h2s

4
H2S (Asam Sulfida/Hidrogen Sulfida) A. Asal H2S Di daerah pantai, delta dan estuarin seringkali dijumpai tanah-tanah masam (sulfat masam atau cat clay). Dalam kondisi tereduksi relatif kaya akan ferro disulfida atau pyrite (FeS2). Pyrite terbentuk dalam kondisi terreduksi, yaitu reduksi sulfat menjadi sulfida oleh bakteri Desulvovibrio desulturicans yang bereaksi dengan ion Fe2+ dalam larutan dan membentuk ferro sulfida (Fe-S) atau mackinawife, yang selanjutnya bereaksi dengan sulfur (S) dan menghasilkan FeS2 (ferro disulfida). Dalam ekosistem tambak, biogenesis H2S terutama berasal dekomposisi dari sisa-sisa pakan dan bahan organik lainnya (detritus, kotoran udang, dll) dalam zona anaerob. Bahan organik selain dapat menghasilkan ammonia, juga memproduksi asam sulfida/H2S. Di bawah kondisi anaerobik, bakteri heterotrof tertentu dapat menggunakan sulfat dan senyawa sulfur teroksidasi lainnya sebagai akseptor elektron akhir dalam proses metabolisme dan mengeluarkan sulfida, seperti yang digambarkan dibawah ini: SO42- + 8 H+ → S2- + 4 H2O Sulfida merupakan suatu produk ionisasi hidrogen sulfida (H2S) yang ada dalam reaksi kesetimbangan berikut : H2S ↔ HS- + H+ (1) HS- ↔ S2- + H+ (2) B. Indikator munculnya H2S dan Teknik Pengujian H2S merupakan gas beracun, tak berwarna dengan bau busuk yang khas serupa dengan bau telur busuk. Keberadaan H2S sering mudah terdeteksi dari bau busuknya. H2S biasanya dapat dideteksi dari lumpur dasar yang berwarna hitam dan berbau belerang. Teknik analisa pengujian H2S adalah mengukur total sulfida, yang meliputi hidrogen sulfida tak terionisasi (H2S), sulfida terionisasi (HS- dan S2-), dan asam sulfida metalik terlarut yang ada dalam bahan tersuspensi. Ada banyak cara dan alat untuk pengujian H2S, diantaranya metode iodometrik dan kolorimetrik. Metode iodometrik dengan oksidasi sulfida menjadi sulfur oleh iodine. Prosedur ini akurat untuk pengukuran sulfida diatas 0,5 mg/liter sulfida, tetapi ada kemungkinan terganggu oleh penurunan bahan tertentu yang bereaksi dengan iodine. Metode metilen blue kolorimetrik, berdasarkan pada reaksi sulfida, ferric chlorida dan dimetil-p-fenilendiamin untuk menghasilkan metilen blue, merupakan metode yang sensitif untuk konsentrasi hidrogen sulfida yang lebih rendah daripada metode iodometrik. Metode ini jauh lebih sulit dari teknik iodometrik. C. Daya Racun H2S dan Pengaruhnya Hidrogen sulfida (H2S) tak-terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik, tetapi bentuk yang terionisasi bersifat tak toksik (seperti halnya

Upload: eli-nira

Post on 08-Aug-2015

105 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: H2S

H2S (Asam Sulfida/Hidrogen Sulfida)

