gie

33
Gie: Representasi Berwajah Ganda[1] oleh Veronika Kusuma Pendahuluan Film Gie dibuat oleh sutradara Riri Riza dengan produser Mira Lesmana pada tahun 2005, 35 tahun setelah Soe Hok Gie meninggal. Film ini meraih 3 piala Citra dari 12 nominasi, salah satunya sebagai film terbaik di FFI 2005. Film ini bercerita tentang Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan Tionghoa yang hidup di saat Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Film ini mengangkat kisah nyata kehidupan Soe Hok Gie, selanjutnya disingkat sebagai SHG saja, aktivis angkatan '66. Dbuat dengan melibatkan lebih dari 2.500 pemain dan kru dan syuting di Jakarta, Semarang, Jogjakarta, kaki gunung Merapi, puncak Pangrango, dan lembah Mandalawangi. SHG adalah wakil dari golongan menengah berpendidikan. Ia putra keempat dari seorang penulis dan redaktur berbagai surat kabar seperti Tjin Po, Panorama, Hwa Po, dan masih banyak lagi. Ayahnya bernama Soe Lie Piet dengan nama lokal, Salam Sutrawan. SHG lahir 17 Desember 1942, ketika Jepang baru saja masuk ke Indonesia. Nama Soe Hok Gie berasal dari dialek Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhurnya berasal dari Provinsi Hainan, RRT. Pada umur lima tahun, SHG masuk sekolah Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus untuk warga keturunan Tionghoa. Ia lalu melanjutkan ke SMP Strada dan Kolese Kanisius Jakarta, yang merupakan salah satu sekolah terbaik dengan populasi siswa Tionghoa yang cukup besar[2] . Sejak kecil, SHG telah menunjukkan bakat sebagai anak yang cerdas, setia kawan dan memiliki sikap kritis. Hal ini sering menimbulkan situasi yang menyulitkan dirinya. Semasa menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, SHG tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan idealis. Situasi politik saat itu membuat mahasiswa terbagi atas berbagai kelompok yang saling bentrok. Pada bulan September 1965, terjadi peristiwa G-30 S sebagai puncak pertentangan antara pihak militer dan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa ini diikuti demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa, jatuhnya Presiden

Upload: teofiltejo

Post on 04-Sep-2015

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sastra

TRANSCRIPT

Gie:Representasi Berwajah Ganda[1]oleh Veronika KusumaPendahuluanFilmGiedibuat oleh sutradara Riri Riza dengan produser Mira Lesmana pada tahun 2005, 35 tahun setelah Soe Hok Gie meninggal. Film ini meraih 3 piala Citra dari 12 nominasi, salah satunya sebagai film terbaik di FFI 2005. Film ini bercerita tentang Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan Tionghoa yang hidup di saat Indonesia sedang mengalami perubahan besar.

Film ini mengangkat kisah nyata kehidupan Soe Hok Gie, selanjutnya disingkat sebagai SHG saja, aktivis angkatan '66. Dbuat dengan melibatkan lebih dari 2.500 pemain dan kru dan syuting di Jakarta, Semarang, Jogjakarta, kaki gunung Merapi, puncak Pangrango, dan lembah Mandalawangi.

SHG adalah wakil dari golongan menengah berpendidikan. Ia putra keempat dari seorang penulis dan redaktur berbagai surat kabar sepertiTjin Po, Panorama, Hwa Po, dan masih banyak lagi. Ayahnya bernama Soe Lie Piet dengan nama lokal, Salam Sutrawan. SHG lahir 17 Desember 1942, ketika Jepang baru saja masuk ke Indonesia. Nama Soe Hok Gie berasal dari dialek Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhurnya berasal dari Provinsi Hainan, RRT.

Pada umur lima tahun, SHG masuk sekolah Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus untuk warga keturunan Tionghoa. Ia lalu melanjutkan ke SMP Strada dan Kolese Kanisius Jakarta, yang merupakan salah satu sekolah terbaik dengan populasi siswa Tionghoa yang cukup besar[2].

Sejak kecil, SHG telah menunjukkan bakat sebagai anak yang cerdas, setia kawan dan memiliki sikap kritis. Hal ini sering menimbulkan situasi yang menyulitkan dirinya. Semasa menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, SHG tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan idealis.

Situasi politik saat itu membuat mahasiswa terbagi atas berbagai kelompok yang saling bentrok. Pada bulan September 1965, terjadi peristiwa G-30 S sebagai puncak pertentangan antara pihak militer dan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa ini diikuti demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa, jatuhnya Presiden Soekarno, dan pembubaran PKI yang diikuti pembantaian massal yang menimbulkan korban hingga lebih dari 1 juta orang.

SHG merasa sangat kecewa. Ia adalah mahasiswa yang turut berdemonstrasi menuntut pengunduran diri Soekarno, tetapi setelah Soekarno tidak lagi berkuasa, dan digantikan Soeharto, teman-temannya justru ikut bermain di panggung politik nasional. Ia kecewa karena ia merasa teman-temannya telah mengkhianati idealismenya. SHG tetap kritis dan menyampaikan kekritisannya baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisannya di media massa. Ia menjadi musuh bagi teman-temannya. SHG meninggal pada bulan Desember 1969 di puncak gunung Semeru dalam usia yang masih belia.[3]Soal SARAFilm ini menarik karena mengetengahkan bukan saja ikon anak muda, tapi juga sosok cukup kontroversial dalam gerakan pemuda di Indonesia. Selain karena sikapnya yang konsisten, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, ia dikenal sebagai pemuda keturunan Tionghoa yang terjun ke gerakan dan politik praktis.

FilmGiesendiri merupakan film pertama generasi pasca-1998 yang mengangkat sosok sejarah yang pernah benar-benar ada dalam sejarah Indonesia. Tetapi lebih dari itu, film ini penting dicatat karena menghadirkan satu persoalan penting yang melingkupi wacana film Indonesia, yakni persoalan representasi etnis, terutama etnis Tionghoa dalam film Indonesia. Dalam film Indonesia, terutama masa Orde Baru, masalah ras dan representasi identitas baik yang berdasarkan suku, agama, dan ras, apalagi kelas adalah masalah yang pelik dan sensitif. Bukan hanya dalam kehidupan nyata tapi juga di media. Ada larangan untuk membicarakan SARA karena membicarakan SARA, termasuk di dalamnya persoalan kelas sosial bisa jadi subversif. SARA dan kelas sosial dianggap ancaman terhadap kesatuan nasional.

Tionghoa adalah persoalan kedua. Menjadi Tionghoa di Indonesia bisa merupakan persoalan yang benar-benar rumit. Meski memiliki banyak peran dalam perkembangan sejarah Indonesia, etnis Tionghoa dianggap minoritas dan jahat secara ekonomi karena sejak masa kolonial mereka mendapatkan hak istimewa sebagai pedagang perantara antara kaum kolonial dan apa yang disebut bangsa pribumi.

Sebenarnya, setelah reformasi politik pada tahun 1998, Nia Dinata telah mulai menggarap dan menghadirkan sosok Tionghoa dalam filmnya,Cau Bau Kan(2001). Film yang juga menggunakan pendekatan sejarah ini, menceritakan tentang seorang perempuan Betawi yang menjadi istri seorang Tionghoa, Tan Peng Liang pada masa awal abad 20. Seluruh filmCau Bau Kanmenceritakan tentang kehidupan kelompok-kelompok Tionghoa dan hubungannya dengan penduduk non-Tionghoa (sering disebut pribumi, seperti Jawa, Betawi, Sunda, dan sebagainya). Tetapi posisi filmGiemenjadi pantas dibahas karena tidak seperti sosok Peng Liang yang pedagang / pebisnis tembakau, sebuah pekerjaan stereotip etnis Tionghoa, film Gie menghadirkan representasi yang sangat berbeda dari etnis Tionghoa kebanyakan. Di sinilah wacana representasi etnis dalam film Indonesia menjadi menarik.Giesebagai teks sejarah maupun teks film menghadirkan dilema dan kontradiksi dalam soal representasi etnis tertentu dalam film.

Riri sendiri tidak mengakui bahwa film ini memiliki sentimen ras tertentu. Ia menjelaskan, "FilmGieadalah sebuah film yang berfokus pada seorang karakter yang pernah hidup di sebuah masa yang bisa dibilang paling penting dalam sejarah modern Indonesia, dan ia mencatat pergolakan pikiran, perasaan, dan situasi-situasi yang terjadi di sekelilingnya melalui sebuah catatan harian. Namun, sama sekali tidak ada unsur subversif maupun SARA di dalamnya." Meski demikian, nanti kita akan melihat bahwa dalam hal representasi etnis, filmGieakan menduduki posisi yang sangat sentral.

