gerakan jaringan gusdurian yogyakarta ...repo.apmd.ac.id/1291/1/skripsi_serlly...

81

Upload: others

Post on 01-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • GERAKAN JARINGAN GUSDURIAN YOGYAKARTA DALAM MENGATASI

    INTOLERANSI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

    Jl. Sorowajan, RT.08, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Untuk Menyelesaikan Jenjang Strata Satu (S1)

    Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial

    Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta

    DISUSUN OLEH :

    SERLLY AKWILA

    NIM : 16510001

    PROGRAM STUDI ILMU SOSIATRI/PEMBANGUNAN SOSIAL

    JENJANG PROGRAM STRATA 1

    SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”

    YOGYAKARTA

    2020

    i

  • MOTTO

    “Ia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil”

    (Yohanes 3:30)

    “Aku akan tetap setia kepada Tuhan dan akan tetap bertekun dalam Cintakasih-Nya sampai

    mati”

    (Elisabeth Gruyters)

    “Mengapa harus mencari perbedaan mengapa tidak mencari persamaan”

    (Gus Dur)

    “Berbeda itu pilihan, memaknai perbedaan itu indah”

    (Koleksi pribadi)

    iii

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Tuhan, yang telah melimpahkan kasih dan pendampingan-Nya,

    sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal dengan judul “ Gerakan Jaringan

    Gusdurian Yogyakarta Dalam Mengatasi Intoleransi Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Penelitian skripsi ini dimaksud kan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh

    gelar kesarjanaan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta

    Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial.

    Skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan berbagai pihak, berupa bimbingan,

    arahan, nasehat, maupun dorongan moral yang mendukung kesempurnaan penelitian.

    Peneliti mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu secara langsung

    maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan

    terimakasih kepada:

    1. Dr.H. Sutoro Eko Yunanto, M.Si. selaku Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan

    Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

    2. Drs. Oktarina Albizzia, M. Si. Selaku Kaprodi Program Studi Ilmu Sosiatri.

    3. Drs. A. Y. Oelin Marliyantoro, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

    meluangkan waktu, fikiran, tenaga, untuk membimbing dan mengarahkan peneliti

    sehingga dapat terselesaikan proposal ini.

    4. Bapak /ibu dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa”APMD”

    Yogyakarta, Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial yang telah

    memberikan materi kuliah kepada peneliti.

    iv

  • 5. Suster Yustiana Wiwik Iswanti, CB Pemimpin Provinsi Indonesia dan anggota

    Dewan Pimpinan Provinsi yang telah memberi kesempatan kepada peneliti untuk

    Studi di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa”APMD” Yogyakarta.

    6. Suster Marie Yose, CB.,SH.,MH ketua Yayasan Tarakanita Pusat, Jakarta yang

    telah memberikan dukungan lewat beasiswa pendidikan kepada peneliti.

    7. Suster Felisita Muryanti CB S.Pd, Kepala Kantor Yayasan Tarakanita Wilayah

    Yogyakarta yang telah memberikan beasiswa selama studi di Sekolah Tinggi

    Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

    8. Saudara Muhammad Bakhru Thohir Presidium Jaringan Gusdurian Daerah

    Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk

    mengadakan penelitian skripsi di Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta.

    9. Suster Magdelin Winarti, CB dan Para suster Komunitas Pakuningratan yang telah

    mendukung memberi semangat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi

    10. Suster Agnetta CB dan teman-teman asrama SMA stella Duce 1 Supadi yang

    mendukung, mendoakan dan memberi semangat kepada peneliti dalam

    menyelesaikan skripsi.

    11. Suster Felisita CB dan Para suster Komunitas Maria Regina Samirono yang telah

    mendukung peneliti selama studi.

    12. Suster Bibiana dan teman-teman asrama SMA Stella Duce 1 Samirono yang

    memberikan dukungan kepada peneliti selama studi.

    v

  • 13. Teman-teman Sosiatri 2016 yang memberi semangat dan masukan dalam penelitian

    skripsi.

    14. Teman-teman KKN 52 kelompok 12 Dusun Cempluk.

    Yogyakarta, April 2020

    Penyusun

    Serlly Akwila

    vi

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………….…......i

    HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………………ii

    HALAMAN MOTTO …………………………………………………………….………..iii

    KATA PENGANTAR ……………………………………………………….………….....iv

    DAFTAR ISI ………………………………………….…………………………...............vii

    DAFTAR TABEL ……………………….……………………………………………….....x

    DAFTAR GAMBAR ….…………………………………………………………………...xi

    BAB 1 PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ….………………………………………………………………1

    B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...10

    C. Tujuan dan Manfaat……….…………………………………………….……..10

    D. Kerangka Teori

    1. Pengertian konflik………………….……………….………………….11

    2. Teori fungsional……….……….……………………………………....20

    3. Jaringan dan jaringan sosial……………………………………............24

    vii

  • 4. Toleransi dan Intoleransi……………………………………….............27

    5. Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta ………………….....32

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian……………………………………………………………..35

    2. Ruang Lingkup Penelitian

    a. Obyek Penelitian ……………………………………………………....35

    b. Definisi Konsep ………………………………………………………..36

    c. Definisi Operasional …………………………………………………...37

    d. Subjek Penelitian………………………………………………………..38

    e. Lokasi penelitian…………………………………………………….......39

    3. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………...39

    a. Teknik Observasi ………………………………………………….......39

    b. Teknik Wawancara ……………………………………………………40

    c. Teknik Dokumentasi…………………………………………………...40

    d. Teknik analisis Data…………………………………………………....41

    viii

  • BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

    A. Profil Kecamatan Banguntapan…………………………………………………….43

    B. Keadaan Demografi Desa Banguntapan ……………………..................................45

    1. Rasio Penduduk Berdasarkan jenis kelamin……………………………........46

    2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur…………………………………..........47

    3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian…………………..............48

    4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan…………………….......49

    5. Sarana Peribadatan……………………………………..…………………….50

    C. Sejarah Singkat Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta…………………51

    D. Landasan Jaringan Gusdurian…………………………..…………………………....52

    E. Dinamika Jaringan Gusdurian Yogyakarta……………….………………………….56

    F. Stuktur Kepengurusan Jaringan Gusdurian dan Struktur Kerja Jaringan Gusdurian

    Daerah Istimewa Yogyakarta………………………………………………………..57

    BAB III ANALISIS DATA

    A. Deskripsi Informan ………………………………………………………………...61

    B. Analisis Data……………………………………………………………………….64

    a. Aktifitas Jaringan Gusdurian Yogyakarta dalam mengatasi intoleransi…….....64

    b. Gerakan Jaringan Gusdurian Yogyakarta pasca kejadian intoleransi ………....67

    ix

  • c. Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencegah intoleransi di

    Yogyakarta…………………………………………………………………......70

    d. Membangun kerjasama organisasi, institusi…………………………..…….....72

    e. Kesulitan dan tantangan yang dihadapi Jaringan Gusdurian dalam mengatasi

    intoleransi………………………………………………………………………74

    BAB IV PENUTUP

    A. Kesimpulan ….…………………………………………………………………….78

    B. Saran ……………………………………………………………………………….80

    DAFTAR PUSTAKA

    DAFTAR PERTANYAAN

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    x

  • DAFTAR TABEL

    Tabel I.1 Jumlah tempat ibadah dan jumlah pemeluk agama di Kota Yogyakarta……........4

    Tabel I.2 Peristiwa Pelanggaran Kebebasan Beragama di kota Yogyakarta……………......6

    Tabel II.1 Struktur kepengurusan Jaringan Gusdurian…………………………………….57

    Tabel II.1 Program penguatan Jaringan Gusdurian…………………………………….......58

    Tabel III.1 Diskripsi identitas informan Jaringan Gusdurian Yogyakarta ………………...62

    Tabel III.2 Deskripsi Identitas Informan Lintas Iman………………………......................63

    xi

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar II.1 Peta kecamatan Banguntapan...……………………………………………....44

    Gambar II.2 Diagram rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin…………………………46

    Gambar II.3 Diagram jumlah penduduk berdasarkan umur……………………………......47

    Gambar II.4 Diagram jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian…………………..48

    Gambar II.5 Diagram jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………………....49

    Gambar II.6 Diagram jumlah tempat peribadatan...………………………………………..50

    Gambar II.7 Struktur Pengurus Jaringan Gusdurian Yogyakarta..………………………...57

    Gambar II.8 Program penguatan Jaringan Gusdurian Yogyakarta..……………………….58

    xii

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Indonesia merupakan negara plural, dengan kerberagamaan suku, bahasa, budaya,

    adat istiadat, agama. Keanekaragaman merupakan anugerah dari Tuhan, untuk selalu

    disyukuri dan dijaga kelestariannya. Keberagaman dapat menciptakan tali persaudaraan,

    saling melengkapi demi kemajuan negeri. Memasuki abad 21, diberbagai daerah di

    Indonesia mengalami masalah, seperti banyak umat beragama minoritas mengalami

    kesulitan hidup ditengah kehidupan mayoritas umat agama lain. Hal tersebut muncul

    karena, perbedaan pemahaman dan memudarnya toleransi diantara warga masyarakat.

