globalisasi dan identitas lokal di kal-sel

28
GLOBALISASI, NEGARA BANGSA DAN IDENTITAS LOKAL (Kajian tentang "Perselingkuhan" Gerakan Formalisasi Agama Dengan Wacana Identitas Lokal di Kalimantan Selatan) * Oleh: Irfan Noor, M.Hum. * Abstract: Gerakan formalisasi syari’at Islam yang saat ini marak di Indonesia telah berhasil mengambil manfaat dari berkembangnya wacana peneguhan identiti lokal di era Otonomi Daerah. Salah satu dari keberhasilan gerakan ini adalah terbitnya berbagai Perda bernuansa syari'at Islam di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu daerah yang saat ini menunjukan kecenderungan seperti itu adalah Kalimantan Selatan. Di daerah ini, titik tolak berkembangnya wacana peneguhan identitas lokal adalah dampak negatif budaya global yang bersinergi dengan totalitarianisme konstruk negara bangsa. Oleh karena itu, ketika karakter khas yang dikembangkan oleh gerakan Islamisme adalah suatu ideologi perlawanan (counter- ideology) terhadap berbagai faham modenisme dan sekularisme, maka gerakan ini mampu berkelindan dengan wacana peneguhan identitas lokal yang juga mengembangkan suatu upaya perlawanan terhadap konstruk negara-bangsa yang cenderung bersifat totalitarianisme ala Orde Baru yang tidak lain juga merupakan produk modernisme. Alhasil, terbitlah berbagai Perda bernuansa syari'at Islam yang bersifat diskriminatif, sektarian, koruptif, dan tidak toleran dengan keanekaragaman budaya bangsa. Kata Kunci: Globalisasi, Formalisasi, Identitas Lokal, dan Perda Syari'at Islam Dunia kita sekarang dicirikan oleh arus kultur global yang bergerak begitu cepat yang dikendalikan oleh iklim kapitalisme dan neo-liberalisme; sebuah kultur dengan kekuatan dasar daya ekonomi. Sehingga, sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini terlepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari- * Tulisan ini merupakan makalah yang telah dipresentasikan dalam Annual Conference on Islamic Studies 2007 pada tanggal 21-24 November 2007 di Hotel Sahid Pekanbaru Riau yang diselenggarakan atas kerjasama Dit. Pendidikan Tinggi Islam Depag RI dengan UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Irfan Noor, M. Hum adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Saat ini penulis sedang melanjutkan studinya pada Ph.D Programe di Universiti Utara Malaysia. 1

Upload: irfan-noor-mhum

Post on 07-Jun-2015

1.357 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

GLOBALISASI, NEGARA BANGSA DAN IDENTITAS LOKAL(Kajian tentang "Perselingkuhan" Gerakan Formalisasi Agama

Dengan Wacana Identitas Lokal di Kalimantan Selatan)∗

Oleh: Irfan Noor, M.Hum.∗

Abstract:Gerakan formalisasi syari’at Islam yang saat ini marak di Indonesia telah berhasil mengambil manfaat dari berkembangnya wacana peneguhan identiti lokal di era Otonomi Daerah. Salah satu dari keberhasilan gerakan ini adalah terbitnya berbagai Perda bernuansa syari'at Islam di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu daerah yang saat ini menunjukan kecenderungan seperti itu adalah Kalimantan Selatan. Di daerah ini, titik tolak berkembangnya wacana peneguhan identitas lokal adalah dampak negatif budaya global yang bersinergi dengan totalitarianisme konstruk negara bangsa. Oleh karena itu, ketika karakter khas yang dikembangkan oleh gerakan Islamisme adalah suatu ideologi perlawanan (counter-ideology) terhadap berbagai faham modenisme dan sekularisme, maka gerakan ini mampu berkelindan dengan wacana peneguhan identitas lokal yang juga mengembangkan suatu upaya perlawanan terhadap konstruk negara-bangsa yang cenderung bersifat totalitarianisme ala Orde Baru yang tidak lain juga merupakan produk modernisme. Alhasil, terbitlah berbagai Perda bernuansa syari'at Islam yang bersifat diskriminatif, sektarian, koruptif, dan tidak toleran dengan keanekaragaman budaya bangsa.

Kata Kunci: Globalisasi, Formalisasi, Identitas Lokal, dan Perda Syari'at Islam

Dunia kita sekarang dicirikan oleh arus kultur global yang bergerak begitu cepat

yang dikendalikan oleh iklim kapitalisme dan neo-liberalisme; sebuah kultur dengan

kekuatan dasar daya ekonomi. Sehingga, sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial,

budaya dan politik dewasa ini terlepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan

teknologi informasi dan komunikasi telah memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-

∗ Tulisan ini merupakan makalah yang telah dipresentasikan dalam Annual Conference on Islamic Studies 2007 pada tanggal 21-24 November 2007 di Hotel Sahid Pekanbaru Riau yang diselenggarakan atas kerjasama Dit. Pendidikan Tinggi Islam Depag RI dengan UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Irfan Noor, M. Hum adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Saat ini penulis sedang melanjutkan studinya pada Ph.D Programe di Universiti Utara Malaysia.

1

Page 2: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

hari, bahkan merombak sistem sosial.1 Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada

penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya

hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Kita sekarang seakan-akan tinggal dalam

dunia yang semakin dicirikan oleh Amerikanisasi, McDonaldisasi, dan homoginisasi. Artinya,

cara-cara dimana kultur Amerika Serikat menyebar dan diekspor ke penjuru dunia sejalan

dengan ideologi pasar bebas yang dianutnya.2

Paradoks ini misalnya, dikemukakan Robert W McChesney (Rich Media, Poor

Democracy, 2000) bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi

memberi kemudahan bagi publik dalam mengakses informasi, mengembangkan segenap

potensinya serta tuntutan perjuangan hidupnya, tapi di sisi lain, globalisasi telah menjadi

instrumen negara-negara industri maju dan kekuatan elite minoritas pemilik modal guna

melakukan hegemoni dan dominasinya atas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat.

Namun demikian, sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya

memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan kemajuan dan kecanggihan sains dan

teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban

Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya

modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.

Point terakhir inilah sesungguhnya yang menjadi titik paling penting dari arti

globalisasi. Bahwa globalisasi juga telah memungkinkan tuntutan ke arah demokratisasi

transnasional di seluruh penjuru dunia makin meningkat. (Anthoni Giddens, 2000).

Tuntutan persamaan hak dan kesejahteraan hidup, kesetaraan derajat, dan desakan

terbentuknya keseimbangan tatanan dunia yang lebih adil kian kencang disuarakan.

Globalisasi telah membuat dunia makin terbuka, dan melahirkan aneka tuntutan perluasan

partisipasi dan pemberdayaan rakyat yang lebih besar. Fenomena ini juga diiringi oleh

munculnya berbagai bentuk penegasan kembali identitas-identitas komunal masyarakat.

Adanya tuntutan pengakuan atas identitas komunal dan hak budaya lokal sekaligus

1Dalam bagian pengantar bukunya The Rise of the Network Society, Manuel Castells membeberkan transformasi sosial yang sedang terjadi, dalam kecepatan tinggi, di dunia kita hidup ini. Revolusi teknologi yang berpusat pada teknologi informasi mulai membentuk kembali basis material dari masyarakat kita. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya di bidang teknologi informasi, namun juga di bidang politik, kultur, ekonomi, dan hubungan sosial. Lihat : Manuel Castells, The Information Age: Economy, Society, and Culture, Vol. I: The Rise of the Network Society, (Oxford: Blackwell, 2000), hlm. 1-27.

2Hendar Putranto, "Analisis Budaya dari Pascamodernisme dan Pascamodernitas", dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 254.

2

Page 3: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

membuktikan, ada resistensi atas kecenderungan peminggiran, dominasi dan homogenisasi

global.

Di antara bentuk artikulasi penegasan identitas yang paling radikal adalah gerakan

fundamentalisme agama yang tengah marak akhir-akhir ini. Dengan demikian, hal ini berarti

bahwa kelahiran fundamentalisme agama secara fenomenologis bukan an sich akibat

dampak interpretasi tekstual-skripturalistik atas dogma dan doktrin keagamaan, melainkan

juga akibat respons radikal atas dinamika perkembangan global yang dominatif dan

eksploitatif dengan menggunakan agama sebagai basis legitimasi. Prof Bassam Tibi (1998),

seorang intelektual Muslim Syria yang bermukim di Jerman, menunjukkan bahwa

fundamentalisme Islam adalah perlawanan atas hegemoni peradaban Barat, yang

direpresentasikan oleh ketidakmampuan negara-bangsa dalam menyelesaikan problem-

problem ekonomi, budaya, dan sosial politik. "Solusi Islam" bagi mereka adalah antitesis

dari tatanan Barat yang dianggap bobrok dan amoral.

Dalam dunia yang dengan kadar perubahan yang cepat semacam ini, orang

cenderung membentuk kelompok-kelompok yang berbasis pada identitas primer mereka,

seperti agama, etnis, wilayah, dan negara. Dalam dunia seperti ini, pencarian identitas, baik

itu kolektif maupun individual, menjadi sumber paling dasar dari makna (pemaknaan), the

fundamental source of meaning. Sebagai konsekuensinya, terjadilah retakan antara

instrumentalisme abstrak dan universal dengan identitas partikular yang berakar dalam

sejarah lokal. "Masyarakat kita semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub, yaitu antara

jaringan global dan kutub diri",3 demikian kesimpulan Manuel Castells. Tidak heran jika

kemudian muncul berbagai bentuk reaksi defensif terhadap globalisasi, seperti yang tampak

dalam fundamentalisme agama, kebangkitan etnis, perjuangan penegakan hak-hak kaum

pribumi, dan konflik bernuansa rasis.

Dengan diantar oleh deskripsi di atas, tulisan ini akan berupaya menelisik secara

kritis bagaimana kehadiran gerakan formalisasi syari'at Islam di Indonesia mampu berperan

sebagai agen bagi peneguhan kembali identitas lokal melalui wacana kebangkitan etnisitas.

Agama, sebagaimana yang diungkapkan oleh Manuel Castells, memang merupakan sumber

yang penuh kekuatan dan paling fundamental bagi sebuah pencarian identitas. Hal ini

karena, dalam periode sejarah yang dicirikan oleh destrukturasi organisasi, delegitimasi

institusi, melenyapnya gerakan-gerakan sosial yang berdampak besar, dan ekspresi kultural

3Ibid., hlm. 3 (Our societies are increasingly structured around a bipolar opposition between the Net and the self).

