giwu dalam masyarakat adat pamona gambaran …

32
42 BAB III GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran umum lokasi penelitian 1. Sejarah Desa Buyumpondoli 1 Nama Desa Buyumpondoli diambil dari nama gunung atau bukit yang ada daerah ini, yaitu Gunung mPondoli. Gunung mPondoli berada, kurang lebih 1 km di bagian barat Desa Buyumpondoli sekarang ini. Sesudah diresmikan kampung ini oleh Swa Praja Poso (Raja Poso) pada tahun 1901, desa ini di beri nama Buyumpondoli. Nama Buyumpondoli terdiri dari tiga kata, yaitu: 1. Buyu, dalam bahasa Indonesia artinya: Gunung / bukit; 2. mPo atau Po, sebagai kata depan yang menunjuk pada arti subyek; 3. nDoli atau Doli, dalam bahasa Indonesia artinya : cantik, molek, indah, manis, bercahaya, dipandang mata, disayangi dan dikenang. Jadi, Buyumpondoli artinya adalah gunung/bukit yang indah, cantik, molek, manis, disayangi dan bercahaya dipandang mata, baik dekat maupun dari kejauhan, dan selalu dikenang. Secara resmi, Desa Buyumpondoli pada tanggal 19 Desember 1901dengan seorang pemimpin yang disebut kepala kampung atau kepala desa. 1 Pdt. Jackson Ranteola, “Sejarah Buyumpondoli dan kepemimpinanannya”, Makalah yang tidak diterbitkan dan ditulis dalam rangka HUT Desa Buyumpondoli ke-113, 2014, Penulis merupakan Pendeta GKST sejak, 1996. Saat ini bekerja di Kantor Sinode GKST sebagai Sekretaris Departemen Kesaksian dan Pelayanan GKST Periode 2013 2016. Beliau juga tercatat sebagaiwarga masyarakat Desa Buyumpondoli dan diberi kepercayaan oleh Pemerintah Desa untuk menjabat sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), sejak 2007 sekarang.

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

42

BAB III

GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA

Gambaran umum lokasi penelitian

1. Sejarah Desa Buyumpondoli1

Nama Desa Buyumpondoli diambil dari nama gunung atau bukit yang ada

daerah ini, yaitu Gunung mPondoli. Gunung mPondoli berada, kurang lebih 1 km

di bagian barat Desa Buyumpondoli sekarang ini. Sesudah diresmikan kampung ini

oleh Swa Praja Poso (Raja Poso) pada tahun 1901, desa ini di beri nama

Buyumpondoli. Nama Buyumpondoli terdiri dari tiga kata, yaitu: 1. Buyu, dalam

bahasa Indonesia artinya: Gunung / bukit; 2. mPo atau Po, sebagai kata depan

yang menunjuk pada arti subyek; 3. nDoli atau Doli, dalam bahasa Indonesia

artinya : cantik, molek, indah, manis, bercahaya, dipandang mata, disayangi dan

dikenang. Jadi, Buyumpondoli artinya adalah gunung/bukit yang indah, cantik,

molek, manis, disayangi dan bercahaya dipandang mata, baik dekat maupun dari

kejauhan, dan selalu dikenang. Secara resmi, Desa Buyumpondoli pada tanggal 19

Desember 1901dengan seorang pemimpin yang disebut kepala kampung atau

kepala desa.

1Pdt. Jackson Ranteola, “Sejarah Buyumpondoli dan kepemimpinanannya”, Makalah yang

tidak diterbitkan dan ditulis dalam rangka HUT Desa Buyumpondoli ke-113, 2014, Penulis

merupakan Pendeta GKST sejak, 1996. Saat ini bekerja di Kantor Sinode GKST sebagai Sekretaris

Departemen Kesaksian dan Pelayanan GKST Periode 2013 – 2016. Beliau juga tercatat

sebagaiwarga masyarakat Desa Buyumpondoli dan diberi kepercayaan oleh Pemerintah Desa untuk

menjabat sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), sejak 2007 – sekarang.

Page 2: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

43

Desa (bhs. Pamona: lipu)2 Buyumpondoli adalah salah satu desa yang

masih memegang erat tradisi budaya Pamona di Kabupaten Poso adalah Desa

Buyumpondoli. Desa Buyumpondoli yang ada sekarang lahir dari tiga atau empat

kumpulan rumpun besar yang ada di diwilayah ini yang sudah lama ada,

menyatukan hati, komitmen dan kultur untuk mendirikan dan membangun desa dari

masa ke masa.

Sejak dulu Buyumpondoli terkenal dengan lahan pertanian (sawah) dan

hasil pertaniannya yang melimpah, bahkanAlbertus Christian Kruyt berucap pada

tahun 1916 bahwa: “Ri Buyumpondoli maria pae anu napobalu santa’u-santa’u”

(artinya, di Buyumpondoli banyak hasil panen padi yang dijual setiap tahun)3. Hal

ini menunjukkan betapa dekatnya penduduk desa ini dengan tanaman padi yang

diyakini oleh orang Pamona memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam

gaib.4 Penduduk yang mendiami desa Buyumpondoli pertama kali adalah berasal

dari rumpun Bada (to Bada) yang sudah bermukim di Gunung Buyumpondoli.5

2Lipu atau kampung artinya, sama saja dengan Desa. Jadi kalau kita menemukan kata Lipu

atau kampung, dalam tulisan ini, menunjukkan keterikatan emosional penulis dan informan dalam

penyusunan sejarah desa Buyumpondoli dari periode sebelumnya ke periode selanjutnya. 3Albertus Christian Kruyt, WAWO nTANA; SURA PAMPEGURU POWAWO NTANA RI

BASA BARE’E (Ditulis Kembali Oleh Drs. Wl. Sigilipu-Vibra Tentena, 2014), hlm. 26. 4Tanaman padi diyakini oleh orang Pamona sebagai tanaman yang berasal dari alam dewa

yang ada di atas. Oleh sebab itu dalam setiap acara yang berhubungan dengan pertaniannya, mereka

menengadah ke langit (band. J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso, Sejarah Gereja Kristen Sulawesi

Tengah sampai th. 1947, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 62). 5To Bada (orang yang datang dari Bada) bermukim di Gunung-Bukit Buyumpondoli

dianggap sebagai penduduk asli dari Gunung Buyumpondoli karena sudah lama menetap disana.

Mereka menetap, karena kepentingan perang suku (bahasa Pamona; Manga’e = berperang), yaitu

antara To Bada dan To Pamona (To Wale) yang bermukim di Pesisir Timur Danau Poso dan juga

berperang dengan To Kinadu (suku Mori). Salah satu panglima perang yang dikenal saat itu Ngkai

Janggo – Uma Dupa atau Sama To’ii. Lokasi peperangan itu di Pada Bangke (lokasi persawahan

penduduk Buyumpondoli sekarang ini). Ada juga kisah mengenai peperangan antara To Bada dan

To Wale, suatu ketika To Wale, melakukan penyerangan di markas To Bada di Di Seputar Siuri –

Kapatea. Sementara mereka istirahat di Lobo, maka tiba-tiba orang To Wale menyerang dengan

merobohkan Lobo dan menawan seorang prajurit To Bada sambil memancung kepalanya. Balasan

dari penyerangan ini, suatu waktu Towale mengadakan penanaman padi ladang (Mompaho) di

Gunung mPondoli, di keluarga Uma Rehe –Toggelo, maka datanglah serombongan To Bada (k/l.

Page 3: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

44

Dalam sejarah Desa Buyumpondoli dicatat bahwa pada suatu saat

penduduk Desa Buyumpondoli mengalamipenyakit sampar atau penduduk

setempat menyebutnya dengan ju’a Lele, yaitu sejenis penyakit kulit dan perut yang

menular dan sangat berbahaya karena dalam hitungan jam penderita bisa meninggal

dunia. Sesuai informasi yang diterima, penyakit sampar yang dialami oleh

penduduk saat itu di bawah oleh seekor rusa. Rusa itu masuk dalam kampung dan

jinak sekali. Penduduk kampung tidak membunuhnya karena masuknya rusa ke

dalam kampung dianggap tidak lazim dan apa yang tidak lazim itu selalu dikaitkan

dengan alam gaib. Oleh karena itu mereka hanya mengusirnya ke arah Danau Poso.

