gunawan maryanto selasa, 25 november 2014 pukul 19.30 wib...

46
Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto Selasa, 25 November 2014 Pukul 19.30 WIB-selesai Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur Pembahas: Badrul Munir Chair (Sastrawan) Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) MC dan Moderator: Farhana Aulia

Upload: vanthu

Post on 14-Jun-2019

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto

Selasa, 25 November 2014Pukul 19.30 WIB-selesai

Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:Badrul Munir Chair (Sastrawan)

Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator: Farhana Aulia

DISKUSI SASTRAPKKH UGM

Diselenggarakan oleh

Banowati Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto

i

Selasa, 25 November 2014Pukul 19.30 WIB-selesai

Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Penyair:Gunawan Maryanto

Pembahas:Badrul Munir Chair (Sastrawan)

Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator: Farhana Aulia

DISKUSI SASTRAPKKH UGM

Diselenggarakan oleh

Banowati Puisi-puisi karya Gunawan Maryanto

i

Selasa, 25 November 2014Pukul 19.30 WIB-selesai

Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Penyair:Gunawan Maryanto

Pembahas:Badrul Munir Chair (Sastrawan)

Sari Fitria (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator: Farhana Aulia

ii

Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUR

Email: [email protected]: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)

Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi HardjasoemantriTwitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGMAcara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau

persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai

perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal

dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

BanowatiOleh: Gunawan Maryanto

Halaman 1 - 13

Tragika Percintaan, Kontramitos, danKesadaran

Penyair sebagai Dalang;Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan

MaryantoOleh: Badrul Munir Chair

Halaman 14 - 24

Wan(ita) dalam Puisi-Puisi WayangGunawan Maryanto

Oleh Sari FitriaHalaman 25 - 31

Halaman 32- 38

Surtikanti Gunawan Maryanto:Pancingan Diskusi Sastra PKKH

Oleh Faruk HT

DAFTAR ISI

iii

ii

Sekretariat:

PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUR

Email: [email protected]: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB)

Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi HardjasoemantriTwitter: @PKKH_UGM

DISKUSI SASTRA PKKH UGMAcara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau

persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai

perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal

dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)

BanowatiOleh: Gunawan Maryanto

Halaman 1 - 13

Tragika Percintaan, Kontramitos, danKesadaran

Penyair sebagai Dalang;Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan

MaryantoOleh: Badrul Munir Chair

Halaman 14 - 24

Wan(ita) dalam Puisi-Puisi WayangGunawan Maryanto

Oleh Sari FitriaHalaman 25 - 31

Halaman 32- 38

Surtikanti Gunawan Maryanto:Pancingan Diskusi Sastra PKKH

Oleh Faruk HT

DAFTAR ISI

iii

Banowatikarya Gunawan Maryanto

1

Banowati

bahkan tuhan pun lupa:kenapa aku mencintaimu

aku lupa:ini cinta atau alpaini cinta atau apa

tapi kau telah mengodakusemenjak kali pertama melintas di ruang rias melintas, sebenarnya mengeras

lalu tinggal lagu-lagu senjamengekalkan pagi-pagi hastina

kita pernah melewatinya, bukan hanya lupa; kapan

cinta, atau suka, berkembang layaknya ilalang membelukar hingga luar pagar pagar rumahmulalu jalan kecil yang memanggil-manggilkecil, seperti cinta, hanya pas buat berdua

2

ya, kita bukan tukang kebun yang awas dengan warna daun-daun tahu-tahu: sudah bertahun-tahun

perang besar telah lewatmenghancurkan rumahmu —seluruh kesepianmu —seluruh yang pernah kaumilikiwajah dan suaramu segera menualayaknya logam berkaratmemberat—kau belum setua itu, kau tahukau hanya terlalu lama mencinta orang yang tak kaucinta

aku ingin mengajakmu duduk di sebuah malambercakap banyak hal sambil menikmati angin memain-mainkan rambut ikalmu yang tak tebaltapi batok kepalamu tak berisi apa-apahanya prasangkaperasaan-perasaan berlebihan

bagaimana aku bisa membuatmu bahagiaaku bahkan tak bisa membuatmu ketawa—satu-satunya yang mungkin kulakukan —satu-satunya hal yang kuinginkan kaulakukan

Banowatikarya Gunawan Maryanto

1

Banowati

bahkan tuhan pun lupa:kenapa aku mencintaimu

aku lupa:ini cinta atau alpaini cinta atau apa

tapi kau telah mengodakusemenjak kali pertama melintas di ruang rias melintas, sebenarnya mengeras

lalu tinggal lagu-lagu senjamengekalkan pagi-pagi hastina

kita pernah melewatinya, bukan hanya lupa; kapan

cinta, atau suka, berkembang layaknya ilalang membelukar hingga luar pagar pagar rumahmulalu jalan kecil yang memanggil-manggilkecil, seperti cinta, hanya pas buat berdua

2

ya, kita bukan tukang kebun yang awas dengan warna daun-daun tahu-tahu: sudah bertahun-tahun

perang besar telah lewatmenghancurkan rumahmu —seluruh kesepianmu —seluruh yang pernah kaumilikiwajah dan suaramu segera menualayaknya logam berkaratmemberat—kau belum setua itu, kau tahukau hanya terlalu lama mencinta orang yang tak kaucinta

aku ingin mengajakmu duduk di sebuah malambercakap banyak hal sambil menikmati angin memain-mainkan rambut ikalmu yang tak tebaltapi batok kepalamu tak berisi apa-apahanya prasangkaperasaan-perasaan berlebihan

bagaimana aku bisa membuatmu bahagiaaku bahkan tak bisa membuatmu ketawa—satu-satunya yang mungkin kulakukan —satu-satunya hal yang kuinginkan kaulakukan

3

aku benar-benar tak tahubagaimana harus mengakhiri ini

selain dengan meninggalkanmusendiri malam ini

tapi jelas aku tak bisa bertahandengan seluruh ledakan-ledakan kemarahan dan keputusasaan—aku tak ingin tubuhku kering dan berkeping-

kepingsetelah seluruh penyamaran dan pertempuran yang melelahkan dan menghabiskan

seluruh tanya-jawab kita berhenti sebagai upayamembangun hubungan yang banal dan mokaltanya-jawab kita sekadar menunggu senjadengan lintasan-lintasan burung yang tak pernah kekal

surem-surem dewangkara kingkinlir manuswa kang layon ilang sirna denya memaniseooo

suramnya matahari yang berdukaseperti manusia matihilang sudah keindahannyaooo

4

tapi kau terlanjur menggodakubau tubuhmu telah melekat di paru-parukumenjelma radang di malam-malam panjangbagaimana bisa aku meninggalkanmu—dalam keadaan seperti itu

bagaimana aku bisa meninggalkanmu—dalam kesedihan serupa itu

bahkan tuhan pun lupa:kenapa aku mencintaimu

Jogjakarta, 2008

3

aku benar-benar tak tahubagaimana harus mengakhiri ini

selain dengan meninggalkanmusendiri malam ini

tapi jelas aku tak bisa bertahandengan seluruh ledakan-ledakan kemarahan dan keputusasaan—aku tak ingin tubuhku kering dan berkeping-

kepingsetelah seluruh penyamaran dan pertempuran yang melelahkan dan menghabiskan

seluruh tanya-jawab kita berhenti sebagai upayamembangun hubungan yang banal dan mokaltanya-jawab kita sekadar menunggu senjadengan lintasan-lintasan burung yang tak pernah kekal

surem-surem dewangkara kingkinlir manuswa kang layon ilang sirna denya memaniseooo

suramnya matahari yang berdukaseperti manusia matihilang sudah keindahannyaooo

4

tapi kau terlanjur menggodakubau tubuhmu telah melekat di paru-parukumenjelma radang di malam-malam panjangbagaimana bisa aku meninggalkanmu—dalam keadaan seperti itu

bagaimana aku bisa meninggalkanmu—dalam kesedihan serupa itu

bahkan tuhan pun lupa:kenapa aku mencintaimu

Jogjakarta, 2008

6

Surtikanti

di malam pengantindua lelaki berkejaran sepanjang tubuhku sepanjang malam berlarian di kancing baju, cincin, giwang, liontin, dan jam tangan tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku: lelaki dengan benih matahari di kedua matanya, dengan deras sungai gangga dalam jantungnya, yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandarakabiarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihku dari anjing jaga dan peronda

Jogjakarta, 2008

5

Aswatama

dalam tubuhku tinggal seekor kuda liarserta jurang lebaryang tak bisa kauseberangi dengan nalarjuga cinta yang tiba-tibaspontan dan tanpa pilihan

di luar diriku adalah terowongan panjangdan di belakang; cahaya benderangdari kemaluan seorang perempuan telanjang

dan kini aku berjalan di bawah kematiandi bawah kekalahan sebuah bangsaselama-lamanyasetelah terpaksa kulesakkan senjatadi kandungan seorang perempuan

kini aku hanya seekor coprinaebersembunyi dalam tahimu

Jogjakarta, 2008

6

Surtikanti

di malam pengantindua lelaki berkejaran sepanjang tubuhku sepanjang malam berlarian di kancing baju, cincin, giwang, liontin, dan jam tangan tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku: lelaki dengan benih matahari di kedua matanya, dengan deras sungai gangga dalam jantungnya, yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandarakabiarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihku dari anjing jaga dan peronda