3

Page 4: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

yang bersifat sementara, identitas berbasis agama dan etnisitas akan menjadi sumber makna

yang utama. Orang semakin mengatur, menata makna hidup mereka bukan di seputar apa

yang mereka lakukan, tetapi lebih berbasis pada apa-nya mereka, atau apa yang mereka

percaya.

Politik Formalisasi Syari'at Islam: Dari Negara Menuju Peneguhan Identitas Lokal Jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membuka jalan bagi era

liberalisasi politik di negeri ini, yang ditandai dengan banyaknya partai politik didirikan.

Alhasil, dari 148 partai politik, maka ada sekitar 42 diantaranya bisa dikategorikan sebagai

partai politik Islam.4

Bersamaan dengan runtuhnya rejim Orde Baru itu pula, menurut Jamhari,

berkembang wacana dan gerakan formalisasi syari’at Islam di pelbagai daerah di Indonesia.5

Perkembangan ini ditengerai oleh tiga peristiwa penting, yaitu (1) Munculnya perdebatan di

tingkat nasional ketika MPR melaksanakan sidang tahunan pada tahun 1999 dan pada

sidang tahunan selanjutnya. Ketika itu, sekelompok umat Islam berupaya memaksakan

untuk dimasukkan kembali tujuh kata yang pernah dihapuskan dari ‘Piagam Jakarta’, yaitu

“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, ke dalam Konstitusi

Republik Indonesia, Undang-Undang 1945; (2) Terbitnya berbagai Perda bernuansa Syari'at

Islam di berbagai daerah di Indonesia; (3) Lahirnya secara demontratif kelompok-kelompok

Islam Radikal, seperti: Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan lain sebagainya.

Menyangkut perjuangan mengembalikan tujuh kata yang pernah dihapuskan dari

‘Piagam Jakarta’ dan terbitnya berbagai Perda bernuansa Syari'at Islam di berbagai daerah di

Indonesia, maka semenjak berdirinya negara Indonesia sudah empat kali terjadi perdebatan

tentang perlu dikembalikannya Piagam Jakarta, yaitu: (1) sidang BPUPKI-PPKI tahun

1945; (2) sidang Majelis Konstituante 1956-1959, dan; (3) sidang MPRS tahun 1966-1968.

Peristiwa ini kembali terjadi pada Sidang Tahunan MPR tanggal 7 – 18 Agustus 2000 dan

Sidang Tahunan MPR pada tanggal 1 – 10 Agustus 2002. Fraksi Persatuan Pembangunan

(FPP) dan Fraksi Bulan Bintang (FBB) dalam rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR

yang bertugas menyiapkan amandemen UUD 1945 mengusulkan pencantuman kembali 4Ada lima kriteria yang dapat diajukan untuk mengenali sebuah partai sebagai partai Islam,

yaitu: nama, asas, tanda gambar, tujuan/program, dan konsituen. Lihat Arskal Salim, Partai Islam dan Relasi Agama – Negara, (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999), hlm. 8-11.

5Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm.v.

4

Page 5: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

"tujuh kata" yang hilang dari Piagam Jakarta ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 (pasal

29).6 Dengan pengalaman kegagalan di tingkat nasional ini, muncul skenario baru dalam

perjuangan formalisasi Syari'at Islam, yakni perjuangan di tingkat daerah melalui

pencantuman ke dalam Peraturan Daerah (Perda) atau peraturan perundang-undangan lain

di tingkat daerah.

Kenapa disebut dengan "Formalisasi Syari'at Islam" ? Hal ini karena yang dimaksud

dengan gerakan Syari'at Islam yang mucul akhir-akhir ini bukanlah sekedar "pemberlakuan

syari'at Islam" dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Jauh dari itu, gerakan ini

sesungguhnya berupaya untuk "memformalkan" syari'at Islam ke dalam tubuh negara, yang

tujuan akhirnya adalah perubahan dasar negara untuk menjadi "Negara Islam".7

Diawali di Bekasi, hingga kini Perda bernuansa Syariat Islam8 bertebaran di lebih

dari 22 Kabupaten dan kota se Indonesia.9 Berbeda dengan Nanggroe Aceh Darusalam

(NAD) yang melaksanakan Syariat Islam secara formal berdasarkan Undang-Undang

Otonomi Khusus Aceh10, maka implementasi di 22 Kabupaten/kota di atas rata-rata

menerapkan Anti Maksiat, Kewajiban Berjilbab, ataupun Fasih baca Alqur’an melalui

Peraturan Daerah. Daerah-daerah tersebut antara lain, Propinsi Banten, Propinsi Riau,

Propinsi Gorontalo, Propinsi Sumatera Barat, Kota Makasar, Kota Ternate, kota

Palembang, Kabupaten Banjar (Martapura), kabupaten Serang, kabupaten Tasikmalaya,

kabupaten Sukabumi, kabupaten Cianjur, dan kabupaten Garut.11 Bahkan, empat kabupaten

yang disebut terakhir, secara demonstratif, telah mendeklarasikan "pemberlakuan syari'at

Islam" pada 1 Muharram tahun 2001.12

6Nurrohman dan Marzuki Wahid, "Politik Formalisasi Syari'at Islam dan Fundamentalisme", dalam Jurnal Istiqro', Vol. 01, No. 01, 2002, (Jakarta: Dir.Pertais, 2002), hlm. 47.

7Ibid., hlm. 49-52.8Penamaan Perda Bernuansa Syariat menjadi Perda Syariat atau Peraturan Daerah

bernuansa Syariat Islam mulai digunakan pada saat sebuah interupsi di DPR RI dalam sebuah Sidang Paripurna oleh Sdr. Constant Ponggawa yang kemudian diikuti dengan sebuah surat permohonan kepada kepada Ketua DPR RI agar menyurati Presiden RI guna mencabut dan membatalkan Perda bernuansa syariat Islam tersebut. Surat tersebut dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 2006 yang kemudian dalam pemberitaan Pers selanjutnya sering disingkat menjadi Perda Syariat saja. Lihat juga uraian Audy WMR Wuisang dalam http://audywuisang.blogspot.com /2007/05/perda-syariat-vs-nasionalisme-indonesia.html

9Majalah Tempo edisi 8, 14 Mei 2006. 10UU No 22/2001 mengenai Otonomi Khusus Aceh tidak akan dibahas disini, karena

kasusnya berbeda.11Nurrohman dan Marzuki Wahid, "Politik Formalisasi Syari'at Islam dan

Fundamentalisme", dalam Jurnal Istiqro', Vol. 01, No. 01, 2002, (Jakarta: Dir.Pertais, 2002), hlm. 48.12Ibid., hlm. 51.

5

Page 6: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Di Kalimantan Selatan sendiri, fenomena formalisasi syari'at Islam ke dalam bentuk

Peraturan daerah ini mulai terjadi secara khusus di kabupaten Banjar, Martapura. Sebagai

sebuah bentuk dari upaya untuk meningkatkan citra dan identitas kota Martapura13 sebagai

pusat penyebaran Islam di Kalimantan Selatan, maka Pemerintah kabupaten Banjar dan

DPRD-nya mulai tahun 2001 mengeluarkan Perda Puasa Ramadhan dan kemudian disusul

Perda Khatam Qur'an dan Perda Pengelolaan Zakat tahun 2004, serta Perda Jum'at Khusu'

No. 08 tahun 2005.14 Dengan terbitnya Perda-perda semacam itu, akhirnya kota

Banjarmasin15 dan Amuntai, kab. Hulu Sungai Utara16 pun dan beberapa kabupaten di

Kalimantan Selatan turut mengikuti gejala yang terjadi di pemerintahan kabupaten Banjar di

atas.

Sebagian pakar (Azra, 2002; Effendi, 2004; Madjid, 2000) mengatakakan bahwa

munculnya gerakan formalisasi Syari'at Islam di wilayah politik kebangsaan ini

sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kemunculan kelompok-kelompok Islam

fundamentalis (Islamisme) di Indonesia dewasa ini.17 Watak khas yang dikembangkan oleh

13Kota Martapura sering digelari oleh masyarakatnya sebagai kota “Serambi Mekkah” (Daud: 1997; Rosyadi: 2004; Rudy Arifin: 2004; Alfisyah: 2005). Lihat tulisan Rudi Arifin (mantan Bupati kabupaten Banjar periode 2000-2005): "Martapura Bumi Serambi Mekkah", dalam Nurhudianto, Martapura Bumi Serambi Mekkah (Secunting Pemikiran Rudy Arifin), (Martapura: Pemkab Banjar, 2004), hlm. 38-45.

14Rudy Arifin, "Martapura Bumi Serambi Mekkah", dalam Nurhudianto, Martapura Bumi Serambi Mekkah (Secunting Pemikiran Rudy Arifin), (Martapura: Pemkab Banjar, 2004), hlm. 38-45. Lihat lebih jauh naskah-naskah berikut: (1) Perda Kab. Banjar No. 9 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat; (2) Perda Kab. Banjar No. 05 Tahun 2004 tentang perubahan atas Perda Kab. Banjar No. 10 Tahun 2001 tentang membuka restoran, warung, rombong dan yang sejenis serta makan, minum dan atau merokok di tempat umum pada bulan ramadhan; (3) Perda Kab. Banjar No. 04 Tahun 2004 tentang Khatam al-Qur'an bagi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah di kab. Banjar; (4) Perda kab. Banjar No. 08 Tahun 2005 tentang Jum'at Khusu'.

15Lihat lebih jauh lihat naskah-naskah berikut: Perda Kota Banjarmasin No. 13 Tahun 2003 tentang larangan kegiatan pada bulan Ramadhan.

16Lihat lebih jauh lihat naskah-naskah berikut: (1) Perda Kab. HSU No. 2 Tahun 1988 tentang pencegahan perbuatan pelacuran / tuna susila; (2) Perda Kab. HSU No. 32 Tahun 2003 tentang pencegahan dan pelarangan kegiatan yang menodai kesucian bulan Ramadhan.

17Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. viii. Sedikit ilustrasi atas fenomena maraknya kelompok-kelompok Islam berhaluan formalisme di Indonesia dalam beberapa tahun ini. Sedikitnya, ada beberapa kelompok model ini yang sering tampil ke wilayah publik bangsa ini. Kelompok-kelompok tersebut antara lain KAMMI, HTI, Jama’ah Tabligh, hingga yang agak radikal seperti FPI, Laskar Jihad dan MMI. Dari mana sesungguhnya mereka bisa hadir dan menjadi fenomenal di negeri yang konon katanya moderat dan akomodatif ini ? Jawabnya berawal pada peristiwa berpalingnya tokoh-tokoh Masyumi dari arena politik kepada aktivitas dakwah Islam sebagai akibat langsung kebijakan “depolitisasi Islam” era Orde Baru. Proses berpalingnya tokoh-tokoh Masyumi ini berawal dari ditolaknya keinginan mereka untuk merehabilitasi Masyumi oleh pemerintahan awal Orde Baru pada tahun 1967. Maka sejak saat itu, berkembang paradigma baru para mantan pemimpin Masyumi ini untuk memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik (Yudi Latif, 2005: 497).

6

Page 7: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

kelompok-kelompok Islamisme seperti ini adalah suatu gerakan yang tidak hanya dalam

bentuk pemurnian keagamaan semata, tapi juga dalam bentuk ideologi perlawanan (counter-

ideology) terhadap berbagai faham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, seperti

modenisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain.18

Gerakan kelompok-kelompok Islamisme ini di Indonesia tersebut baru menemukan

jati diri politiknya setelah berbagai partai Islam dan kelompok Islam bermunculan seiring

dengan dibukanya kebebasan politik. Di sini, gerakan kelompok-kelompok Islamisme itu

dapat dibagi ke dalam dua tipologi, yaitu: (1) Islamisasi secara total dengan mengembalikan

Tepatnya 26 Februari 1967, para mantan pemimpin Masyumi ini mengadakan pertemuan di masjid al-Munawarrah (Tanah Abang, Jakarta), yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Karena pengaruh lobi Natsir, DDII dapat memperoleh akses ke lembaga-lembaga donor dari negara-negara Timur Tengah. Sehingga dimungkinkan untuk membiayai aktivitas-aktivitas dakwah dan mengirim para siswa Indonesia belajar ke Timur Tengah. Dan tak kalah pentingnya, DDII juga melakukan usaha-usaha awal untuk merekrut kader-kader muda dengan tujuan untuk menciptakan para intelektual “organik” bagi gerakan-gerakan dakwah masjid kampus. Rekrutmen kader-kader muda dengan tujuan melatih keder-kader dakwah kampus ini memang mampu mendorong gerakan dakwah masjid kampus, yang menjadi fenomena 1970-an dan 1980-an di Indonesia. Dan yang menjadi penanda dari fenomena ini adalah didirikannya masjid-masjid kampus di milieu universitas-universitas yang prestisius, seperti ITB dan UI. Prototipe gerakan dakwah kampus ini mucul dari masjid Salman ITB yang dikenalkan oleh Immaduddin Abdulrahim melalui paket Latihan Mujahid Dakwah (LMD) sekitar tahun 1973. Yang menarik, materi dasar dari ideologi LMD adalah versi modifikasi dari NDP-nya HMI yang disusun oleh Nurcholish Madjid. Di LMD ini lebih ditekankan doktrin tauhid dan perhatian khusus terhadap ancaman perang pikiran (ghazwul fikr) dengan ide-ide sekuler Barat. Keberhasilan program LMD ini berhasil membangkitkan gerakan dakwah masjid kampus ditandai lahirnya LDK di beberapa universitas umum di Indonesia. Konon, keberhasilan ini juga membangkitkan gerakan dakwah masjid di luar kampus. Yang terakhir ini ditandai dengan lahirnya Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) di tahun 1977, yang pada tahun 1993 berubah menjadi BKPRMI. Seiring dengan berkembangnya gerakan dakwah masjid di dalam/luar kampus, maka secara tidak langsung aktivis-aktivis yang terlibat di dalam gerakan ini belakangan menjadi tempat persinggahan gerakan Islam dari luar, seperti Ikhwanul Muslimin (mesir), Darul Arqam (Malaysia), Jama’ah Tabligh (Pakistan), dan Hizbut Tahrir Indonesia (Yordania). Dari sinilah awal mula perkembangan ideologi Islamisme dari Timur Tengah secara lebih intensif di kalangan aktivis muda dakwah di Indonesia. DDII sendiri merupakan agen yang paling berperan dalam penyebarluasan ideologi Ikhwanul Muslimin lewat pelatihan-pelatihan kader dakwah yang mereka laksanakan. Seiring dengan itu, berdirinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) juga turut berperan dalam penyebarluasan ideologi Ikhwanul Muslimin dan ideologi Islamisme lainnya. Penyebarluasan ideologi ini makin intens ketika para mahasiswa yang pernah dikirim Natsir ke Timur Tengah kembali ke tanah air sekitar tahun 1980-an. Dengan masuknya ideologi Islamisme dari Timur Tengah ini, maka proses pembentukan identitas diri aktivis-aktivis dakwah ini pun makin menemukan bentuknya secara konseptual, dimana mereka mampu mengembangkan diri sebagai bagian dari gerakan yang tidak hanya bersandar pada aktivitas purifikasi keagamaan semata, tapi juga dalam bentuk ideologi perlawanan atas berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain (Jamhari dan Jahroni, 2004: viii). Ideologi Islamisme yang diterima para aktivis dakwah ini pada saat yang bersamaan menemukan titik-temunya pada serangkaian peristiwa yang dibuat Orde Baru untuk memojokkan para aktivis Islam sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an, dengan puncak peristiwa pada kasus Tanjung Priok di akhir1984. Titik temu inilah yang akhirnya mampu secara efektif menciptakan sikap diri para aktivis sebagai kelompok yang kontra terhadap eksistensi negara sekuler yang diciptakan Orde Baru.

7

Page 8: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

sistem politik ke zaman kekhalifahan Islam. Tipologi ini bisa diwakili oleh kelompok Islam

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI); (2) Islamisasi yang masih mempertimbangkan negara-

bangsa Indonesia, dalam artian, bertujuan untuk membentuk negara Islam Indonesia.

Tipologi ini bisa diwakili oleh kelompok Islam, seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam

(FPI), Ikhwanul Muslimin, dan kelompok yang sejenis.19

Walaupun gerakan kelompok-kelompok Islamisme ini berbeda, namun kedua

model tipologi gerakan kelompok-kelompok Islamisme ini bertemu dalam perjuangan

formalisasi syari'at Islam dengan memasukkannya ke dalam perundang-undangan nasional

maupun peraturan daerah. Perjuangan formalisasi Syari'at Islam ini muncul dalam tiga

bentuk: (1) Perjuangan kembali ke Piagam Jakarta; (2) Memasukkan muatan Syari'at Islam

ke dalam perundang-undangan nasional; (3) Terbitnya Peraturan Daerah (Perda) bernuansa

Syari'at Islam.

Pada tataran sebagai ideologi perlawanan inilah, gerakan formalisasi Syari'at Islam

mampu berkelindan dengan wacana peneguhan identitas lokal di era Otonomi Daerah. Jika

ideologi Islamisme mengembangkan suatu perlawanan terhadap ideologi-ideologi sekuler,

maka wacana peneguhan identitas lokal mengembangkan suatu perlawanan terhadap

konstruk negara-bangsa yang cenderung bersifat totalitariasme ala Orde Baru yang tidak

lain juga merupakan produk modernisme. Oleh karena itu, umumnya gerakan perjuangan

formalisasi syari'at Islam ke dalam bentuk Peraturan daerah di Indonesia ditengarai banyak

yang menggunakan dalih sebagai sebuah bentuk dari upaya untuk meningkatkan citra dan

identitas lokal yang terkikis oleh hegemoni negara yang dinilai sekuler.

Perda Syari'at Islam di Kalimantan Selatan; Suatu Kasus Pencarian Identitas Lokal yang Tercerabut

Fenomena perjuangan formalisasi Syari’at Islam di tingkat daerah yang berkelindan

dengan wacana identitas lokal di era Otonomi Daerah ini bisa dilihat geliatnya di beberapa

daerah di Indonesia. Salah satu bentuknya yang sangat tampak adalah lahirnya Perda-Perda

berbasis Syari’at Islam di Kalimantan Selatan. Paling tidak, ada tiga wilayah yang sangat giat

dalam memperjuangkan lahirnya Perda-Perda syari'at Islam ini, yakni Kota Banjarmasin,

Kab. Banjar (Martapura), Kab. Hulu Sungai Utara (Amuntai), yang memiliki motif sebagai

18Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Op.Cit., hlm. viii. 19M. Imadadun Rahmat dan Khamami Zada, "Agenda Politik Gerakan Islam Baru", dalam

Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Khusus [Pergulatan Identitas Islam: Pergulatan Islamisme dan Islam Progresif], (Jakarta: Depag RI & Lakpesdam NU), hlm. 39.

8

Page 9: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

usaha untuk meneguhkan identitas lokal. Secara lebih rinci, Perda-Perda Syari’at Islam yang

dilahirkan oleh ketiga wilayah ini adalah sebagai berikut:

A. Kota Banjarmasin:

- Perda Ramadhan No. 13 Thn. 2003.- Perda Pengelolaan Zakat No. 31 Tahun 2004.- Perda Ramadhan No. 4 Thn. 2005 (Perubahan Perda Ramadhan No. 13

Thn. 2003)- Perda Miras No. 6 Thn. 2007- Surat Edaran tentang Pemakaian Jilbab bagi PNS di lingkungan Pemko.

Banjarmasin.

B. Kab. Banjar (Martapura):

- Surat Edaran Bupati No. 065.2/00023/ORG tentang Pemakaian Jilbab bagi PNS di lingkungan Pemkab. Banjar.

- Perda Ramadhan No. 5 Thn. 2004 (Perubahan Perda Ramadhan No. 10 Thn. 2001)

- Perda Pengelolaan Zakat No. 9 Thn. 2003.- Perda Khatam al-Qur'an bagi Peserta Didik pada SD, SMP, dan SMA No. 4

Thn. 2004.- Perda Jum'at Khusu' No. 08 Tahun 2005.- Perda No. 05 Tahun 2006 tentang Penulisan Aksara Arab Melayu pada

Plang Nama Kantor-Kantor Pemerintahan.

C. Kab. Hulu Sungai Utara (Amuntai):

- Perda Miras No. 6 Thn. 1999.- Perda Perjudian No. 7 Thn. 2000- Perda Ramadhan No. 32 Thn. 2003.- Perda Zakat, Infaq dan Shadaqah No. 19 Tahun 2005.