Setelah rusa itu menghilang di Danau Poso maka hilang pula penyakit itu dari

penduduk kampung. Bagi penduduk saat itu, jenis penyakit ini dipahami sebagai

bagian dari hukuman atas kesalahan (dosa) manusia kepada Yang Maha Kuasa atau

dalam bahasa Pamona disebut Pue mPalaburu. Karena itu harus dibuat ritual

penghapusan/ pembersihan dosa yang ada di kampung, yaitu moandu sala atau

menghanyutkan dosa. Pemimpin ritual adalah imam laki-lakidibantu oleh beberapa

orang imam perempuan. Sehari sebelum pelaksaanaan ritual moandu sala, para

perempuan melakukan pembersihan kampung dengan memakai daun soi6 disertai

mantra-mantra ritual. Para imam (bhs. Pamona: Tadumburake) memiliki

30 orang), untuk menyerang mereka di malam mpolanggo. Melihat hal ini, mereka mengutus orang

untuk menyampaikan hal ini di To Wale, maka malam itu juga, datanglah Ta’enggi bersama

prajuritnya mengawal kegiatan warga dalam penanaman padi itu dengan sebuah senjata sederhana

yang ada waktu itu. Melihat keadaan ini, To Bada tidak menyerang dan kembali kemarkasnya.

Inilah cikal bakal perdamaian To Bada dan To Wale. Hal yang lain yang perlu dicermati bahwa To

Bada sudah mengenal pertanian di lahan basa-sawah (momparuja). Jadi, mungkin pada awalnya

masyarakat yang ada di Buyumpondoli belajar cara bersawah dari orang Bada. 6Daun soi (ira nCoi), sejenis tanaman bunga warna merah yang selalu hidup di pekuburan,

memiliki makna gaib. Daun Soi ini, juga dipakai dalam acara kesenian Motaro yaitu penyambutan

pejabat yang datang di Desa Buyumpondoli.

Page 4: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

45

kepercayaan kuat terhadap kuasa-kuasa gaib yang ada di alam ini yang sewaktu-

waktu dapat mencelakakan manusia. Tetapi sebelum ritual dilaksananakan, mereka

yang akan memimpin ritual itu mengadakan pertemuan di Mamongo - pinggir

sungai Tadanci - arah Utara desa Buyumpondoli sambil membawa sesajen

(beberapa sajian makanan) untuk dipersembahkan pada roh-roh gaib yang

melindungi manusia. Kegiatan pembersihan kampung dari roh jahat dilaksanakan

setiap tahun, sekitar bulan Oktober atau November. Namun, ritual seperti ini tidak

lagi dilakukan. Pelaksanaan ritual ini dilakukan di sungai atau di Danau Poso- di

Hilir Sungai Tadanci (baca: Baba nTadanci).

2. Penduduk Desa Buyumpondoli

Tabel 2. Data Penduduk desa Buyumpondoli

Data Penduduk menurut Umur Tahun 2015 Tahun 2016

0-12 Bulan 19 27

1-5 Tahun 99 104

6-10 Tahun 199 210

11-15 Tahun 122 1 46

16-20 Tahun 148 167

21-25 Tahun 168 173

26-30 Tahun 149 154

31-35 Tahun 156 161

36-40 Tahun 185 190

41-45 Tahun 158 163

46-50 Tahun 155 160

51-55 Tahun 157 162

56-60 Tahun 132 1 43

60 Tahun keatas 117 135

Jumlah 1.833 1.964

Data Penduduk Berdasarkan Gender Tahun 2015 Tahun 2016

Jumlah Penduduk 1.833 1.964

Jumlah Laki-laki 891 949

Jumlah Perempuan 942 1.015

Jumlah Kepala Keluarga 512 KK 569 KK

Data Desa Buyumpondoli

Page 5: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

46

Tabel 3. Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Buyumpondoli

Jenis Pekerjaan Tahun 2014 Tahun 2015

Petani 1.012 1.030

Pegawai Negeri Sipil 30 43

Pengrajin Industri Rumah Tangga 2 2

Peternak 5 5

Nelayan 5 5

POLRI 2 2

Pensiunan PNS/ POLRI/TNI 10 10

Pengusaha Kecil dan Menengah 40 40

Dosen Swasta 2 4

Karyawan Perusahaan Swasta 3 15

TKI/TKW 2 2

Pengemudi/Tukang Ojek 22 27

Tukang Kayu/Batu 25 25

Bengkel 2 3

Service Elecktronik 1 1

Pedagang 4 Data Desa Buyumpondoli

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa

Buyumpondoli memiliki mata pencaharian sebagai petani.

3. Peran Majelis Adat Desa Buyumpondoli

Secara faktual, umumnya Ketua adat di desa, adalah mitra kerja utama

dalam kepemimpinan Kepala desa atau Kepala kampung. Keduanya bertugas untuk

menata kehidupan sosial dan kultur masyarakat desa. Terutama dalam hal

perjodohan, pertunangan, perkawinan adat, penyelesaian kasus-kasus sosial dan

tanah yang ada di kampung atau desa dan pelaksanaan ritual-ritual adat. Tujuannya,

agar tatanan hidup masyarakat desa berjalan dengan baik sesuai, kaidah, norma

adat, kultur yang telah dicanangkan dan dilestarikan oleh parah leluhur sehingga

Page 6: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

47

masyarakat, hidup damai dan saling menghormati sesuai norma yang telah

disepakati bersama. Baik dikalangan anak-anak, orang muda dan yang tua dan

dalam hubungan antar dan inter keluarga serta penduduk yang datang dari luar desa.

Menjadi catatan penting bahwa peran Ketua adat, diluar Kepala desa baru

terlaksana secara baik, setelah Indonesia merdeka. Sedangkan sebelumnya, peran

ketua adat dilaksanakan langsung oleh Kepala desa atau Kepala kampung, yakni

pemimpin tunggal di kampung atau di desa. Jika ada pelanggaran terhadap hukum

adat, Kepala desa atau Kepala kampung menjadi pengambilan keputusan atas

perkara. Namun sekarang sudah berjalan sesuai tugas dan perannya masing-masing.

Secara kelembagaan adat Pamona, Ketua adat masuk dalam kepengurusan yang

disebut Majelis Adat Pamona, baik itu yang ada di tingkat Kabupaten, Kecamatan,

dan Desa/ Kelurahan. Majelis adat inilah yang kemudian menyelesaikan berbagai

pelanggaran adat yang terjadi dalam masyarakat adat, termasuk juga menetapkan

sanksi adat (giwu) sesuai dengan yang disepakati bersama oleh masyarakat adat.

Menurut Bpk. Rameode selaku Ketua Majelis Adat Desa Buyumpondoli,

ada beberapa langkah-langkah menyelesaikan pelanggaran adat, yaitu:7

a) Ada laporan tertulis atau lisan tentang pelaku pelanggar adat dan jenis pelanggaran

yang dilakukan.

b) Berdasarkan laporan lisan tersebut Majelis Adat mendatangi orang yang dilaporkan

untuk mencari keterangan dan memastikan kebenaran dari laporan yang diterima.

Dalam bagian ini dilakukan percakapan dengan orang yang dilaporkan itu dan

majelis adat juga menyampaikan tetntang adat istiadat yang berlaku dan

7Hasil wawancara dengan Bpk. Rameode, tanggal 23 Agustus 2016

Page 7: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

48

konsekuensi yang diterima bagi yang melanggar. Namun Majelis Adat selalu

menempatkan orang yang dilaporkan itu sebagai manusia yang harus dihargai,

sehingga sebelum masuk dalam pokok pembicaraan, Majelis Adat akan mengawali

percakapan dengan pernyataan, misalnya: “semua manusia tidak luput dari

kesalahan”, “saya tahu tidak ada seorangpun yang tidak menginginkan kedamaian

dan kebahagiaan, dll. Kalimat pembuka seperti itu menciptakan situasi yang aman

dan nyaman bagi orang yang dilaporkan untuk menyampaikan apapun yang

dirasakan dan dialami. Rasa aman dan nyaman itu tercipta karena ada rasa percaya

yang mendalam dari orang yang dilaporkan tadi kepada Majelis Adat. Rasa percaya

itu memotivasnya untuk berkata jujur selama proses percakapan selanjutnya.