Pembahasan representasi Tionghoa dalam sinema Indonesia mungkin bisa dibilang hal yang cukup baru. Meski dibangun dan dikembangkan oleh kaum Tionghoa, cerita atau tema (subject-matter) etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia relatif jarang diangkat. Soal representasi etnis pun dibahas terbatas, pada misalnya etnis Betawi yang merajai film-film dekade 1970-an (Si Doel anak Betawi, film-film yang dibintangi oleh Benyamin Suaeb, dan sebagainya). Namun sebelum bicara soal etnis ini, lebih dahulu bicara soal representasi.

RepresentasiStuart Hall, seorang pakar kajian budaya, mengajukan sebuah konsep untuk memahami tentang representasi. Secara singkat, representasi mengacu pada proses produksi makna melalui bahasa. Merepresentasikan berarti menggambarkan / mendeskripsikan sesuatu. Deskripsi ini hanya bisa terjadi di dalam bahasa, yakni melalui kata-kata yang digunakan. Kata-kata merepresentasikan konsep tentang sesuatu.[4]Dalam representasi ada 2 sistem yang bekerja. Pertama, sistem di mana semua obyek, manusia dan peristiwa saling berkorelasi membentuk satu konsep atau representasi mental. Tanpa konsep-konsep itu, kita tidak bisa menginterpretasi segala sesuatu di dunia. Jadi pemaknaan atas dunia sangat tergantung pada sistem konsep dan gambaran yang terbentuk/yang kita bawa.

Sistem ini juga mensyaratkan berbagai konsep mengorganisir, mengelompokkan, menyusun dan mengklasifikasi konsep-konsep yang telah kita miliki. Proses ini hanya bisa dilakukan apabila kita bisa saling mempertukarkan konsep dan pemaknaan. Dan kita hanya bisa melakukannya kalau kita memiliki akses pada bahasa yang sama. Di sinilah, bahasa merupakan sistem representasi kedua karena dengan bahasalah kita mengkonstruksi makna atas dunia.[5]Film sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna diproduksi. Singkatnya, citraan visual dalam film merupakan konsep-konsep yang akan dipertukarkan dalam proses representasi. Proses ini melibatkan pembuat film dan penontonnya.

Representasi selalu bekerja dalam dua operasi: inklusi dan eksklusi. Atribusi sifat-sifat negatif (stereotip) selalu dilakukan dalam operasi eksklusi, pemisahan. Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari mayoritas atau normal. Di sini, proses representasi membedakan kita dan mereka, dengan mereka adalah pihak-pihak yang kita eksklusi.[6]Gie

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa INCLUDEPICTURE "http://id.wikipedia.org/w/extensions/FlaggedRevs/client/img/1.png" \* MERGEFORMATINET

Gie

SutradaraRiri Riza

ProduserMira Lesmana

PenulisRiri Riza

PemeranNicholas SaputraWulan GuritnoIndra BirowoLukman SardiSita NursantiThomas NawilisJonathan MuliaChristian AudyDonny AlamsyahRobby TumewuTutie KiranaGino KorompisSurya SaputraHappy Salma

DistributorSinemart Pictures

Durasi147 menit

AnggaranRp7-10 milyar (perk.)

Gie(2005) adalah sebuahfilmgarapan sutradaraRiri Riza.Giemengisahkan seorang tokoh bernamaSoe Hok Gie, mahasiswaUniversitas Indonesiayang lebih dikenal sebagai demonstran dan pecinta alam.

Film ini diangkat dari bukuCatatan Seorang Demonstrankarya Gie sendiri, namun ditambahkan beberapa tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis. Menurut Riri Riza, hingga Desember 2005, 350.000 orang telah menonton film ini. PadaFestival Film Indonesia 2005,Giememenangkan tiga penghargaan, masing-masing dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Nicholas Saputra), dan Penata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau).

[sunting]SinopsisPerhatian:Bagian di bawah ini mungkin akanmembeberkanisi cerita yang penting atau akhir kisahnya.Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluargaketurunan Tionghoayang tidak begitu kaya dan berdomisili diJakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok Gie,Tan Tjin HandanHerman Lantangbertanya "Untuk apa semua perlawanan ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan IndonesiaBung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer denganPKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagaifounding fathernegara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Sukarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyakinterest groupberusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.

Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.

Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA)UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisafilm, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.

Film ini menggambarkan petualangan Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim Sukarno, dan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai.

[sunting]Tokoh tambahanTan Tjin Han, figur yang menjadi sahabat Gie semasa kecil, adalah seorang tokoh fiktif yang diilhami oleh dua orang sahabat Hok Gie,Djin HokdanEffendi. Dari buku harian Hok Gie memang terdapat referensi tentang Djin Hok yang menjadi korban kekerasan tantenya, tetapi di masa dewasa Hok Gie namanya tak pernah lagi disebut-sebut. Teman Hok Gie yang menjadi korban razia PKI adalah Effendi.

Ira dan Sinta adalah dua perempuan yang mewakili wanita-wanita dalam hidup Hok Gie. Meskipun Hok Gie memang pernah berpacaran dengan beberapa gadis UI, Ira dan Sinta dalam film ini adalah tokoh-tokoh fiktif.Riri Riza, pembuat film ini bahkan menyempatkan diri ke luar negeri untuk mewawancarai salah seorang wanita yang pernah dekat dengan Soe, tetapi beliau menolak untuk membiarkan identitasnya diketahui publik dan tidak mau membeberkan detail-detail hubungan mereka dengan Hok Gie. Buku harian Hok Gie memang menyebutkan keterlibatannya dengan tiga perempuan, tetapi tidak dengan jelas menyatakan apakah dia memang mencintai salah satu di antara mereka.

Ira adalah seorang wanita muda yang cerdas dan hidup dengan semangat pejuang untuk impian-impian idealistis yang juga dimiliki Hok Gie. Ira adalah sahabat dan pendukung Hok Gie yang paling setia dan selalu hadir, baik saat Gie sedang kerja maupun main. Sempat terlihat tanda-tanda asmara yang subtil antara Hok Gie dengan Ira, tetapi baru sekali kencan keduanya sudah tidak berani melanjutkannya menjadi sebuah kisah cinta.

Selang beberapa tahun, muncullah seorang gadis menawan bernama Sinta. Orang tua Sinta yang berada mengagumi karya-karya tulis Hok Gie. Jelas terlihat bahwa Hok Gie dan Sinta secara fisik memang tertarik satu sama lain, tetapi tidak berhasil menjalin hubungan hati-ke-hati yang mantap. Kelihatannya Sinta sekadar suka ditemani Hok Gie dan bangga menjadi pacar seorang tokoh yang dihormati, tetapi sebenarnya tidak betul-betul peduli dengan hal-hal yang menjadi obsesi hati Hok Gie. Sebaliknya, Hok Gie tidak tahu bagaimana mengambil hati Sinta dan merasa tidak puas dengan hubungan mereka. Kehadiran Sinta menimbulkan kerikuhan antara Gie dengan Ira.

Kisah cinta Hok Gie dan Sinta mungkin diilhami oleh pacar Hok Gie yang terdekat. Pacar Hok Gie adalah putri sebuah pasangan kaya yang mengagumi karya-karya Hok Gie. Namun, begitu hubungan Hok Gie dengan pacarnya semakin intim, orang tua si gadis mulai membuat-buat dalih untuk menghalang-halangi putrinya dan Hok Gie untuk saling bertemu. Menurut orang tuanya, adalah terlalu riskan bila sang putri menikahi seorang pria yang keuangannya sulit dan sering menjadi target intimidasi dan macam-macam ancaman.

Film ini menggambarkan Ira sebagai cewek yang selalu siap bergabung dengan para cowok untuk naik gunung. Saat Hok Gie cs. menaikiGunung Semeru, hadirlah seorang wanita bernamaWiwiek Wiyana--tokoh yang tidak pernah disebut-sebut dalam film. Akan tetapi, apakah pengilhaman karakter Ira ada hubungannya dengan Wiwiek Wiyana bisa diragukan, karena menurut film ini, sementara Hok Gie naik ke Semeru, Ira sedang bersantai di rumahnya ditemani alunan tembang romantis yang membangkitkan cerita lama.