    Departemen Dokpen KWI (2019:3-5) Dalam Konferensi Global pada 4 Februari

    2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Al-

    Tayyeb, telah menandatangani “The Documenton Human Fraternity for World Peace and

    Living Together”. Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Paus dan Imam Besar

    Al-Azhar ini merupakan peta jalan berharga untuk membangun perdamaian dan

    menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama, dan berisi beberapa panduan yang

    harus disebarluaskan ke seluruh dunia.

    Iman menuntun orang beriman untuk memandang dalam diri sesamanya seorang

    saudara lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi. Melalui iman pada Allah, yang

    telah menciptakan alam semesta, ciptaan dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-

    Nya), umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia ini dengan

    melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama

  • 2

    mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan. Kami juga mempertimbangkan

    tingkat kemiskinan, konflik dan penderitaan begitu banyak saudara dan saudari di berbagai

    belahan dunia sebagai akibat dari perlombaan senjata, ketidakadilan sosial, korupsi,

    ketimpangan, kemerosotan moral, terorisme, diskriminasi, ekstremisme, dan banyak sebab

    lainnya.

    Dalam nama Tuhan, yang telah menciptakan seluruh manusia yang setara dalam

    hak, kewajiban, dan martabat, dan yang telah dipanggil untuk hidup bersama sebagai

    saudara dan saudari, untuk memenuhi bumi dan untuk mengenali nilai-nilai kebaikan, cinta,

    dan kedamaian atas nama hidup manusia yang tidak bersalah, yang telah dilarang Allah

    untuk dibunuh, dengan menegaskan bahwa siapa pun yang membunuh seseorang, orang itu

    bagaikan seseorang yang membunuh seluruh umat manusia, dan siapa pun yang

    menyelamatkan seseorang, orang itu bagaikan seseorang yang menyelamatkan seluruh

    umat manusia, kebebasan adalah hak setiap orang

    Setiap individu menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi dan

    bertindak. Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa

    dikehendaki Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya, yang melaluinya Ia menciptakan umat

    manusia. Kebijaksanaan ilahi ini adalah sumber dari mana hak atas kebebasan

    berkeyakinan dan kebebasan untuk menjadi berbeda berasal. Oleh karena itu, fakta bahwa

    orang dipaksa untuk mengikuti agama atau budaya tertentu harus ditolak, demikian juga

    pemaksaan cara hidup budaya yang tidak diterima orang lain.

    Dalam Mega Hidayat (2008:81) Sering dikatakatan keberagaman budaya, etnis, dan

    agama di Indonesia adalah kekayaan paling berharga. Masalahnya keberagaman

    mengandung bahaya konflik yang rawan, menghancurkan masa depan bangsa Indonesia.

  • 3

    Oleh karena itu, kita perlu belajar bagaimana berkomunikasi dengan benar, supaya jurang

    diantara kita dapat dijembatani. Perbedaan diantara kita tidak bisa dan tidak perlu

    dihilangkan. Tetapi, kita dapat belajar bahwa pada saat matahari terbenam, cakrawala dari

    pendekatan tidak kalah indahnya dari pandangan kita. Indonesia sejak kelahirannya telah

    terdiri dari masyarakat yang beragam. Namun kenyataannya tidak semua pihak dapat

    memahami situasi tersebut, ada individu atau kelompok yang ingin menyeragamkan

    keberagaman masyarakat Indonesia. Isu-isu yang sering terjadi, keinginan kelompok

    tertentu untuk menyeragamkan agama yang ada di Indonesia.

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Istimewa Yogyakarta ( 2017-

    2022 :90-91) Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki image sebagai kota pendidikan, kota

    budaya, kota pariwisata, kota religius, kota perjuangan. Hal tersebut tercermin dari aneka

    ragam agama dan pemeluknya yang ada wilayah kota Yogyakarta.

  • 4

    Tabel 1.1

    Jumlah tempat ibadah dan jumlah pemeluk agama di Kota Yogyakarta Tahun 2012-2016

    No Uraian Satuan 2012 2013 2014 2015 2016 Pertumbuhan rata-rata(%/ tahun)

    1. JumlahTempatIbadah

    Unit 961 1.015 1.033 1039 1032 1,82

    a. Masjid Unit 906 958 979 979 979 3,97

    b. Gerejaprotestan

    Unit 41 41 41 41 41,32 0,00

    c. GerejaKatolik

    Unit 9 9 9 9 9 0,00

    d. Pura Unit 1 1 1 1 1 0,00

    e. Vihara Unit 6 7 5 7 7 -5,95

    Jumlah Pemeluk Agama jiwaa. Islam Jiwa 351.873 335.389 344.995 335.389 339.087 -0,88

    b. Kristen Jiwa 31.193 26.478 26.995 26.478 26.457 -3.79

    c. Katolik Jiwa 46.195 43.196 40.638 42. 691 42.472 -1,97

    d. Hindu Jiwa 803 552 565 552 538 -8,53

    e. Budha Jiwa 2.155 1.366 1.362 1.366 1.307 -10,23

    Sumber SIPD Numerik 2016

  • 5

    Dari tabel di atas jumlah tempat ibadah dengan jumlah paling banyak dan mengalami

    peningkatan setiap tahun adalah masjid, hingga tahun 2013 sebanyak 958 unit Masjid

    sedangkan jumlah gereja Kristen dan Katolik cenderung tetap dalam kurun waktu tahun

    2010 hingga 2015, demikian juga dengan jumlah Pura dan Vihara. Dari keberagaman yang

    ada muncul ketidak seimbang antara pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan

    Budha. Daerah Istimewa Yogyakarta didominasi oleh agama Islam, dengan kata lain

    penduduk Yogyakarta mayoritas beragama Islam. Adanya mayoritas dan minoritas tak

    jarang menimbulkan konflik antara satu dengan yang lain. Beberapa kasus Intoleransi di

    Daerah istimewa Yogyakarata.

  • 6

    Tabel 1.2 Daftar Peristiwa Pelanggaran Kebebasan

    Beragama/Berkeyakinan di kota Yogyakarta

    Peristiwa Tahun Kota/kabupaten

    1. Penolakan Camat Pajangan Yulius Suhartodi kabupaten Bantul karena non muslim.

    2. Pembatalan Acara Kebaktian NasionalReformasi 500 tahun Gereja Tuhan olehStephen Thong Evangelitik(STEMI) karenapenolakan dari ormas islam dengan tuduhankristenisasi.

    2017

    Bantul

    Yogyakarta

    1. Pembubaran dan perusakan sedekah laut diPandansimo Bantul

    2. Pemotongan nisan salib milik AlbertusSlamet Sugihardi di kelurahan Purbayan,Kotagede

    3. Penolakan bakti sosial panitia GerejaSanto Paulus Pringolayan BanguntapanBantul oleh Fron Jihad Islam

    4. Penyerangan Gereja Santa Lidwina

    2018

    Bantul

    Yogyakarta

    Bantul

    Sleman1. Polisi dan warga membubarkan upacara

    peringatan wafatnya Ki Ageng Mangir didusun Mingir Lor Pajangan Bantul

    2. Penolakan Gereja Pentekosta ImmanuelSedayu Bantul dan penjabutan pendiriangereja oleh Bupati Bantul Suharsosno

    3. Kepala sekolah negeri Karangtengah IIIKabupaten Gunungkidul mengeluarkan suratedaran yang berisi kewajiban siswa-siswimengenakan seragam Muslim

    2019

    Bantul

    Bantul

    Gunung kidul

    Tempo Jumat, 15 November 2019 06:30 WIB

  • 7

    Melalui IDN Times 30 Februari 2018, Jaringan Gusdurian memandang bahwa

    kasus-kasus tersebut tidak berdiri sendiri. Semua terangkai dalam satu gelombang

    peningkatan kekerasan yang harus diwaspadai dan direspon dengan tindakan yang tepat.

    Pernyataan sikap Jaringan Gusdurian terhadap tindakan intoleransi:

    1. Mengecam keras aksi intoleransi, berupa kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan

    kepada pemeluk agama apapun. Hak merasa aman dan hak untuk beribadah adalah hak

    dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia, karena itu pelanggaran terhadap hak-hak

    tersebut tidak dapat diterima.

    2. Mendesak kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas tidak hanya

    pelaku intoleransi, namun juga otak di balik peningkatan aksi kekerasan ini, sesuai

    dengan instrumen hukum yang berlaku. Keberhasilan penanganan jaringan terorisme

    menunjukan kapasitas Kepolisian yang tinggi dan menjadi aset untuk menuntaskan

    eskalasi tindak kekerasan dan intoleransi.

