sebagai hadisideologis. Penentuan ini tergantung dari apakah ‘apayang dijelaskan’ dan ‘apa yang menjelaskan’ sudahpantas atau logis menurut pembaca ataukah tidak.Dengan maksud lain, apakah ‘akal’ yang dimilikiseseorang menuntun ia pada premis-premis logisdalam hadis ataukah tidak. Akal yang dimaksud disini adalah akal yang didasarkan atas nalar Islamyang menjadi rahmat bagi semesta alam, serta relevanbagi setiap waktu dan tempat. Perlu ditambahi disini juga bahwa kesahihan hadis harus menjadipijakan awal, dengan maksud bahwa tatkala seseorangmemahami suatu hadis, ia harus yakin akankesahihan hadisnya terlebih dahulu, sehingga hadisyang nantinya dirasa bernuansa ideologis atau terasakurang pantas bukan dilatarbelakangi oleh aksipemalsuan atas nama Nabi.

Message I: Redaksi Otentik NabiSecara umum, hadis Nabi terbagi menjadi empat

tipe, yaitu perkataan (qaulî), perilaku (fi‘lî), ketetapan(taqrîrî), dan sifat-sifat dan kepribadiannya (ahwâlî).Keempat tipe ini merupakan bentuk-bentuk halihwal Nabi yang ditransmisikan dalam subtansi hadisdari satu generasi kepada generasi lainnya oleh paraperiwayat hadis. Konsepsi keempatnya cukup penting,mengingat Nabi dipandang sebagai panutan yangbaik (uswah al-hasanah). Impikasinya, generasi yangmuncul kemudian juga pasti menanyakan informasi-informasi perihal panutannya tersebut kepada generasiterdahulu, terutama dari generasi tabi’in dan setelahnyayang tidak menyaksikan tindak-tanduk Nabi secaralangsung.

Dalam bingkai pemikiran Eco, bahasa verbalmerupakan bahasa yang mampu mengungkapkanketerungkapan sesuatu daripada bahasa-bahasalainnya. Bahasa verbal adalah sistem bahasa yangbersifat primer dan bahasa-bahasa lain hanyalahsistem yang bersifat sekunder dan merupakan bentukparsial dari bahasa verbal. Artinya, ketika seseorangingin mengungkap dan memahami maknasepenuhnya yang diinginkan oleh source, makahendaknya memilih bahasa verbal sebagai objek yangditafsirkannya. Walaupun demikian, Eco tidakmengamini bahasa verbal sebagai bahasa yang secaratotal dapat mengkover keterungkapan sesuatu. Iaharus diperkuat dengan sistem semiotik lainnya

8 Lebih jelasnya lihat bagaimana Eco mengulas keduajenis argumen ini dengan ilustrasi peristiwa gula (sugar)dan siklamat (cyclamates) yang pernah terjadi di Amerika.Umberto Eco, A Theory of Semiotics, 287-288.

9 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, 290.

Page 5: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

supaya seseorang dalam memahami dunia secarautuh.10

Pemikiran Eco mengenai keunikan bahasa verbalapabila dibawa pada beberapa tipe hadis sepertidisebutkan sebelumnya, maka akan berimplikasiakan pentingnya kajian semiotika komunikasi padahadis-hadis qaulî dibanding tipe-tipe hadis lainnya.Hadis-hadis Nabi yang memuat perkataan Nabimemiliki keunggulan dari sisi efektivitas keterung-kapan ketimbang tipe hadis lain. Dengan memakaimedia oral, logikanya Nabi akan secara mudahmenyampaikan maksud yang terlintas di pikirannya.

Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, hadis qaulîmerupakan representasi atau gambaran utuh sunnahNabi, sehingga tuntutan dan penetapan hukumharus bertolak darinya. Melalui tipe hadis ini,penjelasan Nabi mendapatkan momentum yangtepat, di samping menjelaskan kefasihan Nabi. Selainitu, dalam hadis qaulî ada pula yang disebut jawâmi’al-kalim, yaitu hadis Nabi yang mampu merangkumberbagai makna yang dikehendaki, tetapi meng-gunakan kalimat yang singkat saja.11

Transmitter: Para PeriwayatPara transmitter (râwî) bertugas untuk menyam-

paikan segala macam perkataan Nabi kepada generasiselanjutnya. Kita sebagai umat Nabi yang hidup diera sekarang tidak akan mampu mengetahui halihwal seputar Nabi sedikit pun apabila para periwayatini tidak eksis atau mereka tidak meriwayatkan hadispada orang yang hidup setelahnya. Dalam semiotikakomunikasi hadis, keberadaan transmitter tersebutpun musnah tatkala hadis yang diriwayatkannyatelah terekam dalam berbagai kitab hadis sebagaichannel dalam jalur komunikasi hadis ini.

Terkait dengan transmitter tersebut, jumlahnyasangat banyak karena generasi yang muncul dalamtingkatan periwayat bervariasi, baik mulai darigenerasi para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, maupungenerasi-generasi setelahnya. Hal ini dikarenakanoleh lamanya proses kodifikasi hadis dari masa hidupNabi sebagai sumber kemunculan pertama hadisyang memakan waktu kira-kira dua abad.

Periwayatan yang dilakukan oleh para transmitterhadis mayoritas terjadi dalam bentuk maknawi (al-

riwâyah bi al-ma‘nâ) dan hanya sedikit yang ditrans-misikan secara lafadz. Beberapa sarjana sepertiMahmûd Abû Rayyah mengkritik keras bentukperiwayatan secara maknawi ini, sebab berpotensibesar dalam merusak makna suatu hadis.12Meskipunbegitu, hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa al-riwâyah bi al-ma‘nâ merupakan realitas yang munculdalam periwayatan hadis. Sehingga bagaimanapunseseorang menggugat al-riwâyah bi al-ma‘nâ, maka halitu tidak akan bisa menggugurkan fenomena yangmenjadi fakta dalam studi hadis. Menyikapi problemini, maka hal yang terpenting adalah bagaimanaseseorang yang hendak memahami hadis harusmenemukan terlebih dahulu perkiraan redaksipertama Nabi ketika awal mula berbicara pada abadketujuh masehi. Dalam semiotika komunikasi hadisyang digagas penulis, tugas tersebut akan diembanoleh receiver (nalar riwayah hadis).

Signal I: Berbagai Redaksi Hadis Secara VerbalPerlu diketahui bahwa wujud signal yang

dimunculkan oleh trasmitter dalam jalur semiotikakomunikasi hadis ini sangat kompleks dan rumit,yang diakibatkan oleh implikasi adanya al-riwâyah bial-ma‘nâ dan berlapisnyajumlah trasmitter. Selain itu,ada satu hal lagi yang patut dimengerti bahwa signalyang muncul di sini adalah signal dalam bentukverbal atau signal yang dihasilkan dari media oral.Hal ini karena para periwayat hadis ketika mentrans-misikan hadisnya mayoritas berpijak pada caraperiwayatan secara verbal dan bukan dengan tulisan.Media tulisan hanya mempunyai porsi yang sangatminim dalam proses transmisi hadis. Memangditemukan beberapa bukti manuskrip, akan tetapihal itu haruslah dianggap sebagai pengecualian sebabjumlahnya tidak signifikan.13

Channel: Berbagai Kitab HadisDalam diskursus semiotika komunikasi hadis,

channel adalah berbagai kitab hadis yang merangkumberbagai hadis Nabi, baik yang banyak berkomposisihadis-hadis dengan kualitas shahih, hasan, maupunjuga dhaif. Channel yang ada dalam semiotika

10 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, 172-174.11Yusuf al-Qaradhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus

Suyadi dan Dede Rodin (Bandung: Pustaka Setia, 2007),41.