Keberanian berkata jujur tidak hanya berkaitan dengan mengakui perbuatannya,

tetapi juga berani berkata tidak untuk perbuatan yang tidak dilakukan. dalam proses

ini ada kemungkinan Majelis adat mendapat informasi tambahan tentang kebenaran

dari orang yang sedang dikunjungi tersebut. Apabila ternyata orang yang dilaporkan

tadi mengakui bahwa benar dia telah melakukan pelanggaran seperti apa yang

dilaporkan, maka Majelis Adat mengambil langkah selanjutnya, yaitu

mempertemukan kedua belah pihak yang bermasalah dalam suasana kekeluargaan.

Biasanya pertemuan ini dilakukan di tempat yang dianggap aman dan nyaman,

misalnya di rumah Majelis Adat. Dalam pertemuan ini akan dilakukan percakapan

dari hati ke hati antara pihak-pihak yang bermasalah dan juga konsekuensi

pelanggaran yang akan diterima oleh pihak yang melanggar. Sekalipun dalam

percakapan yang terjadi telah terjadi kesepakatan untuk berdamai kembali, namun

Page 8: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

49

apabila pelanggaran itu dianggap memberikan dampak terhadap keseimbangan

kosmos maka giwu tetap di berikan kepada yang melanggar.

c) Selanjutnya, permasalahan itu dibawa ke sidang adat yang dilaksanakan di tempat

pertemuan desa yang biasa disebut baruga. Dalam pertemuan ini dibacakan

keputusan terhadap persoalan yang terjadi dan penetapan giwu juga akan dilakukan.

Biasanya giwu berwujud binatang atau uang, yang jumlahnya telah disepakati oleh

masyarakat adat. Namun Majelis adat selalu menyampaikan permohonan kepada

semua pihak bahkan masyarakat yang hadir untuk tidak membicarakan persoalan

ini karena masih dalam proses penyelesaian.

d) Langkah-langkah penyelesaian persoalan tidak berhenti sampai disitu saja tetapi

Majelis Adat tetap melanjutkan tanggung jawanya dalam mendampingi kedua belah

pihak yang bermasalah tadi. Majelis adat memberikan kekuatan untuk menjalani

proses penyelesaian persoalan. Biasanya Majelis Adat pergi mengunjungi pihak-

pihak yang bermasalah tadi.

e) Ketika giwu telah diberikan, maka tidak ada seorangpun yang boleh mengungkit-

ungkit persoalan itu. Jika ada yang melakukannya, maka ia akan dikenakan giwu.

Dengan demikian persoalan dianggap telah selesai dan orang yang melakukan

pelanggaran tadi dianggap telah sembuh dan menjadi anggota komunitas yang

bersih.

Asal Usul Giwu

Sebagai mahluk sosial, manusia selalu membangun relasi dengan orang lain.

Dalam membangun relasi dengan orang lain itu, masyarakat adat Pamona

berpegang pada sebuah falsafah hidup yang mengakar dan dihidupi dalam

Page 9: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

50

kehidupan bersama, yaitu sintuwu. Sintuwu berarti “hidup bersama” atas dasar

“kesamaan kehidupan”.8 Hal ini didasari oleh suatu pola kehidupan bersama yang

menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama,

memperlihatkan diri dengan seperasaan. Sintuwu berasal dari kata tuwu yang berarti

hidup. Kata ini bisa dilihat sebagai sebuah kata sifat dan sekaligus juga intransitif.

Dalam komposisi bahasa Pamona, Pemberian imbuhan sin terhadap sebuah kata

kerja merupakan kasus khusus bagi beberapa kata kerja. Dengan mendapat imbuhan

sin maka kata kerja itu menunjuk pada perilaku timbal balik dari dua subjek yang

berhadap-hadapan. Sehingga kata sintuwu berarti saling menghidupkan.9 Dengan

demikian sintuwu mengandung makna kesedian untuk berbagi kehidupan dengan

orang lain dengan orang lain demi kehidupan itu sendiri. Hal ini didasarkan pada

pola kehidupan kolektif yang menyebabkan semua orang harus berjalan bersama,

menanggung beban bersama, menghadapi ancaman dan tantangan bersama, dan

bahkan memiliki perasaan yang sama. Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso

dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masyarakat dan yang sekaligus

membentuk identitas kolektif mereka.10

Dalam perkembangan selanjutnya, kata sintuwu berkembang menjadi sintuwu

maroso. Maroso yang berarti kuat. Jadi sintuwu maroso secara etimologis berarti

hidup yang kuat atau dengan hidup secara bersama kita menjadi kuat. Persatuan

yang kuat disini bukan berarti membentuk satu kelompok-kelompok tertentu untuk

memperkuat diri akan tetapi membaur bersama dalam masyarakat dalam berbagai

8 J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 71

9Toni Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial Dan Rekontruksi identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat

Elim Salon Kele’I di Poso, (Salatiga: Satya Wacana University PREES, 2014), hal. 221

10 Toni Tampake, Redefinisi Tindakan ..........hal. 222.

Page 10: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

51

perbedaan. Sintuwu maroso berfungsi sebagai pedoman atau pandangan hidup

(falsafah hidup) baik dalam bentuk sikap mental maupun dalam cara berpikir dan

bertingkah laku, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat juga

termaksud bagi para pemimpin atau tokoh-tokoh dalam masyarakat.

Sekalipun telah ada pandangan hidup, namun pelanggaran terhadap pandangan

hidup itu dapat saja terjadi sehingga merusak keharmonisan kehidupan/

keseimbangan kosmos. Pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku dalam

alam semesta diterjemahkan sebagai pelanggaran terhadap garis keseimbangan

kosmos tersebut. Bagi setiap orang yang dianggap menjalani norma-norma yang

berlaku dalam alam semesta, garis keseimbangan kosmos ini harus dijalani secara

serta merta. Jika garis ini tidak dijalankan walaupun hanya oleh seorang individu

maka baik masyarakat maupun orang tersebut akan menderita karena berada diluar

garis tersebut. Perbuatan ini yang disebut sebagai pelanggaran adat.11 Dalam situasi

seperti itu diperlukan adanya giwu sebagai upaya mengembalikan keseimbangan

kosmos dan dalam konteks masyarakat Poso, giwu dapat menjadi alat yang dapat

mengembalikan keadaaan yang rusak akibat pelanggaran kepada keadaan sintuwu

maroso.

Melalui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis dari

giwu adalah sintuwu maroso. Sintuwu maroso yang menjadi pedoman hidup

masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, dan kehidupan yang

harmonis itu harus didukung oleh berlakunya aturan-aturan yang mengikat tiap

anggota masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya. Sebab jika tidak ada aturan

11 Widnyana, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, (Bandung: Eresco,1995),

hal. 27

Page 11: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

52

yang disepakati bersama, maka masing-masing anggota dengan bebas

mengaktualisasikan dirinya sehingga hal ini dapat menimbulkan kekacauan.

Kekacauan itu dapat dikembalikan menjadi harmonis seperti sedia kala jika ada

sanksi dan dalam masyarakat adat Pamona sanksi itu dikenal dengan istilah giwu.

Selain membutuhkan falsafah hidup, pola kehidupan kolektif juga

membutuhkan adanya nilai-nilai spiritual agar kehidupan yang dijalani lebih

terarah. Dalam falsafah sintuwu maroso terdapat nilai-nilai spiritual yang sangat

dalam, yaitu:

1. Tuwu Mombepatuwu (hidup saling menghidupi).

Dalam hidup baik individu maupun kelompok harus ada saling kepedulian terutama

didalam menjalankan kesempatan untuk hidup baik dalam membuka lapangan

kerja, membantu yang berkekurangan, menolong orang yang menghadapi masalah

dan sebagainya. Tidak berlebihan jika nilai dasar yang satu ini mengandung makna

kewajiban antar sesama untuk saling memberdayakan.

2. Tuwu siwagi (hidup saling menopang).

Suatu kehidupan yang dibangun berdasarkan prinsip satu kesatuan/ persaudaraan

antar sesama yang utuh dan kokoh.

3. Tuwu mombetubunaka (hidup saling menghargai dan sopan santun).

Dalam masyarakat Adat Pamona menjunjung tinggi kehidupan untuk saling

menghormati dan saling menghargai terutama dalam kehidupan antar individu,

kehidupan kekerabatan, kehidupan antar masyarakat dan lembaga-lembaga

pemerintahan berdasarkan tata krama dan adat istiadat setempat.

