gerakan sosial kolektif

5
GERAKAN SOSIAL KOLEKTIF? Dengan semakin mengguritanya korupsi di Indonesia, kecilnya partisipasi dari masyarakat sipil (civil society) melalui pemberdayaan gerakan sosial kolektif, menambah permasalahan yang terjadi dan akan membuat daftar panjang pelaku korupsi di negeri ini. Mereka yang seharusnya bisa melakukan proses kontrol dan advokasi secara aktif, malah tidak mampu untuk mencegah dan membendung terjadinya korupsi yang semakin marak. Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi, salah satunya dapat melalui kekuatan kolektif yang dibangun oleh masyarakat sipil (civil society). Istilah civil soceity sendiri dirumuskan oleh De Tocqueville yang berangkat dari tradisi liberal dengan semangat sebagai penyeimbang kekuatan negara. Arti dari civil society biasanya merujuk kepada pemberdayaan masyarakat dengan ciri utama seperti keswasembedaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kesukarelaan (voluntary), dan kemandirian (Primahendra, 2003). Meskipun bukan aktor dominan, civil society sangat penting karena pertama, dalam sejarah Indonesia banyak perubahan sosial dilakukan oleh civil society, seperti kelompok intelektual muda dan organisasi mahasiswa. Kedua, isu pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya disung oleh civil society juga. Apalagi selama satu decade setelah reformasi civil society juga berperan penting untuk mendorong berbagai reformasi dan perubahan kebijakan untuk memberantas korupsi. Ketiga, ketika institusi negara telah dibajak oleh oligarki korup, tidak mungkin mengharapkan keberhasilan dari inisiatif internal. Oleh karena itu, program pemberantasan

Upload: azmy-basyarahil

Post on 24-Nov-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Monggo

TRANSCRIPT

GERAKAN SOSIAL KOLEKTIF?

Dengan semakin mengguritanya korupsi di Indonesia, kecilnya partisipasi dari masyarakat sipil (civil society) melalui pemberdayaan gerakan sosial kolektif, menambah permasalahan yang terjadi dan akan membuat daftar panjang pelaku korupsi di negeri ini. Mereka yang seharusnya bisa melakukan proses kontrol dan advokasi secara aktif, malah tidak mampu untuk mencegah dan membendung terjadinya korupsi yang semakin marak.

Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi, salah satunya dapat melalui kekuatan kolektif yang dibangun oleh masyarakat sipil (civil society). Istilah civil soceity sendiri dirumuskan oleh De Tocqueville yang berangkat dari tradisi liberal dengan semangat sebagai penyeimbang kekuatan negara. Arti dari civil society biasanya merujuk kepada pemberdayaan masyarakat dengan ciri utama seperti keswasembedaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kesukarelaan (voluntary), dan kemandirian (Primahendra, 2003).

Meskipun bukan aktor dominan, civil society sangat penting karena pertama, dalam sejarah Indonesia banyak perubahan sosial dilakukan oleh civil society, seperti kelompok intelektual muda dan organisasi mahasiswa. Kedua, isu pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya disung oleh civil society juga. Apalagi selama satu decade setelah reformasi civil society juga berperan penting untuk mendorong berbagai reformasi dan perubahan kebijakan untuk memberantas korupsi. Ketiga, ketika institusi negara telah dibajak oleh oligarki korup, tidak mungkin mengharapkan keberhasilan dari inisiatif internal. Oleh karena itu, program pemberantasan korupsi harus mendasarkan pada inisiatif dan tekanan dari luar, terutama oleh kelompok-kelompok yang selama ini dirugikan oleh praktik korupsi (Widoyoko, 2009).

Salah satu bentuk aktivisme civil society yang cukup khas adalah gerakan sosial. Sebagai bentuk aktivisme, gerakan sosial didefinisikan sebagai bentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama (Diani & Bison, 2004). Berangkat dari pemahaman itu, gerakan sosial merupakan aksi kolektif dari berbagai macam organisasi dan kelompok dengan artikulasi tujuan yang jelas. Gerakan sosial sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu old social movement yang bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan. Yang kedua yaitu new social movement yang lebih mengedepankan upaya perubahan kebijakan untuk mengadopsi nilai-nilai positif seperti pemberantasan korupsi. Gerakan anti korupsi yang ada di Indonesia bisa dikategorikan ke dalam kategori new social movement karena bertujuan untuk memberantas korupsi (Widoyoko, 2009).

