gerakan jaringan gusdurian yogyakarta ...repo.apmd.ac.id/1291/1/skripsi_serlly...
TRANSCRIPT
-
GERAKAN JARINGAN GUSDURIAN YOGYAKARTA DALAM MENGATASI
INTOLERANSI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jl. Sorowajan, RT.08, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Untuk Menyelesaikan Jenjang Strata Satu (S1)
Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta
DISUSUN OLEH :
SERLLY AKWILA
NIM : 16510001
PROGRAM STUDI ILMU SOSIATRI/PEMBANGUNAN SOSIAL
JENJANG PROGRAM STRATA 1
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2020
i
-
MOTTO
“Ia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil”
(Yohanes 3:30)
“Aku akan tetap setia kepada Tuhan dan akan tetap bertekun dalam Cintakasih-Nya sampai
mati”
(Elisabeth Gruyters)
“Mengapa harus mencari perbedaan mengapa tidak mencari persamaan”
(Gus Dur)
“Berbeda itu pilihan, memaknai perbedaan itu indah”
(Koleksi pribadi)
iii
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan, yang telah melimpahkan kasih dan pendampingan-Nya,
sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal dengan judul “ Gerakan Jaringan
Gusdurian Yogyakarta Dalam Mengatasi Intoleransi Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian skripsi ini dimaksud kan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh
gelar kesarjanaan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta
Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial.
Skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan berbagai pihak, berupa bimbingan,
arahan, nasehat, maupun dorongan moral yang mendukung kesempurnaan penelitian.
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu secara langsung
maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Dr.H. Sutoro Eko Yunanto, M.Si. selaku Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
2. Drs. Oktarina Albizzia, M. Si. Selaku Kaprodi Program Studi Ilmu Sosiatri.
3. Drs. A. Y. Oelin Marliyantoro, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, fikiran, tenaga, untuk membimbing dan mengarahkan peneliti
sehingga dapat terselesaikan proposal ini.
4. Bapak /ibu dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa”APMD”
Yogyakarta, Program Studi Ilmu Sosiatri/Pembangunan Sosial yang telah
memberikan materi kuliah kepada peneliti.
iv
-
5. Suster Yustiana Wiwik Iswanti, CB Pemimpin Provinsi Indonesia dan anggota
Dewan Pimpinan Provinsi yang telah memberi kesempatan kepada peneliti untuk
Studi di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa”APMD” Yogyakarta.
6. Suster Marie Yose, CB.,SH.,MH ketua Yayasan Tarakanita Pusat, Jakarta yang
telah memberikan dukungan lewat beasiswa pendidikan kepada peneliti.
7. Suster Felisita Muryanti CB S.Pd, Kepala Kantor Yayasan Tarakanita Wilayah
Yogyakarta yang telah memberikan beasiswa selama studi di Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
8. Saudara Muhammad Bakhru Thohir Presidium Jaringan Gusdurian Daerah
Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
mengadakan penelitian skripsi di Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta.
9. Suster Magdelin Winarti, CB dan Para suster Komunitas Pakuningratan yang telah
mendukung memberi semangat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi
10. Suster Agnetta CB dan teman-teman asrama SMA stella Duce 1 Supadi yang
mendukung, mendoakan dan memberi semangat kepada peneliti dalam
menyelesaikan skripsi.
11. Suster Felisita CB dan Para suster Komunitas Maria Regina Samirono yang telah
mendukung peneliti selama studi.
12. Suster Bibiana dan teman-teman asrama SMA Stella Duce 1 Samirono yang
memberikan dukungan kepada peneliti selama studi.
v
-
13. Teman-teman Sosiatri 2016 yang memberi semangat dan masukan dalam penelitian
skripsi.
14. Teman-teman KKN 52 kelompok 12 Dusun Cempluk.
Yogyakarta, April 2020
Penyusun
Serlly Akwila
vi
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………….…......i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………………ii
HALAMAN MOTTO …………………………………………………………….………..iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….………….....iv
DAFTAR ISI ………………………………………….…………………………...............vii
DAFTAR TABEL ……………………….……………………………………………….....x
DAFTAR GAMBAR ….…………………………………………………………………...xi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ….………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...10
C. Tujuan dan Manfaat……….…………………………………………….……..10
D. Kerangka Teori
1. Pengertian konflik………………….……………….………………….11
2. Teori fungsional……….……….……………………………………....20
3. Jaringan dan jaringan sosial……………………………………............24
vii
-
4. Toleransi dan Intoleransi……………………………………….............27
5. Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta ………………….....32
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian……………………………………………………………..35
2. Ruang Lingkup Penelitian
a. Obyek Penelitian ……………………………………………………....35
b. Definisi Konsep ………………………………………………………..36
c. Definisi Operasional …………………………………………………...37
d. Subjek Penelitian………………………………………………………..38
e. Lokasi penelitian…………………………………………………….......39
3. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………...39
a. Teknik Observasi ………………………………………………….......39
b. Teknik Wawancara ……………………………………………………40
c. Teknik Dokumentasi…………………………………………………...40
d. Teknik analisis Data…………………………………………………....41
viii
-
BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
A. Profil Kecamatan Banguntapan…………………………………………………….43
B. Keadaan Demografi Desa Banguntapan ……………………..................................45
1. Rasio Penduduk Berdasarkan jenis kelamin……………………………........46
2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur…………………………………..........47
3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian…………………..............48
4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan…………………….......49
5. Sarana Peribadatan……………………………………..…………………….50
C. Sejarah Singkat Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta…………………51
D. Landasan Jaringan Gusdurian…………………………..…………………………....52
E. Dinamika Jaringan Gusdurian Yogyakarta……………….………………………….56
F. Stuktur Kepengurusan Jaringan Gusdurian dan Struktur Kerja Jaringan Gusdurian
Daerah Istimewa Yogyakarta………………………………………………………..57
BAB III ANALISIS DATA
A. Deskripsi Informan ………………………………………………………………...61
B. Analisis Data……………………………………………………………………….64
a. Aktifitas Jaringan Gusdurian Yogyakarta dalam mengatasi intoleransi…….....64
b. Gerakan Jaringan Gusdurian Yogyakarta pasca kejadian intoleransi ………....67
ix
-
c. Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencegah intoleransi di
Yogyakarta…………………………………………………………………......70
d. Membangun kerjasama organisasi, institusi…………………………..…….....72
e. Kesulitan dan tantangan yang dihadapi Jaringan Gusdurian dalam mengatasi
intoleransi………………………………………………………………………74
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ….…………………………………………………………………….78
B. Saran ……………………………………………………………………………….80
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PERTANYAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
-
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Jumlah tempat ibadah dan jumlah pemeluk agama di Kota Yogyakarta……........4
Tabel I.2 Peristiwa Pelanggaran Kebebasan Beragama di kota Yogyakarta……………......6
Tabel II.1 Struktur kepengurusan Jaringan Gusdurian…………………………………….57
Tabel II.1 Program penguatan Jaringan Gusdurian…………………………………….......58
Tabel III.1 Diskripsi identitas informan Jaringan Gusdurian Yogyakarta ………………...62
Tabel III.2 Deskripsi Identitas Informan Lintas Iman………………………......................63
xi
-
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Peta kecamatan Banguntapan...……………………………………………....44
Gambar II.2 Diagram rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin…………………………46
Gambar II.3 Diagram jumlah penduduk berdasarkan umur……………………………......47
Gambar II.4 Diagram jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian…………………..48
Gambar II.5 Diagram jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan………………....49
Gambar II.6 Diagram jumlah tempat peribadatan...………………………………………..50
Gambar II.7 Struktur Pengurus Jaringan Gusdurian Yogyakarta..………………………...57
Gambar II.8 Program penguatan Jaringan Gusdurian Yogyakarta..……………………….58
xii
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara plural, dengan kerberagamaan suku, bahasa, budaya,
adat istiadat, agama. Keanekaragaman merupakan anugerah dari Tuhan, untuk selalu
disyukuri dan dijaga kelestariannya. Keberagaman dapat menciptakan tali persaudaraan,
saling melengkapi demi kemajuan negeri. Memasuki abad 21, diberbagai daerah di
Indonesia mengalami masalah, seperti banyak umat beragama minoritas mengalami
kesulitan hidup ditengah kehidupan mayoritas umat agama lain. Hal tersebut muncul
karena, perbedaan pemahaman dan memudarnya toleransi diantara warga masyarakat.