Tokoh-tokoh tambahan lainnya antara lain Denny (salah seorang sahabat Hok Gie yang periang, lucu, dan ramai), Jaka (tokoh PMKRI yang kemungkinan besar adalah Cosmas Batubara) dan Santi (seorang pelacur yang diperkenalkan kepada Soe oleh para cowok yang berusaha mendorong Soe untuk memburu potensi berkembangnya persahabatannya dengan Ira menjadi kisah cinta).

[sunting]Pranala luarSinopsis:Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua perlawanan ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai founding father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Sukarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.

Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.

Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri pesta-pesta.

Film ini menggambarkan petualangan Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim Sukarno, dan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan dan politik adalah dua elemen yang sangat penting dalam sistem

sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang.

Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah dan tidak memiliki hubungan

apa-apa, tetapi keduanya saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga

dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik

masyarakat di Negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga - lembaga dan proses

politik di suatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan

disuatu Negara tersebut.

Pendapat Herman yang dikutip oleh Sirozi (2005:19) menyatakan bahwa jika

politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat

dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang lokasi sumber daya dan nilainilai

sosial, maka pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga

pendidikan baik pemerintah maupun non pemerintah dalam batas-batas tertentu tidak

terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang

dapat diberlakukan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam praktik

kekuatan, kekuasaan, dan otoritas. Dengan kata lain, politik adalah bagian dari paket

kehidupan lembaga - lembaga pendidikan.

2

Pendapat Baldridge yang dikutip oleh Sirozi (2005:20) menyatakan bahwa

lembaga- lembaga pendidikan dapat dipandang sebagai sistem-sistem politik-mikro,

yang melaksanakan semua fungsi utama dari sistem-sistem politik. Dengan demikan

politik dan pendidikan adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling

mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan mengandung unsur-unsur politik.

Sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek kependidikan.

Pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan

menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada indvidu. Ia meliputi keyakinan

konsep yang meiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik

serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki

kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Di samping itu, ia

bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif

di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktivitas yang terus berlanjut

sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuk kecuali

dalam sebuah masyarakat yang bebas. (http://cuap-cuap-ah.bogjurnalistik -

onlain.com/wordpress/?p=15)

Wacana pendidikan politik dapat dilihat melalui kampanye partai politik di

kampus atau di Universitas yang telah mengisi opini publik, namun pihak-pihak yang

terkait dengan wacana ini tidak merespon secara lebih serius. Dengan adanya politik

masuk kampus atau universitas diharapkan agar mendapatkan perhatian yang lebih

dan penerapannya bagi demokratisasi Indonesia jangka panjang.

Secara potensial, selalu ada ancaman pergolakan mahasiswa dari kampus

perguruan tinggi yang menginginkan adanya transparansi. Hal ini disebabkan oleh

adanya kesenjangan pada penerapan kekuasaan antara kaum tua dan kaum muda.

Kesenjangan itu menunjukkan adanya komunikasi yang terputus, sedangkan pihak

3

penguasa yang menjadi penghubung seringkali merupakan faktor hambatan dan

selalu didahului oleh anak-anak muda.

Dewasa ini, perkembangan film di Indonesia semakin diterima oleh masyarakat,

baik melalui pandangan yang positif ma upun pandangan yang negatif. Banyaknya

film yang dibuat untuk menghibur masyarakat, terdapat beberapa film yang

memberikan pesan-pesan di dalamnya. Dalam banyak penelitian tentang dampak film

terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami. Artinya,

film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan di

dalamnya. Kritik yang muncul didasarkan bahwa film adalah potret dari masyarakat,

dimana film itu dibuat. Film- film yang sering muncul baik didalam televisi, VCD

maupun di bioskop, biasanya film yang mempunyai pesan-pesan moral bahkan ada

cerita yang diangkat dari suatu pandangan masyarakat mengenai hal-hal yang

bernuansa mistik.

Film adalah gambar- hidup, juga sering disebut movie (semula pelesetan untuk

berpindah gambar). Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Gambarhidup

adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis. Film

dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur

palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. (http://muhamadikhsan.multiply.

com/journal/item/46).

Film yang sering ditayangkan tersebut hanya menarik perhatian masyarakat

sesaat saja. Selain film-film remaja dan film- film mistik, masih ada sebuah film yang

mempunyai makna tersendiri untuk masyarakat khususnya mahasiswa, dimana film

ini menceritakan tentang seseorang yang mempunyai peranan sangat luar biasa. Gie

adalah seorang yang mempunyai watak khas, dia begitu teguh, mempertahankan

4

idealismenya. Gie adalah sosok pemuda yang mencerminkan kegigihan, kesederhanaan,

dan keberanian. Soe Hok Gie adalah seorang pemuda Indonesia

keturunan cina yang tumbuh dan berkembang dalam pergolakan ini dan merekamnya

dalam catatan harian. Gie lahir pada tanggal 17 desember 1942. Gie bersekolah di

SMP Strada kemudian SMA Kanisius. Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan ke

Universitas indonesia pada tahun 1961. Dimasa kuliah inilah Gie menjadi aktivis

kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap

tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengkritik tajam Orde

Baru.

Pada dasarnya Gie adalah manusia biasa seperti masyarakat Indonesia lainnya,

namun latar belakang keluarga dan lingkungannya secara tidak sengaja membentuk

kepribadiannya yang unik dan khas. Ketika Gie bersekolah di kanisius dan

Universitas Indonesia, pada masa itu tidak lazim dibaca oleh anak muda seumurannya

dan sangat cepat diresapi dan dipahami. Gie sering sekali membaca buku idealis dan

filsafat, ternyata dapat merubah pemikiran, karakter, watak seseorang, sehingga

menghasilkan pemikiran baru dalam konteks tersendiri.

Gie begitu teguh untuk mempertahankan idealismenya, bahkan cenderung

terbuka. Gie selalu berupaya untuk mempertahankan kemurnian perjuangan

khususnya pada gerakan Mahasiswa. Pada waktu Gie duduk di bangku kuliah, Gie

dan teman-temannya mendirikan Mapala, salah satu kegiatan pentingnya adalah naik

gunung. Di puncak semeru, pada tanggal 16 desember 1949, sehari sebelum ulang

5

tahunnya yang ke 27, Gie meninggal akibat menghirup gas beracun. Gie menghembuskan

nafas terakhirya dipangkuan sahabat karibnya Herman Lantang.

B. Identifikasi masalah

Wacana pendidikan politik akan terwujud apabila mahasiswa bisa menempatkan

diri pada setiap situasi yang ditentukan bukan hanya dirinya sendiri, melainkan juga

oleh orang-orang lain serta lingkungan disekitarnya. Pembentukan wacana

pendidikan politik bagi mahasiswa dapat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling

terkait, baik yang berasal dari dalam diri mahasiswa (internal) maupun dari luar

mahasiswa (eksternal), yang keduanya itu secara otomatis dapat mewujudkan

wacana pendidikan politik bagi mahasiswa. Dalam konteks memahami politik perlu

dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik,

komunikasi politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik dan juga tidak

kalah pentingnya untuk mengetahui tentang seluk beluk tentang partai politik.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Wacana Pendidikan Politik dalam

Film Gie (Analisis Semiotik Konstruktivisme).

C. Pembatasan Masalah

Permasalahan yang dikaitkan dengan judul di atas sangat luas, sehingga tidak

mungkin dari banyak permasalahan yang ada dapat dijangkau dan terselesaikan

6

semua. Oleh karena itu guna menghindari kemungkinan adanya kesalahpahaman dan

penafsiran yang berbeda-beda yang akan mengakibatkan penyimpangan terhadap

judul di atas, maka perlu adanya pembatasan dan perumusan masalah, sehingga

persoalan yang akan diteliti menjadi jelas dan kesalahpahaman dapat dihindari.

Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah sebagai berikut:

1. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah aspek-aspek dari subjek penelitian yang menjadi

sasaran penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah wacana

pendidikan politik dalam film Gie.

D. Perumusan Masalah

Perumusan masalah atau sering diistilahkan problematika merupakan kegiatan

penting yang harus ada dalam penulisan suatu karya ilmiah. Oleh karena itu seorang

peneliti sebelum melakukan penelitian harus mengetahui terlebih dahulu permasalahan

yang ada. Dengan adanya permasalahan yang lebih jelas maka proses

pemecahannya akan terarah dan terfokus pada permasalahan tersebut. Berkaitan

dengan perumusan masalah, Hamidi (2004:43) berpendapat bahwa:

Permasalahan penelitian pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari

pernyataan permasalahan seperti yang terdapat dalam latar belakang

permasalahan. Dalam permasalahan penelitian, pernyataan permasalahan

penelitian dinyatakan dalam kalimat pertanyaan, bukan lagi dalam kalimat

pernyataan. Istilah permasalahan disini bukan berarti sesuatu yang mengganggu

atau menyulitkan tetapi sesuatu yang masih gelap, sesuatu yang belum

diketahui, sesuatu yang ingin diketahui.