12 Mahmûd Abû Rayyah, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Difâ’ ‘an al-Hadîts (tk: Mathbuah Dâral-Ta’lîf, 1958), 70-75.

13 Lihat GHA. Juynboll, Kontroversi hadis di Mesir[1890-1960], terj. Ilyas Hasan (Jakarta: Mizan, 1999), 4dan 8-9.

Page 6: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

komunikasi hadis pun bermacam-macam, dan bukanhanya berupa entitas tunggal seperti konsep Eco.Wujud channel-channel itu tergantung pada model-model penulisan kitab hadis dalam kajian hadis, sepertial-Muwâtha’ât,al-Shihâh, al-Sunan, dan al-Masânid.

Guna mempermudah kajian, maka dalamkonsep semiotika komunikasi hadis, kitab-kitab yangdipergunakan adalah channel yang paling tinggitingkatannya, yakni berupa sembilan kitab hadiskanonik (al-kutub al-tis’ah), yang meliputi Shahîh al-Bukhârî (w. 256 H.), Shahîh Muslim (w. 261 H.), SunanAbî Dâwûd (w. 275 H.), Jâmi’ al-Turmudzî (w. 279 H.),Sunan al-Nasâ’î (w. 303 H.), Sunan Ibnu Mâjah (w.273 H.), Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.), al-Muwaththa’ Mâlik (w. 179 H.), danSunan al-Dârimî(w. 255 H.). Sampel kitab-kitab ini diharapkan dapatmenyajikan gambaran signal II yang nantinya terlihatdari data-data yang tertera di dalamnya.

Selanjutnya, di dalam channel dimungkinkan adanoise yang dapat merubah atau mendistorsi apa yanghendak dipesankan. Hal ini terjadi pula dalamberbagai kitab hadis sebagai channel dalam konsepsemiotika komunikasi hadis ini, termasuk pula al-kutub al-tis‘ah. Dalam konteks hadis, noise pastitersimpan dalam channel. Noise yang dimaksud disini adalah perubahan format hadis yang awalnyaberwujud bahasa verbal kemudian bertransformasimenjadi bahasa tulisan, yang bisa berakibat padapendistorsian makna yang terkandung di dalamnya.Distorsi ini menyebabkan pembacaan pada signal IIhanya akan menjadi sebuah pembacaan yang sifatnyarelatif dan belum tentu berkorespondensi denganrealitas maksud Nabi yang sebenarnya.

Dalam wilayah transmisi hadis, bahasa verbalyang memuat pesan utuh source hanyalah bahasaverbal yang disampaikan Nabi kepada sahabat (jikahadisnya berbentuk qaulî) sebagai message I dalamkonsep semiotika komunikasi hadis ini. Sedangkanuntuk bahasa verbal dari sahabat kepada periwayatselanjutnya dimungkinkan sudah sedikit mengalamidistorsi, sebab gaya penuturannya bisa jadi berbedadengan gaya penuturan Nabi, selain juga karenamusnahnya nuansa psikologis, tempat, dan suasanaketika hadis itu diujarkan. Meskipun begitu, makna-nya dirasa masih cukup kuat karena masih berkutatdalam bingkai ujaran verbal. Selain itu juga, diasumsikanbahwa antara satu periwayat dengan periwayatlainnya terjalin koneksitas antar bahasa verbal, ataudalam artian seorang periwayat menerima bahasa

verbal yang dituturkan dari periwayat sebelumnya,dan menyampaikan dengan bahasa verbal yangmendekati apa yang diterimanya pada periwayatselanjutnya. Baru ketika bahasa verbal berubahwujud menjadi bahasa tulis, seperti yang termaktubdalam berbagai kitab hadis berupa teks, maka distorsimakna pun berubah menjadi semakin kentara dansudah tidak dapat terhindarkan lagi.

Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa Saussureberpendapat bahwa ujaran atau pembicaraan lebihprimer daripada tulisan. Pendapat senada dikemuka-kan oleh Heny Sweet (1845-1912), bahwa meskipunbahasa bisa dituangkan dalam bentuk huruf dansimbol-simbol, tetapi huruf-huruf itu pun sesungguh-nya mengasumsikan adanya pembaca yang menyem-bunyi-kannya, sehingga muncul suara bermakna yangdisepakati oleh masyarakat. Bahkan, menurutpenilaian sementara ahli bahwa ketika bahasa lisanditransfer ke dalam bahasa tulis, maka banyak aspekfundamental dalam ‘peristiwa bahasa’ yang menghilang.Komunikasi adalah suatu peristiwa yang melibatkanaspek psikologis, tempat, suasana, gaya, dan lain se-bagainya, dan ketika peristiwa komunikasi dituangkandalam bentuk tulisan, maka menjadi ‘terkunci’ dan‘membeku’. Oleh karena itu, dapat dipahami jikamuncul pendapat bahwa tulisan adalah tirani danimperialisme terhadap bahasa lisan yang padaurutannya juga menjajah kehidupan sosial melaluimanipulasi dan hegemoni epistemologis.14

Signal II: Berbagai Redaksi Hadis Secara TertulisSignal II merupakan salah satu komponen

semiotika komunikasi yang ditimbulkan olehchannel. Channel ini menyalurkan signal yang telahdiperoleh sebelumnya (signal I) kepada receiver denganwujud signal pula (signal II). Dalam konsep semiotikakomunikasi hadis, signal I dan signal II terlihat jelasberlainan. Hal ini karena, sebagaimana dijelaskansebelumnya, bahwa signal I adalah berbagai redaksihadis yang sangat rumit dan kompleks, yangditransmisikan secara verbal dan dengan jumlahtransmitter yang berlapis, sedangkan signal II tidaklain merupakan berbagai redaksi hadis tertulis yangdimunculkan oleh kitab-kitab hadis. Ini berarti, signalI sifatnya masih sangat abstrak dan sulit disentuh,karena seorang peneliti tidak akan mungkin dapat

14 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama:Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996),106.

Page 7: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

mengungkap redaksi-redaksi yang dimiliki olehmasing-masing periwayat dalam sebuah jalur isnâdhadis. Fenomena tersebut berbanding terbalikdengan signal II yang sifatnya konkret. Artinya, ketikaseseorang ingin melihat dengan jelas apa wujud signalII tersebut, maka ia akan dengan mudah mengung-kapnya, sebab sudah termaktub dalam kitab-kitab hadis,sebagai channel dalam konsep semiotika komunikasiini.

Receiver: Nalar Riwayah HadisSetelah kemunculan signal II dalam berbagai

channel yang ada, maka signal II tersebut akan menujukita sebagai penerima, yang dalam tulisan ini disebutnalar riwayah hadis. Nalar riwayah hadis (receiver)dalam semiotika komunikasi hadis bertugas untukmelakukan analisis komprehensif pada beragamredaksi tertulis (signal II) yang muncul dalam berbagaikitab hadis (channel). Tujuan yang hendak dicapaiadalah untuk memperoleh redaksi tunggal hadis(message II), yang kira-kira sesuai dengan redaksiotentik Nabi (message I). Memang diakui bahwatahapan ini sangatlah sulit, sebab seseorang harusmelihat secara komprehensif pada bentuk-bentukredaksional yang muncul, yang kemudianmentarjihnya dengan metode yang ditetapkan. Tentusaja, redaksi hadis yang didapatkan tidak dapatdikatakan mewakili sebenar-benarnya perkataanNabi, karena sifatnya masih subjektif dan belumtentu berkorespondensi dengan realitas yang faktualdi masa Nabi. Cara ini hanyalah ‘ijtihad’ untukmenemukan redaksi tunggal hadis yang bertebarandi antara beragamnya redaksi yang ada. Meskipunbegitu, dengan cara inilah redaksi yang mendekatiformat awal komunikasi dapat diketahui.