4. Tuwu Malinuwu (hidup subur kekal abadi).

Page 12: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

53

Masyarakat adat Pamona tetap menumbuh kembangkan suasana kehidupan yang

dibangun berdasarkan prinsip bersatu padu, saling menopang dan saling

menghidupi satu dengan lainnya demi keberlangsungan hidup secara utuh.

Giwu dalam masyarakat adat Pamona

Dalam sebuah masyarakat, pasti terdapat ukuran mengenai apa yang baik

dan apa yang buruk. Ukuran baik dan buruk itu adalah kesepakatan masyarakat itu

sendiri. Kesepakatan masyarakat yang dilanggar oleh anggotanya akan

menyebabkan anggota masyarakat menerima reaksi dari masyarakat berupa sanksi.

Sehubungan dengan hal ini Soepomo mengemukakan bahwa segala perbuatan atau

kejadian yang mencemarkan suasana batin dan menentang kesucian masyarakat

merupakan pelanggaran terhadap masyarakat seluruhnya. Selanjutnya

dikemukakan pula bahwa pelanggaran yang paling berat adalah pelanggaran yang

memperkosa perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib, serta pelanggaran

yang memperkosa dasar susunan masyarakat.12 Hal ini sejalan dengan apa yang

dinyatakan oleh Howard Zehr tentang pelanggaran yang dilihat dari sudut padang

keadilan restoratif sebagai:

“Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of

people and relationships. It creates obligations to make things right.

Justice involves the victim, the offender, and the community in a

search for solutions which promote repair, reconciliation, and

reassurance."13

Definisi di atas menggambarkan pandangan keadilan restoratif tentang makna

pelanggara yang pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada

12Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hal 122 13Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Scottdale,

Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990, hal. 181.

Page 13: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

54

umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan

kemasyarakatan.

Pelanggaran itu dapat membawa dampak negatif, seperti bencana,

perasaan malu dari individu yang melanggar terhadap masyarakat, rusaknya

hubungan antara di dalam masyarakat sehingga berdampak pada hilangnya

kehidupan yang harmonis.14Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Bpk.

Yafet bahwa pelanggaran yang telah dilakukannya telah menghadirkan tekanan

mental yang sangat berat dirasakan karena hubungan dengan keluarga yang

dirugikan menjadi rusak dan masyarakatpun memberikan stigma negatif

kepadanya. “Kuncani yaku masalaa mo, paikannya ne’e mo kana na rangani

pepaku se’i pai pau-pau tau sondo.Sangko kasangkompoku ngkalio bemoo na

pedulikan yaku se’i, anakku se’e na paguru tau se’e danaka be’e mo naengge mosu

pai yaku. Ode Pue...mapari kojo katuwuku se’i....(“saya memang bersalah tapi

janganlah menambah berat pergumulanku ini dengan gunjingan. Keluargaku

sendiri tidak lagi mempedulikanku. Anakku juga mereka ajarkan untuk tidak dekat-

dekat denganku. Ya Tuhan, sungguh berat hidupku ini....”)15 Pernyataan ini

dikuatkan pula oleh Bpk. Lande yang menyatakan bahwa pelanggaran yang

dilakukan oleh anaknya telah menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga yang

gagal karena tidak bisa mendidik anak dengan baik dan juga ada perasaan malu

yang teramat besar terhadap masyarakat.16 Berdasarkan pernyataan dari dua orang

14WL Sigilipu dan PDO Sigilipu, Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona i Piamo, VIBRA,

2015, hal. 187. 15Wawancara dengan Bpk. Yafet sebagai individu yang dikenai giwu, tanggal 29

September 2016 16Wawancara dengan Bpk. Lande, tanggal 26 September 2016

Page 14: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

55

bapak yang penulis wawancarai, ada beberapa hal penting yang perlu menjadi

catatan, yaitu adanya perasaan malu17 yang dirasakan sehingga mereka merasa jauh

dari keluarga dan masyarakat dan karena perasaan ini mereka merasa tidak lagi

dipedulikan dan dianggap sebagai orang-orang yang tidak layak untuk berada

dalam sebuah komunitas.

Dalam masyarakat adat Pamona, giwu dilihat sebagai reaksi masyarakat

terhadap pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu giwu di tetapkan sesuai dengan

kesepakatan masyarakat adat. Masyarakat adat diwakili oleh lembaga adat yang

kepengurusannya disebut majelis adat. Majelis adat yang kemudian berperan dalam

mengurus setiap perkara secara adat, termasuk penetapan giwu. Penetapan giwu

sangat erat kaitannya dengan kepercayaan animisme masyarakat Pamona pada

zaman dahulu, sebelum agama masuk yang disebut molamoa. Dalam kepercayaan

molamoa, ada keyakinan bahwa ketika Pue Mpalaburu18 menciptakan manusia-

manusia pertama, ia telah menentukan giwu dan besarannya dengan kata-kata sala

mpale sang koro papilu, artinya, kesalahan dengan tangan (sala mpale) dikenakan

giwu lima buah, kesalahan dengan mulut (sala nguju) dikenakan giwu tiga buah,

dan untuk kesalahan dari seluruh badan (sala sangkoro) dikenakan giwu tujuh

17Dalam bahasa Pamona ada beberapa kata untuk menyebut kata malu, antara lain: ea,

longko, nggoya, ngira. Untuk menjelaskan arti kata malu, ada sebuah ungkapan ngenjomo

ponturonginya yang berarti ia malu. Sebab ngenjo berarti “pincang, timpang” dan paturo (dari akar

kata turo) artinya “firasat, pengertian, pandangan ke masa depan”. Jadi ungkapan ini berarti menjadi

ragu-ragu, tidak tahu lagi apa yang akan dikerjakan selanjutnya. Bandingkan dengan tulisan J. Kruyt

dalam “Kabar Keselamatan di Poso”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977, hal. 73. 18Dalam masyarakat adat Pamona terdapat banyak dewa dan dewa tertinggi orang Pamona

ialah Pue mPalaburu. Pue Mpalaburu sering dikatakan sebagai lamoa yang mempunyai peranan

yang sangat penting dalam kerajaan. Pue mPalaburu berarti “tuan peramas”, dan ini menunjukkan

pekerjaannya sebagai pembuat manusia.

Page 15: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

56

buah.19 Adapun giwu dapat berbentuk hewan, seperti kerbau, babi, kambing, ayam

dan ada juga yang berbentuk barang-barang, seperti kain, piring tembaga (dula),

dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya, saat ini giwu dalam bentuk

binatang dapat diganti (ndakamba) dengan membayar sejumlah uang yang

besarannya ditetapkan sebagai berikut:

1. Satu ekor ayam dapat diganti dengan uang Rp. 50.000

2. Satu ekor kambing dapat diganti dengan uang Rp. 350.000

3. Satu ekor kerbau dapat diganti dengan uang Rp. 3.000.000

Terkait dengan penggantian itu, maka sesuai dengan situasi dan kondisi

yang ada saat ini kerbau dapat diganti dengan sapi. Sulitnya mendapatkan kerbau

menjadi tantangan tersendiri bagi pembayaran giwu. Menurut Bpk. T. Silele, istilah

“disesuaikan” sebenarnya lebih tepat untuk menjelaskan arti dari ndakamba karena

harga seekor kerbau tidak akan sebanding dengan uang Rp. 3.000.000.20 Penetapan

kerbau sebagai denda tertinggi dari sebuah pelanggaran sesungguhnya berangkat

dari sebuah filosofi yang berhubungan dengan pertanian. Menurut WL. Sigilipu dan

PDO. Sigilipu dalam bukunya Limbayo Ntana Pai Ada nTo Pamona I Piamo,

penggunaan kerbau sebagai giwu didasarkan pada kehidupan nenek moyang suku

Pamona yang hidup dari pertanian. Kegiatan bertani saat itu masih sangat

tradisional dan mereka menggunakan tenaga kerbau untuk membantu pekerjaan

mereka di sawah. Selain itu ketika mereka pulang dari sawah dan harus

menyeberangi sungai, mereka menungganggi kerbau agar tidak dimangsa oleh

19N. Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA YANG BERBAHASA BARE’E , Jilid I,

Batavia: Percatakan Negara, 1912 , hal. 364, hal. 398 20Wawancara dengan Bpk. T. Silele, tanggal 13 September 2016

Page 16: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

57

buaya. Jadi kerbau menjadi seperti “sahabat” bagi mereka untuk melaksanakan

berbagai aktivitas dan ketika mereka melakukan pelanggaran terhadap adat istiadat

yang berlaku, maka kerbau sebagai “sahabatnya” akan diambil daripadanya.

