hadhanah pasca perceraian di desa sumurrejo …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5282/1/skripsi...
TRANSCRIPT
HADHANAH PASCA PERCERAIAN DI DESA SUMURREJO
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum
oleh :
IRIN SULISTIYANI
NIM : 21214009
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan
koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Irin Sulistiyani
NIM : 21214009
Judul : HADHANAH PASCA PERCERAIAN DI DESA
SUMURREJO KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA
SEMARANG
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasah.
Demikian nota pembimbing ini di buat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 24 September 2018
Pembimbing
M. Hafidz, M. Ag
NIP.197308012003121002
iii
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH Jl. NakulaSadewo V No. 9 Tlpn. (0298) 3419400 SalatigaKodePos 50721
Website : http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail : [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
HADHANAH PASCA PERCERAIAN DI DESA SUMURREJO
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
Oleh:
Irin Sulistiyani
212-14-009
telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, 19 November 2018
dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum (SH).
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Heni Satar Nurhaida, S. H., M. Si
Sekretaris Penguji : M. Hafidz, M. Ag
Penguji I : M. Yusuf Khummaini, S. HI.,M. H
Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag
Salatiga, 19 November 2018
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dr. Siti Zumrotun, M. Ag
NIP: 19670115 199803 2 002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Irin Sulistiyani
NIM : 21214009
Jurusan : Hukum Keluarga Islam (HKI)
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : HADHANAH PASCA PERCERAIAN DI DESA
SUMURREJO KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA
SEMARANG
Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dirujuk atau dikutip berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 24 September 2018
Yang menyatakan,
Irin Sulistiyani
NIM:21214009
v
MOTTO
قم سب اسحمما كما حمح ل مه انش اخفط نما جىاح انز
او صغشا ست
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: ”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil”. (QS. Al Isra‟: 24)
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil „aalamiin, puji syukur teruntai dari sanubariku yang
terdalam atas karunia rahmat Allah SWT dengan segenap rasa cinta dan sayang
kupersembahkan karya sederhana untuk :
1. Bapak Rusmanto, Ibu Khariroh, orang tuaku tercinta dan tersayang semoga
persembahan kecilku ini bisa membuat beliau tersenyum. Yang senantiasa
memperjuangkan hidupnya demi terwujudnya cita-citaku dan selalu
memberikan nasehat, bimbingan arahan yang tiada henti demi terbentuknya
kepribadianku serta yang selalu menuntun langkah jalan hidupku di dunia
dan di akhirat kelak dengan iringan doa disetiap hembusan nafas beliau.
2. Imam Syafi‟i adikku tersayang yang senantiasa memberikan dukungan dan
semangat demi terwujudnya impian dan cita-citaku.
3. Bapak KH. Abdul Muhid Alhafidz beserta Ibu Nyai Hj. Mukminatun
Alhafidzah sekeluarga yang saya ta‟dzimi yang selalu membimbing dan
mendoakanku.
4. Para guru dan dosenku khususnya bapak M. Hafidz, M. Ag yang selalu
membimbing demi terselesainya skripsiku dan menjadi penerang dalam
studiku.
5. Saudara-saudaraku seperjuangan di Al Ahwalus Syakhsiyyah angkatan 2014
yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Kita telah berbagi cerita dan canda
tawa dalam kebersamaan yang tidak akan pernah aku lupakan, semoga
pertemanan kita akan abadi.
vii
6. Keluarga besar perpustakaan IAIN Salatiga yang mengajariku tentang arti
kesabaran, kebersamaan dan kekeluargaan.
7. Almamaterku IAIN Salatiga.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim, rasa syukur senantiasa peneliti panjatkan
kehadirat Allah Swt atas taufiq, hidayah dan inayah-Nya yang diberikan pada
peneliti sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hadhanah Pasca
Perceraian di Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang” ini dengan
lancar dan tidak ada hambatan yang berarti.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan pada baginda Rasul,
Nabi Muhammad Saw yang telah memberi jalan terang pada umatnya dalam
menjalani kehidupan. Dalam penulisan skripsi ini tentunya peneliti tidaklah
sendiri, ada begitu banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan
pada peneliti untuk mencapai keberhasilan dengan segala kerendahan hati peneliti
hanya mampu menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. selaku dekan Fakultas Syari‟ah.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, S. HI., M. Si. selaku ketua jurusan Ahwal Al
Syakhsiyyah.
4. Bapak M. Hafidz, M. Ag. selaku dosen pembimbing skripsi ini, atas segala
nasihat dan petunjuk selama memberikan bimbingan sehingga peneliti
mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Segenap Bapak/Ibu Dosen IAIN Salatiga yang telah membimbing dan
memberikan wawasannya sehingga studi ini dapat terselesaikan.
6. Bapak kepala Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.
7. Para informan bapak/ibu single parent di Desa Sumurrejo.
ix
8. Kedua orang tuaku ayah dan ibu tercinta terimakasih atas doa dan
pengorbanan selama ini.
9. Segenap pihak yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu yang telah
ikut serta membantu dan memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi
ini.
Semoga segala bantuan dan bimbingan yang selama ini diberikan
mendapatkan balasan dari Allah Swt dengan pahala berlipat ganda. Dalam
penyusunan skripsi ini peneliti menyadari banyak kekurangannya, disebabkan
keterbatasan pengetahuan yang peneliti miliki, namun kesemuanya ini telah
peneliti lakukan dengan semaksial yang peneliti mampu.
Akhirnya karya ini peneliti suguhkan kepada segenap pembaca dengan
harapan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi pengembangan dan
perbaikan. Semoga karya ini bermanfaat bagi peneliti khususnya dan dunia
pendidikan umumnya serta mendapat ridha Allah Swt. Aamiin.
Penulis
Irin Sulistiyani
x
ABSTRAK
Irin Sulistiyani, 21214009, hadhanah dalam perspektif masyarakat (studi di Desa
Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang), Al Ahwalus
Syakhsiyyah Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
Kata kunci: hadhanah, perceraian
Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian kekekalan dan
kebahagiaan yang diinginkan kadang kala tidak berlangsung lama dan tidak
menutup kemungkinan terjadinya perceraian yang berakibat tiga hal, yaitu
putusnya ikatan suami istri, harus dibagiya harta perkawinan yang termasuk harta
bersama, dan yang ketiga pemeliharaan anak yang harus di serahkan kepada salah
seorang dari ayah atau ibu. Seperti yang terjadi di Desa Sumurrejo Kecamatan
Gunungpati mengenai praktek hadhanah yang dipahami oleh masyarakat. masalah
yang dikaji dari permasalahan ini adalah : (1) bagaimana pola asuh anak dari ibu
pekerja setelah bercerai yang ada di Desa Sumurrejo pada tahun 2017? (2) Sejauh
mana kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak hingga batas usia dewasa
anak yang ada di Desa Sumurrejo pada tahun 2017?
Lokasi penelitian adalah Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan normatif
sosiologis yuridis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi,
wawancara dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil penelitian, maka dapat di
simpulkan Pola asuh anak dari ibu pekerja setelah bercerai untuk pengasuhan
anak yang belum mumayyiz jatuh di pangkuan ibu, Karena ibu menjadi orang tua
tunggal selain merawat anak juga harus bekerja maka pengasuhan di ambil alih
oleh ibunya (neneknya) selagi ditinggal kerja. Pola asuh yang di terapkan mereka
lebih pada memberikan kebebasan terhadap anak, tetapi juga masih ada
pengawasan yang cenderung lebih dapat memberikan pola asuh yang baik, hal
tersebut dapat terlihat dari proses pemilihan pendidikan yang masih disarankan
orang tua, tanpa disadari bahwa itu merupakan kontrol orang tua terhadap anak.
Pola asuh ini tidak berdampak buruk bagi anak, malah sebaliknya. Dan pola asuh
yang biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman atau harus menuruti setiap
perintah orang tua biasanya akan berdampak buruk bagi anak. Kemudian
Kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak sampai batas usia dewasa anak
dari 4 informan 3 diantaranya tidak dipenuhi hak anak karena sudah mempunyai
keluarga baru dan tidak ada bentuk tanggung jawab dari mantan suami. Salah satu
dari 4 informan tersebut masih ada yang memenuhi hak anak dengan bentuk
tanggung jawabnya membiayai kebutuhan anak sehari-hari termasuk pendidikan.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL
LEMBAR BERLOGO
JUDUL .................................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ ii
PENGESAHAN .................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................. iv
MOTTO ................................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
ABSTRAK ............................................................................................................. x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 6
E. Penegasan Istilah .................................................................................. 6
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 8
G. Metode Penelitian ............................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 21
BAB II HADHANAH DAN DASAR HUKUM ................................................ 23
xii
A. Pengertian Hadhanah.......................................................................... 23
1. Fikih ............................................................................................... 23
2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI25
B. Dasar Hukum Hadhanah .................................................................... 30
1. Al Qur‟an ....................................................................................... 30
2. Hadits ............................................................................................. 32
3. Undang-Undang ............................................................................ 33
C. Syarat-Syarat Hadhanah ..................................................................... 34
D. Pihak yang Berhak Melakukan Hadhanah ......................................... 37
1. Perspektif Fikih ............................................................................. 37
2. Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI 41
E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah......................................... 41
F. Upah Hadhanah (Mengasuh Anak) ................................................... 44
BAB III DATA DAN HASIL PENELITIAN DI DESA SUMURREJO ........ 46
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................................ 46
1. Gambaran Umum Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati ......... 46
B. Paparan Data Tentang Hadhanah dalam Perspektif Masyarakat
Sumurrejo ........................................................................................... 59
1. Pola Asuh Anak dari Ibu Pekerja Setelah Bercerai yang ada di Desa
Sumurrejo ...................................................................................... 59
2. Sejauh mana Kewajiban Orang Tua dalam Memenuhi Hak Anak
Hingga Batas Usia Dewasa Anak yang ada di Desa Sumurrejo ... 65
xiii
BAB IV ANALISIS HADHANAH DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT
DI DESA SUMURREJO KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA
SEMARANG ....................................................................................................... 70
A. Pola Asuh Anak dari Ibu Pekerja Setelah Bercerai yang ada di Desa
Sumurrejo ........................................................................................... 70
B. Sejauh mana Kewajiban Orang Tua dalam Memenuhi Hak Anak
Hingga Batas Usia Dewasa Anak yang ada di Desa Sumurrejo ........ 74
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 77
A. Kesimpulan......................................................................................... 77
B. Saran ................................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Susunan Pemerintahan Desa Sumurrejo .................................................. 47
Tabel 2 Struktur BPD Kelurahan Sumurrejo ........................................................ 48
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kelurahan Sumurrejo Menurut Kategori Umur dan
Jenis Kelamin .......................................................................................... 49
Tabel 4 Luas Areal Tanah Desa Sumurrejo .......................................................... 50
Tabel 5 Jenis-jenis Pekerjaan Masyarakat Desa Sumurrejo ................................. 51
Tabel 6 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sumurrejo .................................... 52
Tabel 7 Sarana Pendidikan Masyarakat Desa Sumurrejo ..................................... 53
Tabel 8 Data NTCR Desa Sumurrejo Tahun 2017 ............................................... 58
Tabel 9 Data Pola Asuh dari Ibu Pekerja Setelah Bercerai ................................... 72
Tabel 10 Data Kewajiban Orang Tua dalam Memenuhi Hak Anak ..................... 75
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran III Permohonan Izin Penelitian
Lampiran IV Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran V Akta cerai responden
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan mengenai perkawinan hingga perceraian telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan maupun dalam perundang-undangan
lainnya. Dimulai dari ditentukannya syarat yang menyertai suatu perkawinan
sampai pada tata cara apabila terjadi perceraian atau pemutusan perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUP,
1974:157).
Secara eksplisit hal yang perlu dicatat dari pasal 2 ayat 1 UU No
1/1974 tentang perkawinan adalah adanya aturan perundang-undangan yang
mengatur masalah perkawinan (Nuruddin dan Tarigan, 2004:45) yaitu ;
Pertama, Perkawinan tidak lagi hanya dilihat sebagai hubungan
jasmani saja tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini
mengesankan perkawinan yang selama ini sebatas ikatan jasmani ternyata
juga mengandung aspek yang lebih substansial dan berdimensi jangka
panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada
masa yang pendek sedangkan ikatan batin itu lebih mendalam. Dimensi ini
dieksplisitkan dengan kata-kata bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Kedua, Dalam UU No. 1/1974 tujuan perkawinan dieksplisitkan
dengan kata bahagia. Pada akhirnya perkawinan dimaksudkan agar setiap
manusia baik laki-laki ataupun perempuan dapat memperoleh kebahagian.
Dengan demikian dalam UU Perkawinan No. 1 /1974, perkawinan tidak
dilihat dari segi hukum formal tapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah
perkawinan untuk membentuk keluarga. Sedangkan dalam fikih munakahat,
perkawinan hanya mengurusi hal-hal yang praktis (amaliyah) bukan berbicara
yang ideal.
2
Ketiga, Dalam UU No. 1/1974 perkawinan itu terjadi hanya sekali
dalam hidup. Ini terlihat dalam penggunaan kata kekal. Sebenarnya
pencantuman kata “kekal” dalam definisi itu tanpa didasari menegaskan
bahwa pintu untuk terjadinya sebuah perceraian telah tertutup. Wajar saja jika
salah satu prinsip perkawinan itu adalah mempersulit perceraian. Sedangkan
dalam Islam kata “kekal” terlebih lagi dalam konteks hubungan sosial, seperti
perkawinan tidaklah dikenal. Kendatipun Islam itu membenci perceraian
(perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian), tetapi tidak berarti
menutupnya. Tetap terbuka peluang untuk bercerai selama didukung oleh
alasan-alasan yang dibenarkan oleh syari‟at.
Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama,
suami istri saling membantu serta saling melengkapi. Kedua, masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya, untuk itu suami istri harus saling
membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga Indonesia
ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material (Nuruddin dan
Tarigan, 2004:51).
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan bahwa
Perkawinan menurut hukum Islam, yaitu akad yang sangat kuat atau
(mitsaqan ghalidzan) untuk mentaati perintah Allah. Melaksanakannya
merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah (Aulia, 2012:2)
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita
kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat
ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis
(suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai
penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang
disebut keluarga. Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia
maka diperlukan perkawinan. Menurut Tihami dan Sohari Sahrani
3
(2008:163), akad nikah menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami
dan istri, diantara kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah
kewajiban memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat
tinggal bersama. Adanya perkawinan yang sah menjadikan seorang istri
terikat semata-mata untuk suaminya. Istri wajib taat kepada suami untuk
selalu menyertai, mengatur rumah tangga, serta mendidik anak-anaknya.