7

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan yaitu, bagaimana konstruksi wacana pendidikan politik pada

mahasiswa dalam film Gie?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan titik pangkal untuk kegiatan yang akan dilakukan,

sehingga perlu dirumuskan dengan jelas. Dalam penelitian ini perlu adanya tujuan

yang berfungsi sebagai acuan pokok terhadap masalah yang diteliti agar dapat bekerja

secara terpusat dalam mencari data sampai pada langkah pemecahan masalah.

Berkaitan dengan tujuan penelitian, Hamidi (2004:48) berpendapat bahwa:

Menulis tujuan penelitian sebenarnya ingin memperjelas apa sebenarnya yang

hendak diteliti. Esensinya adalah sama dengan kalimat judul, pernyataan

permasalahan dan permasalahan penelitian. Tujuan penelitian ini bisa

diungkapkan dengan kata-kata, ingin mengetahui atau secara lengkapnya:

tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui.

Adapun tujuan dari penelitian in i adalah untuk mengetahui konstruksi wacana

pendidikan politik pada mahasiswa dalam film Gie.

F. Manfaat atau Kegunaan Praktis

1. Manfaat atau kegunaan teoritis

a. Sebagai karya lmiah maka hasil penelitian diharapkan memberi konstribusi bagi

perkembangan ilmu pada umumnya, mengenai wacana pendidikan politik pada

mahasiswa dalam film Gie.

8

b. Menambah cakrawala pengetahuan khususnya mengenai wacana pendidikan

politik pada mahasiswa dalam film Gie.

2. Manfaaat atau kegunaan praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan yang

berguna bagi mahasiswa terhadap nilai- nilai politik yang terrdapat di dalam film

Gie.

b. Memberi sumbangan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa Universitas

maupun masyarakat mengenai pentingnya pendidikan politik bagi mahasiswa.

G. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah memahami skripsi ini, maka sangat perlu dikemukakan

sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut ini.

Bagian awal meliputi: Halaman Judul, Halaman Persetujuan, Halaman

Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Persembahan, Kata Pengantar, Daftar Isi,

Daftar Tabel, Daftar Lampiran, dan Abstrak.

Bagian pokok skripsi ini dibagi dalam lima bab. Bab I Pendahuluan yang

meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah,

9

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat atau Kegunaan Penelitian, serta

Sistematika Penulisan.

Bab II Landasan Teori dimulai dengan Tinjauan Pustaka yang mengemukakan

hasil- hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya,

Kerangka Teoritik yang dimulai dengan Tinjauan Teoritis mengenai Wacana

Pendidikan Politik pada Mahasiswa yang menguraikan tentang: Pengertian Wacana,

Pengertian Pendidikan, Pengertian Politik, Pengertian Sistem Politik, Pengertian

Mahasiswa, Hak dan Kewajiban Mahasiswa, serta Wacana Pendidikan Politik pada

Mahasiswa. Kerangka teoritik terakhir adalah Analisis Semiotik Konstruktivisme

yang meliputi: Pengertian Analisis, Level Analisis, Pengertian Semiotik, Prinsip -

prinsip Teori Semiotika, Macam- macam Semotik, Pengertian Konstruktivisme,

Asumsi Dasar Pemikiran Konstruktivisme, Macam- macam Konstruktivisme, Doktrin

Konstruktivisme. serta Analisis Semiotik yang dilanjutkan dengan penyusunan

Kerangka Pemikiran.

Bab III Metode Pene litian berisi uraian, Bentuk dan Strategi Penelitian, Sumber

Data, Teknik Pengumpulan Data, Validitas Data, Analisis Data, serta Prosedur

Penelitian.

Bab IV Hasil Penelitian yang berisi uraian meliputi Deskripsi Lokasi

Penelitian, Deskripsi Permasalahan Penelitian serta Tinjauan Studi yang dihubungkan

dengan Kajian Teori.

Kritis, berani dan jujur. Begitulah sosok seorang pemuda di awal tahun 1960-an, Soe Hok Gie. Dalam pandangannya, Presiden Soekarno adalah lanjutan dari pada raja-raja Jawa. Beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton dan lain-lain. Tajam!

Diangkat dari buku 'Soe Hok Gie: catatan seorang demonstran', Mira Lesmana dan Riri Riza menuangkan dalam versi layar lebar dengan interpretasi sendiri. Tak menyeluruh mengikuti naskah bukunya, mereka mengambil garis besar buah pikir dan kehidupan Gie yang cukup kompleks dan diproses untuk sebuah tontonan komersil.

Dan itu tak mudah. Setting cerita di tahun 1960-an cukup sulit dicari. Akhirnya, Semarang menjadi lokasi syuting utama yang dianggap sangat dekat dengan penggambaran Jakarta kala itu. Mobil-mobil yang berseliweran di dalam film tersebut, juga dengan penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Selain pinjam, ada juga yang direnovasi kanan-kiri agar mendekati mobil a la tahun 1960-an.

Hasilnya, cukup memuaskan. Layak menjadi tontonan bagi siapa pun yang berkesan dengan pemikiran orisinil seorang Gie dan mencari tontonan alternatif di tengah maraknya film bergenre remaja dan horor.

Mengintip Sosok Gie Dalam FilmSejak usia 15 tahun, Gie yang duduk di bangku SMP sudah mulai menggoreskan kesehariannya dalam sebuah buku. Inilah awal pembuka film yang harus menjalani proses produksi selama tiga tahun. Suara Nicholas Saputra yang memerankan tokoh Gie, memperkenalkan dirinya.

Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Kira-kira pada umur lima tahun saya masuk sekolah Sin Hwadan seterusnya.

Gambar dimulai dengan keresahan masyarakat akan revolusi di tahun 1957. Tembok-tembok menjadi sasaran inspirasi mereka atas keinginan akan perubahan yang cepat menuju perbaikan hidup yang layak. Sosok Gie, yanga bercelana pendek dan berkaos oblong, menjadi saksi mata akan ketidakpuasan sebagian bangsa Indonesia kala itu.

Walau terbilang masih cukup muda, Gie sudah memiliki pemikiran-pemikiran yang tak terbendung. Jika ada yang tak berkenan dan salah menurut pandangannya, ia tak segan-segan membantah. Ia berani mengoreksi gurunya yang mengatakan Chairil Anwar adalah pengarang prosaPulanglah dia si anak hilang. Gie yakin pengarangnya adalah Andre Gide, seorang sastrawan yang bukunya sudah dilahapnya dan Chairil hanyalah penerjemah. Sang guru tadi tetap ngotot akan pendapatnya. Tak ada yang mengalah, Gie dipaksa mengulang kelas. Dan itu kembali diprotesnya.

Sejak SMP, Gie memang sudah haus dengan dunia sastra. Buku karya Spengles, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Shakepeare sudah dicernanya dalam otak. Namun itu juga dikritisinya habis-habisan. Misalnya saja kisah legendaris 'Romeo and Juliet'. Romantisme yang tertuang di dalamnya dianggap tak masuk akal dan menjemukan.

Dengan alur cerita maju, Riri Riza berhasil menuangkan dengan baik peralihan Gie dari ia masih bercelana pendek hingga bercelana panjang. Keterangan waktu yang penting di film ini menjadi pembuka babak penting kehidupan Gie. Dari SMP menginjak SMA, Gie diperankan oleh Jonathan Mulia. Saat ia menginjak bangku kuliah di Universitas Indonesia pada tahun 1962, sosok Gie dewasa beralih ke Nicholas Saputra. Tampak 'rapi', wajah Gie kecil dan Gie dewasa cukup memiliki kemiripan.

Tak semua tokoh yang ada dalam film Gie ini pernah ada. Misalnya Shinta dan Ira. Dua wanita yang digambarkan dekat dengan Gie itu hanyalah nama yang diciptakan. Pujaan hati Gie sesungguhnya bernama Maria. Dalam kenyataannya, Gie tak bisa memiliki Maria karena keluarganya tidak setuju.

Diam menjadi kekuatan karakter sosok Gie. Pada nyatanya, menurut Riri, Gie memang sangat pendiam. Menurut pengakuan Riri yang sempat mewawancara Arif Budiman, kakak beradik itu pernah tak bicara selama 10 tahun hanya karena mempertahankan pandangan masing-masing. Dan syukurnya, Nicholas akhirnya berhasil melepas karakter 'jaim' Rangga diAda Apa dengan Cintadan bermain baik mulai di pertengahan film. Sosok Gie yang diam, dewasa, memiliki idealisme tinggi, tampak dikuasai olehnya. Bahkan dari cara menirukan jalan Gie yang sedikit 'kemayu'.

Menjadi bumbu penyegar, tak lupa film ini diselipkan kisah romansa sang demonstran di tengah-tengah kesibukannya membagi pemikiran-pemikiran di kampusnya. Gie yang kaku, harus menahan rasa sukanya pada Ira, teman seperjuangannya di kampus. Kendati begitu, ciuman pertamanya bersarang di bibir Sinta, seorang wanita yang pada akhirnya digambarkan menyerah pada kekayaan material. Dan itu tak dimiliki Gie.

Namun hidup terus berjalan untuknya. Ia makin kritis kepada pemerintah yang mulai bertindak sewenang-wenang menaikkan harga. Hatinya miris melihat rakyat yang mengantri demi mendapatkan kebutuhan pokok. Dan buah pikirnya menjadi sajian koran-koran terkemuka sekaligus menampar pemerintah. Akibat perbuatannya itu, ia mulai dicari-cari 'seseorang' untuk 'diamankan'.

Hati Gie semakin terpaku melihat teman seperjuangannya mulai melupakan keidealisannya. Mereka menduduki bangku parlemen dan mulai mengecap enaknya berbahagia di atas penderitaan rakyat kecil. Gie pun mulai menarik diri dari keterasingannya. Di puncak Semeru, 16 Desember 1969, sang demonstran merasakan sesaknya menghirup gas beracun. Sehari menjelang usianya ke 27 tahun, Soe Hok Gie yang enggan berganti nama menghembuskan nafas terakhir disaksikan sahabat karibnya, Herman Lantang.

Catatan Harian Soe Hok Gie: Senin, 22 Januari 1962'Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda.'

Saksikan Gie mulai 14 Juli 2005.NASIONALISME DAN ETNIS CINA DALAM FILM GIE

Pengarang:Akhmad ZakkyIndonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Dalam sejarah Indonesia, etnis China adalah kelompok masyarakat yang selalu terpinggirkan; sejak zaman penjajahan sampai dengan era reformasi mereka selalu dijadikan tumbal kekuasaan. Namun, tidak berarti mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme. Salah satunya tergambar dalam film Gie yang diangkat dari catatan harian seorang mahasiswa beretnis China bernama Soe Hok Gie. Melalui film ini kita bisa melihat nasionalisme seorang etnis China lewat tokoh utamanya, yaitu Gie. Tokoh Gie digambarkan sebagai mahasiswa yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, dengan setting waktu pada tahun 1960-an. Film Gie berhasil memberikan perspektif baru dalam melihat nasionalisme etnis China di Indonesia, memberikan bukti bahwa etnis China sebagai bagian dari masyarakat Indonesia mempunyai rasa nasionalisme yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjawab pertanyaan: bagaimana nasionalisme etnis China tergambar dalam film Gie? Filmyang merupakan bagian dari sastramempunyai peluang besar untuk menyampaikan pesan mengenai nasionalisme kepada penikmatnya, karena film mempunyai penikmat yang tak mengenal usia.

Kata kunci: Etnis china, Nasionalisme, Soe Hok Gie.

Pendahuluan

Etnis Cina yang kedatangannya diperkirakan telah datang ke Indonesia berabad-abad yang lalu datang ke bumi Nusantara sebagai seorang pedagang; hal yang sangat lumrah, mengingat pada masa lalu berdagang adalah hal yang bisa membuat manusia dari berbagai penjuru dunia saling berhubungan. Setelah kolonialisasi Belanda atas Indonesiaatau juga disebut Hindia Belandadimulai, Belanda berusaha untuk membuat pemisahan dalam strata sosial masyarakat pada masa itu. Menurut Onghokham, Masyarakat Hindia belanda dibagi kedalam tiga golongan: pertama golongan Eropa atau Belanda, kedua golongan golongan Timur Asing: termasuk Cina, Arab, India dan seterusnya, ketiga golongan pribumi (Onghokham 2008: 3). Politik segregasi seperti ini mulai diterapkan mulai tahun 1854, dengan tujuan awal untuk membedakan kedudukan hukum masing-masing golongan. Ini mengingatkan kita pada politik apartheid di Afrika, yang juga sama-sama pernah menjadi koloni Belanda di masa lalu.Pemisahan-pemisahan seperti ini juga sangat merugikan kalangan etnis Cina, karena Belanda sering menjadikan mereka sebagai tameng. Orang-orang Cina dimasa lalu sering dijadikan tuan-tuan tanah pemungut pajak oleh Belanda, sehingga apabila ada gejolak dalam masyarakat merekalah yang akhirnya dijadikan tumbal. Hal seperti inilah yang membuat hubungan etnis Cina dan pribumi selalu tidak harmonis. Sejarah juga mencatat benturan-benturan antara pribumi dengan etnis Cina di beberapa kota, diantaranya kerusuhan pernah terjadi di Kudus dan Tangerang. Ini semakin memperkuat stigma negatif terhadap etnis Cina di Indonesia. Dalam konteks kekinian, ada semacam redefinisi kelas di Indonesia; etnis Cina sekarang seolah-olah adalah warga kelas dua, dan sering dianggap tidak Indonesia seratus persen. Sehingga pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah mereka masih memiliki rasa nasionalisme terhadap Indonesia? Dalam bentuk apakah rasa nasionalisme itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam makalah ini melalui analisa film Gie.Film Gie adalah alih wahana dari sebuah catatan harian seorang mahasiswa bernama Soe Hok Gie yang berasal dari kalangan etnis Cina. Film yang dibuat pada tahun 2005 ini disutradarai oleh sutradara muda, yaitu Riri Reza, dan diproduseri oleh Mira Lesmana. Dalam rangka pembuatan film ini, tim produksi juga melakukan riset sejarah mengenai tokoh Gie ini, bahkan John Maxwell yang pernah menulis khusus tentang Soe Hok Gie dijadikan konsultan sejarahnya. Ada semacam upaya serius untuk menghadirkan sosok Gie yang sesungguhnya dalam film ini. Konflik-konflik antar faksi yang ada pada saat itu ikut tergambar dalam film ini, dan kita bisa melihat respon Gie atas hal ini.Kajian yang dilakukan seputar film ini telah cukup banyak dilakukan, beberapa hal yang dianalisa antara lain mengenai partsipasi politik Tionghoa dalam film Gie, identitas ke-Cina-an, dan analisa lirk-lirik dari lagu latar dalam fim ini. Dalam tulisannya, Ariel Heryanto menganggap tokoh Soe Hok Gie sebagai contoh dari orang Indonesia berperanakan Cina yang bisa dikatakan sebagai pahlawan aktivis 1960an. Selain itu, pembuat film ini mencoba untuk membangkitkan kembali optimisme masyarakat Indonesia setelah reformasi lewat bernostalgia dengan aktivisme pada tahun 1960an (Heryanto 2008, 84). Film ini banyak disorot sebagai karya yang lahir setelah reformasi, yang membicarakan sebuah gerakan politik anti golongan, dan cukup merepresentaikan perjuangan seorang muda yang berasal dari etnis Cina.Giebegitu ia biasa dipanggilsendiri adalah mahasiswa jurusan sejarah di Universitas Indonesia yang termasuk aktivis mahasiswa angkatan 66, jadi ia termasuk orang yang ikut menggulingkan kekuasaan Soekarno pada saat itu. Bahkan John Maxwell yang berasal dari Australia khusus menulis buku tentang Gie dengan judul Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Ini menunjukkan ada daya tarik khusus dalam diri Soe Hok Gie. Melalui tokoh Gie yang ada dalam film ini juga kita bisa melihat bentuk nasionalisme yang hadir dalam diri tokoh Giebaik Gie sebagai bangsa Indonesia maupun sebagai orang yang berasal dari etnis Cina. Jadi penulis menganggap film ini sangat menarik untuk dikaji, sehingga kita dapat menangkap pesan berharga yang ada di dalamnya.

Nasionalisme dan Etnis CinaNasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya, dan berupaya mempertinggi keberadaannya (Smith 2003: 10). Dari pemahaman tersebut kita bisa melihat nasionalisme sebagai ideologi yang bertujuan untuk menjadikan sebuah bangsa bisa eksis dan meletakkan permasalahan bangsa di atas kelompok atau golongan. Tentu saja nasionalisme akan hadir pada diri seseorang yang mempunyai keterkaitan dengan bangsa tersebut, tanpa harus melihat asal-usul orang tersebut. Rasa cinta dan peka terhadap keadaan bangsa adalah kunci penting dalam nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa, nasionalisme bisa hadir dan tumbuh pada setiap orang, tidak terkecuali bagi orang yang berasal dari kalangan etnis Cina. Semua orang mempunyai potensi yang sama dalam menghayati nasionalisme.Nasionalisme mempunyai banyak bentuk dalam perwujudannya. Setiap zaman dan setiap keadaan bisa memunculkan bentuk nasionalisme yang berbeda. Pada zaman perang kemerdekaan, dengan ikut berperang bisa dikatakan sebagai perwujudan dari rasa nasionalisme. Tetapi setelah zaman kemerdekaan, dengan menjadi wakil Indonesia di ajang olah raga internasional atau wakil Indonesia untuk olimpiade matematika bisa juga dikatakan sebagai perwujudan rasa nasionalisme. Jadi, perwujudan rasa nasionalisme tidak hanya berbentuk perjuangan politik semata. Ini semua juga berlaku pada kalangan etnis Cina. Sejarah juga mencatat keterlibatan mereka dalam proses kemerdekaan, walaupun tidak banyak orang yang berusaha mengingatnya.Kesadaran politik etnis Cina sebenarnya telah lama tumbuh, setidaknya politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda disinyalir sebagai salah satu faktor yang membangkitkan perlawanan secara politis. Walaupun mereka ditempatkan pada kelas kedua dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda pada saat itu, ternyata secara hukum mereka dirugikan (Benny G. Setiono 2004: 460-461). Ketidakadilan yang dialami oleh etnis Cina pada saat itu telah membangkitkan perlawanan yang bersifat politis, dengan tidak mengatasnamakan sebagai orang yang berasal dari rasa tau etnis tertentu, namun atas nama kelompok yang menjadi bagian dari penduduk Hindia Belanda. Nasionalisme yang mensyaratkan adanya rasa cinta terhadap negara mulai tumbuh dalam diri mereka. Dalam perkembangannya, orang-orang yang berasal dari etnis Cina ikut terlibat dalam proses awal kemerdekaan Indonesia, sehingga kita bisa menemukan beberapa nama dari kalangan etnis Cina yang menjadi mentri dimasa kepemimpinan Soekarno.Dalam bidang politik, posisi etnis Cina sangat tidak diuntungkan. Seperti yang dikatakan oleh Charles. A Coppel, bahwa etnis Cina diibaratkan memakan buah simalakama. Jika mereka terlibat dalam politik kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dianggap oportunis. Bila mereka menjauh dari politik, mereka juga dianggap oportunis, sebab mereka akan dikatakan hanya mencari keuntungan belaka (Coppel 1994: 53). Disini etnis Cina benar-benar terlihat sangat tidak bebas menentukan pilihan secara politis. Imbas dari politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda di masa lalu masih terinternalisasi dalam masyarakat Indonesiaada kesan etnis Cina selalu dicurigai segala gerak-geriknya. Kebijakan-kebijakan penguasa turut membuat mereka hanya terpojok dalam satu dunia saja, yaitu dunia bisnis. Mereka tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti etnis-etnis lain yang ada di Indonesia untuk ikut merasakan dunia lain selain bisnismisalnya kita hampir tidak menemukan mereka dalam dunia militer. Sehingga ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 mereka menjadi tumbal, karena dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.Setelah reformasi bergulir, mereka mencoba untuk masuk kembali ke dalam dunia politik dengan ide mendirikan sebuah partai yang mengatas namakan etnis Cina atau Tionghoa. Ini adalah salah satu usaha untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Walaupun beberapa kalangan yang berasal dari etnis Cina sendiri menolak gagasan ini, namun ini bisa dianggap sebagai usaha mereka untuk ikut andil dalam membangun bangsa lewat jalur politis. Hal ini bisa juga dilihat sebagai usaha untuk merebut kembali hak politik mereka setelah sekian lama terabaikan.Apabila kita cermati lebih dalam, sebenarnya etnis Cina telah banyak memberikan sumbangsih kepada Indonesia lewat jalur olah raga, khususnya pada cabang bulu tangkis. Nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swi King, Alan Budi Kusuma, dan Susi Susanti yang telah mengahrumkan nama Indonesia di pentas dunia, sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai bukti dari rasa nasionalisme dalam bentuk yang lainkarena sebagai atlit yang mempunyai prestasi dnuia, bisa saja mereka membela negara lain dengan cara berganti status warga negara. Ini adalah bentuk lain dari perwujudan rasa nasionalisme kepada sebuah bangsa. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus bisa mengakui dan mencatat ini sebagai bagian dari perwujudan rasa nasionalisme rakyat Indonesia.

Nasionalisme dalam Film GieNasionalisme mengharuskan rasa cinta yang mendalam kepada negara yang dicintainya, dan rasa cinta ini tentu saja memiliki banyak bentuk. Dengan kritik-kritik yang tajam terhadap pemerintah pada saat itu, sebenarnya tokoh Gie telah menunjukkan rasa nasionalismenya terhadap Indonesia. Tokoh Gie digambarkan sebagai orang yang idealis dan tidak bisa berkompromi dengan hal yang menurutnya salah. Ia tidak menyukai perjuangan-perjuangan yang didasari atas semangat kelompok dan golongan. Menurutnya, perjuangan harus didasari oleh kebenaran dan keadilan.Simbol-simbol perjuangan, kekuasaan, kemegahan direpresentasikan lewat adegan-adegan, simbol-simbol, dan setting yang terdapat dalam film ini. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat menuntut turunnya Soekarno digambarkan dengan penuh semangat perjuangan: bendera merah putih yang dibawa oleh demonstran, spanduk-spanduk yang berisi berbagi tuntutan kepada pemerintah, long march yang dilakukan saat demonstrasi, dan ditambah dengan latar musik tentang revolusi. Kekuasaan digambarkan dengan kemewahan dan kemegahan istana presiden Soekarno, dengan pakaian yang gagah, Soekarno digambarkan sebagai seorang presiden yang sangat berkuasa saat itu.Sebaliknya, film ini juga menggambarkan masyarakat yang semakin miskin karena keadaan yang kacauseperti dalam adegan seorang laki-laki yang sedang memakan buah dari sebuah tempat sampah. Ini jelas sebuah ironi yang coba ditampilkan dalam film ini; sebuah kemewahan dan kemegahan istana dengan kondisi rakyat yang miskin. Dengan latar sosial seperti inilah Gie hidup dan bergulat dengan pemikiran-pemikirannya. Kondisi sosial di sekitarnya membuat ia semakin berfikir dan bertindak kritis kepada pemerintah pada saai itu.Tokoh Gie dikenal sebagai orang yang tidak bisa berkompromi dengan hal yang ia anggap salah, bahkan ketika masih di sekolah ia berani untuk mendebat guru sastranya karena ia menganggap pendapatnya itu salah. Karena tindakannya itu ia tidak bisa naik kelas. Walaupun ibunya menyarankan untuk mengulangnya, ia tetap saja tidak bisa menerima dan meminta untuk pindah ke sekolah yang lain. Ia menolak untuk tinggal kelas, karena ia menganggap kritik yang ia sampaikan bukan merupakan sebuah kesalahan. Gie berkata pada ibunya:

Ga bisa ma, saya yakin nilai-niai saya baik, saya jauh lebih pintar dari anak-anak yang lain. Ini pasti karena guru dendam pada saya.

Lalu ibunya berkata:Sudah lah Gie, kamu mengulang saja, pa Can bilang masih bisa mengulang, belum rugi umur.

Tapi langsung dipotong oleh Gie:Ga bisa ma. Sekarang begini, mama percaya sama saya ga? Saya bisa, saya pintar, saya banyak membaca, mama percaya ga?Pokoknya saya ga mau mengulang! Carikan saya sekolah yang lain, saya buktikan nanti.

Dalam hatinya Gie berkata:Kalau angkaku ditahan oleh model guru yang tak tahan kritik, aku akan mengadakan koreksi habis-habisan, aku tidak mau minta maaf!

Pada sekuen yang lain terlihat juga pandangan Gie yang melihat demokrasi terpimpin sebagai hal yang otoriter, ini terlihat dalam adegan saat diskusi kelas:Jadi menurutmu demokrasi terpimpin sama sekali bukan demokrasi?

Tanya sang guru. Lalu Gie menjawab:Jelas pak! Lihat apa yang terjadi dengan pers akhir-akhir ini, seperti Indonesia Raya atau Harian Rakyat. Saya bukan simpatisan komunis, tetapi apa yang terjadi terhadap Harian Rakyat adalah contoh pelanggaran terhadap demokrasi. Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat, yang merugikan pemerintah. Mereka yang berani menyerang koruptor-koruptor, mereka semua ditahan. Lihat apa yang terjadi dengan Mochtar Lubis, menurut saya itu adalah tanda-tanda kediktatoran.

Dalam dialog-dialog diatas jelas terlihat karakter Gie yang tidak bisa berkompromi dengan sesuatu yang ia anggap salah. Ada keyakinan dalam diri Gie, bahwa semua orang, tanpa melihat status, harus bisa menerima kritik dari orang lain. Karakter seperti ini yang dikemudian hari membuat ia terus bersifat kritis terhadap pemerintah. Dengan bersifat kritis terhadap segala kebijakan pemerintah, bukan berarti ia tidak cinta kepada negaranya, namun sebaliknya, ini malah menunjukkan rasa cintanya kepada negara. Karena cinta kepada negara berarti mengaharapkan yang terbaik untuk negara, inilah perwujudan dari rasa nasionalisme.Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang kacau di awal 1960an dengan ditandai kekacauan politik dan kenaikan harga cukup meresahkan jiwa Gie. Ia menganggap seorang intelektual harus bisa berbuat sesuatu bagi negaranya. Ini terekam dalam dialog ketiaka ia sedang berdiskusi dengan teman-temannya:

Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau. Tetapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi sosialnya, yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak. Kaum intelegensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan sebuah kemanusiaan.

Dialog ini juga menekankan sisi praxis dari kaum intelektual. Fungsi-fungsi sosial harus bisa dilaksanakan oleh mereka: masyarakat akan sangat membutuhkan bantuan seorang intelektual agar bisa keluar dari keterpurukan. Oleh karena itu, Gie sendiri akhirnya turun ke jalan untuk berdemonstrasi, sebagai bentuk dari fungsi sosial seorang intelektual.Bagi Gie berjuang harus atas nama keadilan dan kemanusiaan, tidak atas dasar segelintir kelompok atau golongan. Ia pernah menolak ajakan kawannya, yaitu Jaka, yang mengajaknya bergabung ke dalam organisasi PMKRI (Persatauan Mahasiswa Katolik Republik Inonesia), karena Jaka tahu Gie adalah seorang Katolik. Penolakan ini tentu saja didasari oleh keyakinannya untuk berjuang atas nama kemanusiaan dan di atas semua golongan. Kelompok-kelompok seperti inilah yang dikemudian hari mendapat jatah di parlemen. Pada salah atau adegan setelah pemutaran film Jaka menghampiri Gie dan bertanya lu tuh kiri apa kanan sih Gie? Sontak saja Gie terkaget-kaget, seolah-olah perjuangan itu harus berpihak pada salah satu kelompok kiri atau kanan.Jaka pada awalnya adalah salah satu teman dekat Gie, tetapi setelah peristiwa penolakan Gie untuk bergabung dengan PMKRI mereka menjadi jauh. Dalam film ini juga digambarkan kebertolak belakangan jalan mereka dalam berjuang; dalam adegan demonstrasi tergambar Gie dan Jaka yang saling menatap namun berjalan ke arah yang berlawanan. Gie berdemonstrasi atas nama senat mahasiswa sastra UI, sebaliknya Jaka atas nama PMKRI.Gie melihat politik partai dan golongan telah memasuki kampus, organisasi mahasiswa yang besar seperti GMNI, HMI, sampai yang terkecil PMKRI bergerak dan berteriak atas nama golongan. Ia benar-benar tidak simpati dengan semua ini, yang menjadi harapannya adalah mahasiswa tersebut mengambil keputusan atas dasar kebenaran, bukan atas dasar agama, ormas atau golongan apapun. Oleh karena itu, saat menjelang pemilihan senat mahasiswa sastra, ia berusaha untuk membujuk sahabatnya Herman Lantang untuk mengajukan diri sebagai calon ketua. Ia tahu bahwa Herman dianggap orang yang tidak punya keberpihakan politik, hal ini yang dianggap kelebihan dari diri seorang Herman, dan tidak dimiliki oleh calon-calon lain. Dengan tidak mempunyai keberpihakan politik, berarti bisa menjaga independensi perjuangan. Walaupun begitu, ia tetap mendorong sikap kritis terhadap pemerintah. Dalam salah satu dialog ia berkata kepada Herman:

Kita isi aja kegiatan senat dengan kegiatan yang kita suka, musik, nonton film, naik gunung. Tapi, sekali-kali kita harus hantam pemerintah tentunya.

Gie sendiri pernah berkata tentang manifesto politik pembaharuannya:

Setelah kemerdekaan tercapai, kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat dengan penuh kecemasan bahwa pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan kini telah membawa bangsa Indonesia kepada keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Diktator perseorangan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya diambang pintu, tetapi telah menjadi suatu kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan azas-azas kerakyatan dan musyawarah, bahkan menindas dan memperkosanya. Jelas sudah bagi kita bahwa istilah demokrasi terpimpin dipakai sebagai topeng belaka, justru tidak lain untuk menindas dan menumpas azas-azas demokrasi itu sendiri. Tiba saatnya bagi patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dari jurang malapetaka.

Dari manifesto politiknya ini, kita bisa melihat Gie dengan sadar telah melihat keadaan yang terus memburuk, dan jelas telah jauh dari cita-cita kemerdekaan. Pemimpin negara yang telah menjadi seorang diktator dianggap sebagai salah satu penyebab dari semua keterpurukan rakyat. Ia mengakui bahwa manifestonya ini tidak jauh berbeda dengan manifesto politik pak Mitro, seorang tokoh yang ia anggap sebagai seorang idealis yang harus terasing ke luar negeri. Ia terlihat sebagai orang yang lebih suka berdiri dibelakang menyusun strategi, dari pada menjadi pemimpin organisasi.Pada salah satu adegan, saat mereka naik gunung, Herman pernah bertanya kepada Gie mengenai perjuangan dan perlawanannya:

Gie, gua lama pengen tanya sama lu. Sebenarnya untuk apa sih perlawan ini semua?

Lalu Gie menjawab:Iya. Gua jadi ingat temen kecil gua Man, di Kebun Jeruk. Dulu dia juga nanya sama gua, kenapa gua selalu jadi tukang protes? Padahal hidup gua lebih baik dari dia. Sekarang gini Man, kita punya pemimpin, kita punya bapak yang kita akui sebagai founding father di negeri ini, tapi buat gua bukan berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan hidup kita, nasib kita. Apalagi kalau kita sadar ada penyelewengan, ketidak adilan. Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib, kita tidak akan pernah tahu kesempatan apa yang sebenarnya kita miliki dalam hidup ini. Sederhanyanya, gua cuma ingin perubahan, supaya hidup kita lebih baik. Satu-satunya cara Soekarno harus jatuh!

Dalam dialog ini Gie berusaha untuk mengatakan alasan tentang segala sikap kritisnya. Terlihat sekali keinginannya untuk bisa melihat Indonesia menjadi lebih baik, bukan sebuah sikap yang mengaharapkan pamrih, apalagi oportunis. Ia juga menekankan untuk segera merubah bangsa nasib dengan tangan kita sendiri, karena kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya.Setelah kejadian G30SPKI, kekerasan terhadap PKI terjadi dimana-mana. PKI sedemikian dibenci, seakan darah mereka halal untuk dibunuh. Entah kenapa etnis Cina ikut terbawa-bawa dalam peristiwa itu, seperti dalam salah satu adegan terdapat bacaan di dinding PKI andjing! Tjina andjing! Timbul kesan seolah-olah seorang PKI boleh dibunuh, apalagi ia berasal dari etnis Cina. Disini lagi-lagi etnis Cina dijadikan sebagai tumbal. Gie tidak setuju dengan pembantaian-pembantaian itu, ia menganggap kemanusiaan harus menjadi tolak ukur setiap perbuatan. Ia sendiri bukan simpatisan PKI, namun PKI yang dianggap sebagai musuh bersama pada saat itu tidak patut untuk diperlakukan secara biadab dan tidak berprikemanusiaan.Jatuhnya Soekarno dan masuknya aktivis-aktivis mahasiswa untuk menjadi anggota parlemen cukup merisaukan Gie, karena ternyata para aktivis-aktivis itu dianggap telah berkhianat terhadap nilai-nilai perjuangan. Gie menyebutnya dengan istilah penghianatan intelektual. Mereka yang telah masuk dalam lingkaran kekuasaan kemudian berubah secara drastis. Pada tahun 1966 pemerintah melakukan perubahan parlemen, anggota-anggota yang yang pro komunis dan pro Soekarno diganti, dan saat itu terdapat tiga belas pemimpin mahasiswa dalam parlemen. Sebagai anggota, mereka punya hak yang sama dengan anggota-anggota lain. Beberapa tokoh mahasiswa yang sebelumnya melarat tiba-tiba punya mobil bagus, mondar-mandir ke luar negeri dan dijebak golongan pemilik modal. Seperti yang tergambar dalam dialog antara Jaka dan Gie ketika bertemu disuatu tempat, pada saat itu ia melihat Jaka dengan mobil barunya: Jaka menghampiri Gie dan berkata:Gua tau betul apa yang terlintas di kepala lu Gie, gua ga perlu dengan semua pendapat lu Gie, gua berhak memilih dimana gua harus berjuang.Lalu Gie memotong pembicaraannya, dan berkata:Gua ngerti cita-cita lu, mungkin sama juga dengan cita-cita gua, tapi semoga dengan apa yang lu perjuangkan ga luntur dengan diplomasi-diplomasi dan lobi-lobi untuk mempertahankan posisi lu disana.

Ketakutan Gie akan hilangnya nilai perjuangan untuk membawa Indonesia kepada keadaan yang lebih baik sangat terlihat disini. Nilai-nilai idealisme kaum muda yang sebelumnya menjadi ruh perjuangan, lambat laun bisa hilang dengan masuknya mereka ke dalam lingkaran kekuasaan. Dengan menggadaikan idealisme perjuangan, Gie menyebut ini sebagai bagian dari penghianatan intelektual. Seperti yang ia katakana sebelumnya bahwa seorang intelektual mempunyai fungsi sosial, yang berarti harus bisa merasa peka terhadap keadaan rakyat.

Penutup

Nasionalisme yang menjunjung kepentingan bangsa diatas kepentingan golongan atau kelompok coba dihadirkan dalam sosok Soe Hok Gie dalam film Gie. Sebagai orang yang berasal dari kalangan etnis Cina, ia tidak pernah berjuang atas nama etnis Cina ataupun agama yang ia anut. Bagi tokoh Gie, rasa nasionalisme itu adalah perjuangan yang tidak berpijak atas dasar nama golongan, berjuang bisa tetap dilakukan dengan tanpa menjadi bagian dari kelompok tertentu saja. Ia pernah menolak ajakan temannya untuk bergabung bersama PMKRI yang merupakan wadah bagi mahasiswa Katolik seperti dirinya.Film ini juga menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang menjadi bagian dari Indonesia mempunyai potensi yang sama untuk menunjukkan rasa cintanya kepada negara, terlepas dari asal-usul orang tersebut. Etnis Cina yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, coba ditepis oleh film ini. Ini memberikan kesempatan pada kita untuk memberikan stereotype yang baru terhadap etnis Cina, dengan tidak lagi mengacu pada stereotype negatif. Lewat dialog-dialog dan adegan-adegan yang terdapat dalam film ini, kita bisa melihat sosok Gie yang kritis terhadap keadaan sekitarnya. Sering sekali tulisan-tulisannya mengandung kritik yang tajam, sehingga bagi beberapa pihak ini kurang menyenangkan, akibatnya ia sering tidak disukai. Sisi kemegahan penguasa dan kemelaratan rakyat pada saat itu ikut dihadirkan dalam film ini. Simbol kebangsaan dan perjuangan bisa kita temukan lewat bendera merah putih dan spanduk-spanduk yang dibawa oleh para demonstran.Film Gie ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya sebuah perjuangan. Cita-cita Soe Hok Gie untuk melihat Indonesia yang bersih dari korupsi dan kehidupan politik yang tidak berpihak pada golongan, rasa tau agama. Selain itu, film ini berusaha mengingatkan kita untuk selalu menjalankan fungsi sosial sebagai seorang intelektual, dan memberikan kita warning untuk tidak melakukan penghianatan intelektual. Menghidupkan kembali tokoh Soe Hok Gie berarti menyalakan kembali api perjuangan untuk melawan ketidak adilan.

Daftar Pustaka

Coppel, Charles A, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.Heryanto, Ariel (Ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, New York: Routledge, 2008.Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 2008.Setiono, Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2004.Smith, Anthony. D, Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah (terj.), Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

KOMUNIKASI POLITIK DALAMFILMGIE(Studi Analisis Isi padaFilmGIEkarya Riri Riza)

WULAN NOVIARINA ANGGRAINIAbstractSalah satu produk seni dan budaya yang dapat mengkomunikasikan kejadian dan fenomena lingkungan dimana ia dibuat adalahfilm.Filmdapat menggambarkan atau sabagai potret dari masyarakat, kemudian diproyeksikan ke atas layar.Filmyang diproduksi memiliki pesan-pesan di dalam ceritanya yang dikemas sedemikian rupa dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menghibur dan memberi informasi, namun ada pula yang mencoba memasukkan dogma-dogma tertentu yang secara perlahan mengajak pada penontonnya.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa porsi dan proporsi komunikasi politik dalamfilmGie? Dengan tujuan penelitian untuk mengetahui berapa porsi dan proporsi komunikasi politik yang terdapat dalamfilmGiedan mendeskripsikan berapa porsi proporsi komunikasi politik dalamfilmGie. Penelitian ini menggunakan teori sumber sebagai dasar acuan untuk mengamati dan mendeskripsikan porsi proporsi komunikasi politik yang terdapat dalamfilmGie.Penelitian ini menggunakan metode analisis isi dengan perangkat statistik deskriptif . Tujuan dari analisis isi adalah merepresentasikan kerangka pesan secara akurat. Penelitian ini menggunakan unit analisis dialog dan adegan sebagai bagian penting dari sebuahfilm, dengan struktur kategori berupa konflik dengan indikator perselisihan pendapat dan indikator perbedaan pandangan, kategori penyelesaian dengan indikator damai dan indikator kekerasan dan kategori abstain dengan indikator netral dan independen. Ketiga kategori tersebut muncul sebagai bagian dari komunikasi politik. Penelitian ini menggunakan satuan ukur durasi per detik kemunculan scene yang mengandung unsur komunikasi politik.Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi politik dalamfilmGieadalah sebanyak 3866 detik sebagai total kemunculan scene yang diamati.Filmini lebih mengedepankan sisi independensiGiedan kawan ? kawan dalam kategori abstain dengan porsi sebanyak 2302 detik atau sebesar 59,54%. Kemudian disusul oleh kategori konflik dengan kemunculan sebanyak 1086 detik atau sebesar 28,09%. Dan kategori penyelesaian dengan kemunculan sebanyak 478 detik atau sebesar 12,36%. Dominasi kategori abstain dalamfilmini menunjukkan bahwaGiedan kawan ? kawan lebih memilih untuk tetap independen dan netral dalam melakukan kegiatan politiknya, dan berusaha untuk tidak memihak kepada kubu manapun atau mengikuti partai politik/ organisasi politik apapun.Kesimpulan dari penelitian menunjukkan komunikasi politik dalamfilmini mengungkapkan bahwa setiap manusia disadari atau tidak pasti pernah melakukan kegiatan politik, dimana didalamnya terdapat konflik, penyelesaian dan sikap abstain. Kegiatan politik yang paling dominan dalam filGieini adalah sikap abstain, yang diartikan sebagai tidak adanya konflik dan hal yang harus diselesaikan. Ini membuktikan bahwa dunia politik tidak selalu identik dengan konflik dan penyelesaian. KarenaGiedan kawan ? kawannya berusaha untuk selalu independen dan menyampaikan ide, pikiran, keinginan dan informasi melalui media secara damai dan berusaha untuk menghindari untuk menjadi sumber konflik.Keyword :komunikasi politik; analisis isifilmGie