Departemen Dokpen KWI (2019:3-5) Dalam Konferensi Global pada 4 Februari
2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed Al-
Tayyeb, telah menandatangani “The Documenton Human Fraternity for World Peace and
Living Together”. Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani oleh Paus dan Imam Besar
Al-Azhar ini merupakan peta jalan berharga untuk membangun perdamaian dan
menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama, dan berisi beberapa panduan yang
harus disebarluaskan ke seluruh dunia.
Iman menuntun orang beriman untuk memandang dalam diri sesamanya seorang
saudara lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi. Melalui iman pada Allah, yang
telah menciptakan alam semesta, ciptaan dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-
Nya), umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia ini dengan
melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama
-
2
mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan. Kami juga mempertimbangkan
tingkat kemiskinan, konflik dan penderitaan begitu banyak saudara dan saudari di berbagai
belahan dunia sebagai akibat dari perlombaan senjata, ketidakadilan sosial, korupsi,
ketimpangan, kemerosotan moral, terorisme, diskriminasi, ekstremisme, dan banyak sebab
lainnya.
Dalam nama Tuhan, yang telah menciptakan seluruh manusia yang setara dalam
hak, kewajiban, dan martabat, dan yang telah dipanggil untuk hidup bersama sebagai
saudara dan saudari, untuk memenuhi bumi dan untuk mengenali nilai-nilai kebaikan, cinta,
dan kedamaian atas nama hidup manusia yang tidak bersalah, yang telah dilarang Allah
untuk dibunuh, dengan menegaskan bahwa siapa pun yang membunuh seseorang, orang itu
bagaikan seseorang yang membunuh seluruh umat manusia, dan siapa pun yang
menyelamatkan seseorang, orang itu bagaikan seseorang yang menyelamatkan seluruh
umat manusia, kebebasan adalah hak setiap orang
Setiap individu menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi dan
bertindak. Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa
dikehendaki Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya, yang melaluinya Ia menciptakan umat
manusia. Kebijaksanaan ilahi ini adalah sumber dari mana hak atas kebebasan
berkeyakinan dan kebebasan untuk menjadi berbeda berasal. Oleh karena itu, fakta bahwa
orang dipaksa untuk mengikuti agama atau budaya tertentu harus ditolak, demikian juga
pemaksaan cara hidup budaya yang tidak diterima orang lain.
Dalam Mega Hidayat (2008:81) Sering dikatakatan keberagaman budaya, etnis, dan
agama di Indonesia adalah kekayaan paling berharga. Masalahnya keberagaman
mengandung bahaya konflik yang rawan, menghancurkan masa depan bangsa Indonesia.
-
3
Oleh karena itu, kita perlu belajar bagaimana berkomunikasi dengan benar, supaya jurang
diantara kita dapat dijembatani. Perbedaan diantara kita tidak bisa dan tidak perlu
dihilangkan. Tetapi, kita dapat belajar bahwa pada saat matahari terbenam, cakrawala dari
pendekatan tidak kalah indahnya dari pandangan kita. Indonesia sejak kelahirannya telah
terdiri dari masyarakat yang beragam. Namun kenyataannya tidak semua pihak dapat
memahami situasi tersebut, ada individu atau kelompok yang ingin menyeragamkan
keberagaman masyarakat Indonesia. Isu-isu yang sering terjadi, keinginan kelompok
tertentu untuk menyeragamkan agama yang ada di Indonesia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Istimewa Yogyakarta ( 2017-
2022 :90-91) Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki image sebagai kota pendidikan, kota
budaya, kota pariwisata, kota religius, kota perjuangan. Hal tersebut tercermin dari aneka
ragam agama dan pemeluknya yang ada wilayah kota Yogyakarta.
-
4
Tabel 1.1
Jumlah tempat ibadah dan jumlah pemeluk agama di Kota Yogyakarta Tahun 2012-2016
No Uraian Satuan 2012 2013 2014 2015 2016 Pertumbuhan rata-rata(%/ tahun)
1. JumlahTempatIbadah
Unit 961 1.015 1.033 1039 1032 1,82
a. Masjid Unit 906 958 979 979 979 3,97
b. Gerejaprotestan
Unit 41 41 41 41 41,32 0,00
c. GerejaKatolik
Unit 9 9 9 9 9 0,00
d. Pura Unit 1 1 1 1 1 0,00
e. Vihara Unit 6 7 5 7 7 -5,95
Jumlah Pemeluk Agama jiwaa. Islam Jiwa 351.873 335.389 344.995 335.389 339.087 -0,88
b. Kristen Jiwa 31.193 26.478 26.995 26.478 26.457 -3.79
c. Katolik Jiwa 46.195 43.196 40.638 42. 691 42.472 -1,97
d. Hindu Jiwa 803 552 565 552 538 -8,53
e. Budha Jiwa 2.155 1.366 1.362 1.366 1.307 -10,23
Sumber SIPD Numerik 2016
-
5
Dari tabel di atas jumlah tempat ibadah dengan jumlah paling banyak dan mengalami
peningkatan setiap tahun adalah masjid, hingga tahun 2013 sebanyak 958 unit Masjid
sedangkan jumlah gereja Kristen dan Katolik cenderung tetap dalam kurun waktu tahun
2010 hingga 2015, demikian juga dengan jumlah Pura dan Vihara. Dari keberagaman yang
ada muncul ketidak seimbang antara pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Budha. Daerah Istimewa Yogyakarta didominasi oleh agama Islam, dengan kata lain
penduduk Yogyakarta mayoritas beragama Islam. Adanya mayoritas dan minoritas tak
jarang menimbulkan konflik antara satu dengan yang lain. Beberapa kasus Intoleransi di
Daerah istimewa Yogyakarata.
-
6
Tabel 1.2 Daftar Peristiwa Pelanggaran Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di kota Yogyakarta
Peristiwa Tahun Kota/kabupaten
1. Penolakan Camat Pajangan Yulius Suhartodi kabupaten Bantul karena non muslim.
2. Pembatalan Acara Kebaktian NasionalReformasi 500 tahun Gereja Tuhan olehStephen Thong Evangelitik(STEMI) karenapenolakan dari ormas islam dengan tuduhankristenisasi.
2017
Bantul
Yogyakarta
1. Pembubaran dan perusakan sedekah laut diPandansimo Bantul
2. Pemotongan nisan salib milik AlbertusSlamet Sugihardi di kelurahan Purbayan,Kotagede
3. Penolakan bakti sosial panitia GerejaSanto Paulus Pringolayan BanguntapanBantul oleh Fron Jihad Islam
4. Penyerangan Gereja Santa Lidwina
2018
Bantul
Yogyakarta
Bantul
Sleman1. Polisi dan warga membubarkan upacara
peringatan wafatnya Ki Ageng Mangir didusun Mingir Lor Pajangan Bantul
2. Penolakan Gereja Pentekosta ImmanuelSedayu Bantul dan penjabutan pendiriangereja oleh Bupati Bantul Suharsosno
3. Kepala sekolah negeri Karangtengah IIIKabupaten Gunungkidul mengeluarkan suratedaran yang berisi kewajiban siswa-siswimengenakan seragam Muslim
2019
Bantul
Bantul
Gunung kidul
Tempo Jumat, 15 November 2019 06:30 WIB
-
7
Melalui IDN Times 30 Februari 2018, Jaringan Gusdurian memandang bahwa
kasus-kasus tersebut tidak berdiri sendiri. Semua terangkai dalam satu gelombang
peningkatan kekerasan yang harus diwaspadai dan direspon dengan tindakan yang tepat.
Pernyataan sikap Jaringan Gusdurian terhadap tindakan intoleransi:
1. Mengecam keras aksi intoleransi, berupa kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan
kepada pemeluk agama apapun. Hak merasa aman dan hak untuk beribadah adalah hak
dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia, karena itu pelanggaran terhadap hak-hak
tersebut tidak dapat diterima.
2. Mendesak kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas tidak hanya
pelaku intoleransi, namun juga otak di balik peningkatan aksi kekerasan ini, sesuai
dengan instrumen hukum yang berlaku. Keberhasilan penanganan jaringan terorisme
menunjukan kapasitas Kepolisian yang tinggi dan menjadi aset untuk menuntaskan
eskalasi tindak kekerasan dan intoleransi.