Dengan demikian setiap orang akan berpikir panjang untuk melakukan suatu

pelanggaran karena kemungkinan dia akan kehilangan “sahabat” yang sudah sangat

banyak membantu dalam mempertahankan kehidupan.21

Berdasarkan kepercayaan orang Pamona akan otoritas Pue mPalaburu

yang telah menetapkan giwu, Bpk. O. Pomatu mencatat bahwa pelanggaran adat

terdiri atas tiga hal, yaitu: sala nguju, sala mpale dan sala sangkoro.22 Pelanggaran

itu sangat bersifat nisbi jika mengacu pada pemahaman orang Pamona tentang

otoritas dewata, dimana suatu hal dapat disebut pelanggaran jika dewata

mempertimbangkan itu sebagai sebuah pelanggaran dan itu dapat dilihat pada

akibat yang ditimbulkan. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pimpinan

adat sebagai wakil dewata untuk memutuskan perkara yang terjadi. Tantangan itu

terletak pada bagaimana mengetahui secara pasti bahwa itu adalah keputusan

dewata atau bukan, apalagi dalam banyak kejadian didapati bahwa untuk perkara

yang sama tidak terdapat keputusan yang sama. Jika kenyataan ini terjadi dewata

dianggap tidak adil sekalipun mereka tetap menerima keputusan yang ditetapkan.

Penetapan giwu biasanya dilakukan terhadap perbuatan yang menghina adat,

perzinahan, mempermainkan adat, merugikan orang lain, menghina orang lain atau

21WL Sigilipu dan PDO Sigilipu, Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona i Piamo, VIBRA,

2015, hal.191. 22O. Pomatoe, “Soera Podede Awili nTaoe Toea Ri Pamona Poea” ( catatan harian yang

tidak diterbitkan, Poleganyara-Onda’e, 1937-1938, hal. 28)

Page 17: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

58

orang yang dihormati dalam masyarakat, merugikan masyarakat dan lain

sebagainya.23

Adapun perbuatan yang dapat menimbulkan giwu, yaitu:24

1. Kejahatan ringan

a. Pencurian ringan

Seseorang pencuri diharuskan mengganti/ membayar barang curiannya. Apabila di

pengadilan adat ia menyangkal, maka ia harus memasukkan jarinya di damar yang

sedang menyala. Apabila tangannya tak terbakar berarti tidak benar mencuri.

Sebagai hukumannya ia harus membayar/ mengganti barang curiannya ditambah

seekor ayam.

b. Kamale punga (salah ambil). Seorang menangkap sapi atau kerbau

kepunyaan orang lain didenda dengan seekor kambing atau sebatang pohon sagu.

2. Kejahatan sedang

a. Bolea ncombori. Seorang laki-laki atau perempuan yang menggaggu rumah tangga

orang lain yang mengakibatkan rumah tanggga itu kacau, ia harus didenda berupa

seekor kerbau. Denda tersebut diarahkan kepada keluarga yang terganggu tersebut.

b. Rinci ngkayupa. Suami yang main-main dengan wanita lain diwajibkan membayar

seekor kerbau terhadap isterinya dan seekor kerbau untuk wanita tersebut.

23WL Sigilipu dan PDO Sigilipu, Limbayo Ntana Pai Ada Nto Pamona i Piamo, VIBRA,

2015, hal. 188. 24Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah Bidang

Kebudayaan dengan bantuan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tengah, ADAT ISTIADAT RAKYAT

DI SULAWESI TENGAH, Team Prasurvey Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu: 1973, hal.

68-73

Page 18: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

59

c. Pelogesi (mengotori). Seorang laki-laki/ perempuan yang mengganggu suami/

isteri dalam suatu keluarga yang tenteram didenda/ membayar dengan seekor

kerbau terhadap keluarga yang bersangkutan.

d. Tambal Bela (pembalut luka). Seorang yang melukai orang lain, misalnya kena

ranjau di kebun, ia harus didenda dengan seekor kerbau. Denda tersebut diserahkan

kepada yang terkena ranjau.

e. Tambang kinaea (penutup malu). Seorang suami/ isteri yang berzinah dengan

perempuan/ laki-laki lain, bila ia kembali kepada isteri/ suaminya diwajibkan

membayar seekor kerbau. Kerbau itu dipotong untuk dimakan oleh seluruh

masyarakat desa/ kampung. Selesai makan ketua adat memberikan pengumuman

yang berbunyi: “Jam ini kita makan kerbau yang diberi si Anu, kita tidak boleh

menyebut kejadian ini diluar karena sudah didamaikan. Barangsiapa yang

menyebut-nyebut akan dikenakan denda.”

f. Pedasi Ama (pendamai api). Kebakaran yang disebabkan oleh seseorang dikenakan

denda sesuai dengan kerugian.

g. Karapa banga. Perempuan yang memegang celana laki-laki sampai robek

diharuskan membayar denda sebesar kerugian laki-laki tersebut.

h. Palisi mpale (mencuci tangan). Seorang yang memukul/ malukai orang lain (tidak

mati), didenda seekor kerbau.

i. Karonu ngkinaa (kerusakan makanan). Pihak laki-laki (pesta perkawinan) yang

terlambat datang saat waktu pelaksanaan pesta perkawinan sehingga menyebabkan

kerugian pihak perempuan, diwajibkan membayar kerugian pihak perempuan

tersebut sebelum perkawinan diteguhkan.

Page 19: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

60

j. Saru mpedonge. Seorang yang merampas hak orang lain diwajibkan mebayar denda

selembar sarung atau seekor kerbau.

3. Kejahatan berat

Dungka bente (merobohkan benteng). Jika dalam sebuah peperangan ada sesorang

yang merobohkan benteng tempat perlindungan sehingga menimbulkan banyak

korban, maka orang tersebut dikenakan hukuman mati.

Jenis-jenis peraturan yang diuraikan di atas dapat digolongkan sebagai

peraturan pidana. Adapun peraturan perdata yang dapat menimbulkan giwu dalam

masyarakat adat pamona adalah:25

1. Torobaka eja. Seorang suami yang rujuk lebih dahulu harus membayar seekor

kerbau terhadap isterinya. Pembayaran inilah yang dimaksud torobaka eja yang

berarti “pembuka jalan naik tangga”

2. Poyue ntomponya. Apabila terjadi perceraian akibat perselingkuhan dalam rumah

tangga, maka kepada yang menghendaki perceraian tersebut harus membayar

seekor kerbau.

3. Venci ntida. Seorang laki-laki/ perempuan yang menghendaki kawin dengan

kemenakannya menurut adat pamona tidak diperkenankan, tetapi jika keadaan

mengharuskan untuk dilaksanakan, maka ia harus membayar dengan seekor kerbau.

4. Lumpia ntida. Seorang laki-laki yang ingin kawin dengan bibi/ tantenya, sebelum

sampapitu di setujui, ia harus membayar dengan seekor kerbau.

25 Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan......., hal. 71-73

Page 20: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

61

5. Pompakangura. Seorang laki-laki tua yang menghendaki kawin dengan seorang

gadis harus memberikan seekor kerbau kepada pihak keluarga si gadis.

Pompakangura dapat diartikan mengubah laki-laki tua menjadi muda.

6. Pelusoki. Seorang laki-laki yang telah berjanji untuk kawin dengan seorang wanita

tetapi mengingkari janjinya, kepadanya dikenakan denda seekor kerbau.

7. Peliunaka. Seorang yang akan kawin dengan seorang gadis, sedangkan kakak

perempuan gadis itu belum kawin, sebelum memberikan sampapitu lebih dahulu

menyerahkan selembar kain pelekat kepada kakak gadis tersebut karena dianggap

telah melanggar hak kakak perempuan bakal isterinya.

8. Vusoi ntabo (pencuci piring). Seorang perempuan yang ingin kawin dengan bekas

suami tantenya harus membayar seekor kerbau sebelum perkawinan

dilangsungkan.