    3. Mendesak Aparat Penegak Hukum, utamanya Kepolisian Republik Indonesia, untuk

    memusatkan kebijakanya pada penegakan hak konstitusi warga negara dan karenanya

    tidak ragu dan tidak takut, kepada siapapun dan kelompok manapun yang melakukan

    kekerasan serta melanggar hak-hak tersebut.

    4. Mendesak Pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat Kabupaten/Kota untuk

    mengembangkan respons yang komprehensif untuk mengelola persoalan ini, terutama

    dikaitkan dengan dinamika politik di tahun 2018-2019 ini. Situasi ini dapat dikelola

    dengan pendekatan kasus perkasus, namun perlu diketahui dan direspon secara

    menyeluruh.

  • 8

    5. Mendesak insan politik Indonesia, baik partai politik, politisi, maupun konsultan

    politik; untuk tidak menggadaikan masa depan bangsa demi kepentingan kekuasaan

    jangka pendek dengan menggunakan sentimen agama. Komitmen terhadap nilai dasar

    dan keberlangsungan bangsa, haruslah menjadi nilai tertinggi yang tidak dicerai

    dengan praktik politik popularisme agama.

    6. Mengajak para pemuka agama untuk mengambil kepemimpinan aktif dalam

    memperkuat tali persaudaraan sebangsa kelompok-kelompok umat agama, terutama di

    tingkat akar rumput; bahu membahu menjaga bangsa ini tetap pada nilai-nilai

    kebergaman dalam persatuan.

    7. Mengajak masyarakat untuk dapat menyikapi persoalan ini dengan bijak, tidak mudah

    terprovokasi oleh sentimen-sentimen kebencian dan permusuhan, namun secara aktif

    bertindak dan tidak diam saat terjadi ketidakadilan dan penindasan.

    Tunas (2018:56) Jaringan Gusdurian meyakini bahwa bangsa Indonesia

    memiliki kearifan yang telah mengakar dan mengikat bangsa Indonesia selama ini yaitu

    nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan peradaban, persatuan, permusyawaratan,

    serta keadilan sosial dalam Pancasila. Terkikisnya nilai-nilai tersebut, masyarakat menjadi

    korban dengan banjirnya gagasan kebencian kepada kelompok yang berbeda, baik mereka

    yang melawan dalam diam maupun pelaku tindak intoleransi. Semua adalah korban paham

    yang mengajarkan kebencian dan permusuhan, dengan mengebiri nilai-nilai kebersamaan

    dan persatuan dalam keberagaman, masyarakat Indonesia menghadapi tantangan serius

    akibat menyempitnya ruang toleransi. Ruang-ruang sosial yang dahulu bisa menjadi

    perjumpaan sosial untuk membangun kehidupan damai, tiba-tiba dipersoalkan dan digugat.

  • 9

    Akibatnya sering terjadi konflik dan ketegangan dalam masyarakat karena

    perbedaan orientasi keagamaan, persaingan kepentingan keagamaan dan sebagainya.

    Berbagai tindak kekerasan terhadap kelompok lain, pengusiran, persekusi adalah fenomena

    menyempitnya ruang toleransi. Jika penyempitan toleransi dibiarkan berkembang klaim

    Indonesia sebagai negara moderat akan semakin dipertanyakan orang. Moderat dan

    toleransi adalah dua hal yang berjalan seiring. Hal yang perlu diwaspadai adalah

    penyempitan ruang toleransi berbalut dengan pesta demokrasi baik PILKADA, Pileg

    maupun Pilpres yang menggunakan identitas SARA sebagai pembelaan masyarakat,

    politisasi SARA menjadi ancaman serius jika dibiarkan berkembang.

    Jaringan Gusdurian mengarisbawahi bahwa sikap kebencian dan permusuhan

    kepada kelompok lain sudah sangat mengkhawatirkan, sebagaimana dicatat berbagai

    penelitian dan survei dari berbagai lembaga dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Salah

    satu alasan meningkatnya kasus kekerasan dalam isu agama karena kasus-kasus intoleransi

    tidak pernah diselesaikan secara tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku. Berdasarkan

    latar belakang tersebut, peneliti ingin memberikan sumbangan pemikiran melalui penelitian

    yang berjudul Gerakan Jaringan Gusdurian dalam mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa

    Yogyakarta.

  • 10

    B. RUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, peneliti

    merumuskan permasalahan sebagai berikut’’Bagaimana Gerakan Jaringan Gusdurian

    Yogyakarta Dalam Mengatasi Intoleransi Di Daerah Istimewa Yogyakarta?

    C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    1. Tujuan

    Adapun tujuan penelitian ini untuk:

    a. Mendeskripsikan Gerakan Jaringan Gusdurian Yogyakarta dalam mengatasi

    Intoleransi Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    b. Mengetahui kendala yang dihadapi Jaringan Gusdurian Yogyakarta dalam

    mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa Yogkarta.

    2. Manfaat

    a. Manfaat Akademik

    Secara akademik hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan

    Ilmu Sosiatri, khususnya tentang Pluralisme.

    b. Manfaat praktis

    Secara praktis, hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk memperkuat,

    menyempurnakan kebijakan dan langkah konkret organisasi atau Jaringan

    Gusdurian Yogyakarta dalam mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa

    Yogyakarta memberikan informasi dan gambaran pada masyarakat umum dan

    semua pihak yang berkepentingan khusus.

  • 11

    D. KERANGKA TEORI

    Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1989:46) dalam buku

    Metode Penelitian Sosial mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak,

    defenisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan

    cara merumuskan hubungan antar konsep. Teori ini menjadi landasan agar penelitian

    memiliki dasar yang kokoh. Adapun yang menjadi kerangka teori dari penelitian adalah

    sebagai berikut:

    1. Pengertian Konflik

    Elly M. Setiadi dan Usman Kolip (2011:342) Konflik merupakan gejala sosial yang serba

    hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan

    senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam

    pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi

    yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala

    yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik

    dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap

    kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari

    unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik

    ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat

    diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan.

    Irving M. Zeitlin, (1998:156) Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung

    suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik

    kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.

  • 12

    Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan

    terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan

    dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.

    Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005:587), Konflik

    artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan.

    Soerjono Soekanto, (1993:99), Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar

    anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses

    pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan

    nilai yang berlaku.

    J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, ( 2005: 68) Dalam pengertian lain, konflik

    adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang

    atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.

    Menurut Robert lawang (1994:54) konflik diartikan sebagai perjuangan untuk

    memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana

    tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk

    menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan

    kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-

    sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.

    Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah

    percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat

    dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang

    dengan ancaman kekerasan.

  • 13

    a. Bentuk-bentuk Konflik

    Menurut Robert H. Lauer, (2001:98) Secara garis besar berbagai konflik dalam

    masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

    Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik

    konstruktif.

    a) Konflik Destruktif

    Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan

    dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi

    bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti

    konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.

    b) Konflik Konstruktif

    Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan

    pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini

    akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan

    suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.

    b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

    Menurut Kusnadi (2002:67) Secara garis besar berdasarkan pelaku yang berkonflik

    dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

    a) Konflik Vertikal

    Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang

    memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam

    sebuah kantor.

  • 14

    b) Konflik Horizontal

    Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki

    kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.

    c) Diagonal

    Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya

    keseluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya

    konflik yang terjadi di Aceh.

    Soerjono Soekanto (1992:86) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:

    a) Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau

    lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

    b) Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan

    ras.

    c) Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi

    disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

    d) Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan

    atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

    e) Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi

    karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

    Sementara itu, Ralf Dahrendorf (2011:102) mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan

    atas empat macam, yaitu sebagai berikut :

    a) Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik

    peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-

    harapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.

  • 15

    b) Konflik antara kelompok-kelompok sosial.

    c) Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.

    d) Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau

    organisasi internasional.

    c. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik

    Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, ( 2011: 361), para sosiolog berpendapat bahwa

    akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya

    adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang

    jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.

    Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap

    sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak

    tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset

    sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset

    sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang

    cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang

    berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana

    penyebab konflik dibagi dua, yaitu:

    a) Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara

    kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan

    pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri,

    militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-

    kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai

    karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin

  • 16

    mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya

    seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik

    yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.

    b) Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan

    kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan

    konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan,

    pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian

    besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki

    kekuasaan dan kewenangan.

    Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik

    sosial. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, (2005: 68). Namun beberapa sosiolog

    menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik, diantaranya

    yaitu:

    a) Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar

    individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian,

    dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini

    tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk

    pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui. Di

    dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama

    sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi

    timbulnya konflik sosial.

    b) Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan

    tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan

  • 17

    pola-pola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak

    kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya

    sikap etnosentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa

    kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam

    kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu

    timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.

    c) Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-

    beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan

    kesempatan dan sarana. Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya

    tersebut di atas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian

    perubahan-perubahan sosial itu secara tidak langsung dapat di lihat sebagai penyebab

    juga terjadinya (peningkatan) konflik-konflik sosial. Perubahan-perubahan sosial yang

    cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku

    di dalam masyarakat. Dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat ini akan

    menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian dalam masyarakat.

    d. Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat

    Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu

    proses yang bersifat dissosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung dengan

    keras dan tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-akibat yang

    positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi misalnya, jelas

    akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran yang kurang terkaji secara benar akan tersisih.

    Positif atau tidaknya akibat konflik-konflik memang tergantung dari persoalan yang

    dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang

  • 18

    berlangsungnya konflik. Oleh karena itu ada dua dampak dari adanya konflik terhadap

    masyarakat yaitu:

    a) Dampak positif dari adanya konflik

    Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. Apabila terjadi

    pertentangan antara kelompok-kelompok, solidaritas antar anggota di dalam masing-masing

    kelompok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada

    situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik

    dengan pihak-pihak luar. Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga

    masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam

    masyarakat. J. Dwi Narwako dan Bagong Suryanto (2005:68).

    b) Dampak negatif dari adanya konflik

    Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan

    menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah kesatuan kelompok tersebut akan

    mengalami kehancuran. Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam

    suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang

    semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah

    marah, lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan. Hancurnya nilai-nilai

    dan norma sosial yang ada. Antara nilainilai dan norma sosial dengan konflik terdapat

    hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada

    hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan anggota masyarakat akibat

    dari konflik J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2015:378).

  • 19

    e. Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik

    Soetomo (1995:77) Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial

    yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan

    (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya

    nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses

    sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial,

    seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan

    sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang

    dissosiatif disebut proses negatif.

    Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan

    sebagai usaha menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim

    dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), détente. Urutan ini

    berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak

    formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama membawa hasil.

    (Soetomo 1995:77).

    Menurut Nasikun (2003:22) bentuk-bentuk pengendalian konflik ada empat yaitu:

    a.) Konsiliasi (conciliation)

    Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang

    memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan

    diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka

    pertentangkan.

  • 20

    b.) Mediasi (mediation)

    Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa

    bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka

    sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.

    c.) Arbitrasi

    fBerasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim

    (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi.

    Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,

    artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima

    keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi

    pengadilan nasional yang tertinggi.

    d.) Perwasitan

    Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk

    memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi

    diantara mereka.

    2. Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton

    Teori Fungsionalisme struktural menekakan pada keteraturan (order) dan

    mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini,

    masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen atau bagian-

    bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dalam perspektif

    Fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara

    terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat aturan

    dan nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat. Teori ini beranggapan bahwa semua

  • 21

    peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian

    seperti halnya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan kemiskinan

    “diperlukan” dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan dan

    kalaupun terjadi suatu konflik maka penganut teori ini memusatkan perhatian kepada

    masalah bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut agar masyarakat kembali menuju

    suatu keseimbangan. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu

    kecenderungan kearah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan

    sistem kerja yang selaras dan seimbang.

    Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sosiologi, ( 1992: 18), Perubahan sosial

    mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi

    keseimbangan. Nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional

    atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda. Bila suatu perubahan sosial tertentu

    mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional bila

    perubahan sosial tersebut menganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gangguan

    fungsional, bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak

    fungsional. Gagasan mengenai fungsi berguna agar kita terus mengamati apa yang

    disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis atau lebih

    tepatnya, apa fungsi yang dijalankan dalam sistem itu. Masyarakat adalah orgisme yang

    tidak berdiri sendiri, melainkan bergabung dengan kelompoknya dalam sistem pembagian

    tugas, yang dalam kenyataanya berkaitan dengan jenis-jenis norma atau peraturan sosial

    yang mengikat individu pada keadaan sosialnya. Robert K. Merton adalah salah satu tokoh

    dalam teori fungsionalisme struktural. Merton telah menghabiskan karir sosiologinya dalam

    mempersiapkan dasar struktur fungsional untuk karya-karya sosiologis yang lebih awal dan

  • 22

    dalam mengajukan model atau paradigma bagi analisa struktural. Merton menolak postulat-

    postulat fungsionalisme struktural yang masih mentah yang menyebarkan paham :

    1) Kesatuan masyarakat yang fungsional

    Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial

    yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun

    untuk individu atau masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa

    berbagai sistem sosial pasti menunjukkan integrasi tingkat tinggi. Kesatuan fungsional

    masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem

    sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang

    memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau

    diatur. Tapi menurut Merton, hal itu bisa benar terjadi dalam masyarakat primitive yang

    kecil, generalisasi itu tidak dapat diperluas kepada masyarakat-masyarakat yang lebih

    besar jumlahnya dan lebih kompleks.

    2) Fungsional universal

    Postulat ini menyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial serta struktur

    yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Menurut Merton, postulat ini bertentangan

    dengan apa yang ditemukannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas bahwa tak setiap

    struktur, adat, gagasan, kepercayaan dan sebagainya mempunyai fungsi yang positif

    untuk masyarakat itu sendiri. Karena bisa saja fungsi yang positif itu merugikan bagi

    masyarakat lainnya.

    3) Indespensability

    Asumsi ini menyatakan bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tak

    hanya mempunyai fungsi yang positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang

  • 23

    sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Asumsi ini

    mengarah kepada pemikiran bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional adalah

    penting untuk masyarakat. Tak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat bekerja

    sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Tapi menurut

    Merton, setidaknya kita harus bersedia mengetahui bahwa ada beberapa alternatif

    struktural dan fungsional yang terdapat di masyarakat.

    Menurut Robert K. Merton, tiga postulat itu bersandar pada pernyataan non empiris,

    berdasarkan sistem teoritis abstrak. Maka, Merton pun mengembangkan analisis fungsional

    sebagai pedoman untuk mengintegrasikan teori dan riset empiris. Analisis fungsional

    struktural memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur.

    Sasaran studi Merton antara lain peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur,

    emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, alat-

    alat pengendalian sosial dan sebagainya.

    Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton

    ternyata memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan

    gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan

    pada orientasi subjektif individu dalam perilaku, maka Robert K. Merton menitik beratkan

    pada konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku. Merton menekankan

    tindakaan-tindakan yang berulang kali atau baku berhubungan dengan bertahannya suatu

    sistem sosial dimana tindakan itu berakar. Dalam hal ini perhatian Merton lebih kepada

    konsekuensi objektif tersebut memperbesar kemampuan sistem sosial untuk bertahan atau

    tidak, terlepas dari motif dan tujuan subjektivitas individu. Fungsionalisme struktural

    berfokus pada fungsi-fungsi sosial daripada motif-motif individual. Fungsi-fungsi

  • 24

    didefinisikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang diamati yang dibuat untuk adaptasi

    atau penyesuaian suatu sistem tertentu. Analisis Merton tentang hubungan antara

    kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normatif

    teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat.

    Stuktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan

    mempengaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan berbagai cara

    melibatkan anggota masyarakat di dalamnya. Anomi terjadi jika ketika terdapat

    keterputusan hubungan ketat antara norma-norma dan tujuan kultural yang terstruktur

    secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan

    tersebut. Disfungsi dan nonfungsi adalah ide yang diajukan Merton untuk mengoreksi

    penghilangan serius tersebut yang terjadi di dalam fungsionalisme struktural awal.

    Disfungsi didefinisikan bahwa sebuah struktur atau lembaga-lembaga dapat berperan dalam

    memelihara bagian-bagian sistem sosial, tetapi bisa juga menimbulkan konsekuensi negatif

    untuknya. Nonfungsi didefinisikan sebagai konsekuensi konsekuensi yang benar-benar

    tidak relevan dengan sistem yang dipertimbangkan. Pendekatan fungsional merupakan

    salah satu kemungkinan untuk mempelajari perilaku sosial. Pendekatan yang semula

    dogmatis dan eksklusif dilengkapi dengan berbagai kualifikasi, sehingga agak berkurang

    kekakuan dan keketatannya Selain konsep disfungsi dan nonfungsi yang digagas oleh

    Merton, ia juga menggagaskan konsep Fungsi Manifes dan Fungsi Laten dalam teori

    fungsional strukturalnya.

    3. Jaringan dan Jaringan Sosial

    Menurut Robert M.Z Lawang (Damsar 2011:157), jaringan merupakan gabungan

    kata net dan work, sehingga menjadi network, yang penekanannya terletak pada kerja bukan

  • 25

    pada jaring, dimengerti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti

    halnya jaring (net). Maka jaringan menurut Lawang dapat dimengerti sebagai:

    1) Ada ikatan antara simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media

    (hubungan sosial). Hubungan-hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan.

    Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.

    2) Ada kerja antara simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial

    menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.

    3) Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antara simpul itu

    pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat “menangkap ikan” lebih banyak.

    4) Dalam kerja jaringan itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah

    kalau satu simpul putus maka keseluruhan jaring tidak dapat berfungsi lagi, sampai

    simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat.

    Dalam hal ini analogi tidak seluruhnya tepat terutama kalau oranng yang membentuk

    jaringan itu hanya dua saja.

    5) Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara orang orang

    dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.

    6) Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana

    ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan.

    Dalam Damsar (2011:160-165) tingkat jaringan dapat dibedakan menjadi tiga

    tingkatan yaitu Jaringan Mikro dalam hidupnya manusia (individu) selalu ingin melakukan

    interaksi sosial dengan individu lainnya. Interaksi antar individu tersebut menjalin suatu

    hubungan sosial. Hubungan sosial selalu berjalan terus menerus antar individu

  • 26

    menghasilkan suatau jaringan sosial diantara mereka. Jaringan sosial antar individu atau

    antar pribadi dikenal sebagai jaringan (sosial) mikro merupakan bentuk jaringan yang

    selalu ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Jaringan Meso dalam berinteraksi

    sosial dengan orang lain pada umumnya, orang melakukan dalam suatu konteks sosial,

    biasanya dalam satu kelompok. Hubungan yang dibangun para aktor dan atau didalam

    kelompok sehingga terbentuk suatu ikatan maka dapat disebut sebagai jaringan sosial pada

    tingkat meso. Jaringan Makro merupakan ikatan yang terbentuk karena terjalinnya simpul-

    simpul dari beberapa kelompok . Dengan kata lain, jaringan makro terajut dari ikatan antara

    dua kelompok atau lebih. Kelompok dalam konteks ini bisa dalam bentuk organisasi,

    institusi, bahkan bisa pula negara. Jaringan sosial (Damsar 2002:165) merupakan

    hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun

    antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa

    dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau

    cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang

    aktif dan bersifat resiprosikal.

    Jaringan sosial (Agusyanto, 2007 :13) merupakan suatu jaringan tipe khusus,

    dimana ‘ikatan’ yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah

    hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak

    langsungyang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person). Mungkin

    saja, yang menjadi anggota suatu jaringan sosial itu berupa sekumpulan dari orang yang

    mewakili titik-titik, jadi tidak harus satu titik diwakili dengan satu orang, misalnya

    organisasi, instansi, pemerintah atau negara (jaringan negara-negara nonblok).

  • 27

    Menurut Wellman (1983:156-157) teori jaringan sosial terdapat sekumpulan

    prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu sebagai berikut :

    1) Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya.

    Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian

    dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil.

    2) Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.

    3) Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Disatu

    pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan

    adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar

    kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C.

    4) Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang antara

    kelompok jaringan maupun antara individu.

    5) Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat

    bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata.

    6) Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan

    baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk

    mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok

    lain bersaing dan memperebutkannya.

    4. Toleransi dan intoleransi

    1. Pengertian

    Borba (2008:232) mengemukakan bahwa toleransi ialah sikap saling menghargai

    tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, keyakinan, kemampuan, atau

  • 28

    orientasi seksual. Orang yang toleran bisa menghargai orang lain meskipun berbeda

    pandangan dan keyakinan. Toleransi terhadap sesuatu mengandung pengertian bahwa

    setiap individu secara pasti tidak menyukai sesuatu tetapi dalam derajat ketidaksukaan

    individu tersebut harus tahan terhadap sesuatu. Terkadang istilah toleransi lebih bermakna

    kasar. Orang yang bersahabat dikatakan sebagai toleran apabila ia tidak membedakan ras,

    warna kulit atau keyakinan. Dia tidak hanya tahan terhadap perbedaan tetapi secara umum

    menerima adanya perbedaan tersebut

    Toleran dan intoleran menurut Cohen 2004:69), tindakan yang disengaja oleh

    aktor dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka

    dalam situasi keberagaman, sekalipun aktor percaya, dia memiliki kekuatan untuk

    mengganggu. Sedangkan intoleran adalah ketidak mampuan menahan diri, tidak suka

    kepada orang lain, sikap mencampuri dan menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan

    sengaja mengganggu orang lain.

    Menurut Hunsberger (1995: 113), intoleran adalah tindakan negatif yang dilatari

    oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs).

    Prasangka semacam ini memiliki tiga komponen; (1) komponen kognitif mencakup

    stereotip terhadap “kelompok luar yang direndahkan”; (2) komponen afektif yang berwujud

    sikap muak atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok-luar; dan (3) komponen

    tindakan negatif terhadap anggota kelompok-luar, baik secara interpersonal maupun dalam

    hal kebijakan politik-sosial.

    Cara Efektif Mengatasi Sikap Intoleransi dan Menumbuhkan Toleransi Hari

    Toleransi Internasional 16 November 2006 Cara efektif mengatasi sikap intoleransi dan

    menumbuhkan toleransi

  • 29

    1) Memerangi Intoleransi membutuhkan hukum

    Setiap Pemerintah bertanggung jawab untuk menegakkan hukum hak asasi manusia,

    untuk melarang dan menghukum kejahatan kebencian dan diskriminasi terhadap

    kelompok minoritas, apakah ini dilakukan oleh pejabat Negara, organisasi swasta atau

    individu. Negara juga harus menjamin akses yang sama ke pengadilan, komisaris hak

    asasi manusia atau ombudsman, sehingga orang tidak main hakim sendiri dan

    melakukan kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan mereka.

    2) Memerangi Intoleransi memerlukan pendidikan

    Hukum yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk melawan intoleransi dalam

    sikap individu. Intoleransi sangat sering berakar pada ketidaktahuan dan ketakutan: takut

    yang tidak diketahui, yang lain, lain budaya, bangsa, agama. Intoleransi juga terkait erat

    dengan rasa berlebihan diri dan kebanggaan, apakah pribadi, nasional atau keagamaan.

    Gagasan ini diajarkan dan dipelajari pada usia dini. Oleh karena itu, penekanan yang

    lebih besar perlu ditempatkan pada pendidikan yang lebih baik dan lebih baik. Upaya

    yang lebih besar perlu dibuat untuk mengajarkan anak-anak tentang toleransi dan hak

    asasi manusia, tentang cara-cara kehidupan lainnya. Anak-anak harus didorong di rumah

    dan di sekolah untuk menjadi berpikiran terbuka dan ingin tahu. Pendidikan adalah

    pengalaman seumur hidup dan tidak dimulai atau berakhir di sekolah. Endeavours

    membangun toleransi melalui pendidikan tidak akan berhasil kecuali mereka mencapai

    semua kelompok usia, dan berlangsung di mana-mana: di rumah, di sekolah, di tempat

    kerja, di penegak hukum dan pelatihan hukum, dan tidak sedikit dalam hiburan.

  • 30

    3) Memerangi intoleransi membutuhkan akses ke informasi

    Intoleransi adalah yang paling berbahaya bila dimanfaatkan untuk memenuhi

    ambisi politik dan teritorial individu atau kelompok individu. Hatemongers sering mulai

    dengan mengidentifikasi ambang toleransi publik. Mereka kemudian mengembangkan

    argumen yang keliru, berbohong dengan statistik dan memanipulasi opini publik dengan

    informasi yang salah dan prasangka. Cara yang paling efisien untuk membatasi

    pengaruh hatemongers adalah untuk mengembangkan kebijakan yang menghasilkan dan

    mempromosikan kebebasan pers dan pluralisme pers, untuk memungkinkan masyarakat

    membedakan antara fakta dan opini.

    4) Memerangi intoleransi membutuhkan kesadaran individu

    Intoleransi di masyarakat adalah jumlah-total dari intoleransi individu anggota-

    anggotanya. Kefanatikan, stereotip, menstigma, penghinaan dan lelucon rasial adalah

    contoh dari ekspresi individu intoleransi yang beberapa orang dikenakan sehari-hari.

    Intoleransi melahirkan intoleransi. Ia meninggalkan korbannya dalam mengejar balas

    dendam. Dalam rangka untuk melawan intoleransi individu harus menyadari hubungan

    antara perilaku mereka dan lingkaran setan ketidakpercayaan dan kekerasan di

    masyarakat.