A. Asal H2SDi daerah pantai, delta dan estuarin seringkali dijumpai tanah-tanah masam (sulfat masam atau cat clay). Dalam kondisi tereduksi relatif kaya akan ferro disulfida atau pyrite (FeS2). Pyrite terbentuk dalam kondisi terreduksi, yaitu reduksi sulfat menjadi sulfida oleh bakteri Desulvovibrio desulturicans yang bereaksi dengan ion Fe2+ dalam larutan dan membentuk ferro sulfida (Fe-S) atau mackinawife, yang selanjutnya bereaksi dengan sulfur (S) dan menghasilkan FeS2 (ferro disulfida). Dalam ekosistem tambak, biogenesis H2S terutama berasal dekomposisi dari sisa-sisa pakan dan bahan organik lainnya (detritus, kotoran udang, dll) dalam zona anaerob. Bahan organik selain dapat menghasilkan ammonia, juga memproduksi asam sulfida/H2S. Di bawah kondisi anaerobik, bakteri heterotrof tertentu dapat menggunakan sulfat dan senyawa sulfur teroksidasi lainnya sebagai akseptor elektron akhir dalam proses metabolisme dan mengeluarkan sulfida, seperti yang digambarkan dibawah ini:

SO42- + 8 H+ → S2- + 4 H2O

Sulfida merupakan suatu produk ionisasi hidrogen sulfida (H2S) yang ada dalam reaksi kesetimbangan berikut :H2S ↔ HS- + H+ (1)HS- ↔ S2- + H+ (2)

B. Indikator munculnya H2S dan Teknik PengujianH2S merupakan gas beracun, tak berwarna dengan bau busuk yang khas serupa dengan bau telur busuk. Keberadaan H2S sering mudah terdeteksi dari bau busuknya. H2S biasanya dapat dideteksi dari lumpur dasar yang berwarna hitam dan berbau belerang. Teknik analisa pengujian H2S adalah mengukur total sulfida, yang meliputi hidrogen sulfida tak terionisasi (H2S), sulfida terionisasi (HS- dan S2-), dan asam sulfida metalik terlarut yang ada dalam bahan tersuspensi. Ada banyak cara dan alat untuk pengujian H2S, diantaranya metode iodometrik dan kolorimetrik. Metode iodometrik dengan oksidasi sulfida menjadi sulfur oleh iodine. Prosedur ini akurat untuk pengukuran sulfida diatas 0,5 mg/liter sulfida, tetapi ada kemungkinan terganggu oleh penurunan bahan tertentu yang bereaksi dengan iodine. Metode metilen blue kolorimetrik, berdasarkan pada reaksi sulfida, ferric chlorida dan dimetil-p-fenilendiamin untuk menghasilkan metilen blue, merupakan metode yang sensitif untuk konsentrasi hidrogen sulfida yang lebih rendah daripada metode iodometrik. Metode ini jauh lebih sulit dari teknik iodometrik.

C. Daya Racun H2S dan PengaruhnyaHidrogen sulfida (H2S) tak-terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik, tetapi bentuk yang terionisasi bersifat tak toksik (seperti halnya ammonia). H2S bersifat toksik dengan konsentrasi yang sangat rendah (0,01 – 0,05 mg/L) pada hewan akuatik, termasuk udang bisa bersifat letal (Boyd, 1992). Udang bisa keracunan (kehilangan keseimbangan) pada konsentrasi H2S 0,1 – 0,2 ppm dan pada konsentrasi 0,25 mg/L kematian massal biasa terjadi. Menurut Peter Van Wyk (dalam manual HBOI), sebaiknya konsentrasi H2S < 0,002 ppm dan menurut BPAP – Situbondo, konsentrasi H2S < 0,003 ppm. Bahaya akumulasi H2S hingga dapat bersifat toksis semakin meningkat seiring berjalannya waktu, terutama pada kolam atau bak yang banyak sisa pakan dan akumulasi senyawa organik, atau dengan kata lain, lumpur hitam dalam kondisi anaerob tidak serta-merta terbentuk, namun terus terakumulasi dan akhirnya berubah menjadi warna hitam jika dibiarkan. Konsekuensinya adalah penanganan senyawa tsb perlu diintensifkan. Pengaruh H2S adalah memperlambat pertumbuhan dan akhirnya mematikan udang jika konsentrasinya tinggi.