Metode yang dapat diterapkan oleh receiver dalamsemiotika komunikasi hadis adalah dengan metodekomparasi (muqâranah).15 Dalam tulisan ini, metodemuqâranah dipahami dengan memperbandingkanvariasi redaksi hadis secara tertulis (signal II) darisembilan kitab hadis kanonik untuk menemukanredaksi tunggal hadis (message II). Mengenai hal ini,supaya penemuan redaksi tunggal hadis dapatterealisasikan dengan mudah, diharuskan untuk

membuat bundel isnâd. Pembuatan bundel isnâd inisendiri, hendaknya dibuat secermat mungkin, sebabnantinya akan berpengaruh pada pemilihan messageII.16

Penulis telah membuat beberapa pertimbanganyang dapat dipakai guna menemukan redaksi tunggalitu. Pertimbangan-pertimbangan tersebut mempunyaikadar signifikansi sendiri-sendiri, yang didasarkanpada peranannya dalam penemuan redaksi tunggal.Adapun beberapa pertimbangan tersebut adalahpertama, mempertimbangkan matan hadis yang men-dominasi dalam jalur isnâd. Kedua, mempertimbangkanmurid-murid dari common link (jika hadisnya terdapatcommon link-nya) dengan syarat jalur di bawah muridcommon link ini bercabang lebih dari satu. Ketiga,mempertimbangkan jalur tunggal di bawah commonlink. Keempat, melihat keterkaitan lafad antara satuhadis dengan hadis lainnya.

Message II: Redaksi Tunggal HadisMenemukan message II ini cukup urgen dalam

konsep semiotika komunikasi hadis. Urgensitastersebut salah satunya terlihat dalam interpretasi ter-hadap sebuah kata “al-Niyyât” atau “al-Niyyah” dalamhadis “Innamâ al-A‘mâlu bi al-Niyyât/al-Niyyah”. Walau-pun boleh jadi dalam pandangan sebagian sarjanadua kata itu tidak mempengaruhi pemahaman akanpentingnya niat dalam perbuatan, akan tetapi jikaditilik secara lebih mendalam, maka jelas keduanyaberimplikasi pada galian pemahaman yang berbeda.Perbedaan pemahaman ini diadopsi penulis dariketerangan sarjana muslim sendiri.17 Lebih lanjut,redaksi pertama (al-Niyyât) adalah redaksi denganbentuk plural, sedang yang kedua (al-Niyyah) berwujudsingular. Kedua redaksi tersebut merupakan signalII yang muncul dalam berbagai channel yang ada.18

15 Mengenai metode muqâranah dalam menelitisusunan hadis yang semakna dalam metodologipenelitian hadis kovensional untuk mengeliminasi syâdzdan illat, lihat Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian HadisNabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 131-141.

16 Agar bundel isnâd bisa tercipta dengan akurat,maka pembuatannya dapat dibantu dengan CD-ROMMausu‘ah al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis‘ah dan jugakamus periwayat yang ada dalam enam kitab kanonikkarya al-Mizzi, Abû al-Hajjâj al-Mizzi, Tuhfat al-Ashrâf bima’rifat al-Athrâf (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1999).

17 Keterangan ini diperoleh dari pemahaman darisalah seorang sarjana muslim bernama al-Khûbî, yangditulis dalam Fath al-Bârî. Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalânî,Fath al-Bârî syarh Shahîh al-Bukhârî juz I (Beirut: Dâr Kutubal-Ilmiyah, 2003), hlm. 15.

18 Hadis ini telah diteliti oleh penulis, dan telahditemukan redaksi tunggalnya (message II). Redaksi yang

Page 8: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

Apabila redaksi plural yang benar, maka galian maknayang ditimbulkan adalah:

“al-Niyyât”

Niat itu bermacam-macam

Orang beribadah, bisa karena Allah semata, bisakarena untuk memperoleh apa yang dijanjikan-Nya, bisa juga karena takut akan ancaman-Nya

Namun, apabila redaksi berbentuk singular yangtepat, maka galian makna yang dapat

dimunculkan ialah:

“al-Niyyat”

Niat itu satu

Niat ikhlas pada Allah saja, yang tidak adasekutu bagi-Nya

Perbedaan pemahaman di atas hanya disebabkankarena perbedaan redaksi kata saja, apakah katatersebut diujarkan dengan redaksi plural ataukahsingular. Meskipun kedua pemahaman di atassepertinya tidak menyalahi logika yang dibangundalam problem niat, akan tetapi jelas keduanyaberbeda secara subtansial. Hal yang cukup pentinguntuk ditekankan adalah Nabi tidak mungkinmenyatakan dua redaksi itu secara bersama-sama,sebab mustahil beliau bertutur kata secara berbedadalam satu konteks peristiwa. Satu-satunya hal yangmungkin adalah bahwa salah satu redaksi tersebutmerupakan kealpaan dari periwayat hadis dalammeriwayatkan hadisnya. Oleh sebab itu, pemilihanredaksi tunggal (message II) di antara dua redaksitersebut harus ditemukan agar tidak tidak terjadikesalahan dalam penalaran terhadap apa yangdiucapkan Nabi.

Destination: Nalar SemiotisSetelah dapat dirumuskan message II dalam

konsep semiotika komunikasi ini, maka pesantersebut akan diterjemahkan atau ditafsirkan makna-maknanya oleh destination. Dalam konteks ini,destination atau dalam penelitian ini disebut nalarsemiotis berusaha semaksimal mungkin mengelaborasimakna message II itu dengan metode unlimitedsemiosis. Proses inilah yang merupakan titik puncakdalam konsep semiotika komunikasi. Message II ini

sendiri adalah sebuah tanda yang memiliki tigaelemen (triadik), yaitu representamen (tanda itu sen-diri), objek (sesuatu yang diacu oleh representamen),dan interpretant (penafsiran atas tanda).

Dalam bingkai pemikiran Eco, unlimited semiosisatau semiosis yang tidak terbatas merupakan caraampuh dalam mengelaborasi makna suatu tanda.Teori ini dipinjamnya dari warisan intelektual Pierce.Secara mudahnya, teori ini berpijak pada asumsibahwa sebuah interpretant dari representamen tertentuakan berubah menjadi representamen baru.Representamen baru ini akan ditafsirkan lagi sehinggaterbentuk interpretant baru. Kemudian, interpretantbaru ini menjadi representamen baru lagi. Prosesseperti ini berlanjut secara kontinyu dan tidakberkesudahan (ad infinitum).

Sebagai contoh, misalnya sebuah gambar rambutelepon umum yang biasa berada di pinggir jalanuntuk menunjukkan adanya telepon umum. Denganmenggunakan unlimited semiosis, dimaknai bahwagambar rambu telepon umum tersebut adalahrepresentamen, yang kemudian ditafsirkan sebagai katabenda dalam bahasa Indonesia, telepon. Kata teleponini merupakan interpretant, yang objeknya adalahsuatu alat komunikasi berupa telepon sungguhan(dalam realitas). Kata telepon ini pada gilirannya akanberkedudukan sebagai representamen yang kemudianberhubungan atau ditafsirkan, misalnya denganderetan kata-kata lain seperti: alat komunikasi jarakjauh, dengan rujukan pada objek tertentu pula. Fraseatau perkataan itu pun kemudian menjadi represen-tamen yang berhubungan dengan interpretant barulagi, misalnya handpone atau telepon genggam. Halini terjadi terus menerus, sambung-menyambung,tanpa pernah selesai.19

Menurut Eco, interpretant tidak bisa dikerucutkanpada satu bentuk saja. Ia bisa mengambil berbagaibentuk, seperti berupa padanan (equivalent) atauseolah-olah menjadi padanan dari wahana tanda,misalnya sebuah gambar anjing yang mempunyaiinterpretant kata ‘anjing’; bisa berwujud indeks yangdiarahkan pada objek tunggal; bisa juga berupa definisiilmiah atau juga naif, seperti salt (garam) yang ber-

dirasa tepat adalah dengan redaksi singular(al-Niyyah).Keterangan lebih lengkap lihat Benny Afwadzi,“Semiotika Hadis”, 182-215.

19Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, danProblem Ikonitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2011),18-19.

Page 9: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

interpretantsodium cloride; bisa juga asosiasi emotif,misalnya kata dog (anjing) yang berinterpretant fidelity(kepatuhan); bisa pula terjemahan satu term ke dalambahasa lainnya atau sinonimnya; kesimpulan logisyang bisa ditarik dari tanda, seperti ‘semua manusiapasti mati’; dan bisa juga berupa respon terhadap suatuperilaku kebiasaan; dan lain sebagainya.20 Dengandemikian, dapat dikonklusikan bahwa interpretantadalah berbagai model pemahaman yang dapatditarik dari sebuah tanda dan ia tidak terkait dengansebuah kategori tertentu.

Dalam teori produksi tanda dinyatakan bahwapada saat orang lain atau lawan bicara mencobamemahami ekspresi yang dimunculkan oleh pro-dusen tanda, maka ia harus bekerja untuk menafsirkanhal itu. Proses ini memungkinkan adanya perubahankode-kode yang telah dikenal sebelumnya. Pengu-bahan kode ini terjadi sebagaimana proses yangdialami oleh source yang memproduksi tanda tertentudengan wujud ekspresi atau isi yang baru. Terlebihlagi, ketika mengaplikasikan metode unlimitedsemiosis, maka destination bisa jadi akan menemukanvarian makna yang mungkin belum pernah diberikanpada tanda tersebut sebelumnya.

Konsep di atas bila dikaitkan dengan studi hadis,maka berimplikasi pada munculnya kemungkinanmakna-makna baru yang belum pernah diberikansebelumnya pada suatu hadis. Makna baru inilahyang akan mengubah kode-kode yang sudah tersuratdalam teori pemaknaan hadis. Kaitannya dengan ini,destination berhak mengelaborasi sedemikian rupainterpretant dari hadis yang tertuang dalam wujudmessage II dengan metode unlimited semiosis-nya.

Akan tetapi yang harus diperhatikan, prosespemaknaan dengan unlimited semiosis harus berhentisejenak tatkala ditemukan makna yang dapatmemberikan suatu aksi pada dunia, yang dalambahasa Eco dikatakan dengan a disposition to act uponthe world.21 Dengan kata lain, makna itu memberikansumbangsih pada realitas yang ada. Dalam konteksstudi hadis, pemahaman yang dapat memberikansumbangsih atau solusi bagi realitas yang ada adalahsesuatu yang diharapkan dari pemahaman hadis, danhal inilah kiranya yang memang menjadi tujuan daripemahaman hadis.

Adapun cara memahami hadis dalam semiotikakomunikasi hadis ini berpijak pada dikotomi tipologihadis persuasif dan tipologi hadis ideologis dalamteori produksi tanda. Terkait hal ini, masing-masingtipologi mempunyai cara pemahaman sendiri-sendiri. Meskipun begitu, hal yang sama adalahketerpunyaan mereka atas berbagai makna darisebuah konten hadis. Lebih jelasnya, berikutmekanisme pemahaman dua tipologi tersebut:

Pertama, jika hadis yang dikaji termasuk tipologihadis persuasif, maka cara menalar pemahamannya(interpretant) adalah dengan cara langsung memahamihadis tanpa melihat sisi historis Nabi ketikamenyampaikan sabdanya (asbâb al-wurûd mikro ataumakro). Artinya, interpretant awal tercipta langsungdari hasil negosiasi antara redaksi yang diinterpre-tasikan dengan objeknya. Setelah itu, bentukinterpretant selanjutnya (kedua, ketiga, dan seterunya)adalah penalaran lanjutan dari interpretant awalnya,yang mulai memasuki wilayah realitas kekinian.Proses penalaran seperti itu diharapkan dapatmenciptakan interpretant yang bisa memberikansumbangsih pada realitas.

Kedua, apabila hadisnya bertipologi ideologis,maka cara menguraikan pemahamannya (interpretant)adalah dengan menelaah sisi historis Nabi (asbâb al-wurûd mikro atau makro). Oleh sebab itu, interpretantawal merupakan hasil negosiasi antara tiga entitas,yaitu redaksi yang diinterpretasikan, objek, dan motifNabi dalam mencuatkan sabdanya. Adapun mengenaiinterpretant selanjutnya adalah penalaran atasinterpretant awalnya, yang mulai menyentuh sisirealitas. Proses penalaran dalam tipologi ideologisini berlangsung, seperti persuasif, sampai ditemukannyainterpretant yang bisa menjadi sumbangsih padarealitas.

Aplikasi Semiotika Komunikasi pada Hadis ManBaddala Dînahû Faqtulûhu

Hadis yang akan diteliti di sini merupakan salahsatu hadis yang melegitimasi pembunuhan padaorang yang mengganti agamanya. Berikut salah saturedaksi hadis yang dimaksud (al-Bukhârî nomor2794):

Setelah melalui proses takhrîj al-Hadîts, ditemu-kan variasi redaksi dalam sembilan kitab hadis adalahsebagai berikut:

20 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, 70.21 Umberto Eco, The Limits of Interpretation (Bloomington

and Indanapolis: Indiana University Press, 1990), 39.

Page 10: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

al-Bukhârî no. 2794

al-Bukhârî no. 6411

al-Tirmidzî no. 1378

al-Nasâî no. 3991

al-Nasâî no. 3992

al-Nasâî no. 3993

al-Nasâî no. 3994

al-Nasâî no. 3995

al-Nasâî no. 3996

Page 11: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

al-Nasâî no. 3997

Abû Dâwûdno. 3787

Ibnu Mâjah no. 2526

Ahmad no. 1775

Ahmad no. 2420

Ahmad no. 2420

Ahmad no. 2813

Ahmad no. 21007

Page 12: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

Sementara itu, komponen pertama dan keduadari semiotika komunikasi hadis adalah adalahtransmitter (pengirim) dan channel (saluran). Daripenelusuran yang telah dilakukan sebelumnya padasembilan kitab primer, diperoleh data bahwaterdapat 17 jalur transmitter dalam enam channel darisembilan kitab hadis primer. Jalur-jalur tersebutadalah:

1) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin Abî Tamîmah– Ismâ’îl bin Ibrâhîm: Ahmad no. 1775.

2) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Ismâ’îl bin Ibrâhîm: Ahmad binHanbal: Abû Dâwûd no. 3787.

3) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah - Sufyân bin Uyainah – Alî binAbdillâh: al-Bukhârî no. 2794.

4) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah - Sufyân bin Uyainah – Muhammadbin al-Shabbâh: Ibnu Mâjah no. 2526.

5) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Hammâd bin Zayd – Muhammadbin al-Fadhl: al-Bukhârî no. 6411.

6) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Hammâd bin Zayd – Affân: Ahmadno. 2420.

7) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Abd al-Wahhâb - Ahmad bin Abdah:al-Tirmidzî no. 1378.

8) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Abd al-Wâris – Imrân bin Mûsâ: al-Nasâî no. 3991.

9) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Wuhaib – Affân: Ahmad no. 2421.

10) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Wuhaib – Abû Hisyâm -Muhammad bin Abdillâh al-Mukhrimî: al-Nasâîno. 3992.

11) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Ayyûb bin AbîTamîmah – Ma’mar - Ismâ’îl bin Ibrâhîm – IbnuJuraij - Muhammad bin Bakr – MaHmûd binGhailân: al-Nasâî no. 3993.

12) Ibnu Abbâs – Ikrimah – Qatâdah – Sa’îd –‘Abbâd bin al-Awwâm - Ismâ’îl bin Abdillâh binZarârah – Hilâl bin al-‘Alâ’: al-Nasâî no. 3994.

13) Ibnu Abbâs – Anas bin Mâlik – Qatâdah –Hisyâm – Abd al-Shomad: Ahmad no. 2813.

14) Ibnu Abbâs – Anas bin Mâlik – Qatâdah –Hisyâm – Abd al-Shomad – al-Husain bin Isâ:al-Nasâî no. 3996.

15) Ibnu Abbâs – Anas bin Mâlik – Qatâdah –Hisyâm – Abd al-Shomad – Ibn al-Mutsannâ:al-Nasâî no. 3997.

16) Muâdz bin Jabal – Abû Burdah – Humaid binHilâl - Ayyûb bin Abî Tamîmah – Ma’mar – Abdal-Razzâq: Ahmad no. 21007.

17) Al-Hasan – Qatâdah – Sa’îd – Muhammad binBisyr – Mûsâ: al-Nasâî no. 3995 (hadis mursal).

Apabila digambar dalam sebuah bundel isnâd,maka jalur transmitter akan tergambarkan sebagaiberikut:

Adapun signal II yang dimunculkan oleh masing-masing jalur transmitter dan channel di atas adalah:

1) Man baddala dînahû faqtulûhu2) Man baddala dînahû faqtulûhu3) Man baddala dînahû faqtulûhu4) Man baddala dînahû faqtulûhu5) Man baddala dînahû faqtulûhu6) Man baddala dînahû faqtulûhu7) Man baddala dînahû faqtulûhu8) Man baddala dînahû faqtulûhu9) Man baddala dînahû faqtulûhu10) Man baddala dînahû faqtulûhu11) Man baddala dînahû faqtulûhu12) Man baddala dînahû faqtulûhu13) Man baddala dînahû faqtulûhu14) Man baddala dînahû faqtulûhu15) Man baddala dînahû faqtulûhu16) Man baddala dînahû faqtulûhu17) Man baddala dînahû faqtulûhu

Page 13: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Dari data yang telah dikemukakan di atasmengenai transmitter, channel, dan signal II, ada beberapafakta yang perlu diketahui:

1) Redaksi-redaksi matan dari seluruh signal II yangmuncul, ternyata selaras tanpa ada perubahansedikitpun.

2) Terdapat sebuah jalur mursal,22 yang transmitterpertama bukan dari kalangan sahabat, tetapi darigenerasi tabi’in pertengahan: al-Hasan bin Abîal-Hasan (w. 110 H.) (lihat signal II nomor 17).

3) Sebuah sebuah jalur pendukung yang menjadisyâhid dari transmitter Muâdz bin Jabal berisikonteks peristiwa berbeda dengan peristiwa yangmelatarbelakangi Ibnu ‘Abbâs dalam menyam-paikan hadis ini (lihat hasil takhrîj al-Hadîts). Jikaperistiwa yang melatarbelakangi Ibnu ‘Abbâsadalah tindakan Alî bin Abî Thâlib yangmembakar orang murtad, maka peristiwa yangmelatarbelakangi Muâdz bin Jabal dalammenyampaikan hadis ini adalah karena ketikaia sampai di wilayah Yaman, Muâdz mengetahuiada orang yang awalnya Yahudi, lalu masukIslam, dan kemudian kembali lagi ke agamaYahudi.

Untuk menentukan redaksi yang berhak menjadimessage II dalam konteks ini tidaklah sulit, bahkancenderung mudah, sebab tidak ditemukan perbedaanredaksi dalam periwayatan hadis ini. Dalam semuachannel, secara seirama menampakkan redaksi “Manbaddala dînahû faqtulûhu” sebagai signal II-nya.Dengan demikian, redaksi itulah yang akan menjadimessage II dalam konsep ini. Supaya lebih jelas,berikut tulisan versi Arab dan artinya:

“Barangsiapa yang mengganti agamanya (dari Islam keagama lainnya), maka bunuhlah dia”

Berpegang pada makna tekstual hadis di atas,mayoritas sarjana muslim menganggap bahwa laki-laki yang berpindah agama dari Islam kepada agamalainnya atau dalam literatur fiqh biasa disebutdengan istilah murtad adalah wajib dibunuh. Akan

tetapi apabila yang murtad adalah dari kalanganwanita, maka para sarjana berbeda pendapat mengenaihukuman atasnya. Sekelompok sarjana seperti al-Auzâ’î, Ahmad, dan Ishaq menyatakan bahwa iaharus dibunuh, sedang sarjana yang lain sepertiSufyân al-Tsaurî dan sarjana lainnya dari kalanganpenduduk Kufah berpendapat bahwa wanita yangmurtad itu hanya dipenjarakan saja dan tidak perludibunuh.23

Meskipun demikian, apabila melihat muatanmakna hadis yang diteliti, dengan menelaah sisiproduksi tanda, maka ia bisa dimasukkan sebagaihadis yang bertipologi idiologis. Hal ini dikarenakan“apa yang dijelaskan” berupa tindakan murtad,dengan “apa yang menjelaskan” yakni harus dibunuhkurang dapat diterima dengan baik oleh akal pembaca.Penyebab utamanya adalah karena hukuman bunuhbagi orang murtad tidak merepresentasikan keadilandalam Islam. Dalam Islam sendiri, sebagaimanalazimnya dipahami sekarang, tidak ada pemaksaandalam memeluk agama tertentu berdasarkan sebuahayat popular QS. al-Baqarah [2]: 256 “lâ ikrâha fi al-Dîn” (tidak ada paksaan dalam beragama). Artinya,hak beragama menjadi hal yang melekat pada dirimanusia, dan karenanya perpindahan agama jugatermasuk hak yang dimilikinya. Maka berdasarkanhal itu, kiranya tidak layak bila seseorang yang murtaddiganjar dengan hukuman mati.

Menurut Muqsith Ghazali, jika merujuk padaal-Qur’an “lâ ikrâha fi al-Dîn”, sebagaimana dijabarkansebagian sarjana, seseorang tidak boleh dipaksauntuk memeluk agama tertentu, termasuk untuk me-meluk Islam. Beberapa sarjana modern-kontemporer,seperti Jawdat Said, Jamal al-Banna, dan Abdul KarimSoroush, kata Muqsith, berpendapat bahwa kebebasanberagama adalah dasar ajaran yang diperjuangkanIslam. Para pemikir Islam progresif berpendapatbahwa sebagaimana bebas untuk memeluk suatuagama, maka seharusnya bebas juga untuk keluardari suatu agama. Fikih seperti ini telah memberikanotonomi penuh kepada manusia untuk memilih-masuk pada suatu agama atau keluar dari agama itu.24

Dalam sejarah kenabian, seperti dijelaskanMuqsith, Nabi Muhammad tidak pernah menghukum

22 Hadis mursal adalah hadis yang terputus seorangperiwayat di awal sanad, yakni pada tingkatan sahabat.Lihat, Ibnu Shalah, Ma’rifah Anwâ’ fî Ilm al-Hadîts (Beirut:Dar Kutub al-‘Ilmiyah, 2002), 126-127.

23Lihat eksplanasi al-Tirmidzî dalam Sunan-nya no.hadis 1378.

24Lihat, Abdul Muqsith Ghazali “Islam: Pintu Masukdan Pintu Keluar” dalam www.islamlib.com diaksestanggal 16 Mei 2014.

Page 14: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

bunuh orang murtad. Dikisahkan dalam sejumlahliteratur bahwa pada zaman Nabi sudah ada orangyang keluar dari Islam dan memeluk agama lain sepertiKristen. Sekurangnya, pada masa Nabi ada dua belaslaki-laki Muslim yang keluar dari Islam, di antaranyaadalah al-Hârits ibn Suwaid al-Anshârî. Dua belasorang itu kemudian pindah dari Madinah ke Mekah.Begitu juga ‘Ubaidullâh ibn Jahsy. Setelah berpindahbersama isterinya (Ummu Habîbah binti Abî Sufyânyang Islam) ke Habasyah, ia memeluk Kristen danmeninggal dalam keadaan Kristen. Sekalipun sudahkeluar dari Islam, Nabi tidak membunuh mereka.Nabi pun tidak memerintahkan sahabat supayamengejar mereka untuk dibunuh.25

Keterangan serupa juga dinyatakan oleh TarmiziM. Jakfar. Menurutnya, tidak terdapat riwayat yangpasti dan shahih bahwa Nabi pernah merealisasikanhukuman mati bagi orang murtad.26 Bahkan, dalamsebuah hadis yang didasarkan atas informasi darisahabat Jâbir, dikisahkan bahwa terdapat seorangArab Baduwi berbaiat menyatakan dirinya masukIslam. Kemudian, ia terserang penyakit wa’k (sejenispenyakit demam) di Madinah. Maka, ia pun datangpada Nabi seraya ingin menarik kembali sumpahnya.Hal ini dilakukan oleh orang Baduwi itu sebanyaktiga kali dan tiga kali pula Nabi menolak peminta-annya. Akhirnya, si Baduwi pergi dan Nabi berkata“Madinah itu seperti alat peniup yang menghapuskotoran dan menjaga kemurniaannya.”27 Dalamhadis ini termaktub secara jelas bahwa Arab Baduwiyang murtad itu tidak dibunuh dan dibiarkan begitusaja pergi tanpa disakiti sama sekali.

Apabila dilihat dari sisi politik, barangkali hadisini muncul tatkala pemerintahan Islam sudah beradapada taraf yang kuat. Dengan kata lain, Islam sudahbertransformasi menjadi sebuah negara utuh setelah

berhasil menaklukan kota Makkah. Sebagaimanadiketahui dalam sejarah, bahwa dalam peristiwapenaklukan kota Makkah, beberapa orang yang padaawalnya memusuhi Islam secara terang-terangan,seperti Abî Sufyân pada akhirnya harus ‘menyerah’dan masuk Islam karena merasa sudah sangatterdesak. Bahkan, seperti disebutkan MuhammadRidha, ada beberapa orang yang pada awalnya divonismati oleh Nabi dalam peristiwa fath Makkah denganberbagai alasan, tetapi akhirnya kebanyakan darimereka meminta maaf seraya menyatakan dirikeislamannya. Walhasil, mereka pun tidak jadidijatuhi hukuman mati.28 Hadis mengenai hukumanbunuh bagi orang murtad ini sendiri diriwayatkanoleh sahabat Ibnu Abbâs menurut riwayat yangmeyakinkan. Menurut sejarah, ketika Nabimeninggal dunia, Ibnu Abbâs masih berusia tigabelas tahun atau dalam informasi lain berusia limabelas tahun.29 Jadi, dari indikasi umur tersebut,dimungkinkan ia mendengar perkataan Nabi inipada masa-masa akhir kehidupan Nabi.

Pada titik inilah dimungkinkan Nabi memerintah-kan untuk membunuh orang-orang yang murtad dariIslam. Karena hal itu nantinya akan menggangustabilitas pemerintahan dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang bisa dilakukan mereka apabiladibiarkan hidup. Sebagaimana lazimnya diketahui,orang-orang Makkah merupakan orang Arab yangbertipe keras kepala dalam menerima kenabianMuhammad sehingga cenderung menolaknya.Fenomena sebaliknya terjadi pada orang ArabMadinah yang mudah menerima kenabianMuhammad. Faktor itu pula lah yang menyebabkanNabi hijrah dari Makkah menuju Madinah.

Pemahaman di atas diperkuat dengan adanyahadis informasi Ibnu Mas’ud dan Aisyah yang

25 Abdul Muqsith Ghazali “Murtad dan HukumanMati” dalam www.wahidinstitute.org diakses tanggal 16Mei 2014.

26 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyahMenurut Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011), 393.

27Lihat al-Bukhârî no. hadis 1750 6669, 6671, 6676,6777; Muslim no. hadis 2453; al-Turmudzî no. hadis3855; al-Nasâ’î no. hadis 4114; Ahmad no. hadis 13766,13781, 14409, 14600, 14682, 14697; Mâlik no. hadis 1377dalam CD-ROM Mausu‘ah al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis‘ah, 1997. Hadis ini juga direkam oleh beberapakolektor lainnya.

28Jumlah orang yang divonis mati oleh Nabiberjumlah lima belas orang, yaitu Abdullah bin Sarah,Abdullah bin Khathal, Ikrimah bin Abu Jahal, al-Huwairits bin Nuqaid, Miqyas bin Shabahah, Hubar binal-Asawad, Ka’ab bin Zuhair, al-Harits bin Hisyam, Zuhairbin Umayyah, Shafwan bin Umayyah, Wahsyi bin Harb,dua orang penyanyi yang sering mengejek Nabi, Sarah,dan Hindun binti Uthbah. Lihat, Muhammad Ridha,Sirah Nabawiyah, terj. Anshori Umar (Bandung: IsyadBaitus Salam, 2010), hlm. 722.

29Muhammad Husain al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn (tk: Maktabah Mush’ab bin Amîr, 2004), hlm.50.

Page 15: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

menyatakan Nabi bersabda bahwa terdapat tiga halyang menjadikan seseorang boleh dibunuh, yaituorang yang membunuh orang lain, orang yang menikahkemudian berzina, dan orang yang meninggalkanagama serta memisahkan diri dari jama’ah (al-Mârikumin al-Dîn al-Târiku li al-Jamâ’ah/al-Târiku li al-Dîn al-Mufâriqu li al-Jamâ’ah).30 Ibnu Hajar, al-Baidhâwî, danal-Qurthubî menjelaskan bahwa yang dimaksuddengan al-Jamâ’ah dalam hadis ini adalah komunitasmuslim.31 Sehingga dari sini, tampak secara eksplisitbahwa pemisahan dengan komunitas muslim men-jadi bentuk sifat yang melekat pada orang murtad.Sikap ini nantinya berimplikasi pada pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh mereka, sebabtatkala mereka lepas dari komunitas muslim, makamereka akan bergabung dengan komunitas pem-berontak dari kalangan orang kafir. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa motif Nabi dalam men-cuatkan hadis perintah membunuh orang murtadadalah supaya tidak terjadi pemberontakan nantinyayang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan.