    5) Memerangi Intoleransi membutuhkan solusi lokal

    Banyak orang tahu bahwa masalah besok akan semakin global, tetapi sedikit

    yang menyadari bahwa solusi untuk masalah-masalah global. Ketika dihadapkan dengan

    eskalasi intoleransi di sekitar kita, kita tidak harus menunggu pemerintah dan lembaga

    untuk bertindak sendiri. Kita tidak harus merasa tak berdaya untuk kita benar-benar

  • 31

    dimiliki kapasitas besar untuk memegang kekuasaan. Aksi non-kekerasan adalah cara

    menggunakan kekuatan-kekuatan rakyat. Alat tindakan-menempatkan kelompok

    bersama-sama untuk menghadapi masalah, untuk mengatur jaringan akar rumput, untuk

    menunjukkan solidaritas dengan korban intoleransi, untuk mendiskreditkan propaganda

    kebencian tersedia untuk semua orang yang ingin mengakhiri intoleransi, kekerasan

    tanpa kekerasan dan kebencian.

    2. Aspek aspek toleransi

    Adapun aspek toleransi skripsi Ely Mei Triyani “Perbedaan Toleransi Antar Umat

    Beragama Pada Penganut Islam Dan Hindu Di Desa Kongkong Kecamatan Mijen Kota

    Semarang (2016:15) UNNES” antara lain:

    1) Dialog antar umat beragama

    Adapun yang dimaksud dengan dialog antar umat beragama adalah pembicaraan

    yang mendalam, suatu keterbukaan antar umat beragama. Dalam situasi ini, kiranya

    dialog antar beragama sangat penting dan harus selalu diadakan, untuk menuju toleransi,

    sehingga tercipta rukun dan damai antar umat beragama tersebut. dengan dialog, setiap

    umat beragama membuka diri bagi pandangan yang berbeda-beda dengan tetap

    diharapkan agar setiap umat beragama sadar bahwa tidak selamanya perbedaan menuju

    kepada permusuhan.

    2) Kerja sama kemasyarakatan

    Kerja sama atau tolong menolong adalah suatu dasar umum bagi semua

    masyarakat. Sehubungan dengan toleransi antar umat beragama maka kerja sama ini

    adalah suatu dasar bagi terwujudnya toleransi tersebut, bila kerja sama ini terbina

  • 32

    dengan baik kiranya bisa digambarkan bahwa toleransi akan terwujud. Melalui kerja

    sama sosial masyarakat, rasa saling ketergantungan, rasa keakraban dan persaudaraan

    serta rasa saling hormat antar umat beragama dapat dipupuk dengan baik sehingga

    dalam menghadapi persoalan-persoalan agamis yang serba berbeda itu, akan terwujud

    pula sikap toleransi.

    5.Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta

    Jaringan gusdurian adalah arena sinergi bagi para gusdurian di ruang kultural dan

    non politik praktis. Di dalam jaringan gusdurian tergabung individu, komunitas/forum

    lokal, dan organisasi yang merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan

    Gus Dur. Karena bersifat jejaring kerja, tidak diperlukan keanggotaan formal. Jaringan

    gusdurian memfokuskan sinergi kerja non politik praktis pada dimensi-dimensi yang telah

    ditekuni Gus Dur, meliputi 4 dimensi besar: Islam dan Keimanan, Kultural, Negara, dan

    Kemanusiaan. Kemanusiaan Misi Jaringan GusdurianNilai, pemikiran, perjuangan Gus Dur

    tetap hidup dan mengawal pergerakan kebangsaan Indonesia; melalui sinergi karya para

    pengikutnya, dilandasi 9 Nilai Gus Dur: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan,

    Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan Tradisi.

    Jaringan Gusdurian tidak terikat tempat, karena para Gusdurian alias anak-anak

    ideologis Gus Dur tersebar di berbagai penjuru Indonesia, bahkan di manca negara. Di

    beberapa tempat, terbentuk komunitas-komunitas lokal, namun sebagian besar terhubung

    melalui forum dan dialog karya. Munculnya komunitas gusdurian lokal banyak dimotori

    oleh gusdurian generasi muda (angkatan 2000an), yang bersemangat untuk berkumpul

    mendalami dan mengambil inspirasi dari teladan Gus Dur. Setidaknya sekitar 60an

    komunitas gusdurian lokal telah dirintis sampai akhir tahun 2012.

  • 33

    Untuk merangkai kerja bersama dalam arena Jaringan Gusdurian, dibentuklah

    Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Amanah yang diemban adalah menjadi

    penghubung dan pendukung kerja-kerja para gusdurian di berbagai penjuru. Dalam

    menjalankan amanah jaringan, SekNas Jaringan Gusdurian memfokuskan diri pada

    program-program penyebaran gagasan, memfasilitasi konsolidasi jaringan, memberikan

    dukungan pada upaya (program) lokal, program kaderisasi, dan peningkatan kapasitas

    jaringan. Selain itu, SekNas juga menjadi koordinator untuk program-program bersama

    lintas komunitas gusdurian, serta menginisiasi kelas-kelas khusus terkait jaringan. Beberapa

    di antaranya: Kelas Pemikiran Gus Dur, Forum kajian dan diskusi, Kampanye Anti

    Korupsi, Pelatihan entrepreneurship, Forum budaya, Workshop Sosial Media, Koperasi

    Jaringan Gusdurian. Sedangkan kegiatan-kegiatan advokasi dilakukan melalui organisasi-

    organisasi yang berafiliasi dengan Jaringan Gusdurian dalam bentuk dukungan kerja yang

    bersifat khas.

  • 34

    A. METODE PENELITIAN

    Pengertian metode penelitian harus dibedakan dari metodologi penelitian. Menurut

    Neong Muhadjir (1996:3-4), metode penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang

    metode-metode penelitian, tentang kelebihan dan kekurangannya, ilmu dan alat-alat

    penelitiannya. Muhsdjir mengatakan bahwa metode penelitian adalah teknis metode-

    metode yang digunakan dalam penelitiannya. Dolet Unaradjan (2000:1) mengatakan

    metode penelitian merupakan asas, pengaturan dan teknik yang perlu diperhatikan dan

    diterapkan dalam usaha mengumpulkan dan menganalisis data. Dari kedua defenisi jelas

    sekali ada perbedaan antara metode penelitian dan metodologi namun dalam buku-buku

    penelitian kedua kata tersebut sering dipertukarkan penggunaannya. Metodologi membahas

    dasar teoritas berbagai metode penelitian kemudian dijabarkan dalam masing-masing

    penelitian.

    Dalam melakukan pemilihan terhadap suatu metode penelitian, seorang peneliti

    tidak lepas dari filosofi yang mendasarinya. Pengetahuan tentang filsafat yang mendasari

    suatu metode penelitian akan menuntun langkah yang harus dilakukan secara konsisten.

    Langkah-lankah itu digunakan untuk mencari sebuah kebenaran ilmu pengetahuan, metode

    penelitian merupakan langkah-langkah sebagai upaya kebenaran. Pemilihan metode

    penelitian ibarat pisau analisis yaitu menganalisis suatu obyek sehingga diperoleh suatu

    kebenaran. Pemilihan metode penelitian berkaitan dengan fokus permasalahan yang

    diangkat. Ketidak tepatan memilih metode penelitian akan berakibat pada kualitas hasil

    penelitian.

  • 35

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, karena penelitian

    dipandang mampu menganalisa realitas sosial secara mendetail. Metode kualitatif dapat

    digunakan untuk mengkaji, membuka, menggambarkan atau menguraikan sesuatu dengan

    apa adanya. Bagdan dan Taylor dalam Lexy J Moleong (2010:20) , penelitian kelitatif

    didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis berupa

    kata-kata tertulis dari perilaku yang diamati. Adapun ciri-ciri pokok metode deskriptif

    menurut Hadari Nawami (1983:63-64) adalah:

    a) Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan

    atau masalah-masalah yang bersifat aktual.

    b) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,

    diiringi dengan interprestasi rasional yang up to date.

    Adapun tujuan dari penelitian deskriptif untuk membuat deskriptif, gambaran atau

    lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta sifat-sifat serta

    hubungan antara fenomena yang diselidiki.

    2. Ruang lingkup Penelitian

    a. Obyek Penelitian

    Dalam penelitian ini, peneliti akan mencari dan mengumpulkan data tentang

    kiprah Jaringan Gusdurian Dalam Mengatasi Intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Untuk mendapatkan data, peneliti akan mengadakan penelitian di Jaringan Gusdurian

    Yogyakarta.

  • 36

    b. Defenisi konsep

    Defenisi konsep merupakan batasan-batasan dan istilah penting yang akan dijadikan

    pedoman dalam penelitian, sehingga arah dan tujuan dari penelitian tidak menyimpang.

    Adapun konsep yang dimaksud adalah

    1) Jaringan dan jaringan sosial

    Ikatan antara orang atau kelompok yang dihubungkan dengan hubungan

    sosial. Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan

    oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. Seperti halnya sebuah jaring yang tidak

    putus, kerja yang terjalin antara kelompok itu pasti kuat menahan beban bersama.