Secara umum, konteks lahirnya Perda-Perda di atas ini berbarengan dengan

diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Thn. 1999. Seiring dengan

lahirnya kebijakan tersebut, banyak daerah di Indonesia yang melihatnya sebagai peluang

untuk mengembalikan kembali identitas lokal yang hilang selama Orde Baru dengan

kebijakannnya yang sangat sentralistik. Dengan demikian, otonomi daerah menjadi sarana

bagi usaha re-invensi identitas lokal sekaligus otentisitas diri sebuah daerah yang selama ini

mengalami proses penyeragaman dari proyek nasionalisasi bangsa.

Di Kalimantan Selatan, misalnya, hampir seluruh informan yang kami wawancarai

mengungkapkan harapannya tentang kembalinya identitas lokal yang telah hilang selama ini.

Identitas lokal yang selama ini mereka harapkan tersebut adalah ketika Islam identik dengan

masyarakat Banjar. Identitas lokal seperti ini, memang, secara historis dapat ditelusuri dari

mulai berdirinya Kerajaan Islam Banjar, terbitnya UU Sultan Adam yang merefleksikan

9

Page 10: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

bentuk awal formalisasi Islam di zaman kerajaan Banjar, figur Syeikh Muhammad Arsyad

al-Banjari yang mampu menjadikan wilayah Banjar sebagai pusat kajian Islam di Kalimantan

umumnya. Secara lebih khusus identitas lokal itu dikemukakan mereka melalui ungkapan

"Banjar itu Islam", "Martapura kota serambi Mekkah", dan "Amuntai kota bertakwa".

Sebagai ilustrasi dari perlunya mempertahankan identitas keislaman yang menjadi

identitas lokal ini tampak dalam kutipan di bawah ini:

“… karena dulunya Martapura ini disebut sebagai kota Serambi Mekkah, maka kita mengharapkan untuk mengembalikan kembali citranya sebagai kota Serambi Mekkah dengan mencari langkah-langkah, bagimana agar masyarakat Martapura ini taat kembali dengan agamanya.”20

Mengapa identitas sosial-religius ini menjadi penting ? Jawabnya karena identitas

sosial-religius ini sangat terkait dengan kokohnya bangunan tatanan sosial yang agamis di

tengah-tengah perubahan sosial yang begitu cepat dan hadirnya nilai-nilai baru dari dunia di

luar Islam. Ungkapan tentang pentingnya menjaga identitas sosial religius ini juga bisa

dilihat dalam kutipan berikut ini:

Tujuannya untuk mendukung citra Martapura sebagai kota Serambi Mekkah. Kita kan prihatin karena melihat masyarakatnya religius tapi tindak kriminalitasnya juga tinggi dan ditambah dengan derasnya masuk budaya-budaya asing yang mungkin akan berdampak negatif bagi masyarakat di sini.21

Penelusuran atas sumber-sumber historis Banjar memang menunjukkan bahwa

dengan berdirinya Kesultanan Banjar memang Islam pernah dijadikan sebagai referensi

sosial yang utama dalam perilaku-perilaku masyarakatnya.22 Adapun titik berangkat mulai

berkembangnya bentuk-bentuk perilaku sosial yang bersifat religius tersebut baru terjadi

ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang kembali dari Mekkah23 pada tahun 1772 di

masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I, melakukan proses intensifikasi peningkatan

pengetahuan keislaman pada masyarakat Banjar saat itu,24 dan proses ini kemudian

menemukan bentuk formalnya pada tahun 1835, atau sekitar lima puluh tahun sesudah 20 Hasil wawancara dengan KH. Anang Sya’rani (Ulama) pada tanggal 8 Juni 2005 jam 11.20

– 12.17 di rumah jalan Tanjung Rema Martapura.21 Hasil wawancara dengan H. Imran Hadimi (Anggota DPRD kab. Banjar) pada tanggal 12

Juni 2005 di rumah Dinas DPRD kab. Banjar.22J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, (The Hague: Martinus Nijhoff,

1968), hlm. 430.23Lihat A. Hafiz Anshari, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam

Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan”, dalam Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I, No. 1, Januari-Februari 2002 (Banjarmasin: IAIN Antasari), hlm. 19.

24Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 54.

10

Page 11: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari meninggal dunia, ketika dikukuhkannya secara formal

Undang-Undang Sultan Adam yang diberlakukan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar

sebagai dasar orientasi sosial beragama masyarakat Banjar.25

Asumsi bisa dikemukan dengan melihat salah-satu pasal dari Undang-Undang

tersebut:

"Adapoen parkara jang partama akoe soeroehkan sakalian ra'jatkoe laki-laki dan bini-bini baratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada saseorang baratikat dengan atikat ahal a'bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang baratikat lain daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroehkan hakim itoe manoebatkan dan mangdjari taikat yang batoel lamoen anggan inja daripada toebat bapadah hakim itu kajah diakoe."26

Tampak sekali di situ formalisasi agama merupakan salah satu tujuan dari

diterapkannya Undang-Undang ini.

Atas dasar inilah, Alfani Daud menegaskan hal sebagai berikut:

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri) di samping sebagai “menjadi orang Banjar”.27

Kenyataan seperti ini semakin tampak jelas bila dilihat ketika pada pertengahan

abad ke-17 masyarakat Banjar dihadapkan dengan kedatangan Portugis yang beragama

Katolik dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang Dayak Ngaju.28 Dalam konteks

historis ini, tentunya, dapat dibaca bahwa agama merupakan penanda identitas yang bersifat

situasional yang dengan sadar dapat dilekatkan pada suatu kolektif suku-bangsa, baik oleh

suku-bangsa itu sendiri, maupun oleh suku bangsa lainnya. Pada kasus-kasus tertentu,

seseorang atau sekelompok orang yang pindah agama tidak saja berakibat pada terjadinya

25Lihat naskah Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, disalin ulang oleh Artum Artha dan dicetak oleh penerbit Murya Artha di Banjarmasin tahun 1988. Undang-Undang ini ditetapkan pada jam 09.00 pagi hari Kamis tanggal 15 Muharram 1251 H oleh Sultan Adam. Dalam Undang-Undang itu diatur secara pokok mengenai keyakinan dan ibadah, masalah kehidupan bermasyarakat, seperti penggunaan tanah, masalah suami-istri, dakwah, keadilan, sampai pada tugas-tugas pejabat Kerajaan. Sebagai contoh dari isi Undang-Undang tersebut, Pasal Pertama, misalnya, menyebutkan seluruh rakyat wajib menganut I'tikad Ahlu Sunah wal Jama'ah dan dalam pasal kedua disebutkan keharusan membuat langgar (mushalla) di tiap kampung.

26Naskah Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, hlm. 4.27Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 504.28Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin: Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja Kerajaan

Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuhbelas. (Bandung: Balai Pendidikan Guru, 1958), hlm. 16.

11

Page 12: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

perubahan dalam hal identitas agamanya, tetapi juga dapat berakibat pada terjadinya

perubahan dalam hal identitas suku-bangsanya.

Harapan ini begitu mendapat tempat di tingkat masyarakat ketika degradasi moral

makin menjadi problem utama masyarakat. Informan yang diwawancarai mengungkapkan

bahwa degredasi moral ini terjadi akibat masyarakat kehilangan identitas yang membentengi

diri dari dampak negatif globalisasi yang dibawa oleh proses modernisasi yang tengah

dijalan oleh negara.29 Ilustrasi yang digambarkan sebagai bagian dari dampak langsung yang

bersifat negatif dari globalisasi adalah peredaran narkoba, VCD porno, media-media

sensual, pergaulan muda-mudi yang sangat bebas, dan lain-lain. Problem ini semakin

mengkhawatirkan di beberapa kalangan tokoh agama dan masyarakat yang diwawancarai

ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam (seperti: madrasah atau Pondok Pesantren) dan

para ulamanya mulai kehilangan perannya di tengah-tengah masyarakat.30

Pada tataran inilah, sebagai ideologi perlawanan, gerakan formalisasi Syari'at Islam

akhirnya mampu berkelindan dengan wacana peneguhan identitas lokal yang berkembang

di era Otonomi Daerah. Jika ideologi Islamisme mengembangkan suatu perlawanan

terhadap ideologi-ideologi sekuler, maka wacana peneguhan identitas lokal mampu

mengembangkan suatu ideologi perlawanan terhadap konstruk negara-bangsa yang

cenderung bersifat sekuler ala Orde Baru yang tidak lain juga merupakan produk

modernisme. Celakanya malah, ketika dampak globalisasi mendera masyarakat, negara

justru mengambil peran sebagai aparatus modernitas.

Oleh karena itu, ketika suasana govermentless dan lawless menandai era reformasi,

maka kebijakan Otonomi Daerah diterapkan di Indonesia justru menjadi lahan subur bagi

tumbuhnya usaha-usaha dalam membangun identitas lokal di tengah-tengah euforia

kebebasan. Kenyataan ini bisa dibaca pada hasil penelitian dari Institute Demos Jakarta

"Demokrasi Berbasis HAM di Indonesia; Masalah-masalah dan Pilihan-Pilihan" pada tahapan ke-2 di 32 propinsi di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa orang

Indonesia pasca reformasi secara umum hanya 40% saja yang mengidentifikasi dirinya

sebagai warga negara Indonesia dan 50% justru mengidentifikasikan dirinya sebagai warga

29Wawancara dengan Ahmad Jazuli (Anggota DPRD Kota Banjarmasin dari PKS) pada tanggal 16 Juni 2005 jam 16.30 – 15.30.

30Wawancara dengan KH. Anang Sya’rani (Ulama) pada tanggal 8 Juni 2005 jam 11.20 – 12.17 di rumah jalan Tanjung Rema Martapura. Wawancara ini kemudian diperkuat dengan Hasil FGD “Penerapan Syari’at Islam” tanggal 20 Juni 2005 di hotel Julia Martapura. Wawancara juga dilakukan dengan KH. Gt. Wardiansyah (Tokoh Masyarakat Martapura) pada tanggal 13 Juni 2005 di rumah beliau.