Jogjakarta, 2008

5

Aswatama

dalam tubuhku tinggal seekor kuda liarserta jurang lebaryang tak bisa kauseberangi dengan nalarjuga cinta yang tiba-tibaspontan dan tanpa pilihan

di luar diriku adalah terowongan panjangdan di belakang; cahaya benderangdari kemaluan seorang perempuan telanjang

dan kini aku berjalan di bawah kematiandi bawah kekalahan sebuah bangsaselama-lamanyasetelah terpaksa kulesakkan senjatadi kandungan seorang perempuan

kini aku hanya seekor coprinaebersembunyi dalam tahimu

Jogjakarta, 2008

8

Mustakaweni

ia memutuskan menyamar menjadi lelaki—dengan sayap tumbuh di punggungnyatak lupa ia pasang bintang di dadanyamenutup sepasang payudara yang menggoda

sebelum berangkat ia berkaca mematut tubuhdan menyadari kumis belumlah tumbuhdi atas bibirnya yang merah jambu

tergesa ia oleskan minyak kelapapada belati dan dibakarnya menjadi jelaga

kini kumis yang tebal hitam berkilatsudah melintang dengan garangdi atas bibirnya yang merah jambu

saatnya terbang membalas seluruh kehilanganmenang atau kalah biarlah dalang yang mengabarkania hanya perlu menjaga agar kumisnya tak luntur oleh hujan

Jogja, 2012

7

Adaninggar

seberapa kuat kau menolak cintaku—yang membuatku terbang melayangmelintasi laut dan misterinya

kecantikan macam apa yang kaubutuhkansaat sudah kupasrahkan seluruh tubuhkupada perjalanan dan setiap kemungkinanbernama dirimu

selendangku adalah pusakaku: talikentularia sanggup mengikatmujuga menjerat leherku

dalam kabut yang terbuat dari nafasmu,aku tak tahu lagi saat yang tepatuntuk berhenti mencintaimu

jadi seberapa kuat kau menolak cintakusebesar itulah cintaku kepadamu

Jogja, 2012

8

Mustakaweni

ia memutuskan menyamar menjadi lelaki—dengan sayap tumbuh di punggungnyatak lupa ia pasang bintang di dadanyamenutup sepasang payudara yang menggoda

sebelum berangkat ia berkaca mematut tubuhdan menyadari kumis belumlah tumbuhdi atas bibirnya yang merah jambu

tergesa ia oleskan minyak kelapapada belati dan dibakarnya menjadi jelaga

kini kumis yang tebal hitam berkilatsudah melintang dengan garangdi atas bibirnya yang merah jambu

saatnya terbang membalas seluruh kehilanganmenang atau kalah biarlah dalang yang mengabarkania hanya perlu menjaga agar kumisnya tak luntur oleh hujan

Jogja, 2012

7

Adaninggar

seberapa kuat kau menolak cintaku—yang membuatku terbang melayangmelintasi laut dan misterinya

kecantikan macam apa yang kaubutuhkansaat sudah kupasrahkan seluruh tubuhkupada perjalanan dan setiap kemungkinanbernama dirimu

selendangku adalah pusakaku: talikentularia sanggup mengikatmujuga menjerat leherku

dalam kabut yang terbuat dari nafasmu,aku tak tahu lagi saat yang tepatuntuk berhenti mencintaimu

jadi seberapa kuat kau menolak cintakusebesar itulah cintaku kepadamu

Jogja, 2012

9

Balada Alli

Hai, kau yang menyamar sebagai ular, aku AlliNaiklah ke peraduanku. Malam ini aku berahi

Hari kemarin kau Putri ChengamalamRindu yang kupuja sepanjang demamDan lantas kita berlarian di dalam hutanBerburu kijang dan kasih sayang

Di sebuah lelah, di punggung trembesikausandarkan tubuhmupada tubuhku yang sepiTak bisa kaudengar apapun di sana

Dan pelan kaulepas cincin di jari maniskubersama kisah-kisah Pandawayang kautembangkan berulang-ulangseperti gendewa terentangHingga Arjuna bangun dari tubuhmuDan bayang Wrahatnala menari lagiDi alun-alun Wirata

Hampir aku jatuh, ArjunaDalam pelukan tubuh perempuanmuTapi Alli tak bisa jatuh. Tak sanggup jatuhIa adalah batu dari Madurai—pernah membunuh anak burung gagak

10

Sebagai ular sebagai perempuanmungkin kau bisa bercinta dengankuTapi sebagai lelaki tunggu duluKemarahanku lebih besar dari kesaktianmu

Tapi Tali ini—benang kuning di lehertelah merampungkan baladakuPulandaran lahir tanpa persetubuhanDan Alli tinggal kenanganKenangan yang ingin kulupakan

Dan kisah perempuan yang lahir di rekahan bunga lotus ituSelesai sudah. Harus selesai.

Jogja, 2013

9

Balada Alli

Hai, kau yang menyamar sebagai ular, aku AlliNaiklah ke peraduanku. Malam ini aku berahi

Hari kemarin kau Putri ChengamalamRindu yang kupuja sepanjang demamDan lantas kita berlarian di dalam hutanBerburu kijang dan kasih sayang

Di sebuah lelah, di punggung trembesikausandarkan tubuhmupada tubuhku yang sepiTak bisa kaudengar apapun di sana

Dan pelan kaulepas cincin di jari maniskubersama kisah-kisah Pandawayang kautembangkan berulang-ulangseperti gendewa terentangHingga Arjuna bangun dari tubuhmuDan bayang Wrahatnala menari lagiDi alun-alun Wirata

Hampir aku jatuh, ArjunaDalam pelukan tubuh perempuanmuTapi Alli tak bisa jatuh. Tak sanggup jatuhIa adalah batu dari Madurai—pernah membunuh anak burung gagak

10

Sebagai ular sebagai perempuanmungkin kau bisa bercinta dengankuTapi sebagai lelaki tunggu duluKemarahanku lebih besar dari kesaktianmu

Tapi Tali ini—benang kuning di lehertelah merampungkan baladakuPulandaran lahir tanpa persetubuhanDan Alli tinggal kenanganKenangan yang ingin kulupakan

Dan kisah perempuan yang lahir di rekahan bunga lotus ituSelesai sudah. Harus selesai.

Jogja, 2013

11

Satyawati

Di dalam kabut ini, Palasara, renggut akuHabisi amis tubuhku sesuai janjimuLalu pergilah. Biarkan sepi Yamuna Dan wangi tubuhku yang tersisaDari persetubuhan kita

Sebab aku anak pungut seorang nelayanKama yang jatuh di mulut seekor ikan

Di dalam kabut yang terbuat dari nafasmuDi atas sampan yang terbuat dari tubuhkuKita susuri Bengawan Yamuna sekali saja

Jogja, 2013

12

Amba

Aku kalung teratai yang tergantung di gagang pintuMenunggumu mengenakanku pada sebuah perangSeparuh diriku yang lain adalah sungai kering berbatuYang sesekali saja tergenang jika hujan datang

Tapi sebut saja aku hantu,Kemarahan yang tak padam,Atau cinta yang gagal

Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh deritakuTak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi gelanggangKenakan aku di lehermu. Maka ia akan menerimamuSeperti sebuah kereta yang menjemputnya pulang

Jogja, 2013

11

Satyawati

Di dalam kabut ini, Palasara, renggut akuHabisi amis tubuhku sesuai janjimuLalu pergilah. Biarkan sepi Yamuna Dan wangi tubuhku yang tersisaDari persetubuhan kita

Sebab aku anak pungut seorang nelayanKama yang jatuh di mulut seekor ikan

Di dalam kabut yang terbuat dari nafasmuDi atas sampan yang terbuat dari tubuhkuKita susuri Bengawan Yamuna sekali saja

Jogja, 2013

12

Amba

Aku kalung teratai yang tergantung di gagang pintuMenunggumu mengenakanku pada sebuah perangSeparuh diriku yang lain adalah sungai kering berbatuYang sesekali saja tergenang jika hujan datang

Tapi sebut saja aku hantu,Kemarahan yang tak padam,Atau cinta yang gagal

Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh deritakuTak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi gelanggangKenakan aku di lehermu. Maka ia akan menerimamuSeperti sebuah kereta yang menjemputnya pulang

Jogja, 2013

13

Sumbadra

Kularung cintamu!Maka perempuan itu berlariMenghunjamkan diri pada sepi yang tegak berdiri layaknya sebuah belatiLalu sungai menerima tubuh—tongkang kosong rapuh Membawanya pergi jauhsejauh-jauhnya darimu

Dan kalaupun kini ia hidup lagiDuduk diam di sebuah tempatMenyaksikanmu yang terus menaridengan baju pengantin hingga tamat: ia bukan siapa-siapa

Jogja, 2014

14

Tragika Percintaan, Kontramitos, dan Kesadaran Penyair sebagai Dalang;Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan MaryantoOleh: Badrul Munir Chair*

/1/Northrop Fyre, dalam Anatomy of Criticism (1973) mengemukakan bahwa: mitos-mitos yang tumbuh dalam suatu masyarakat akan mempengaruhi karya sastra masyarakat tersebut, kesusastraan bersumber pada mitos-mitos, dan karya sastra yang terdapat dalam suatu masyarakat bisa dicari rujukannya dari mitos-mitos di masa lampau. Pemaparan Fyre tersebut eksplisit dalam puisi-puisi wayang Gunawan Maryanto. Gunawan tak sekadar terpengaruh dengan mitos-mitos seputar wayang, namun secara sadar puisi-puisi wayang Gunawan merujuk lakon-lakon dan tokoh-tokoh dunia pewayangan.