3. Mendesak Aparat Penegak Hukum, utamanya Kepolisian Republik Indonesia, untuk
memusatkan kebijakanya pada penegakan hak konstitusi warga negara dan karenanya
tidak ragu dan tidak takut, kepada siapapun dan kelompok manapun yang melakukan
kekerasan serta melanggar hak-hak tersebut.
4. Mendesak Pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat Kabupaten/Kota untuk
mengembangkan respons yang komprehensif untuk mengelola persoalan ini, terutama
dikaitkan dengan dinamika politik di tahun 2018-2019 ini. Situasi ini dapat dikelola
dengan pendekatan kasus perkasus, namun perlu diketahui dan direspon secara
menyeluruh.
-
8
5. Mendesak insan politik Indonesia, baik partai politik, politisi, maupun konsultan
politik; untuk tidak menggadaikan masa depan bangsa demi kepentingan kekuasaan
jangka pendek dengan menggunakan sentimen agama. Komitmen terhadap nilai dasar
dan keberlangsungan bangsa, haruslah menjadi nilai tertinggi yang tidak dicerai
dengan praktik politik popularisme agama.
6. Mengajak para pemuka agama untuk mengambil kepemimpinan aktif dalam
memperkuat tali persaudaraan sebangsa kelompok-kelompok umat agama, terutama di
tingkat akar rumput; bahu membahu menjaga bangsa ini tetap pada nilai-nilai
kebergaman dalam persatuan.
7. Mengajak masyarakat untuk dapat menyikapi persoalan ini dengan bijak, tidak mudah
terprovokasi oleh sentimen-sentimen kebencian dan permusuhan, namun secara aktif
bertindak dan tidak diam saat terjadi ketidakadilan dan penindasan.
Tunas (2018:56) Jaringan Gusdurian meyakini bahwa bangsa Indonesia
memiliki kearifan yang telah mengakar dan mengikat bangsa Indonesia selama ini yaitu
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan dan peradaban, persatuan, permusyawaratan,
serta keadilan sosial dalam Pancasila. Terkikisnya nilai-nilai tersebut, masyarakat menjadi
korban dengan banjirnya gagasan kebencian kepada kelompok yang berbeda, baik mereka
yang melawan dalam diam maupun pelaku tindak intoleransi. Semua adalah korban paham
yang mengajarkan kebencian dan permusuhan, dengan mengebiri nilai-nilai kebersamaan
dan persatuan dalam keberagaman, masyarakat Indonesia menghadapi tantangan serius
akibat menyempitnya ruang toleransi. Ruang-ruang sosial yang dahulu bisa menjadi
perjumpaan sosial untuk membangun kehidupan damai, tiba-tiba dipersoalkan dan digugat.
-
9
Akibatnya sering terjadi konflik dan ketegangan dalam masyarakat karena
perbedaan orientasi keagamaan, persaingan kepentingan keagamaan dan sebagainya.
Berbagai tindak kekerasan terhadap kelompok lain, pengusiran, persekusi adalah fenomena
menyempitnya ruang toleransi. Jika penyempitan toleransi dibiarkan berkembang klaim
Indonesia sebagai negara moderat akan semakin dipertanyakan orang. Moderat dan
toleransi adalah dua hal yang berjalan seiring. Hal yang perlu diwaspadai adalah
penyempitan ruang toleransi berbalut dengan pesta demokrasi baik PILKADA, Pileg
maupun Pilpres yang menggunakan identitas SARA sebagai pembelaan masyarakat,
politisasi SARA menjadi ancaman serius jika dibiarkan berkembang.
Jaringan Gusdurian mengarisbawahi bahwa sikap kebencian dan permusuhan
kepada kelompok lain sudah sangat mengkhawatirkan, sebagaimana dicatat berbagai
penelitian dan survei dari berbagai lembaga dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Salah
satu alasan meningkatnya kasus kekerasan dalam isu agama karena kasus-kasus intoleransi
tidak pernah diselesaikan secara tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku. Berdasarkan
latar belakang tersebut, peneliti ingin memberikan sumbangan pemikiran melalui penelitian
yang berjudul Gerakan Jaringan Gusdurian dalam mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
-
10
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, peneliti
merumuskan permasalahan sebagai berikut’’Bagaimana Gerakan Jaringan Gusdurian
Yogyakarta Dalam Mengatasi Intoleransi Di Daerah Istimewa Yogyakarta?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini untuk:
a. Mendeskripsikan Gerakan Jaringan Gusdurian Yogyakarta dalam mengatasi
Intoleransi Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Mengetahui kendala yang dihadapi Jaringan Gusdurian Yogyakarta dalam
mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa Yogkarta.
2. Manfaat
a. Manfaat Akademik
Secara akademik hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan
Ilmu Sosiatri, khususnya tentang Pluralisme.
b. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk memperkuat,
menyempurnakan kebijakan dan langkah konkret organisasi atau Jaringan
Gusdurian Yogyakarta dalam mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa
Yogyakarta memberikan informasi dan gambaran pada masyarakat umum dan
semua pihak yang berkepentingan khusus.
-
11
D. KERANGKA TEORI
Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1989:46) dalam buku
Metode Penelitian Sosial mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak,
defenisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
cara merumuskan hubungan antar konsep. Teori ini menjadi landasan agar penelitian
memiliki dasar yang kokoh. Adapun yang menjadi kerangka teori dari penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Pengertian Konflik
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip (2011:342) Konflik merupakan gejala sosial yang serba
hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan
senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam
pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi
yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala
yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik
dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap
kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari
unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik
ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat
diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan.
Irving M. Zeitlin, (1998:156) Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung
suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik
kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
-
12
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan
terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan
dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005:587), Konflik
artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan.
Soerjono Soekanto, (1993:99), Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar
anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses
pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan
nilai yang berlaku.
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, ( 2005: 68) Dalam pengertian lain, konflik
adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang
atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Menurut Robert lawang (1994:54) konflik diartikan sebagai perjuangan untuk
memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana
tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk
menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-
sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat
dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang
dengan ancaman kekerasan.
-
13
a. Bentuk-bentuk Konflik
Menurut Robert H. Lauer, (2001:98) Secara garis besar berbagai konflik dalam
masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :
Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik
konstruktif.
a) Konflik Destruktif
Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan
dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi
bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti
konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.
b) Konflik Konstruktif
Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan
pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini
akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan
suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.
b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik
Menurut Kusnadi (2002:67) Secara garis besar berdasarkan pelaku yang berkonflik
dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :
a) Konflik Vertikal
Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang
memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam
sebuah kantor.
-
14
b) Konflik Horizontal
Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki
kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
c) Diagonal
Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya
keseluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya
konflik yang terjadi di Aceh.
Soerjono Soekanto (1992:86) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
a) Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau
lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
b) Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan
ras.
c) Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi
disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
d) Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan
atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
e) Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi
karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.
Sementara itu, Ralf Dahrendorf (2011:102) mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan
atas empat macam, yaitu sebagai berikut :
a) Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik
peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-
harapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
-
15
b) Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
c) Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.
d) Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau
organisasi internasional.
c. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, ( 2011: 361), para sosiolog berpendapat bahwa
akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya
adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang
jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.
Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap
sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak
tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset
sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset
sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang
cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang
berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana
penyebab konflik dibagi dua, yaitu:
a) Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara
kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan
pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri,
militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-
kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai
karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin
-
16
mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya
seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik
yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
b) Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan
kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan
konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian
besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki
kekuasaan dan kewenangan.
Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik
sosial. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, (2005: 68). Namun beberapa sosiolog
menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik, diantaranya
yaitu:
a) Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar
individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian,
dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini
tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk
pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui. Di
dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama
sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi
timbulnya konflik sosial.
b) Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan
tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan
-
17
pola-pola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak
kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya
sikap etnosentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa
kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam
kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu
timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
c) Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-
beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan
kesempatan dan sarana. Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya
tersebut di atas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian
perubahan-perubahan sosial itu secara tidak langsung dapat di lihat sebagai penyebab
juga terjadinya (peningkatan) konflik-konflik sosial. Perubahan-perubahan sosial yang
cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku
di dalam masyarakat. Dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat ini akan
menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian dalam masyarakat.
d. Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat
Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu
proses yang bersifat dissosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung dengan
keras dan tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-akibat yang
positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi misalnya, jelas
akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran yang kurang terkaji secara benar akan tersisih.