12

Page 13: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

masyarakat lokal, agama, atau etnis.31 Keinginan untuk berbalik kepada identitas asli inilah

yang menjadi konteks sekaligus sarana bagi gerakan formalisasi syari’at Islam di beberapa

daerah Indonesia umumnya, dan Kalimantan Selatan khususnya.32

Hasil penelitian di atas diperkuat lagi dengan hasil penelitian PPIM-UIN Jakarta

tentang Islam dan Kebangsaan yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2007.33

Dalam penelitian kali ini ditemukan bahwa kepercayaan publik terhadap pemimpin agama

lebih tinggi sekitar 41% daripada terhadap lembaga negara (MPR dan DPR: 11%; Presiden:

22%; dan Partai Politik: 8%).34 Fenomena ini, menurut Jajat Burhanuddin, merupakan

akibat lemahnya kapasitas negara dalam menjalankan fungsi pemerintahannya, sehingga

masyarakat cenderung berpaling kepada lembaga tradisional. Hal tersebut dikaranakan

lemahnya tingkat kepercayaan publik pada kinerja negara akan berpengaruh terhadap

kesetian kebangsaan, sehingga dimungkinkan terjadinya penguatan konslidasi ideologi non-

kebangsaan. Dalam penelitian ini ditemukan bahawa 29,3% masyarakat Indonesia

menjadikan agama dan 17,6% menjadikan etnisitas dan lokalitas sebagai dasar perumusan

identitas diri atau kelompok.35

Formalisasi Syari'at Islam; Antara Peneguhan Identitas dan Politisasi AgamaWalaupun dalam penelitian ini ditemukan dukungan yang signifikan dari masyarakat

umum atas formalisasi syari'at Islam sebagai sarana peneguhan kembali identitas lokal,

namun yang menarik dalam implimentasi formalisasi Syari’at Islam itu justru lebih

dimainkan oleh kalangan elite politik. Kecenderungan ini tampak di tiga wilayah

(Banjarmasin, kabupaten Banjar, dan kabupaten Hulu Sungai Utara) yang menjadi wilayah

konsentrasi formalisasi Syari'at Islam lewat jalur politik seiring dengan diperolehnya suara

yang signifikan oleh Partai-Partai Islam (seperti PPP, PBR, PKS, PBB) di Pemilu 1999 dan

2004. Dengan adanya perolehan suara ini, dimungkinkan tampilnya tokoh-tokoh Islam

yang pro-Syari'at Islam berbasis politik.

31Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia, (Jakarta: Demos, 2005), hlm. 153.

32 Tempo, 10 Oktober 200433Lihat penjelasan lebih rinci hasil penyelidikan tersebut pada: Jajat Burhanuddin, etc.,

“Islam dan Kebangsaan: Temuan Survey Nasional”, (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat [PPIM] UIN Jakarta, 2007), dalam http://www.ppim.or.id/doc/file/20070522012 506. pdf

34Lihat penjelasan rincinya pada Laporan Survei Nasional “Simpang Jalan Komitmen Kebangsaan” in http://www.gatra.com/2007-06-04/artikel.php?id=105021

35Lihat penjelasan lebih rinci hasil penyelidikan tersebut pada: Jajat Burhanuddin, “Rejuvenasi Pancasila: Meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika”, dalam h t tp://www.ppim.or.id / doc/ file/2007071 0092129 .p df

13

Page 14: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Aspirasi tentang formalisasi Syari’at Islam di jalur politik ke dalam bentuk Perda ini

di tingkat kelompok politisi dan Birokrasi, dalam temuan riset ini, ditangkap dalam

perspektif yang amat berbeda dari yang dimaksud masyarakat umumnya. Jika dalam

perspektif masyarakat, formalisasi Syari’at Islam bermakna dijalankannya ajaran-ajaran

moral-agama dalam kehidupan nyata, maka dalam perspektif elite formalisasi Syari’at Islam

lebih menjadi sarana politik dan kepentingan birokrasi. Ada dua kecenderungan yang

terekam dalam hasil wawancara mendalam kami dengan para politisi dan birokrasi, yakni (1)

Syari’at Islam menjadi sarana dalam meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat

terhadap Pemda dan DPRD; (2) Syari’at Islam menjadi sarana investasi politik para bupati/

walikota, dan partai politik dalam menghadapi PILKADA 2005.

Mengapa analisis ini mengarah pada dua kecenderungan di atas ? Alasannya adalah

hasil temuan di lapangan (Banjarmasin, kabupaten Banjar, dan kabupaten Hulu Sungai

Utara) menunjukkan bahwa seluruh Perda-Perda yang lahir di daerah ini lebih merupakan

inisiatif dari kalangan birokrasi Pemda dan fraksi di DPRD.36 Sebagai contoh kasus, Perda-

Perda Syari’at Islam di kabupaten Banjar merupakan inisiatif sepenuhnya dari Bupati

menjelang awal dan akhir masa tugasnya.37 Keberhasilan mantan Bupati ini dalam

melahirkan Perda-Perda Syari’at Islam dituangkannya kembali dalam VISI dan MISI Calon

Gubernur untuk PILKADA 2005. Sementara di kabupaten Hulu Sungai Utara, Perda-

Perda Syari’at Islam ini digagas oleh Bupati dalam membangun citranya yang sempat turun

akibat kritik dari beberapa ulama atas kebijakannya dalam membangun kabupaten Hulu

Sungai Utara.38

Modus operandi yang dijalankan adalah Bupati biasanya mengundang Ulama-ulama

tertentu atau Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan di kabupaten Banjar dan kabupaten

Hulu Sungai Utara, Bupati menggunakan Ulama tertentu untuk menjadi dasar legitimasinya.

Setelah matang di tingkat ulama atau MUI, maka Bupati (kasus Bupati Banjar dan Hulu

Sungai Utara) kemudian mengundang organisasi Islam, khususnya Nahdatul Ulama (NU),

dan walikota Banjarmasin mengundang beberapa organisasi Islam, seperti NU,

Muhammadiyah, al-Irsyad, dan lain-lain. Hasil pembicaraan di tingkat organisasi Islam ini

36Informasi ini kami dapatkan dari wawancara dengan Ahmad Jazuli (Anggota DPRD Kota Banjarmasin dari PKS) pada tanggal 16 Juni 2005 jam 16.30 – 15.30.

37Informasi ini kami dapatkan dari wawancara dengan H. Syarkawi (Ketua Komisi D DPRD kabupaten Banjar) pada tanggal 7 Juni 2005 di ruang kerja Komisi D.

38Informasi kami dapatkan dari wawancara dengan Baihaqi (aktivis LSM Yadis Amuntai) pada tanggal 12 Juni 2005 di kantor LSM Yadis jam 12.30. siang dan wawancara dengan Murjani Fauzi (Kabag Hukum Pemkab. Hulu Sungai Utara) pada tanggal 8 Juli 2005 jam 10.30 di ruang kerja kabag. Hukum Pemkab. HSU.

14

Page 15: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

kemudian disampaikan kepada LSM tertentu dan fraksi tertentu di DPRD. Fraksi tertentu

tersebut itu kemudian mendorong komisi terkait untuk berkonsultasi dengan

Bupati/walikota. Sementara LSM difungsikan untuk mewacanakan gagasan tersebut ke

tengah-tengah masyarakat. Biasanya kemudian yang merumuskan secara konseptual inisiatif

Bupati/walikota menjadi Raperda ini adalah Kabag Hukum Pemda bekerjasama dengan

Depag setempat. Di sini, ulama, tokoh masyarakat, dan ormas Islam sering lebih

diperankan sebagai alat legitimasi bagi operasionalisasi kehendak elite.

1. Model Pemanfaatan Wacana Syari’at Islam di Kota Banjarmasin

15

Tokoh Ulama

Kelompok-Kelompok Islam Formalis

Wacana PenegakanSyari’at Islam

Anggota PKSDi Komisi E

PERDA SYARI’AT ISLAM

Walikota

MUI

Komisi E

DepagOrmas Islam(NU, Muhammadiyah)

Page 16: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

2. Model Pemanfaatan Wacana Syari’at Islam di kabupaten Banjar dan Hulu Sungai Utara39

Dalam konteks ini, menarik untuk dicermati bagaimana siasat kabag Hukum Pemda

dalam melahirkan Perda Syari’at Islam ini ketika secara Hukum Tata Negara agama dalam

UU Otonomi Daerah (22 & 32) merupakan kewenangan Pemerintahan Pusat. Dalam

FGD40 yang diselenggarakan di tiga wilayah (Banjarmasin, Martapura, dan Amuntai)

terungkap bahwa siasatnya adalah merubahan wacana penerapan Syari’at Islam kepada

produk hukum yang lebih berorientasi teknis pengaturan ketertiban umum masyarakat

daripada substansi Syari’at Islam itu sendiri. Oleh karena itu, apa yang menjadi isi dari

Perda-Perda Syari’at Islam ini adalah lebih berorientasi pada pengaturan tertib sosial

peribadatan umat Islam semata, bukannya menyangkut aturan kewajiban beribadat yang

39Keterangan: Hubungan Saling Memberi Dukungan ( ), Hubungan Mempengaruhi ( ), dan Hubungan Kritis (

).

40Lihat Notelensi Proses FGD "Penerapan Syari'at Islam" yang dilaksanakan di tiga wilayah Kalimantan Selatan: (1) Notelensi Proses FGD "Penerapan Syari'at Islam" yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2005 di Hotel Jelita Banjarmasin jam 14.30 – 17.00; (2) Notelensi Proses FGD “Penerapan Syari’at Islam” tanggal 20 Juni 2005 di hotel Julia Martapura; (3) dan Notelensi Proses FGD “Penerapan Syari’at Islam” tanggal 23 Juni 2005 di hotel Amuntai Indah, Amuntai.

16

PERDA SYARI’AT ISLAM

Tokoh Ulama Kharismatik

MUI

Bupati

Ormas Islam(NU, Muhammadiyah)

Kandepag

Kelompok non muslim dan Kelompok Masyarakat Kecil

Kabag Hukum Komisi D

LSM

Investasi Politik Untuk

Pilkada

Wacana Penegakan Syari’at Islam

Page 17: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

menjadi substansi Syari’at Islam. Oleh karena itu, Perda-Perda Syari’at Islam seperti Miras,

Perjudian, Ramadhan, Jum'at Khusu' dan zakat dimungkinkan untuk disubordinasikan ke

dalam UU Otonomi Daerah No. 32 pada pasal 22 dan 137 tentang Wewenang Pengaturan

Tertib Sosial di Daerah. Sementara Perda Syari’at Islam tentang Khatam al-Qur'an bisa

dimasukkan menjadi bagian mata pelajaran bermuatan lokal di SD, SMP, dan SMA melalui

koordinasi Dinas Pendidikan kota/kabupaten. Siasat ini sangat mengemuka diungkapkan

pada FGD ketika diingatkan peristiwa penganuliran Perda Miras oleh Mendagri pada tahun

2002. Sebagai contoh:

- Perda Ramadhan No. 05 Thn. 2004 yang berlaku di Martapura berisikan tentang "membuka restoran, warung, rombong, dan yang sejenis serta makan, minum dan atau merokok di tempat umum pada bulan Ramadhan". Baik pasal 2, 3 pada Bab tentang Larangan dan pasal 4 pada bab tentang pengawasan lebih mencerminkan isi konsederan pada item (b) tentang usaha untuk menciptakan suasana yang kondusif dan mendukung pelaksanaan ibadah puasa, dan bukannya menegaskan item (a) tentang kewajiban puasa bagi umat Islam.

- Begitu juga pada Perda Ramadhan No. 32 Thn. 2003 yang berlaku di Amuntai berisikan tentang "pencegahan dan pelarangan kegiatan yang menodai kesucian bulan Ramadhan". Baik pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7 lebih mencerminkan aturan tertib sosial dari kegiatan mengganggu kegiatan beragama selama bulan ramadhan.

- Perda Miras No. 6 Thn. 1999 yang berlaku di Amuntai berisikan tentang "pelarangan memproduksi, memiliki, mengedarkan, menjual, menyimpan, membawa, mempromiskan, mengkonsumsi minuman keras dan minuman memabukkan". Semua pasal-pasal yang ada di Perda ini lebih mencerminkan usaha dalam membangun tertib sosial dengan berlandaskan Kepmenperindag No. 359/MPP/Kep/10/1997 tentang pengawasan dan pengendalian produksi, impor, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol. Begitu juga di sini Perda Perjudian No. 3 Thn. 2000 yang lahir berlandaskan Peraturan Pemerintah No. 9 Thn. 1981 tentang pelaksanaan penertiban perjudian.

- Adapun Perda Pengelolaan Zakat No. 31 Tahun 2004 (Banjarmasin), Perda Pengelolaan Zakat No. 9 Thn. 2003 (Martapura), dan Perda Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah No. 19 Tahun 2005 (Hulu Sungai Utara) dimungkinkan untuk lahir berdasarkan UU No. 38 Thn. 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 17 Thn. 2000 tentang Perubahan ketiga UU No. 7 Thn. 1983 tentang Pajak Penghasilan. Adapun kriteria zakat yang dikumpulkan terdiri dari zakat mal dan zakat fitrah. Sementara harta yang dikenai zakat adalah emas, perak, dan uang; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; rikaz.

- Sementara Perda Khatam al-Qur'an No. 4 Thn. 2004 tentang "khatam al-Qur'an bagi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah". Perda ini dimungkinkan lahir berdasarkan adanya UU No. 20 Thn. 2003 tentang

17

Page 18: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Sisdiknas yang mendorong dikembangkannya mata pelajaran bermuatan lokal.

- Perda Jum’at Khusu’ No. 08 Tahun 2004 yang berlaku di Kabupaten Banjar lebih mencerminkan aturan tertib sosial dari kegiatan mengganggu kegiatan ritual sholat Jum’at di mesjid-mesjid yang terletak di pinggir jalan utama.

Dengan demikian, ada dua hal yang tampak menonjol dalam siasat ini: (1) Perda-

Perda ini lahir lebih mencerminkan kepentingan politis tertentu para elite karena yang

menjadi isi dari Perda-Perda itu bukanlah sesuatu yang selama ini menjadi harapan dalam

masyarakat; (2) Perda-Perda ini dilahirkan untuk dimanfaatkan oleh para elite politik dan

birokrasi dalam rangka untuk memainkan sintimen keagamaan yang sedang berkembang

tanpa harus bertabrakan dengan kebijakan negara yang lebih tinggi; (3) Perda-Perda yang

dihasilkan tidak bisa dikatakan sebagai Perda Syari’at Islam namun hanya sebagai Perda

Ketertiban Umum semata. Oleh karenanya, kritik atas Perda ini bukan berarti kritik atas

agama itu sendiri.

Terlepas dari berbagai kritik atas Perda-Perda di atas, Dalam perkembangan situasi

sosial politik pasca PILKADA 2005, geliat wacana Formalisasi Syari’at Islam di Kalimantan

Selatan tampak akan makin menguat seiring terpilihnya Gubernur Kalimantan Selatan

periode 2005 – 2010 dengan perolehan suara sekitar 32,36% suara pemilih. Hal ini karena

Gubernur terpilih selalu menyampaikan wacana formalisasi Syari’at Islam selama masa

kampanye sebagai calon Gubernur yang dijalaninya. Dalam laporan reportase Radar Banjarmasin tertanggal 2 Juni 2005 diungkapkan sebagai berikut:

Tampil menjadi calon Gubernur Kalsel 2005-2010 membuat Drs. H. Rudy Arifin MM berobsesi menerapkan sejumlah hal yang sukses dilakoninya kala menjabat Bupati Banjar 2000-2005. Antara lain Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan makan-minum dan berjualan di siang hari pada bulan Ramadhan serta Perda tentang wajib khatam Alquran bagi siswa yang lulus sekolah. Itulah dua Perda yang menjadi monumental dalam 5 tahun perjalanan Rudy Arifin memimpin kabupaten Banjar. Betapa tidak, di awal masa jabatannya, Rudy Arifin melakukan gebrakan dengan mengajukan rancangan Perda tentang larangan makan-minum dan berjualan di siang hari selama bulan Ramadhan, kepada DPRD setempat. Polemik pun terjadi. Ada yang pro dan kontra. Kalangan ulama, tokoh masyarakat hingga LSM bereaksi. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak dengan alasan materi Perda tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun Rudy Arifin tetap istiqomah. Dia tetap bertahan dengan argumen bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan aspirasi msyarakat dan sekaligus ingin membuktikan bahwa kabupaten Banjar, khususnya Martapura, harus tetap menjadi simbol serambi mekkah. Simbol ini harus dipertahankan sekaligus untuk menunjukkan ciri khas kota yang juga berjuluk kota santri ini. Atas persetujuan DPRD Banjar, Perda ini disahkan dan langsung diterapkan. Inilah untuk pertama kalinya, sebuah kabupaten

18

Page 19: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

di Kalsel berhasil mengesahkan perda yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kekhusuan selama Ramadhan. Berkoordinasi dengan aparat hukum seperti kejaksaan, kepolisian, satuan polisi pamong praja hingga kodim dan pengadilan., menjadikan Perda ini tidak menjadi macan ompong seperti praduga sebagian kalangan. Perda ini berhasil dijalankan secara efektif. Puluhan orang yang kedapatan merokok di ruang terbuka di siang hari di bulan Ramadhan, langsung ditangkap dan diajukan ke Pengadilan Negeri Martapura. Ancaman hukuman kurungan dan denda menanti mereka. Tidak sedikit pula yang ditangkap karena berjualan di siang hari Ramadhan sebelum sore hari. Keberhasilan Rudy Arifin membuat dan menerapkan perda ini tak pelak mendapat acungan jempol semua pihak. Maka, beberapa kabupaten lain pun meniru upaya Pemkab Banjar. Selain membuat Perda serupa, pemerintah kabupaten/kota ada yang membuat semacam surat edaran atau instruksi yang isinya kurang lebih sama dengan materi perda tersebut. Intinya, mereka ingin membuat kekhusuan di tengah bulan suci Ramadhan. Berhasil dengan Perda tersebut, menjelang akhr masa jabatnnya, Rudy Arifin kembali melakukan terobosan. Dia mengajukan rancangan perda tentang khatam Alquran. Tanpa bertele-tele, DPRD Banjar mengesahkan perda tersebut. Isinya antara lain, bagi sisa yang akan menyelesaikan pendidikannya, wajib khatam membaca Alquran. Selain tamat membaca Alquran, bagi siswa yang akan lulus SD juga ditambah hafal 12 surah pendek, bagi lulusan SLTP wajib hafal 22 surah pendek, dan lulusan SLTA wajib hafal Juz Amma. Keinginan Rudy Arifin menerapkan kedua perda tersebut tidak lain untuk memperkuat nuansa keagamaan dalam kehidupan keseharian di kabupaten Banjar. Karena itu, sangat relevan jika akhirnya kini dia berobsesi menjadikan peraturan tersebut sebagai perda di tingkat provinsi Kalsel. Maka, dalam visi-misi sebagai Calon Gubernur Kalsel 2005-2010, sejumlah hal tentang perda tersebut telah dicantumkan.41

Dengan demikian, besar kemungkinan peta formalisasi Syari’at Islam di Kalimantan

Selatan akan mengalami proses eskalasi yang lebih luas. Jika selama ini geliat wacana

tersebut lebih berbasis di kota/kabupaten, maka pasca PILKADA 2005 ini, geliat wacana

tersebut telah menemukan porosnya di tingkat provinsi, yakni Gubernur terpilih untuk

periode 2005-2010.

Asumsi ini tidaklah berlebihan jika dilihat pada hasil Murenbang Provinsi

Kalimantan Selatan yang tertuang dalam Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kalimantan Selatan Tahun 2007.42 Dalam rancangan itu terungkap

salah satu prioritas pembangunan dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia adalah

membuat Perda Ramadhan dan Perda Khatam Qur’an untuk murid SD, SMP, dan SMA.

Tidak lama berselang dari itu, muncul Surat Edaran dari Gubernur terpilih tentang

41Lihat laporan reportase Radar Banjarmasin (Kamis, 2 Juni 2005) dengan judul "Rudy Arifin Punya Obsesi Dua Perda; Perda Ramadhan dan Khatam Alquran”.

42 Lihat Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kalimantan Selatan Tahun 2007 (Paparan Kepala Bappeda Prov. Kalimantan Selatan pada acara Murenbangprov. tanggal 4 – 5 April 2006).

19

Page 20: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

kewajiban pemakaian jilbab bagi PNS perempuan di lingkungan Pemprop. Kalimantan

Selatan.