Sesuai pada ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan bahwa:
هكم أوفغكم قا آمىا انزه أا ا أ قدا واسا انحجاسج انىاط ا عه
عصن ل شذاد غلظ ملئكح فعهن أمشم ما الل ؤمشن ما
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At-tahriim:6).
Maka dari itu, kuat dan lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan
dibina oleh suami istri sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri
yang melaksanakan perkawinan tersebut. Perkawinan yang dibangun dengan
cinta yang semu (tidak lahir batin) biasanya tidak berumur lama dan berakhir
dengan suatu perceraian (Manan, 2006:2).
Menurut Dalam UU No. 1/1974 pasal 41 dinyatakan apabila
perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah :
1. Bapak dan ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak, maka Pengadilan memberikan keputusannya.
2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat
4
memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul pembiayaan.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas
istri.
Dalam Kompilasi Hukum Perdata Islam pasal 105 (2004:31),
mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak dan harta jika terjadi
perceraian, bahwa:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.
Dalam Al- Qur‟an sendiri telah di paparkan bahwa dasar hukum
hadlanah sebagai berikut :
ذخوا ل آمىا انزه أا ا عل الل انش ذخوا أورم أماواذكم ذعهمن
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-
Anfal:27)
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa anak merupakan salah satu
amanat atau titipan dari Allah SWT. Untuk itu peneliti membuat studi
mengenai “HADHANAH PASCA PERCERAIAN DI DESA
SUMURREJO KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG ”
5
dimana besar harapan peneliti untuk mengetahui pola asuh anak dari ibu
pekerja setelah bercerai dan sejauh mana tanggungjawab orang tua memenuhi
hak anak hingga batas usia dewasa.
B. Rumusan Masalah
Dengan mendasarkan permasalahan tersebut di atas, maka kiranya
peneliti mencoba untuk merumuskan pokok-pokok permasalahannya sebagai
berikut :
1. Bagaimana pola asuh anak dari ibu pekerja setelah bercerai yang ada di
Desa Sumurrejo pada tahun 2017?
2. Sejauh mana kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak dalam
perspektif UU Nomor 1 Tahun 1974 yang ada di Desa Sumurrejo pada
tahun 2017?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan serta memecahkan masalah-masalah yang ada
atau yang akan dihadapinya, dengan menggunakan cara-cara dan metode yang
bersifat ilmiah.
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pola asuh anak dari ibu pekerja setelah
bercerai di Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati pada tahun 2017.
2. Untuk mengetahui sejauh mana kewajiban orang tua memenuhi hak anak
dalam perspektif UU Nomor 1 Tahun 1974 yang ada di Desa Sumurrejo
pada tahun 2017.
6
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Secara Teoritis yaitu :
a. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum Islam
khususnya tentang Hadhanah dalam Perspektif Masyarakat.
b. Untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh ujian sarjana (S1)
Fakultas HKI IAIN Salatiga.
2. Secara Praktis
Untuk menambah pengalaman peneliti dalam praktek penelitian.
E. Penegasan Istilah
1. Anak
Secara umum, anak adalah seorang yang dilahirkan dari
perkawinan anatar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan
tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita
meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.
Sedangkan pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat dalam pasal 34
berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”
Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum
nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai
kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat.
Dalam ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturan dengan
dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang
berarti makna anak yaitu seseorang yang berhak memproleh hak-hak yang
7
kemudian dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar
secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial. Anak juga berhak atas
pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.
Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah ia dilahirkan .
2. Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang
dituakan. Namun masyarakat pada umumnya mengartikan orang tua ialah
seseorang yang telah melahirkan dan mempunyai tanggung jawab
terhadap anak-anak baik anak sendiri maupun anak yang diperoleh
melalui jalan adopsi. Orang tua dari perbuatan mengadopsi yaitu dalam
kategori “orang tua” yang sebenarnya karena dalam praktek kehidupan
sehari-hari. Orang tua adopsi mempunyai tanggung jawab yang sama
dengan orang tua yang sebenarnya. Dalam berbagai hal yang menyangkut
seluruh indikator kehidupan baik lahiriyah maupun batiniyah, orang tua
dalam hal ini yaitu suami istri merupakan figur utama dalam keluarga.
Tidak ada orang yang lebih utama bagi anaknya selain dari pada orang
tuanya sendiri. Orang tua merupakan simbol utama kehormatan, maka
orang tua bagi para anak merupakan tumpuan segalanya.
3. Hadhanah
Secara etimologi hadhanah adalah mengasuh, merawat, memeluk.
Secara terminologi hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak
yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau sudah besar, tetapi belum
tamyiz atau yang kurang akalnya, belum dapat membedakan antara yang
8
baik dan buruk. Termasuk anak-anak yang belum mampu dengan bebas
mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu serta
memelihara dari suatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik
serta mengasuhnya, baik fisik maupun mental dan akalnya agar mampu
menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan salah satu bagian yang penting dalam
suatu penelitian, karena berfungsi menjelaskan kedudukan atau posisi
penelitian yang akan dilakukan oleh seorang peneliti, diantaranya penelitian
yang sudah ada mengenai objek yang sama.
Banyak sekali karya ilmiah yang membahas tentang hadhanah yang
peneliti temukan baik berupa jurnal, buku bahkan karya ilmiah yang berupa
skripsi di antaranya :
Pertama, Abdullah Azamnur dalam skripsi berjudul “Hak Asuh Anak
Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor
0503/Pdt./G./2014/PA.Yk)”. Dimana skripsi ini memiliki dua rumusan
rumusan masalah yaitu apa pertimbangan hakim dalam menentukan hak asuh
anak akibat perceraian pada putusan nomor 0503/Pdt./G./2014/PA.YK;
Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap hak asuh
anak akibat perceraian pada putusan nomor 0503/Pdt./G./2014/PA.YK.
Penelitian dalam skripsi ini termasuk jenis penelitian kepustakaan
yang di dukung dengan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara
dengan hakim Pengadilan Agama Negeri Yogyakarta yang telah memutuskan
hak asuh anak akibat perceraian. Penelitian ini mendeskripsikan dan
9
menganalisis langsung terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Negeri
Yogyakarta nomor 0503/Pdt./G./2014/PA.YK tentang hak asuh anak akibat
perceraian. Hasil penelitian yang dilakukan yaitu hakim memutuskan hak
asuh anak diberikan kepada ayah dengan pertimbangan untuk kepentingan
terbaik si anak agar tidak terganggu pertumbuhan jasmani dan rohani,
pendidikan agama akhlak dan lingkungan harmonis sebagaimana pasal 41
huruf (a) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berisi
”baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya”. Dalam pasal 14 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak yang berisi “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.
Serta ketentuan pasal 30 ayat (1) yang berisi “Dalam hal orang tua
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya,
terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua
dapat dicabut”. Bila dilihat dari sudut pandang Islam pemberian hak asuh
anak sudah tepat diberikan kepada ayahnya karena berdasarkan teori bahwa
kemaslahatan dan kenyamanan anak lebih diutamakan.
Kedua, Melyana Ilmi Amanda dalam skripsi berjudul “Tinjauan
Hukum Tentang Hadhanah (Hak Asuh Anak) Akibat Perceraian” (Studi
Kasus di Pengadilan Surakarta). Skripsi ini memiliki empat rumusan masalah
10
yaitu problematika hukum apa yang dihadapi setelah terjadinya perceraian
menyangkut hadhanah, bagaimana proses penyelesaian hadhanah setelah
terjadinya perceraian, faktor apa saja yang menjadi dasar bagi hakim dalam
penyelesaian hadhanah, dan apakah putusan hadhanah dapat dieksekusi.
Penelitian dalam skripsi ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif dan
apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris.
Lokasi penelitian berada di Pengadilan Agama Surakarta. Jenis data
yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan
data yang dipergunakan melalui wawancara, studi kepustakaan baik berupa
buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen. Analisis
data menggunakan analisis data kualitatif. Adapun hasil penelitian yang telah
diperoleh peneliti tersebut yaitu bahwa pengajuan perkara Hadhanah di
Pengadilan Agama Surakarta ada yang gugatannya digabung dengan gugatan
perceraian, dan ada yang gugatannya tersendiri setelah terjadinya perceraian.
Tetapi pada dasarnya proses penyelesaian hadhanah adalah sama dengan
penyelesaian perkara yang lain.
Dari dua putusan yang diambil peneliti tersebut sebagai penelitian,
dapat diketahui bahwa pemeliharaan anak yang belum berusia 12 tahun atau
mumayyiz berada ditangan ibunya, sesuai dengan Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam, selain itu secara psikologi anak lebih dekat dengan ibunya,
butuh perhatian serta kasih sayang. Dasar yang digunakan oleh para hakim
dalam pengambilan keputusan mengenai hadhanah adalah Undang Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang
Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kitab-kitab Fiqh,
11
pertimbangan hakim, serta Undang Undang dan peraturan lain yang berlaku
yang dianggap penting dan berhubungan dengan perkara hadhanah.
Meskipun putusan tentang hadhanah dapat dimintakan eksekusi,
namun selama ini putusan tentang hadhanah di Pengadilan Agama Surakarta
belum ada yang dimintakan eksekusi. Hal tersebut dikarenakan para pihak
sudah merasa puas dengan keputusan yang diambil oleh hakim yang mana
keputusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan yang dicari oleh para pihak
dan putusan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ada permasalahan.
Ketiga, Asmuni dalam skripsi berjudul “Analisis Putusan Pengadilan
Agama No. 768/Pdt.g/2003/PA. Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak
yang Belum Mumayyiz” (Studi Pengadilan Agama Demak). Jenis penelitian
yang digunakan adalah Field Research (penelitian lapangan), dan
pengumpulan datanya melalui dokumentasi dan wawancara (interview) serta
didukung dengan buku-buku dan semua literatur yang relevan dengan
persoalan yang dibahas. Dalam hal keterkaitannya dengan masalah putusan
No. 768/Pdt.G/ 2003/ PA. Dmk., majelis hakim mempunyai pandangan yang
berbeda bahwa Majelis Hakim memutuskan hak hadhanah anak yang belum
mumayyiz jatuh kepada ayahnya bukan kepada ibunya.
Majelis Hakim mendasarkan keputusannya tersebut tidak berdasarkan
pada Undang Undang yang ada, namun mereka lebih condong kepada
kenyataan yang muncul dalam persidangan yaitu dikaitkan terhadap sikap dari
pihak ibu yang selalu menghalang-halangi ayah untuk bertemu anaknya serta
ketidak-mampuan seorang ibu memberikan nafkah karena ibu tidak bekerja.
Putusan Majelis Hakim memberikan hak hadhanah kepada ayahnya
12
sebenarnya sudah tepat namun ada yang tidak diperhatikan oleh Majelis
Hakim bahwa segala putusan selain memuat alasan-alasan dan dasar, juga
memuat pasal-pasal dari peraturan yang berlaku sebagaimana pasal 62 ayat
(1) No. 7 Tahun 1989 bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan selain
harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-
pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Keempat, Abdul Rahman dalam skripsi berjudul “Studi Komparatif
Antara Hadhanah Menurut Hukum Islam dan Perwalian Menurut Hukum
Perdata (BW)”. Skripsi ini memiliki tiga rumusan masalah yaitu bagaimana
pandangan hadhanah dalam hukum Islam dan pandangan hukum perdata
(BW) tentang perwalian, serta apa persamaan dan perbedaan antara hadhanah
menurut hukum Islam dan perwalian menurut hukum perdata (BW).
Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
yaitu dengan mengkaji beberapa bahan-bahan hukum, baik hukum primer,
sekunder maupun bahan hukum tersier serta kepustakaan dan studi literatur.
Kemudian untuk memperoleh hasilnya dilakukan analisis komperatif yang
bersifat deskriptif, dimana seluruh data yang diperoleh diuraikan terlebih
dahulu berdasarkan sistematika yang telah ditetapkan.
Dari penelitian-penelitian tersebut menghasilkan pemeliharaan atau
pengawasan anak yang masih belum dewasa atau masih belum bisa berdiri
sendiri menurut hukum perdata (BW) di atur dalam UU yang mana nanti
pengadilan akan mengangkat seorang wali atas permintaan dari salah satu
pihak yang berkepentingan. Sedangkan dalam hukum Islam, pemeliharaan
13
anak yang masih belum dewasa diserahkan kepada pihak ibunya. Perbedaan
antara hadhanah menurut hukum Islam dan perwalian menurut hukum perdata
(BW) terletak pada biaya kehidupan sehari-hari. Menurut hukum Islam, biaya
untuk kehidupan sehari-hari sampai si anak mumayyiz akan ditanggung oleh
ayahnya meskipun ayahnya kawin lagi. Sedangkan perwalian menurut hukum
BW, biaya untuk keperluan sehari-hari sampai anak mumayyiz maka diambil
dari harta si anak yang diatur dalam UU dan nantinya akan diminta
pertanggung jawaban. Persamaan antara hadhanah menurut hukum Islam dan
perwalian hukum perdata BW yaitu sama-sama merawat, memelihara, dan
menjaga sampai si anak bisa berdiri sendiri atau bisa membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Peneliti mengambil kasus Hadhanah dalam pandangan masyarakat
dengan meninjau langsung kondisi yang terjadi pada anak-anak korban dari
perceraian orang tuanya di Desa Sumurrejo Gunungpati Semarang. Dari judul
tersebut, peneliti mengambil dua rumusan masalah. Yang pertama, bagaimana
pola asuh anak dari ibu pekerja setelah bercerai. Kedua, sejauh mana
kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak dalam perspektif UU Nomor
1 Tahun 1974. Penting bagi peneliti memiliki referensi ataupun kajian pustaka
yang terkait erat dengan judul skripsi yang akan peneliti susun. Untuk itu,
peneliti mencoba menguraikan dua rumusan yang telah ditetapkan dengan
didukung data-data yang komprehensif.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah proses atau cara ilmiah untuk mendapatkan
data yang akan digunakan untuk keperluan penelitian metodologi. Juga
14
merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode. Maka dari itu,
metode penelitian yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini apabila dilihat dari segi pendekatan
penelitiannya, maka pendekatan ini menggunakan pendekatan sosiologis
yuridis. Pendekatan sosiologis yuridis menurut Soemitro (1990:12) adalah
dalam menghadapi suatu permasalahan yang dibahas berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku kemudian dihubungkan pada kenyataan-
kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Pendekatan yuridis akan
dilakukan menggunakan ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berada dan berlaku di Indonesia lebih
khususnya yang terkait dengan masalah yang diteliti.
Sedangkan pendekatan sosiologis lebih cenderung melihat
fenomena yang terjadi dan memperjelas keadaan sesungguhnya yang ada
di masyarakat, khususnya pada pemahaman pemahaman orang tua tentang
hadhanah atau hak asuh anak.
2. Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto (2006:42) menjabarkan bahwa, penelitian
merupakan penelitian dari suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten. Metode penelitian yang dijabarkan oleh Moleong (2010:3),
digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
15
yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara utuh. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan
individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sedangkan menurut
Ghony dan Almanshur (2012:25) mengatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dapat dicapai dengan prosedur statistik atau dengan cara-cara kuantitatif.
Berikut metode kualitatif menurut Moleong (2010:5) yang digunakan
karena beberapa pertimbanga:
a. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
dengan kenyataan.
b. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dengan responden.
c. Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi.
Berdasarkan pada metode kualitatif tersebut, dasar maka penelitian
ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang hak asuh anak atau
hadhanah kepada para orang tua yang mengalami perceraian yang ada di
Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.
3. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindak secara langsung dalam pengumpulan data-data
yang di perlukan. Selain itu peneliti juga menggunakan alat-alat penunjang
16
dalam pengumpulan data seperti dokumen-dokumen keabsahan, rekaman
wawancara dan dokumentasi.
4. Lokasi Penelitian
Peneliti mengambil data dari Desa Sumurrejo Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang sebagai lokasi penelitian.
5. Sumber Data
Menurut Moleong (2010:157), sumber data merupakan subjek dari
data yang diperoleh, diambil dan dikumpulkan. Sumber data merupakan
masalah yang perlu diperhatikan dalam setiap penelitian ilmiah, agar
diperoleh data yang lengkap, benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber data sekunder
Merupakan sumber data yang diperoleh dari tinjauan pustaka.
b. Sumber data primer
Merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama sebagai objek penelitian dengan jalan wawancara kepada
para orang tua terkait.
6. Metode Pengumpulan Data
Menurut Soekanto (2006:50), alat-alat pengumpulan data pada
umumnya dikenal tiga jenis pengumpulan data yaitu studi dokumen atau
bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara/ interview.
Dalam suatu penelitian diperlukan suatu metode yang tepat dalam
mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian. Tujuannya
adalah agar data yang diperoleh itu tepat dan benar sesuai dengan
17
kenyataan yang ada. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a. Wawancara
Merupakan situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to
face), ketika pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian kepada seseorang responden (Kerlinger dalam Amirrudin
dan Asikin, 2004:82). Metode wawancara yang digunakan untuk
memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh
lewat pengamatan. Ashshofa (2010:59) mengemukaan bahwa, ada
tiga cara untuk melakukan wawancara kepada seorang responden :
1) Melalui percakapan informal (wawancara bebas)
2) Menggunakan pedoman wawancara
3) Menggunakan pedoman baku
b. Observasi
Merupakan pengamatan yang dilakukan peneliti kepada
responden secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial
dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan penelitian
(Soemitro, 1990:62). Observasi diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek
penelitian.
Tujuan dari observasi adalah untuk mendeskripsikan setting,
kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam kegiatan. Waktu
kegiatan dan makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati
18
tentang peristiwa yang bersangkutan (Ashshofa, 2010:58). Penelitian
ini menggunakan pengamatan langsung maupun tidak langsung yang
ditemui di daerah peneliti.
c. Dokumentasi
Merupakan pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dari
dokumen-dokumen yang dapat memberikan keterangan atau bukti
yang berkaitan dengan proses pengumpulan dan pengelolaan
dokumen secara sistematis serta menyebarluaskan kepada pemakai
informasi tersebut.
d. Analisis Data
Merupakan proses mengorganisasikan dan menyusun data
kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan hipotesis kerja seperti yang disarankan data
(Moleong, 2010:103). Proses analisis data dimulai dengan menelaah
semua yang tersedia dari berbagai sumber seperti wawancara,
pengamatan tertulis berdasarkan catatan lapangan, dokumen pribadi,
dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya (Moleong, 2010:190).
7. Validitasi Data
Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kevalidan atau keshahihan suatu instrumen. Prinsip validitas yaitu
pengukuran atau pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen
dalam pengumpulan data. Yang berarti validitas data lebih menekankan
pada alat ukur atau pengamatan. Keabsahan data diperlukan teknik
pemeriksaan data. Moleong (2013:332) menambahkan, teknik yang
19
digunakan untuk menetapkan keabsahan data dalam penelitian dilapangan
salah satunya adalah dengan teknik triangulasi.
Triangulasi merupakan satu pikiran untuk mengumpulkan data dan
memeriksa kembali temuan-temuan, dengan menggunakan sumber-sumber
gandadan cara-cara perolehan data, dan tidak banyak lagi yang harus
dilakukan setelah melaporkan prosedurnya. Dengan triangulasi, peneliti
dapat mengecek temuannya dengan jalan membandingkannya dengan
berbagai sumber, metode atau teori. Untuk itu peneliti dapat melakukan
wawancara dengan cara:
1) Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan;
2) Mengeceknya dengan sumber data;
3) Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data
dapat dilakukan.
Keabsahan data dilakukan dengan cara wawancara silang antara
ibu dan bapak yang mengalami perceraian untuk mengecek ulang dan
mendapatkan data yang akurat. Dengan tujuan, untuk lebih memperkuat
bukti sebagai dasar pengambilan data pada fenomena pola asuh anak
setelah orang tua bercerai di Desa Karangsari Gunungpati Semarang.
8. Tahap-tahap penelitian
Tahap penelitian yang dapat digunakan dibagi menjadi beberapa
hal sebagai berikut :
a. Tahap pra lapangan
20
Merupakan tahapan yang dilakukan sebelum melakukan
penelitian seperti menentukan topik penelitian, dan mencari informasi
tentang kehidupan sehari-hari keluarga tersebut.
b. Tahap kerja lapangan
Peneliti terjun langsung ke lapangan dan mencari data yang
diperlukan seperti wawancara, melakukan observasi, dan
dokumentasi.
c. Tahap analisis
Setelah data terkumpul dengan baik kernudian diedit dan
dipilahpilah. Data yang diperlukan dikategorisasikan menjadi
beberapa bagian untuk menjawab permasalahan penelitian, setelah
semua dilakukan diadakan analisis secara deskriptif, sedangkan data
yang kurang relevan disimpan, namun demikian perlu diketahui
tentang langkah-langkah analisis dalam penelitian yang sebenarnya
telah dilakukan secara runtut yaitu sejak mulai dilakukan
pengumpulan data, penyajian data, reduksi data dan penarikan
kesimpulan. Pada langkah reduksi data dilakukan pemilihan,
pemusatan perhatian dan penyederhanaan data dari catatan lapangan.
Catatan lapangan yang banyak disederhanakan, disingkat, dirangkum
dan dipilah-pilah sesuai dengan pokok masalah yang ditetapkan.
Hasilnya kemudian disajikan dalam bentuk data untuk penyajian data
digunakan uraian naratif. Oleh karena itu, penelitian ini adalah
penelitian hukum sosiologis dengan pendekatan yuridis normatif dan
sosiologis yang digunakan untuk membandingkan dan
21
mengidentifikasikan data (Bambang, 1997:42-43). Setelah data
tersusun dan teridentifikasi kemudian Langkah selanjutnya adalah
membuat kesimpulan, berdasarkan data yang ada.
d. Tahap penulisan hasil penelitian
Apabila semua data telah terkumpul dan dianalisis lalu
dikonsultasikan kepada pembimbing, maka selanjutnya yang
dilakukan peneliti adalah menulis hasil penelitiannya sesuai dengan
pedoman penulisan yang telah ditentukan.
H. Sistematika Penulisan
Guna mendapatkan gambaran yang jelas mengenai susunan skripsi ini,
maka peneliti mengemukakan tentang sistematika penulisan yang terdiri dari
lima bab, adapun penulisan tersebut sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini, peneliti menguraikan latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini peneliti menguraikan gambaran umum tentang
pemahaman orang tua tentang hadhanah atau pengasuhan anak
yang bertempat di Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang.
BAB III : HASIL PENELITIAN
22
Dalam bab ini peneliti akan menguraikan hal-hal yang berkaitan
dengan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi : sejauh
mana pola asuh anak dari ibu pekerja setelah bercerai dan
bagaimana cara pembinaan orang tua dari orang tua yang telah
bercerai, sejauh mana kewajiban orang tua dalam memenuhi hak
anak di Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.
BAB IV : ANALISIS DATA
Dalam bab ini peneliti akan memuat analisis sosiologi mengenai
pemahaman orang tua tentang hadhanah pasca perceraian di Desa
Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab penutup ini penulis uraikan kesimpulan dan saran-
saran.
DAFTAR PUSTAKA
23
BAB II
HADHANAH DAN DASAR HUKUM
A. Pengertian Hadhanah
1. Fikih
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah.
Hadhanah berasal dari kata ىأ حع –ه حع –حعه yang artinya mengasuh,
merawat, memeluk (Ahmad Warson, 1997:274).
Secara etimologis hadhanah ini berarti “di samping” atau berada
“di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah
merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang
kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi
keperluannya sendiri (Nuruddin dan Tarigan, 2004:293).
Sayyid Sabiq memberikan definisi hadhanah adalah berasal dari
kata hidnan yaitu lambung. Seperti susunan kalimat bahasa arab
“hadhana ath-thaairu baidhahu”, burung itu menghempit telur dibawah
sayapnya. Maka, dari kalimat ini bisa dipahami bahwa seorang ibu
menghimpit anaknya (Sabiq, 1973:218). Adapun menurut Abdurrahman
Ghazaly yang dimaksud dengan hadhanah yaitu merawat dan mendidik
anak kecil yang belum mumayyiz sampai ia mampu mengatur dirinya
sendiri (abdurrahman Ghazali, 2013:175).
Dalam kajian fikih, pemeliharaan anak biasa disebut dengan
hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu
24
hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang
diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk
menghindari sesuatu yang dapat merusaknya (Ali Zainuddin, 2007:67)
Para ulama fikih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
peempuan, atau yang sudah besar tapi belum tamyiz, menyediakan
sesuatu yang menjadi kebaikan, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti
dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akhlaknya agar mampu
berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab (Sayyid
Sabiq, 1983:287).
Dalam kitab subulus-salam disebutkan bahwa hadhanah adalah
pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya,
pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang
membinasakannya atau membahayakannya (As-San‟ani, 1995:37).
Hadhanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah mengasuh anak yang
belum mumayyiz hal keadaan ia belum mampu mengurus dirinya sendiri
(Abdul Aziz Dahlan, 1992:137).
Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah
ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang yang menjadi kebutuhan
anak. Dalam konsep Islam tanggungjawab ekonomi berada di pundak
suami sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam
menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting
adalah adanya kerja sama dan tolong menolong antara suami istri dalam
25
memelihara anak dan menghantarkan hngga anak tersebut dewasa
(Mohammad Subkhan, 2009:26).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang
belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan
tanggung jawab. Hadhanah diartikan dengan pemeliharaan dan
pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah
menjaga, memimpin dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum
sanggup mengatur sendiri (Hasan Ayyub, 2004:391).
Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus
tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para
hakim masih menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah
diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI, hadhanah menjadi
hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk
memeriksa dan menyelesaikannya (Nuruddin dan Tarigan, 2004:298).
2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
telah disebutkan tentang hukum pengasuhan anak secara tegas yang
merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi
hukum pengasuhan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah
pengasuhan anak (hadhanah) ini belum dapat di berlakukan secara efektif
sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu
26
masih mempergunakan hukum hadhanah tersebut dalam kitab-kitab fikih
ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah
diberlakukan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan
Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya (Abdul
Manan, 2008:428).
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 42-45
dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-
anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku
terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena
perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan
di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi
pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayana
(memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti
luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan
konsep hadhanah dalam hukum islam, dimana dikemukakan bahwa orang
tua berkewajiban memelihara anak-anaknya semaksimal mungkin dengan
sebaik-baiknya (Abdul Manan, 2008:429).
27
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika
kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan
ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu :
1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah.
Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada
ayahnya atau walinya.
2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan
penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah
dan ibunya (Nuansa Aulia, 2012:31).
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus
menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak
disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga
relevan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 QS. Al-Baqarah yang
menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.
Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 dapat
dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharan yang
bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih
memfokuskan kepada kewajiban dan tanggungjawab material yang
menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, sekiranya tidak
mampu pengadilan agama dapat menentukan lain sesuai dengan
keyakinannya (Sajuti Thalib, 1986:149).
Dalam kaitan ini Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menjelaskan
secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu :
1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
(dua belas) tahun adalah hak ibunya.
2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
28
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya (Nuansa Aulia,
2012:32).
Pada pasal 45 mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan pada ayat (1) bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat (2) menyatakan
kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
selamanya meskipun antara kedua orang tua putus dan sampai anak itu
menikah atau berdiri sendiri. selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47
ayat (1) bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pada ayat (2), orang tua
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan
diluar pengadilan.
Pada pasal 48 menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki
anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (UUP,
1992:170-171).
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 mengenai
pemeliharaan anak menyatakan bahwa :
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia
21 tahun, spanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum didalam dan diluar pengadilan.
29
3) Pengadilan agama dapat menunnjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu (Nuansa Aulia, 2012:30).
Jadi dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum
mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan
tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak
hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34
ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana
dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan
memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan
rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya,
bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakannya. Maka Pengadilan
Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar
biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan
Agama. Jadi pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum
berdasarkan putusan Pengadilan Agama (Kitab UU Hukum Perdata,
2007:13)
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap
atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik
anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan
Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena orang tua
itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, orang tua
berkelakuan buruk sekali. Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua
sebagaimana tersebut maka terhentinya kekuasaan orang tua untuk
melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan
30
terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi
mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya,
tidak berhak lagi mewakili anak didalam dan diluar pengadilan (Abdul
Manan, 2008:431).
Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan
terhadap anak tersebut. Ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan
pendidikan anak tersebut.
Berdasarkan pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara
permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut (Soedharyo
Soimin, 2007:15).
B. Dasar Hukum Hadhanah
1. Al Qur’an
Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut
telah mampu berdiri sendiri tanpa mengharap bantuan orang lain. Oleh karena
itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang
masih di bawah umur dibiarkan begitu saja akan bahaya jika tidak
mendapatkan pengasuhan dan perawatan dengan baik, sehingga anak harus
harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu juga ia harus tetap
diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang merusaknya.
Memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran,
kebijaksanaan, pengertian, kasih sayang, sehingga seseorang tidak
diperbolehkan mengeluh dalam menghadapi persoalan anak tersebut. Bahkan
Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan dan
31
kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka (Alam dan Fauzan, 2008:115-
116).