Di tengah kecenderungan masyarakat modern yang selalu berusaha merasionalkan mitos dan bahkan membuang jauh mitos sebab dianggap kontradiktif dengan sains, Gunawan justru berupaya merawat mitos-mitos yang lekat dengan kesehariannya. Karya-karya penulis kelahiran Yogyakarta pada 10

13

Sumbadra

Kularung cintamu!Maka perempuan itu berlariMenghunjamkan diri pada sepi yang tegak berdiri layaknya sebuah belatiLalu sungai menerima tubuh—tongkang kosong rapuh Membawanya pergi jauhsejauh-jauhnya darimu

Dan kalaupun kini ia hidup lagiDuduk diam di sebuah tempatMenyaksikanmu yang terus menaridengan baju pengantin hingga tamat: ia bukan siapa-siapa

Jogja, 2014

14

Tragika Percintaan, Kontramitos, dan Kesadaran Penyair sebagai Dalang;Membaca Puisi-puisi Wayang Gunawan MaryantoOleh: Badrul Munir Chair*

/1/Northrop Fyre, dalam Anatomy of Criticism (1973) mengemukakan bahwa: mitos-mitos yang tumbuh dalam suatu masyarakat akan mempengaruhi karya sastra masyarakat tersebut, kesusastraan bersumber pada mitos-mitos, dan karya sastra yang terdapat dalam suatu masyarakat bisa dicari rujukannya dari mitos-mitos di masa lampau. Pemaparan Fyre tersebut eksplisit dalam puisi-puisi wayang Gunawan Maryanto. Gunawan tak sekadar terpengaruh dengan mitos-mitos seputar wayang, namun secara sadar puisi-puisi wayang Gunawan merujuk lakon-lakon dan tokoh-tokoh dunia pewayangan.

Di tengah kecenderungan masyarakat modern yang selalu berusaha merasionalkan mitos dan bahkan membuang jauh mitos sebab dianggap kontradiktif dengan sains, Gunawan justru berupaya merawat mitos-mitos yang lekat dengan kesehariannya. Karya-karya penulis kelahiran Yogyakarta pada 10

15

April 1976 ini secara dominan merupakan interpretasi terhadap mitos-mitos yang bersumber dari khazanah kebudayaan dari mana ia berasal. Dalam kumpulan cerpennya Bon Suwung (2005) dan Galigi (2007) misalnya, nampak upaya Gunawan untuk menghadirkan kembali mitologi Jawa. Upaya itu semakin gamblang dalam kumpulan puisinya Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2009) dan Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010). Dalam dua kumpulan puisinya tersebut, Gunawan secara khusus (meminjam istilah Sapardi) memanfaatkan—mengocok, memelintir, menggarisbawahi—mitologi pewayangan sebagai alat pengucapan dalam puisinya.

Membaca puisi-puisi wayang Gunawan adalah membaca romantika yang dialami tokoh-tokoh wayang seperti Banowati, Surtikanti, Mustakaweni, Satyawati, Amba, dll. Meski lakon wayang yang dianggit Gunawan ke dalam puisi-puisinya sangat beragam, namun puisi-puisi wayangnya seakan dipertautkan oleh satu benang merah, yaitu kecenderungan Gunawan menangkap fragmen tragika percintaan, suatu “hubungan yang banal dan mokal” yang “menjelma radang di malam-malam panjang” (puisi “Banowati”). Gunawan menyuarakan kisah yang dramatik tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang terpendam,

16

dan kesedihan yang disimpan diam-diam:

surtikanti

di malam pengantindua lelaki berkejaran sepanjang tubuhku sepanjang malam berlarian di kancing baju, cincin, giwang, liontin, dan jam tangan tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku: lelaki dengan benih matahari di kedua matanya, dengan deras sungai gangga dalam jantungnya, yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandarakabiarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihku dari anjing jaga dan peronda

Sejarah peradaban manusia seakan tak bisa dilepaskan dari tragika percintaan. Tak terbilang lagi berapa banyak dongeng-dongeng seputar cinta yang berakhir tragis. Kisah cinta yang melegenda dan abadi justru adalah kisah cinta yang berdarah-darah. Begitu pun dengan kisah-kisah dalam pewayangan. Perang besar bisa pecah karena cinta yang terlarang, dendam cinta yang tak berkesudahan, dan upaya untuk mengembalikan harga diri karena malu

15

April 1976 ini secara dominan merupakan interpretasi terhadap mitos-mitos yang bersumber dari khazanah kebudayaan dari mana ia berasal. Dalam kumpulan cerpennya Bon Suwung (2005) dan Galigi (2007) misalnya, nampak upaya Gunawan untuk menghadirkan kembali mitologi Jawa. Upaya itu semakin gamblang dalam kumpulan puisinya Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2009) dan Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010). Dalam dua kumpulan puisinya tersebut, Gunawan secara khusus (meminjam istilah Sapardi) memanfaatkan—mengocok, memelintir, menggarisbawahi—mitologi pewayangan sebagai alat pengucapan dalam puisinya.

Membaca puisi-puisi wayang Gunawan adalah membaca romantika yang dialami tokoh-tokoh wayang seperti Banowati, Surtikanti, Mustakaweni, Satyawati, Amba, dll. Meski lakon wayang yang dianggit Gunawan ke dalam puisi-puisinya sangat beragam, namun puisi-puisi wayangnya seakan dipertautkan oleh satu benang merah, yaitu kecenderungan Gunawan menangkap fragmen tragika percintaan, suatu “hubungan yang banal dan mokal” yang “menjelma radang di malam-malam panjang” (puisi “Banowati”). Gunawan menyuarakan kisah yang dramatik tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang terpendam,

16

dan kesedihan yang disimpan diam-diam:

surtikanti

di malam pengantindua lelaki berkejaran sepanjang tubuhku sepanjang malam berlarian di kancing baju, cincin, giwang, liontin, dan jam tangan tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku: lelaki dengan benih matahari di kedua matanya, dengan deras sungai gangga dalam jantungnya, yang menyimpan kesedihanku diam-diam

maka diamlah seluruh mandarakabiarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihku dari anjing jaga dan peronda

Sejarah peradaban manusia seakan tak bisa dilepaskan dari tragika percintaan. Tak terbilang lagi berapa banyak dongeng-dongeng seputar cinta yang berakhir tragis. Kisah cinta yang melegenda dan abadi justru adalah kisah cinta yang berdarah-darah. Begitu pun dengan kisah-kisah dalam pewayangan. Perang besar bisa pecah karena cinta yang terlarang, dendam cinta yang tak berkesudahan, dan upaya untuk mengembalikan harga diri karena malu

17

cintanya gagal dialamatkan. Namun, alih-alih tertarik untuk menarasikan penyebab terjadinya perang atau bagaimana jalannya peperangan itu, Gunawan justru cenderung menggambarkan “kemarahan yang tak padam/ atau cinta yang gagal” (puisi “Amba”), “sepi yang tegak berdiri/ layaknya sebuah belati” (puisi “Sumbadra”), dan perasaan remuk-redam sang tokoh yang menjadi korban pahitnya tragika percintaan:

Aswatama

dalam tubuhku tinggal seekor kuda liarserta jurang lebaryang tak bisa kauseberangi dengan nalarjuga cinta yang tiba-tibaspontan dan tanpa pilihan

di luar diriku adalah terowongan panjangdan di belakang; cahaya benderangdari kemaluan seorang perempuan telanjang

dan kini aku berjalan di bawah kematiandi bawah kekalahan sebuah bangsaselama-lamanyasetelah terpaksa kulesakkan senjatadi kandungan seorang perempuan

kini aku hanya seekor coprinaebersembunyi dalam tahimu

18

/2/Mitos sebagai salah satu unsur budaya dalam masyarakat merupakan bagian dari rekaman perjalanan sejarah-budaya masyarakat tersebut yang bisa dijadikan lahan kreatif lahirnya sebuah karya sastra. Dalam perspektif proses kreatif penciptaan, keterkaitan sastra dengan tata nilai kehidupan, menurut Teeuw (1988), dapat disejajarkan dengan konsep mimesis dan creatio. Hubungan antara sastra dan kenyataan bukanlah suatu hubungan yang sifatnya searah dan sederhana. Hubungan tersebut selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung.

Membaca puisi-puisi yang berakar dari mitos sebagaimana puisi-puisi wayang Gunawan, akan membawa pembaca pada dua wilayah: antara kenyataan atau rekaan, antara mimesis atau creatio. Memposisikan puisi-puisi wayang Gunawan sebagai cerminan kenyataan belaka pasti akan menyesatkan. Begitu juga sebaliknya jika memposisikannya sebagai mythopoesis—mitologi fiksional yang diciptaan sang penyair atau murni rekaan—tak akan kalah menyesatkannya. Pembaca yang awam terhadap ceritera dan nama-nama tokoh wayang dalam puisi-puisi Gunawan, mau tidak mau harus menelusuri akar cerita yang mendasari puisi-puisinya, agar terhindar dari pembacaan yang

17

cintanya gagal dialamatkan. Namun, alih-alih tertarik untuk menarasikan penyebab terjadinya perang atau bagaimana jalannya peperangan itu, Gunawan justru cenderung menggambarkan “kemarahan yang tak padam/ atau cinta yang gagal” (puisi “Amba”), “sepi yang tegak berdiri/ layaknya sebuah belati” (puisi “Sumbadra”), dan perasaan remuk-redam sang tokoh yang menjadi korban pahitnya tragika percintaan:

Aswatama

dalam tubuhku tinggal seekor kuda liarserta jurang lebaryang tak bisa kauseberangi dengan nalarjuga cinta yang tiba-tibaspontan dan tanpa pilihan

di luar diriku adalah terowongan panjangdan di belakang; cahaya benderangdari kemaluan seorang perempuan telanjang

dan kini aku berjalan di bawah kematiandi bawah kekalahan sebuah bangsaselama-lamanyasetelah terpaksa kulesakkan senjatadi kandungan seorang perempuan

kini aku hanya seekor coprinaebersembunyi dalam tahimu

18

/2/Mitos sebagai salah satu unsur budaya dalam masyarakat merupakan bagian dari rekaman perjalanan sejarah-budaya masyarakat tersebut yang bisa dijadikan lahan kreatif lahirnya sebuah karya sastra. Dalam perspektif proses kreatif penciptaan, keterkaitan sastra dengan tata nilai kehidupan, menurut Teeuw (1988), dapat disejajarkan dengan konsep mimesis dan creatio. Hubungan antara sastra dan kenyataan bukanlah suatu hubungan yang sifatnya searah dan sederhana. Hubungan tersebut selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung.