Setelah mengetahui motif Nabi Muhammaddalam mengutarakan sabdanya sebagaimana dijelas-kan di atas, maka sudah waktunya sekarang untukmendudukkan hadis mengenai perintah membunuhorang murtad dalam metode unlimited semiosis dalamdestination. Dalam konteks ini, kata yang akan digalipemahamannya adalah redaksi terakhir dalam hadis,yaitu “faqtulûhu”. Redaksi ini nantinya akan berevolusimenjadi representamen baru, yang kemudian ditafsir-kan ulang secara terus-menerus. Namun, sebelumnyaperlu dikaji tentang object dari redaksi bersangkutan.

Object dari Kata “faqtulûhu” terdiri atas tiga kata,yaitu ‘fa’, ‘uqtulû’, dan ‘hu’. Huruf ‘fa’ merupakanjawâb dari huruf syarath yang ada dalam kalimat ini(man), yang berarti maka. Sedang ‘uqtulû’ adalahredaksi perintah (fi’il amar) dengan bentuk plural(jama’) dari asal kata qatala yaqtulu, yang berartimembunuh.32 Jadi, kata ‘uqtulû’ mempunyai arti

‘bunuhlah’ yang ditujukan bagi orang banyak. Bentukmasdar dari kata ini adalah al-Qatl, yang mempunyaimaksud tercabutnya ruh dari jasad dengan disertaiperbuatan dari orang lain yang menjadikan hal itubisa terjadi.33 Adapun kata ‘hu’ adalah kata gantiorang (isim dhamîr) bagi orang ketiga yang kembalipada man (orang yang berganti agama).

Usai melihat bagaimana object dari kata-kata yangbersangkutan, berikut unlimited semiosis yang bisadinalar dari untaian kata tersebut:

“faqtulûhu”

Peringatkan dia

Berikan dia saran

Hormati dia

Proses bernalar pada redaksi “faqtulûhu” (bunuh-lah orang yang dia) diawali dengan melakukannegosiasi kata itu dengan object serta motif Nabidalam mencuatkan sabdanya, yaitu supaya tidakterjadi pemberontakan yang nantinya bisa meng-ganggu stabilitas pemerintahan. Melihat hal tersebut,maka interpretant yang muncul dalam pikiran adalah“peringatkan dia”, sebab pada hakikatnya kebijakanmembunuh pada waktu itu adalah bentukperingatan atau warning Nabi kepada orang murtad.Kebijakan Nabi ini ditempuh karena apabila orang-orang dibiarkan murtad, maka mereka bisabertransformasi menjadi gerakan separatis yangmengancam stabilitas pemerintahan. Bunuh-mem-bunuh sendiri merupakan kebijakan yang lumrahmengingat kondisi sosiologis-antropologis masa Nabimemang kental dengan unsur peperangan. Setelahitu, “Peringatkan dia” dinalar lagi dengan mulaisedikit banyak memasuki realitas kekinian, yangkemudian menimbulkan interpretant berupa “Beridia saran”. Penalaran seperti ini dikarenakan padadasarnya, saran adalah salah satu peringatan dalamwujud yang lebih lunakyang bisa juga diterapkanpada orang yang meninggalkan agama Islam. Sarandi sini maksudnya kita berupaya menyadarkan orangitu agar kembali lagi pada agama sebelumnya (Islam).Namun, patut disadari bahwa masalah keyakinanatau teologi pada hakikatnya susah untuk dirubah.

30 Lihat al-Bukhârî no. hadis 6370; Muslim no. hadis3175, 3176; al-Turmudzî no. hadis 1322; al-Nasâ’î no.hadis 3951; Abî Dâwûd no. hadis 3788; Ibnu Mâjah no.hadis 2525; Ahmad no. hadis 3438, 3859, 4024, 24301,26411; Dârimi no. hadis 2196, 2339 dalam CD-ROMMausu‘ah al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis‘ah, 1997.

31 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah,390.

32 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia(Jakarta:Hidakarya, 1990), 330.

33Râghib al-Asfahânî, al-Murfadât fî Gharîb al-Qur’ân(Beirut: Dâr Ma’rifah, t.t.), 393.

Page 16: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

Apabila seseorang telah meyakini kebenaran sebuahkepercayaan, maka acapkali keyakinannya itu sulituntuk digoyahkan, meskipun dengan kekerasansekalipun. Oleh sebab itu, kata-kata itu dinalar lagidengan “Hormati dia”, karena bagaimanapunpenghormatan atas praktik religiusitas orang lainadalah suatu keniscayaan pada realitas yang ada.

Interpretant berupa “Hormati dia” dapat menjadifinal logical interpretant di masa sekarang, mengingatgesekan-gesekan antar pemeluk agama yang akhirnyadiakhiri dengan perseteruan dan peperangan keraplahir dari faktor realisasi dari praktik keagamaan parapemeluknya. Realisasi tersebut terkadang dibumbuhidengan emosi-emosi yang tidak sesuai dengan nafasdamai yang dibawa oleh tiap-tiap agama. Ajaranagama sendiri tidaklah memberikan justitifikasipembolehan tindakan-tindakan anarkisme, apalagisampai berujung pada kerusuhan dan peperanganantar agama.

Seseorang yang hidup di era mutakhir harusmempertimbangkan faktor HAM (Hak AsasiManusia), yang tidak mengenal perbedaan ras, suku,budaya, maupun agama. Agama pada masa sekarangharus mampu berdialektika dengan problem-problem kemanusiaan kontemporer, yang salahsatunya adalah problem kerukunan antar umatberagama. Penghormatan pada orang lain yangberbeda agama merupakan sebuah keniscayaan,termasuk pula pada orang yang berpindah agama.Terlebih lagi, dalam konteks kehidupan berbangsadan bernegara di Indonesia yang mengedepankanpersatuan bangsa, sudah sepatutnya antara satuindividu dengan individu lainnya memunculkansikap untuk saling menghormati dalam bidangreligiusitas. Meskipun begitu, dalam hal ini, tidakberarti diberikan lampu hijau secara penuh bagiproses perpindahan agama dari suatu agama kedalam agama yang lain. Perpindahan agama harustetap mengedepankan rasionalitas keagamaan danmenyadari akan konsekuensi yang nantinyadidapatkan.

Keanekaragaman (pluralitas) agama yang hidupdi Indonesia sendiri merupakan kenyataan historisyang tidak bisa disangkal oleh siapapun juga. Secarafaktual, terdapat berbagai jenis agama dan keper-cayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia.Sampai saat ini, setidaknya ada enam agama yangmendapatkan pengakuan secara resmi di nusantara,yaitu Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan,

Hindu, Budha, dan Konghucu. Di antarakeenamnya, Islam merupakan agama yang dianutoleh mayoritas penduduk Indonesia. Namun begitu,bukan berarti dengan dominasi tersebut menjadikanorang Islam dapat bertindak semaunya, denganmelanggar aturan dalam bidang kerukunan antarumat beragama. Sebagai warga negara yang baik,kerukunan dengan penganut agama lain harus tetapdijaga.

Jika memang benar seseorang yang keluar dariIslam (murtad) pada konteks kekinian harusdibunuh, maka bisa jadi akan banyak sekalimemunculkan masalah di Indonesia, sebabseseorang akan dengan mudah membunuh oranglain34 atau melegitimasi orang lain layak untukdibunuh.35Karena, paling tidak seseorang yangdianggap telah keluar dari Islam diketahui dari tigahal. Pertama, berdasarkan pernyataan dari yangbersangkutan bahwa dirinya tidak lagi memelukIslam. Dengan sejumlah alasan, dia merasa tidakbetah di dalam payung Islam dan lebih memilihuntuk keluar dari Islam. Murtad dalam kategori iniberdasarkan atas inisiatif secara pribadi. Kedua,dengan dikeluarkan dari Islam, seperti dalam kasusNashr Hâmid Abû Zayd (Mesir) dan Ulil Abshar

34 Fenomena ini sendiri sebenarnya telah terjadiketika tiga orang fundamentalis, yaitu Amir Mahmud,Sony Sudarsono, dan Agus Suprapto pada 12 Desember2012 membunuh Omega Suparno, warga desa MayongKidul, Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Bagi ketiganya,Suparno dianggap telah murtad dan melecehkan Islam,sehingga layak dibunuh berlandaskan syariat yang merekakaji. Lihat, “Murtaddin Omega Suparno DieksekusiMujtahid Jepara” dalam www.suara-islam.com diaksestanggal 16 Mei 1014.