Berikut Perkembangan terbaru peta kekuatan gerakan wacana penegakan Syari’at

Islam di Kalimantan Selatan pasca PILKADA 2005 :

Rangkaian peta kekuatan gerakan wacana penegakan Syari’at Islam di Kalimantan

Selatan pasca PILKADA 2005 di atas tidak lepas dari tampilnya Walikota dan Bupati-

Bupati baru yang secara track-record memiliki kecenderungan ke arah pro wacana gerakan

penegakan Syari’at Islam. Sebagai contoh kasus adalah Walikota dan Wakil Walikota baru

kota Banjarmasin yang sekarang diduduki oleh H. Yudhi Wahyuni, SE dan Drs. Alwi

Shahlan, M.Si. Kedua figur ini merupakan kader yang diusung oleh PAN dan PKS yang

kiprahnya di Kalimantan Selatan sangat giat menyuarakan wacana Penegakan Syari’at Islam.

Tidak berselang lama dari terpilihnya kedua figur ini, mereka lalu mewajibkan pemakaian

jilbab bagi PNS perempuan di lingkungan Pemko Banjarmasin. Sementara contoh kasus

lain adalah Bupati dan Wakil Bupati baru kabupaten Banjar yang sekarang diduduki oleh Ir.

20

WacanaPenegakan Syari’at Islam

Di Kalimantan Selatan

Walikota /Bupati – Bupati

Kalimantan Selatan

MUI

Gubernur Kalimantan SelatanPeriode 2005-2010

Kelompok-KelompokIslam

Formalis

Page 21: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Gusti Khairul Shaleh dan KH. Khatim Salman. Kedua figur ini juga merupakan kader yang

diusung oleh PPP dan PKB yang kiprahnya di Kalimantan Selatan sangat giat menyuarakan

wacana Penegakan Syari’at Islam. Dengan demikian, tampaklah ada kekuatan baru yang

memperkuat wacana gerakan penegakan Syari’at Islam di Kalimantan Selatan.

Elitisme Perda Syari'at Islam dan Hilangnya Keberpihakan pada Rakyat KecilOleh karena Perda-Perda Syari’at Islam ini dilahirkan atas inisiatif dari kalangan

Birokrasi dan fraksi di DPRD, maka Perda-Perda itu bersifat elitis dan koruptif. Artinya,

partisipasi masyarakat yang menyertai lahirnya Perda-Perda ini terkesan sangat minim dan

cenderung mendistorsi aspirasi yang sebenarnya dari masyarakat. Adapun partisipasi dalam

pemahaman para kalangan birokrasi dan DPRD, terungkap dalam riset ini, adalah lebih

menyangkut perwakilan unsur-unsur masyarakat. Partisipasi dipahami sebagai representasi

atau bahkan mobilisasi massa untuk mendapatkan dukungan. Hal ini bisa ditegaskan karena

partisipasi seharusnya dipahami sebagai keterlibatan masyarakat secara luas dari awal hingga

dihasilkannya produk kebijakan tersebut dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek

produk kebijakan publik. Sementara itu, pembuatan Perda-Perda tersebut lebih terkesan

hanya bersifat mengambilalih atas Perda-Perda yang ada di daerah lain. Tidak Naskah

Akademik yang melatarbelakangi lahirnya Perda-Perda tersebut. Yang ada justru studi

banding ke beberapa daerah seperti Aceh, Bulu Kumba, Ciamis, dan lain lain. Dalam

wawancara mendalam, paling tidak, setiap anggota dewan memperoleh minimal uang saku

1 sampai 5 juta perorang dalam setiap kunjungannya. Biasanya, setiap kunjungan tersebut,

DPRD juga harus melibatkan pihak birokrasi Pemda dan Dinas-Dinas di lingkungan

Pemda yang tidak kurang berjumlah 15 orang.

Oleh karena Perda-Perda Syari’at Islam ini cenderung elitis, koruptif, dan tidak

partisipatif, maka Perda-Perda tersebut sering mendapatkan sikap resisten dari masyarakat.

Akibatnya, jika tidak mendapatkan perlawanan di tingkat masyarakat, maka Perda-Perda

tersebut banyak yang mandul di tingkat pelaksanaannya. Di beberapa kalangan pedagang,

khususnya Perda Ramadhan, Perda ini sangat tidak memihak dengan pedagang makanan

berpenghasilan kecil. Ada yang mengungkap bahwa boleh saja ada Perda Ramadhan, tapi

Pemda harus bertanggung jawab atas nasib ekonomi mereka yang sangat tergantung dengan

warung yang ditutup pada siang hari selama bulan Ramadhan. Kemudian Perda Ramadhan

ini juga cukup bermasalah bagi pendatang transit antar provinsi di Amuntai karena

kabupaten ini merupakan kota transit antar provinsi Kalsel – Kalteng – Kaltim. Banyak

21

Page 22: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

keluhan dari para pendatang transit ini karena "agama saja tidak melarang orang makan-

minum di perjalanan selama bulan Ramadhan, kok tiba-tiba Perda yang buatan manusia

bisa-bisanya melarang". Sementara di kota Banjarmasin yang agak pluralistik, Perda Syari’at

Islam ini, khususnya Ramadhan, sangat bertentangan kondisi kota yang penduduknya agak

plural. Di kota ini sempat terjadi pro dan kontra atas Perda ini. Bahkan, ada kesan yang

sangat kuat di masyarakat bahwa penerapan Syari’at Islam selama ini hanya menguat

menjelang dan selama bulan suci Ramadhan saja. Bagi sebagian informan kritis atas

kenyataan ini mengungkapkan bahwa gejala ini menunjukkan bahwa Pemda tidak pernah

sungguh-sungguh menerapkan Syari’at Islam, tapi cenderung menjadikan Syari’at Islam

sebagai komoditas politik sesaat kaum politisi. Berikut matrik peta problem formalisasi

Syari’at Islam dalam bentuk Perda-Perda berdimensi agama :

Jenis Perda Syari’at Islam Poin Krusial Isi Perda Dampak yang

telah / akan TerjadiKategori Problem

yang MunculPerda Ramadhan

Pelarangan kegiatan pada bulan Ramadhan meliputi segala kegiatan membuka tempat hiburan, warung makan dan minum, dan sejenisnya, serta kegiatan makan dan minum dan atau merokok di tempat-tempat umum.

• Mengurangi atau bahkan menutup kegiatan usaha bagi pemilik warung-warung makan/minum sebagai mata pencarian.

• Tidak berpihak pada kaum buruh atau pekerja kasar yang tidak mampu berpuasa karena peker-jaan berat yang memerlukan tenaga besar.

• Cenderung mengabai-kan hak-hak keringanan dalam beragama.

• Pelanggaran HAM dalam berkeyakinan.

• Tidak aspiratif atas kondisi sosio-ekonomi masyarakat kecil.

• Anti-Pluralisme

Perda Miras Pelarangan memproduksi, memiliki, mengedarkan, menjual, menyimpan, membawa, mempromosikan, mengkonsumsi minuman keras dan memabukkan

Tidak berjalan optimal sehingga tampak arti positif dari Perda ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

-

Perda Perjudian Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perjudian

Tidak berjalan optimal sehingga tampak arti positif dari Perda ini tidak berjalan

-

22

Page 23: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

sebagaimana mestinya.Perda Zakat Pengelolaan dan distribusi

zakat sebagai pengem-bangan potensi ekonomi umat Islam.

Tidak berjalan optimal sehingga tampak arti positif dari Perda ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

• Tidak memadainya mekanisme Tranparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan distribusi zakat.

• Tidak adanya model profesionalisme pengelolaan zakat.

Perda Khatam Qur’an

Kewajiban Khatam al-Qur’an bagi peserta didik tingkat SD, SMP, dan SMA dengan ilmu tajwid

• Menjadi beban tambah-an bagi anak didik dalam menyelesaikan jenjang pendidikan.

• Cenderung menafikan keragaman keberaga-maan anak didik.

Surat Edaran Pemakaian Jilbab

Kewajiban memakai jilbab sebagai kelengkapan pakaian dinas sipil harian PNS perempuan

• Menafikan kenetralan birokrasi dari sintimen keagamaan.

• Menafikan pluralitas ke-agamaan dan keyakinan para aparat PNS.

• Cenderung menafikan keragaman beragama aparat pemerintahan.

Perda Jum’at Khusu’

Menghentikan perjalanan semua kendaraan ber-motor yang melintasi mesjid selama ibadah Jum’at berlangsung dari dimulainya adzan pertama hingga berakhirnya sholat Jum’at.

• Mengganggu arus trans-portasi antar daerah, berupa kemacetan total, dan terganggunya arus manusia dan barang.

• Membuat kekacauan arus transportasi.

Dengan melihat matrik peta problem dari diimplimantasikannya ketujuh jenis Perda

berbasis Syari’at Islam tersebut, maka dalam riset ini pun terungkap peta kategori aktor

yang telah dan akan menjadi korban dari diberlakukan Perda-Perda tersebut. Berikut matrik

kategori aktor yang menjadi korban Perda berbasis Syari’at Islam:

Jenis Perda Jenis Sanksi Kategori Aktor yang Dikorbankan

Perda Ramadhan • Denda berbentuk uang• Pengambilan /

Pembongkaran Tempat Usaha Jual Beli Makan / Minum

• Perempuan yang sedang ber-halangan berpuasa.

• Buruh bangunan, Buruh Angkut Pasar dan Buruh Angkut Pelabuhan.

• Pemilik Warung Makan/

23

Page 24: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Minum ber-penghasilan Kecil.

• Non Muslim yang tidak memiliki kewajiban menjalankan puasa Ramadhan.

• Para pendatang dari luar kota / wilayah diberlakukannya Perda ini.

Perda Khatam Qur’an • Sanksi Administratif • Siswa non muslim.• Beban tambahan

menjelang ujian akhir.Surat Edaran Pemakaian Jilbab

• Sanksi Administratif • PNS Perempuan muslim (di lapangan ditemukan tiga perempuan yang menolak SE ini)

• PNS Perempuan non muslim

Jum’at Khusu’ • Sanksi kurungan tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyak Rp. 25.000.000,-

• Pengendara kendaraan antar kota/daerah

• Terjadinya kemacetan di jalan utama provinsi.

Dengan melihat berbagai kecenderungan dampak dari diimplimentasikannya Perda-

Perda di atas, maka bisa jadi ini merupakan buah dari proses lahirnya Perda-Perda tersebut

yang bersifat elitis sehingga tidak aspiratif dengan semua lapisan masyarakat. Dengan

demikian, penegakan Syari’at Islam dalam bentuk Perda-Perda memang sangat bersifat

problematis. Contoh kasus yang paling nyata dari problematisnya Perda-Perda ini adalah

Perda Jum’at Khusu’. Walaupun isi ketentuan Perda ini mewajibkan para pengendara

kendaraan bermotor untuk berhenti sejak adzan pertama, tetapi dalam pelaksanaannya Sat.