Membaca puisi-puisi yang berakar dari mitos sebagaimana puisi-puisi wayang Gunawan, akan membawa pembaca pada dua wilayah: antara kenyataan atau rekaan, antara mimesis atau creatio. Memposisikan puisi-puisi wayang Gunawan sebagai cerminan kenyataan belaka pasti akan menyesatkan. Begitu juga sebaliknya jika memposisikannya sebagai mythopoesis—mitologi fiksional yang diciptaan sang penyair atau murni rekaan—tak akan kalah menyesatkannya. Pembaca yang awam terhadap ceritera dan nama-nama tokoh wayang dalam puisi-puisi Gunawan, mau tidak mau harus menelusuri akar cerita yang mendasari puisi-puisinya, agar terhindar dari pembacaan yang

19

semena-mena. Dengan penelusuran itu, pembaca akan melihat puisi-puisi wayang Gunawan dengan pertimbangan yang jernih, menerka sejauh mana interpretasi penyair terhadap kisah-kisah itu dan menilai sejauh mana keberhasilan sang penyair memadatkan kisah-kisah itu ke dalam puisinya.

Dalam karya sastra, mitos dihadirkan melalui pemahaman dan interpretasi baru. Interpretasi pengarang terhadap suatu mitos akan melahirkan pembaruan, yang pada tataran lebih lanjut akan menjadi mitos baru atau kontramitos. Pembaruan mitos merupakan sebuah tuntutan di dunia yang terus bergerak, yang akan berfungsi sebagai kontrol sosial. Stagnasi mitos hanya akan terjadi di masyarakat yang tertutup dan konservatif terhadap kebaruan.

Pembaruan—pemelintiran, penyalahartian—terhadap mitos-mitos pewayangan banyak kita temukan dalam puisi-puisi Gunawan. Salah satunya dalam puisi “Banowati”. Banowati yang dalam pewayangan Jawa merupakan sosok perempuan yang lembut, welas asih, dan penurut, sehingga ia mematuhi permintaan ayahnya untuk menikah dengan Duryodana meski sebenarnya ia mencintai Arjuna, dalam puisi Gunawan diposisikan berbeda. Narasi puisi “Banowati” memang tidak

20

menjelaskan siapa “aku lirik” dalam puisi itu, entah Banowati entah Arjuna. Seandainya “aku lirik” adalah Arjuna, kita akan menemukan pembaruan bahwa justru Arjunalah yang mencintai Banowati, bukan sebaliknya: “bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa aku mencintaimu”. Begitu pun seandainya kita merubah sudut pandang “aku lirik” puisi tersebut sebagai sosok Banowati, kita juga akan mendapati pemelintiran sosok Banowati yang welas asih sebagai perempuan yang penuh ledakan kemarahan, sebagai yang memilih dan bukan dipilihkan, sebagai perempuan yang meninggalkan dan bukan yang ditinggalkan: “... aku benar-benar tak tahu/ bagaimana harus mengakhiri ini/ selain dengan meninggalkanmu/ sendiri malam ini/ tapi jelas aku tak bisa bertahan/ dengan seluruh ledakan-ledakan/ kemarahan dan keputusasaan ...”. Puisi tersebut dengan jelas menyimpang dari mitos asal. Dan penyimpangan itu perlu dilakukan agar bisa menyajikan citra romantis yang diidealisasikan sang penyair.

/3/Romantisasi kisah wayang sebagaimana dilakukan oleh Gunawan adalah pilihan yang penuh tantangan. Pertama, wayang merupakan simbol kehidupan manusia atau “wewayangane ngaurip” (bayangan kehidupan). Wayang mengandung suatu ajaran yang

19

semena-mena. Dengan penelusuran itu, pembaca akan melihat puisi-puisi wayang Gunawan dengan pertimbangan yang jernih, menerka sejauh mana interpretasi penyair terhadap kisah-kisah itu dan menilai sejauh mana keberhasilan sang penyair memadatkan kisah-kisah itu ke dalam puisinya.

Dalam karya sastra, mitos dihadirkan melalui pemahaman dan interpretasi baru. Interpretasi pengarang terhadap suatu mitos akan melahirkan pembaruan, yang pada tataran lebih lanjut akan menjadi mitos baru atau kontramitos. Pembaruan mitos merupakan sebuah tuntutan di dunia yang terus bergerak, yang akan berfungsi sebagai kontrol sosial. Stagnasi mitos hanya akan terjadi di masyarakat yang tertutup dan konservatif terhadap kebaruan.

Pembaruan—pemelintiran, penyalahartian—terhadap mitos-mitos pewayangan banyak kita temukan dalam puisi-puisi Gunawan. Salah satunya dalam puisi “Banowati”. Banowati yang dalam pewayangan Jawa merupakan sosok perempuan yang lembut, welas asih, dan penurut, sehingga ia mematuhi permintaan ayahnya untuk menikah dengan Duryodana meski sebenarnya ia mencintai Arjuna, dalam puisi Gunawan diposisikan berbeda. Narasi puisi “Banowati” memang tidak

20

menjelaskan siapa “aku lirik” dalam puisi itu, entah Banowati entah Arjuna. Seandainya “aku lirik” adalah Arjuna, kita akan menemukan pembaruan bahwa justru Arjunalah yang mencintai Banowati, bukan sebaliknya: “bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa aku mencintaimu”. Begitu pun seandainya kita merubah sudut pandang “aku lirik” puisi tersebut sebagai sosok Banowati, kita juga akan mendapati pemelintiran sosok Banowati yang welas asih sebagai perempuan yang penuh ledakan kemarahan, sebagai yang memilih dan bukan dipilihkan, sebagai perempuan yang meninggalkan dan bukan yang ditinggalkan: “... aku benar-benar tak tahu/ bagaimana harus mengakhiri ini/ selain dengan meninggalkanmu/ sendiri malam ini/ tapi jelas aku tak bisa bertahan/ dengan seluruh ledakan-ledakan/ kemarahan dan keputusasaan ...”. Puisi tersebut dengan jelas menyimpang dari mitos asal. Dan penyimpangan itu perlu dilakukan agar bisa menyajikan citra romantis yang diidealisasikan sang penyair.

/3/Romantisasi kisah wayang sebagaimana dilakukan oleh Gunawan adalah pilihan yang penuh tantangan. Pertama, wayang merupakan simbol kehidupan manusia atau “wewayangane ngaurip” (bayangan kehidupan). Wayang mengandung suatu ajaran yang

21

bersinggungan dengan hakikat manusia, yang mencakup ajaran moral, baik moral pribadi, moral sosial, dan moral religius. Wayang harus memberikan pandangan hidup kepada masyarakat. Kedua, pertunjukan wayang merupakan pertunjukan yang kompleks, di mana setiap elemen dan unsur dalam pertunjukan wayang memiliki simbol dan maksud tertentu.

Kompleksitas pertunjukan wayang bisa kita lihat misalnya dalam Kayon (gunungan). Kayon merupakan simbol kosmomistis yang di dalamnya terdapat tiga bagian yang mewakili tri purusa (tiga tahap kehidupan yang dilalui manusia): bagian paling bawah yang disebut palemahan (tanah, bumi) yang merupakan simbol Mayapada; bagian tengah yang disebut genukan (menyembul) dan lengkeh (ceruk) yang merupakan simbol Giriloka; dan bagian atas yang berbentuk runcing yang merupakan simbol Lokabaka atau dunia yang kekal. Fungsi kayon dalam pertunjukan wayang adalah sebagai penanda peralihan setiap pathet (babak).

Mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam kisah-kisah wayang ke dalam puisi yang bentuknya sangat padat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Alih-alih hendak melakukan pembaruan mitos sebagai kontrol sosial bagi masyarakat, jika gagal,

22

upaya itu justru akan merusak tatanan nilai luhur yang terkandung dalam ceritera wayang itu sendiri. Namun, Gunawan begitu cerdik mencari siasat untuk mempertahankan nilai-nilai luhur itu meski dalam ruang yang sangat sempit seperti puisi yang elemennya jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan kompleksitas pertunjukan wayang.

Gunawan tetap mempertahankan kronologi pertunjukan wayang yang sudah menjadi pakem para dalang dalam setiap pementasan, yaitu secara berurutan mengisahkan jejer (pertemuan di suatu tempat tertentu), kemudian masuk ke adegan, dan diakhiri dengan perang (baik fisik maupun batin). Dalam setiap urutan itu terdapat deskripsi, dialog, tindakan. Kronologis semacam itu bisa kita temukan dalam puisi “Surtikanti” di atas, juga dalam puisi berikut:

Amba

Aku kalung teratai yang tergantung di gagang pintuMenunggumu mengenakanku pada sebuah perangSeparuh diriku yang lain adalah sungai kering berbatuYang sesekali saja tergenang jika hujan datang

21

bersinggungan dengan hakikat manusia, yang mencakup ajaran moral, baik moral pribadi, moral sosial, dan moral religius. Wayang harus memberikan pandangan hidup kepada masyarakat. Kedua, pertunjukan wayang merupakan pertunjukan yang kompleks, di mana setiap elemen dan unsur dalam pertunjukan wayang memiliki simbol dan maksud tertentu.

Kompleksitas pertunjukan wayang bisa kita lihat misalnya dalam Kayon (gunungan). Kayon merupakan simbol kosmomistis yang di dalamnya terdapat tiga bagian yang mewakili tri purusa (tiga tahap kehidupan yang dilalui manusia): bagian paling bawah yang disebut palemahan (tanah, bumi) yang merupakan simbol Mayapada; bagian tengah yang disebut genukan (menyembul) dan lengkeh (ceruk) yang merupakan simbol Giriloka; dan bagian atas yang berbentuk runcing yang merupakan simbol Lokabaka atau dunia yang kekal. Fungsi kayon dalam pertunjukan wayang adalah sebagai penanda peralihan setiap pathet (babak).

Mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam kisah-kisah wayang ke dalam puisi yang bentuknya sangat padat bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Alih-alih hendak melakukan pembaruan mitos sebagai kontrol sosial bagi masyarakat, jika gagal,

22

upaya itu justru akan merusak tatanan nilai luhur yang terkandung dalam ceritera wayang itu sendiri. Namun, Gunawan begitu cerdik mencari siasat untuk mempertahankan nilai-nilai luhur itu meski dalam ruang yang sangat sempit seperti puisi yang elemennya jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan kompleksitas pertunjukan wayang.

Gunawan tetap mempertahankan kronologi pertunjukan wayang yang sudah menjadi pakem para dalang dalam setiap pementasan, yaitu secara berurutan mengisahkan jejer (pertemuan di suatu tempat tertentu), kemudian masuk ke adegan, dan diakhiri dengan perang (baik fisik maupun batin). Dalam setiap urutan itu terdapat deskripsi, dialog, tindakan. Kronologis semacam itu bisa kita temukan dalam puisi “Surtikanti” di atas, juga dalam puisi berikut:

Amba

Aku kalung teratai yang tergantung di gagang pintuMenunggumu mengenakanku pada sebuah perangSeparuh diriku yang lain adalah sungai kering berbatuYang sesekali saja tergenang jika hujan datang

23

Tapi sebut saja aku hantu,Kemarahan yang tak padam,Atau cinta yang gagal

Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh deritakuTak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi gelanggangKenakan aku di lehermu. Maka ia akan menerimamuSeperti sebuah kereta yang menjemputnya pulang

Sebagai penyair yang mengangkat ulang kisah-kisah wayang, Gunawan sepertinya sadar bahwa dirinya mengemban tugas sebagaimana seorang dalang untuk menyampaikan kisah-kisah pewayangan secara berurutan, agar kisahnya bisa ditangkap oleh pembaca. Barangkali kesadaran itu pulalah yang membuat Gunawan dengan santai mengubah sudut pandang penceritaan sang narator, dari aku menjadi ia: “Hai, kau yang menyamar sebagai ular, aku Alli/ ... / Tapi Alli tak bisa jatuh. Tak sanggup jatuh/ Ia adalah batu dari Madurai” (puisi “Balada Alli”).

Membaca puisi-puisi wayang Gunawan seperti menonton pementasan wayang di atas panggung seluas ukuran kertas, seperti menonton bagian

24

terpenting dalam sebuah lakon: puncak sebuah drama percintaan tokoh-tokoh wayang yang ingin “menyusun sendiri petualangannya”. []

Daftar Bacaan:

Fyre, Northop. 1973. Anatomy of Criticism. PricetonNew Jersey: Priceton University Press.Hardjowirogo. 1949. Sedjarah Wajang Purwa.Jakarta: Balai Pustaka.Maryanto, Gunawan. 2009. Perasaan-perasaan yangMenyusun Sendiri Petualangannya.Yogyakarta: Omahsore._________________. 2010. Sejumlah Perkutut buat

Bapak. Yogyakarta: Omahsore.Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

)* Badrul Munir Chair, menulis puisi dan cerpen di sejumlah media massa. Novelnya Kalompang (Grasindo, 2014) mendapatkan penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Saat ini sedang kuliah di jurusan ilmu filsafat, Universitas Gadjah Mada.

23

Tapi sebut saja aku hantu,Kemarahan yang tak padam,Atau cinta yang gagal

Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh deritakuTak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi gelanggangKenakan aku di lehermu. Maka ia akan menerimamuSeperti sebuah kereta yang menjemputnya pulang

Sebagai penyair yang mengangkat ulang kisah-kisah wayang, Gunawan sepertinya sadar bahwa dirinya mengemban tugas sebagaimana seorang dalang untuk menyampaikan kisah-kisah pewayangan secara berurutan, agar kisahnya bisa ditangkap oleh pembaca. Barangkali kesadaran itu pulalah yang membuat Gunawan dengan santai mengubah sudut pandang penceritaan sang narator, dari aku menjadi ia: “Hai, kau yang menyamar sebagai ular, aku Alli/ ... / Tapi Alli tak bisa jatuh. Tak sanggup jatuh/ Ia adalah batu dari Madurai” (puisi “Balada Alli”).

Membaca puisi-puisi wayang Gunawan seperti menonton pementasan wayang di atas panggung seluas ukuran kertas, seperti menonton bagian

24

terpenting dalam sebuah lakon: puncak sebuah drama percintaan tokoh-tokoh wayang yang ingin “menyusun sendiri petualangannya”. []

Daftar Bacaan:

Fyre, Northop. 1973. Anatomy of Criticism. PricetonNew Jersey: Priceton University Press.Hardjowirogo. 1949. Sedjarah Wajang Purwa.Jakarta: Balai Pustaka.Maryanto, Gunawan. 2009. Perasaan-perasaan yangMenyusun Sendiri Petualangannya.Yogyakarta: Omahsore._________________. 2010. Sejumlah Perkutut buat

Bapak. Yogyakarta: Omahsore.Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

)* Badrul Munir Chair, menulis puisi dan cerpen di sejumlah media massa. Novelnya Kalompang (Grasindo, 2014) mendapatkan penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Saat ini sedang kuliah di jurusan ilmu filsafat, Universitas Gadjah Mada.

25

Wan(ita) dalam Puisi-Puisi Wayang Gunawan MaryantoOleh Sari Fitria

Sederet puisi wayang, yang diutus Gunawan sebagai bahan diskusi kali ini tampak berpondasi pada kisah-kisah dalam pewayangan Mahabharata, kecuali puisi “Adaninggar” yang berasal dari menak cina. Tanpa membaca isi dari pusi-puisi itu, Gunawan telah menggiring para penikmat puisinya untuk mengingat kembali kisah Mahabharata dengan cara memberikan judul yang jelas dan sederhana pada puisi-puisinya. Ya, bagi yang akrab dengan kultur Jawa, siapa yang tidak kenal Banowati, Surtikanti, Aswatama dan sederet nama lainnya yang 'beruntung' dijadikan judul dalam puisi-puisi Gunawan.

Akan tetapi, judul dalam sebuah karya sastra bisa saja menipu. Ketika membaca cerpen “Rama dan Sinta” karya Sapardi Djoko Damono, misalnya. Bukannya menemukan kisah Rama dan Sinta yang kembali mencinta setelah adanya insiden penculikan dari Rahwana, pembaca malah dikejutkan dengan ulah nakal Sinta yang malah memilih jatuh cinta pada Rahwana. Juga seperti Kitab Omong Kosong nya Seno Gumira Ajidarma, dimana tokoh-tokoh

26

ceritanya malah menggugat sang pencerita. Singkatnya, para pelaku sastra -meski tidak semua- memiliki kecendrungan menyisipkan sesuatu yang baru jika akan mencipta karya dengan meminjam cerita yang sudah ada. Namun, mungkin Gunawan adalah satu dari sedikit sastrawan yang malah mempertahankan isi cerita ketika menuliskan sebuah karya yang berpondasi pada kisah yang sudah ada.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kesembilan puisi wayang Gunawan (Banopati, Surtikanti, Aswatama, Mustakaweni, Adaninggar, Balada Ali, Satyawati, Amba, Subadra) seolah mengukuhkan diri bahwa mereka adalah sebenar-sebenarnya cerita yang diceritakan dalam pewayangan. Hanya saja, Gunawan jeli memilih salah satu scene dalam kehidupan para tokoh wayang itu. Scene itulah yang akhirnya disulap Gunawan menjadi sebuah puisi. Disinilah letak keunikan Gunawan, yaitu ketika ia mampu membuat sebuah cerita terasa baru meski sebenarnya cerita itu hanyalah pengulangan dari cerita yang sebelumnya sudah ada. Bukan itu saja, entah sadar atau tanpa disadari, kesembilan puisi Gunawan ini memotret scene yang senada dari perjalanan hidup tokohnya. Scene ini berhubungan dengan keberadaan wanita; setelah menikmati puisi Gunawan, saya lebih suka menyebutnya wan(ita).

25

Wan(ita) dalam Puisi-Puisi Wayang Gunawan MaryantoOleh Sari Fitria

Sederet puisi wayang, yang diutus Gunawan sebagai bahan diskusi kali ini tampak berpondasi pada kisah-kisah dalam pewayangan Mahabharata, kecuali puisi “Adaninggar” yang berasal dari menak cina. Tanpa membaca isi dari pusi-puisi itu, Gunawan telah menggiring para penikmat puisinya untuk mengingat kembali kisah Mahabharata dengan cara memberikan judul yang jelas dan sederhana pada puisi-puisinya. Ya, bagi yang akrab dengan kultur Jawa, siapa yang tidak kenal Banowati, Surtikanti, Aswatama dan sederet nama lainnya yang 'beruntung' dijadikan judul dalam puisi-puisi Gunawan.

Akan tetapi, judul dalam sebuah karya sastra bisa saja menipu. Ketika membaca cerpen “Rama dan Sinta” karya Sapardi Djoko Damono, misalnya. Bukannya menemukan kisah Rama dan Sinta yang kembali mencinta setelah adanya insiden penculikan dari Rahwana, pembaca malah dikejutkan dengan ulah nakal Sinta yang malah memilih jatuh cinta pada Rahwana. Juga seperti Kitab Omong Kosong nya Seno Gumira Ajidarma, dimana tokoh-tokoh

26

ceritanya malah menggugat sang pencerita. Singkatnya, para pelaku sastra -meski tidak semua- memiliki kecendrungan menyisipkan sesuatu yang baru jika akan mencipta karya dengan meminjam cerita yang sudah ada. Namun, mungkin Gunawan adalah satu dari sedikit sastrawan yang malah mempertahankan isi cerita ketika menuliskan sebuah karya yang berpondasi pada kisah yang sudah ada.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kesembilan puisi wayang Gunawan (Banopati, Surtikanti, Aswatama, Mustakaweni, Adaninggar, Balada Ali, Satyawati, Amba, Subadra) seolah mengukuhkan diri bahwa mereka adalah sebenar-sebenarnya cerita yang diceritakan dalam pewayangan. Hanya saja, Gunawan jeli memilih salah satu scene dalam kehidupan para tokoh wayang itu. Scene itulah yang akhirnya disulap Gunawan menjadi sebuah puisi. Disinilah letak keunikan Gunawan, yaitu ketika ia mampu membuat sebuah cerita terasa baru meski sebenarnya cerita itu hanyalah pengulangan dari cerita yang sebelumnya sudah ada. Bukan itu saja, entah sadar atau tanpa disadari, kesembilan puisi Gunawan ini memotret scene yang senada dari perjalanan hidup tokohnya. Scene ini berhubungan dengan keberadaan wanita; setelah menikmati puisi Gunawan, saya lebih suka menyebutnya wan(ita).

27

Jika ditilik, maka akan diketahui bahwa tujuh dari sembilan puisi Gunawan diberi judul dengan nama Dewi (yang tentunya berkelamin wanita), sisanya yaitu Aswatama dan Balada Alli. Namun, kedua puisi yang mengusung nama laki-laki ini ternyata juga membicarakan wanita. Lebih tepatnya, kesembilan puisi ini mengisahkan tentang wanita yang memiliki peran sebagai wan(ita).

Dalam bahasa sanskerta, kata wanita berasal dari kata wan, yang berarti nafsu; wanita sebagai yang dinafsui (Handayani. 2004:4). Definisi ini mengindikasikan bahwa wanita, pada dasarnya, merupakan objek. Pernyataan ini juga menggiring orang untuk berasumsi bahwa wanita memang sudah sewajarnya menjadi objek, bukan subjek. Asumsi ini lebih diperkuat karena adanya pernyataan Sigmund Freud yang menegaskan bahwa wanita adalah jelmaan dari laki-laki yang tak sempurna, makanya wanita mengalami penis envy. Sebuah kecemburuan yang muncul akibat wanita tidak memiliki penis seperti laki-laki, sehingga wanita merasa bahwa dirinya berada dalam sebuah kekurangan (Freud dalam Beauvouir, 1949). Beranjak dari pernyataan ini, maka melalui kesembilan puisinya, ada kemungkinan Gunawan pun juga meng-iya-kan semua asumsi yang me-wani-kan wanita. Tapi, ada

28

kemungkinan juga, wani-nya wanita ini adalah sebuah senjata, entah bagi wanita atau bagi mereka yang mengobjekkan wanita.

“Bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa aku mencintaimu/ aku lupa:/ ini cinta atau alpa/ ini cinta atau apa,” tulis Gunawan berulang-ulang pada puisinya yang berjudul “Banowati”. Jika saya tak salah duga, mungkin yang bicara ini adalah Arjuna, yang mencintai dan tergoda pada iparnya sendiri. Atau lebih tepatnya, menurut Gunawan, memang Banowatilah yang menggoda Arjuna ,”tapi kau terlanjur menggodaku/ bau tubuhmu telah melekat di paru-paruku/. Melalui larik-larik inilah Gunawan mulai menelanjangi wanita, menempatkan wanita sebagai wan. Cinta yang tumbuh di dalam Arjuna dituding sebagai nafsu yang muncul karena kehadiran Banowati. Dalam hal ini, Arjuna yang mencinta, tapi Banowati yang yang dinista; lelaki yang mencinta, tapi wanita yang dijadikan tersangka.

Di puisi lainnya,”Surtikanti”, wanita tetap dianggap sebagai pembuat masalah, yang menyebabkan dua satria mengangkat senjata, “di malam pengantin/ dua lelaki berkejaran/ sepanjang tubuhku sepanjang malam/. Peran wanita sebaga wan(ita) ini terus

27

Jika ditilik, maka akan diketahui bahwa tujuh dari sembilan puisi Gunawan diberi judul dengan nama Dewi (yang tentunya berkelamin wanita), sisanya yaitu Aswatama dan Balada Alli. Namun, kedua puisi yang mengusung nama laki-laki ini ternyata juga membicarakan wanita. Lebih tepatnya, kesembilan puisi ini mengisahkan tentang wanita yang memiliki peran sebagai wan(ita).

Dalam bahasa sanskerta, kata wanita berasal dari kata wan, yang berarti nafsu; wanita sebagai yang dinafsui (Handayani. 2004:4). Definisi ini mengindikasikan bahwa wanita, pada dasarnya, merupakan objek. Pernyataan ini juga menggiring orang untuk berasumsi bahwa wanita memang sudah sewajarnya menjadi objek, bukan subjek. Asumsi ini lebih diperkuat karena adanya pernyataan Sigmund Freud yang menegaskan bahwa wanita adalah jelmaan dari laki-laki yang tak sempurna, makanya wanita mengalami penis envy. Sebuah kecemburuan yang muncul akibat wanita tidak memiliki penis seperti laki-laki, sehingga wanita merasa bahwa dirinya berada dalam sebuah kekurangan (Freud dalam Beauvouir, 1949). Beranjak dari pernyataan ini, maka melalui kesembilan puisinya, ada kemungkinan Gunawan pun juga meng-iya-kan semua asumsi yang me-wani-kan wanita. Tapi, ada

28

kemungkinan juga, wani-nya wanita ini adalah sebuah senjata, entah bagi wanita atau bagi mereka yang mengobjekkan wanita.

“Bahkan tuhan pun lupa:/ kenapa aku mencintaimu/ aku lupa:/ ini cinta atau alpa/ ini cinta atau apa,” tulis Gunawan berulang-ulang pada puisinya yang berjudul “Banowati”. Jika saya tak salah duga, mungkin yang bicara ini adalah Arjuna, yang mencintai dan tergoda pada iparnya sendiri. Atau lebih tepatnya, menurut Gunawan, memang Banowatilah yang menggoda Arjuna ,”tapi kau terlanjur menggodaku/ bau tubuhmu telah melekat di paru-paruku/. Melalui larik-larik inilah Gunawan mulai menelanjangi wanita, menempatkan wanita sebagai wan. Cinta yang tumbuh di dalam Arjuna dituding sebagai nafsu yang muncul karena kehadiran Banowati. Dalam hal ini, Arjuna yang mencinta, tapi Banowati yang yang dinista; lelaki yang mencinta, tapi wanita yang dijadikan tersangka.

Di puisi lainnya,”Surtikanti”, wanita tetap dianggap sebagai pembuat masalah, yang menyebabkan dua satria mengangkat senjata, “di malam pengantin/ dua lelaki berkejaran/ sepanjang tubuhku sepanjang malam/. Peran wanita sebaga wan(ita) ini terus

29

dimunculkan Gunawan secara konsisten di puisi-puisi lainnya, meski seringkali disamarkan dengan nama cinta. Tapi bukankah sebenarnya cinta itu sendiri berakar atau berakhir dari/pada wan (baca:nafsu)?

Secara sekilas, akan saya berikan cuplikan puisi Gunawan yang me-wan-kan wanita. Dalam “Aswatama”, Gunawan menawarkan, /...;cahaya benderang dari kemaluan seorang wanita/. di dalam “Mustakaweni”, /tak lupa ia pasang bintang di dadanya/ menutup sepasang payudara yang menggoda/ Di dalam puisi “Balada Alli”, Gunawan menjadi lebih tegas dalam memandang wan(ita). Ini tampak dari /sebagai ular sebagai perempuan/ yang berulangkali muncul dalam puisi ini. Dalam stereotip yang berkembang, ular dikonvensikan sebagai sesuatu yang jalang. Jadi ketika perempuan disamakan seperti ular, tak ada lagi yang bisa 'ditinggikan' dari seorang wanita. Dalam puisi lainnya “Satyawati”, wanita kembali diposisikan sebagai klan yang hanya menjual birahi, /.... Biarkan sepi Yamuna/ dan wangi tubuhku yang tersisa/ dari persetubuhan kita/. Larik ini seolah mengimplikasikan bahwa tak ada lagi yang bisa ditawarkan wanita selain persetubuhan. Pada puisi “Amba”, “Adaninggar” dan “Sumbadra”,

30

Gunawan mengilustrasikan rasa cinta yang berujung derita pada wanita. Baik Amba, Adaninggar ataupun Sumbadra, adalah tiga tokoh yang sama-sama 'meradang' karena diperdaya dan dipecundangi cinta. Amba yang cintanya tak bisa dibalas Bisma yang terlanjur bersumpah; Adaninggar yang cintanya ditampik orang yang lebih suka memanggilnya ibu; Sumbadra yang yang cintanya berulangkali diduakan Arjuna. Di puisi-puisi ini, Gunawan menunjukkan bahwa wanita merasa kuran tanpa laki-laki. Makanya, Amba, Adaninggar dan Sumbadra selalu menwarkan cintanya pada laki-laki. Ketika cinta itu tak terpenuhi, maka marah dan menderitalah para wanita ini. Kondisi ini menyiratkan, juga mengukuhkan, bahwa wanita benar-benar 'menggantungkan' diri pada laki-laki, tak bisa hidup tanpa laki-laki; seolah-olah laki-laki adalah penyempurna diri bagi wanita. /tapi sebut saja aku hantu,/ kemarahan yang tak padam,/ atau cinta yang gagal/ pada seorang laki-laki kualamatkan seluruh deritaku/. Ini diperkuat lagi dalam puisi “Sumsbadra” yang menghujamkan diri pada sepi yang tegak berdiri ketika Arjuna berkali-kali mengobral cintanya pada wanita yang berbeda. Dan dipertegas dengan kekerasan hati Adaninggar /jadi seberapa kuat kau menolak cintaku/ sebesar itulah cintaku padamu/. Kekerasan cinta ketiga dewi yang

29

dimunculkan Gunawan secara konsisten di puisi-puisi lainnya, meski seringkali disamarkan dengan nama cinta. Tapi bukankah sebenarnya cinta itu sendiri berakar atau berakhir dari/pada wan (baca:nafsu)?