9. Vusoi ncuke (pencuci gelas). Seorang laki-laki yang ingin kawin dengan bekas isteri

pamannya harus membayar seekor kerbau sebelum perkawinan dilangsungkan.

10. Peiviti. Seorang menjual binatang (sapi, kerbau, kuda, dll) dalam keadaan

bunting, namun apabila suatu saat dia menginginkan anak binatang itu, maka ia

harus menyerahkan selembar sarung kepada si pembeli.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemberian giwu tidak lagi berlaku untuk

semua hal-hal di atas. Melalui Hasil Keputusan Lokakarya dan Rapat Kerja Adat

Pamona Kabupaten Poso tanggal 22-23 Januari 2008 di Desa Tagolu, maka

perbuatan yang dapat menimbulkan giwu dapat dibagi dalam:26

1. Masalah yang berhubungan dengan adat perkawinan

26Majelis Adat Pamona Kabupaten Poso, Hasil Keputusan Lokakarya dan Rapat Kerja Adat

Pamona Kabupaten Poso Tanggal 22-23 Januari 2008 di Tagolu. Poso, 2008

Page 21: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

62

a. Owosi Buyu (tidak dapat diganti). Sebelum dilangsungkan pernikahan, harus dilihat

terlebih dahulu hubungan kekerabatan yang mungkin terjalin antara pihak laki-laki

dan perempuan yang akan menikah. Hubungan kekerabatan itu dilihat dari empat

sisi, yaitu dari jalinan kekrabatan ayah dan ibu pihak laki-laki serta jalinan

kekerabatan dari ayah dan ibu pihak perempuan. Apabila ditemui adanya jalinan

kekerabatan antara pihak laki-laki dan perempuan pada tiga sisi yang dapat

menghalangi terjadinya pernikahan, maka pihak laki-laki-laki harus memberikan

seekor kerbau agar pernikahan dapat dilangsungkan.

b. Owosi Mbata. Jika ditemukan adanya hubungan kekerabatan antara pihak laki-laki

dan perempuan dari dua sisi, maka pihak laki-laki harus memberikan satu buah kain

yang diletakkan di atas nampan.

c. Katotambe. Jika ditemukan adanya hubungan kekerabatan antara pihak laki-laki

dan perempuan hanya pada satu sisi saja, maka pernikahan dapat dilangsungkan

tetapi pihak laki-laki harus memberikan sebuah kain.

d. Ndapanga/Ndawogoi. Jika ditemukan hubungan kekerabatan pada empat sisi yang

menghalangi terjadinya pernikahan, maka pernikahan sama sekali tidak boleh

dilakukan. Namun jika laki-laki dan perempuan itu tetap memaksa untuk menikah,

maka mereka akan diikat menjadi satu dan ditenggelamkan di dalam air. Akan

tetapi saat ini tidak lagi dilakukan.

e. Pelego-lego. Jika lamaran telah diterima oleh pihak perempuan dan selanjutnya

salah satu pihak calon pengantin memilih membatalkan lamaran yang telah

disepakati, maka pihak yang membatalkan harus membayar giwu berupa seekor

kerbau yang akan diberikan kepada pihak yang menerima pembatalan.

Page 22: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

63

f. Petengosi Ri Ada. Ada aturan dalam masyarakat adat Pamona bahwa jika

perempuan telah hamil sebelum menikah, maka laki-laki yang menikahinya tidak

perlu mengajukan lamaran. Namun dalam banyak kasus seringkali kehamilan itu

disembunyikan oleh pihak perempuan dan laki-laki, sehingga prosesi lamaran tetap

dilakukan. Apabila kehamilan pihak perempuan itu diketahui setelah prosesi

lamaran berlangsung, maka kedua belah pihak harus memberikan seekor kerbau

karena telah membohongi adat. Kerbau itu diberikan untuk desa/ kampung.

g. Pebualosi

1. Jika lamaran telah berlansung dan dalam masa penantian pesta pernikahan ternyata

laki-laki menghamili perempuan, maka mereka harus memberikan seekor kerbau

karena telah menghina adat.

2. Jika seorang perempuan yang telah menerima lamaran dari seorang laki-laki

kedapatan berselingkuh dan laki-laki yang melamar tidak mau menerima

perempuan itu lagi, maka laki-laki yang telah berselingkuh dengannya harus

memberikan seekor kerbau kepada laki-laki yang telah melamar tadi.

h. Poruta

1. Jika seorang laki-laki berzinah dengan kemenakannya, maka laki-laki itu harus

memberikan seekor kerbau untuk desa/ kampung.

2. Jika berzinah dengan saudara kandung, laki-laki dan perempuan itu harus

memberikan dua ekor kerbau untuk desa/ kampung. Hal ini juga berlaku ketika

seorang laki-laki berzinah dengan ibu atau anak kandungnya.

3. Jika seseorang berhubungan intim dengan binatang peliharaan, maka ia harus diusir

dari desa/ kampung.Pada zaman masyarakat Pamona masih beragama suku,

Page 23: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

64

perzinahan dengan ibu dan anak kandung serta binatang peliharaan akan

mendatangkan sanksi ditenggelamkan. Sanksi seperti ini tidak dilakukan lagi

sekarang.

i. Petianasi (menghamili)

1. Jika seorang laki-laki menghamili seorang perempuan atas dasar suka sama suka

dan mereka akan menikah, maka mereka harus memberikan seekor kerbau sebagai

jalan pelaksanaan perkawinanan adat.

2. Jika laki-laki tidak menikahi perempuan yang dihamilinya, maka ia harus

memberikan seekor kerbau karena mengotori desa/ kampung, seekor kerbau karena

tidak menikahi perempuan itu, dan seekor kerbau lagi jika ia mengakui anak telah

atau akan lahir sebagai anaknya.

j. Perceraian

1. Polebolusu dapat dilihat dari dua hal, yaitu: a) Jika perceraian terjadi atas

kesepakatan bersama, maka kedua belah pihak harus memberikan seekor kerbau

sebagai penghargaan kepada adat; b) Jika kedua pihak didapati bersalah dan salah

satu pihak tetap menginginkan perceraian, maka pihak yang menginginkkan

perceraian itu harus memberikan seekor kerbau.

2. Taji damata. Jika seorang suami meninggalkan istrinya tanpa sebab yang jelas,

maka ia harus memberikan tiga ekor kerbau, seekor untuk desa/ kampung dan dua

ekor untuk istri yang ditinggalkannya. Namun jika istri yang meninggalkan

suaminya, maka ia harus memberikan empat ekor kerbau, seekor untuk desa/

kampung dan tiga ekor untuk suami yang ditinggalkannya.

Page 24: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

65

3. Salara (perselingkuhan) dapat dilihat dari empat hal yaitu: a) Jika istri tetap

menerima suaminya yang telah berselingkuh, maka sang suami harus memberikan

seekor kerbau kepada istrinya. b) Jika suami tetap menerima istrinya yang telah

berselingkuh, maka laki-laki yang menjadi selingkuhan sang istri harus

memberikan seekor kerbau kepada sang suami yang diselingkuhi. c) Jika pihak

yang diselingkuhi tidak mau memperbaiki kembali rumah tangga mereka, maka

pihak yang berselingkuh harus memberikan tiga ekor kerbau kepada pihak yang

diselingkuhi dan satu ekor kerbau lagi untuk desa/ kampung. d) Jika laki-laki dan

perempuan yang berselingkuh telah memiliki rumah tangga masing-masing, maka

mereka harus membayar tujuh ekor kerbau apabila mereka memilih bercerai dari

pasangan masing-masing atau pasangan mereka masing-masingpun menginginkan

hal yang sama. Laki-laki yang berselingkuh membayar empat ekor dan perempuan

membayar tiga ekor kerbau: enam ekor kerbau akan diberikan kepada pasangan

yang di selingkuhi, masing-masing tiga ekor, dan seekor kerbau diberikan untuk

desa/kampung.

4. Kolika Eja bara Torabaka Eja. Jika suami istri telah sah bercerai namun suatu

saat igin kembali menikah, maka laki-laki atau suaminya harus membayar seekor

kerbau kepada istri atau pihak istrinya.

5. Polangari bara Tambangkinaeya.Jika ada orang yang membuat suami atau

istrinya marah, maka ia harus memberikan seekor kerbau agar hubungannya

menjadi harmonis kembali. Namun jika seekor kerbau belum diterima, maka ia

harus menambah seekor kerbau lagi. Demikian pula selanjutnya, jika dua ekor

kerbau belum diterima dan ia masih ingiin bersama dengan isteri atau suaminya,

Page 25: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

66

maka ia dapat menambah satu ekor kerbau lagi dan seterusnya sampai diterima.

Apabila ia tidak ingin lagi meneruskan hubungan itu, maka ia dapat menghentikan

pemberiannya.

Selain hal-hal praktis tentang pemberlakuan giwu diatas, Majelis Adat

Pamona Kabupaten Poso juga menambahkan catatan tantang pelanggaran lain yang

dapat menimbulkan giwu yaitu dalam bentuk ritual sekalipun hal itu tidak lagi

dilakukan saat ini. Menurut Bpk. Drs. J. Santo sebagai Ketua Umum Majelis Adat

Pamona Kabupaten Poso saat itu, ritual-ritual itu sengaja dicantumkan dalam

catatan hasil keputusan Lokakarya dan Rapat Kerja Adat Pamona tahun 2008 agar

masyarakat adat Pamona khususnya generasi muda tetap mengetahui bahwa ritual-

ritual itu pernah ada dan dilakukan dengan tujuannya masing-masing.27 Tentu hal

ini dilihat sebagai upaya melestarikan adat istidat Pamona. Adapun pelanggaran

yang lain dan cara memulihkanya, yaitu:28

a. Tambu tana

Jika ada seseorang mengatakan kebohongan yang dapat mempermalukan orang

lain, maka ia di giwu dengan membayar seekor kerbau atau babi yang akan di

sembelih dan dimakan bersama-sama ketika permasalahan itu diselesaikan oleh

pemuka adat. Setelah masalah itu diselesaikan, maka tidak ada seorangpun yang

boleh mengungkit-ungkitnya karena dianggap telah selesai. Apabila itu terjadi,

maka orang yang mengungkit-ungkitnya akan diberikan sanksimengikuti giwu

sebelumnya.

27 Hasil wawancara dengan Bpk. J. Santo, tanggal 5 Agustus 2016 28O. Pomatoe, Soera: salinan asli, foto oengka ri Toea Pandita A. C. Kruyt, Pendolo 1932,

Pamona, 1938, hal. 167

Page 26: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

67

b. Maganggo silo

Apabila ada seseorang yang dicurigai memiliki ilmu hitam tetapi ia

menyangkalinya, maka orang itu diminta untuk menggenggam bara api yang masih

menyala. Jika tangannya tidak melepuh, maka benar dia tidak memiliki ilmu hitam

dan orang yang mengatakan ia memiliki ilmu hitam harus di giwu dengan

membayar seekor kerbau. Kerbau itu akan disembelih dan dimakan bersama-sama

dengan orang banyak sehingga masalah itu tidak akan diungkit-ungkit lagi. Namun

jika tangan orang yang dicurigai memiliki ilmu hitam tadi melepuh, maka benar ia

memiliki ilmu hitam. Ketika masyarakat Pamona masih menganut agama suku,

orang itu akan dibunuh atau diusir dari kampung/ desa tetapi hal itu tidak lagi

dilakukan saat ini.

c. Mogego29

Hukum dewata yang terbanyak diterapkan oleh orang Pamona adalah menancapkan

lembing-lembing ke dalam tanah (mogego). Ritual ini dilakukan oleh dua pihak,

yaitu yang menuntut dan yang dituntut. Mereka harus melemparkan lembing

kedalam tanah dari tempat yang agak tinggi. Apabila lembing jatuh disisi yang salah

dari batas kayu atau mengenai batas kayu tersebut, maka pihak itu dinyatakan kalah.

Cara lain adalah bagian lembing yang telah menancap ke dalam tanah, di ukur siapa

yang lembingnya paling dalam menancap, dialah yang menjadi pihak yang

dibenarkan.

d. Moandu sala30

29N.Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA YANG BERBAHASA BARE’E , Jilid I,

Batavia: Percatakan Negara, 1912 , hal. 364 30N.Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA YANG BERBAHASA BARE’E , Jilid II,

Batavia: Percatakan Negara, 1912, hal. 276-278

Page 27: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

68

Pada zaman dahulu, semua orang Pamona adalah petani, tidak terkecuali

mulai dari pemimpin sampai dengan para budak mereka. Semua pikiran mereka

selalu dicurahkan kepada aktivitas bertani. Bahkan segala kepercayaan yang

berhubungan dengan dewa-dewa dan para arwah selalu berhubungan dengan usaha

bagaimana yang akan berakibat baik terhadap sawah mereka. Setiap terjadi

pelanggaran terhadap adat kebiasaan, maka para dewa selalu akan menghukum

mereka pada ladangnya.31 Oleh karena itu setiap tahun, sebelum bertanam padi,

diberikan sebuah kurban kepada Pue mPalaburu yang disebut moandu sala.

Pemberian kurban ini dilakukan dalam sebuah ritual yang disebut ritual moandu

sala. Ritual ini ditujukan untuk pembersihan dosa-dosa. Pengertian dosa dalam hal

ini ialah berhubungan dengan pelanggaran suatu pantangan yaitu perzinahan atau

perkawinan antara orang tua dan anaknya sendiri, antara paman atau bibi dengan

keponakannya, antara saudara kandung dan perbuatan zinah yang lain. Pelanggaran

pantangan ini dipercaya akan mengakibatkan kemurkaan alam berupa bencana

kekeringan yang akan menggagalkan panen.

Upacara moandu sala dilakukan oleh semua penghuni desa baik tua, muda

dan anak-anak tanpa terkecuali di sebuah sungai yang tidak terlalu besar. Semua

orang harus mengenakan ikat kepala yang terbuat dari bahan kulit kayu. Pada saat

ini jalan menuju desa ditutup dengan menggunakan sebuah batu besar, sebuah meja

sesajian dibuat dan pada meja ini diikatkan seekor babi. Semua orang duduk

mengelilingi meja sesajian ini dengan beralaskan kain katun. Seorang pemimpin

akan berdiri menghadap ke arah timur dan menginjakkan salah satu kakinya pada

31N. Adriani dan Alb. C. Kruyt ORANG TORAJA......... hal. 256-257

Page 28: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

69

babi yang sudah diikat di atas meja sesajian. Ia akan mengunyah siri pinang

sebanyak 7 kali dan menyemburkannya ke atas sambil memanggil para dewa. Kata-

kata yang diucapkan untuk pemanggilan ini berbeda antara suku satu dan lainnya

akan tetapi dibawah ini akan diberikan salah satu contohnya yaitu:

“Wahai, Pue mPalaburu, dengarkanlah apa yang saya katakan.

Kalian para dewa yang tinggal di atas langit dan di bawah bumi

dengarkanlah apa yang akan saya katakan. Disini kami yang

mungkin sudah berdosa dengan tingkah laku kami yang

menggunakan mulut kami, tangan kami atau kaki kami ataupun juga

telinga kami yang sudah mendengar suatu dosa orang lain meminta

maaf kepada kalian. Ini kami memberi babi, kerbau dan kambing

untuk memohon kepada kalian agar diturunkan hujan. Jika kalian

tidak menurunkan hujan maka tahun ini tidak ada yang dapat kami

makan. Wahai Sareo dan Sarengge (nama dua arwah laki-laki dan

wanita yang menumbuhkan padi) terimalah pemberian kami ini dan

turunkanlah hujan untuk kami”32

Sesudah pemanggilan arwah ini maka babi disembelih dengan cara ditusuk

dan darahnya akan dioleskan pada pipi dan dahi setiap orang yang hadir. Sesudah

itu binatang korban lainnya akan disembelih dan dagingnya akan dimakan bersama-

sama. Hanya bagian hati dari binayang korban tersebut yang akan diletakkan di atas

meja sesajian.