Adapun dasar hukum tentang hadhanah Allah berfirman didalam QS. Al-
Baqarah ayat 233 :
ظاعح ه كامهه نمه أساد أن رم انش ن لده ح انذاخ شظعه أ ان
ذ كغ ند ن سصقه عه انم ععا ل ه تانمعشف ل ذكهف وفظ إل
نك فئن أسادا اسز مثم ر عه ان نذي ند ن ت ل م نذا انذج ت ذعاس
ما س فل جىاح عه ذشا إن أسدذم أن ذغرشظعا فصال عه ذشاض مىما
اعهما أن اذقا الل رم تانمعشف كم إرا عهمرم ما آذ لدكم فل جىاح عه أ
تما ذعمهن تصش الل
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan
(QS. Al-Baqarah : 233).
Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan pada orang tua untuk memelihara
anak mereka. Ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan
bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan mengadakan
penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun apabila ada
kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh mengambil perempuan
lain untuk menyusukan anak tersebut dengan syarat memberikan upah yang
pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri (Hasan Ayyub, 2006:392-
393).
32
Kemudian Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat 6 :
ا انحجاسج عه قدا انىاط هكم واسا أ ا أا انزه آمىا قا أوفغكم
فعهن ما ؤمشن ما أمشم ملئكح غلظ شذاد ل عصن الل
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At-Tahrim : 6).
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluaganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjahui larangan-
larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
Membiayai anak yang masih kecil bukan hanyaberlaku selama ayah dan ibu
masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah
perceraian (Amir Syarifuddin, 2007:328).
2. Hadits
Dalam hadits Nabi :
ثى حذ صاع نذ عه أت عمش عى ال ثىا ان حذ هم ا محمد ته خانذ انغ
ته عمش أن امشأج قاند ا ي عثذ الل عه جذ ة عه أت ثى عمش ته شع حذ
إن اتى زا ك اء سعل الل حجش ن ح ثذ ن عقاء عاء ان تطى ن
عهم عه صه الل أساد أن ىرضع مى فقال نا سعل الل إن أتاي غهقى
ما نم ذىكح ساي ات داد((أود أحق ت
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khaalid As-Sulamiy,
Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Abu „Amru – yaitu Al-
Auza‟iy, Telah menceritakan kepadaku „Amru bin Syu‟aib, dari ayahnya, dari
kakeknya „Abdullah bin „Amru: Bahwasannya ada seorang wanita berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan
33
puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya;
sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkanya dariku”.
Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” (HR. Abu
Dawud).
Dari hadits ini Imam Al-Qurtubi Al-Baji Al-Andalusi berpendapat bahwa
anak kecil tidak mampu mengurus dirinya sendiri maka butuh pengasuh,
sedangkan pengasuh untuk anak yang lebih utama adalah ibunya, karena
seorang ibu lebih benar, lebih sabar, lebih menjaga, dan mengerti kepada
kebutuhan anaknya, Sedangkan ayahnya tidak mampu melakukan hal itu.
Maka ibulah yang lebih berhak mengasuh anaknya selama ia belum mencapai
7 tahun ( 1332 H:186).
Kemudian Imam Mawardi yang menjelaskan alasan ibu tidak
mendapatkan hak asuh dengan alasan sebagai berikut :
1) Pernikahan mencegah mendapatkan hak asuh karena dikhawatirkan jika si
ibu menyibukkan diri mengurus anak maka hak suami tidak terpenuhi.
2) Karena pernikahan mencegah untuk sibuk mendidik anak yang bukan
berasal dari suaminya.
3) Karena anak tersebut tidak dianggap oleh suami barunya (Al-Mawardi,
1999:505).
3. Undang-Undang
KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap
anak dengan mempergunakan istilah “Pemeliharaan anak” didalam pasal
98 sampai dengan 112, dimana dalam pasal 107 sampai dengan pasal 112
khusus mengatur tentang perwalian. Pada KHI terdapat pasal yang
mengatur tentang Hadhanah diantaranya pada:
34
Pasal 98
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
didalam dan diluar pengadilan.
3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak
mampu.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian:
a) Pemeliharaan anak yang belum mumazis atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b) Pemeliharaan anak yang sudah mumazis diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai peemegang hak
pemeliharaannya;
c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
C. Syarat-Syarat Hadhanah
Seorang hadhinah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan
kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan
kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak
35
terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah.
Adapun syarat-syarat hadhanah antara lain :
1. Baligh dan berakal sehat
Hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang berakal sehat dan tidak
terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang
penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat
gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas
hadhanah. Imam Ahmad bin Hambal menambahkan agar yang
melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular (Effendi,
2005:172).
2. Merdeka
Tidaklah boleh bagi seorang budak mendidik anak sekalipun ia diizinkan
oleh tuannya, sedangkan alasan tidak dibolehkannya bagi seorang budak
mendidik anak : (1) budak haknya adalah melayani tuannya (kemanfaatan
bagi tuannya) bagaimana mungkin ia melayani tuannya dan tuannya dapat
mengambil kemanfaatan darinya sedangkan ia disibukkan untuk mendidik
anak. (2) tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak mendidik anak
(Badru ad-din, 2000:644).
3. Mampu mendidik.
4. Amanah dan berakhlak
Tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik
dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan curang
(Sabiq, 2008:531).
5. Islam
36
Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim
(non muslim), sebab hadhanah masalah perwalian. Sedangkan Allah
tidak membolehkanseorang mukmin dibawah perwalian orang kafir.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 141 :
جعم الل نهكفشه عه انمؤمىه عثل نه ...
Artinya : “...dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh. Karena
tentu akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya
berdasarkan ajaran agamanya. Akibatnya, dikemudian hari anak akan
sulis melepaskan diri darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam
anak (Sabiq, 2008:533)
6. Belum kawin dengan laki-laki lain
Ada pendapat yang mengatakan bahwa apabila suami ibu anak (ayah tiri)
adalah kerabat mahram anak, hak ibu untuk mengasuh anak tidak menjadi
gugur sebab paman termasuk yang mempunyai hak asuh juga. Berbeda
halnya apabila ibu anak kawin dengan laki-laki lain yang tidak
mempunyai hubungan kerabat dengan anak. Dalam hal yang akhir ini hak
mengasuh anak terlepas dari ibu, dipindahkan kepada ayah atau lainnya
yang lebih mampu mendidik anak bersangkutan. Namun ini pun tidak
mutlak, dimungkinkan juga suami yang baru, ayah tiri anak, bila ia justru
menunjukkanperhatiannya yang amat besar untuk suksesnya pendidikan
anak. Apabila hal ini terjadi, hak ibu mengasuh anak tetap ada (Azhar
Basyir, 2014:102).
37
Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab Al-Iqna (Al-Mawardi,
jilid 1:160) :
ه خ ا ح ا م ق لء ا ح ا و م ل ا ه انذ ح ش ح ان م ق ع ن ا ح ع ث ع ح ا و ع ح ن ا
ج ص ه م
Artinya : hadhanah itu ada tujuh syarat : berakal, merdeka, beragama
islam, terjaga terpercaya dan tidak ada ikatan pernikahan.
D. Pihak yang Berhak Melakukan Hadhanah
1. Perspektif Fikih
Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama
menyimpulkan kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah
(Wahbah Al-Zuhaili, 1984:680). Karenanya urutan orang-orang yang
berhak mengasuh anak sebagai barikut : ibu, tetapi jika ada faktor yang
membuatnya tidak layak didahulukan, maka hak pengasuhan dialihkan
kepada ibunya (nenek) dan seterusnya. Lalu jika ada faktor yang
menghalangi mereka didahulukan maka dialihkan kepada ibu ayah
(nenek). Berikutnya adalah saudara perempuan kandung, saudara
perempuan dari ibu, saudara perempuan dari ayah, putri saudara
perempuan kandung, putri saudara perempuan dari ibu, bibi kandung dari
ibu, bibi dari ibu, bibi dari ayah, putri saudara perempuan dari ayah, putri
saudara laki-laki kandung, putri saudara laki-laki dari ibu, putri saudara
laki-laki dari ayah, bibi kandung dari ayah, saudara perempuan nenek dari
ibu, saudara perempuan nenek dari ayah, saudara perempuan kakek dari
38
ibu, saudara perempuan kakek dari ayah, dengan mengutamakan yang
memiliki hubungan kandung dari mereka (Sayyid Sabiq, 2008 :529-530).
Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat wanita diantara orang-
orang di atas, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak
asuh dialihkan kepada kerabat laki-lakinya berdasarkan urutan hak
menerima waris. Dengan demikian hak asuh beralih kepada ayah, dan
seterusnya. Berikutnya saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki dari
ayah, putra saudara laki-laki kandung, puta saudara laki-laki dari ayah,
paman kandung dari ayah, paman dari ayah, saudara laki-laki kandung
kakek dari ayah („amm abihi asy-syaqiq), dan saudara laki-laki kakek dari
ayah („amma abihi li‟ab). Jika tidak terdapat kerabat laki-laki ashabah,
atau sekalipun adatapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan
kepada mahrom kerabat laki-lakinya yang bukan ashabah. Dengan
demikian hak asuh diberikan secara urut kepada kakek dari ibu, saudara
laki-laki dari ibu, putra saudara laki-laki dari ibu, saudara laki-laki kakek
dari ibu, saudara laki-laki kandung ibu, saudara laki-laki nenek dari ayah
dan saudara laki-laki nenek dari ibu. Jika anak kecil tersebut tidak punya
kerabat sama sekali, maka hakim menunjuk pengasuh wanita yang akan
mendidiknya. Karena pengasuhan anak kecil merupakansuatu keharusan,
dan orang paling pantas mengasuhnya adalah kerabatnya sendiri.
Sementara ada kerabat yang hubungannya lebih dekat daripada yang lain.
Karenanya, wali-wali anak tersebut didahulukan karena merekalah yang
mewakili wewenang dasar untuk memenuhi kemaslahatannya. Tapi jika
mereka tidak ada atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak
39
asuh dialihkan kepada kerabat yang lebih dekat dan seterusnya. Jika tidak
punya kerabat sama sekali, maka hakimbertanggung jawab menunjuk
orang yang layak mengasuhnya (Sabiq, 2008:530).
Sebagaimana hak mengasuh anak pertama diberikan kepada ibu,
maka para ahli fikih menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak
lebih berhak daripada keluargabapaknya.
Menurut kalangan mazhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak
dimulai dari ibu kandung, nenek dari ibu, kakek dari ibu, bibi dari kedua
orang tua, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, bibi dari
kedua orang tua, bibinya ibu, bibinya ayah, bibinya ibu dari jalur ibu,
bibinya ayah dari jalur ibu, bibinya ayah dari pihak ayah, anak perempuan
dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
kemudian kerabat terdekat. Menurut kalangan Hanafi hak asuh berturut-
turut dialihkan dari ibu kepada :
1) Ibunya ibu
2) Ibunya ibu
3) Saudara-saudara perempuan kandung
4) Saudara-saudara perempuan seibu
5) Saudara-saudara perempuan seayah (Wahbah Al- Zuhaili, 1984:683)
6) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung
7) Anak perempuan dari saudara seibu
8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah
(Uwaidah dan Kamil, 2004:456).
40
Sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki, hak asuh berturut-turut
dialihkan dari ibu kepada :
1) Ibunya ibu dan seterusnya ke atas.
2) Saudara perempuan ibu sekandung.
3) Saudara perempuan ibu seibu
4) Saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu
5) Saudara perempuan kakek dari pihak ibu.
6) Saudara perempuan kakek dari pihak ayah.
7) Ibu ibunya ayah
8) Ibu bapaknya ayah dan seterusnya (Peunoh Daly, 2005:87).
Menurut mazhab Syafi‟i hak asuhan secara berturut-turut adalah :
1) Ibu
2) Ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat itu mereka
adalah pewaris-pewaris si anak.
3) Ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat
mereka adalah pewaris-pewarisnya pula.
4) Saudara-saudara perempuan kandung.
5) Saudara-saudara perempuan seibu.
6) Saudara-saudara perempuan seayah.
7) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung.
8) Anak perempuan dari saudara seibu.
9) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah
(Wahbah Al-Zuhaili, 1984:683).
41
2. Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI
Dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a. Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak ; bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri (Nuansa Aulia, 2012:87-88).
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf (a) anak yang belum
mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali kalau
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah ;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan ;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
(Nuansa Aulia, 2012:46-47).
E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan ) anak berakhir ketika anak kecil laki-laki
ataupun perempuan tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita dewasa,
mencapai tamyiz dan sudah bisa mandiri, yakni diperhitungkan dapat
mengerjakan sendiri kebutuhan-kebutuhab dasarnya, seperti makan,
42
berpakaian dan membersihkan diri (mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat
ditentukan pada usia tertentu, melainkan ukurannya adalah tamyiz dan lepas
dari ketegantungan. Selama anak kecil sudah mumuayiz dan tidak lagi
bergantung pada pelayanan wanita, serta dapat mengerjakan sendiri seluruh
kebutuhan dasarnya maka berakhirlah masa pengasuhannya.
Tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits yang menerangkan dengan
tegas tentang masa (jangka waktu) hadhanah. Mengenai hal ini para ulama
berijtihad dalam menetapkan masa (jangka waktu) hadhanah.
a. Menurut mazhab Hanafi, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak
itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapatmengurus
keperluannya sehari-hari dan bagi anak perempuan berakhir apabila telah
datang masa haid pertamanya (Rahman Ghazali, 2006:185). Pendapat
mazhab Hanafi yang lain mengatakan bahwa masa hadhanah berakhir
bilamana si anak telah mencapai umur 7 tahun bagi laki-laki, dan 9 tahun
bagi perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih lama, sebab
agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari
perempuan (ibu) yang mengasuhnya. Selain itu juga, agar anak tersebut
lebih dahulu merasakan kebiasaan haid dibawah bimbingan pengasuhnya
(Huzaemah, 2010:186).
b. Menurut mazhab Imam Malik, masa hadhanah anak laki-laki itu berakhir
dengan ikhtilam (mimpi), sedangkan masa hadhanah untuk anak
perempuan berakhir dengan sampainya ia pada usia menikah. Jika ia
sampai pada usia menikah, sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ia
lebih berhak terhadap anak putrinya sampai ia menikah lagi. Jika tidak
43
sedang demikian, maka anak itu dititipkan kepada ayahnya atau jika
ayahnya tidak ada, maka ia ititipkan atau digabungkan kepada wali-
walinya (Huzaemah, 2010:186-187).
c. Menurut mazhab Imam Syafi‟i, masa hadhanah anak baik laki-laki
maupun perempuan berakhir ketika sampai usia 7 tahun atau 8 tahun. Jika
telah sampai usia tersebut dan ia termasuk yang berakal sehat, maka ia
dipersilahkan untuk memilih antara ayah dan ibunya. Ia berhak untuk ikut
siapa saja di antara mereka yang ia pilih (Huzaemah, 2010:187).
d. Menurut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan hadhanah anak
itu berakhir sampai anak tersebut berumur 7 tahun. Jika ia telah mencapai
usia tersebut dan ia seorang anak laki-laki, ia diperkenankan untuk
memilih di antara kedua orang tuanya. Tetapi jika ia perempuan, maka
ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih baginya
(Humaezah, 2010:187-188).