Positif atau tidaknya akibat konflik-konflik memang tergantung dari persoalan yang
dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang
-
18
berlangsungnya konflik. Oleh karena itu ada dua dampak dari adanya konflik terhadap
masyarakat yaitu:
a) Dampak positif dari adanya konflik
Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. Apabila terjadi
pertentangan antara kelompok-kelompok, solidaritas antar anggota di dalam masing-masing
kelompok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada
situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik
dengan pihak-pihak luar. Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga
masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam
masyarakat. J. Dwi Narwako dan Bagong Suryanto (2005:68).
b) Dampak negatif dari adanya konflik
Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan
menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah kesatuan kelompok tersebut akan
mengalami kehancuran. Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam
suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang
semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah
marah, lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan. Hancurnya nilai-nilai
dan norma sosial yang ada. Antara nilainilai dan norma sosial dengan konflik terdapat
hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada
hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan anggota masyarakat akibat
dari konflik J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2015:378).
-
19
e. Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik
Soetomo (1995:77) Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial
yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan
(dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya
nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses
sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial,
seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan
sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang
dissosiatif disebut proses negatif.
Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan
sebagai usaha menyelesaikan konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim
dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), détente. Urutan ini
berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak
formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama membawa hasil.
(Soetomo 1995:77).
Menurut Nasikun (2003:22) bentuk-bentuk pengendalian konflik ada empat yaitu:
a.) Konsiliasi (conciliation)
Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan
diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka
pertentangkan.
-
20
b.) Mediasi (mediation)
Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa
bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka
sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.
c.) Arbitrasi
fBerasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim
(arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi.
Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,
artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima
keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi
pengadilan nasional yang tertinggi.
d.) Perwasitan
Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk
memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
diantara mereka.
2. Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton
Teori Fungsionalisme struktural menekakan pada keteraturan (order) dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut teori ini,
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen atau bagian-
bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dalam perspektif
Fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai jaringan kelompok yang bekerja sama secara
terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat aturan
dan nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat. Teori ini beranggapan bahwa semua
-
21
peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian
seperti halnya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan kemiskinan
“diperlukan” dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan dan
kalaupun terjadi suatu konflik maka penganut teori ini memusatkan perhatian kepada
masalah bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut agar masyarakat kembali menuju
suatu keseimbangan. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu
kecenderungan kearah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan
sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sosiologi, ( 1992: 18), Perubahan sosial
mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi
keseimbangan. Nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional
atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda. Bila suatu perubahan sosial tertentu
mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional bila
perubahan sosial tersebut menganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gangguan
fungsional, bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak
fungsional. Gagasan mengenai fungsi berguna agar kita terus mengamati apa yang
disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis atau lebih
tepatnya, apa fungsi yang dijalankan dalam sistem itu. Masyarakat adalah orgisme yang
tidak berdiri sendiri, melainkan bergabung dengan kelompoknya dalam sistem pembagian
tugas, yang dalam kenyataanya berkaitan dengan jenis-jenis norma atau peraturan sosial
yang mengikat individu pada keadaan sosialnya. Robert K. Merton adalah salah satu tokoh
dalam teori fungsionalisme struktural. Merton telah menghabiskan karir sosiologinya dalam
mempersiapkan dasar struktur fungsional untuk karya-karya sosiologis yang lebih awal dan
-
22
dalam mengajukan model atau paradigma bagi analisa struktural. Merton menolak postulat-
postulat fungsionalisme struktural yang masih mentah yang menyebarkan paham :
1) Kesatuan masyarakat yang fungsional
Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial
yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun
untuk individu atau masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa
berbagai sistem sosial pasti menunjukkan integrasi tingkat tinggi. Kesatuan fungsional
masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem
sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang
memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau
diatur. Tapi menurut Merton, hal itu bisa benar terjadi dalam masyarakat primitive yang
kecil, generalisasi itu tidak dapat diperluas kepada masyarakat-masyarakat yang lebih
besar jumlahnya dan lebih kompleks.
2) Fungsional universal
Postulat ini menyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial serta struktur
yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Menurut Merton, postulat ini bertentangan
dengan apa yang ditemukannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas bahwa tak setiap
struktur, adat, gagasan, kepercayaan dan sebagainya mempunyai fungsi yang positif
untuk masyarakat itu sendiri. Karena bisa saja fungsi yang positif itu merugikan bagi
masyarakat lainnya.
3) Indespensability
Asumsi ini menyatakan bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tak
hanya mempunyai fungsi yang positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang
-
23
sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Asumsi ini
mengarah kepada pemikiran bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional adalah
penting untuk masyarakat. Tak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat bekerja
sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Tapi menurut
Merton, setidaknya kita harus bersedia mengetahui bahwa ada beberapa alternatif
struktural dan fungsional yang terdapat di masyarakat.
Menurut Robert K. Merton, tiga postulat itu bersandar pada pernyataan non empiris,
berdasarkan sistem teoritis abstrak. Maka, Merton pun mengembangkan analisis fungsional
sebagai pedoman untuk mengintegrasikan teori dan riset empiris. Analisis fungsional
struktural memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kultur.
Sasaran studi Merton antara lain peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur,
emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, alat-
alat pengendalian sosial dan sebagainya.
Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton
ternyata memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan
gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan
pada orientasi subjektif individu dalam perilaku, maka Robert K. Merton menitik beratkan
pada konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku. Merton menekankan
tindakaan-tindakan yang berulang kali atau baku berhubungan dengan bertahannya suatu
sistem sosial dimana tindakan itu berakar. Dalam hal ini perhatian Merton lebih kepada
konsekuensi objektif tersebut memperbesar kemampuan sistem sosial untuk bertahan atau
tidak, terlepas dari motif dan tujuan subjektivitas individu. Fungsionalisme struktural
berfokus pada fungsi-fungsi sosial daripada motif-motif individual. Fungsi-fungsi
-
24
didefinisikan sebagai konsekuensi-konsekuensi yang diamati yang dibuat untuk adaptasi
atau penyesuaian suatu sistem tertentu. Analisis Merton tentang hubungan antara
kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normatif
teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat.
Stuktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan
mempengaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan berbagai cara
melibatkan anggota masyarakat di dalamnya. Anomi terjadi jika ketika terdapat
keterputusan hubungan ketat antara norma-norma dan tujuan kultural yang terstruktur
secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan
tersebut. Disfungsi dan nonfungsi adalah ide yang diajukan Merton untuk mengoreksi
penghilangan serius tersebut yang terjadi di dalam fungsionalisme struktural awal.
Disfungsi didefinisikan bahwa sebuah struktur atau lembaga-lembaga dapat berperan dalam
memelihara bagian-bagian sistem sosial, tetapi bisa juga menimbulkan konsekuensi negatif
untuknya. Nonfungsi didefinisikan sebagai konsekuensi konsekuensi yang benar-benar
tidak relevan dengan sistem yang dipertimbangkan. Pendekatan fungsional merupakan
salah satu kemungkinan untuk mempelajari perilaku sosial. Pendekatan yang semula
dogmatis dan eksklusif dilengkapi dengan berbagai kualifikasi, sehingga agak berkurang
kekakuan dan keketatannya Selain konsep disfungsi dan nonfungsi yang digagas oleh
Merton, ia juga menggagaskan konsep Fungsi Manifes dan Fungsi Laten dalam teori
fungsional strukturalnya.
3. Jaringan dan Jaringan Sosial
Menurut Robert M.Z Lawang (Damsar 2011:157), jaringan merupakan gabungan
kata net dan work, sehingga menjadi network, yang penekanannya terletak pada kerja bukan
-
25
pada jaring, dimengerti sebagai kerja (bekerja) dalam hubungan antar simpul-simpul seperti
halnya jaring (net). Maka jaringan menurut Lawang dapat dimengerti sebagai:
1) Ada ikatan antara simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media
(hubungan sosial). Hubungan-hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan.
Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
2) Ada kerja antara simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial
menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.
3) Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antara simpul itu
pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat “menangkap ikan” lebih banyak.