Page 2: H2S

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas H2SToksisitas H2S sangat dipengaruhi oleh pH, suhu dan kelarutan oksigen dalam air. pH sangat berperan dalam kesetimbangan reaksi (1 dan 2) -- distribusi total sulfida dalam berbagai bentuknya (H2S, HS- dan S2- ). Pada pH rendah, H2S dominan (reaksi bergeser kekiri) dan udang keracunan H2S karena H2S lebih beracun dari HS- .tabel h2s modif.JPGBerdasar dari tabel diatas (sengaja saya buat kisaran suhu dan DO yang umum di budidaya), prosentase H2S semakin meningkat dengan penurunan pH dan penurunan suhu, namun penurunan pH lebih berpengaruh dibandingkan penurunan suhu. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan akuatik. Suhu air berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen, tetapi berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan akuatik dan laju reaksi kimia dalam air. Semakin tinggi suhu, kelarutan oksigen semakin menurun dan laju konsumsi oksigen udang juga semakin tinggi. Pada konsentrasi oksigen terlarut tinggi, H2S dioksidasi menjadi H2SO4. Dengan demikian, toksisitas H2S semakin tinggi dengan meningkatnya suhu dan penurunan pH di bawah 8. Proses percepatan pelepasan H2S pada tambak dapat terjadi karena adanya turbasi gangguan pada dasar tambak. Oleh karena itu, jika dilakukan penyiponan atau penyedotan dasar kolam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.

Untuk mendapatkan konsentrasi H2S tak-terionisasi, dapat dihitung dari prosentase H2S dari tabel 1, dengan pH dan suhu pada saat dan tempat yang sama dengan pengambilan sampel air, sbb:

H2S tak-terionisasi = Total sulfida x F/100Dimana F : Prosentase H2S tak-terionisasi sesuai pH dan suhu (Tabel 1)

E. Antisipasi dan Cara PenanggulanganSejumlah senyawa toksis (ammonia, nitrit dan hydrogen sulfida) yang terdapat pada ekosistem tambak merupakan hasil metabolisme (oksidasi dan reduksi). Kunci utama dalam pengendalian senyawa toksis tsb adalah pemahaman proses biogenesis dan kondisi lingkungan yang menyebabkan pembentukan senyawa tsb. Secara garis besar dalam ekosistem tambak terdapat zona aerobic dan anaerobic. Ammonia dan nitrit umumnya terbentuk pada zona aerobic, sedang H2S akan terbentuk pada zona anaerobic. Oleh karena itu, penanggulangannya dapat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan mikroba yang berperan dalam penguraian senyawa tsb, antara lain memberikan mikroba probiotik secara berkala untuk mempertahankan populasinya. Karena H2S terbentuk dalam kondisi anaerob, langkah antisipasif utama adalah mempertahankan kondisi dasar tambak aerob dengan pengaerasian yang memadai, dalam hal ini jumlah dan utamanya posisi kincir yang tepat, sehingga bisa menyapu dasar tambak untuk mencegah biogenesis H2S. aerasi sangat membantu menciptakan suasana aerobic di dasar tambak. Selain itu, aerasi juga membantu mempertahankan konsentrasi oksigen terlarut tetap tinggi, sehingga H2S dioksidasi menjadi H2SO4. pengerikan tanah dasar waktu persiapan (untuk kolam tanah) juga merupakan cara baik untuk menghilangkan pengaruh H2S.Upaya menanggulangi H2S, selain sirkulasi air dan aplikasi kapur untuk meningkatkan pH air, dapat dilakukan dengan memanfaatkan bakteri pengoksidasi sulfur yang berfotosintesa yang bersifat obligat anaerob (green dan purple photosynthetic bacteria), antara lain Rhodococcus sp, Rhodobacter sp, Chromatium sp dll. Fotosintesa oleh bakteri sulfur tsb disebut fotosintesa anoksigenik, yaitu fotosintesa yang tidak menghasilkan oksigen (H2S bertindak sebagai H-donor), dengan reaksi sbb:

Page 3: H2S

6 CO2 + 6 H2S ---------→ C6H12O 6 + 6 H2O + 6 SBiogeokimia siklus sulfur:

1. Sulfur oxidation (S → SO32- → SO42- ) : aerobic (bakteri Chemolithotrophs: Thiobacillus, Beggiotoa); anaerobic (green dan purple photoautotrophs)

2. Assimilatory sulfate reduction (SO42- → organic S)

3. Desulfurylation (organic S decomposition → H2 S &nbsp4. H2S oxidation (H2 S → S) : Aerobic: Thiobacillus, Beggiota (Chemolithotrophs),

Anaerobic: Chlorobium, Chromatium, Rhodobacter

Senyawa toksis umumnya banyak terdapat di dasar tambak, terutama H2 S sehingga pemilihan probiotik dan teknik aplikasi diarahkan agar probiotik tsb dapat mencapai dasar tambak dan tersebar merata dalam kolam. Biasanya aplikasinya dicampur dengan zeolit sebagai water conditioner. Zeolit secara perlahan akan mengendap ke dasar tambak dengan membawa mikroba probiotik.

F. H2 S dalam Sistem FlocDalam sebagian besar system budidaya, kandungan oksigen di air lebih dipengaruhi oleh aktifitas alga dan bakteri daripada species budidayanya (udang). Dalam system heterotrof/floc dimana dilakukan pembatasan atau tanpa ganti air, akan mengakibatkan terjadi akumulasi bahan organic dan bakteri yang tinggi. Akibatnya, BOD meningkat dan karenanya laju aerasi ditingkatkan. Telah disebutkan diatas bahwa bahan organik selain dapat menghasilkan ammonia, juga memproduksi asam sulfida (H2S), sehingga dalam system ini lebih rawan menimbulkan senyawa toksik tsb. Apalagi ada bakteri heterotrof tertentu yang dapat menggunakan sulfat dan senyawa sulfur teroksidasi lainnya sebagai akseptor elektron akhir dalam proses metabolisme dan mengeluarkan sulfide dalam kondisi anaerob. Oleh karena perlu manajemen yang hati-hati, namun tampaknya kuncinya ada di water mixing/pengadukan.Disamping oksigenasi, aerator harus mampu menciptakan pengadukan yang cukup untuk mencegah zone sedimentasi anaerob, yang menghasilkan produk buangan toksik, H2S dan metana. Hal ini sangat penting dalam system air laut, dimana kelimpahan sulfat mendukung produksi H2S dibawah kondisi anaerob. Oleh karena itu, pengaerasian/pengadukan merupakan salah satu kunci suksesnya. Dalam sistem ini, bahaya sekali jika tercipta kondisi anaerob (karena muatan organik tinggi) dan akhirnya muncul H2S, karena biasanya dalam sistem tsb pH air cenderung menurun yang semakin meningkatkan toksisitas H2S. Oleh karena itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sistem floc ini untuk mencegah munculnya H2S, diantaranya:

pengaerasian kolam untuk memberikan gerakan air yang cukup untuk menjaga ss dan menopang level oksigen (harus diperhitungkan jumlah dan posisi kincir) selama pemeliharaan

menjaga seluruh dasar kolam dalam kondisi aerobik pembuangan kotoran organic secara periodik di titik akumulasi/central drain penyiponan dasar aplikasi kapur untuk menjaga pH dan alkalinitas aplikasi produk untuk menetralisir sulfida (aquaculture pond stabilizer, bakteri

sulfur, Thiobacillus dll) mengurangi densitas floc jika terlalu pekat untuk meringankan aerator dengan

pengenceran/pengurangan pakan harus diback-up dengan maintenance (kincir, genset/listrik) yang kuat, sehingga

akan mengeliminir masalah terkait loss power, kerusakan kincir dll