Setelah dikemukakan berbagai pendapat para fuqaha diatas, dapat
disimpulkan bahwa pendapat Imam Syafi‟i lebih kuat. Bahwa takhyir berlaku
untuk anak laki-laki dan perempuan setelah mereka sampai pada umur tamyiz
sebab pada hadhanah sudah terdapat upaya memelihara kemaslahatan anak.
Ketentuan bagi anak perempuan, menurut Imam Malik harus diberi
pilihan, sama seperti pendapat Imam Syafi‟i. Menurut Imam Abu Hanifah,
bagi anak perempuan, ibu lebih berhak sampai dia menikah atau baligh.
Menurut Imam Malik, ibu lebih berhak sampai dia menikah dan dan serumah
dengan suami. Menurut Imam Ahmad bin Hanbali, ayah lebih berhak tanpa
44
harus memberi pilihan selama telah berusia 9 tahun. Sedangkan ibu, lebih
berhak bersamanya hingga usia 9 tahun (Sayyid Sabiq, 2008:540).
Sementara itu anak yang masih dalam masa hadhanah , jika ia sakit atau
gila, maka jika ia seorang perempuan secara mutlak berada di tangan ibunya,
baik masih kecil maupun sudah besar sebab ia memerlukan orang yang
melayani dan memenuhi segala kebutuhannya. Kaum perempuan dalam hal
ini ibunya jauh lebih mengetahui hal-hal seperti itu, ibunya tentu lebih sayang
kepadanya daripada lainnya (Huzaemah, 2010:188).
F. Upah Hadhanah (Mengasuh Anak)
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Thalaq : 6
ند حمم فأ وفقأ عهه حر ععه حمهه فاءن أسظعه نكم ان كه أ
فأ ذ ه أجسه أذمشا تىكم تمعشف ان ذعا عشذم فغرشظع ن أخش
Artinya : Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, jika
kemudian mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah
upahnya, dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu )dengan baik,
dan jika kamu memenuhi kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya. (QS. At-Thalaq:6).
Adapun bagi orang selain ibunya, boleh menerima upah hadhanah sejak
saat menangani hadhanah anak tersebut. Seperti halnya perempuan yang
bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Kemudian juga dapat
kita pahamkan bahwa ayahlah yang wajib membayar upah penyusuan
(berdasarkan ayat tersebut diatas), maka begitu pula halnya dengan upah
hadhanah yaitu menjadi tanggung jawab ayah. Berikut ini pendapat beberapa
ulama mengenai hadhanah :
Menurut Ulama Syafi‟iyah :
45
حعا وح اما كا ود ا غشاانحا ظىح انحق ف غهة ال جش ج عه ان
Artinya : bagi hadhinah (orang yang merawat atau mengasuh anak) berhak
mendapat upah atas pekerjaannya (melakukan hadhanah) atau selainnya.
Menurut Ulama Hanafiyyah :
ان نذذجة ال جشج نهحا ظىح ان نم ذكه انضج قا ئمح تىما ته ات
Artinya : upah itu wajib bagi hadhinah apabila diantara istri dan bapaknya
anaknya itu tidak mampu merawat.
Kemudian mengenai siapa yang harus nanggung upah hadhanah ulama
Syafiiyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa upah hadhanah diambilkan dari
harta anak tersebut, sedangkan apabila anak tersebut tidak punya harta, maka
upah hadhanah menjadi tanggung jawab ayah atau orang yang berkewajiban
membayar atau memberi nafkah anak tersebut (Mohammad Subkhan,
2009:43).
46
BAB III
DATA DAN HASIL PENELITIAN DI DESA SUMURREJO
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati
a. Kondisi Geografis dan Lingkungan Alam
Sebagaimana yang telah peneliti deskripsikan dalam bab
sebelumnya, skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian (research) yang
peneliti lakukan di Kelurahan Sumurrejo, merupakan salah satu
diantara beberapa kelurahan yang menjadi bagian dari kecamatan
Gunungpati Kota Semarang. Secara geografis, Desa Sumurrejo
terletak di sebelah utara Kota Semarang.
Adapun batas-batas wilayah Sumurrejo, antara lain sebagai
berikut (Arsip Desa Sumurrejo, 2017) :
1) Sebelah utara : Kel. Pakintelan / Mangunsari Kec. Gajahmungkur
2) Sebelah selatan : Kab. Semarang Kecamatan Kab. Semarang
3) Sebelah timur : Kel. Pudakpayung Kecamatan Banyumanik
4) Sebelah barat : Kab. Semarang Kecamatan Mijen
Orbitasi Kelurahan Sumurrejo adalah sebagai berikut :
1) Jarak kantor Kelurahan dengan Kelurahan yang terjauh : 7 km
2) Jarak kantor Kelurahan dengan Ibukota Kota : 22 km
3) Jarak kantor Kelurahan dengan Ibukota Propinsi : 22 km
47
Sedangkan luas wilayah Kelurahan Sumurrejo adalah 32. 177,
00 Ha. Wilayah ini dibagi menjadi 6 RW dan 30 RT. Iklim di Desa
ini adalah tropis, daerah dengan curah hujan yang signifikan. Bahkan
dibulan terkering pun terdapat banyak hujan (Kepala Desa, Bpk
Marsumul).
b. Struktur Organisasi Pemerintahan
Struktur organisasi merupakan salah satu komponen yang harus
ada pada setiap organisasi. Dalam struktur organisasi pemerintahan
Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang dipimpin
oleh seorang kepala desa, dalam menjalankan pemerintahan, kepala
desa dibantu seorang sekretaris desa dan kepala urusan. Berikut
susunan pemerintahan Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang Tahun 2017
Tabel 1
Susunan Pemerintahan Desa Sumurrejo
No Jabatan Nama
1 Lurah Marsumul
2 Sek. Desa Nining Harianingsih
3 Kasi Pemt & Pemb Mursiyamti
4 Kasi Kesos Saffudin
5 Kasi Trantibum Rusmadi
6 Staf Sri rejeki
Sumber : Desa Sumurrejo, 2017
48
Selain unsur pemerintahan atau eksekutif tersebut, juga dibantu
oleh unsur legislatif dalam hal ini adalah BPD (Badan
Permusyawaratan Desa) dengan strukturnya sebagai berikut :
Tabel 2
Struktur BPD Kelurahan Sumurrejo
No Jabatan Nama
1 Ketua Jazuli
2 Sekretaris Rois
3 Bendahara Makasin
4 Anggota Jumrotun
Wiranto
Suwarto
Suparman
Sumber:Desa Sumurrejo, 2017
c. Keadaan penduduk
Dari data sensus yang diperoleh dari Kantor Desa Sumurrejo
menunjukkan bahwa total jumlah penduduk Desa Sumurrejo adalah
6370 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 3175 jiwa dan penduduk
perempuan 3195 jiwa. Jumlah kepala keluarga 2099 KK. Gambaran
mengenai jumlah pnduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis
kelamin, antara lain ditunjukkan melalui tabel berikut :
49
Tabel 3
Jumlah Penduduk Kelurahan Sumurrejo Menurut Kategori
Umur dan Jenis Kelamin
No Tingkat Umur Jumlah
1 0 - 6 Tahun 1042
2 7 - 12 Tahun 647
3 13 - 18 Tahun 637
4 19 - 24 Tahun 640
5 25 - 55 Tahun 2980
6 56 - 79 Tahun 324
7 80 Tahun ke atas 100
Jumlah 6370
Sumber:Desa Sumurrejo, 2017
Bila dirinci menurut jenis kelamin akan terlihat bahwa jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 3175 dan penduduk perempuan
sebanyak 3195 orang. Dan dari jumlahpenduduk keseluruhan agama
yang dianut masyarakat Desa Sumurrejo adalah agama Islam (Arsip
Kantor Desa Sumurrejo, 2017).
d. Kondisi Perekonomian
Seperti yang kita ketahui perekonomian adalah problematika
umum yang biasa dihadapi oleh setiap orang atau kelompok-
kelompok komunitas masyarakat manapun. Segi-segi perekonomian
itu akan secara langsung mempengaruhi kehidupan anggota
masyarakat atau kelompok komunitas masyarakat tertentu dengan
cepat sekali. Hal ini dimungkinkan mengingat adanya korelasi yang
50
jelas antara perekonomian itu sendiri dengan pekerjaan seseorang,
cara orang tersebut berpikir, maupun berbagai dampak materiil lain
yang jelas akan sangat mempengaruhi terhadap kebutuhan hidupnya.
Maka salah satu hal yang juga penting dalam menggambarkan
kondisi kehidupan masyarakat Desa Sumurrejo adalah mengenai
kondisi perekonomian sebagian umum masyarakat di wilayah ini.
mayoritas mengandalkan mata pencaharian dengan bercocok tanam
atau tani, karena luas tegalan atau sawah desa. Berikut adalah luas
areal tanah Desa Sumurrejo :
Tabel 4.
Luas Areal Tanah Desa Sumurrejo
No Jenis areal tanah Luas (Ha)
1 Sawah 22. 729,00 Ha
2 Tanah desa 9. 053,00 Ha
3 Areal pemukiman penduduk 3.151,00 Ha
4 Lapangan 385,00 Ha
5 Lainnya 10,00 Ha
Jumlah 35.328,00 Ha
Sumber:Desa Sumurrejo, 2017
Disaat musim penghujan masyarakat Desa Sumurrejo
memanfaatkan lahan tegalannya ditanami padi, cabe merah dan disaat
kemarau mereka tanami ubi jalar. Sawah di Desa Sumurrejo termasuk
tadah hujan. Selain dari hasil pertanian keadaan ekonomi masyarakat
Desa Sumurrejo juga ditunjang dari berbagai sumber, seperti usaha
51
perdagangan, buruh pabrik, pegawai negeri, pegawai swasta, buruh
bangunan, anggota TNI/Polri dan lain sebagainya.
Berikut adalah informasi mengenai jenis-jenis pekerjaan yang
dimiliki oleh penduduk Desa Sumurrejo, berdasarkan sensus yang
diadakan oleh Kantor Desa Sumurrejo.
Tabel 5
Jenis-jenis Pekerjaan Masyarakat Desa Sumurrejo
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Petani pemilik tanah 31
2 Petani penggarap tanah 238
3 Petani penggarap/penyekap 20
4 Buruh tani 967
5 Pengrajin/industri kecil 15
6 Buruh industri 419
7 Buruh bangunan 452
8 Pedagang 68
9 Pengangkutan 47
10 Pegawai negeri sipil 170
11 ABRI 28
12 Pensiunan ABRI/PNS 185
13 Peternak 81
Jumlah 2694
Sumber: Arsip Desa Sumurrejo, 2017
52
Data-data mengenai kehidupan ekonomi masyarakat Sumurrejo
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Sumurrejo adalah
kelas menengah ke bawah.
e. Kondisi Pendidikan Masyarakat
Selain perekonomian masyarakat, pendidikan juga boleh
dibilang merupakan faktor yang sangat menentukan kecenderungan
dan keyakinan seorang individu atau suatu kelompok masyarakat.
Terkait dengan hal ini, tingkat pendidikan yang dimiliki
masyarakat di Desa Sumurrejo memang cukup beragam. Namun
boleh dibilang pendidikan yang dimiliki oleh sebagian besar
penduduk di Desa Sumurrejo adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Cukup jarang yang menyelesaikan
pendidikan sampai jenjang Perguruan Tinggi. Semuanya ini dapat
dilihat melalui tabel VI sebagai berikut (Sensus Kantor Desa
Sumurrejo, 2017) :
Tabel 6
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sumurrejo
No Tingkat Pendidikan Masyarakat Laki-laki Perempuan
1 Tamat SD/sederajat 1022 1029
2 Tamat SMP/sederajat 197 202
3 Tamat SMA/sederajat 615 648
4 Tamat S-1/sederajat 90 88
Jumlah total 3891
Sumber:Arsip Desa Sumurrejo, 2017
53
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Desa ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu selain disebabkan faktor
ekonomi dan mahalnya biaya pendidikan untuk saat ini, faktor yang
lain adalah minimnya pemahaman orang tua akan pentingnya
pendidikan. Oleh sebab itu alasan ini kalau tidak langsung menikah
biasanya melanjutkan pendidikan ke pesantren atau langsung cari
pekerjaan.
Tabel 7
Sarana Pendidikan Masyarakat Desa Sumurrejo
No Macam Sarana Jumlah
1 PAUD 1
2 TK 3
3 SD/MI 3
4 SLTP Negeri 1
5 SLTP Swasta Islam 1
6 Pondok Pesantren 6
7 Majelis Taklim 30
Sumber : Arsip Kantor Desa Sumurrejo 2017
Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa dalam 1 kelurahan
terdapat 6 pondok dan 30 majlis taklim, sedikit sekali lembaga
formalnya. Hal ini ternyata sangat berpengaruh terhadap tingkat
pendidikan masyarakat Sumurrejo yang cenderung agamis. Dan
terbukti bahwa masyarakat lebih membanggakan alumni lulusan
pesantren daripada alumni yang berasal dari pendidikan formal saja.
54
Di Desa Sumurrejo juga terdapat fasilitas umum sebagai
penggerak atau penunjang kehidupan masyarakat, seperti 7 Masjid,
26 Mushola, 1 Puskesmas pembantu, 1 Balai Desa, 1 Lapangan Sepak
Bola.
f. Kebudayaan Masyarakat
Masyarakat dan budaya adalah dua hal yang sangat sukar untuk
dipisahkan. Budaya-budaya tersebut tumbuh dan dimiliki masyarakat
dan sebaliknya tidak ada komunitan masyarakat satupun yang tidak
memeliki kebudayaan. Budaya-budaya tersebut nantinya akan
disalurkan dan ditumbuh kembangkan dari generasi dahulu,
diwariskan kegenerasi sekarang, kemudian selanjutnya diwariskan
kembali ke generasi yang akan datang. Atau dengan kata lain hampir
disetiap komunitas masyarakat terjadi prosese enkulturasi nilai-nilai
kebudayaan. Demikian pula halnya di Sumurrejo.
Di Sumurrejo secara khusus dan jawa secara umum memang
terjadi perdebatan dan perselisahan sosial yang teru menerus, seperti
regulasi praktek mistik dan kesalehan muslim normatif, yang esensial
perselisihan-perselisihan ini memunculkan devisi-devisi sosial yang
utama. Dalam kasus pandangan kejawen dan santri tradisional
mengenai fungsi agama dalam kehidupan sosial, adalah tak mungkin
perpecahan perpecahan sosial itu didamaikan, justru kedua kelompok
mendasarkan pandangan mereka pada pemecahan-pemecahan yang
memang tak terdamaikan terhadap suatu problem yang diyakini oleh
keduanya merupakan kepentingan bersama.