    Dalam kerja jaringan itu ada ikatan yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah jika satu

    simpul putus maka keseluruhan jaring tidak dapat berfungsi lagi, sampai simpul itu

    diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat. Simpul tidak

    dapat dipisahkan, atau antara orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan. Menjadi

    anggota suatu jaringan sosial itu berupa sekumpulan dari orang yang mewakili titik-titik,

    jadi tidak harus satu titik diwakili dengan satu orang, misalnya organisasi, instansi,

    pemerintah atau negara.

    2) Gerakan

    Suatu bentuk perilaku kolektif ditemukan adanya tujuan dan kepentingan yang

    sama. Gerakan ditandai oleh tujuan jangka panjang. Kerjasama dan berbaur dengan

    sekitarnya akan tercipta gerakan yang besar dan terarah, sehingga mampu meningkatkan

    jejaring komunikasi dan kerjasama, mampu membawa perubahan pada segi-segi

    kehidupan manusia.

  • 37

    3) Jaringan Gusdurian

    Jaringan gusdurian adalah individu, komunitas/forum lokal, dan organisasi yang

    merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur. Karena

    bersifat jejaring kerja. Jaringan gusdurian memfokuskan sinergi kerja non politik praktis

    pada dimensi-dimensi yang telah ditekuni Gus Dur, meliputi 4 dimensi besar: Islam dan

    Keimanan, Kultural, Negara, dan Kemanusiaan. Gusdurian memiliki gagasan dasar

    berupa sembilan nilai utama Gus Dur yang terdiri dari ketauhidan, kemanusiaan,

    keadilan, kesetaraan, pembebasan kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan

    kearifan lokal.

    4) Toleransi dan Intoleransi

    Intoleransi adalah ketidak-mampuan menahan diri, tidak suka kepada orang lain,

    sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan sengaja

    mengganggu orang lain. Keinginan kelompok-kelompok tertentu untuk menyamakan

    keberagaman yang sudah tercipta dalam sejarah Indonesia. Intoleransi tercipta karena

    ketidak pedulian satu dengan yang lain. Melalui kerja sama sosial masyarakat, rasa

    saling ketergantungan, rasa keakraban dan persaudaraan serta rasa saling hormat antar

    umat beragama dapat dipupuk dengan baik, sehingga terwujud pula sikap toleransi.

    c. Defenisi Operasional

    Defenisi operasional menurut Masrin Singarimbun dan Sofyan Efendi (1989:46)

    adalah suatu unsur yang sangat membantu komunikasi antara peneliti yang menciptakan

    pentunjuk bagaimana variabel dengan membaca defenisi dalam suatu penelitian, sehingga

    dapat mengetahui baik buruknya pengukuran tersebut. Intoleransi merupakan konflik,

  • 38

    namun dalam penyelesaiannya Jaringan Gusdurian Yogyakarta menggunakan teori stuktur

    fungsioanal dan teori jaringan.

    Dengan demikian maka defenisi operasional Gerakan Jaringan Gusdurian dalam mengatasi

    intoleransi adalah:

    a) Aktifitas Jaringan Gusdurian mencegah intoleransi.

    b) Kegiatan yang dilakukan pasca kejadian intoleransi.

    c) Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan.

    d) Membangun kerjasama dengan organisasi, institusi.

    e) Kesulitan dan tantangan yang dihadapi Jaringan Gusdurian Yogyakarta.

    d. Subyek Penelitian

    Subyek penelitian menurut Suharsimi Arikunto (1998:2) “adalah subyek yang dituju

    untuk diteliti oleh peneliti”. Di dalam penelitian kualitatif, subyek penelitian dikatakan

    sebagai informasi yaitu orang yang memberi informasi, subyek penelitian yang peneliti

    lakukan tidak terlepas dari jenis data primer ini yang menjadi subyek penelitian. Demi

    mempermudah memperoleh data dan sesuai kebutuhan yang diperlukan, maka objek

    penelitian harus dibatasi, dengan kata lain jumlah informan yang dibutuhkan ditentukan

    jumlahnya sehingga dapat menggambarkan seluruh pokok persoalan yang diteliti.

    Presidium di Jaringan Gusdurian berjumlah tiga orang. Presidium dibagi menjadi tiga

    presidium satu mengkoordinir semua kegiatan internal, presidium dua mengkoordinir

    semua kegiatan eksternal dan presidium tiga mengkoordinir personalia Jaringan Gusdurian.

    Presidium dua dan tiga tidak bekerja sendiri, presidium internal berkoordinasi dengan

    anggotanya bekerjasama melaksanakan kegiatan internal Gusdurian. Demikian juga

    presium eksternal berkoordinasi dengan anggotanya untuk menyelenggarakan kegiatan

  • 39

    eksternal, termaksud dengan jejaring Gusdurian. Banyaknya Informan yang diteliti antara

    lain:

    a. Presidium Jaringan Gusdurian : 3 orang

    b. Bagian internal : 4 orang

    c. Bagian eksternal : 3 orang

    d. Lintas agama : 6 orang

    Total : 16 orang

    e. Lokasi penelitian

    Lokasi penelitian merupakan tempat seorang peneliti melakukan penelitian. Lokasi

    penelitian tentunya tidak di selenggarakan di sembarang tempat melainkan di tempat yang

    sudah di tentukan yaitu berlokasi di Jaringan Gusdurian Yogyakarta Jl.Sorowajan, Rt.08,

    Jaranan, Kec. Banguntapan, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

    3. Tenik Pengumpulan Data

    Untuk menyediakan data-data yang di perlukan dalam penelitian ini, data-data

    dikumpulkan melalui beberapa tehnik, masing-masing teknik pengumpulan data bersifat

    saling melengkapi satu sama lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

    Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

    a. Teknik Observasi

    Hadari nawawi (1983: 100) observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang

    dilakukan dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi disekitar kita, tujuan penelitian

    dengan menggunakan alat indera dan langsung ketempat penelitian yang diharapkan.

  • 40

    Observasi terus terang atau tersamar, dalam hal ini peneliti dalam pengumpulan data

    menyatakan terus terang pada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian.

    (Sugiyono, 2015:312). Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan melihat langsung

    Gerakan Jaringan Gusdurian dalam mengatasi intoleransi juga terlibat dalam kegiatan yang

    diadakan oleh Gusdurian. Observasi dilakukan tanggal 5 -27 Februari 2020.

    b. Teknik Wawancara

    Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh

    dua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

    memberikan jawabannya atas pertanyaan yang diajukan. (Moeleong, 2017;186). Peneliti

    melakukan wawancara sebagai petunjuk agar memiliki fokus dalam penelitian.Wawancara

    digunakan untuk membina kedekatan dengan informen, melalui dialog dengan organisasi

    atau institusi yang bekerjasama dengan Jaringan Gusdurian. Terkait Gerakan jaringan

    gusdurian dalam mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    c. Teknik Dokumentasi

    Menurut Irwan (2002) dokumen adalah satu metode pengumpulan data tidak

    langsung ditujukan pada subyek peneliti, dokumen yang diteliti tidak hanya dokumen resmi

    bisa berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen

    merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian

    kualitatif. Oleh karena itu hasilnya lebih kredibel udapat dipercaya kalau didukung oleh

    dokumen ( Sugiyono, 2015:329).

  • 41

    d. Teknik Analis Data

    Dalam penelitian ini penyusun menggunakan teknik analisis data yang bersifat

    kualitatif. Menurut Moleong (2001:3) mengutip Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa

    penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

    tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sehingga dalam penelitian

    ini untuk menganalisa data penyusun menggunakan taknik analisis data kualitatif yaitu

    dengan menggunakan kata-kata melalui proses berpikir secara logis dan sistematis. Adapun

    teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknis analisis data dari

    Miles dan Huberman, yaitu:

    1. Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini pengumpulan data melalui hasil observasi, wawancara dan

    dokumentasi yang terkait dengan Gerakan Jaringan Gusdurian Dalam mengatasi intoleransi

    Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

    2. Reduksi data

    Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan pada

    hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi

    akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan

    pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila perlu (Sugiyono, 2017:338).

  • 42

    3. Penyajian data

    Display data memudahkan memudahkan memahami apa yang terjadi, merencanakan

    kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnya disarankan

    dalam melakukan display data, selain dengan teks naftif, dapat berupa grafik, matrik,

    network dan Chart (Sugiyono, 2017: 341). Penarikan kesimpulan pada tahap ini bersifat

    sementara, dan akan berubah jika ditemukan bukti-bukti yang kuat. Tetapi apabila

    kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan

    konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang

    dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2017:345).

