gangguan mental organik

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Mental Organik Gangguan mental organik merupakan sebuah gangguan mental yang memiliki dasar organik yang patologis yang juga bisa diidentifikasi seperti halnya penyakit serebral vaskular, tumor otak, intoksikasi obat-obatan, dll. Secara umum, ganguan mental seperti ini bisa diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan kepada gejala utamanya yang merupakan gangguan berbahasa, gangguan kognitif seperti halnya penurunan daya ingat, dan juga gangguan perhatian (Tasman et al, 2008). Di DSM III R, delirium, demensia, gangguan amnestik dan gangguan kognitif lainnya termasuk di bagian “gangguan mental organik,” yang termasuk gangguan karena kondisi medis umum atau penggunaan zat. Sejak DSM IV, penggunaan istilah organik disingkirkan karena implikasi bahwa gangguan-gangguan yang tidak tertera di bagian tersebut (skizofrenia, gangguan bipolar, dll.) tidak memiliki komponen organik (Tasman et al, 2008). DSM IV menggantikan setiap unit gangguan mental organik (contohnya gangguan mood organik) dengan dua komponen dari gangguan tersebut (gangguan mood karena kondisi

Upload: muhammad-harmen-reza-siregar

Post on 21-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Gangguan mental organik

TRANSCRIPT

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Mental OrganikGangguan mental organik merupakan sebuah gangguan mental yang memiliki dasar organik yang patologis yang juga bisa diidentifikasi seperti halnya penyakit serebral vaskular, tumor otak, intoksikasi obat-obatan, dll. Secara umum, ganguan mental seperti ini bisa diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan kepada gejala utamanya yang merupakan gangguan berbahasa, gangguan kognitif seperti halnya penurunan daya ingat, dan juga gangguan perhatian (Tasman et al, 2008). Di DSM III R, delirium, demensia, gangguan amnestik dan gangguan kognitif lainnya termasuk di bagian gangguan mental organik, yang termasuk gangguan karena kondisi medis umum atau penggunaan zat. Sejak DSM IV, penggunaan istilah organik disingkirkan karena implikasi bahwa gangguan-gangguan yang tidak tertera di bagian tersebut (skizofrenia, gangguan bipolar, dll.) tidak memiliki komponen organik (Tasman et al, 2008).DSM IV menggantikan setiap unit gangguan mental organik (contohnya gangguan mood organik) dengan dua komponen dari gangguan tersebut (gangguan mood karena kondisi medis umum dan karena penggunaan zat). Karena peran pada diagnosis diferensial dari gangguan kognitif, delirium, demensia dan gangguan amnestik termasuk dalam kelas diagnostik yang sama pada DSM IV. Namun ICD 10 tetap mempertahankan kategori diagnosis gangguan mental organik (Tasman et al, 2008).Etiologi Primer berasal dari suatu penyakit di otak dan suatu cedera atau rudapaksa otak atau dapat dikatakan disfungsi otak. Sedangkan etiologi sekunder berasal dari penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh (Greenberg, 2007).Istilah organik merupakan sindrom yang diklasifikasikan dapat berkaitan dengan gangguan/penyakit sistemik/otak yang secara bebas dapat didiagnosis. Sedangkan istilah simtomatik untuk GMO yang pengaruhnya terhadap otak merupakan akibat sekunder dari gangguan/penyakit ekstraserebral sitemik seperti zat toksik berpengaruh pada otak bisa bersifat sesaat/jangka panjang (Greenberg, 2007).2.2 EpilepsiEpilepsi (berasal dari bahasa Latin (epilpsa) yang berarti kejang) adalah kelompok gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan kejang, yang merupakan hasil dari aktifitas neuronal otak yang abnormal atau berlebihan (Perez, 2012).2.2.1 Klasifikasi Etiologi Idiopatik (Primer) Kejang bermula saat masa kanak-kanak Merupakan faktor genetik Respon bagus terhadap tindakan farmakologis Prognosis baik Tidak ada cedera otak Simtomatik (Sekunder) Kejang dimulai saat usia berapapun Bermacam etiologi Respon farmakologis yang kurang jelas Prognosis bervariasi Umumnya terdapat cedera otak Karakteristik kejang Mioklonik Klonik Tonik Tonik-klonik Atonik Lokasi asal kejang Kejang onset parsial atau fokal Parsial sederhana (tanpa penurunan kesadaran) Parsial kompleks (kejang psikomotor) Generalisata sekunder Kejang generalisata Lobus frontal, temporal Sebagai manifestasi dari sindroma klinis Juvenile myoclonic epilepsy Sindroma Lennox-Gastaut Dsb. Kejadian, apabila ada, yang dapat memicu kejang Membaca Musik Cahaya Dll. (Perez, 2012)2.2.2 EpidemiologiEpilepsi merupakan masalah mendunia yang menyerang antara 2% dan 3% dari populasi, dimana 75% kasus dimulai sejak masa kanak-kanak. Epilepsi dapat disebabkan oleh faktor genetik, struktural, metabolik atau faktor-faktor yang belum diketahui. Di antara faktor struktural, penyebab terbanyak di negara berkembang adalah penyakit infeksi (khususnya neurosistiserkosis), cedera otak perinatal, penyakit vaskular, dan trauma kepala dimana seluruhnya dapat dicegah. Prognosis dari epilepsi bergantung kepada etiologi dari penyakitnya dan juga seberapa cepat memulai penanganannya. Diperkirakan sampai 70% dari penderita epilepsi dapat hidup normal apabila ditangani dengan baik (Barragan, 2004).Insidensi, prevalensi dan mortalitas global dari epilepsi tidak seragam, bergantung kepada beberapa faktor. Negara maju dan berkembang memiliki perbedaan geografis, ekonomis, dan sosial. Prevalensi dan insidensi dari epilepsi lebih tinggi pada negara berkembang. Namun di negara berkembang walau dengan insidensi epilepsi yang tinggi prevalensinya relatif rendah, yang mungkin disebabkan oleh mortalitas pasien epilepsi yang tinggi (Perez, 2012)2.3 Gangguan Mental Sebagai Komplikasi dari EpilepsiHubungan antara epilepsi dan gangguan mental sudah dilaporkan sejak dahulu. Bagaimanapun, walau hubungan tersebut telah lama diketahui dan perkembangan teknologi untuk penanganan pasien epilepsi, gangguan neuropsikiatris pada epilepsi masih sering lalai ditangani (Agrawal & Govender, 2011).Pasien dengan gangguan intelektual, khususnya yang sudah parah, dapat menampakkan berbagai gejala neuropsikiatris yang berbeda dengan mereka tanpa gangguan intelektual (Agrawal & Govender, 2011). Untuk mendiagnosis komorbiditas psikiatrik dapat menjadi tantangan pada pasien epilepsi. Efek dari pengobatan anti-epilepsi dan gejala epilepsi sendiri dapat menutupi atau meniru gejala masalah psikiatrik. Pasien dengan epilepsi dapat menunjukkan gejala psikiatik yang kurang cocok dengan kategori diagnosis yang digunakan (Tellez-Zenteno et al, 2005). 2.3.1 PatofisiologiBanyak bentuk komplikasi psikiatrik dari epilepsi dan merupakan akibat dari interaksi kompleks antar faktor-faktor endogen, terapetik dan lingkungan. Hubungan antara epilepsi dan gangguan psikiatrik mungkin lebih dekat dari yang sebelumnya diduga. Studi-studi terbaru telah menggagaskan adanya hubungan dua-arah antara depresi dan epilepsi, dimana pasien dengan epilepsi memiliki risiko lebih tinggi daripada populasi umum, setelah ataupun sebelum onset epilepsi. Walau manifestasi klinis dari gangguan psikiatrik pada epilepsi seringkali tidak dapat dibedakan dengan pada pasien nonepilepsi, beberapa jenis depresi dan gangguan psikosis dapat datang dengan karakteristik klinis yang khusus pada pasien epilepsi (Algreeshah, 2013).Mekanisme dari hubungan antara epilepsi dan gangguan perilaku termasuk: Neuropatologi umum Predisposisi genetik Gangguan tumbuh kembang Efek neurofisilogis iktal Inhibisi atau hipometabolisme yang menyelubungi fokus epileptik Epileptogenesis sekunder Perubahan sensitivitas reseptor Perubahan endokrin sekunder Gangguan psikiatrik primer independen Akibat perlakuan medis atau operasi Akibat beban psikososial dari epilepsiBerbagai faktor biologis dan psikososial menentukan risiko perkembangan dari psikosis skizofreniform atau depresi berat pada pasien dengan epilepsi, dan gangguan tingkah laku pada epilepsi memiliki banyak faktor risiko dan etiologi multifaktorial (Algreeshah, 2013).2.3.2 Jenis-jenis Gangguan Mental Berbagai gangguan psikiatrik dapat terjadi pada penderita epilepsi, termasuk gangguan afektif, psikosis dan perubahan kepribadian (Agrawal & Govender, 2011).

DepresiDepresi adalah gangguan psikiatrik yang paling sering terjadi pada pasien epilepsi dan merupakan penyebab morbiditas yang signifikan. Angka kejadian yang dilaporkan adalah 20-55% untuk pasien dengan kejang rekuren, dalam berbagai penelitian. Data insidens dan prevalens yang akurat kurang tersedia, hal ini dapat diakibatkan oleh perbedaan metodologi dan sampel yang digunakan, gejala-gejala depresi yang tidak dilaporkan dan diagnosis yang lalai oleh dokter. Ada bukti yang berkembang mengenai hubungan biologis antara depresi dan ansietas, dan hilangnya amin biogenik dan asam gamma aminobutirat dan menjadi faktor penting dalam perkembangan kedua penyakit. Depresi tampaknya lebih sering terjadi pada kondisi medis kronis lainnya seperti asma, yang menunjukkan bahwa hal ini bukan hanya masalah reaksi akibat kondisi yang merugikan (Ettinger, 2005).Kanner et al (2000) melaporkan bahwa 60% pasien dengan depresi dan epilepsi telah menunjukkan gejala depresi selama lebih dari setahun sebelum pemberian pengobatan apapun. Terlambat dalam mengenali keperluan pengobatan tidak berhubungan dengan keparahan depresi. Gejala dari depresi seperti gangguan tidur, nafsu makan, kurangnya konsentrasi dan berkurangnya tingkat energi kurang berguna secara klinis untuk diagnosis depresi, disebabkan oleh efek intrinsik epilepsi dan efek samping dari pengobatan anti-epilepsi. Fokus yang lebih seharusnya ditujukan kepada kurangnya minat, anhedonia dan kognisi depresif, juga kesedihan subjektif yang bertahan.Pengobatan dari depresi pada epilepsi masih belum ditelaah secara baik walaupun dengan prevalensinya yang tinggi. Pengobatan yang sekarang direkomendasikan sebagian besar berdasar kepada bukti-bukti anekdot dan pengalaman klinis. Bunuh DiriStudi telah menunjukkan adanya peningkatan dua sampai tiga kali lipat pada rasio mortalitas standar pada pasien dengan epilepsi (Ficker, 2000). Hubungan yang kuat telah dilaporkan antara risiko bunuh diri dan onset epilepsi pada usia muda, khususnya masa kanak-kanak (Nilsson, 2002). Secara umum, risiko bunuh diri 2,4 kali lebih tinggi pada pasien epilepsi, 11-12 kali lebih tinggi pada pasien dengan epilepsi dan ansietas atau psikosis, dan 32 kali lebih tinggi pada pasien epilepsi dan depresi (Christensen 2007).AnsietasSedikit perhatian yang diberikan untuk membedakan antara gejala yang ditunjukkan oleh ansietas pada epilepsi atau subtipe gangguan ansietas pada pasien epilepsi. Akibatnya, insidens dan prevalens dari gangguan ini tidak jelas. Satu studi potong-lintang besar menggunakan rekam primer menunjukkan angka kejadian ansietas 11% pada 5.834 orang yang menderita epilepsi dibandingkan dengan 5,6% pada 831.163 orang tanpa epilepsi (Gaitatzis, 2004).Kaji sistematis yang telah dilakukan pada pada pasien ansietas dengan epilepsi menyarankan bahwa tatalaksana sebaiknya sama dengan pada gangguan ansietas pada populasi umum dan berfokus pada area-area kunci: psikoedukasi, relaksasi, CBT dan medikasi anti-ansietas (Bayenburg, 2005). PsikosisPsikosis pada epilepsi termasuk berbagai gangguan psikotik dengan fenomea beragam yang berhubungan dengan gangguan kejang. Psikosis pada epilepsi dibedakan dari skizofrenia pada tahun 1950-an, dan dijelaskan sebagai delusi paranoid dengan halusinasi visual dan auditorik yang terjadi pada pasien dengan epilepsi. Pasien dengan psikosis epilepsi jarang menunjukkan gejala negatif skizofrenia, umumnya dengan kepribadian yang tidak terganggu, dan fungsi premorbid yang lebih baik (Agrawal & Govender, 2011).Pengalaman psikosis pada populasi epilepsi umum terjadi pada 0,6-7% pasien, dan angka ini dapat meningkat hingga 19-27% pada pusat-pusat epilepsi. Pada studi prospektif untuk psikosis dan epilepsi, anak dengan epilepsi lobus temporal memiliki 10% kemungkinan untuk mengembangkan psikosis interiktal selama 30 tahun follow up, dimana risiko pada populasi umum adalah sekitar 0,8% (Agrawal & Govender, 2011).Tidak ada studi trial besar yang dilakukan pada obat-obatan antipsikosis untuk psikosis pada epilepsi. Sebuah kajian oleh Alper et al (2002) menyarankan sebuah prinsip umum untuk pengobatan psikosis pada epilepsi, dimana analisis komprehensif pada riwayat psikiatrik keluarga harus dilakukan karena ada bukti yang menunjukkan bahwa riwayat respon kepada obat antipsikotik tertentu dapat menjadi faktor prediktif untuk respon positif.Obat-obatan antipsikotik dapat mengurangi ambang dari kejang sampai derajat tertentu, dan risikonya tampaknya bergantung dosis. Di antara antipsikotik tipikal, yang memiliki potensi rendah seperti fenotiazin cenderung lebih mengurangi ambang kejang. Di antara antipsikotik atipikal, risperidon dan olanzapin memiliki kecenderungan untuk lebih mempengaruhi ambang kejang dibandingkan quetiapin, amsulprid dan aripiprazol. Alper et al menyarankan bahwa antipsikotik sebaiknya digunakan pada dosis terendah dan waktu tersingkat, dan peningkatan dosis besar dan tiba-tiba sebaiknya dihindari (Alper et al, 2002).Obat-obatan antiepileptik dapat dihubungkan dengan onset gejala psikotik atau depresi. Psikosis telah dilaporkan pada penggunaan topiramat, vigabatrin, zonisamid, tiagabin dan etosuximida. Obat-obatan antiepileptik dapat menurunkan jumlah serum folat, yang dapat bermanifestasi dengan gejala depresi (Alper et al, 2002).Interaksi obat yang potensial sebaiknya juga dipertimbangkan saat peresepan obat antiepileptik dan psikotropik secara bersamaan. Carbamazepin adalah perangsang enzim yang poten dan dapat menurunkan jumlah plasma beberapa obat. SSRI seperti fluoxetin dan paroxetin dilaporkan dapat menghambat enzim hepatik dan dapat berujung pada peningkatan jumlah plasma obat-obatan antiepileptik. Dalam hal ini sertralin dan citalopram relatif lebih aman (Alper et al, 2002).