55
Salah satu ciri islam jawa yang paling mencolok adalah
kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-
Budha. Karena itu sangat berguna sekali membandingkan jawa
dengan muslim asia selatan. Karena kedua kawasan ini sama-sama
mengambil warisan Hindu-Budha dan pada masyarakat sangat
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran metafisika dan mistik sufi serta islam
rakyat pedesaan di Jawa dan India Tengah sama-sama menyerap
spektrum kepercayaan dan ritual yang luas.
Masyarakat Desa Sumurrejo sebagai masyarakat beretnis jawa
mempunyai corak kehidupan sosial seperti masyarakat jawa pada
umumnya. Namun keadaan sosial budaya masyarakat Desa
Sumurrejo sebagian besar dipengaruhi oleh ajaran islam. Budaya
tersebut dipertahankan oleh masyarakat Desa Sumurrejo sejak dahulu
sampai sekarang. Adapun budaya tersebut adalah :
1. Berzanji. Kegiatan ini dilakukan oleh bapak-bapak dengan cara
membaca kitab al berzanji. Biasanya dibaca seminggu sekali pada
malam hari senin di mushola. Selain itu, pada hari-hari tertentu
pembacaan al berzanji juga dilakukan saat saat bersama
berlangsungnya momen menyambut kedatangan kelahiran
seorang bayi yaitu akikahan.
2. Yasinan dan tahlilan. Satu rangkaian acara yang sering dilakukan
oleh masyarakat Sumurrejo pada hari-hari tertentu dan momen-
momen penting. Yasinan adalah kegiatan pembacaan al qur‟an
surat yasin kegiatan ini dilakukan secara berkelompok atau
56
berjamaah dalam satu majlis oleh ibu-ibu maupun pemuda
pemudi atau bapak-bapak. Setiap malam hari jum‟at ba‟da
magrib di rumah-rumah warga secara bergilir. Setelah pembacaan
yasin langsungdisambung pembacaan tahlil secara bersaan pula.
Selain itu tahlil dengan maksud membaca kalimat tayyibah juga
sering dilakukan oleh masyarakat Desa Sumurrejo disaat adanya
momen-momen penting seperti pada saat masyarakat sedang
mempunyai hajat semisal hajat perkawinan, khitanan, dan
kematian (7 hari, 40 hari, 100hari, geblak, dan mendak).
3. Nariyah, kegiatan membaca sholawat nariyah biasa dilakukan
dalam satu majlis dengan pembacaan dilakukan oleh seorang
pemimpin atau ulama dan jamaah. Kegiatan ini rutin dilakukan
pada saat malam hari minggudengan ketentuan secara bergilir di
rumah warga.
g. Pola Kekerabatan Msyarakat
Dalam hal kekerabatan masyarakat Sumurrejo menganut asas
bilateral atau parental dengan keluarga batih (keluarga yang terbentuk
melalui perkawinan) sebagai intinya. Sistem ini menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan yang seimbang antara jalur ayah dan jalur ibu.
Ayah dan ibu dengan demikian sama dimata anaknya, sekalipun
tulang punggung keluarga tetap ada di ayah. Artinya, seorang ayah
mempunyai kehormatan yang lebih tinggi dan sangat menentukan
dalam pengambilan keputusan yang sulit dalam keluarga.
57
Selain keluarga inti dalam satu rumah tangga sering juga ada
mertua dan ipar-ipar. Ayah merupakan pencari rizki utama dan
pelindung keluarga, sementara seorang ibu berfungsi sebagai
pengurus rumah tangga. Anak-anak sudah harus bekerja membantu
orang tuanya bila dipandang telah mampu (kira-kira pada usia 15
tahun). Selain itu, dalam pergaulan dianut sistem senioritas
berdasarkan umur. Antara saudara sepupu akan terlihat saling
menghormati, terutama sepupu yang muda akan senantiasa
menunjukkan sikap santun pada sepupu yang tua, dan ini tidak terjadi
berdasarkan silsilah.
Anak-anak menjadi tanggungan orang tua sampai ia mampu
menafkahkan dirinya sendiri atau sudah menikah. Kecuali itu, secara
umum masyarakat di tempat ini mengenal istilah keluarga dekat dan
keluarga jauh. Yang termasuk bilangan keluarga jauh adalah
hubungan darah sampai tingkat tiga kali dari sepupu keempat sampai
dengan sepupu ketujuh kali. Diluar sepupu tujuh kali tidak lgi
termasuk bilangan keluarga. Termasuk keluarga dekat disini adalah
besan, biras dan semua keluarga dekat dari pihak suami/istri baik ke
atas maupun ke bawah. Dalam bebeapa hal diantara sesama keluarga
dekat ini akan terjadi saling bantu membantu terutama dalam
penyelenggaraan upacara-upacara tradisional.
Selain itu ada semacam tradisi untuk mempererat tali
silaturrahim antar pihak keluarga pada waktu lebaran. Adalah
merupakan suatu hutang atau beban mental bagi masyarakat
58
Sumurrejo yang belum mengadakan kegiatan kunjung mengunjungi
pada waktu lebaran. Maka tidak heran lebaran idul fitri di Sumurrejo
dapat berlangsung lebih lama. Ini maksudnya untuk memberikan
kesempatan para keluarga untuk dapat saling kunjung-mengunjungi,
sehingga beban mental atau sejenis hutang itu terlunasi semuanya.
h. Data NTCR (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk)
Sebgaimana yang disebut dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor.1/1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan
yang Maha Esa, namun dalam realitanya seringkali perkawinan
tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya
perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena
putusan Pengadilan. Kendatipun Islam membenci perceraian
(perbuatan halal yang dibenci allah adalah perceraian), tetapi tidak
berarti menutupnya. Tetap terbuka peluang untuk bercerai selama
didukung oleh alasan-alasan yang dibenarkan syariat (Nuruddin,
2004:216). Berikut adalah tabel perolehan yang peneliti amati adalah
sebagai berikut :
Tabel 8
Data NTCR Desa Sumurrejo Tahun 2017
S
S
u
Nama Jumlah
Nikah 41
Talak -
Cerai 4
Rujuk -
59
Smber : Arsip Kantor Desa Sumurrejo 2017
B. Paparan Data Tentang Hadhanah dalam Perspektif Masyarakat
Sumurrejo
Setelah ditemukan beberapa data yang dinginkan, baik dari hasil
penelitian observasi, interview, maupun dokumentasi maka peneliti akan
menganalisa temuan yang ada dan memodifikasi teori yang ada kemudian
membangun teori yang baru serta menjelaskan tentang hadhanah dalam
perspektif masyarakat.
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat
anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi
hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Hak hadhanah itu menjadi hak ibu
sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Hak hadhanah adalah hak
bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang
didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.
Adapun data-data yang akan dipaparkan dan dianalisa oleh peneliti sesuai
dengan penelitian, untuk lebih jelasnya peneliti akan mencoba untuk
membahasnya. Sedangkan untuk data terlampir dalam lampiran sendiri.
1. Pola Asuh Anak dari Ibu Pekerja Setelah Bercerai yang ada di Desa
Sumurrejo
Pola asuh orang tua adalah cara yang ditempuh atau dilakukan orang
tua dalam mendidik anaknya, dengan harapan anak tumbuh kembang
sesuai apa yang diharapkan keluarga. Pola asuh yang dilakukan setiap
orang tentu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan inilah yang
mempengaruhi perkembangan anak itu sendiri di dalam keluarga.
60
Perceraian yang dialami orang tua dapat membawa dampak terhadap
pola asuh anak karena kurangnya perhatian dari orang tua setelah
mengalami perceraian. Ibu tidak hanya sebagai pendidik anak di rumah
tetapi ibu juga sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sebab
di dalam keluarga ibu berperan ganda menggantikan tugas ayah sebagai
pencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seperti hasil
wawancara peneliti dengan beberapa infoman sebagai berikut :
1) Informan Windi
Ibu Windi merupakan orang tua tunggal sebab perceraian, Ibu
Windi (24th) menikah dengan Bapak Ahmad Saeful Amri (25th) pada
tahun 2015 telah mempunyai anak bernama Ayra Misha Naira Putri
(2th). Mereka membangun rumah tangga tersebut hanya bertahan 9
bulan dikarenakan ekonomi tidak tercukupi dan tidak ada tanggung
jawab suami. Ibu Windi saat ini bekerja sebagai SPG di salah satu
swalayan di Kota Ungaran, selain bekerja informan Windi juga harus
merawat anaknya seorang diri pasca cerai. Selama ditinggal bekerja,
anak diasuh oleh neneknya. Sehingga waktu pengasuhan banyak di
ambil alih oleh ibunya (nenek) dari pada informan Windi.
Informan Windi juga menceritakan mengenai pola asuh anak saat
ini setelah dirinya bercerai dengan suami. Pasca cerai ia sudah tidak
pernah lagi komunikasi sama suami, jadi sehari-hari ia mengasuh
anak dibantu sama ibunya. Ia tidak membuat peraturan ataupun jam
main kepada anaknya, walaupun tidak ada peraturan tetapi masih
dalam pengawasannya karena anak masih usia 2 tahun. Ia juga
61
menjelaskan dampak buruk bagi anak tidak ada hanya saja anak takut
sama lawan jenis. Berikut hasil wawancara dengan informan Windi :
“awal tahun 2016 aku hamil 5 bulan, selama aku hamil jalan 8 bulan
aku hidup sendiri mbak tanpa didampingi suami. Terus pas aku hamil
tua aku diajak balik sama ibu mertua tapi selang beberapa bulan
setelah lahiran aku disuruh pulang lagi ke rumah orangtuaku karena
masalah ekonomi. Selama tinggal di rumah mertua aku gak pernah
dikasih uang suami. Malah yang sering ngasih uang itu ibu mertua,
aku kan malah gak enak mbak kalau gitu” Mungkin kalau masalah
keuangan sih gak terlalu berat mbak tapi kalau masalah pengasuhan
aku agak kewalahan masalahnya aku ngerawat sendiri, meskipun
kadang dibantu ibu kalau anak lagi sakit. Ya rasane jengkel, kesel,
bingung karna semua dihadapi sendiri mbak. Aku kerja di swalayan
sebagai SPG, selama aku tinggal kerja aira ikut ibuku (mbahe) mbak.
Tapi untungnya aku sering sip sore jadi bisa menemani anak pagi,
siang, ya walaupun gak bisa menemani setiap wektu. Soale aku juga
butuh cari yang buat beli susu anak. Kalau setelah kami pisah Ya
alhamdulillah anaknya biasa mbak tapi kalau sama laki-laki gak
mau”. (Wawancara dengan ibu Windi, 12 Agustus 2018).
2) Informan Nurfiana
Ibu Nurfiana juga merupakan orang tua tunggal sebab perceraian,
Nurfiana (30th) menikah dengan Kunardi (40th) pada tahun 2006
telah mempunyai anak satu bernama Naili Zakiyatan Nuriya (12th).
Pernikahan mereka bertahan 5 tahun. Keretakan rumah tangga yang
mereka alami disebabkan karena keikut campuran orang tua dalam
berumah tangga dan tidak dinafkahi secara lahir maupun batin. Saat
ini ia berwirausaha (membuat kue), informan Nurfiana banyak
bercerita mengenai masalah yang dialaminya. Salah satunya adalah
persoalan pola asuh anak sekarang ini setelah ia bercerai dengan
suami.
Ia mengaku mengasuh anaknya sendirian sejak anak duduk di
bangku TK sampai sekarang anak sudah kelas 6 SD atau sekitar 7
62
tahun yang lalu. Sejak saat itu pula ia merasakan kuwalahan dalam
memenuhi kebutuhan anak sehari-hari dan merawat anak karena
semua itu dilakukan seorang diri. Untung ia masih memiliki sosok
orang tua yang mau membantunya dalam mengasuh anak (kakek
nenek). Dalam pengasuhannya ia memberi kebebasan asalkan tidak
sampai melampui batas. Begitupun juga dengan pilihan, apapun
pilihan yang dibuat anaknya, misalnya saja dari pilihan ekstra
kulikuler, ia tidak memaksakan, melainkan lebih menyarankan saja,
selebihnya kembali lagi pada keputusan anaknya. Ia mengaku bahwa
pasca perceraian, naili (anaknya) tidak mengalami keburukan bahkan
bisa dikatakan seperti anak pada umumnya yang mempunyai orang
tua utuh, kuat secara psikis, mandiri karna terbiasa dengan ibu,
bahkan dalam bidang pendidikan atau akademis bisa mengikuti sesuai
tingkat kemampuannya bahkan banyak meraih prestasi tetapi secara
mental anak tersebut mengalami traumatik dengan sosok seorang
bapak. Berikut hasil wawancara dengan informan Nurfiana :
“mengurus anak sendiri dari kecil sehari-harinya ikut mbah kadang ya
ikut aku kerja, kadang kerjaan tak bawa ke rumah yang penting
bareng. Yang repot waktu TK soale antar jemput otomatis aku harus
di rumah, cari kerjaan yang di rumah yang bisa disambi. Jadi usahaku
di rumah kadang ikut rias nganten, jual tupperware, ikut bungkusi roti
ya apa aja yang bisa disambi di rumah, sekarang aku usaha kecil-
kecilan buat roti. Buat hidup sehari-hari sama anak mbak. Dampak
buruk gak ada gak mengalami keburukan mental bahkan bisa
dikatakan seperti anak pada umumnya yang mempunyai orang tua
utuh, kuat secara psikis, mandiri karena terbiasa dengan ibu, dalam
bidang pendidikan atau akademis bisa mengikuti sesuai tingkat
kemampuannya bahkan banyak meraih prestasi tetapi secara mental
anak tersebut mengalami traumatik dengan sosok seorang bapak”.
(Wawancara dengan ibu Nurfiana, 16 Agustus 2018).
3) Informan Ririn
63
Informan Ririn adalah salah satu keluarga yang mengalami
perceraian, Ririn Setianingsih (28th) menikah dengan Saifudin (28th)
pada tahun 2009 mempunyai anak satu bernama Muhammad Faid
Atallah (7th). Pernikahan mereka bertahan 4 tahun. Keretakan rumah
tangga yang mereka alami disebabkan karena keikut campuran orang
tua dan saudara-saudaranya yang lain karena satu rumah diisi empat
keluarga hidup bersama. Pekerjaan Ririn adalah sebagai buruh pabrik
disalah satu garment di Karangjati Kabupaten Semarang. Informan
Ririn bercerita mengenai masalah yang dialaminya pasca perceraian
yang ia alami dengan suami, salah satunya adalah pola asuh anak.
Ririn mengatakan untuk sekarang ini ia dan anaknya jarang tinggal
serumah, hal ini dikarenakan ia sudah menikah lagi dan tinggal di
rumah suami baru, sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk
mengasuh anaknya. Jadi anaknya dititipkan di rumah kakek neneknya
sejak ia milih menikah lagi. Karena seringnya dan hampir setiap saat
anaknya diasuh oleh kakek neneknya, menyebabkan anaknya lebih
nyaman dan lebih memilih untuk tinggal bersama kakek neneknya
dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Bila mengenai aturan atau
jam main tidak ada, namun ia yakin bahwa kakek neneknya dapat
dipercaya mampu mendidik anaknya dengan baik. Informan Ririn
mengungkapkan bahwa pasca perceraian komunikasinya dengan
anaknya berjalan lancar meskipun jarang bertemu. Tidak ada dampak
buruk bagi anak karena sudah mendapatkan kasih sayang yang
64
maksimal dari pihak keluarga istri dan bapak baru. Berikut hasil
wawancara dengan informan Ririn:
“Selama proses sidang dia gak hadir, jadi hak asuh langsung jatuh ke
aku mbak, sebelum aku nikah yang ke 2, kalau aku ditinggal kerja
anak ikut mbah atau yang ngasuh ibuku. Aku kerja di pabrik garmen
buat nyukupi kebutuhan anakku, sekarang aku udah agak ringan
mbak soale kebutuhan anakku udah dibantu suami baruku. Tapi
sekarang anakku milih ikut mbahe, aku ajak tinggal bareng di rumah
suami baruku gak mau. Jadi tiap pulang kerja aku pulang ke rumah
ibuku nunggu suami pulang baru pulang ke mertua. Kalau libur aku
pulang ke rumah ibuku karena anakku kan di sana”. (Wawancara
dengan ibu Ririn, 19 Agustus 2018).
4) Informan Farid
Informan Farid adalah salah satu keluarga yang mengalami
perceraian, Farid Nuryani (43th) menikah dengan Ulil Farikhah
(36th) pada tahun 2004, telah mempunyai anak satu bernama Febrina
Iklila Zahrie (12th). Pernikahan mereka hanya bertahan 11 tahun,
keretakan rumah tangga mereka muncul karna pihak ketiga yaitu
keikutcampuran orang tua dalam rumah tangga yang menjadi pemicu.
Pekerjaannya adalah sebagai wirausaha (penjual sate) di Gunungpati.
Informan Farid bercerita sedikit mengenai keluarganya dan
anaknya. Ia mengatakan bahwa ia dan anaknya tidak pernah tinggal
serumah sesudah perceraian terjadi. Hal ini dikarenakan hak asuh
anak jatuh pada istri, istri bekerja sebagai buruh pabrik. Ia mengaku
bahwa dalam pengasuhan ini istri membatasi jarak antara ia dan
anaknya karena kurang begitu suka kalau anaknya dekat sama
informan farid. Berikut hasil wawancara dengan informan Farid :
“Setelah cerai hak asuh anak jatuh pada istri karena pas waktu itu
febri masih kecil, sekarang dia udah besar udah bisa merasakan
kenyamanan kalau secara lahiriah dia ikut ibunya tapi kalau saya lihat
65
secara batiniyah dia lebih nyaman disini. Tapi misal disini to mbak
langsung ditelfon ibunya suruh cepet-cepet pulang. kalau aku ajak
kesini mesti dia pikir-pikir bukan karena disini gak enak atau gak
suka tapi karena takut sama ibunya. jadi selama ini tertekan diasuh
sama ibunya. Soalnya ibunya juga udah nikah lagi, terus suami
barunya gak kerja sedangkan mantan istriku itu kerjannya cuma di
pabrik mbak. Kalau dilihat dari Dampak buruknya ke anak selama ini
anak menjadi pendiam, pemurung, mudah tersinggung mbak”.
(Wawancara dengan bapak Farid, 14 Agustus 2018).
2. Sejauh mana Kewajiban Orang Tua dalam Memenuhi Hak Anak
Hingga Batas Usia Dewasa Anak yang ada di Desa Sumurrejo
Kewajiban orang tua terhadap anak pada dasarnya adalah
pemeliharaan dan pendidikan. Dan ini berlaku terus sampai sang anak
menikah atau dapat berdiri sendiri (hidup mandiri) walaupun pernikahan
orang tuanya sudah berakhir. Hal ini berlandaskan pada Undang-undang
Perkawinan pasal 45 ayat 1 dan 2 dijelaskan tentang hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak, yaitu :
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam UUP pasal 41 juga akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
66
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
memberi keputusannya.
b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang dibutuhkan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.
Tercantum pada pasal 49 ayat (2) UUP No. 1/1974 yaitu : meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Dapat dilihat bahwa
yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan adalah bapak.
Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan sesuai kebutuhan anak dan
ketentuan tersebut disesuaikan dengan keadaan ekonomi orang tua.
Dengan begitu dari beberapa pasal dan ayat di atas dapat disimpulkan
bahwa hak asuh anak akan jatuh pada ibu jika belum berumur 12 tahun.
Namun bisa jadi jatuh pada ayahnya jika ada beberapa masalah pada sang
ibu kaitannya dengan sikap pada anak. Untuk pembiayaan menjadi hak
ayah dan disesuaikan kebutuhan anak dan keadaan ekonomi.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan infoman mengenai sejauh
mana kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak sampai batas usia
dewasa anak yang ada di Desa Sumurrejo.
1) Informan Windi
67
Informan Windi bercerita sedikit mengenai kewajiban yang
seharusnya masih diberikan pada anak walaupun suami istri sudah
bercerai. Tapi beda dengan yang ia alami saat ini, karena mantan
suami sudah tidak pernah memberi nafkah pada anak. Ia mengaku
dulu pernah di biayai pada saat melahirkan, kemudian pasca
melahirkan ia di beri nafkah satu bulan saja. Setelah itu sampai
sekarang mantan suami sudah tidak lagi memberi nafkah pada anak
dan tidak ada bentuk kewajiban yang diberikan pada anak.
Ia mengungkapkan kenapa selama ini mantan suami sudah tidak
pernah memberi nafkah, yang pertama karena dia tidak bekerja,
kemudian dia akan menikah lagi jadi kemungkinan dia lebih fokus
pada pernikahannya nanti tanpa memikirkan kewajiban dia pada
anak. Berikut hasil wawancara dengan informan Windi :
“Pas lahiran dia tanggungjawab. setelah lahiran mula-mulanya
pernah ngasih uang anaknya mbak cuma 2 kali, setelah itu gak pernah
sama sekali dan lepas begitu aja. Sampai sekarang aira umur 2th gak
pernah ditemui, gak pernah diberi nafkah, dia gak kerja mbak,
kesehariannya cuma buat batako di rumahnya. Ya mungkin buat
kebutuhannya juga masih kurang mbak, lagian juga buat batako hasile
berapa to, itu juga dia mu nikah lagi. Sama anak ya tambah gak inget
mbak. Tanggungjawab aja gak ada apalagi bentuk tanggungjawab
mbak ya gak ada sama sekali. dia sudah gak memperdulikan anaknya.
Semua kebutuhan anak ya aku sing menuhi dewe mbak”.
2) Informan Nurfiana
Informan Nurfiana bercerita tentang kewajiban mantan suami
dalam memenuhi hak anak setelah bercerai. Ia mengungkapkan
bahwa mantan suami sama sekali tidak pernah menafkahi di
karenakan dia sudah beristri dan punya anak (keluarga baru).
68
Kemungkinan perhatian sudah teralihkan, apalagi anak tidak dekat
sama ayahnya. Lagian kalau hanya bekerja sebagai tukang bangunan
buat kebutuhan keluarga mungkin juga kurang jadi dia sudah tidak
memperdulikan anakku yang juga anaknya. Bentuk tanggung jawab
sama anak tidak ada. Apalagi pendidikan, jadi kebutuhan anak semua
yang menanggung nurfiana. Berikut hasil wawancara dengan
informan Nurfiana :
“aku kerja di garmen selama 2 tahun ATM yang pegang suamiku
aku Cuma dijatah 3rb tiap hari buat es teh ma gorengan selama 2
tahun pulang jam 6 nyampe rumah jam 7 bikin batako 25 biji itu tiap
hari sampai rumah. setelah Rumah mau jadi ibunya mau ikut tinggal
bareng, aku gak mau kalau jadi satu sama orang tua bukan karena
apa-apa karena aku pingin kita itu mandiri, setelah itu kita tinggal
sendiri-sendiri, aku di rumahku dan dia di rumahnya bersama orang
tuanya. Aku bilang sama dia Kalau kamu mau sama aku ya kesini
kalau gak mau ya monggo. dia gak mau dengan alasan orang tua takut
dosa. akhirnya dia pergi selama 2 tahun ke Sumatra. Aku bilang aku
disini pingen uang 2 juta buat nyusul sampean susah seneng ning
sumatera, tapi jawabnya dia “aku isih ngeboti wong tuoku”. Akhirnya
aku berangkat ke pengadilan rapak kan 4 bulan dia gak dateng.
Setelah selesai Pisah cerai, dia ngajak pulang aku ke rumah ya gak
bisa karena udah putusan cerai. Kalau mau balik harus nikah lagi tapi
dia malah udah nikah sama orang. Sejak itu dia gak pernah menafkahi
mungkin karena dia dah beristri, punya anak jadi perhatian teralihkan
apalagi anakku gak deket sama ayahnya. Lagian kalo Cuma kuli
bangunan mungkin kebutuhan buat keluarga dia juga kurang. jadi ya
gak ada bentuk tanggungjawab dari dia. Apalagi biaya pendidikan,
semua kebutuhan anak dibebankan ke aku”.
3) Informan Ririn
Informan Ririn juga menceritakan masalahnya mengenai
tanggung jawab mantan suami atas hak anaknya setelah mereka
bercerai. Ia mengungkapkan bahwa pada saat proses sidang mantan
suami tidak hadir, jadi ia tidak bisa menentukan biaya nafkah anak
yang harus dipenuhi setelah perceraian terjadi karena hak asuh anak
69
jatuh padanya. Selama itu mantan suami tidak pernah menafkahi,
hanya beberapa kali memberi susu dan uang jajan anak. Selebihnya
informan Ririn yang menanggung. Tetapi akhir-akhir ini mantan
suami memberikan uang, membelikan tas dan sepatu pada anak.
karena semua itu ada maksud, kata Ririn. Tidak ada bentuk tanggung
jawab dari mantan suami. Berikut penuturan infoeman Ririn :
“Selama proses sidang dia gak hadir, jadi hak asuh langsung jatuh ke
aku mbak, aku juga gak bisa nuntut biaya kebutuhan anak karna dia
gak ada waktu di persidangan itu. Selama ini dia gak pernah ngasih
nafkah, paling cuma ngasih susu sama uang jajan anak itu pun cuma
beberapa kali aja. Selebihnya ya aku sing nanggung mbak. Tapi
akhir-akhir ini dia kesini ngasih uang, waktu masuk sekolah
numbaske sepatu, numbaske tas mungkin karna dia punya maksud
pingen cari surat pindah, ganti KTP otomatis komunikasinya sama
sini. Kalau bentuk tanggung jawab selama ini sama sekali gak ada
mbak. sudah gak memerdulikan anaknya lagi”.
4) Informan Farid
Informan Farid bercerita mengenai pemberian nafkah pada
anaknya setelah ia bercerai dengan istrinya. Ia menjelaskan bahwa
selama ini ia masih menanggung semua kebutuhan anak dari mulai
pakaian, makanan dan pendidikan. Kecuali jika ia merasa tidak
mampu dengan permintaan anak maka ia ngomong terus terang sama
mantan istri. Berikut sedikit hasi wawancara dengan informan Farid :
“alhamdulillah untuk nafkah tidak ada kendala, karna selama ini aku
masih memenuhi kebutuhannya mbak. Tiap hari tiap saat masih
kontek-kontekan ma anak”.
70
BAB IV
ANALISIS HADHANAH DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DI
DESA SUMURREJO KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
A. Pola Asuh Anak dari Ibu Pekerja Setelah Bercerai yang ada di Desa
Sumurrejo
Pernikahan tidak selalu berjalan lurus terkadang justru berakhir dengan
perceraian. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai
benang kusut perjalanan bahterai rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak
selalu membawa kelegaan. Sebaliknya seringkali perceraian justru menambah
berkobarnya api perseteruan. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah
hak asuh anak.
Perceraian yang dialami orang tua dapat membawa dampak terhadap pola
asuh anak karena kurangnya perhatian dari orang tua setelah mengalami
perceraian. Ibu tidak hanya sebagai pendidik anak di rumah tetapi ibu juga
sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sebab di dalam keluarga
ibu berperan ganda menggantikan tugas ayah sebagai pencari nafkah untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pola asuh yang dilakukan setiap orang
tentu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan inilah yang mempengaruhi
perkembangan anak itu sendiri di dalam keluarga.
Pasca perceraian komunikasi orang tua dan anak cukup baik walaupun
ada beberapa informan dalam pengasuhan di ambil alih sama orang tuanya
(neneknya), hal tersebut di sampaikan oleh subyek informan Windi, Nurfiana
dan Ririn. Informan Farid yang menjelaskan kurangnya waktu bertemu sama
71
anak karena rasa khawatir yang dimiliki oleh mantan istrinya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa interaksi yang di bangun anak dan orang tua kurang
terjalin dengan baik. Tetapi dalam hal pendidikan informan Windi, Nurfiana
dan Ririn menjelaskan adanya penekanan dalam segi pendidikan untuk anak,
hal tersebut merupakan simbol bahwa dalam keluarga bercerai juga terdapat
pola asuh yang tidak memberikan kebebasan secara penuh tetapi masih
terdapat pengawasan dalam segi pendidikan.
Dalam pola asuh anak dari ibu pekerja setelah bercerai lebih pada
menerapkan pola asuh yang tidak ada batasnya tetapi apabila dalam pemilihan
suatu pendidikan tetap di sarankan. Yang mana hal tersebut dinyatakan oleh
subyek informan Windi, Nurfiana, dan Ririn. Dimana dalam hal ini orang tua
tetap memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi masih memberikan
kebebasan anak memilih sesuatu. Dan pola asuh ini tidak berdampak buruk
pada anak.
Tetapi terdapat salah satu informan yang menjelaskan bahwa mantan
istrinya menerapkan pola asuh yang cenderung menetapkan standar yang
mutlak harus di turuti, biasanya di barengi dengan ancaman. Pola pengasuhan
seperti ini akan berdampak buruk pada anak.
Untuk memperjelas analisa dari pola asuh anak yang diterapkan oleh ibu
pekerja setelah bercerai maka peneliti lengkapi dengan data tabel sebagai
berikut :
72
Tabel 9
Data Pola Asuh Anak dari Ibu Pekerja Setelah Bercerai
Informan Pola Asuh Dampak
Windi Diambil alih nenek Tidak ada/ seperti anak pada umumnya
Nurfiana Dibantu nenek
Tidak ada/ anak berprestasi dalam
akademik
Ririn Diasuh oleh nenek Tidak ada/ anak periang
Farid Diasuh ibu Pendiam, pemurung, mudah tersinggung
Sumber: Data yang diolah, 2017
Dari 4 informan yang peneliti wawancarai tentang pola asuh anak semua
sudah sesuai dengan UU No. 1 tentang Perkawinan pasal 42-45 di jelaskan
bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum
mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau
berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara
orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian.
Dari hasil wawancara yang peniliti lakukan kebanyakan mayarakat
mengalihkan pengasuhan anaknya pada ibunya (nenek) selagi di tinggal kerja
atau menikah lagi, praktek ini sejalan dengan KHI pasal 98 ayat 3 bahwa
pengadilan agama dapat menunjukkan salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.
Dari 4 informan tersebut ada salah satu yang belum sesuai dengan hukum
Islam yang terdapat di Kompilasi Hukum Islam pasal 105 ayat 2 yang
menjelaskan bahwa pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz di serahkan
pada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
73
pemeliharaannya. Tetapi disini yang dialami informan farid belum sesuai
dengan pasal tersebut karena pihak istri melarang anak ikut ayahnya
sedangkan anak sudah mencapai usia mumayyiz dan anak juga lebih nyaman
ikut ayahnya tapi semua itu tidak diijinkan oleh istri.
Dalam kajian fikih, pemeliharaan anak biasa di sebut dengan hadhanah
yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri.
Dari definisi di atas peneliti mencari tahu tentang Pola asuh anak yang
diterapkan oleh informan di Desa Sumurrejo ini. Dilihat dari pandangan fikih
rata-rata masyarakat sudah menerapkan pola asuh anak dengan benar yaitu
untuk pengasuhan anak yang belum mumayyiz jatuh di pangkuan ibu, karena
ibu memmpunyai sifat yang jarang dimiliki oleh bapak seperti ibu lebih sabar,
lebih welas dan kasih sayangnya lebih besar daripada bapak.
Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama
menyimpulkan kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah.
Karenanya urutan orang-orang yang berhak mengasuh anak sebagai barikut :
ibu, tetapi jika ada faktor yang membuatnya tidak layak didahulukan, maka
hak pengasuhan dialihkan kepada ibunya (nenek) dan seterusnya. Lalu jika
ada faktor yang menghalangi mereka didahulukan maka dialihkan kepada ibu
ayah (nenek).
Dari 4 informan di atas semuanya sudah sesuai dengan UUP, KHI
maupun Fikih dalam menerapkan pola asuh anak dari orang tua tunggal pasca
cerai.
74
B. Sejauh mana Kewajiban Orang Tua dalam Memenuhi Hak Anak Hingga
Batas Usia Dewasa Anak yang ada di Desa Sumurrejo
Perceraian selama ini seringkali menyisakan problem-problem, terutama
persoalan hak-hak anak yang mencakup seluruh hak yang melekat pada anak.
Dalam pemenuhan hak-hak anak masih terdapat sebagian besar orang tua
yang belum memenuhi hak-hak anak pasca perceraiannya. Seperti contoh
hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan yang menyatakan bahwa
pasca cerai suami sudah tidak lagi memenuhi hak-hak anak dan tidak ada
bentuk tanggung jawab dari mereka, tetapi ada salah satu informan yang
peneliti wawancarai yang masih memenuhi semua hak-hak anak walaupun
anak ikut mantan istri. Akibat perceraian terkadang hak-hak anak ada yang
dikesampingkan, terutama hak-hak pokok anak seperti biaya pemeliharaan,
pendidikan, tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Terlebih
lagi ketika orang tuanya sudah memiliki keluarga baru sehingga
memungkinkan berkurangnya waktu untuk memenuhi hak-haknya. Meskipun
orang tua tidak dalam satu keluarga akan tetapi persoalan hak-hak anak tetap
menjadi tanggung jawab orang tua dan tidak boleh dialihkan ke orang lain
selain orang tua.
Ada sebagian orang tua yang cenderung melalaikan tanggung jawabnya
dalam memenuhi hak-haknya, sehingga yang terjadi anak seringkali dititipkan
kepada keluarga terdekat ayah atau ibu.
Berikut peneliti sertakan data tabel dari informan tentang kewajiban orang
tua dalam memenuhi hak anak sampai batas usia dewasa anak yang ada di
Desa Sumurrejo yaitu sebagai berikut :
75
Tabel 10
Data kewajiban Orang tua dalam Memenuhi Hak Anak
Informan Penyebab tidak tanggung jawab Bentuk tanggung jawab
Windi Mantan suami akan menikah lagi _
Nurfiana
Mantan suami sudah mempunyai
keluarga baru _
Ririn
Mantan suami menghilang tanpa
kabar _
Farid _ Masih memenuhi hak anak
Sumber: data ysng diolah, 2017
Dari perkara tersebut jelas bahwa masih banyak mantan suami yang
belum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang
terdapat pada pasal 41 UU Perkawinan menentukan bahwa akibat putusnya
perkawinan suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada
anak-anaknya, ketentuan ini juga dipertegas oleh pasal 105 (c) KHI. Nafkah
yang dimintai oleh mantan istri kepada mantan suami untuk menafkahi
anaknya atau memenuhi kebutuhan anaknya setelah terjadinya perceraian
yang sesuai dengan kemampuan ayahnya.
Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja,
akan tetapi lebih berat lagi yaitu orang tua harus membina anaknya agar
menjadi orang yang berguna. Karena itu tidak benar jika salah satu orang tua
menganggap ia lebih berhak memelihara anak hanya dengan melihat
kemampuannya mencukupi kebutuhan anak dari segi materinya saja.
76
Dari 4 informan dari 3 diantaranya belum mendapatkan pemenuhan hak
anak dari suami atau mantan suami belum dapat memenuhi hak-hak anak
pada mestinya.
Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami
sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung
kewajiban ekonomi tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dari 4 informan tersebut
kebanyakan masyarakat belum sesuai dengan UU maupun fikih. Karena
masih banyak yang melalaikan akan hak-hak anaknya setelah orang tua
bercerai.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan penelitian yang telah diuraikan peneliti dari
bab I sampai dengan bab IV dengan judul HADHANAH DALAM
PERSPEKTIF MASYARAKAT (Studi di Desa Sumurrejo Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang) sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut ini :
1. Pola asuh anak dari ibu pekerja setelah bercerai
untuk pengasuhan anak yang belum mumayyiz anak jatuh di pangkuan
ibu, karena ibu mempunyai sifat yang jarang dimiliki oleh bapak seperti
ibu lebih sabar, lebih welas dan kasih sayangnya lebih besar daripada
bapak. Selain menjadi ibu rumah tangga, ibu juga harus mncari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan anak. Maka mantan
istri juga harus bekerja sehingga pengasuhan di ambil alih oleh ibunya
(neneknya) selagi ditinggal kerja. dari 4 informan 3 diantaranya
menerapkan pola asuh yang memberikan kebebasan terhadap anak, tetapi
masih ada pengawasan, cenderung lebih dapat memberikan pola asuh
yang baik, dengan memberikan pendapat dalam hal baik buruknya
sesuatu. Tanpa disadari bahwa itu merupakan kontrol orang tua terhadap
anak. Pola asuh ini tidak berdampak buruk bagi anak, malah sebaliknya.
Tetapi ada juga pola asuh yang cenderung harus dituruti, biasanya
dibarengi dengan ancaman-ancaman, pola asuh ini akan berdampak buruk
bagi anak.
78
2. Kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak sampai batas usia
dewasa anak yang ada di Desa Sumurrejo
Dari 4 informan 3 diantaranya tidak dipenuhi hak anak karena ada
beberapa alasan yang membuat mantan suami melalaikan kewajibannya
terhadap hak anak diantaranya yaitu sudah mempunyai keluarga baru,
akan menikah lagi, menghilang tanpa kabar dan tidak ada bentuk
tanggung jawab dari mantan suami. Tetapi dari 4 informan tersebut masih
ada yang memenuhi hak anak dengan bentuk tanggung jawabnya
membiayai kebutuhan anak sehari-hari termasuk biaya pendidikan
walaupun anak tidak tinggal bersamanya.
B. Saran
Setelah memperoleh hasil penelitian, maka ada beberapa saran atau
masukan yang di berikan peneliti untuk berbagai pihak yakni :
1. Kepada para orang tua yang bercerai diharapkan dapat memberikan
penjelasan mengenai kondisi keluarga yang sebenarnya agar anak bisa
mengerti dan bisa menjalin komunikasi yang baik kepada orang tuanya.
Merupakan tanggung jawab orang tua untuk dapat memberikan pola asuh
yang sesuai dengan karakter anak sehingga dapat meminimalisir adanya
sikap-sikap yang negatif.
2. Perlu adanya peraturan perundangan hak yang melaksanakan sanksi
hukuman bagi suami yang melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak
yang ditinggalkan yang diputuskan oleh pengadilan agama.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Manan. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana.
Ad-din, Badru. 2000. Al-inayah syarh al-hidayah Juz 5. Lebanon : Dar El-kutub
Al-„alamiyah.
Alam, Andi Syamsul dan Fauzan. 2008. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam. Jakarta: Kencana.
Al-Mawardi. 1999. Alhawi Alkabir Juz I. Beirut : Dar El-Kutub Alamiyah.
Al-Mawardi. Al-Iqna Fi Fiqh As-Syafi‟i Jilid 1.
Al-Qur‟an dan terjemah.
Al-Qurtubi Al-Baji Al-Andalusi. 1332H. Al-Muntahi Syarh Al-Muatha Juz 6.
Mesir: Mathba‟ah As-Sa‟adah.
Al-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fqh Al-Islami Wa Adillatuh Juz VII. Damaskus:
Daar Al-Fikr.
Amanda, Melyana Ilmi. 2010. Tinjauan Hukum Tentang Hadhanah (Hak Asuh
Anak) Akibat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Surakarta). Skripsi Fakultas Hukum UMS Surakarta.
Asmuni. 2008. Analisis Putusan Pengadilan Agama Demak Nomor
768/Pdt.G/2003/PA.Dmk. Tentang Hak Hadhanah Bagi Anak
yang belum Mumayiz. Skripsi Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang.
As-san‟ani, Imam Muhammad Ibnu Ismail. 1995. Subulus-Salam Juz III.
Surabaya: Al-Ikhlas.
Aulia, Nuansa (Ed). 2012. Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan,
Hadhonah. Bandung : CV Nuansa Aulia.
Ayyub, Syaikh Hasan. 2004. Fiqh Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-kautsar.
Ayyub, Syaikh Hasan. 2006. fiqh keluarga. Jakarta: Pustaka Al-kautsar.
Azamnur, Abdullah. 2017. Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Perspektif Hukum
Islam(Studi Putusan Nomor 0503/Pdt.G/2014/PA.YK). Skripsi
Jurusan Syari‟ah dan Hukum UIN Kalijaga Yogyakarta.
80
Basyir, Ahmad Azhar. 2014. Hukum Perkawinan Islam Cet ke 13. Yogyakarta:
UII Press.
Dahlan, Abdul Aziz. 1992. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeva.
Daniel, Moehar. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Departemen Agama RI. 1995. Al-qur‟an dan terjemahan, Semarang: Toha Putra.
Ghazali, Abdul Rahman. 2006. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana.
Grahamedia. 2015. Kitab Undang-Undang Hukum cet I. Grahamedia Press.
Ina. 2013. Pengertian Dokumen dan Dokumentasi (online).
http://inamayladin.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-dokumen-
dokumentasi.html.(Diakses 30 Maret 2018).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2007. Bandung: Citra Umbara.
Manan, Abdul. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Moleong, Lexy, M.A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PP
Remaja Rodaskarya Offset.
Monografi Penduduk Desa Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.
2017.
Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir. 1997. Kamus Arab Indonesia cet I.
Yogyakarta : Pustaka Progresif.
Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal Tariga. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: studi krisis perkembangan hukum islam dari fikih,
UU No 1/1974 sampai KHI cet III. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama. 1992.
PTA Surabaya.
Rahman, Abdul. 2010. Studi Komparatif antara Hadhanah Menurut Hukum Islam
dan Perwalian Menurut Hukum Perdata.
Saraswati, Peunoh. 2005. Perkawinan islam: suatu studi dalam kalangan
ahlussunnah dan negara-negara islam. Jakarta: bulan bintang.
Saraswati, Rika. 2009. Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditiya Bakti.
81
Sayyid, Sabiq. 1973. fiqh as-sunah jilid 2. Beirut-Lubhan : Dar Al Fikr.
Sayyid, Sabiq. 1983. fiqh as-sunah jilid II. Beirut : Dar Fikr.
Sayyid, Sabiq. 1983. Fiqh As-Sunnah jilid VIII. Terjemah Moh. Thalib, bandung:
Al-Ma‟arif.
Sayyid, Sabiq. 1986. Fiqh As-Sunah Cet ke 3, Bandung: PT Al Ma‟arif.
Sayyid, Sabiq. 2008. Fiqh As-sunah Jilid 2. Jakarta: Al-I‟tishom.
Soimin, Soedharyo. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika.
Suharsimi, Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Sunggono Bambang. 1997. Metode penelitian hukum :suatu pengantar cet ke 2.
PT Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2007. hukum perkawinan islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
UU Nomor 1 tahun 1974. Tentang Perkawinan
Uwaidah, Muhammad dan Syaikh Kamil Muhammad. 2004. Fiqh wanita.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Yanggo, Huzaimah Tahido. 2010. Fikih perempuan kontemporer, Jakarta: ghalia
indonesia.
Zein, Satria Effendi M. 2005. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.
Jakarta: Kencana.
Zainuddin, Ali. 2007. hukum perdata islam di indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
www.jejakpendidikan.com/2016/03/pengertian-hadhanah-hak-asuh-anak.html
(diakses pada rabu, 23 Mei 2018 pukul 09.40)
82
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Irin Sulistiyani
Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 15 Mei 1989
Fakultas/ Prodi : Syariah / Hukum Keluarga Islam
NIM : 212 14 009
Alamat : Karangsari Rt 04 RW 06, Sumurrejo, Gunungpati
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Orang tua : a. Ayah : Rusmanto
b. Ibu : Khariroh
No. Telp : 085 640 759 662
Riwayat Pendidikan : 1. TK Pertiwi Sumurgunung lulus tahun 1996
2. SDN 01/02 Sumurgunung lulus tahun 2002
3. MTs NU Ungaran lulus tahun 2004
4. SMA Takhasus Alqur‟an Wonosobo lulus tahun 2007
5. IAIN Salatiga lulus tahun 2019
Pengalaman Kerja : 1. Tenaga Pengajar di SDIT ISTIQOMAH Ungaran
Semarang, 29 Maret 2019
Penulis
83
84
85
86
87
88
89
90