Pol. PP kabupaten Banjar hanya mampu memperlambat laju kendaraan bukannya

menghentikannya

Penutup

Dengan melihat kenyataan di atas, maka makin jelas sekarang, bahwa peneguhan

identitas lokal yang dibentuk atas dasar ideologi komunalisme sebagaimana yang dibawa

oleh kelompok-kelompok Islamisme akan menghasilkan ikatan identitas yang bersifat

diskriminatif, sektarian, dan tidak toleran dengan keanekaragaman budaya bangsa.

Ditambah lagi, ketika peneguhan identitas itu dibentuk melalui jalur politik, maka kelompok

yang mendapatkan manfaatnya bukannya masyarakat tapi justru kelompok politisi sebagai

sarana dalam memperoleh kursi-kursi kekuasaan. Alhasil, peneguhan identitas seperti di

24

Page 25: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

atas, selain bersifat diskriminatif, sektarian, dan tidak toleran, juga bersifat elitis dan

koruptif.

Oleh karena itu, harus ada upaya di luar upaya politis, yaitu upaya kultural untuk

mengantisipasi dampak negatif perkembangan global ini. Dominasi kekuatan budaya global

yang ikut berperan pada proses degradasi moral masyarakat ini harus diimbangi dengan

penguatan civil society yang lebih mapan dan mandiri. Pengertian otonomi masyarakat di

sini adalah, ia bukan hanya independen dari intervensi negara, tapi juga mandiri dalam

pengertian lepas dari dominasi kekuatan paradigma serta nalar budaya dan ekonomi sistem

global yang eksploitatif, yang bercorak kapitalistik.

Pembangunan civil society diorientasikan pada terbentuknya kehidupan masyarakat

yang demokratis dan pluralis, di mana masyarakat berbagi norma-norma dan nilai-nilai

dasar dalam sebuah konsensus bersama yang mempertemukan mereka dengan pihak lain

berdasarkan kemajemukan dan kesetaraan.

Penting artinya bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan daya kekuatan sendiri

guna mengantisipasi fragmentasi kultural akibat derasnya arus globalisasi. Hal ini dapat

meningkatkan solidaritas antarkelompok dalam mengembangkan kreativitas usaha-usaha

kemasyarakatan, sekaligus karakter budaya dan kemandirian ekonominya. Hak Sosial

akhirnya, mengutip ungkapan David Held dalam Democracy and The Global Order: From the

Modern State to Cosmopolitan Governance (1995), bahwa otonomi masyarakat hanya bisa dicapai

melalui dua cara. Pertama, pengakuan atas hak asasi manusia yang diperluas mencakup hak

sosial, ekonomi dan budaya. Kedua, adanya keterlibatan masyarakat dalam proses

pengambilan kebijakan yang tidak hanya dibatasi pada institusi-institusi pemerintah, tapi

diperlebar sampai menyentuh institusi-institusi dan proses sosial-ekonomi. Semua ini

berarti menunjukkan bahwa fenomena maraknya gerakan formalisasi agama, sebagai salah

satu bentuk ekspresi penegasan identitas komunal yang mengiringi derasnya globalisasi,

mengindikasikan makin besar pula tuntutan "pedalaman demokrasi" dalam segala bidang

kehidupan.

Di samping itu, identitas komunalistik sesungguhnya lahir dari sebuah masyarakat

yang cenderung memandang kebudayaan sebagai yang bersifat statis, final, dan tertutup.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk ditinggalkan sikap kebudayaan demikian. Hal ini

kerana, sebagaimana yang dikritik oleh Bhikhu Parekh (1999), bahwa ada dua pokok

perkara yang berkaitan dengan pola hubungan manusia dengan kebudayaan itu yang mesti

dipandang dinamis. Pertama, manusia terikat secara kultural (culturally embeded) dalam arti

25

Page 26: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam sebuah dunia yang telah terstruktur secara kultural,

dan bahwa mereka menjalankan kehidupan dan relasi-relasi sosialnya dalam kerangka

sistem makna dan pemaknaan yang diturunkan secara kultural. Namun demikian, menurut

Parekh, hal itu bukan berarti bahwa manusia sepenuhnya dideterminasi oleh kebudayaannya

dalam pengertian tidak bisa tumbuh di atas kategori-kategori pemikirannya dan secara kritis

mengevaluasi nilai-nilai dan sistem maknanya, melainkan bahwa mereka memang secara

mendalam dibentuk olehnya, bisa mengatasi sebagian tapi tidak seluruh pengaruhnya, dan

dengan sendirinya memandang dunia dari dalam sebuah kebudayaan. Kedua, setiap budaya

pada dasarnya secara internal bersifat plural, dan merefleksikan sebuah perbincangan yang

terus-menerus di antara tradisi-tradisi dan jalinan pemikiran yang berbeda. Ini bukan berarti

bahwa ia tidak memiliki koherensi dan identitas, tetapi bahwa identitasnya itu plural, cair

dan terbuka. Budaya-budaya tumbuh dari berbagai bentuk interaksi, baik secara sadar

maupun tidak sadar, dengan yang lain. Oleh karenanya, setiap budaya membawa bagian-

bagian dari budaya lain di dalam dirinya, dan tidak pernah benar-benar sui generis []

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Artikel:

Arskal Salim, Partai Islam dan Relasi Agama – Negara, (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999).

Arskal Salim & Azyumardi Azra, Shari’a and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003).

A. Hafiz Anshari, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan”, dalam Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I, No. 1, Januari-Februari 2002 (Banjarmasin: IAIN Antasari).

Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).

Audy WMR Wuisang dalam http://audywuisang.blogspot.com/2007/05/perda-syariat-vs-nasionalisme-indonesia.html

Hairus Salim, “Islam Banjar, Relasi Antar Etnik, dan Pembangunan,” dalam Tim Redaksi DIAN , Kisah Dari Kampung Halaman : Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan, Yogyakarta: DIAN/INTERFIDEI, 1996).

Hendar Putranto, "Analisis Budaya dari Pascamodernisme dan Pascamodernitas", dalam Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2005).

Hikman Budiman, (ed.), Hak Minoritas; Dilema Multikulturalisme Di Indonesia, (Jakarta: The Interseksi Foundation, 2005).

26

Page 27: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin: Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja Kerajaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuhbelas. (Bandung: Balai Pendidikan Guru, 1958).

Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004).

J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1968).

Jajat Burhanuddin, etc., “Islam dan Kebangsaan: Temuan Survey Nasional”, (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat [PPIM] UIN Jakarta, 2007), dalam http://www.ppim.or.id/doc/file/20070522012 506. pdf

Jajat Burhanuddin, “Rejuvenasi Pancasila: Meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika”, dalam http://www.ppim.or.id/ doc/file/ 20070710092129.pdf

Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, disalin ulang oleh Artum Artha dan dicetak oleh penerbit Murya Artha di Banjarmasin tahun 1988.

Laporan Survei Nasional “Simpang Jalan Komitmen Kebangsaan” in http://www.gatra.com/2007-06-04/artikel.php?id=105021

Laporan reportase Radar Banjarmasin (Kamis, 2 Juni 2005) dengan judul "Rudy Arifin Punya Obsesi Dua Perda; Perda Ramadhan dan Khatam Alquran”.

Manuel Castells, The Information Age: Economy, Society, and Culture, Vol. I: The Rise of the Network Society, (Oxford: Blackwell, 2000).

M. Imadadun Rahmat dan Khamami Zada, "Agenda Politik Gerakan Islam Baru", dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi Khusus [Pergulatan Identitas Islam: Pergulatan Islamisme dan Islam Progresif], (Jakarta: Depag RI & Lakpesdam NU).

Majalah Tempo edisi 8, 14 Mei 2006.Nurrohman dan Marzuki Wahid, "Politik Formalisasi Syari'at Islam dan Fundamentalisme",

dalam Jurnal Istiqro', Vol. 01, No. 01, 2002, (Jakarta: Dir.Pertais, 2002).Rudi Arifin (mantan Bupati kabupaten Banjar periode 2000-2005): "Martapura Bumi

Serambi Mekkah", dalam Nurhudianto, Martapura Bumi Serambi Mekkah (Secunting Pemikiran Rudy Arifin), (Martapura: Pemkab Banjar, 2004).

Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kalimantan Selatan Tahun 2007 (Paparan Kepala Bappeda Prov. Kalimantan Selatan pada acara Murenbangprov. tanggal 4 – 5 April 2006).

“Repolitisasi Rakyat untuk Kepentingan Lokal”, in http://www.demos.or.id/TEMPO2 Demos_19Des04.pdf.

Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia, (Jakarta: Demos, 2005).

Tempo, 10 Oktober 2004.Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20,

(Bandung: Mizan, 2005).

B. Peraturan Daerah:

1. Kota Banjarmasin:

Perda Ramadhan No. 13 Thn. 2003. Perda Pengelolaan Zakat No. 31 Tahun 2004. Perda Ramadhan No. 4 Thn. 2005 (Perubahan Perda Ramadhan No. 13

Thn. 2003) Perda Miras No. 6 Thn. 2007

27

Page 28: Globalisasi Dan Identitas Lokal Di Kal-Sel

Surat Edaran tentang Pemakaian Jilbab bagi PNS di lingkungan Pemko. Banjarmasin.

2. Kab. Banjar (Martapura):

Surat Edaran Bupati No. 065.2/00023/ORG tentang Pemakaian Jilbab bagi PNS di lingkungan Pemkab. Banjar.

Perda Ramadhan No. 5 Thn. 2004 (Perubahan Perda Ramadhan No. 10 Thn. 2001)

Perda Pengelolaan Zakat No. 9 Thn. 2003. Perda Khatam al-Qur'an bagi Peserta Didik pada SD, SMP, dan SMA No. 4

Thn. 2004. Perda Jum'at Khusu' No. 08 Tahun 2005. Perda No. 05 Tahun 2006 tentang Penulisan Aksara Arab Melayu pada

Plang Nama Kantor-Kantor Pemerintahan.

3. Kab. Hulu Sungai Utara (Amuntai):

- Perda Miras No. 6 Thn. 1999.- Perda Perjudian No. 7 Thn. 2000- Perda Ramadhan No. 32 Thn. 2003.- Perda Zakat, Infaq dan Shadaqah No. 19 Tahun 2005.

28