35 Fenomena ini juga telah terjadi tatkala wakil AmirMajelis Mujahidin, Muhammad Abu Jibril memahamistatemen Zuhairi Misrawi yang menulis dalam akuntwitternya “Kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur,karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir,mereka dibunuh dan dinistakan #Bhineka Tunggal Ika,”.Menurut Abu Jibril, ucapan itu adalah ucapan kekafiransekaligus dia menampilkan dirinya musuh Islam palingtinggi, di atas melebihi Yahudi, Syi’ah dan lain-lain.Baginya, Zuhairi telah kafir dan batal syahadatnya. Maka,ia pun menyitir hadis yang dikaji dalam pembahasan ini“Man baddala dînahû faqtulûhu”sebagai hukuman bagiZuhairi. Lihat, “Zuhairi Misrawi Mendeklarasikan DirinyaMusuh Islam Nomer Wahid” dalam www.arrahmah.comdiakses tanggal 16 Mei 2014.

Page 17: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Abdalla (Indonesia). Abû Zayd dan Ulil sendiri tidakpernah berkata bahwa dirinya telah keluar dari Islam.Orang lainlah yang mengeluarkan keduanya dariIslam. Bedanya, jika Abû Zayd dikeluarkan dari Islamberdasarkan putusan pengadilan, maka Ulildikeluarkan dari Islam oleh Athian Ali dariBandung. Ketiga, satu kelompok Islam dikeluarkandari Islam oleh kelompok Islam lain, misalnya sajafatwa MUI tahun 2005 bahwa Ahmadiyah adalahsesat-menyesatkan bahkan sudah berada di luarIslam.36

Dari seluruh penjelasan di atas, berikut wujudalur semiotika komunikasi hadis dari hadispembunuhan bagi orang murtad:

Nabi

Redaksi Otentik Nabi (unknown)

Ibnu Abbâs – Ikrimah, Anas bin Mâlik – Ayyûbbin Abî Tamîmah, Qatâdah - Banyak periwayat,

serta dua jalur gharib

Berbagai redaksi hadis secara verbal (unknown)

al-Bukhârî, al-Tirmidzî, al-Nasâî, Abû Dâwûd,Ibnu Mâjah, dan Ahmad

Berbagai redaksi hadis secara tertulis

Nalar riwayah hadis

“Man baddala dînahû faqtulûhu”(Idiologis)

“faqtulûhu”:Peringatkan dia: Beri dia saran: Hormati dia

SimpulanHadis Man baddala dînahû faqtulûhu (Barangsiapa

yang mengganti agamanya/murtad, maka bunuhlahdia) apabila dipahami secara tekstual disadari memangsangat berpotensi menumbulkan konflik, sebablegalitas hukum untuk menghilangkan nyawa oranglain serasa menjadi lebih mudah. Seseorang bisaberfatwa atau bahkan melakukan praktik membunuhorang dilatarbelakangi oleh faktor kemurtadan orangtersebut. Oleh sebab itu, diperlukan reinterpretasiatas hadis tersebut sehingga diharapkan bisa me-munculkan kemaslahatan bersama.

Dengan semiotika komunikasi hadis, dapatdipahami bahwa arus komunikasi yang terciptadalam hadis ini adalah bahwa Nabi sebagai source yangmenyampaikan hadis tersebut pada pikiran semiotiskita sebagai destination melalui beberapa komponenkomunikasi. Setelah melalui proses unlimitedsemiosisdalam destination,jalinan pemahaman yangtimbul terkait katafaqtulûhu adalah “peringatkandia”, yang dinalar lagi menjadi “beri dia saran”,kemudian dinalar kembali sehingga munculinterpretant”hormati dia.” Interpretant terakhir itulahyang dapat menjadi final logical interpretant yangmemiliki sumbangsih pada realitas kekinian.

36Abdul Muqsith Ghazali “Islam: Pintu Masuk danPintu Keluar”

Page 18: HADIS “MAN BADDALA DÎNAHÛ FAQTULÛHU” Telaah … · hukum, tata sosial, kebudayaan masyarakat Arab saat itu, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

Hadis “Man Baddala Dinahu Faqtuluhu -- Benny Afwadzi

DAFTAR PUSTAKA

al-Adlabî, Shalahuddîn, Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawî, Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah, 1983.

Afwadzi, Benny, “Semiotika Hadis: Upaya Memahami Hadis Nabi dengan Semiotika Komunikasi UmbertoEco”, Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

al-Asfahânî, Râghib, al-Murfadât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ma’rifah, t.t.

al-Asqalânî, Ibnu Hajar, Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah, 2003.

al-Asqalânî, Ibnu Hajar, Nuzhah al-Nadzar fî Taudhihi Nukhbah al-Fikr, Riyâdh: t.p., 2001.

Budiman, Kris, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas, Yogyakarta: Jalasutra, 2011.

CD-ROM Mausu’ah al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis’ah, 1997.

al-Dihlawî, Syâh Waliyullâh, Hujjah Allâh al-Bâlighah, Beirut: Dâr al-Jail, 2005.

al-Dzahabî, Muhammad Husain, Tafsîr wa al-Mufassirûn, tk: Maktabah Mush’ab bin Amîr, 2004.

Eco, Umberto, A Theory of Semiotics, Bloomington: Indiana University Press, 1976.

Eco, Umberto, The Limits of Interpretation, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1990.

Ghazali, Abdul Muqsith, “Islam: Pintu Masuk dan Pintu Keluar” dalam www.islamlib.com diakses tanggal16 Mei 2014.

Ghazali, Abdul Muqsith, “Murtad dan Hukuman Mati” dalam www.wahidinstitute.org diakses tanggal 16Mei 2014.

al-Hâkim, al-Naysâbûrî, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts wa Kamiyyati Ajnâsuhû, Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2003.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Jakfar, Tarmizi M., Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011.

al-Mizzi, Abû al-Hajjâj, Tuhfat al-Ashrâf bi ma’rifat al-Athrâf, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1999.

Piliang, Yasraf Amir, “Antara Semiotika Signifikasi, Komunikasi, dan Ekstra Komunikasi”, Pengantar dalamAlex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Piliang, Yasraf Amir, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna, Bandung: Matahari,2012.

al-Qaradhâwî, Yûsuf, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suryadi dan Dede Rodin, Bandung: Pustaka Setia,2007.

Rayyah, Mahmûd Abû, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Difâ’ ‘an al-Hadîts, tk: Mathbuah Dâr al-Ta’lîf, 1958.

Ridha, Muhammad, Sirah Nabawiyah, terj. Anshori Umar, Bandung: Isyad Baitus Salam, 2010.

al-Shalâh, Ibnu, Ma’rifah Anwâ’ fî ‘Ilm al-Hadîts, Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 2002.

al-Suyûthî, Jalâluddîn, Tadrîb al-Râwî fî Syarhî Taqrîb al-Nawawî, Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya, 1990.

www.arrahmah.com

www.suara-islam.com