Secara sekilas, akan saya berikan cuplikan puisi Gunawan yang me-wan-kan wanita. Dalam “Aswatama”, Gunawan menawarkan, /...;cahaya benderang dari kemaluan seorang wanita/. di dalam “Mustakaweni”, /tak lupa ia pasang bintang di dadanya/ menutup sepasang payudara yang menggoda/ Di dalam puisi “Balada Alli”, Gunawan menjadi lebih tegas dalam memandang wan(ita). Ini tampak dari /sebagai ular sebagai perempuan/ yang berulangkali muncul dalam puisi ini. Dalam stereotip yang berkembang, ular dikonvensikan sebagai sesuatu yang jalang. Jadi ketika perempuan disamakan seperti ular, tak ada lagi yang bisa 'ditinggikan' dari seorang wanita. Dalam puisi lainnya “Satyawati”, wanita kembali diposisikan sebagai klan yang hanya menjual birahi, /.... Biarkan sepi Yamuna/ dan wangi tubuhku yang tersisa/ dari persetubuhan kita/. Larik ini seolah mengimplikasikan bahwa tak ada lagi yang bisa ditawarkan wanita selain persetubuhan. Pada puisi “Amba”, “Adaninggar” dan “Sumbadra”,

30

Gunawan mengilustrasikan rasa cinta yang berujung derita pada wanita. Baik Amba, Adaninggar ataupun Sumbadra, adalah tiga tokoh yang sama-sama 'meradang' karena diperdaya dan dipecundangi cinta. Amba yang cintanya tak bisa dibalas Bisma yang terlanjur bersumpah; Adaninggar yang cintanya ditampik orang yang lebih suka memanggilnya ibu; Sumbadra yang yang cintanya berulangkali diduakan Arjuna. Di puisi-puisi ini, Gunawan menunjukkan bahwa wanita merasa kuran tanpa laki-laki. Makanya, Amba, Adaninggar dan Sumbadra selalu menwarkan cintanya pada laki-laki. Ketika cinta itu tak terpenuhi, maka marah dan menderitalah para wanita ini. Kondisi ini menyiratkan, juga mengukuhkan, bahwa wanita benar-benar 'menggantungkan' diri pada laki-laki, tak bisa hidup tanpa laki-laki; seolah-olah laki-laki adalah penyempurna diri bagi wanita. /tapi sebut saja aku hantu,/ kemarahan yang tak padam,/ atau cinta yang gagal/ pada seorang laki-laki kualamatkan seluruh deritaku/. Ini diperkuat lagi dalam puisi “Sumsbadra” yang menghujamkan diri pada sepi yang tegak berdiri ketika Arjuna berkali-kali mengobral cintanya pada wanita yang berbeda. Dan dipertegas dengan kekerasan hati Adaninggar /jadi seberapa kuat kau menolak cintaku/ sebesar itulah cintaku padamu/. Kekerasan cinta ketiga dewi yang

31

dipotret Gunawan dalam puisi-puisi ini menuntun saya pada sebuah pertanyaan: apakah memang wanita menjadi kurang sempurna tanpa pria ataukah pria juga merasa kurang sempurna tanpa wanita?

Bibliografi

Handayani, Christina S. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.Rene, Wellek dan Werren Austin. 1963. Theory of Literature. New York: Penguin Book. De Beauvoir, Simone. 1949. The Second Sex: New York: Vintage

32

SURTIKANTI GUNAWAN MARYANTO: PANCINGAN DISKUSI SASTRA PKKHOleh Faruk HT

SURTIKANTI

di malam pengantindua lelaki berkejaransepanjang tubuhku sepanjang malamberlarian di kancing baju, cincin,giwang, liontin,dan jam tangantapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,yang menyimpan kesedihanku diam-diammaka diamlah seluruh mandarakabiarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihkudari anjing jaga dan perondaJogjakarta, 2008 Puisi ini salah satu dari rangkaian puisi GMr (Gunawan Maryanto) yang bertemakan tokoh-tokoh wayang. Dulu, Linus Suryadi pernah juga menulis puisi-puisi yang seperti ini dan memang pernah punya maksud untuk menuliskan tokoh-tokoh sayang dalam bentuk puisi. Linus, seperti yang kita

31

dipotret Gunawan dalam puisi-puisi ini menuntun saya pada sebuah pertanyaan: apakah memang wanita menjadi kurang sempurna tanpa pria ataukah pria juga merasa kurang sempurna tanpa wanita?

Bibliografi

Handayani, Christina S. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.Rene, Wellek dan Werren Austin. 1963. Theory of Literature. New York: Penguin Book. De Beauvoir, Simone. 1949. The Second Sex: New York: Vintage

32

SURTIKANTI GUNAWAN MARYANTO: PANCINGAN DISKUSI SASTRA PKKHOleh Faruk HT

SURTIKANTI

di malam pengantindua lelaki berkejaransepanjang tubuhku sepanjang malamberlarian di kancing baju, cincin,giwang, liontin,dan jam tangantapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,yang menyimpan kesedihanku diam-diammaka diamlah seluruh mandarakabiarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihkudari anjing jaga dan perondaJogjakarta, 2008 Puisi ini salah satu dari rangkaian puisi GMr (Gunawan Maryanto) yang bertemakan tokoh-tokoh wayang. Dulu, Linus Suryadi pernah juga menulis puisi-puisi yang seperti ini dan memang pernah punya maksud untuk menuliskan tokoh-tokoh sayang dalam bentuk puisi. Linus, seperti yang kita

33

tahu, keburu meninggalkan kita sebelum mennuntaskan niatnya itu. Untunglah sekarang ada GMr yang bisa menulis jauh lebih banyak puisi serupa ini. Tidaklah mudah menulis kembali cerita-cerita wayang yang semua orang (setidaknya Jawa) bisa dikatakan sudah tahu. Agar bisa membuat tema-tema yang bisa dikatakan basi ini dapat menjadi segar kembali, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu adanya tafsir baru mengenai maknanya dan adanya cara pengungkapan yang juga baru. Karena wayang pada dasarnya bergenre drama dengan dialog-dialog yang prosaik, tentu saja penceritaannya kembali dalam bentuk puisi sudah merupakan cara pengungkapan baru. Bila demikian halnya, tuntutannya dapat berubah, yaitu sejauh mana tema wayang itu sendiri dapat menimbulkan penyegaran pula dalam cara pengungkapan puisi itu sendiri. Puisi di atas menempatkan tokoh-tokoh wayang tidak dalam konteks politik, yaitu perebutan kekuasaan antara kurawa dan pandawa yang berakhir dalam berang bharata yudha, melainkan dalam konteks psikologis tokoh-tokohnya, dalam konteks permainan perasaan cinta dan gairah yang sebenarnya terasa menggebu di satu pihak, tetapi

34

tertahan di lain pihak. Dengan kata lain, konteks cerita yang sebenarnya bersifat sosial-kolektif itu berubah menjadi cerita cinta dan gairah yang bersifat persinal-individual. Dengan kata lain, sejalan dengan wacana puisi modern pada umumnya, puisi ini memindahkan “the law of politics” menjadi “the law of heart”. Tapi, dalam konteks budaya jawa sendiri, “rasa” merupakan sebuah hukum yang sentral bagi kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan tersebut. Kebudayaan Jawa bisa dikatakan tidak mempunyai institusi formal dan eksternal yang menopang kebudayaan itu. Semuanya bergantung pada kahanan yang berubah-ubah. Dan kemampuan perasaan untuk dapat menangkap dan bersikap dengan tepat terhadap kahanan pada momen tertentu (ngerti kahanan) merupakan indikator yang paling penting dalam menentukan identitas kejawaan seseorang. Dengan kata lain, penempatan cerita sayang dalam konteks perasaan yang subjektif ini pun bisa dikatakan hal yang juga lazim dalam masyarakat Jawa. “Mangan ora kroso mangan,” kata Umar Kayam pada suatu waktu ketika ia ngobrol tentang cara orang Jawa berpuasa”. Maka, yang menjadi penting dalam puisi ini adalah pertanyaan terakhir: seberapa jauh cerita wayang

33

tahu, keburu meninggalkan kita sebelum mennuntaskan niatnya itu. Untunglah sekarang ada GMr yang bisa menulis jauh lebih banyak puisi serupa ini. Tidaklah mudah menulis kembali cerita-cerita wayang yang semua orang (setidaknya Jawa) bisa dikatakan sudah tahu. Agar bisa membuat tema-tema yang bisa dikatakan basi ini dapat menjadi segar kembali, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu adanya tafsir baru mengenai maknanya dan adanya cara pengungkapan yang juga baru. Karena wayang pada dasarnya bergenre drama dengan dialog-dialog yang prosaik, tentu saja penceritaannya kembali dalam bentuk puisi sudah merupakan cara pengungkapan baru. Bila demikian halnya, tuntutannya dapat berubah, yaitu sejauh mana tema wayang itu sendiri dapat menimbulkan penyegaran pula dalam cara pengungkapan puisi itu sendiri. Puisi di atas menempatkan tokoh-tokoh wayang tidak dalam konteks politik, yaitu perebutan kekuasaan antara kurawa dan pandawa yang berakhir dalam berang bharata yudha, melainkan dalam konteks psikologis tokoh-tokohnya, dalam konteks permainan perasaan cinta dan gairah yang sebenarnya terasa menggebu di satu pihak, tetapi