4) Dalam kerja jaringan itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah
kalau satu simpul putus maka keseluruhan jaring tidak dapat berfungsi lagi, sampai
simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat.
Dalam hal ini analogi tidak seluruhnya tepat terutama kalau oranng yang membentuk
jaringan itu hanya dua saja.
5) Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara orang orang
dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.
6) Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana
ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan.
Dalam Damsar (2011:160-165) tingkat jaringan dapat dibedakan menjadi tiga
tingkatan yaitu Jaringan Mikro dalam hidupnya manusia (individu) selalu ingin melakukan
interaksi sosial dengan individu lainnya. Interaksi antar individu tersebut menjalin suatu
hubungan sosial. Hubungan sosial selalu berjalan terus menerus antar individu
-
26
menghasilkan suatau jaringan sosial diantara mereka. Jaringan sosial antar individu atau
antar pribadi dikenal sebagai jaringan (sosial) mikro merupakan bentuk jaringan yang
selalu ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Jaringan Meso dalam berinteraksi
sosial dengan orang lain pada umumnya, orang melakukan dalam suatu konteks sosial,
biasanya dalam satu kelompok. Hubungan yang dibangun para aktor dan atau didalam
kelompok sehingga terbentuk suatu ikatan maka dapat disebut sebagai jaringan sosial pada
tingkat meso. Jaringan Makro merupakan ikatan yang terbentuk karena terjalinnya simpul-
simpul dari beberapa kelompok . Dengan kata lain, jaringan makro terajut dari ikatan antara
dua kelompok atau lebih. Kelompok dalam konteks ini bisa dalam bentuk organisasi,
institusi, bahkan bisa pula negara. Jaringan sosial (Damsar 2002:165) merupakan
hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun
antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa
dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau
cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang
aktif dan bersifat resiprosikal.
Jaringan sosial (Agusyanto, 2007 :13) merupakan suatu jaringan tipe khusus,
dimana ‘ikatan’ yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah
hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak
langsungyang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person). Mungkin
saja, yang menjadi anggota suatu jaringan sosial itu berupa sekumpulan dari orang yang
mewakili titik-titik, jadi tidak harus satu titik diwakili dengan satu orang, misalnya
organisasi, instansi, pemerintah atau negara (jaringan negara-negara nonblok).
-
27
Menurut Wellman (1983:156-157) teori jaringan sosial terdapat sekumpulan
prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu sebagai berikut :
1) Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya.
Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian
dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil.
2) Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.
3) Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non-acak. Disatu
pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan
adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar
kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C.
4) Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang antara
kelompok jaringan maupun antara individu.
5) Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat
bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata.
6) Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan
baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk
mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok
lain bersaing dan memperebutkannya.
4. Toleransi dan intoleransi
1. Pengertian
Borba (2008:232) mengemukakan bahwa toleransi ialah sikap saling menghargai
tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya, keyakinan, kemampuan, atau
-
28
orientasi seksual. Orang yang toleran bisa menghargai orang lain meskipun berbeda
pandangan dan keyakinan. Toleransi terhadap sesuatu mengandung pengertian bahwa
setiap individu secara pasti tidak menyukai sesuatu tetapi dalam derajat ketidaksukaan
individu tersebut harus tahan terhadap sesuatu. Terkadang istilah toleransi lebih bermakna
kasar. Orang yang bersahabat dikatakan sebagai toleran apabila ia tidak membedakan ras,
warna kulit atau keyakinan. Dia tidak hanya tahan terhadap perbedaan tetapi secara umum
menerima adanya perbedaan tersebut
Toleran dan intoleran menurut Cohen 2004:69), tindakan yang disengaja oleh
aktor dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka
dalam situasi keberagaman, sekalipun aktor percaya, dia memiliki kekuatan untuk
mengganggu. Sedangkan intoleran adalah ketidak mampuan menahan diri, tidak suka
kepada orang lain, sikap mencampuri dan menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan
sengaja mengganggu orang lain.
Menurut Hunsberger (1995: 113), intoleran adalah tindakan negatif yang dilatari
oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs).
Prasangka semacam ini memiliki tiga komponen; (1) komponen kognitif mencakup
stereotip terhadap “kelompok luar yang direndahkan”; (2) komponen afektif yang berwujud
sikap muak atau tidak suka yang mendalam terhadap kelompok-luar; dan (3) komponen
tindakan negatif terhadap anggota kelompok-luar, baik secara interpersonal maupun dalam
hal kebijakan politik-sosial.
Cara Efektif Mengatasi Sikap Intoleransi dan Menumbuhkan Toleransi Hari
Toleransi Internasional 16 November 2006 Cara efektif mengatasi sikap intoleransi dan
menumbuhkan toleransi
-
29
1) Memerangi Intoleransi membutuhkan hukum
Setiap Pemerintah bertanggung jawab untuk menegakkan hukum hak asasi manusia,
untuk melarang dan menghukum kejahatan kebencian dan diskriminasi terhadap
kelompok minoritas, apakah ini dilakukan oleh pejabat Negara, organisasi swasta atau
individu. Negara juga harus menjamin akses yang sama ke pengadilan, komisaris hak
asasi manusia atau ombudsman, sehingga orang tidak main hakim sendiri dan
melakukan kekerasan untuk menyelesaikan perselisihan mereka.
2) Memerangi Intoleransi memerlukan pendidikan
Hukum yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk melawan intoleransi dalam
sikap individu. Intoleransi sangat sering berakar pada ketidaktahuan dan ketakutan: takut
yang tidak diketahui, yang lain, lain budaya, bangsa, agama. Intoleransi juga terkait erat
dengan rasa berlebihan diri dan kebanggaan, apakah pribadi, nasional atau keagamaan.
Gagasan ini diajarkan dan dipelajari pada usia dini. Oleh karena itu, penekanan yang
lebih besar perlu ditempatkan pada pendidikan yang lebih baik dan lebih baik. Upaya
yang lebih besar perlu dibuat untuk mengajarkan anak-anak tentang toleransi dan hak
asasi manusia, tentang cara-cara kehidupan lainnya. Anak-anak harus didorong di rumah
dan di sekolah untuk menjadi berpikiran terbuka dan ingin tahu. Pendidikan adalah
pengalaman seumur hidup dan tidak dimulai atau berakhir di sekolah. Endeavours
membangun toleransi melalui pendidikan tidak akan berhasil kecuali mereka mencapai
semua kelompok usia, dan berlangsung di mana-mana: di rumah, di sekolah, di tempat
kerja, di penegak hukum dan pelatihan hukum, dan tidak sedikit dalam hiburan.
-
30
3) Memerangi intoleransi membutuhkan akses ke informasi
Intoleransi adalah yang paling berbahaya bila dimanfaatkan untuk memenuhi
ambisi politik dan teritorial individu atau kelompok individu. Hatemongers sering mulai
dengan mengidentifikasi ambang toleransi publik. Mereka kemudian mengembangkan
argumen yang keliru, berbohong dengan statistik dan memanipulasi opini publik dengan
informasi yang salah dan prasangka. Cara yang paling efisien untuk membatasi
pengaruh hatemongers adalah untuk mengembangkan kebijakan yang menghasilkan dan
mempromosikan kebebasan pers dan pluralisme pers, untuk memungkinkan masyarakat
membedakan antara fakta dan opini.
4) Memerangi intoleransi membutuhkan kesadaran individu
Intoleransi di masyarakat adalah jumlah-total dari intoleransi individu anggota-
anggotanya. Kefanatikan, stereotip, menstigma, penghinaan dan lelucon rasial adalah
contoh dari ekspresi individu intoleransi yang beberapa orang dikenakan sehari-hari.
Intoleransi melahirkan intoleransi. Ia meninggalkan korbannya dalam mengejar balas
dendam. Dalam rangka untuk melawan intoleransi individu harus menyadari hubungan
antara perilaku mereka dan lingkaran setan ketidakpercayaan dan kekerasan di
masyarakat.
5) Memerangi Intoleransi membutuhkan solusi lokal
Banyak orang tahu bahwa masalah besok akan semakin global, tetapi sedikit
yang menyadari bahwa solusi untuk masalah-masalah global. Ketika dihadapkan dengan
eskalasi intoleransi di sekitar kita, kita tidak harus menunggu pemerintah dan lembaga
untuk bertindak sendiri. Kita tidak harus merasa tak berdaya untuk kita benar-benar
-
31
dimiliki kapasitas besar untuk memegang kekuasaan. Aksi non-kekerasan adalah cara
menggunakan kekuatan-kekuatan rakyat. Alat tindakan-menempatkan kelompok
bersama-sama untuk menghadapi masalah, untuk mengatur jaringan akar rumput, untuk
menunjukkan solidaritas dengan korban intoleransi, untuk mendiskreditkan propaganda
kebencian tersedia untuk semua orang yang ingin mengakhiri intoleransi, kekerasan
tanpa kekerasan dan kebencian.
2. Aspek aspek toleransi
Adapun aspek toleransi skripsi Ely Mei Triyani “Perbedaan Toleransi Antar Umat
Beragama Pada Penganut Islam Dan Hindu Di Desa Kongkong Kecamatan Mijen Kota
Semarang (2016:15) UNNES” antara lain:
1) Dialog antar umat beragama
Adapun yang dimaksud dengan dialog antar umat beragama adalah pembicaraan
yang mendalam, suatu keterbukaan antar umat beragama. Dalam situasi ini, kiranya
dialog antar beragama sangat penting dan harus selalu diadakan, untuk menuju toleransi,
sehingga tercipta rukun dan damai antar umat beragama tersebut. dengan dialog, setiap
umat beragama membuka diri bagi pandangan yang berbeda-beda dengan tetap
diharapkan agar setiap umat beragama sadar bahwa tidak selamanya perbedaan menuju
kepada permusuhan.
2) Kerja sama kemasyarakatan
Kerja sama atau tolong menolong adalah suatu dasar umum bagi semua
masyarakat. Sehubungan dengan toleransi antar umat beragama maka kerja sama ini
adalah suatu dasar bagi terwujudnya toleransi tersebut, bila kerja sama ini terbina
-
32
dengan baik kiranya bisa digambarkan bahwa toleransi akan terwujud. Melalui kerja
sama sosial masyarakat, rasa saling ketergantungan, rasa keakraban dan persaudaraan
serta rasa saling hormat antar umat beragama dapat dipupuk dengan baik sehingga
dalam menghadapi persoalan-persoalan agamis yang serba berbeda itu, akan terwujud
pula sikap toleransi.
5.Jaringan Gusdurian Daerah Istimewa Yogyakarta
Jaringan gusdurian adalah arena sinergi bagi para gusdurian di ruang kultural dan
non politik praktis. Di dalam jaringan gusdurian tergabung individu, komunitas/forum
lokal, dan organisasi yang merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan
Gus Dur. Karena bersifat jejaring kerja, tidak diperlukan keanggotaan formal. Jaringan
gusdurian memfokuskan sinergi kerja non politik praktis pada dimensi-dimensi yang telah
ditekuni Gus Dur, meliputi 4 dimensi besar: Islam dan Keimanan, Kultural, Negara, dan
Kemanusiaan. Kemanusiaan Misi Jaringan GusdurianNilai, pemikiran, perjuangan Gus Dur
tetap hidup dan mengawal pergerakan kebangsaan Indonesia; melalui sinergi karya para
pengikutnya, dilandasi 9 Nilai Gus Dur: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan,
Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan Tradisi.
Jaringan Gusdurian tidak terikat tempat, karena para Gusdurian alias anak-anak
ideologis Gus Dur tersebar di berbagai penjuru Indonesia, bahkan di manca negara. Di
beberapa tempat, terbentuk komunitas-komunitas lokal, namun sebagian besar terhubung
melalui forum dan dialog karya. Munculnya komunitas gusdurian lokal banyak dimotori
oleh gusdurian generasi muda (angkatan 2000an), yang bersemangat untuk berkumpul
mendalami dan mengambil inspirasi dari teladan Gus Dur. Setidaknya sekitar 60an
komunitas gusdurian lokal telah dirintis sampai akhir tahun 2012.
-
33
Untuk merangkai kerja bersama dalam arena Jaringan Gusdurian, dibentuklah
Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Amanah yang diemban adalah menjadi
penghubung dan pendukung kerja-kerja para gusdurian di berbagai penjuru. Dalam
menjalankan amanah jaringan, SekNas Jaringan Gusdurian memfokuskan diri pada
program-program penyebaran gagasan, memfasilitasi konsolidasi jaringan, memberikan
dukungan pada upaya (program) lokal, program kaderisasi, dan peningkatan kapasitas
jaringan. Selain itu, SekNas juga menjadi koordinator untuk program-program bersama
lintas komunitas gusdurian, serta menginisiasi kelas-kelas khusus terkait jaringan. Beberapa
di antaranya: Kelas Pemikiran Gus Dur, Forum kajian dan diskusi, Kampanye Anti
Korupsi, Pelatihan entrepreneurship, Forum budaya, Workshop Sosial Media, Koperasi
Jaringan Gusdurian. Sedangkan kegiatan-kegiatan advokasi dilakukan melalui organisasi-
organisasi yang berafiliasi dengan Jaringan Gusdurian dalam bentuk dukungan kerja yang
bersifat khas.
-
34
A. METODE PENELITIAN
Pengertian metode penelitian harus dibedakan dari metodologi penelitian. Menurut
Neong Muhadjir (1996:3-4), metode penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang
metode-metode penelitian, tentang kelebihan dan kekurangannya, ilmu dan alat-alat
penelitiannya. Muhsdjir mengatakan bahwa metode penelitian adalah teknis metode-
metode yang digunakan dalam penelitiannya. Dolet Unaradjan (2000:1) mengatakan
metode penelitian merupakan asas, pengaturan dan teknik yang perlu diperhatikan dan
diterapkan dalam usaha mengumpulkan dan menganalisis data. Dari kedua defenisi jelas
sekali ada perbedaan antara metode penelitian dan metodologi namun dalam buku-buku
penelitian kedua kata tersebut sering dipertukarkan penggunaannya. Metodologi membahas
dasar teoritas berbagai metode penelitian kemudian dijabarkan dalam masing-masing
penelitian.
Dalam melakukan pemilihan terhadap suatu metode penelitian, seorang peneliti
tidak lepas dari filosofi yang mendasarinya. Pengetahuan tentang filsafat yang mendasari
suatu metode penelitian akan menuntun langkah yang harus dilakukan secara konsisten.
Langkah-lankah itu digunakan untuk mencari sebuah kebenaran ilmu pengetahuan, metode
penelitian merupakan langkah-langkah sebagai upaya kebenaran. Pemilihan metode
penelitian ibarat pisau analisis yaitu menganalisis suatu obyek sehingga diperoleh suatu
kebenaran. Pemilihan metode penelitian berkaitan dengan fokus permasalahan yang
diangkat. Ketidak tepatan memilih metode penelitian akan berakibat pada kualitas hasil
penelitian.
-
35
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, karena penelitian
dipandang mampu menganalisa realitas sosial secara mendetail. Metode kualitatif dapat
digunakan untuk mengkaji, membuka, menggambarkan atau menguraikan sesuatu dengan
apa adanya. Bagdan dan Taylor dalam Lexy J Moleong (2010:20) , penelitian kelitatif
didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis berupa
kata-kata tertulis dari perilaku yang diamati. Adapun ciri-ciri pokok metode deskriptif
menurut Hadari Nawami (1983:63-64) adalah:
a) Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan
atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b) Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya,
diiringi dengan interprestasi rasional yang up to date.
Adapun tujuan dari penelitian deskriptif untuk membuat deskriptif, gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diselidiki.
2. Ruang lingkup Penelitian
a. Obyek Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan mencari dan mengumpulkan data tentang
kiprah Jaringan Gusdurian Dalam Mengatasi Intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk mendapatkan data, peneliti akan mengadakan penelitian di Jaringan Gusdurian
Yogyakarta.
-
36
b. Defenisi konsep
Defenisi konsep merupakan batasan-batasan dan istilah penting yang akan dijadikan
pedoman dalam penelitian, sehingga arah dan tujuan dari penelitian tidak menyimpang.
Adapun konsep yang dimaksud adalah
1) Jaringan dan jaringan sosial
Ikatan antara orang atau kelompok yang dihubungkan dengan hubungan
sosial. Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan
oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. Seperti halnya sebuah jaring yang tidak
putus, kerja yang terjalin antara kelompok itu pasti kuat menahan beban bersama.
Dalam kerja jaringan itu ada ikatan yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah jika satu
simpul putus maka keseluruhan jaring tidak dapat berfungsi lagi, sampai simpul itu
diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat. Simpul tidak
dapat dipisahkan, atau antara orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan. Menjadi
anggota suatu jaringan sosial itu berupa sekumpulan dari orang yang mewakili titik-titik,
jadi tidak harus satu titik diwakili dengan satu orang, misalnya organisasi, instansi,
pemerintah atau negara.
2) Gerakan
Suatu bentuk perilaku kolektif ditemukan adanya tujuan dan kepentingan yang
sama. Gerakan ditandai oleh tujuan jangka panjang. Kerjasama dan berbaur dengan
sekitarnya akan tercipta gerakan yang besar dan terarah, sehingga mampu meningkatkan
jejaring komunikasi dan kerjasama, mampu membawa perubahan pada segi-segi
kehidupan manusia.
-
37
3) Jaringan Gusdurian
Jaringan gusdurian adalah individu, komunitas/forum lokal, dan organisasi yang
merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur. Karena
bersifat jejaring kerja. Jaringan gusdurian memfokuskan sinergi kerja non politik praktis
pada dimensi-dimensi yang telah ditekuni Gus Dur, meliputi 4 dimensi besar: Islam dan
Keimanan, Kultural, Negara, dan Kemanusiaan. Gusdurian memiliki gagasan dasar
berupa sembilan nilai utama Gus Dur yang terdiri dari ketauhidan, kemanusiaan,
keadilan, kesetaraan, pembebasan kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan
kearifan lokal.
4) Toleransi dan Intoleransi
Intoleransi adalah ketidak-mampuan menahan diri, tidak suka kepada orang lain,
sikap mencampuri dan atau menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan sengaja
mengganggu orang lain. Keinginan kelompok-kelompok tertentu untuk menyamakan
keberagaman yang sudah tercipta dalam sejarah Indonesia. Intoleransi tercipta karena
ketidak pedulian satu dengan yang lain. Melalui kerja sama sosial masyarakat, rasa
saling ketergantungan, rasa keakraban dan persaudaraan serta rasa saling hormat antar
umat beragama dapat dipupuk dengan baik, sehingga terwujud pula sikap toleransi.
c. Defenisi Operasional
Defenisi operasional menurut Masrin Singarimbun dan Sofyan Efendi (1989:46)
adalah suatu unsur yang sangat membantu komunikasi antara peneliti yang menciptakan
pentunjuk bagaimana variabel dengan membaca defenisi dalam suatu penelitian, sehingga
dapat mengetahui baik buruknya pengukuran tersebut. Intoleransi merupakan konflik,
-
38
namun dalam penyelesaiannya Jaringan Gusdurian Yogyakarta menggunakan teori stuktur
fungsioanal dan teori jaringan.
Dengan demikian maka defenisi operasional Gerakan Jaringan Gusdurian dalam mengatasi
intoleransi adalah:
a) Aktifitas Jaringan Gusdurian mencegah intoleransi.
b) Kegiatan yang dilakukan pasca kejadian intoleransi.
c) Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan.
d) Membangun kerjasama dengan organisasi, institusi.
e) Kesulitan dan tantangan yang dihadapi Jaringan Gusdurian Yogyakarta.
d. Subyek Penelitian
Subyek penelitian menurut Suharsimi Arikunto (1998:2) “adalah subyek yang dituju
untuk diteliti oleh peneliti”. Di dalam penelitian kualitatif, subyek penelitian dikatakan
sebagai informasi yaitu orang yang memberi informasi, subyek penelitian yang peneliti
lakukan tidak terlepas dari jenis data primer ini yang menjadi subyek penelitian. Demi
mempermudah memperoleh data dan sesuai kebutuhan yang diperlukan, maka objek
penelitian harus dibatasi, dengan kata lain jumlah informan yang dibutuhkan ditentukan
jumlahnya sehingga dapat menggambarkan seluruh pokok persoalan yang diteliti.
Presidium di Jaringan Gusdurian berjumlah tiga orang. Presidium dibagi menjadi tiga
presidium satu mengkoordinir semua kegiatan internal, presidium dua mengkoordinir
semua kegiatan eksternal dan presidium tiga mengkoordinir personalia Jaringan Gusdurian.
Presidium dua dan tiga tidak bekerja sendiri, presidium internal berkoordinasi dengan
anggotanya bekerjasama melaksanakan kegiatan internal Gusdurian. Demikian juga
presium eksternal berkoordinasi dengan anggotanya untuk menyelenggarakan kegiatan
-
39
eksternal, termaksud dengan jejaring Gusdurian. Banyaknya Informan yang diteliti antara
lain:
a. Presidium Jaringan Gusdurian : 3 orang
b. Bagian internal : 4 orang
c. Bagian eksternal : 3 orang
d. Lintas agama : 6 orang
Total : 16 orang
e. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat seorang peneliti melakukan penelitian. Lokasi
penelitian tentunya tidak di selenggarakan di sembarang tempat melainkan di tempat yang
sudah di tentukan yaitu berlokasi di Jaringan Gusdurian Yogyakarta Jl.Sorowajan, Rt.08,
Jaranan, Kec. Banguntapan, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Tenik Pengumpulan Data
Untuk menyediakan data-data yang di perlukan dalam penelitian ini, data-data
dikumpulkan melalui beberapa tehnik, masing-masing teknik pengumpulan data bersifat
saling melengkapi satu sama lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Teknik Observasi
Hadari nawawi (1983: 100) observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang
dilakukan dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi disekitar kita, tujuan penelitian
dengan menggunakan alat indera dan langsung ketempat penelitian yang diharapkan.
-
40
Observasi terus terang atau tersamar, dalam hal ini peneliti dalam pengumpulan data
menyatakan terus terang pada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian.
(Sugiyono, 2015:312). Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan melihat langsung
Gerakan Jaringan Gusdurian dalam mengatasi intoleransi juga terlibat dalam kegiatan yang
diadakan oleh Gusdurian. Observasi dilakukan tanggal 5 -27 Februari 2020.
b. Teknik Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh
dua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
memberikan jawabannya atas pertanyaan yang diajukan. (Moeleong, 2017;186). Peneliti
melakukan wawancara sebagai petunjuk agar memiliki fokus dalam penelitian.Wawancara
digunakan untuk membina kedekatan dengan informen, melalui dialog dengan organisasi
atau institusi yang bekerjasama dengan Jaringan Gusdurian. Terkait Gerakan jaringan
gusdurian dalam mengatasi intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Teknik Dokumentasi
Menurut Irwan (2002) dokumen adalah satu metode pengumpulan data tidak
langsung ditujukan pada subyek peneliti, dokumen yang diteliti tidak hanya dokumen resmi
bisa berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian
kualitatif. Oleh karena itu hasilnya lebih kredibel udapat dipercaya kalau didukung oleh
dokumen ( Sugiyono, 2015:329).
-
41
d. Teknik Analis Data
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan teknik analisis data yang bersifat
kualitatif. Menurut Moleong (2001:3) mengutip Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sehingga dalam penelitian
ini untuk menganalisa data penyusun menggunakan taknik analisis data kualitatif yaitu
dengan menggunakan kata-kata melalui proses berpikir secara logis dan sistematis. Adapun
teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknis analisis data dari
Miles dan Huberman, yaitu:
1. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data melalui hasil observasi, wawancara dan
dokumentasi yang terkait dengan Gerakan Jaringan Gusdurian Dalam mengatasi intoleransi
Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila perlu (Sugiyono, 2017:338).
-
42
3. Penyajian data
Display data memudahkan memudahkan memahami apa yang terjadi, merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnya disarankan
dalam melakukan display data, selain dengan teks naftif, dapat berupa grafik, matrik,
network dan Chart (Sugiyono, 2017: 341). Penarikan kesimpulan pada tahap ini bersifat
sementara, dan akan berubah jika ditemukan bukti-bukti yang kuat. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2017:345).
-
43
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
A. Profil Kecamatan Banguntapan
Desa Banguntapan terletak di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Desa Banguntapan terletak pada ketinggian 100 M diatas permukaan
laut, dan pada arah utara dari pusat kota kabupaten Bantul. Luas wilayah Desa
Banguntapan 819,33 Ha. Jarak Desa Banguntapan dengan pusat Kabupaten Bantul kurang
lebih 10 km dan jarak dengan Ibu Kota Provinsi adalah 5 km. Letak Desa Banguntapan 1,5
km ke arah barat laut dari pusat Kecamatan Banguntapan.
-
44
Gambar II.1 Peta Kecamatan Banguntapan
-
45
Secara administratif Desa Banguntapan di batasi oleh :
a. Sebelah Utara : Desa Caturtunggal
b. Sebelah Timur : Desa Baturetno
c. Sebelah Selatan : Desa Wirokerten.
d. Sebelah Barat : Kota Yogyakarta.
Dengan orbitrasi (Jarak dari pusat pemerintahan) sebagai berikut:
1.)Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 1,5 KM
2.)Jarak dari Ibukota Kabupaten : 10 KM
3.)Jarak dari Ibukota Provinsi : 5 KM
B. Keadaan Demografi Desa Banguntapan
Desa Banguntapan memiliki penduduk sebanyak 43.713 Jiwa, 9.667 KK, yang
terdiri atas 21.890 Jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 21.827 jiwa penduduk
berjenis kelamin perempuan, yang terdiri, dengan jumlah usia 0-15 berjumlah 7.903 jiwa,
usia 16-65 berjumlah 33.409 Jiwa jiwa, usia 65 keatas 2.401 jiwa.
-
46
1.) Untuk bisa mengetahui rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
diagram berikut:
Gambar II.2 rasio penduduk berdasarkan jenis kelamin
Sumber monografi 2018
Dari diagram di atas penduduk perempuan memiliki jumlah lebih banyak dari laki-
laki. Dilihat dari angka diagram di atas, angka dari jumlah penduduk perempuan dan laki-
laki tidak jauh berbeda. Namun lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.
-
47
2) Untuk mengetahui jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada diagram
berikut:
Gambar II.3 jumlah penduduk berdasarkan umur
Sumber: monografi 2018
Dari diagram di atas dapat disimpulkan penduduk berusia 15-65 tahun berada
diposisi teratas dengan jumlah 33.409. Penduduk berusia 0-15 tahun berada diposisi kedua
dengan jumlah 7.903 dan penduduk berusia 65 keatas berjumlah 2.401.
-
48
3) Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dapat diamati dari diagram berikut
Gambar II.4 jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
Sumber: monografi 2018
Dari diagram di atas wiraswasta / pedagang berjumlah 8.306 orang, pegawai swasta
berjumlah 6987 orang, pekerjaan lainnya 4.630 orang, Pegawai Negeri Sipil berjumlah
1.680 orang, jumlah pensiunan 1.207 orang, selain bekerja sebagai TNI/Polri 969 orang,
351 orang bekerja sebagai tukang, 255 orang bekerja sebagai buruh tani, mata pencaharian
sebagai pengrajin berjumlah 200 orang, bekerja dengan menawarkan jasa 135 orang, 65
orang bekerja sebagai petani, 35 orang bekerja sebagai pekerja seni dan 26 orang lainnya
sebagao peternak.
-
49
4) Tingkat pendidikan
Gambar II.5 jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
Sumber: monografi 2018
Dari diagram di atas dapat dilihat penduduk dengantingkat pendidikan SMA/SMK
berjumlah 11.919, jenjang pendidikan S1 berjumlah 5.525, penduduk dengan jenjang
pendidikan Sekolah Dasar berjumlah 5.465, penduduk dengan jenjang pendidikan Sekolah
Menengan Pertama berjumlah 4.665 orang, sedangkan tingkat Taman Kanak-Kanak
berjumlah 3.400 orang, selain itu jenjang pendidikan keagamaan 239 orang, kursus
keterampilan 137 orang dan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren 132 orang, selain
itu 28 orang menempuh pendidikan di Sekolah Luar biasa.
-
50
5). Sarana peribadatan
Gambar II.6 jumlah sarana peribadatan
Sumber: monografi 2018
Untuk melihat rasio sarana peribadan dari diagram di atas 58 sarana peribadatan
masjid, 30 mushola dan 9 Gereja, 2 Pura dan Vihara tidak ada.
-
51
C. SEJARAH SINGKAT JARINGAN GUSDURIAN
Peristiwa Kenteng menjadi pemantik organisasi yang mewadahi para pendukung
Gus Dur. Para murid Gus Dur yang berkumpul di Jalan Taman Amir Hamzah, Menteng,
Jakarta Pusat, mendiskusikan persoalan tersebut. Belakangan acara tersebut menjadi rutin
dilakukan setiap jumat pertama. Mereka mengatur strategi advokasi kelompok marginal
dan minoritas. Savic menuturkan peristiwa tersebut menumbuhkan kesadaran agar kami
lebih sering bertemu. Namun Alissa masih gamang. Kejatuhan Gus Dur dari kursi
kepresidenan pada 2001 masih melukai hatinya. Menjauh dari hiruk-pikuk politik, Alissa
memilih menjadi psikolog dan mengelola lembaga pendidikan untuk anak usia dini
bernama Fast Track di Yogyakarta serta menjalankan bisnis properti. Apalagi keluarga Gus
Dur harus membayar gaji karyawan di Ciganjur, yang bertambah banyak sejak Gus Dur
menjadi presiden “kami bukan keluarga kaya yang memiliki mesin ekonomi”. Di sisi lain,
Alissa merasa bersalah jika “warisan” Gus Dur tentang merawat toleransi dan menghapus
diskriminasi tak dilanjutkan. Para sahabat Gus Dur menggelar simposium pada November
2011 untuk merumuskan nilai-nilai yang hendak diperjuangkan. Hasil diskusi dengan
sejumlah tokoh, seperti sastrawan Martin Aleida dan mantan Jaksa Agung, Marsillam
Simanjuntak, menghasilkan 38 prinsip. Belakangan jumlahnya diperas menjadi sembilan
yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan,
kesederhanaan, sikap ksatria, kearifan tradisi. Savic menjelaskan, salah satu nilai yang
dipegang Gus Dur adalah pembelaan kepada mereka yang tertindas. Karena itulah Jaringan
Gusdurian kerap berada di garis terdepan ketika kasus diskriminasi berbasis keagamaan
meruak. Kini jaringan Gusdurian telah terbentuk di 130 kota di Indonesia termasuk Daerah
-
52
Istimewa Yogyakarta. Aktivis Jaringan Gusdurian juga masuk ke lembaga formal negara.
Mantan Direktur Eksekutif Wahid Institute, Ahmad Suaedy menjadi anggota Ombudsman
Repoblik Indonesia, Beka Ulung Hapsara, terpilih sebagai anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia.” Tujuannya agar kerja-kerja Jaringan Gusdurian di akar rumput mendapat
saluran secara struktural kenegaraan.
D. LANDASAN JARINGAN GUSDURIAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jaringan Gusdurian menghidupi nilai utama Gus Dur. Basis kerja jaringan
Gusdurian 9 value Gus Dur yaitu:
1. Ketauhidan
Ketauhitan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha Ada, satu-
satunya Dzat hakiki yang Maha Kasih, yang disebut dengan berbagai nama. Ketuhidan di
dapatkan lebih dari sekadar diucapkan dan dilafalkan, tetapi juga disaksikan dan
disingkapkan. Ketauhidan menghujam kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari
segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya. Pandangan ketauhidan menjadi poros
nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi agama.
Ketauhidan yang bersifat Ilahi itu diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
-
53
2. Kemanusiaan
Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk
Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi.
Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri
manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan
manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan
manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan
inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.
3. Keadilan
Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa
dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan
masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya
harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang
diperlakukan tidak adil, merupakan tanggungjawab moral kemanusiaan. Sepanjang
hidupnya, Gus Dur rela dan mengambil tanggungjawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk
menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
4. Kesetaraan
Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat
yang sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil,
hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam
masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika
-
54
melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan, termasuk
di dalamnya adalah kelompok minoritas dan kaum marjinal.
5. Pembebasan
Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki
tanggungjawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, untuk melepaskan diri dari
berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka,
bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong
dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan
manusia lain.
6. Kesederhanaan
Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan perilaku hidup
yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni
sehingga menjadi jati diri. Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap
berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek
kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.
7. Persaudaraan
Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan,
keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar
untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan
menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan
terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.
-
55
8. Keksatriaan
Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-
nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan
dilakukan dengan mencerminkan i