Pada saat itu juga akan dibuat perahu-perahuan kecil yang didalamnya akan

diisi dengan sedikit padi, telur ayam, beberapa keping uang logam, sesobek kain

katun atau kain tenun dari orang yang hadir, lidah hewan korban, sirih pinang dan

tembakau. Perahu-perahuan ini selanjutnya akan dihanyutkan di atas sungai sanpai

ke bagian hilir. Kemudian orang-orang akan memukul-mukulkan daun tetari dan

32Boo Pue mPalaburu, pedongeka da kuto’o. Anu ncilau, pedongeka wo’u da kuto’o, anu

sindate pendongeka da kuto’o. Se’i kami, bara masala ri nguju, bara masala ri pale, bara masala

ri witi, bara talinga mami madonge sala ntau anu salipunya, mayali talinga mami, mayali nguju

mami. Se’i mbawu samba’a pai baula pai mbula, kaperapika ri komi da niwai uja. Ane bare’e niwai

uja, nunjaa da kakoni santa’u se’i. Boo Sareo, Sarengge, kawaika anu nce’i nipawaika kami uja.

Page 29: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

70

lokaya (sejenis daun yang tajam) ke badan dengan maksud untuk mengeluarkan

semua dosa-dosa dan membuannya bersama perahu-perahuan kecil tadi. Acara

selanjutnya ialah membiarkan perahu-perahuan itu untuk dihanyutkan air sungai

dan mencari jalan sendiri. Sesudah mereka kembali ketempat diadakannya upacara

semula maka mereka akan saling menyemprotkan air (mompejempi). Hal ini

dimaksudkan untuk merangsang agar hujan segera turun.

Kemudian batu besar yang dipergunakan untuk menutup jalan desa

disingkirkan dengan mengucapkan: manga’a ri watu, matomo ri pae (sekarang

batunya menjadi tingan dan padi menjadi berat). Hal ini dimaksudkan untuk

memberi sugesti bahwa padi yang akan mereka panen hasilnya bagus dan berisi

bayak buli-bulir padi. Pada saat mereka pulang kembali ke desa maka mereka akan

memasang batu-batu kecil pada ikat kepala yang menempel di dahinya sebagai

lambang kekuatan yang diibaratkan keras seperti batu. Ritual ini sama dengan ritual

morambulangi.

e. Mencili, meloyo (menyelam)

Di bawah air ditanamkan dua buah tongkat yang dipegang erat-erat oleh dua orang

yang berada pada pihak yang bermasalah. Mereka harus menyelam di dalam air dan

siapa yang terlebih dahulu muncul di permukaan air, dialah pihak yang kalah dan

dianggap bersalah.

Dari beberapa ritual yang telah disebutkan di atas, hanya ada tiga ritual

yang dikenal sebagai hukuman dewata, yaitu moganggo silo, mogego, mencili/

moloyo. Ritual-ritual yang disebutkan diatas tidak lagi dilaksanakan saat ini dan

giwu yang diberikan saat ini kebanyakan dengan memberikan denda berupa

Page 30: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

71

binatang, kain, dan sebagainya. Sekalipun telah mengalami pergeseran dalam hal

cara pelaksanaan giwu, namun makna dan tujuannya tidak berubah yaitu

mengembalikan harmonisasi kehidupan. Bahkan sesuai dengan perkembangan

zaman, giwu dalam bentuk binatang dapat diganti/ disesuaikan dengan sejumlah

uang. Menurut Ketua Majelis Adat Desa Buyumpondoli, pelanggaran-pelanggaran

yang terjadi dan menimbulkan giwu saat ini didominasi oleh masalah di seputar

perkawinan, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, perzinahan,

kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.

B. Tempat menyelesaikan pelanggaran adat dalam masyarakat adat Pamona

Sesuai dengan adat istiadat suku Pamona, setiap ada perkara adat yang

harus dibicarakan dan diselesaikan harus dilakukan di rumah adat yang dikenal

dengan Lobo. Menurut O. Pomatoe mengatakan: “Lobo mampakaroso pai

mapakanoto po ada ngkatuwu ri Lemba Poso”, artinya “Lobo memperkuat dan

menegaskan hidup yang ber-adat di tanah Poso”. “Lobo ince’e tampa potunda ada

sintuwu maroso, tuwu siwagi pai tuwu malinuwu”, artinya “Lobo adalah tempat

menyatakan adat sintuwu maroso (persatuan yang kuat), tuwu siwagi (hidup saling

menopang) dan tuwu malinuwu(hidup yang subur kekal abadi)”.33 Namun

sayangnya Lobo tidak dapat ditemui wujudnya saat ini dan menurut O. Pomatoe,

inilah alasan mengapa kehidupan adat istiadat Pamona tidak kuat lagi saat ini.34

Oleh karena itu ada upaya yang terus dilakukan oleh orang-orang suku Pamona

untuk menghidupkan kembali simbol persatuan masyarakat adat Pamona ini. Upaya

ini juga dilakukan oleh Pemerintah Desa Buyumpondoli, diawali dengan

33 Ompioni Pomatoe, Soera Pdede Awili-nTau Toe’a Ri Pamona Poea , hal 342 34 Ompioni Pomatoe, Soera............,hal 342

Page 31: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

72

menghadirkan ornamen-ornamen adat Pamona pada bangunan Kantor Desa dan

Baruga (tempat pertemuan Desa). Saat ini fungsi Lobo digantikan oleh Baruga,

dimana segala pembicaraan yang berhubungan dengan penyelesaian adat dilakukan

di tempat ini. Menurut Ketua Majelis Adat Desa Buyumpondoli, penyelesaian

perkara Baruga dilakukan dalam rangka pengambilan dan penetapan keputusan

adat terhadap sebuah perkara, termasuk penetapan giwu.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan beberapa hal penting

sehubungan dengan giwu dalam dalam masyarakat adat Pamona, yaitu:

1. Landasan filosofis dari giwu adalah sintuwu maroso karena giwu lahir dari

kesadaran kolektif masyarakat Poso secara khusus masyarakat adat Pamona.

Selanjutnya landasan filosofis giwu melahirkan beberapa nilai-nilai yang dapat

menjadi nilai spiritual dari giwu, antara lain: tuwu mombepatuwu, tuwu siwagi,

tuwu mombetubunaka, tuwu malinuwu.

2. Individu dan kelompok yang dikenai giwu merasa disingkirkan dari komunitas

masyarakat, dalam hal ini masyarakat cenderung tidak peduli dengan mereka yang

dikenai giwu. Dalam hal ini ada masalah yang ditimbulkan karena adanya giwu,

yaitu masalah hilangnya kepedulian.

3. Ketidakpedulian terhadap mereka yang dikenai giwu lahir dari stigma yang

diberikan oleh masyarakat kepada pelanggar adat sebagai orang yang tidak ber-adat

(bhs. Pamona: be’e mo ada). Orang yang tidak ber-adat dapat dimaknai sebagai

orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang adat dalam konotasi negatif (bhs.

Pamona: be’e nancani ada) dan orang-orang seperti ini perlu diberikan

pengetahuan mendalam tentang adat istiadat yang berlaku, sehingga bagaimana

Page 32: GIWU DALAM MASYARAKAT ADAT PAMONA Gambaran …

73

mendidik orang tentang adat istiadat yang berlaku menjadi persoalan yang harus

dijawab selanjutnya.

4. Dalam kaitan dengan persoalan mendidik di atas, maka perlu juga

mempertimbangkan akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang

terhadap adat istiadat yang berlaku terhadap hubungan-hubungan dengan sesama

masyarakat. Pelanggaran yang dilakukan telah merusak hubungan-hubungan dalam

masyarakat sehingga keseimbangan antara aspek-aspek kehidupan terganggu dan

menimbulkan hilangnya kedamaian yang diharapkan bersama. Oleh karena itu

bagaimana memperbaiki hubungan-hubungan yang telah rusak adalah masalah

yang harus diatasi selanjutnya.

5. Ketika hubungan-hubungan yang rusak itu telah diperbaiki, maka persoalan

selanjutnya adalah bagaimana mengutuhkan kembali hubungan-hubungan yag

telah retak tersebut sehingga kebebasan dari masalah sungguh dapat dirasakan dan

kedamaian serta kebahagiaan bersama dapat dinikmati. Dalam hal ini persoalan itu

tidak diungkit-ungkit lagi dan semuanya telah kembali seperti sedia kala, artinya

kehidupan harmonis telah kembali. Jadi persoalan yang terakhir yang menjadi fokus

untuk diselesaikan adalah bagaimana mengembalikan sintuwu maroso di dalam

kehidupan masyarakat adat.