34

tertahan di lain pihak. Dengan kata lain, konteks cerita yang sebenarnya bersifat sosial-kolektif itu berubah menjadi cerita cinta dan gairah yang bersifat persinal-individual. Dengan kata lain, sejalan dengan wacana puisi modern pada umumnya, puisi ini memindahkan “the law of politics” menjadi “the law of heart”. Tapi, dalam konteks budaya jawa sendiri, “rasa” merupakan sebuah hukum yang sentral bagi kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan tersebut. Kebudayaan Jawa bisa dikatakan tidak mempunyai institusi formal dan eksternal yang menopang kebudayaan itu. Semuanya bergantung pada kahanan yang berubah-ubah. Dan kemampuan perasaan untuk dapat menangkap dan bersikap dengan tepat terhadap kahanan pada momen tertentu (ngerti kahanan) merupakan indikator yang paling penting dalam menentukan identitas kejawaan seseorang. Dengan kata lain, penempatan cerita sayang dalam konteks perasaan yang subjektif ini pun bisa dikatakan hal yang juga lazim dalam masyarakat Jawa. “Mangan ora kroso mangan,” kata Umar Kayam pada suatu waktu ketika ia ngobrol tentang cara orang Jawa berpuasa”. Maka, yang menjadi penting dalam puisi ini adalah pertanyaan terakhir: seberapa jauh cerita wayang

35

dapat menyegarkan cara pengungkapan puisi. Dalam hal ini, puisi ini bisa dikatakan berhasil memanfaatkan potensi yang terdapat dalam cerita wayang untuk memperkaya cara pengungkapan puitisnya. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, di dalam cerita wayang terjadi ketumpangtindihan antara kehidupan kodrati manusia dengan kehidupan adikodrati, antara manusia dengan binatang dan bahkan dengan hewan. Artinya, terdapat semacam kesinambungan atau kontiguitas antara kedua dunia di atas. Kontiguitas inilah yang makro menyatu dengan yang mikro, yang eksternal dengan yang internal seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,yang menyimpan kesedihanku diam-diam Ada dewa surya dalam diri karna. Ada sungai gangga dalam sejarah hidupnya. Ada tubuh pada mata, mata pada tubuh. Begitu juga jantung. Keduanya melekat dengan erat, membuat keseluruhan menjadi bagian dan bagian menjadi keseluruhan. Inilah prinsip dasar dari metonimi.Kecenderungan yang sama tampak juga dalam kutipan berikut.

di malam pengantindua lelaki berkejaransepanjang tubuhku sepanjang malamberlarian di kancing baju, cincin,giwang, liontin,dan jam tangan kutipan di atas memperlihatkan kembali ketumpangtindihan antara yang makro dengan mikro, yang eksternal dengan internal, alam dengan tubuh. Ketumpangtindihan tersebut membuat citraan yang tergambar di dalamnya menjadi tampak surealistik. Yang membuatnya semakin surealistik adalah ketumpangtindihan waktu, antara masa kini dengan masa lalu, dunia wayang dengan dunia nyata, tradisi dengan modern: giwang, liontin, dengan jam tangan. Ketumpangtindihan tradisi dengan yang modern tersebut dinyatakan pula dalam penggabungan yang metonimik dengan yang metaforik, sebuah cara ungkap yang sentral dalam puisi modern yang berbasis budaya aksara yang memisahkan subjek dari objek, dunia luar dari dunia dalam, dan menempatkannya bukan dalam hubungan kontiguitas, melainkan similaritas. Ada persamaan antara matahari dengan mata, ada persamaan antara sungai gangga dengan aliran darah yang berpusat di jantung.

36

35

dapat menyegarkan cara pengungkapan puisi. Dalam hal ini, puisi ini bisa dikatakan berhasil memanfaatkan potensi yang terdapat dalam cerita wayang untuk memperkaya cara pengungkapan puitisnya. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, di dalam cerita wayang terjadi ketumpangtindihan antara kehidupan kodrati manusia dengan kehidupan adikodrati, antara manusia dengan binatang dan bahkan dengan hewan. Artinya, terdapat semacam kesinambungan atau kontiguitas antara kedua dunia di atas. Kontiguitas inilah yang makro menyatu dengan yang mikro, yang eksternal dengan yang internal seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. tapi cuma satu yang berdiam dalam anganku:lelaki dengan benih matahari di kedua matanya,dengan deras sungai gangga dalam jantungnya,yang menyimpan kesedihanku diam-diam Ada dewa surya dalam diri karna. Ada sungai gangga dalam sejarah hidupnya. Ada tubuh pada mata, mata pada tubuh. Begitu juga jantung. Keduanya melekat dengan erat, membuat keseluruhan menjadi bagian dan bagian menjadi keseluruhan. Inilah prinsip dasar dari metonimi.Kecenderungan yang sama tampak juga dalam kutipan berikut.

di malam pengantindua lelaki berkejaransepanjang tubuhku sepanjang malamberlarian di kancing baju, cincin,giwang, liontin,dan jam tangan kutipan di atas memperlihatkan kembali ketumpangtindihan antara yang makro dengan mikro, yang eksternal dengan internal, alam dengan tubuh. Ketumpangtindihan tersebut membuat citraan yang tergambar di dalamnya menjadi tampak surealistik. Yang membuatnya semakin surealistik adalah ketumpangtindihan waktu, antara masa kini dengan masa lalu, dunia wayang dengan dunia nyata, tradisi dengan modern: giwang, liontin, dengan jam tangan. Ketumpangtindihan tradisi dengan yang modern tersebut dinyatakan pula dalam penggabungan yang metonimik dengan yang metaforik, sebuah cara ungkap yang sentral dalam puisi modern yang berbasis budaya aksara yang memisahkan subjek dari objek, dunia luar dari dunia dalam, dan menempatkannya bukan dalam hubungan kontiguitas, melainkan similaritas. Ada persamaan antara matahari dengan mata, ada persamaan antara sungai gangga dengan aliran darah yang berpusat di jantung.

36

Modernitas bisa dipahami sebagai kenyataan keseharian hidup orang Jawa sekarang, sedangkan wayang merupakan dunia mitologis yang bersifat ideal. Konsep rasa lebih dekat dengan kahanan, dengan kenyataan yang berubah-ubah dan bertumpang-tindih. Namun, wayang, cenderung dipandang sebagai dunia ideal, budaya adilihung yang tetap dan tidak berubah-ubah. Masyarakat dan kebudayaan Jawa sebenarnya selalu berada di dalam ketegangan antara keduanya. Konsep “ngeli” merepresentasikan dengan tepat kecenderungan yang demikian. Mengikuti kahanan, tetapi tidak hanyut. Pada umumnya orang Jawa memahami Surtikanti sebagai lambang dari perempuan yang setia, yang dibedakan dari Banowati. Hal ini terutama dalam kaitan dengan hubungannya dengan Karna yang menjadi suaminya. Namun, puisi ini justru tidak melihat Surtikanti dalam konteks kesetiaan itu. Ia mengambil momen malam perkawinan antara perempuan tersebut dengan Duryudana, sebuah momen di mana Sutikanti sekaligus melakukan pertemuan gelap dengan Karna yang ia cintai. Pilihan ini membuat Surtikanti menjadi tidak berbeda dari Banowati dalam pandangan yang lazim.Dengan pilihan tersebut tampak bahwa puisi ini sebenarnya lebih berpihak pada rasa, subjektivitas,

kahanan, kenyataan keseharian, kemasakinian, dibandingkan dengan sisi dunia ideal dari wayang yang bersifat mitologis dan sosial. Ia lebih mengutamakan cerita mengenai wilayah yang gelap daripada wilayah yang terang, bahkan ketika ia bercerita tentang matahari, sang surya. biarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihkudari anjing jaga dan peronda Puisi ini memilih keli daripada ngeli. Dan dalam keli, perbedaan-perbedaan tak lagi ada. Surtikanti sama saja dengan Banowati. Dua-duanya adalah figur yang mendua, yang cair, yang terus berubah. Mungkin begitu.

37 38

Modernitas bisa dipahami sebagai kenyataan keseharian hidup orang Jawa sekarang, sedangkan wayang merupakan dunia mitologis yang bersifat ideal. Konsep rasa lebih dekat dengan kahanan, dengan kenyataan yang berubah-ubah dan bertumpang-tindih. Namun, wayang, cenderung dipandang sebagai dunia ideal, budaya adilihung yang tetap dan tidak berubah-ubah. Masyarakat dan kebudayaan Jawa sebenarnya selalu berada di dalam ketegangan antara keduanya. Konsep “ngeli” merepresentasikan dengan tepat kecenderungan yang demikian. Mengikuti kahanan, tetapi tidak hanyut. Pada umumnya orang Jawa memahami Surtikanti sebagai lambang dari perempuan yang setia, yang dibedakan dari Banowati. Hal ini terutama dalam kaitan dengan hubungannya dengan Karna yang menjadi suaminya. Namun, puisi ini justru tidak melihat Surtikanti dalam konteks kesetiaan itu. Ia mengambil momen malam perkawinan antara perempuan tersebut dengan Duryudana, sebuah momen di mana Sutikanti sekaligus melakukan pertemuan gelap dengan Karna yang ia cintai. Pilihan ini membuat Surtikanti menjadi tidak berbeda dari Banowati dalam pandangan yang lazim.Dengan pilihan tersebut tampak bahwa puisi ini sebenarnya lebih berpihak pada rasa, subjektivitas,

kahanan, kenyataan keseharian, kemasakinian, dibandingkan dengan sisi dunia ideal dari wayang yang bersifat mitologis dan sosial. Ia lebih mengutamakan cerita mengenai wilayah yang gelap daripada wilayah yang terang, bahkan ketika ia bercerita tentang matahari, sang surya. biarkan malam menyembunyikan cintakumenggelapkan kekasihkudari anjing jaga dan peronda Puisi ini memilih keli daripada ngeli. Dan dalam keli, perbedaan-perbedaan tak lagi ada. Surtikanti sama saja dengan Banowati. Dua-duanya adalah figur yang mendua, yang cair, yang terus berubah. Mungkin begitu.

37 38