  • 43

    BAB II

    DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

    A. Profil Kecamatan Banguntapan

    Desa Banguntapan terletak di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Propinsi Daerah

    Istimewa Yogyakarta. Desa Banguntapan terletak pada ketinggian 100 M diatas permukaan

    laut, dan pada arah utara dari pusat kota kabupaten Bantul. Luas wilayah Desa

    Banguntapan 819,33 Ha. Jarak Desa Banguntapan dengan pusat Kabupaten Bantul kurang

    lebih 10 km dan jarak dengan Ibu Kota Provinsi adalah 5 km. Letak Desa Banguntapan 1,5

    km ke arah barat laut dari pusat Kecamatan Banguntapan.

  • 44

    Gambar II.1 Peta Kecamatan Banguntapan

  • 45

    Secara administratif Desa Banguntapan di batasi oleh :

    a. Sebelah Utara : Desa Caturtunggal

    b. Sebelah Timur : Desa Baturetno

    c. Sebelah Selatan : Desa Wirokerten.

    d. Sebelah Barat : Kota Yogyakarta.

    Dengan orbitrasi (Jarak dari pusat pemerintahan) sebagai berikut:

    1.)Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 1,5 KM

    2.)Jarak dari Ibukota Kabupaten : 10 KM

    3.)Jarak dari Ibukota Provinsi : 5 KM

    B. Keadaan Demografi Desa Banguntapan

    Desa Banguntapan memiliki penduduk sebanyak 43.713 Jiwa, 9.667 KK, yang

    terdiri atas 21.890 Jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 21.827 jiwa penduduk

    berjenis kelamin perempuan, yang terdiri, dengan jumlah usia 0-15 berjumlah 7.903 jiwa,

    usia 16-65 berjumlah 33.409 Jiwa jiwa, usia 65 keatas 2.401 jiwa.

  • 46

    1.) Untuk bisa mengetahui rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

    diagram berikut:

    Gambar II.2 rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin

    Sumber monografi 2018

    Dari diagram di atas penduduk perempuan memiliki jumlah lebih banyak dari laki-

    laki. Dilihat dari angka diagram di atas, angka dari jumlah penduduk perempuan dan laki-

    laki tidak jauh berbeda. Namun lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.

  • 47

    2) Untuk mengetahui jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada diagram

    berikut:

    Gambar II.3 jumlah penduduk berdasarkan umur

    Sumber: monografi 2018

    Dari diagram di atas dapat disimpulkan penduduk berusia 15-65 tahun berada

    diposisi teratas dengan jumlah 33.409. Penduduk berusia 0-15 tahun berada diposisi kedua

    dengan jumlah 7.903 dan penduduk berusia 65 keatas berjumlah 2.401.

  • 48

    3) Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dapat diamati dari diagram berikut

    Gambar II.4 jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian

    Sumber: monografi 2018

    Dari diagram di atas wiraswasta / pedagang berjumlah 8.306 orang, pegawai swasta

    berjumlah 6987 orang, pekerjaan lainnya 4.630 orang, Pegawai Negeri Sipil berjumlah

    1.680 orang, jumlah pensiunan 1.207 orang, selain bekerja sebagai TNI/Polri 969 orang,

    351 orang bekerja sebagai tukang, 255 orang bekerja sebagai buruh tani, mata pencaharian

    sebagai pengrajin berjumlah 200 orang, bekerja dengan menawarkan jasa 135 orang, 65

    orang bekerja sebagai petani, 35 orang bekerja sebagai pekerja seni dan 26 orang lainnya

    sebagao peternak.

  • 49

    4) Tingkat pendidikan

    Gambar II.5 jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

    Sumber: monografi 2018

    Dari diagram di atas dapat dilihat penduduk dengantingkat pendidikan SMA/SMK

    berjumlah 11.919, jenjang pendidikan S1 berjumlah 5.525, penduduk dengan jenjang

    pendidikan Sekolah Dasar berjumlah 5.465, penduduk dengan jenjang pendidikan Sekolah

    Menengan Pertama berjumlah 4.665 orang, sedangkan tingkat Taman Kanak-Kanak

    berjumlah 3.400 orang, selain itu jenjang pendidikan keagamaan 239 orang, kursus

    keterampilan 137 orang dan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren 132 orang, selain

    itu 28 orang menempuh pendidikan di Sekolah Luar biasa.

  • 50

    5). Sarana peribadatan

    Gambar II.6 jumlah sarana peribadatan

    Sumber: monografi 2018

    Untuk melihat rasio sarana peribadan dari diagram di atas 58 sarana peribadatan

    masjid, 30 mushola dan 9 Gereja, 2 Pura dan Vihara tidak ada.

  • 51

    C. SEJARAH SINGKAT JARINGAN GUSDURIAN

    Peristiwa Kenteng menjadi pemantik organisasi yang mewadahi para pendukung

    Gus Dur. Para murid Gus Dur yang berkumpul di Jalan Taman Amir Hamzah, Menteng,

    Jakarta Pusat, mendiskusikan persoalan tersebut. Belakangan acara tersebut menjadi rutin

    dilakukan setiap jumat pertama. Mereka mengatur strategi advokasi kelompok marginal

    dan minoritas. Savic menuturkan peristiwa tersebut menumbuhkan kesadaran agar kami

    lebih sering bertemu. Namun Alissa masih gamang. Kejatuhan Gus Dur dari kursi

    kepresidenan pada 2001 masih melukai hatinya. Menjauh dari hiruk-pikuk politik, Alissa

    memilih menjadi psikolog dan mengelola lembaga pendidikan untuk anak usia dini

    bernama Fast Track di Yogyakarta serta menjalankan bisnis properti. Apalagi keluarga Gus

    Dur harus membayar gaji karyawan di Ciganjur, yang bertambah banyak sejak Gus Dur

    menjadi presiden “kami bukan keluarga kaya yang memiliki mesin ekonomi”. Di sisi lain,

    Alissa merasa bersalah jika “warisan” Gus Dur tentang merawat toleransi dan menghapus

    diskriminasi tak dilanjutkan. Para sahabat Gus Dur menggelar simposium pada November

    2011 untuk merumuskan nilai-nilai yang hendak diperjuangkan. Hasil diskusi dengan

    sejumlah tokoh, seperti sastrawan Martin Aleida dan mantan Jaksa Agung, Marsillam

    Simanjuntak, menghasilkan 38 prinsip. Belakangan jumlahnya diperas menjadi sembilan

    yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan,

    kesederhanaan, sikap ksatria, kearifan tradisi. Savic menjelaskan, salah satu nilai yang

    dipegang Gus Dur adalah pembelaan kepada mereka yang tertindas. Karena itulah Jaringan

    Gusdurian kerap berada di garis terdepan ketika kasus diskriminasi berbasis keagamaan

    meruak. Kini jaringan Gusdurian telah terbentuk di 130 kota di Indonesia termasuk Daerah

  • 52

    Istimewa Yogyakarta. Aktivis Jaringan Gusdurian juga masuk ke lembaga formal negara.

    Mantan Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suaedy menjadi anggota Ombudsman

    Repoblik Indonesia, Beka Ulung Hapsara, terpilih sebagai anggota Komisi Nasional Hak

    Asasi Manusia.” Tujuannya agar kerja-kerja Jaringan Gusdurian di akar rumput mendapat

    saluran secara struktural kenegaraan.

    D. LANDASAN JARINGAN GUSDURIAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

    Jaringan Gusdurian menghidupi nilai utama Gus Dur. Basis kerja jaringan

    Gusdurian 9 value Gus Dur yaitu:

    1. Ketauhidan

    Ketauhitan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha Ada, satu-

    satunya Dzat hakiki yang Maha Kasih, yang disebut dengan berbagai nama. Ketuhidan di

    dapatkan lebih dari sekadar diucapkan dan dilafalkan, tetapi juga disaksikan dan

    disingkapkan. Ketauhidan menghujam kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari

    segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya. Pandangan ketauhidan menjadi poros

    nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi agama.

    Ketauhidan yang bersifat Ilahi itu diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial,

    politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

  • 53

    2. Kemanusiaan

    Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk

    Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi.

    Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri

    manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan

    manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan

    manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan

    inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.

    3. Keadilan

    Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa

    dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan

    masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya

    harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang

    diperlakukan tidak adil, merupakan tanggungjawab moral kemanusiaan. Sepanjang

    hidupnya, Gus Dur rela dan mengambil tanggungjawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk

    menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

    4. Kesetaraan

    Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat

    yang sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil,

    hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam

    masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika

  • 54

    melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan, termasuk

    di dalamnya adalah kelompok minoritas dan kaum marjinal.

    5. Pembebasan

    Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki

    tanggungjawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, untuk melepaskan diri dari

    berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka,

    bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong

    dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan

    manusia lain.

    6. Kesederhanaan

    Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan perilaku hidup

    yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni

    sehingga menjadi jati diri. Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap

    berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek

    kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.

    7. Persaudaraan

    Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan,

    keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar

    untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan

    menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan

    terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.

  • 55

    8. Keksatriaan

    Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-

    nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan

    dilakukan dengan mencerminkan i