Studi kasus di Garut menjadi salah satu contoh menarik yang belum banyak dikaji oleh para peneliti terkait peran gerakan sosial terhadap pemberantasan korupsi. Setelah melalui proses yang panjang, Bupati Garut periode 2003-2008 yang bernama Agus Supriadi akhirnya ditahan oleh KPK dan diadili di pengadilan tindak pidana korupsi. Dibalik keberhasilan itu, peran penting tersebut dimainkan oleh civil society di Garut yang dimotori oleh Garut Governance Watch (G2W). Organisasi ini adalah sebuah NGO lokal yang tidak hanya membongkar kasus korupsi, tetapi juga secara terus menerus melakukan advokasi untuk mendorong penegakan hukum. Advokasi melawan korupsi yang dilakukan oleh Bupati Garut itu tidak hanya dilakukan oleh G2W, tetapi juga dilakukan oleh organisasi mahasiswa, kelompok diskusi santri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut dan berbagai ormas lainnya.

Tetapi gerakan sosial di Indonesia dalam rangka pemberantasan anti korupsi juga mempunyai kelemahan. Kelemahan utamanya adalah ketiadaan jaringan dan organisasi di akar rumput. Tanpa ikatan yang kuat dengan massa akar rumput, maka gerakan sosial anti korupsi tidak akan mendapatkan dukungan yang luas. Bahkan gerakan antikorupsi bisa terjebak menjadi sekedar selebritis politik karena berbagai kegiatan yang mereka lakukan mendapatkan liputan luas dari media massa. Aksi pembongkaran kasus korupsi tanpa memiliki relasi dengan kepentingan rakyat akan dengan sangat mudah tergelincir dalam persaingan kompetisi antar elit. Tanpa kesadaran itu, gerakan sosial justru bisa menjadi kepanjangan tangan elit. Gerakan anti korupsi juga bisa terjebak menjadi sekedar lobi-lobi untuk membuat aturan, UU dan berbagai kebijakan lainnya. Tanpa jaringan dengan basis massa, lobi itu tidak akan memiliki representasi yang kuat sehingga bisa jadi malah terjebak oleh kepentingan lain (Widoyoko, 2009).

Keberhasilan Garut menggulingkan Bupati korup mirip dengan keberhasilan di daerah lain seperti Padang. Di Padang, aktor utama yang menjadi motor adalah Forum Peduli Sumatra Barat (FPSB). FPSB tidak bekerja sendiri melainkan membangun aliansi dengan berbagai elemen masyarakat lainnya. Aksi kolektif di Padang akhirnya memaksa penegak hukum mengadili 43 dari 44 anggota DPRD dalam kasus korupsi. Belajar dari kasus Garut dan Padang, tanpa desakan public yang kuat, penegak hukum di Indonesia nyatanya tidak akan menangani kasus korupsi. Karena di tengah banyaknya kasus korupsi yang terungkap, penegak hukum seperti KPK hanya akan mengambil kasus yang menjadi perhatian publik.Oleh karena itu, bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi tidak sebatas hanya pembongkaran kasus. Dalam kasus Garut dan juga di berbagai daerah lain, kasus korupsi tidak cukup dibongkar. Civil society harus memiliki energi untuk tidak pernah lelah melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi tersebut. Kerjasama dalam bentuk aliansi dan koalisi antar berbagai elemen dalam civil society menjadi kunci. Tambahkan juga perspektif gerakan populis yang menargetkan segmentasi anak muda kreatif untuk ikut ambil bagian atau turun tangan memberantas korupsi melalui aksi kolektif. Jika civil society berhasil menemukan common platform yang mampu menjadi penggerak, maka seluruh elemen akan bergerak untuk melakukan perlawanan sebagai satu bentuk collective action.Pada akhirnya, mengutip Vedi Hadiz (2005), perjuangan memberantas korupsi oleh civil society merupakan bagian dari pertempuran yang jauh lebih besar melawan kepentingan predator yang telah belajar dan bertransformasi mengikuti aturan main yang selalu baru. Kemenangan atas korupsi hanya terjadi sebagai bagian dari proses yang lebih besar dan fundamental melawan elit predator, baik di tingkat nasional dan lokal dengan aksi-aksi kolektif yang berkelanjutan.DAFTAR PUSTAKA

Hadiz, Vedi. 2005. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.

Primahendra, Riza. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Sipil: Sebuah Pengantar. Depok: Pusat Kajian Global Civic Society, FISIP Universitas Indonesia.

Widoyoko, Danang. 2009. Civil Society dan Gerakan Antikorupsi. Ditulis khusus untuk buku Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia.